SATU
DI SELA rimbun pohon bakau yang banyak tumbuh di pesisir pantai Laut Selatan tampak sesosok tubuh tegak berlindung dengan kepala lurus ke arah tengah laut yang sedang bergelombang besar. Sesekali sosok ini terlihat menghela napas dalam. Meski raut wajahnya tidak membayangkan kecemasan, karena wajah orang ini ditutup dengan kain cadar berlobang-lobang kecil yang menyembunyikan parasnya, dari gerak-gerik serta sikapnya jelas jika orang ini sedang dilanda kebim bangan.
"Apakah aku harus menyusul ke pulau itu? Ataukah sebaiknya kutunggu saja di sini? Melihat ke mana arah yang dituju, sekarang jelaslah bahwa pemuda itu memang sedang memburu Kitab Serat Biru! Tapi bagaimana pemuda berjubah putih serta Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam tahu juga tempat yang hendak dituju Pendekar 131?"
Sosok bercadar yang ternyata adalah seorang perempuan yang di punggungnya tampak punuk besar kembali menarik napas panjang dengan kepala sedikit ditengadahkan.
"Kalau aku menyusul ke pulau itu, bagaimana nanti jika Dewi Siluman dan Ki Buyut tahu semua Ini? Tapi... Pendekar 131 pasti akan menghadapi kesulitan besar! Ah... Bagaimana pun aku harus menyusul! Apa pun nanti yang akan terjadi, aku tak tega melihat Pendekar 131 menghadapi kesulitan sendiri!"
Memutuskan begitu, perempuan bercadar dan berpunuk segera bergerak keluar dari rimbun pohon bakau. Namun mendadak satu bayangan berkelebat disertai memanlulnya satu cahaya, membuat langkah perempuan bercadar dan berpunuk tertahan. Tapi perempuan ini jadi terkesiap. Karena tahu-tahu seorang bertubuh besar mengenakan pakaian gombrang warna hijau telah berdiri tegak di hadapannya!
Seraya tengadahkan sedikit kepalanya, sosok besar di hadapan perempuan bercadar dan berpunuk mengusap-usap cermin bulat pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan perutnya. Sepasang matanya bolak-balik mengerjap. Namun sepasang bola mata itu hanya tampak putihnya saja. pertanda orang ini buta.
"Gendeng Panuntun!" ujar perempuan bercadar dan berpunuk begitu mengenali siapa orang yang kini berdiri di hadapannya. Ketegangan wajah di balik cadar sedikit mereda. Namun karena khawatir akan keselamatan Pendekar 131, perempuan bercadar dan berpunuk segera hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi gerakan perempuan ini kembali tertahan tatkala tiba-tiba orang besar bermata buta yang di depan perutnya tampak sebuah cermin bulat dan bukan lain memang Gendeng Panuntun adanya berkata.
"Hendak ke mana kau, Anak cantik?!"
Sepasang mata di balik cadar berlobang membesar perhatikan lebih seksama pada Gendeng Panuntun. "Dia ternyata tahu siapa diriku! Adakah penyamaranku ini kurang baik? Tapi... Sepasang matanya buta! Ah. Benar-benar orang aneh. Pertama kali jumpa dia dapat mengetahui isi hatiku, sekarang tahu pula siapa aku!" Diam-diam perempuan bercadar dan berpunuk membatin.
Karena perempuan berpunuk belum juga buka mulut menjawab, Gendeng Panuntun arahkan kepalanya menghadap pada si perempuan. Lalu terdengar dia berujar. "Sikapmu gelisah. Adakah kau memikirkan seseorang?!"
Seperti dituturkan sebelumnya, perempuan bercadar dan berpunuk secara diam-diam mengikuti ke mana Pendekar 131 membawa Dewi Seribu Bunga. Dan begitu Pendekar 131 pergi ke puncak bukit di mana baru saja terdengar orang lantunkan bait-bait syair, di hadapan Dewi Seribu Bunga muncul Maut Mata Satu yang bukan lain adalah guru Dewi Seribu Bunga sendiri. Kedua guru serta murid ini kemudian pergi.
Dan tatkala Pendekar 131 turun dari puncak bukit, perempuan berpunuk mengatakan pada Pendekar 131 apa yang baru saja didengarnya dari percakapan antara Maut Mata Satu dan Dewi Seribu Bunga. Setelah itu perempuan berpunuk berkelebat pergi. Namun secara diam-diam dia menyelinap lalu mengikuti Pendekar 131 sampai akhirnya mencapai pesisir Laut Selatan.
Dia sebenarnya hendak mengikuti murid Pendeta Sinting yang teruskan perjalanan menyeberang laut, namun langkahnya tertahan ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda berjubah putih yang bukan lain adalah Malaikat Penggali Kubur yang saat itu juga telah sampai di pesisir Laut Selatan. Perasaan perempuan berpunuk sudah tidak enak tatkala mengetahui Malaikat Penggali Kubur ternyata juga menempuh perjalanan menyeberang laut.
Dia sudah bertekad untuk mengikuti, tapi lagi-lagi langkahnya tertahan, malah kali Ini dia jadi terkesiap kaget tatkala begitu Malaikat Penggali Kubur menyeberang, mendadak muncul perempuan bercadar hitam serta berjubah hitam besar sebatas lutut berambut pirang dengan seorang kakek berjubah hitam yang kedua tangannya masuk ke dalam saku jubahnya. Kedua orang ini bukan lain adalah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
Merasa orang di hadapannya telah tahu apa yang kini dilakukan perempuan berpunuk, perempuan ini segera berkata. “Kakek! Terus terang aku memang tengah memikirkan seseorang. Malah aku mengkhawatirkan keselamatannya!"
Gendeng Panuntun usap-usap cerminnya yang pantulkan cahaya. "Hemm... Kalau tak salah, bukankah yang menjadikan hatimu gerah adalah seorang pemuda?!"
"Bagaimana orang ini bisa tahu?" tanya perempuan berpunuk dalam hati. Lalu berkata. "Aku tidak bisa mengatakan padamu siapa orang yang sedang kukhawatirkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Seraya tengadah dia berkata lagi. "Gelombang besar bukan penghalang. Lautan api bukanlah perintang. Kalau hati seorang gadis selalu berguncang, apalagi yang menjadi sebab jika bukan belenggu asmara? Ha ha ha...! Anak cantik! Tanpa kau katakan siapa orang yang kau pikirkan, air muka di balik penutup wajahmu mengatakan hal itu!"
"Kek! Kulihat matamu tidak bisa digunakan lagi. Bagaimana kau tahu aku mengenakan penutup wajah?!" tanya perempuan berpunuk heran.
"Tidak ada gunanya memberi keterangan yang tidak dapat dimengerti, Anak cantik! Dan satu hal lagi, bukankah ucapanku benar?!"
Perempuan berpunuk akhirnya hanya anggukkan kepala, seolah orang di depannya bisa melihat. Setelah agak lama terdiam, dia bertanya. "Kek. Kau sendiri hendak ke mana?!"
Gendeng Panuntun arahkan kepalanya kebentangan laut di depan sana. Lalu berkata. "Seandainya ada orang yang mau berbaik hati padaku, aku ingin menyeberang laut..."
Ucapan Gendeng Panuntun membuat perempuan berpunuk terkejut. Sepasang bola mata di balik cadar membesar. "Jangan-jangan orang tua ini punya tujuan yang sama dengan orang-orang yang telah terlebih dahulu menyeberang. Urusannya akan bertambah rumit. Kuyakin orang tua ini bukan orang sembarangan! Pendekar 131 akan makin dihadang kesulitan!"
Selagi perempuan berpunuk dlbuncah dengan perasaannya sendiri, Gendeng Panuntun berkata. "Anak cantik. Maukah kau berbaik hati menolongku?!"
"Maaf, Kek! Aku tak bisa menolong!"
"Ah... Sayang sekali kalau begitu! Terpaksa aku cari orang lain yang dapat membawaku menyeberang..." Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun beranjak hendak tinggalkan tempat itu.
“Tunggu!" Tiba-tiba perempuan berpunuk berseru menahan langkah Gendeng Panuntun. "Kalau kau bersusah payah hendak menyeberang laut, pasti ada sesuatu yang penting. Bisa katakan padaku, apa tujuanmu hendak menyeberang, Kek?!"
"Kau tak perlu bertanya jika mau menolongku!"
"Tapi setidaknya aku harus tahu terlebih dahulu apa tujuanmu!"
"Aku tidak bisa mengatakan padamu!"
"Jika begitu, aku pun tidak bisa membantumu!" jawab perempuan berpunuk.
Gendeng Panuntun pentangkan bola matanya yang putih. Lalu usap-usap cerminnya dan perlahan melangkah meninggalkan perempuan berpunuk yang memandang kepergiannya dengan dada disesaki beberapa pertanyaan dan dugaan.
"Belum kuketahui pasti tujuan kakek itu. Juga belum bisa kuraba dia punya niat jelek apa baik! Heem... Aku harus mendahului menyeberangi” Perempuan berpunuk arahkan pandangannya pada hamparan laut jauh di depannya. "Aku harus menyewa perahu..."
Perempuan berpunuk palingkan lagi ke arah mana si kakek bertubuh besar tadi melangkah. Dia terlengak sendiri, malah sepasang mata di balik cadarnya terpentang besar. Gendeng Panuntun ternyata telah lenyap! "Baru saja masih terlihat. Tapi tiba-tiba sudah lenyap. Kalau aku tidak segera menyeberang, tidak mustahil aku akan kedahuluan!" Perempuan berpunuk sekali lagi putar kepalanya. Kejap lain tubuhnya melesat dari selarimbun pohon bakau.
***
Perahu besar yang kain layarnya tampak dibiarkan berserakan di bagian belakang itu melaju perlahan menerjang gelombang besar dan tiupan angin. Mungkin karena tiupan angin sangat kencang, membuat laki-laki yang berdiri di bagian depan perahu hanya menggunakan dayung untuk kemudikan perahunya, sementara kain layarnya dibiarkan berserakan di bagian belakang perahu. Agak sedikit ke belakang laki-laki yang mendayung tampak duduk seorang perempuan berpunuk yang wajahnya ditutup kain cadar.
Sejauh Ini, laki-laki pemilik perahu yang mendayung di bagian depan tidak begitu banyak bicara, karena ketika dia berusaha buka mulut berkata, perempuan bercadar dan berpunuk yang menyewa perahunya seperti enggan untuk bercakap-cakap. Bahkan semua pertanyaan hanya dijawab pelan dan pendek-pendek, malah sesekali terdengar ketus, hingga akhirnya laki-laki pemilik perahu tidak lagi berani bicara.
"Tidak bisakah kau percepat sedikit perahumu ini?" Mendadak perempuan berpunuk berkata.
Laki-laki pemilik perahu tidak menjawab. Perempuan berpunuk ulangi tegurannya dengan suara agak keras, membuat laki-laki pemilik perahu berpaling. "Angin begini kencang. Tidak mungkin aku mempercepat laju perahu. Kita bisa celaka!"
Perempuan berpunuk menarik napas panjang dan dalam sambil perdengarkan keluhan perlahan. Kepalanya lurus menghadap satu gugusan pulau di tengah laut.
"Sebenarnya ada urusan apa sepertinya kau terburu-buru? Padahal selama aku melaut di sini, baru kali ini ada orang yang menyewa perahuku menuju pulau yang kau tunjuk itu. Dan menurut kabar, pulau itu adalah pulau kosong..."
"Jangan banyak bicara!" sahut perempuan berpunuk dengan suara masih agak keras.
Entah karena apa, kali ini laki-laki pemilik perahu tidak menghiraukan ucapan keras perempuan berpunuk. Malah setelah mendengar ucapan si perempuan, pemilik perahu tertawa dan berkata.
"Agaknya kau punya urusan sangat penting! Atau barangkali ada harta karun di pulau itu?!"
Perempuan berpunuk tidak menyahut. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang. "Bukan hanya harta karun, tapi juga sepenggal hati!"
Lakl-laki pemilik perahu kerutkan dahi. "Heran. Melihat tampangnya sepertinya dia seorang perempuan. Suaranya pun tadi kudengar jelas suara perempuan. Tapi mengapa barusan suara jawabannya seperti suara laki-laki? Jangan-jangan dia hantu..."
Wajahnya ditutup, lalu. Laki-laki pemilik perahu kuduknya merinding. Perlahan-lahan kepalanya bergerak hendak berpaling ke belakang. Kalau pemilik perahu merasa heran, perempuan berpunuk terlihat tersentak kaget, malah seketika bangkit dengan kepala menoleh ke belakang, dari mana suara jawaban tadi terdengar. Sepasang mata di balik cadarnya membelalak besar memperhatikan bagian belakang perahu. Namun dia tidak melihat siapa-siapa.
"Jelas telingaku menangkap suara! Dan sepertinya aku mengenali suara itu! Jangan-jangan dia! Tapi mana orangnya! Atau jangan-jangan telingaku yang menipu...?"
Laki-laki pemilik perahu makin heran tatkala dia lihat perempuan berpunuk berdiri tegak dengan memandang ke belakang. Belum hiiang rasa herannya, tiba-tiba kain layar di bagian belakang perahu bergerak-gerak!
Laki-laki pemilik perahu pentangkan sepasang matanya dengan lutut goyah, sementara perempuan berpunuk perhatikan gerakan-gerakan pada kain layar yang berserakan dengan sepasang mata di balik cadar terpentang besar. Dan perlahan-lahan dia segera kerahkan tenaga dalamnya pada kedua tangan.
Begitu kain layar terbuka, pemilik perahu tak bisa lagi menahan lututnya hingga meski kedua tangannya tetap memegang dayung, namun tubuhnya telah melorot jatuh. Sedangkan perempuan berpunuk mendengus keras namun tidak palingkan kepala.
Di hadapan perempuan berpunuk kini terlihat seorang laki-laki berusia lanjut bertubuh besar dengan sepasang mata putih mengenakan pakaian gombrong berwarna hijau dan bukan lain adalah Gendeng Panuntun!
"Bagaimana Orang tua ini tahu-tahu berada di situ? Urusan benar-benar makin sukar!" kata perempuan berpunuk dalam hati. Lalu berkata dengan suara keras.
"Orang tua! Kenapa kau lancang berani menumpang perahu sewaanku tanpa terlebih dahulu permisi?!"
Gendeng Panuntun pasang tampang terkejut. Namun tak lama kemudian tertawa bergelak sebelum akhirnya berkata. "Maaf. Aku tidak tahu kalau ini perahu sewaanmu. Aku hanya tahu jika perahu ini akan menyeberang. Lalu aku ikut..."
"Dusta jika orang ini tidak tahu! Hem... Aku harus tahu apa tujuan dia sebenarnya, kalau punya niat jelek, aku tak segan menurunkannya di tengah laut!" gumam perempuan berpunuk lalu melangkah satu tindak seraya berkata. "Kek! Aku tanya sekali lagi, jika kau masih tidak mau menjawab, terpaksa kau harus turun!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya ke samping kiri kanan. Lalu gelengkan kepala. "Ah, bagaimana ini? Sekarang pasti kita masih berada di tengah laut. Kalau sampai kau menurunkan aku..."
Bibir di balik cadar perempuan berpunuk menyeringai. "Itu urusanmu, Orang tua! Kau tinggal pilih, jawab pertanyaanku atau turun di sini!"
Mendengar percakapan antara perempuan berpunuk dan Gendeng Panuntun, pemilik perahu pulih kembali kesadarannya. "Untung. Kukira hantu laut!" gumamnya lalu dengan mata melirik, dia bergerak bangkit.
"Nada-nadanya mereka tidak bersahabat! Kalau sampai terjadi perkelahian, bukan saja perahuku yang akan rusak, namun nyawaku tidak akan selamat! Aku harus cepat-cepat sampai ke pulau yang ditunjuk perempuan itu!"
Serentak laki-laki pemilik perahu mendayung dengan sekuat tenaga, hingga perahu itu meluncur dengan cepat.
"Hei! Pelankan perahumu!" Mendadak perempuan berpunuk berteriak.
"Bukankah kau tadi menginginkan cepat sampai ke pulau itu?!" kata pemilik perahu tanpa mengacuhkan teriakan perempuan berpunuk. Malah dia makin kuatkan dayungannya, hingga perahu itu lebih cepat lagi menerjang gelombang ombak.
"Keparat!" maki perempuan berpunuk hilang kesabaran. "Kalau kau tak memperlambat perahumu, jangan menyesal jika kau pulang tanpa perahu!"
Mendengar ancaman orang, pemilik perahu tampak takut. Dan perlahan-lahan memperlambat dayungannya. Namun sesekali kepalanya tampak berpaling ke belakang.
"Kek! Kau mau Jawab atau turun di sini!" Perempuan berpunuk kembali ulangi pertanyaan tatkala Gendeng Pantuntun belum juga memberi jawaban.
"Eh. Yang kau tanyakan apa. Anak cantik?!"
Meski tambah jengkel dengan perkataan Gendeng Panuntun, akhirnya perempuan berpunuk menyahut juga. "Aku tanya, apa tujuanmu ke pulau itu!" "Hemm... Sebenarnya aku enggan menjawab. Tapi daripada tenggelam di dalam laut, apa boleh buat..." ujar Gendeng Panuntun pelan. Namun dia masih juga belum menjawab, sebaliknya arahkan kepalanya menghadap perempuan berpunuk dengan mata mengerjap.
"Orang tua! Jangan mengulur waktu! Jangan pikir aku tak sanggup melempar tubuhmu yang besar masuk ke dalam laut!"
"Baik. Baiklah... Sebenarnya aku telah katakan tujuanku. Namun tak apalah jika kau minta untuk mengatakannya kembali. Seperti kataku tadi, di sana ada harta karun juga sepenggal hati. Nah, selain ingin mendapatkan harta karun itu, aku juga ingin selamatkan penggalan hati itu!"
Perempuan berpunuk tengadahkan kepala. "Hm... jangan-jangan yang dikatakan harta karun itu adalah kitab yang kini sedang diributkan banyak tokoh yang menuju Pulau Biru. Dan hm... Yang dimaksud penggalan hati mungkin Pendekar 131..." Duga perempuan berpunuk, lalu luruskan kepalanya.
"Orang tua! Kau menginginkan kitab itu?!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya. "Anak cantik. Rezeki manusia telah ditetapkan. Dan kurasa kitab itu bukan rezekiku! Hanya mungkin aku kebagian untuk ikut menyelamatkannya..."
"Kalau kau hanya kebagian untuk menyelamatkannya, siapa gerangan yang kelak memiliki kitab itu?!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak. Lalu gelengkan kepala sambil berujar. "Tanda-tanda sang pewaris adalah seorang yang memiliki pedang mustika yang dikenal dengan Pedang Tumpul 131!"
"Pendekar Pedang Tumpul 131!" tanpa sadar perempuan berpunuk bergumam.
Kembali Gendeng Panuntun tertawa. "Kau telah mengenalnya?"
Perempuan berpunuk tersentak. Namun untuk beberapa lama dia tak menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Orang tua bermata buta ini mendongak, lalu berujar. "Sudahlah, Anak cantik! Buanglah segala duga dan prasangka. Kita harus cepat sampai di pulau itu! Aku punya firasat akan terjadi sesuatu! Jika kita terlambat sampai, aku khawatir kau akan menyesal!"
"Aku?" tanya perempuan berpunuk.
"Ah, kau masih juga berpura-pura! Bukankah tujuanmu ke pulau itu karena mengkhawatirkan pemuda sedeng itu?!"
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk tampak berubah, dan seolah tak mau orang mengetahui, dia segera palingkan kepalanya ke jurusan lain. Diam-diam dia berpikir. "Orang tua ini tahu banyak tentang diriku! Dia juga punya firasat akan terjadi sesuatu di sana!"
Perempuan berpunuk arahkan kepalanya pada laki-laki pemilik perahu. Lalu berseru. "Hai! Percepat laju perahumu!"
Lakl-laki pemilik perahu berpaling. Meski bibirnya tersenyum namun air mukanya jelas membayangkan tidak senang. "Dasar perempuan cerewet! Kalau perahu diperlambat minta dipercepat. Kalau dituruti dipercepat, dia minta diperlambat! Huh... Dia pasti seorang nenek-nenek! Hanya karena buta saja orang yang menumpang tanpa permisi itu memanggilnya Anak cantik! Dasar orang buta... Nenek-nenek pun dikiranya gadis cantik! Kalau orang cantik betulan, apa nanti dia bilang?" Pemilik perahu menahan tawa sendiri. Lalu gerakkan kedua tangannya lebih cepat, hingga perahu berpenumpang tiga orang itu meluncur deras ke depan.
****
DUA
DI SEBUAH kanal tidak jauh dari pesisir Laut Selatan, tampak sebuah kereta yang di bagian belakangnya terdapat peti berwarna putih mengkilat terlindung rangasan semak belukar yang ada di kanan kiri kanal. Duduk di atas bangku kusir dua orang gadis berparas cantik. Sebelah kanan yang memegang tali kekang kuda adalah gadis berjubah kuning, sedangkan di sebelahnya adalah gadis berjubah biru.
Untuk beberapa lama kedua gadis yang bukan lain adalah Wulandari dan Ayu Laksmi murid-murid Dewi Siluman tidak ada yang buka mulut bicara. Namun mata mereka tak henti-hentinya memandang liar ke samping kiri kanan.
"Wulandari...!" Mendadak gadis berjubah biru buka mulut. "Apakah kita akan terus menunggu?!"
Si jubah kuning Wulandari berpaling. "Itu perintah Guru! Kita tidak bisa berbuat apa! Hanya yang kuherankan, kemana gerangan Sitoresmi? Kulihat banyak perubahan pada anak itu!"
Si jubah biru Ayu Laksmi menghela napas dalam. "Sejak semula aku telah menangkap keanehan padanya! Kalau dia menurut apa yang dikatakan Guru, pasti dia sudah muncul saat kau memberi isyarat tempo hari! Aku yakin dia menempuh perjalanan di luar perintah Guru!"
“Tapi apa maksudnya?" tanya Wulandari.
"Kita memang sudah bertahun-tahun bersatu, tapi itu tidak menjamin bahwa di antara kita tahu apa yang tersimpan di dalam hati! Hem... Jangan-jangan Sitoresmi mendapat halangan!"
Wulandari tertawa pelan mendengar ucapan Ayu Laksmi. "Itu tidak mungkin. Dia tentu tahu apa yang harus dilakukan jika mendapat halangan! Sepertimu, aku juga menduga Sitoresmi menempuh jalan di luar perintah Guru! Anak tolol itu benar-benar cari perkara!"
"Lalu apakah kita harus terus menunggunya? Sementara kita yakin Sitoresmi mencari jalan lain dan kecil kemungkinan sampai sini?!"
"Kalau tidak menunggu, kita akan ke mana? Guru dan Ki Buyut kulihat mengikuti pemuda yang mengaku Malaikat Penggali Kubur entah ke mana!"
"Tapi sampai kapan kita menunggu?!" ujar Ayu Laksmi dengan kepala sedikit berpaling ke kiri dan mata liar memperhatikan semak belukar.
Wulandari tidak menjawab. Ayu Laksmi teruskan ucapannya. "Meski aku tidak jelas benar, namun aku masih dapat menentukan arah yang diambil Guru dan Kl Buyut. Apa tidak sebaiknya kita mengikuti jejak mereka menuju arah selatan?"
"Itu hanya akan menambah urusan! Bukankah perintah Guru kita hanya sampai di sini?"
"Keadaan tampaknya telah berubah. Banyak orang berkepandaian tinggi muncul. Malah kalau Guru dan Ki Buyut tidak datang tempo hari, mungkin nyawa kita sudah putus. Kita harus mencari jejak Guru. Itu satu-satunya jalan untuk selamatkan diri!"
"Kau takut?!" tanya Wulandari dengan tertawa.
"Kita telah berikrar untuk menjalankan tugas Guru meski harus berkorban nyawa, jadi mati bukanlah hal yang kutakutkan. Tapi kita tentu tidak ingin mati sia-sia bukan?!"
Wulandari terdiam mendengar kata-kata Ayu Laksmi. Setelah berpikir sejenak dia bergumam. "Lalu apa yang harus kita perbuat?!"
"Kita ikuti jejak Guru dan Kl Buyut ke arah selatan! Guru pasti mau mengerti alasan kita! Sitoresmi juga tidak mungkin lagi muncul di sini!"
"Hem... Baiklah. Kita menuju arah selatan! Namun jika kita gagal menemukan Guru dan Ki Buyut, kita kembali ke sini"
Ayu Laksmi anggukkan kepala. Dan tak menunggu lama, Wuiandari tarik tangannya yang memegang tali kekang kuda kereta. Namun gerakan tangan gadis berjubah kuning ini tertahan. Dia cepat palingkan kepala ke arah kanan, demikian pula Ayu Laksmi. Karena kedua gadis Ini mendengar suara orang tertawa cekikikan dltingkah dengan suara gumaman orang tak jelas.
Pada saat bersamaan, semak belukar d! sebelah kanan enam tombak dari tempat kedua gadis ini tampak bergerak-gerak. Namun begitu, kedua gadis murid Dewi Siluman ini tidak dapat memastikan siapa adanya orang. Yang tampak hanyalah bayangan kelebatan beberapa orang. Lalu pada akhirnya mereka berdua merasakan hawa dingin luar biasa!
Sampai bayangan beberapa orang, itu lenyap dan hawa dingin sirna, Wulandari dan Ayu Laksmi tetap tidak ada yang buka mulut apalagi membuat gerakan. Dada masing-masing gadis ini sama dibuncah perasaan masing-masing. Namun tidak lama kemudian Wulandari memecah keheningan dengan perdengarkan ucapan.
"Siapa pun adanya mereka, pasti mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi! Mereka juga menuju arah selatan. Apakah kita akan teruskan rencana?!"
"Kalau mereka orang-orang berkepandaian tinggi, dan arah mereka ke selatan, di sana pasti ada sesuatu! Kita ikuti mereka!" kata Ayu Laksmi, lalu tarik tangan Wulandari yang memegang tali kekang, hingga kuda penghela kereta itu melonjak kaget, namun bersamaan dengan itu sang binatang angkat kaki depannya sambil keluarkan ringkihan keras. Lalu menghambur kencang menuju arah selatan.
***
Rimbun pohon bakau di pesisir Laut Selatan terlihat bergerak-gerak, namun bukan karena deruan angin pantai, karena gerakan-gerakan itu hanya sebentar. Kejap lain telah diam kembali. Dan bersamaan dengan itu tampak empat sosok tubuh berdiri tegak dengan berjajar satu sama lain.
Orang paling kiri adalah seorang kakek mengenakan jubah putih kusam. Rambutnya panjang putih, demikian juga jenggot dan kumisnya. Di sebelah kakek itu tegak seorang nenek mengenakan jubah merah menyala. Wajahnya keriput, sepasang kelopak matanya besar namun bola mata di dalamnya amat sipit. Rambutnya telah putih dan hanya sebatas tengkuk. Seraya tegak memandang ke hamparan laut di depan sana, nenek ini mulutnya komat-kamit mainkan gumpalan tembakau hitam!
Di sebelah nenek ini tegak seorang kakek berusia kira-kira tujuh puluh tahun. Rambut putih panjang. Raut wajahnya tirus lonjong. Seraya tegak, kakek ini gerak-gerakkan kepalanya, anehnya bersamaan dengan itu kedua bahu kiri kanannya ikut bergerak-gerak, karena ternyata kakek ini tidak punya leher! Lebih dari Itu, kakek ini terus membuka mulutnya lebar-lebar seakan memperlihatkan mulutnya yang tidak bergigi!
Sedangkan orang paling kanan adalah seorang perempuan mengenakan jubah putih besar. Raut wajah perempuan ini hanya tampak samar-samar, karena dari atas kepalanya terlihat curahan air. Anehnya, pakaian, rambut serta tubuhnya tidak basah! Bahkan tempat di sekitar perempuan ini mendadak berubah menjadi luar biasa dingin.
"Eh. Kenapa kita hanya diam? Bukankah jika kita terlambat sampai, urusan jadi berantakan tak karuan?!" Tiba-tiba nenek berjubah merah menyala yang mulutnya selalu mainkan gumpalan tembakau hitam dan bukan lain adalah Ratu Malam angkat bicara.
"Betul! Kita harus bergerak cepat agar urusan tidak jadi tersendat. Bukankah tempat Itu gugusan pulau di seberang laut itu?!" kata kakek yang kepalanya selalu bergerak-gerak dan mulutnya terus menerus terbuka dan bukan lain adalah dedengkot rimba persilatan Iblis Ompong seraya berpaling pada perempuan paling kanan yang tubuhnya selalu dicurahi air.
Perempuan paling kanan yang bukan lain adalah Dewi Es anggukkan kepalanya. "Meski aku belum pernah ke sana, namun menurut penggalan peta yang ada di tanganku, pulau itulah yang harus kita tuju!"
"Hem... Jika demikian, kita segera berangkat!" sahut kakek paling kiri dan bukan lain adalah Dewa Sukma.
"Tapi bagaimana dengan kakek gembrot Itu?!" tanya Ratu Malam.
"Untuk apa kita pikiri orang gendeng tak punya juntrungan itu! Kita sudah dibikin capek mencarinya. Jika kita perturutkan dia, urusan Ini tidak akan selesai! Dan itu berarti rimba persilatan akan kiamat!" kata iblis Ompong lalu buka mulutnya lebar-lebar.
"Benar ucapan Lantika! Kalau kita menunggu Gendeng Panuntun yang masih tak tentu rimbanya, urusan akan tambah tak tentu juntrungan!" sahut Dewa Sukma dengan sebut nama asli iblis Ompong.
"Aku tahu siapa Gendeng Panuntun. Dia pasti tidak akan tinggal diam dengan keadaan begini. Aku punya firasat dia telah melakukan sesuatu! Dan sebaiknya kita segera berangkat!" ujar Dewi Es. Lalu tanpa berkata-kata lagi, perempuan yang tubuhnya laksana diguyur hujan rintik-rintik ini berkelebat ke arah laut.
"Apa yang hendak dilakukan Anak es itu?" tanya Ratu Malam.
"Kita lihat saja! Karena tidak mungkin kita berenang menyeberang laut" jawab Dewa Sukma seraya perhatikan Dewi Es.
Di depan sana, Dewi Es terus berkelebat. Saat sepasang kakinya mulai menginjak air laut, tiba-tiba perempuan Ini membuat gerakan melayang satu tombak di atas air laut sambil terus berkelebat. Kira-kira dua tombak dia melayang turun ke dalam air. Lalu balikkan tubuh dan berlari balik dengan kedua tangan dimasukkan ke air seolah membentuk jalur panjang.
Ketika kakinya kembali menginjak pasir pantai, dia melambai ke arah tiga orang berpandangan. Namun di lain kejap ketiganya telah berkelebat ke arah Dewi Es. Saat mereka sampai di samping Dewi Es, iblis Ompong terlihat tengadah sambil buka mulut lebar-lebar. Ratu Malam percepat komat-kamitkan mulutnya sementara Dewa Sukma hanya memandang ke arah mana tadi Dewi Es mencebur.
"Untuk mencegah hal yang tidak kita inginkan, terpaksa kita menumpang itu!" kata Dewi Es sambil menunjuk ke arah mana dia tadi mencebur. Ternyata di situ terlihat batangan air beku sepanjang dua tombak dengan tebal tiga jengkal! Anehnya batangan air beku Itu tampak tidak hanyut ikut tergulung gelombang!
"Apa boleh buat. Apa yang ada dan bisa digunakan itulah yang harus kita pakai!" ujar Dewa Sukma lalu berkelebat dan tahu-tahu sosoknya telah duduk dengan kaki menggapit di ujung batangan air beku.
"Sebenarnya aku sayang jika jubahku terkena air. Tapi apa hendak dikata, tak ada perahu, batangan es pun jadilah!" gumam Ratu Malam lalu berkelebat.
"Dasar perempuan! Sudah dibuatkan tumpangan masih juga menggerutu tidak karuan!" omel Iblis Ompong lalu Ikut berkelebat. Dewi Es pun segera Ikut meloncat.
Tak berselang lama, di tengah gelombang laut tampak melaju deras batangan es yang sesekali terayun-ayun dan sesekali lenyap terhalang di baiik gelombang. Di atasnya terlihat Dewa Sukma duduk paling depan dengan menggapitkan kedua kakinya, sementara kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Dibelakangnya tampak Ratu Malam berdiri tegak dengan kedua tangan kacak pinggang dan mulut mainkan gumpalan tembakau. Di belakang Ratu Malam, tegak memunggungi Iblis Ompong dengan kedua tangan merangkap ke perut. Sementara kepalanya mendongak dengan mulut terbuka lebar. Di hadapan Iblis Ompong terlihat Dewi Es duduk bersila dengan mata terpejam!
Seperti dituturkan sebelumnya, setelah Ratu Malam bertemu dengan kakak seperguruannya Dewa Sukma dan mendengar bahwa penggalan peta serta peta asli sempurna telah berhasil dibawa kabur orang, kedua orang Ini bersepakat untuk mengadakan perjalanan.
Dewa Sukma mencari tiga adik seperguruannya yang lain yakni Gendeng Panuntun, Iblis Ompong, dan Dewi Es, sementara Ratu Malam menyusuri jalan arah mana kira-kira yang diambil oleh Pendekar Pedang Tumpul 131. Mereka memutuskan setengah purnama depan bertemu lagi.
Namun sebelum hari yang ditentukan, Dewa Sukma telah berhasil menemui Iblis Ompong dan Dewi Es. Dan karena setelah mencari Gendeng Panuntun ke sana kemari tidak juga ketemu, akhirnya ketiga orang ini menemui Ratu Malam. Keempatnya lalu mengadakan perjalanan menuju Pulau Biru. Karena Dewi Es adalah pemegang penggalan peta yang terakhir, maka dialah sebagai petunjuk jalan.
***
Baru saja keempat saudara seperguruan itu bergerak menyeberang dengan menggunakan batangan es yang dibuat Dewi Es, di pesisir pantai terdengar gemeretak roda kereta ditingkahi derap ladam kaki kuda. Lalu muncullah sebuah kereta yang dikusiri dua orang gadis dan bukan lain adalah Wulandari dan Ayu Laksmi.
Di kerapatan pohon bakau, mereka hentikan kereta, lalu laksana kilat, mereka berkelebat dan mendekam di balik pohon bakau dengan kepala yang masih tegak menunggu. Dewa Sukma, Iblis Ompong dan Ratu Malam sejenak saling berputar dan mata mengedar tajam mengawasi sela-sela pohon bakau.
"Aku tak menangkap adanya orang!" bisik Wulandari setelah agak lama di situ tidak juga melihat siapa-siapa.
Ayu Laksmi hanya mengangguk tanpa keluarkan ucapan. Saat itulah tiba-tiba Ayu Laksmi berseru setengah berteriak seraya tunjukkan jarinya lurus ke tengah laut. "Lihat!"
Wulandari memandang ke arah yang ditunjuk Ayu Laksmi. "Jangan-jangan mereka adalah orang yang kita ikuti! Hem... Sepertinya mereka menuju pulau itu! Siapa mereka...?!"
"Siapa mereka bukanlah hal penting yang harus kita ketahui. Yang jelas, kalau Guru dan Ki Buyut serta pemuda jahanam Malaikat Penggali Kubur juga menuju arah selatan pasti mereka juga ke pulau itu! Dan aku menduga pulau itu mungkin Pulau Biru! Pulau yang dikabarkan menyimpan Kitab Serat Biru!" ujar Ayu Laksmi sambil tak berkesip memandang ke arah tengah laut di mana terlihat empat orang sedang melaju deras membelah gelombang ombak.
"Sebaiknya kita juga menyeberang mengikuti mereka!" kata Wulandari.
"Tapi kita membutuhkan perahu! Karena tidak mungkin kita berbuat seperti orang-orang itu!"
"Kita sewa perahu! Dan kereta itu sekalian kita bawa! Siapa tahu Guru dan Ki Buyut memerlukannya!" kata Wulandari sambil berpaling ke kiri. Jauh di sana tampak beberapa perahu nelayan sedang bersandar ke tepi.
"Kita harus sewa perahu yang agak besar, agar kereta itu bisa masuk!" Ayu Laksmi berkata sambil ikut berpaling ke kiri. "Tapi bagaimana kalau nelayan Itu tidak ada yang mau mengantarkan kita?!"
Wulandari menyeringai sambil tertawa pendek. "Mereka cari mampus jika tidak mau mengantar kita!”
Habis berkata begitu, Wulandari berkelebat. Selang kemudian dia telah duduk di atas bangku kusir dan melaju ke arah kiri di mana tampak beberapa nelayan. Ayu Laksmi segera berkelebat lalu duduk di samping Wulandari.
***
TIGA
KITA tinggalkan dulu orang-orang yang sedang menyeberang menuju Pulau Biru. Kita kembali ke Pulau Biru. Seperti dituturkan dalam episode Kitab Serat Biru, begitu Pendekar 131 berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru serta butiran merah dari Ki Ageng Mangir Jayalaya, mendadak tempat ruangan di mana Joko dan Ki Ageng Mangir berada bergetar, pertanda ada orang yang muncul di pulau itu.
Karena khawatir terjadi sesuatu pada Kl Ageng Mangir Jayalaya, murid Pendeta Sinting segera berkelebat keluar ruangan melalui lobang dari mana dia masuk. Namun baru saja sepasang kakinya menginjak dataran pulau di atasnya, telah tegak menghadang Malaikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur merasa curiga pada Pendekar 131 yang saat itu mengaku sebagai Pangeran Mendut-Mendut.
Tapi sebelum tangannya sempat bergerak hendak memukul, mendadak muncul Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam yang secara diam-diam menguntit Malaikat Penggali Kubur. Ki Buyut menawarkan pada Malaikat Penggali Kubur untuk menggempur Pendekar 131 bersama-sama, namun karena merasa punya ilmu, Malaikat Penggali Kubur menolak. Apalagi setelah mengetahui bahwa pemuda di hadapannya adalah Pendekar Pedang Tumpul 131.
Mungkin karena baru saja terjun dalam kancah rimba persilatan ditambah dengan sifatnya yang tinggi hati, Malaikat Penggali Kubur hanya memandang sebelah mata pada murid Pendeta Sinting. Malah ketika Malaikat Penggali Kubur mulai lakukan serangan dengan tangan kosong, dia hanya kerahkan sedikit tenaga dalamnya dan langsung menghantam ke arah batok kepala Pendekar 131! Murid Pendeta Sinting tidak mau bertindak ayal. Begitu kedua tangan Malaikat Penggali Kubur berkelebat menghantam kepalanya, dia angkat pula kedua tangannya.
"Desss! Desss!" Dua pasang tangan beradu keras.
Malaikat Penggali Kubur tersentak kaget dan surutkan langkah dua tindak. Air mukanya tampak berubah dengan sepasang mata terpentang besar perhatikan pada pemuda dihadapannya. Meski tangannya tidak mengalami cedera, namun dari benturan tangan barusan dia mulai sadar jika lawannya memiliki tenaga dalam tinggi. Namun pemuda murid Bayu Bajra ini tidak mau dipermalukan, apalagi di situ tegak memperhatikan Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
Dia segera tersenyum menyeringai, lalu melompat ke depan. Kaki kanannya mencuat lepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan kirinya berkelebat menghantam ke arah perut. Dua deruan keras terdengar dan melesat mendahului berkelebatnya tangan dan mencuatnya kaki yang menendang, pertanda serangan Malaikat Penggali Kubur tidak lagi main-main.
Murid Pendeta Sinting jerengkan sepasang matanya sejurus. Lalu melompat ke udara menghindar. Setelah tendangan dan hantaman tangan dapat dielakkan, dia melayang turun. Namun Malaikat Penggali Kubur yang mulai panas merasa dipermainkan segera mengejar. Hingga belum sempat sepasang kaki Pendekar 131 menjejak tanah berpasir biru, kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah kembali melesat lepaskan satu pukulan sekaligus!
"Brakkk!" Batu padas berwarna biru yang ada di samping Joko hancur berantakan terkena hantaman tangan kiri Malaikat Penggali Kubur.
Joko memang berhasil mengelak dari tangan kiri Malaikat Penggali Kubur, namun tangan kanannya tidak bisa lagi dielakkan, hingga mau tak mau dia harus menangkis dengan angkat tangannya. Melihat lawan angkat tangannya, Malaikat Penggali Kubur cepat tarik pulang tangan kanannya, lalu berballk sambil melompat tiga langkah ke belakang. Sekonyong-konyong tubuhnya berputar lalu serta-merta kedua tangannya yang mengepal telah bergerak memukul!
"Wuuttt! Wuuutttt!" Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur. Di lain kejap terdengar deruan hebat, lalu menggebrak gelombang angin luar biasa dahsyat! Pertanda jika Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan pukulan sakti 'Telaga Surya'! Bukan hanya sampai di situ, begitu lepas kan pukulan 'Telaga Surya', pemuda murid Bayu Bajra Ini segera berkelebat ke depan dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi dan siap lepaskan pukulan lagi dari jarak dekat!
Melihat ganasnya pukulan, murid Pendeta Sinting tidak lagi main-main. Dia segera kerahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu kedua tangannya disentakkan ke depan. Dari kedua tangan Joko tampak muncrat butiran air. Pada saat bersamaan suasana di tempat itu berubah menjadi luar biasa dingin. Lalu menghampar gelombang angin keras laksana gelombang badai, inilah pukulan yang telah diwarisi dari Dewi Es, yakni pukulan sakti 'Sukma Es'!
Namun pada saat itu murid Pendeta Sinting merasa keget. Karena begitu dia kerahkan tenaga dalam pada lengannya, terasa ada satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari sekujur tubuhnya. Malah ketika kedua tangannya lepaskan pukulan 'Sukma Es', satu kekuatan menggebrak terlebih dahulu dan menindih gelombang angin pukulan 'Telaga Surya' milik Malaikat Penggali Kubur, hingga pukulan sakti 'Sukma Es' melesat tanpa halangan ke arah murid Bayu Bajra!
"Aneh... Ada kekuatan lain dalam diriku! Apakah memang ini pukulan 'Sukma Es'? Atau jangan-jangan butiran merah yang baru kutelan..." bisik Joko dalam hati.
Di depannya, Malaikat Penggali Kubur tegak di atas tanah berpasir dengan sepasang mata terpentang besar. Dia seakan tidak percaya melihat pukulan yang baru dilepas begitu mudah bertabur lenyap di udara! Perlahan-lahan dadanya dirasuki perasaan kecut. Diam-diam pula ia membatin.
"Jangan-jangan manusia ini yang dikatakan orang tua yang mengaku sebagal Gendeng Panuntun! Dia berhasil menindih lenyap pukulanku, berarti dialah yang bakal mewarisi Kitab Serat Biru! Sialan betul! Bagaimanapun caranya aku harus dapat merobohkannya! Peduli setan dengan ucapan orang! Tapi..."
Malaikat Penggali Kubur tidak bisa lanjutkan kata hatinya, karena saat itu gelombang pukulan 'Sukma Es' yang menghamparkan hawa luar biasa dingin telah menggebrak! Seraya mendengus keras, Malaikat Penggali Kubur kembali angkat kedua tangannya. Lalu dipukulkan ke depan lepaskan kembali pukulan 'Telaga Surya'.
"Buummmm!" Pulau bergugusan batu padas dan pasir berwarna biru itu bergetar. Batu padas tampak pecah berantakan dan bertabur ke udara disusul dengan menghamburnya pasir.
Malaikat Penggali Kubur tampak terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mulut keluarkan darah. Wajahnya pucat pasi laksana tidak berdarah. Kedua tangan dan sosoknya bergetar! Namun mungkin karena tidak mau merasa malu, pemuda murid Bayu Bajra ini cepat kerahkan tenaga dalam lalu bergerak bangkit. Walau masih terhuyung namun sejenak kemudian telah tegak dengan sepasang kaki terpacak di atas pasir!
Di seberang, murid Pendeta Sinting terlihat surutkan langkah satu tindak. Dia meringis sebentar namun sesaat kemudian tersenyum-senyum. Jauh di samping kedua pemuda ini, Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam tampak perhatikan dengan mata masing-masing tak berkesip.
"Pemuda berjubah putih jelas lepaskan pukulan 'Telaga Surya' milik Bayu Bajra. Kuduga dia murid tokoh itu. Sedang pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 sepertinya lepaskan pukulan 'Sukma Es'. Jangan-jangan dia masih ada hubungan dengan perempuan bergelar Dewi Es! Hemm... Pantas dia bisa sampai di tempat ini!" gumam Kl Buyut Pagar Alam tanpa menoleh pada Dewi Siluman.
"Maksudmu karena Dewi Es masih saudara seperguruan Dewa Sukma hingga dia mengetahui pulau ini?!" sahut Dewi Siluman.
"Benar! Hanya yang kuherankan sepertinya pemuda itu memiliki tenaga luar biasa! Kau lihat tadi, sebelum pukulan 'Sukma Es' lepas, satu kekuatan aneh telah menghantam habis pukulan 'Telaga Surya"! Selama malang melintang, baru kali ini aku melihatnya!"
Dewi Siluman mendengus. "Tapi itu belum berarti dia dapat menghantam habis 'Kabut Neraka' dan 'Sinar Setan'-ku!"
Percakapan kedua orang ini terputus tatkala tiba-tiba di depan sana Malaikat Penggali Kubur telah angkat kedua tangannya yang mengepal. Sosoknya terlihat bergetar dan peluh membasahi tubuhnya, pertanda dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sambil membentak keras, serentak Malaikat Penggali Kubur melesat ke depan. Setengah jalan di udara kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan!
Entah karena masih tak percaya dengan adanya kekuatan lain dalam tubuhnya, Pendekar 131 cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya siap lepaskan pukulan 'Sukma Es'. Benar saja baru tenaga dalamnya mengalir pada lengan, ada kekuatan lain yang mendahului tenaga dalamnya. Hingga tatkala kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan untuk menangkis pukulan lawan, satu kekuatan telah mendahului melesat!
Malaikat Penggali Kubur hampir putus nyalinya tatkala melihat bagaimana pukulan 'Telaga Surya' yang dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam penuh kini ambyar bertabur di udara! Malah kini sosoknya laksana disapu gelombang besar, hingga langkahnya tersurut dua tindak. Saat itulah pukulan 'Sukma Es' datang melanggar!
Meski hampir tidak percaya pukulannya akan mampu membendung pukulan yang kini menggebrak ke arahnya karena dilepas dengan sisa tenaga dalam, Malaikat Penggali Kubur angkat juga kedua tangannya untuk menangkis. Namun belum sempat kedua tangannya bergerak, tiba-tiba dari arah samping satu bayangan berkelebat disusul dengan menghamparnya kabut hitam. Bukan saja mampu selamatkan Malaikat Penggali Kubur namun juga menimbulkan satu ledakan keras tatkala kabut hitam Itu menghantam pukulan 'Sukma Es'.
Malaikat Penggali Kubur terpental satu tombak ke belakang. Namun kali ini masih dapat kuasai tubuh, hingga meski mental dia tidak sampai jatuh. Memandang ke depan, dia melihat seorang kakek berjubah hitam yang tegak dengan tengadah dan kedua tangan masuk ke dalam saku jubahnya dan bukan lain adalah Ki Buyut Pagar Alam!
"Orang tua! Terima kasih kau telah menolongku!" seru Malaikat Penggali Kubur dengan suara agak bergetar dan muka merah padam, karena dia menyadari ucapan Ki Buyut benar adanya.
Ki Buyut Pagar Alam palingkan kepala dengan tersenyum dingin. Sepasang matanya sejenak perhatikan sosok Malaikat Penggali Kubur. Lalu dia berkata. "Simpan dulu ucapan terima kasihmu, Anak muda. Dan jangan berani bergerak dari tempatmu kalau ingin nyawamu masih tetap bersemayam di tubuh!"
"Kek! Apa maksudmu?!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan perasaan makin tidak enak, karena ucapan si kakek nadanya mengancam.
"Aku hanya menunda lepasnya nyawamu. Satelah pemuda itu kuurus, kau dapat giliran! Bukankah di antara kita masih ada urusan yang belum selesa!?!" Habis berucap bagitu, Ki Buyut Pagar Alam arahkan pandangannya pada Joko Sableng.
"Pendekar 131! Aku akan mengampuni nyawamu jika kau serahkan Kitab Serat Biru padaku!"
Murid Pendeta Sinting tegak dengan mata membeliak dan wajah berubah. Dia heran dari mana kakek itu tahu jika dirinya telah mendapatkan Kitab Serat Biru. Dia segera angkat kedua tangannya bersedekap di depan dada. Dia seolah ingin memastikan bahwa Kitab Serat Biru masih berada di balik pakaiannya.
"Orang tua!" kata Joko. "Harap jangan bicara ngaco tak karuan. Siapa punya Kitab Serat Biru?!"
Ki Buyut Pagar Alam tertawa panjang. "Tidak ada gunanya bersilat lidah, Anak muda! Perubahan wajah telah memberitahukan semuanya! Lekas serahkan padaku atau kau ingin mati muda!"
Murid Pendeta Sinting tersenyum. "Kek! Ini tawaran atau ancaman?!"
Ki Buyut tidak buka mulut menyahut. Namun sepasang matanya berkilat memandang tak berkesip. Pendekar 131 melangkah dua tindak lalu menyambung ucapannya. "Sayang, aku tidak memilih satu dari kedua hal yang kau katakan! Aku tidak memiliki kitab yang kau pinta, juga aku tidak ingin mati muda! Malah kalau boleh aku ingin berkenalan dengan gadismu itu! Meski wajahnya tak mau dikenali, eku yakin dia tentu seorang gadis berwajah cantik! Bagaimana?!"
Ki Buyut Pagar Alam masih juga tidak menjawab. Sementara di seberang samping sana wajah di balik cadar milik Dewi Siluman terlihat berubah. Diam-diam Dewi Siluman membatin.
"Pemuda edan! Dalam keadaan begini masih sempatnya bercanda! Hem... Wajahnya mengingatkan aku pada seseorang! Ah...!"
"Kek! Tampaknya kau meragukan aku! Ha ha ha...! Jangan khawatir. Aku pemuda baik-baik! Gadismu pasti akan..."
"Tutup bacotmu!" teriak Ki Buyut marah. "Kau tidak mau serahkan kitab itu, mungkin kau ingin aku mengambilnya sendiri!" Habis berkata begitu, kedua tangan si kakek dikeluarkan dari saku jubahnya. "Kuperlngatkan sekali lagi! Kau..."
Belum habis ucapan Ki Buyut, kali ini murid Pendeta Sinting telah ganti menukas. "Bolehkan aku berkenalan dengan gadismu?!"
Kesabaran Ki Buyut Pagar Alam habis. Seraya menggeram keras, kakek ini berkelebat ke depan. Jubah hitamnya dikibaskan ke depan sementara kedua tangannya bergerak menghantam.
"Beettt!" Terdengar suara jubah menderu angker keluarkan gelombang angin keras.
Pendekar 131 miringkan kepala untuk menghindar. Saat itulah dengan kecepatan luar biasa, sosok Ki Buyut telah menggebrak di depannya dengan kedua tangan lepaskan jotosan. Begitu cepatnya gerakan si kakek hingga tak sempat lagi murid Pendeta Sinting ini untuk angkat kedua tangannya. Terpaksa dia selamatkan diri dengan gerakkan tubuhnya ke samping kiri. Tangan kanan si kakek memang berhasil dielakkan, namun tangan kiri si kakek terus menyambar ke arah mana Pendekar 131 bergerak.
"Bukkk!" Joko berseru. Sosoknya mental ke samping saat tangan kanan KI Buyut Pagar Alam menghantam bahu kanannya. Namun anehnya Pendekar 131 hanya sejenak merasakan sakit, kejap kemudian d!a tidak merasakan apa-apa lag! Hal Ini terjadi karena sebelumnya murid Pendeta Sinting Ini telah kerahkan tenaga dalamnya ke arah dada. Dia ingin buktikan ucapan Dewi Es tentang pukulan 'Sukma Es' jika disalurkan ke dada.
Di depan Joko, Ki Buyut tampak terbelalak dengan tak berkesip. "Setan kecil ini benar-benar tak bisa dibuat sembarangan. Pukulan tangan kiriku yang mampu memporak porandakan batu besar sepertinya tidak dirasa!"
Bukan hanya Ki Buyut yang terkejut. Dewi Siluman diam-diam juga merasa tersentak dengan sepasang mata mendelik besar. "Ilmu apa yang dimiliki pemuda itu? Pukulan Ki Buyut bukan pukulan sembarangan, tapi tidak mampu membuatnya roboh muntah darah! Hem... Seandainya saja... Ah, kenapa aku berpikir ke sana? Sialan benar!"
"Jika tidak segera dihabisi sekarang, kelak dia akan muncul jadi perintang besar! Lebih dari itu Kitab Serat Biru tidak akan berhasil jatuh ketanganku!' bisik Ki Buyut Pagar Alam dalam hati. Serta-merta kakek ini sentakkan kedua tangannya ke depan.
"Wuutt! Wuutttt!" Kabut hitam tampak melesat dengan keluarkan suara menggema dahsyat serta gelombang angin dan hawa panas menyengat! Ki Buyut tampaknya telah lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Karena saat ini yang melepaskan adalah dedengkotnya sendiri, maka kedahsyatannya sungguh luar biasa.
Melihat dahsyatnya pukulan lawan, murid Pendeta Sinting tak tinggal diam. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada dada untuk melindungi diri lalu diteruskan pada kedua tangannya. Sekejap kemudian, kedua tangan Pendekar 131 tampak berubah jadi kekuningan. Pertanda murid Pendeta Sinting ini siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Dan begitu kabut hitam menggebrak, dia cepat mendorong kedua tangannya.
Lagi-lagi Pendekar 131 terkejut, karena gelombang angin berhawa panas pukulan sakti 'Lembur Kuning' baru melesat, satu kekuatan aneh telah menggebrak mendahului. Tempat itu bertabur sinar kuning disertai hawa panas. Lalu terdengar ledakan hebat. Batu padas dan pasir biru tampak bergetar. Gelombang laut yang abadi menghantam pinggiran pulau tertahan laksana ditahan tembok besar!
Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak surut ke belakang dengan terhuyung-huyung. Sepasang kaki di balik jubahnya goyah. Namun kakek ini cepat membuat gerakan berkelebat ke udara. Lalu kejap lain mendarat dengan sosok tegak maski wajahnya berubah dan dadanya bergerak turun naik dengan keras!
Di seberang depan, murid Pendeta Sinting terseret sampai satu tombak. Walau tubuhnya terlihat hampir melipat ke depan, namun dia cepat sentakkan tubuhnya ke belakang sambil melompat ke belakang. Lalu tegak dengan meringis! Seperti halnya Ki Buyut, wajah murid Pendeta Sinting terlihat pias dengan napas megap-megap.
Sadar lawan memiliki kepandaian tinggi, Ki Buyut segera kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki dan sepasang matanya. Mendadak tanah di sekitar si kakek bergetar keras. Kejap kemudian kedua kaki Ki Buyut bergerak menggebrak tanah pijakannya. Pada saat bersamaan, dari sepasang matanya yang dipentangkan besar tampak melesat sinar hitam menyusur tanah berpasir pulau.
Tanah berpasir terlihat rengkah besar dan membentuk jalur lurus ke arah Pendekar 131! Ki Buyut Pagar Alam telah lepaskan 'Sinar Setan'. Karena dilepas dengan tenaga dalam kuat, maka rengkahan tanah berpasir tampak bergerak cepat!
Tahu akan akibat pukulan yang kini dllepas Ki Buyut, murid Pendeta Sinting segera melompat mundur. Lalu kedua tangannya didorong ke depan.
Lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'. Namun untuk kesekian kailnya, satu kekuatan aneh mendahului.
Pulau itu bergetar hebat tatkala rengkahan tanah berpasir terhenti dan meledak saat bentrok dengan kekuatan yang mendahului pukulan 'Lembur Kuning'. Di lain pihak pukulan 'Lembur Kuning' terus melesat tidak terbendung.
Saat itulah mendadak kabut hitam menggebrak memangkas pukulan 'Lembur Kuning' yang mengarah pada Ki Buyut. Lagi-lagi terdengar ledakan keras. Sinar kekuningan ambyar bertabur bersama kabut hitam. Kejap lain, satu sinar hitam melesat menghantam tanah berpasir, disusul kemudian dengan rengkahnya tanah yang membentuk jalur ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting yang tegak terhuyung-huyung akibat bentrok pukulan dengan Ki Buyut tampak membelalak besar. Sedangkan rengkahan tanah berpasir terus melaju deras ke arahnya! Di seberang, sosok Ki Buyut tampak mental dan jatuh terduduk. Namun satu pasang tangan cepat menahan dari belakang.
"Dia harus cepat dihabisi, Dewi!" bisik Ki Buyut dengan suara serak dan tubuh bergetar.
Di sampingnya, Dewi Siluman yang baru saja lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' dan 'Sinar Setan' dan kini menahan tubuh Ki Buyut anggukkan kepala seraya berujar. "Kau lihat sendiri, Ki Buyut! Dia tak mungkin lagi bisa menghindar!"
Ki Buyut Pagar Alam yang berusaha tegak gelengkan kepala. "Dugaanmu keliru, Dewi! Dia masih akan bisa lolos! Lekas susul pukulan sebelum dia sempat berkelebat menghindari"
Dewi Siluman tampak tidak percaya dengan ucapan Ku Buyut. Namun begitu melihat Joko hendak membuat gerakan, perempuan bercadar dan berjubah hitam ini segera turuti ucapan Ki Buyut. Bahkan bersamaan dengan itu, Ki Buyut tak tinggal diam. Saat Dewi Siluman lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' kembali, Ki Buyut juga lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'! Hingga saat itu juga dua kabut hitam melesat cepat ke arah murid Pendeta Sinting yang hendak membuat gerakan untuk menghentikan rengkahan tanah berpasir yang mengarah padanya!
"Busyet! Tak mungkin aku menangkis dua serangan ini! Tapi bagaimana...?"
Joko tidak sempat berpikir lama lagi, karena rengkahan tanah berpasir akibat pukulan 'Sinar Setan' telah setengah tombak di depannya. Tak ada jalan lain bagi murid Pendeta Sinting selain menghentikan dengan dorong kedua tangannya lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
"Bummmm!" Tanah berpasir yang rengkah terhenti dengan perdengarkan suara menggelegar.
Saat itulah kabut hitam gabungan antara pukulan Dewi Siluman dan Ki Buyut sampai! Meski Pendekar 131 sempat angkat kedua tangannya untuk lepaskan pukulan menangkis, namun sudah sangat terlambat. Saat keadaan murid Pendeta Sinting terjepit dan nyawanya hampir tidak bisa diselamatkan dari gabungan pukulan 'Kabut Neraka', tiba-tiba terdengar orang tertawa, lalu tampak pantulan cahaya berkiblat terang memangkas kabut hitam di depan kepala Pendekar 131!
"Plaaap! Plaaap! Bumm! Bummm!"
Pantulan cahaya gemerlap lenyap lalu terdengar ledakan, membuat Pulau Biru bergetar hebat. Sosok Pendekar 131 mental tiga tombak dan jatuh terjengkang. Namun setelah meneliti tidak mengalami cedera, dia cepat bangkit dan berpaling ke samping kanan dari mana pantulan cahaya gemerlap yang menghadang pukulan gabungan Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berasal.
Lima belas langkah di seberang, sosok Dewi Siluman dan Ki Buyut terlihat tegak tergontai-gontai. Setelah dapat kuasai tubuh masing-masing kedua orang ini pentangkan mata dan berpaling ke kiri.
***
EMPAT
DARI tempat masing-masing, Pendekar 131, Dewi Siluman, dan Ki Buyut Pagar Alam melihat seorang bertubuh gemuk tegak dengan kepala sedikit tengadah. Tangan kanannya mengusap cermin bulat di depan perutnya, sedang tangan kirinya kucek-kucek kedua matanya yang ternyata berwarna putih. Agak jauh ke belakang, tepatnya di dekat lobang di mana Joko keluar, terlihat tegak seorang kakek berjubah putih dengan rambut panjang berkibar-kibar ditiup angin. Sepasang matanya yang sayu memandang tak berkesip ke arah Joko.
"Gendeng Panuntun!" desis Ki Buyut begitu mengenali siapa adanya sosok gemuk. Lalu berpaling pada Dewi Siluman. "Benar dugaanku. Pendekar 131 pasti masih ada hubungan dengan Dewi Es. Karena Gendeng Panuntun adalah saudara seperguruannya! Hem... Pekerjaan kita akan tambah berat!" Ki Buyut lalu arahkan pandangannya ke arah kakek berjubah putih. Sepasang matanya sejenak menyipit lalu membelalak.
"Orang tua itu aku tidak mengenalnya. Tapi kenapa tiba-tiba dia muncul di sini?! Siapa dia?!" gumam Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman tidak menyahut. Kalau Dewi Siluman dan Ki Buyut terkejut dengan munculnya Gendeng Panuntun, dan kakek berjubah putih. Malaikat Penggali Kubur diam-diam merasa agak gembira. Karena dengan munculnya Gendeng Panuntun apalagi dengan mudah Gendeng Panuntun dapat memangkas gabungan pukulan yang dilepas Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam, dia akan bisa lolos dari ancaman Ki Buyut.
"Dewi! Terpaksa kita harus hadapi satu persatu. Kau habisi pemuda itu, Gendeng Panuntun serahkan padaku!" bisik Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman masih belum menyahut, membuat Ki Buyut pandangi perempuan bercadar dan berjubah hitam itu dengan tatapan heran. Lalu berpaling lagi memandang ke arah mana Dewi Siluman memandang dengan tak berkesip.
"Hem... Orang yang ini baru aku melihatnya pertama kali!" kata Ki Buyut Pagar Alam dalam hati begitu matanya menangkap sesosok tubuh yang tegak agak jauh di belakang Gendeng Panuntun. Dia adalah seorang perempuan yang wajahnya ditutup dengan cadar berlobang-lobang kecil dan di punggungnya tampak punuk besar.
"Ki Ageng Mangir Jayalaya..." gumam Pendekar 131 mengenali adanya kakek berjubah putih. Dia segera melangkah ke arah si kakek yang bukan lain memang Ki Ageng Mangir Jaya Laya. (Tentang kakek ini baca serial Joko Sableng episode Kitab Serat Biru).
Ki Ageng Mangir Jayalaya angkat tangannya lalu gelengkan kepala sambil tersenyum. Seakan tahu isyarat yang diberikan Ki Ageng Mangir, Joko hentikan langkah lalu memandang ke arah Gendeng Panuntun dan perempuan berpunuk.
"Apa hubungan Gendeng Panuntun dengan perempuan berpunuk yang pernah menolongku itu?!" kata Joko lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun.
"Kek! Terima kasih kau telah menyelamatkanku!" kata Joko seraya bungkukkan tubuh menjura. Lalu memandang ke arah perempuan berpunuk dengan anggukkan kepala dan bibir tersenyum.
"Hem... Jahanam perempuan berpunuk Itu ternyata kaki tangan Gendeng Panuntun! Kali ini dia tak akan kuampuni nyawanya!" desis Dewi Siluman. "Siapa jahanam itu sebenarnya? Kenapa bisa datang bersama-sama Gendeng Panuntun?!" Dewi Sliuman bertanya pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. “Aku baru kali ini melihatnya! Kita harus lebih berhati-hati. Bukan tidak mungkin dia juga memiliki kepandaian tinggi!"
Dewi Siluman tertawa pendek. "Ki Buyut tidak usah khawatirkan jahanam perempuan berpunuk Itu! Dia pernah hampir mampus di tanganku kalau tidak diselamatkan Iblis Ompong! Hanya yang kuherankan, dia memiliki pukulan seperti kita!"
Malaikat Penggali Kubur kerutkan kening. Sepasang matanya lebih dipentangkan mengawasi pada perempuan berpunuk seolah ingin mengetahui siapa wajah di balik cadar berlobang.
"Selama malang melintang, tidak ada yang punya pukulan seperti milik kita. Kalau ucapanmu benar, jangan-jangan dia..." Ki Buyut Pagar Alam tidak teruskan ucapannya. Namun sejenak kemudian dia tampak gelengkan kepala sambil menggumam. "Tapi apa mungkin?"
"Tak ada jawaban yang pasti sebelum kita robek kain penutup jahanam itu!" sahut Dewi Siluman. "Ini gara-gara Iblis Ompong! Jika tidak ditolong dia, mungkin aku telah mengetahui siapa adanya perempuan itu!"
"Sekarang tak ada gunanya mengeluh! Kita harus cepat habisi pemuda itu dan Gendeng Panuntun! Aku punya firasat, kalau Gendeng Panuntun sudah sampai di tempat ini, bukan tak mungkin akan muncul pula saudara-saudaranya!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut telah melompat ke hadapan Gendeng Panuntun. Dewi Siluman tidak menunggu lama. Dia pun segera berkelebat dan tahu-tahu telah tegak tujuh langkah di depan Pendekar 131!
"Gendeng Panuntun!" ucap Ki Buyut. "Kau hanya cari mampus ikut campur urusan ini!"
"Eh, kau tahu siapa aku! Bisa katakan siapa dirimu, Orang tua?!" ujar Gendeng Panuntun sambil usap-usap cerminnya.
Ki Buyut tertawa panjang. "Biarlah kau mampus tanpa tahu siapa orang yang membunuhmu!"
"Ah, malang benar nasib orang yang tidak bisa melihat. Bukan saja tidak dapat menikmati moleknya tubuh perempuan, tapi juga tidak tahu siapa orang yang hendak membuatku mampus! Hemm... Bagaimana, nanti kalau aku jadi arwah gentayangan dan keliru cabut nyawa orang?!" Gendeng Panuntun berpaling pada Joko, lalu berkata.
"Anak muda! Kalau kita nanti sama-sama jadi arwah gentayangan, kau tidak keberatan bukan tunjukkan padaku siapa adanya orang yang membunuhku?!"
"Bukan hanya akan kutunjukkan orang yang membunuhmu, tapi akan kukenalkan juga pada gadisnya yang cantik jelita! Bukankah arwah gentayangan bisa melihat tanpa bisa dilihat?!"
"Eh, kau sebut-sebut orang di depanku ini punya gadis! Bagaimana dia?! Lekas katakan padaku!"
Karena tidak ada jawaban, Gendeng Panuntun kembali bertanya. "Hei! Kau belum jawab pertanyaanku! Katakan bagaimana gadis itu?!"
"Aku tak bisa mengatakannya, Kek! Dia menutupi wajahnya, namun besar kemungkinan dia seorang gadis cantik! Rambutnya pirang, potongannya bagus dan..."
"Walah. Kau keliru, Anak muda!" potong Gendeng Panuntun. "Meski rambutnya pirang, potongannya bagus kalau wajahnya disembunyikan jangan-jangan dia tidak punya hidung! Payah... Payah jika berhadapan dengan perempuan tak berhidung. Dalam gelap dia tidak dapat membedakan mana tahi dan mana roti! Tidak bisa memilah mana bau keringat suami dan mana bau keringat kambing!"
Dewi Siluman tampak membelalak dengan tubuh bergetar menahan marah. Joko cepat-cepat menyahut tatkala didengarnya Dewi Siluman mendengus hendak berkata. "Meski kau tidak bisa melihat, namun kadang-kala ucapanmu benar. Kek! Dan jangan-jangan perempuan dihadapanku ini memang tidak berhidung!"
"Keparat!" maki Dewi Siluman. Serentak perempuan bercadar dan berjubah hitam ini lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'!
Melihat Dewi Siluman telah lepaskan pukulan, Ki Buyut segera pula maju dan serentak lepaskan juga pukulan 'Kabut Neraka' ke arah Gendeng Panuntun. Joko kerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya. Lalu kedua tangannya didorong ke depan, lepaskan pukulan 'Sukma Es'.
Meski ada kekuatan yang melesat mendahului pukulan 'Sukma Es', namun karena pukulan 'Kabut Neraka' dilepas oleh Dewi Siluman yang punya tenaga dalam kuat, maka walau sejenak tampak ambyar, namun terus melesat ke arah Pendekar 131. Saat Itulah pukulan 'Sukma Es' melabrak!
Kabut hitam pukulan Dewi Siluman tertahan di udara. Lalu perlahan-lahan membeku sebelum akhirnya cair dan muncrat ke udara! Meski bentrok pukulan itu tidak perdengarkan suara ledakan, namun mau tak mau tubuh Dewi Siluman dan Joko sama-sama tersurut masing-masing satu tombak ke belakang.
Sementara di sebelah samping, begitu kabut hitam melesat dari kedua tangan Ki Buyut, Gendeng Panuntun lorotkan sedikit tubuhnya. Tiba-tiba sosoknya yang besar membal ke udara. Di udara dia goyangkan pantatnya ke kanan kiri. Bersamaan itu tampak cahaya gemerlap memantul dari cermin si kakek!
"Blaappp! Blaappp! Busss! Busss!"
Kabul hitam pukulan Ki Buyut terlihat membumbung ke udara seolah mengikuti ke mana arah pantulan cahaya cermin Gendeng Panuntun. Ki Buyut Pagar Alam menyeringai, lalu didahului suara bentakan membahana, tubuhnya melesat ke udara lalu melabrak ke arah sosok Gendeng Panuntun yang masih di atas udara dengan kedua tangan berkelebat menghantam ke arah kepala!
"Kek! Awas kepalamu!" terdengar orang berteriak, yang ternyata adalah perempuan berpunuk.
Gendeng Panuntun rentangkan kedua tangannya lalu serta-merta dipukulkan ke depan. Terjadilah saling bentrok tangan di udara. Kedua tangan masing-masing orang tampak mental, namun serentak mereka berdua cepat menghantamkannya kembali. Demikian seterusnya, hingga saat itu juga terdengar beberapa kali suara bentrokan tangan. Dan suara benturan tangan baru lenyap saat sosok keduanya sama-sama mental ke belakang dan sama jatuh terjengkang di atas tanah berpasir!
"Gara-gara kau tak mau sebutkan nama, lihat! Apa sekarang yang terjadi? Kedua tanganmu tak bisa digerakkan!" kata Gendeng Panuntun sambil bergerak bangkit dan kucek-kucek matanya yang buta.
Melihat Gendeng Panuntun telah bangkit, Ki Buyut buru-buru hendak bangkit pula. Namun kakek ini jadi terkesiap. Kedua tangannya tak bisa digerakkan seperti apa yang baru saja diucapkan Gendeng Panuntun! Hingga akhirnya Ki Buyut bangkit dengan kedua tangan kejang kaku. Ternyata waktu terjadi bentrokan tangan, secara cerdik Gendeng Panuntun lakukan totokan!
Namun Ki Buyut bukanlah orang sembarangan. Dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya hingga kejap kemudian kedua tangannya telah kembali bisa digerakkan. Meski demikian, Ki Buyut sempat tersentak tatkala mendapat! kedua tangannya melepuh bengkak berwarna merah!
"Kurang ajar! Dia tidak bisa dihadapi sendiri! Hem..." Ki Buyut Pagar Alam menggumam lalu melirik ke arah Dewi Siluman yang tegak melotot pada Pendekar 131.
Tiba-tiba Ki Buyut putar tubuh setengah lingkaran. Serta-merta tubuhnya melesat ke arah murid Pendeta Sinting seraya kirimkan satu pukulan. Seolah mengerti apa maksud Ki Buyut, Dewi Siluman tak tinggal diam. Begitu Ki Buyut kirimkan pukulan, Dewi Siluman ikut berkelebat dan lepaskan pula pukulan 'Kabut Neraka'!
Pendekar 131 melengak kaget. Dia cepat sentakkah kedua tangannya menangkis pukulan Ki Buyut. Namun karena saat itu Dewi Siluman juga lepas kan pukulan, maka pukulan perempuan bercadar dan berjubah hitam ini tak dapat dibendung lagi menghantam ke arah batok kepala Pendekar 131!
Setengah tombak lagi pukulan Dewi Siluman menghantam, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan bersamaan itu kabut merah menghampar memangkas pukulan Dewi Siluman. Hingga meski pukulan Dewi Siluman tidak bisa dibuat ambyar, namun murid Pendeta Sinting bisa selamat dari pukulan telak.
"Jahanam keparat! Dua kali ini kau mencampuri urusanku!" teriak Dewi Siluman dengan mendelik memandang ke kiri. Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri, tegak perempuan bercadar lobang-lobang kecil dan berpunuk.
Ki Buyut sesaat tertegun dan diam tak bergerak dengan sepasang mata ikut menatap pada perem puan berpunuk. "Aku baru pertama kali ini melihatnya. Tapi rasa-rasanya pukulan itu aku mengenalnya!" Ki Buyut Pagar Alam membatin.
Kalau saja cadar perempuan berpunuk terbuka, Dewi Siluman dan Ki Buyut pasti akan tahu bahwa sebenarnya wajah di balik cadar ini tampak berubah. "Kalau Dewi Siluman curiga pada perempuan ini, dan aku pun sepertinya mengenali pukulannya, jangan-jangan... Apa benar dia?" Ki Buyut terus menduga-duga. Mungkin untuk meyakinan kakek ini segera berteriak.
"Perempuan berpunuk! Katakan siapa kau!"
Wajah dibalik cadar milik perempuan berpunuk makin berubah. Namun sekejap kemudian dia mendongak dan berujar. "Belum saatnya kau tahu siapa aku! Tapi aku tahu siapa kau dan dia!" Jari telunjuk perempuan berpunuk menunjuk ke arah Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. "Bukankah kau Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman? Dan kau Dewi Siluman! Bukankah kau yang mengambil Pedang Tumpul 131 dari pemiliknya?!"
"Walah! Selain tidak punya hidung ternyata dia juga pencuri!” Tiba-tiba Gendeng Panuntun menyahut.
Berubahlah paras Ki Buyut. Dewi Siluman tampak bergetar dengan mata makin mendelik angker. Di sebelah, murid Pendeta Sinting kertakkan rahang. Matanya menyengat tajam menatap pada Dewi Siluman.
"Perempuan bercadar hitam!" seru Joko, "Kuampuni nyawamu dan orang tua itu. Tapi serahkan pedangku dan segera tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman tertawa panjang. "Baik. Pedangmu akan kukembalikan!" kata Dewi Siluman lalu cabut pedang dari balik jubahnya. Sejenak pedang di tangan kirinya itu ditimang-timang. Lalu angkat kepalanya dan berujar. "Kau bisa ambil pedang ini, tapi serahkan Kitab Serat Biru padaku!"
"Aku tidak memiliki kitab yang kau katakan!" teriak Joko dengan memandang tajam pada pedangnya yang ada di tangan Dewi Siluman.
"Hem… Begitu? Berarti kau tak menginginkan pedangmu lagi! Dan aku akan mengambil kitab itu beserta nyawamu sekalian!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut dan memberi isyarat dengan anggukan kepala. Lalu terus berpaling pada Malaikat Penggali Kubur yang sedari tadi diam memperhatikan seraya berkata.
"Anak muda! Nyawamu ada di tangan kami. Kalau kau ingin selamat, bergabunglah dengan kami! Hantam tua bangka gembrot itu!"
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya pada jurusan lain. Dia sebenarnya tidak mau mengikuti tawaran Dewi Siluman. Namun merasa yakin Kitab Serat Biru berada di tangan Pendekar 131 dan Gendeng Panuntun pasti tak akan tinggal diam jika ada orang coba-coba merebutnya, maka akhirnya dia memutuskan menerima tawaran Dewi Siluman, namun dia juga tak mau perjalanannya sia-sia tanpa hasil. Sambil berpaling ke arah Dewi Siluman dia berkata, "Tawaranmu kuterima, tapi dengan syarat!"
"Keparat! Nyawamu di tangan kami!" bentak Dewi Siluman.
Malaikat Penggali Kubur tertawa. "Aku tahu, saat ini nyawamu pun di ujung tanduk! Dan aku masih bisa pertahankan nyawaku dari tanganmu! Silakan terima syaratku atau aku akan menonton tubuhmu jadi mayat!"
Merasa ucapan Malaikat Penggali Kubur ada benarnya. Dewi Siluman mendengus sambil berseru keras. "Katakan apa syaratmu!"
Malaikat Panggali Kubur tersenyum aneh. "Jika ketiga orang itu tewas, setidaknya di tanganmu ada dua benda pusaka! Aku…"
"Sialan!" tukas Dewi Siluman sebelum Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapannya. "Kalau kau sebut-sebut benda pusaka, syaratmu kutolak! Bahkan nyawamu akan kucabut sekarang juga!"
Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Kau boleh bicara seenakmu, Tapi jangan lupa, saat ini kau butuh bantuan jika ingin tinggalkan pulau ini dengan selamat!" Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek, lalu teruskan ucapannya. "Aku nanti hanya minta salah satu benda pusaka itu! Adil bukan?!"
Dewi Siluman menggerendeng panjang pendek. Dia menoleh pada Ki Buyut. Kakek ini tersenyum sambil anggukkan kepala, membuat Malaikat Penggal! Kubur tersenyum aneh.
"Baik. Syaratmu kuterima!" Akhirnya Dewi Siluman bergumam.
"Pendekar 131!" ujar Gendeng panuntun. "Mereka tampaknya hendak berbagi rezeki! Untuk kita apa yang harus dibagi? Satunya seorang kakek bangkotan. Satunya lagi anak muda bau kencur! Dan satunya lagi perempuan cantik, namun sayang tak bisa bedakan suami dan sapi! Ha ha ha...! Kita bernasib sial! Tak ada rezeki bagus yang layak dibagi...!"
"Kau lupa, Kek! Bukankah kau pernah mengatakan harus memandang sesuatu dari sudut berbeda? Meski perempuan di depanku ini tak punya hidung, aku akan memandangnya berhidung mancung meski untuk itu aku harus pura-pura buta...!"
Dewi Siluman gerakkan tangannya yang memegang pedang dan menunjuk tepat ke arah Pendekar 131. "Kau! Akan jadi korban senjata makan tuan!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman berkelebat ke depan. Namun setengah jalan tubuhnya berbelok dan kini lurus ke arah perempuan berpunuk! Mengetahui hal demikian, Ki Buyut segera melesat dan kini menghadang Pendekar 131. Di sebelahnya, melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut telah bergerak, Malaikat Penggali Kubur melompat dan langsung lepaskan pukulan ke arah Gendeng Panuntun!
Perempuan berpunuk melihat cahaya kekuningan mencorong tatkala Pedang Tumpul 131 ditarik keluar dari sarungnya dan kini membabat ke arahnya dengan keluarkan suara menderu keras serta hawa panas! Perempuan berpunuk cepat melompat ke samping lalu dari tempatnya dia lepaskan satu pukulan. Gelombang angin kencang menggebrak lurus ke arah Dewi Siluman.
Namun perempuan bercadar dan berjubah hitam ini secepat kilat menyingkir, tapi mendadak dia putar tubuh dua kali sebelum akhirnya berkelebat kembali ke arah perempuan berpunuk dengan tangan diputar-putar hingga pedang di tangannya berubah jadi bayangan kuning yang menderu-deru ganas!
"Breettt! Breettt!" Perempuan berpunuk berseru tertahan sambil melompat mundur dan kedua tangannya cepat bergerak menutupi auratnya yang kelihatan karena pakaian yang dikenakan robek di bagian dada dan pinggang!
Dewi Siluman tertawa mengekeh sambil pandangi perempuan berpunuk yang memegangi dadanya yang terbuka. "Dengan terbukanya dada, dia tak akan bisa lepaskan pukulan kalau tak ingin dadanya terlihat! Hik hik hik...! Sekarang saatnya kuketahui siapa jahanam itu adanya!" Dewi Siluman angkat tangan kanannya, sementara pedang di tangan kiri diluruskan ke depan.
Seolah tahu apa yang hendak dilakukan Dewi Siluman, perempuan berpunuk tampak bimbang. Kalau dia tetap diam, maka tak pelak tubuhnya akan terhantam pukulan yang hendak dilancarkan Dewi Siluman. Kalau hendak menangkis dia harus gerakkan tangan, dan berarti dadanya pasti akan terlihat jelas!
"Apa boleh buat..." gumam perempuan berpunuk lalu turunkan kedua tangannya dari dada, hingga saat itu juga payudara perempuan berpunuk terpentang jelas!
Dewi Siluman tegak dengan terkesiap dan mata melotot. "Tidak mungkin... Bagaimana bisa orang yang berpunuk dan tampak seperti nenek-nenek ini punya payudara kencang padat dan bagus! Jangan-jangan memang dia!"
Entah karena merasa penasaran. Dewi Siluman cepat merangsek ke depan dengan melompat dan langsung lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'! Di depannya perempuan berpunuk cepat pula serrtakkam kedua tangannya.
"Bummm!" Terdengar ledakan keras.
Sosok Dewi Siluman tetap dalam keadaan tegak. Didepan, sosok perempuan berpunuk terjengkang jatuh di atas tanah berpasir. Dewi Siluman tak memberi kesempatan. Saat sosok perempuan berpunuk terjengkang, dia cepat berkelebat ke depan lalu kembali kirimkan pukulan!
Perempuan berpunuk angkat kedua tangannya. Namun baru hendak bergerak menangkis, pukulan Dewi Siluman terlebih dahulu menggebrak! Hingga saat itu juga sosok perempuan berpunuk mencelat mental seraya keluarkan pekikan keras. Sosoknya jatuh telentang setelah menghantam satu gugusan batu padas. Dari kain cadarnya tampak merembes darah kehitaman pertanda bahwa dia terluka dalam cukup parah.
Sementara di sebelah kiri terdengar suara bentrokan. Lalu tampak sosok Pendekar 131 terpental ke belakang dan jatuh terduduk dengan tubuh bergetar. Di seberangnya, tampak sosok Ki Buyut Pagar Alam terhuyung-huyung keras sebelum akhirnya roboh terjengkang!
Di sebelah kanan, terlihat Gendeng Panuntun telentang dengan tangen usap-usap cerminnya. Di bawah tubuhnya yang besar tampak sosok Malaikat Penggali Kubur! Karena tubuh Gendeng Panuntun besar, sementara tindihannya bukan tindihan sembararngan, melainkan dengan pengerahan tenaga dalam, maka tampak sosok Malaikat Penggali Kubur diam tak bisa berkutik dengan napas megap-megap!
Dewi Siluman berpaling pada Ki Buyut. Setelah mendapat isyarat dari kakek ini, dia berpaling sejenak pada Malaikat Penggali Kubur yang hampir kehabisan napas ditindih sosok Gendeng Panuntun.
"Hei! Tolong singkirkan Tua bangka gembrot ini dari alas tubuhku!" teriak Malaikat Penggali Kubur.
Dewi Siluman tak buka mulut atau membuat gerakan turuti permintaan Malaikat Penggali Kubur.
"Sialan! Kau dengar ucapanku! Kenapa hanya diam saja?!" Malaikat Penggali Kubur kembali berteriak.
"Aku masih punya urusan! Mintalah tolong pada hantu laut! Hik hik hik...!”
Malaikat Penggali Kubur memaki habis-habisan, namun suaranya tersendat-sendat. Sementara Dewi Siluman segera berkelebat ke arah perempuan berpunuk. Wajah di balik cadar perempuan berpunuk makin pias. Dia terdengar bergumam tak jelas tatkala tangan kanan Dewi Siluman berkelebat menyingkap kain cadarnya.
"Breettt!" Kain cadar berlobang-lobang kecil milik perempuan berpunuk tersambar tangan kanan Dewi Siluman. Kini tampak jelas wajah perempuan ini. Tiga langkah di depan perempuan berpunuk, tubuh Dewi Siluman tampak bergetar keras. Matanya mendelik angker dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
"Murid murtad! Jahanam keparat! inikah balasan yang kau berikan selama kudidik, hah?!”
Pendekar 131 yang berada tidak jauh segera bergerak bangkit dan berpaling pada perempuan berpunuk yang masih telentang dan kini coba bergerak duduk. Untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting perhatikan wajah perempuan berpunuk yang kini telah terbuka.
"Astaga! Bukankah dia salah seorang dari tiga gadis yang pernah menghadangku beberapa hari yang lalu?!"
Perempuan berpunuk yang kini telah duduk ternyata adalah seorang gadis berparas cantik. Rambutnya lebat hitam dengan sepasang mata bulat. Pada bagian atas bibirnya tampak sebuah tahi lalat.
"Sitoresmi!" bentak Dewi Siluman. "Kau tahu apa yang akan kau peroleh dengan perbuatanmu ini, heh?!"
Perempuan berpunuk yang ternyata bukan lain adalah Sitoresmi, salah seorang murid Dewi Siluman sendiri kancingkan mulut tak memberi jawaban. Malah sebaliknya dia berpaling pada Pendekar 131!
Dewi Siluman menyeringai dan memandang silih berganti pada Joko Sableng dan Sitoresml. "Rupanya cinta telah membuatmu murtad dan lupa akan ikrar yang pernah kau ucapkan! Baik, aku ingin tahu apakah cinta bisa juga selamatkan tubuhmu!"
"Guru... Maafkan aku. Aku..."
“Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman. "Aku bukan gurumu! Kau harus terima hukuman!"
Meski biasanya gadis ini tidak berani membantah ucapan gurunya, namun kali ini dia sepertinya punya keberanian luar biasa. Sambil mengusap darah yang terus mengalir dari sudut bibirnya, Sitoresmi balas memandang pada Dewi Siluman dan berkata. "Kalau kau bukan guruku, tak layak kau jatuhkan hukuman padaku!"
Dewi Siluman tertawa, namun diputus seketika. Lalu terdengar dia membentak. "Bagus! Sekarang kau sudah pintar buka mulut! Pemuda itulah yang membuatmu demikian? Hik hik hik...! Baik. Aku akan membahagiakan kalian berdua dengan kukubur satu lobang!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman selinapkan pedang ke dalam sarungnya lalu disimpan di balik jubah hitamnya. Dia berpaling pada murid Pendeta Sinting. Namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' ke arah Sitoresmi!
Karena Sitoresmi dalam keadaan terluka dalam, apalagi jaraknya terlaju dekat, hingga yang bisa dilakukan gadis itu hanya berteriak tertahan. Pendekar 131 terbelalak. Dia cepat angkat kedua tangannya. Sementara Gendeng Panuntun yang masih menindih tubuh Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan gulingkan tubuhnya ke samping.
Hingga saat itu Juga tampak cahaya gemerlap menyambar ke arah Dewi Siluman. Sejengkal lagi pukulan yang dilepas Dewi Siluman menggebrak ganas ke arah wajah Sitoresmi, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Disusul dengan menderunya angin keras berhawa luar biasa dingin!
Meski gelombang angin dingin yang menyeruak sempat membuat kabut hitam berbelok, tapi karena jaraknya amat dekat dengan Sitoresmi hingga tak urung juga gadis ini terpental dan wajahnya sempat tersambar kabut hitam yang dilepas Dewi Siluman. Dewi Siluman sendiri tampak berteriak keras tatkala bersamaan dengan itu dari samping kiri kanan melabrak sinar kuning hantaman tangan Joko dan gelombang angin yang disertai cahaya gemerlap dari cermin Gendeng Panuntun!
Perempuan bercadar dan berjubah hitam itu segera putar tubuh lalu berkelebat menghindar. Saat yang sama, tempat di mana tadi Dewi Siluman berdiri tampak bergetar keras dan pasirnya muncrat ke udara akibat terkena gelombang angin yang keluar dari cahaya cermin Gendeng Panunlun dan pukulan murid Pendeta Sinting. Begitu Dewi Siluman menginjak tanah dua langkah di samping Ki Buyut Pagar Alam, terdengar orang tertawa mengekeh kembali. Semua orang di tempat itu serentak berpaling.
***
LIMA
SEJARAK lima tombak dari tempat Gendeng Panuntun yang masih melintang telentang diatas tubuh Malaikat Penggali Kubur terlihat seorang kakek berjubah putih tegak dengan memandang tak berkesip pada Dewi Siluman. Dia bukan lain adalah Dewa Sukma. Pemegang penggalan peta pertama yang seperti diceritakan pada Ratu Malam, penggalan peta itu berhasil direbut oleh seorang perempuan bercadar dan berjubah hitam dan bukan lain adalah Dewi Siluman.
Lima langkah di samping Dewa Sukma, diatas satu gugusan batu padas tampak seorang nenek berwajah pucat mengenakan jubah warna merah menyala duduk mencangklong dengan mulut perdengarkan tawa. Nenek ini berambut putih sebatas pundak. Sepasang kelopak matanya besar dengan bola mata di dalamnya amat sipit. Seraya tertawa, nenek Ini mainkan gumpalan tembakau hitam di mulutnya! Dia bukan lain adalah Ratu Malam.
Empat langkah di samping Ratu Malam tegak dengan kepala sedikit tengadah seorang kakek berambut putih panjang. Kakek Ini berdiri tegak dengan memunggungi dan mulutnya tampak dibuka lebar! Dia adalah Iblis Ompong. Di sebelah Iblis Ompong duduk bersila seorang perempuan berjubah putih yang sekujur tubuhnya laksana diguyur hujan namun dia tidak basah! Perempuan ini tidak lain adalah Dewi Es adanya.
Dewi Siluman dan Ki Buyut sama-sama terkesiap dan sejenak saling lempar pandang tatkala mengetahui siapa adanya keempat orang yang baru datang. Wajah kedua orang ini seketika berubah. Sementara murid Pendeta Sinting tampak gelengkan kepala, apalagi tatkala pandangannya menumbuk pada sosok Gendeng Panuntun yang hampir menindih lenyap sosok Malaikat Penggali Kubur yang terus-terusan coba bergerak untuk bernapas.
Namun murid Pendeta Sinting ini segera teringat pada Sitoresmi yang pernah menolongnya dan ternyata adalah murid Dewi Siluman sendiri. Dia buru-buru berpaling lalu menghambur ke arah Sitoresmi yang telentang diam dengan mulut keluarkan banyak darah serta pakaian yang dikenakan robek tak karuan.
Gendeng Panuntun tiba-tiba usap-usap cerminnya sambil berkata. "Heran. Apa sebenarnya yang terjadi? Baru saja kudengar orang membentak-bentak, lalu ada orang berkelahi. Terus kudengar orang terkekeh-kekeh. Tapi lalu sunyi laksana kuburan! Sayang mataku tidak bisa melihat. Jangan-jangan ada kuntilanak, tapi sore begini mana ada kuntilanak gentayangan?!"
Ratu Malam yang duduk mencangklong di atas gugusan batu padas palingkan kepala ke arah Gendeng Panuntun. "Nasibmu memang sial, Rawadan!" ujar Ratu Malam dengan menyebut nama asli Gendeng Panuntun. "Tidak dapat menikmati indahnya dunia! Hingga ada perempuan laksana bidadari hadir kau kira kuntilanak gentayangan! Hik hik hik... Lalu kalau benar kuntilanak gentayangan yang datang, kau akan duga siapa?!"
"Eh, kau tahu siapa aku! Jangan-jangan kau nenek kempot yang mulutnya tak bisa diam! Sialan betul! Mana kakek tak bergigi itu? Apa ada bersamamu?!"
"Lama tidak berjumpa. Tapi nyatanya kau tidak lupa. Hanya kulihat kau sekarang tampil beda. Apa yang membuatmu jadi lain demikian rupa?!" Iblis Ompong berucap dengan masih tegak memunggungi Dewi Siluman dan Ki Buyut.
"Tua tak bergigi!" kata Rawadan alias Gendeng Panuntun. "Nada ucapanmu lain. Apa maksudmu?!"
Ibils Ompong bergelak terlebih dahulu sebelum akhirnya menyahut. "Apa enaknya menindih seorang pemuda...? Padahal di depan sana kulihat ada perempuan cantik dan muda? Apa karena kau salah lihat, atau kau pura-pura tidak melihat? Atau barangkali ini memang niat yang terpahat?"
"Sialan! Sejak dulu aku memang tidak bisa melihat. Tapi jangan menuduh yang bukan-bukan! Di depan sana memang tegak perempuan jelita. Tapi..." Gendeng Panuntun tidak teruskan ucapannya. Dia usap-usap cerminnya lalu berujar. "Tampaknya ada tamu lagi di pulau ini!"
Ucapan Gendeng Panuntun baru saja selesai, semua orang di situ mendengar suara gemeretak roda kereta. Kejap lain dari pinggiran pulau muncul satu kereta yang dikusiri dua orang gadla berjubah kuning dan biru!
"Wulandari dan Ayu Laksmi!" desis Dewi Siluman begitu mengenali siapa adanya dua gadis kusir kereta. Mula-mula perempuan bercadar dan berjubah hitam ini tampak tidak suka dengan munculnya kereta yang memang dikusiri oleh Wulandari dan Ayu Laksmi. Namun setelah berpikir mungkin kedua muridnya sedikit banyak bisa membantu, Dewi Siluman cepat lambaikan tangan.
Kereta itu segera bergerak mendekat ke arah Dewi Siluman. Belum sampai dekat, Wulandari dan Ayu Laksmi telah melompat turun lalu tegak lima langkah ke samping Dewi Siluman sambil menjura dan berkata "Guru! Maafkan kami yang lancang menyusul kemari tanpa izinmu!" kata Wulandari. "Hanya kami tidak membawa serta Sitoresmi! Kami tunggu dia..."
Dewi Siluman tertawa. "Kalian tak usah cemaskan saudaramu itu. Dia telah mampus!"
Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak sama angkat kepalanya memandang ke arah Dewi Siluman. Belum sempat keduanya buka mulut lagi, Dewi Siluman telah arahkan telunjuknya pada sosok Sitoresmi yang kini ada di pangkuan Pendekar 131.
"Itulah akibat murid murtad dan khianat! Jadi kalian jangan coba-coba mengikuti jejaknya jika tidak ingin menerima nasib sama! Kalian dengar?!"
Wulandari dan Ayu Laksmi pandangi sosok Sitoresmi yang diam tak bergerak-gerak di pangkuan murid Pendeta Sinting. Kedua gadis ini lantas saling pandang namun tidak ada yang berani berucap.
"Sekarang kalian bersiaplah! Kita harus menyelesaikan pekerjaan berat! Kelima jahanam di depan sana itu adalah manusia-manusia yang harus dimusnahkan! Juga termasuk pemuda yang digila-gilai Sitoresmi itu!" ujar Dewi Sliuman lalu melangkah lebih dekat ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
Wulandari dan Ayu Laksmi segera edarkan pandangannya ke depan. Keduanya serentak jadi terlengak, apalagi tatkala mereka melihat Gendeng Panuntun. Seperti diketahui, Wulandari dan Ayu Laksmi sempat bertemu dengan Gendeng Panuntun dalam perjalanannya. Malah mereka sempat bercakap-cakap banyak. Dan diam-diam kedua gadis ini sama membatin.
"Ucapan orang tua besar bermata buta itu akhirnya terbukti semua! Sitoresmi harus berpisah! Hem..."
"Aku mencium bau harum! Lantika! Adakah tamu kita yang baru datang adalah bidadari cantik?!" Gendeng Panuntun berteriak dengan panggil nama asli Iblis Ompong.
"Aku tak bisa menjawab! Tanyakan pada Jalu Paksi yang tegak menghadap!" kata Iblis Ompong. Yang dimaksud Jalu Paksi bukan lain adalah Dewa Sukma.
"Aku juga tidak mau jawab! Biar Sekar Mayang yang bicara!" kata Jalu Pakai alias Dewa Sukma. Yang dimaksud Sekar Mayang adalah Ratu Malam.
"Pasang telingamu, Rawadan!" Sekar Mayang alias Ratu Malam telah menyahut. "Penciumanmu tidak salah! Namun dugaanmu yang keliru. Hik hik hik... Yang datang memang bidadari, tapi sudah nenek-nenek! Gundul lagi, dan pakaiannya minim seolah ingin menunjukkan pahanya yang hitam kerempeng!"
"Walah, sialnya diri bermata buta ini! Tidak dapat melihat bidadari nenek-nenek yang berpaha hitam! Pasti aneh dan lucu...!”
"Kau salah lagi, Rawadan!" ujar Dewa Sukma. "Bukan aneh dan lucu, justru menjijikkan!"
"Jangan bercanda! Bagaimana kau bisa bilang begitu?!"
"Dari mulutnya terus menerus menetes air liur! Sedangkan dari hidungnya ingusnya molor panjang!"
Tempat Itu sejenak dibuncah dengan suara tawa bersahutan panjang. Sementara murid Pendeta Sinting yang kini membopong tubuh Sitoresmi ke tempat yang agak jauh terdengar menggumam. "Orang-orang aneh. Dalam keadaan begini masih bisa-bisanya bergurau!"
Namun yang paling bernasib sial adalah Malaikat Penggali Kubur. Karena begitu Gendeng Panuntun yang ada di atas tubuhnya tertawa, dirinya laksana dibebani beban yang sangat berat dan seperti diguncang-guncang! Hingga napasnya makin sesak dan tubuhnya laksana lumat.
Entah karena tidak mengenal, atau karena terburu berbincang dengan Gendeng Panuntun, IbLis Ompong, Ratu Malam, Dewa Sukma dan Dewi Siluman yang hanya melihat sepintas pada orang tua berjubah putih yang berdiri tegak agak jauh. Sementara kakek berjubah yang sedari tadi hanya diam dan tidak lain adalah Ki Ageng Mangir Jayalaya menggumam sendiri.
"Hem... Tampaknya keempat orang yang baru datang itu sudah akrab betul dengan orang tua yang bernama Gendeng Panuntun. Kalau Gendeng Panuntun berada di pihak Joko SabLeng, keempatnya mungkin tidak jauh berbeda. Kurasa mereka bisa mengatasi keadaan..."
Habis bergumam begitu, Ki Ageng Mangir Jayalaya yang sebenarnya tadi mengkhawatirkan Joko bernapas lega. Kakek ini sejurus memandang pada rombongan yang baru datang. Kejap lain dia putar diri lalu berkelebat masuk ke dalam lobang dari mana dia tadi keluar.
Sementara itu mendengar ucapan-ucapan orang, tampang Wulandari dan Ayu Laksmi terlihat berubah merah padam. Namun mungkin sadar siapa adanya orang, kedua gadis murid Dewi Siluman ini belum ada yang berani bergerak. Hanya sepasang mata mereka menyengat tajam pandangi satu persatu kelima orang di depan sana.
"Ada orang datang lagi!" Tiba-tiba Dewi Es yang sedari tadi duduk bersila dengan mulut terkancing bersuara dengan buka kelopak matanya yang semenjak tadi terpejam.
Masing-masing orang putuskan tawanya. Dan bersamaan dengan itu dua bayangan tampak berkelebat dan langsung tegak di samping kiri kanan satu gugusan batu padas. Dua orang yang baru datang ini sejenak tampak terkesiap kaget dengan mata masing-masing memandang ke arah Dewi Es, Dewa Sukma, Iblis Ompong, Ratu Malam, dan Gendeng Panuntun. Lalu sama berpaling dan saling berpandangan.
"Tidak kusangka jika telah muncul manusia-manusia itu di sini" bisik orang sebelah kanan yang ternyata adalah seorang perempuan mengenakan pakaian tipis warna biru ketat yang di bagian dadanya dibuat rendah hingga sembulan payudaranya yang putih kencang tampak jelas. Rambutnya panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan hidung sedikit mancung. Bibirnya merah membentuk bagus. Meski usia perempuan ini tidak muda lagi, tapi tampak tetap cantik jelita!
Sedangkan orang di sebelah perempuan cantik yang bukan lain adalah Ratu Pemikat, tegak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar. Kepalanya gundul plontos. Sepasang matanya besar dengan alis menjulai panjang ke bawah hampir menghalangi bola matanya. Hidungnya besar dengan kumis melintang lebat. Laki-laki Ini mengenakan jubah toga warna putih hitam yang di bagian dadanya tampak tiga bulu burung merak. Laki-laki ini tidak lain adalah Merak Kawung, teman seperjalanan serta kekasih Ratu Pemikat.
Dewi Siluman sejurus menatap tajam pada Ratu Pemikat dan Merak Kawung. Lalu berbisik. "Yang perempuan jelas aku sudah tahu. Tapi yang laki-laki aku belum kenal! Siapa dia, Ki Buyut?!"
"Dialah orang yang bernama Merak Kawung Hem... Dari mana dua manusia itu tahu tempat ini?!" jawab Ki Buyut Pagar Alam seraya balik bertanya.
Dewi Siluman tidak menjawab, karena sebenarnya dia sendiri merasa heran sampai Ratu Pemikat dan Merak Kawung muncul di Pulau Biru. Mereka tidak tahu, bahwa dengan buku dari Ki Jala Sutera yang berhasil direbut Ratu Pemikat, mereka berdua akhirnya sampai di Pulau Biru. (Tentang pertemuannya dengan Ki Jala Sutera baca episode Kitab Serat Biru).
"Kalau mereka mau diajak bergabung dengan kita, mungkin pekerjaan kita akan makin ringan, Ki Buyut!" bisik Dewi Siluman.
"Benar! Aku akan coba bicara dengan mereka!" ujar Ki Buyut.
Sementara Ratu Pemikat dan Merak Kawung terus edarkan pandangannya ke seantero dataran pulau. Baru saja kedua orang ini berpaling, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan di kejap lain sudah tegak di hadapan mereka berdua. Merak Kawung segera angkat tangan kanannya. Namun demi melihat siapa adanya orang yang tegak, Ratu Pemikat memberi isyarat agar Merak Kawung turunkan tangannya.
"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang tegak di hadapanku kini adalah seorang dedengkot rimba persilatan bernama Ki Buyut Pagar Alam?" Ratu Pemikat berucap sambil sunggingkan senyum dan busungkan dadanya. Namun diam-diam perempuan cantik bertubuh bahenol ini alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
"Ratu Pemikat... Bersyukur kau masih mengenali tua bangka ini, hingga kita lebih enak bicara!"
"Hem..." Ratu Pemikat mengerling. "Ucapanmu sepertinya mengandung pesan. Ada yang hendak kau katakan pada kami?!"
"Selain berparas cantik, ternyata kau juga pandai menebak tujuan orang. Aku memang ingin mengatakan sesuatu pada kalian, ini demi kepentingan kita bersama!"
"Tunggu!" sahut Ratu Pemikat. "Kau tiba-tiba menyebut kepentingan bersama. Katakan apa kepentinganmu sebenarnya!"
"Tidak usah panjang lebar. Semua orang yang ada di sini pasti menginginkan Kitab Serat Biru..."
"Hemm... Lantas?!"
"Kau lihat sendiri! Lima orang di depan sana kukira kalian telah tahu siapa mereka! Sialnya mereka adalah perintang jika kita menginginkan kitab itu!"
"Maksudmu, kau ingin kita bersama-sama menggempur mereka?!" tanya Ratu Pemikat.
"Benar! Dan kukira dengan jalan ini, kita akan lebih mudah mendapatkan apa yang kita buru!"
Ratu Pemikat tersenyum seraya menggeleng. "Kukira sulit! Bagaimana mungkin nantinya membagi kitab yang hanya satu?"
Ki Buyut ganti tersenyum, "itu bukan urusan sukar, Ratu Pemikat! Sebagai orang satu golongan, apa sulitnya membagi kitab? Kita bisa mempelajarinya bergantian! Atau kalau suka, kau boleh memiliki Pedang Tumpul 131 yang kini ada di tangan Dewi Siluman... Mudah bukan?!"
"Jadi...?"
Belum selesai ucapan Ratu Pemikat, Ki Buyut telah lanjutkan kata-katanya. "Urusan pembagian adalah urusan sepele. Aku sekarang menanti jawabanmu! Waktu kita sangat terbatas!"
Ratu Pemikat berpaling pada Merak Kawung. Kedua orang ini tampak ragu-ragu untuk memutuskan. Namun setelah berpikir bahwa tidak mudah memang menghadapi kelima orang di depan sana, akhirnya Ratu Pemikat menyetujui tawaran Ki Buyut Pagar Alam.
“Tapi jika kau nanti berbelok dari ucapanmu, kau akan merasa kecewa! Bukan saja tidak mendapatkan kitab itu, tapi juga pulang nama dan tubuh tertinggal di pulau ini!" ancam Ratu Pemikat.
Meski sangat marah mendengar ancaman Ratu Pemikat, namun Ki Buyut Pagar Alam masih menindih dengan coba tersenyum dan berujar. "Aku memang bukan orang baik-baik. Tapi aku orang yang teguh pegang janji! Silakan kalian pilih lawan sendiri!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut berkelebat kembali ke arah Dewi Siluman. Namun baru saja sepasang kakinya menjejak tanah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat. Di lain kejap tahu-tahu telah tegak mengambil tempat sepuluh langkah di samping Ratu Pemikat. Dan baru saja bayangan hitam ini tegak, dari arah pinggir pulau tampak dua orang berlari kencang, lalu tegak berdiri di samping kereta.
***
ENAM
SEMUA kepala berpaling. Dari tempat tegaknya masing-masing, mereka melihat seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian gombrong panjang sebatas mata kaki berwarna hitam. Sepasang matanya besar melotot. Rambutnya kelimis panjang diuraikan ke depan, hingga raut wajahnya yang berwarna hitam angker terlihat samar-samar.
"Dewi..." bisik Ki Buyut. "Tampaknya nasib kita mujur. Orang-orang yang datang masih sahabat-sahabat kita!"
Dewi Siluman menatap pada orang berpakaian hitam panjang yang baru datang dengan mata tak berkesip. "Datuk Hitam..." desisnya. Lalu alihkan tatapan matanya pada sosok yang tegak di dekat kereta.
Sebelah kanan adalah seorang kakek berparas bulat besar. Selain dilapis kulit tipis, paras kakek ini amat pucat. Rambutnya putih dikucir ke belakang. Jambang, kumis, dan jenggotnya lebat hampir menutupi sebagian wajahnya. Dia mengenakan rompi panjang berwarna kuning. Mata sebelah kiri ditutup dengan sepotong kulit bundar yang diikatkan ke belakang membuat sosok kakek Ini semakin tampak angker.
Di sebelah kakek berompi kuning yang tidak lain adalah dedengkot dunia persilatan bergelar Maut Mata Satu ini tegak seorang gadis mengenakan pakaian warna merah. Wajahnya jelita dengan rambut dikucir ekor kuda. Gadis ini adalah murid tunggal Maut Mata Satu dan bukan lain adalah Dewi Seribu Bunga.
Seperti diketahui, setelah Dewi Seribu Bunga diselamatkan Pendekar 131 dari pukulan Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis berbaju merah ini ditinggal sendirian di lereng bukit oleh murid Pendeta Sinting yang berkelebat ke puncak bukit setelah mendengar orang lantunkan bait-bait syair. Namun begitu Pendekar 131 pergi, muncullah Maut Mata Satu.
Dengan caranya sendiri, akhirnya Dewi Seribu Bunga berhasil membohongi Maut Mata Satu hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Tanpa sengaja, keduanya sampai pesisir Laut Selatan. Dan begitu mereka tiba di pesisir mereka berdua dikejutkan dengan suara berderaknya roda kereta.
Sambil menyelinap ke balik rimbun pohon bakau, mereka dapat melihat sebuah kereta yang dikusiri dua orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua gadis itu sudah bergerak hendak meloncat keluar. Tapi Maut Mata Satu mencegahnya. Lalu secara diam-diam mereka berdua mengikuti gerak-gerik kedua gadis di atas kereta.
Dan begitu mereka mengetahui dua orang gadis di atas kereta hendak menuju pulau di seberang laut, Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu merasa curiga. Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu, diam-diam sepasang mata dari balik sela pohon bakau dari tadi memperhatikan murid dan guru ini.
Begitu Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu ikut menyusul menyeberang menuju pulau, dari balik pohon bakau muncullah sesosok tubuh mengenakan pakaian gombrang hitam dan bukan lain adalah Datuk Hitam. Meski tidak tahu ada apa sebenarnya mereka menyeberang pulau, hati Datuk Hitam bergerak untuk ikut-ikutan menyeberang menuju pulau.
Ki Buyut Pagar Alam yang tahu siapa adanya Maut Mata Satu tidak sia-siakan kesempatan. Dia segera berseru. "Sobatku, Maut Mata Satu.. Aku sangat gembira kita dapat berjumpa disini..."
Maut Mata Satu berpaling. Memandang angker pada Ki Buyut laiu pada Dewi Siluman. Namun cuma sekejap. Di lain saat, matanya yang hanya sebelah beralih ke arah lima orang yang ada di depan sana. Maut Mata Satu sejurus terkesiap. Lalu menoleh pada Dewi Seribu Bunga dan bergumam.
"Dewi... Kau jangan bertindak! Lima orang di depan sana adalah manusia-manusia yang punya kepandaian tinggi! Kau tetaplah di tempatmu meski apa nanti yang akan terjadi! Dan jika keadaan tidak memungkinkan, kau segeralah angkat kaki dari pulau ini!"
Yang diajak bicara kancingkan mulut tidak menyahut. Bahkan gadis berbaju merah ini tidak memandang pada lima orang yang baru saja disebutkan gurunya. Sebaliknya pandangan mata gadis ini tertuju pada jurusan lain agak ke belakang dari lima orang yang disebut Maut Mata Satu. Di sana terlihat seorang pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 sedang mendudukkan Sitoresmi bersandar pada satu batu padas. Gadis murid Maut Mata Satu ini dadanya bergemuruh dilanda rasa cemburu.
"Dewi!" kata Maut Mata Satu karena muridnya tegak tak menyahut. "Kau dengar ucapanku?!"
Meski tidak begitu perhatikan apa yang baru saja diucapkan Maut Mata Satu, Dewi Seribu Bunga berpaling sambil anggukkan kepala. Di iain pihak, mendapati ucapannya tidak mendapat tanggapan, Ki Buyut merasa geram. Namun sadar situasi, dia cepat tersenyum dan berseru lagi.
"Sobatku, Maut Mata Satu! Bergabunglah dengan kami orang-orang satu golongan. Urusan Kitab Serat Biru nanti bisa kita rundingkan jika urusan ini selesai!"
"Aku tidak sudi jika manusia mata satu Itu ikut bergabung!" Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Yang berteriak ternyata adalah Ratu Pemikat. Seperti diketahui, antara Ratu Pemikat dan Maut Mata Satu pernah terjadi bentrok saat memperebutkan Pedang Tumpul. (Untuk jelasnya silakan baca episode: Ratu Pemikat).
Teriakan Ratu Pemikat membuat Ki Buyut dapat menangkap jika antara Ratu Pemikat dengan Maut Mata Satu ada satu urusan. Namun kakek yang kedua tangannya selalu dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya ini berlaku cerdik. Seraya melangkah ke arah Maut Mata Satu dia berujar.
"Urusan sesama golongan harap bisa ditunda. Kau mesti tahu, tidak ada yang lebih menggegerkan dibanding dengan tumbangnya orang-orang golongan putih. Hari ini lupakan dulu silang sengketa. Kita bersama-sama menghadapi manusia-manusia yang selalu menjadi penghalang setiap langkah kita! Dan kau juga harap sadar, jika kita tidak bergabung, kau tentu tahu apa yang akan menimpa kita!"
"Hem Ucapan orang ini ada juga benarnya! Tapi aku tidak mudah begitu saja turuti ucapan orang. Aku akan bergabung tapi hanya untuk menghemat tenaga. Setelah itu. Ha ha ha... Mereka juga akan merasakan!" Maut Mata Satu membatin dalam hati. Lalu berkata pada Ki Buyut.
"Meski aku sanggup menghadapi mereka, tapi mengingat kita masih satu golongan, tidak ada salahnya aku turuti permintaanmu. Tapi setelah urusan ini selesai, jangan ikut campur masalahku dengan perempuan laknat sundal itu!"
"Aku tidak bicarakan urusan Ratu Pemikat denganmu! itu bisa kau selesaikan sendiri nanti! Aku akan cuci tangan..." ujar Ki Buyut lalu berkelebat ke arah di mana Datuk Hitam tegak.
"Sobatku, Datuk Hitam! Kau juga kuharap mau bergabung dahulu. Urusan lain nanti kita bicarakan lagi. Bagaimana?!"
Karena menyadari siapa lawan yang dihadapi, tanpa pikir panjang Datuk Hitam langsung setuju dengan tawaran Ki Buyut. Ki Buyut Pagar Alam lantas berkata pada Ratu Pemikat.
"Ratu Pemikat! Harap lupakan dulu urusan dengan Maut Mata Satu!"
"Tidak! Kalau dia ikut bergabung, aku keluar tidak ikut-ikutan!" teriak Ratu Pemikat sambil memandang tajam pada Maut Mata Satu.
"Hem... Kalau begitu baiklah! Silakan hadapi mereka sendirian! Aku mau lihat!"
Ucapan Ki Buyut Pagar Alam membuat Ratu Pemikat keluarkan gumaman tak jelas. Dia tampaknya tahu, bahwa tidak mungkin baginya berhadapan sendiri jika tidak ingin mati konyol.
Seakan dapat menangkap apa yang ada dalam benak Ratu Pemikat, Ki Buyut tertawa pelan sambil berujar.
"Ratu Pemikat! Urusanmu dengan Maut Mata Satu bisa kau selesaikan setelah urusan ini beres!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut melangkah ke arah Dewi Siluman. Bersamaan dengan itu mata masing-masing orang kini menatap lurus ke arah ilma orang di depan sana!
Pendekar 131 seakan tidak peduli dengan munculnya beberapa orang di pulau itu. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Sitoresmi yang kini disandarkan pada satu batu padas. Murid Pendeta Sinting ini lalu memeriksa tubuh gadis salah satu murid Dewi Siluman itu. Namun tangannya yang hendak salurkan tenaga dalam tiba-tiba terhenti tatkala matanya menumbuk menampakkan payudaranya yang putih dan bagus. Darah Pendekar 131 sesaat sirap.
Namun buru-buru dia alihkan pandangannya. Dia teringat waktu mengangkat tubuh gadis itu, bagian punggungnya yang tampak berupa punuk besar tampak mengempis. Dia cepat meraba punggung gadis yang matanya masih terpejam dan wajahnya tampak berubah kehitaman karena tersambar pukulan Dewi Siluman.
Dari punggung Sitoresmi, Pendekar 131 menemukan satu jubah berwarna merah yang dibungkus demikian rupa hingga membentuk bundar mirip punuk. Dengan cepat murid Pendeta Sinting kenakan jubah merah pada Sitoresmi hingga dadanya sedikit tertutup.
"Tubuh gadis ini panas bukan main. Hem... Akan kucoba salurkan tenaga 'inti Sukma Es'."
Perlahan-lahan Pendekar 131 putar tubuh Sitoresmi berbalik. Lalu dia kerahkan tenaga dalamnya pada kedua lengan. Kedua tangannya ditempelkan pada punggung Sitoresmi. Bersamaan itu hawa dingin menyeruak dan perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh Sitoresmi yang panas akibat pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepas gurunya sendiri.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar erangan halus dari mulut Sitoresmi. Murid Pendeta Sinting tarik pulang kedua tangannya. Lalu perlahan-lahan pula tubuh Sitoresmi diputar dan disandarkan kembali pada batu padas. Setelah mulutnya bergetar komat-kamit, akhirnya Sitoresmi membuka kelopak matanya. Sejurus sepasang mata gadis Ini menyipit pandangi sosok pemuda di depannya. Mulutnya terbuka, namun belum ada suara yang terdengar.
"Jangan bicara dahulu. Aturlah napasmu..." bisik Joko sambil memandang tajam pada gadis yang kini wajahnya berubah kehitaman.
"Terima kasih... Terima kasih kau telah menolongku!"
Joko letakkan telunjuk jarinya pada bibir Sitoresmi memberi isyarat agar gadis itu tidak teruskan bicara. Lalu jari-jari Joko menyeka darah yang masih tampak di sekitar mulut Sitoresmi. Gadis ini serasa melayang dan rasa sakit di sekujur tubuhnya laksana hilang. Seolah mendapat keberanian dan kekuatan baru, tangan Sitoresmi bergerak pelan memegang tangan Joko dan meremasnya, sementara tangan satunya diangkat dan memegang tangan Joko yang masih menyeka darah di mulutnya. Perlahan-lahan kelopak mata Sitoresmi meredup.
"Meski aku tahu gadis berbaju merah itu memikat hatimu, tapi aku sangat bahagia sekali bisa mendapatkan hal seperti ini. Hanya kenapa saat bahagia ini kurasakan ketika keadaanku demikian? Yang Maha Kuasa, tolong berikan aku waktu untuk dapat mengecap rasa bahagia ini lebih lama. Aku berjanji, akan menyimpan kenangan ini di lubuk hatiku, akan kuingat selalu..." Sitoresmi berbisik dalam hati seraya terus meremas tangan Joko.
Tanpa sadar, Joko balas meremas. Namun diam-diam dia berkata daiam hati. "Dia mungkin akan merasa kecewa setelah melihat perubahan pada wajahnya. Hem... Gadis malang. Tapi aku tidak akan melupakannya. Dia telah berkorban untukku!"
Jari-jari tangan Joko kini mengelus wajah Sitoresmi. Gadis ini gigit bibirnya. Dan perlahan-iahan air mata tampak menetes dari kelopak matanya. Bahunya penahan berguncang. "Kenapa kau lakukan semua ini?" bisik Joko sambil terus mengusap wajah Sitoresmi.
Air mata makin bertambah mengalir. Sitoresmi gelengkan kepalanya perlahan. Dan tangannya yang meremas tangan Joko diangkat lalu diletakkan di depan dadanya. Di seberang sana, Wulandari dan Ayu Laksmi tampak perdengarkan dengusan keras melihat apa yang dilakukan Joko pada Sitoresmi. Sementara Dewi Seribu Bunga tampak cemberut lalu palingkan kepala ke jurusan lain dengan raut merah. Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu telah tegak tujuh langkah di samping Pendekar 131.
"Dewi Siluman!" desis Joko mengetahui siapa adanya orang yang tegak.
Sitoresmi buka kelopak matanya dan memandang ke arah Dewi Siluman. "Pendekar 131! Biarlah dia kuhadapi..." bisik Sitoresmi. Entah apa yang membuat Sitoresmi berkata begitu, yang jelas gadis ini merasa punya kekuatan baru serta keberanian luar biasa. Malah dalam hati dia telah bertekad berani mati demi Pendekar 131!
"Kau masih terluka. Biarlah dia kuhadapi. Lagi pula aku punya urusan sendiri dengannya!" jawab Joko lalu lepaskan tangannya dari tangan Sitoresmi. Lalu berdiri tegak dengan mata tak berkesip memandang angker pada Dewi Siluman.
"Kali ini tidak cukup jika pedangku saja yang kau kembalikan! Kau juga harus merasakan seperti yang dialami gadis itu!" kata murid Pendeta Sinting.
Dewi Siluman tertawa panjang. "Jangan banyak pentang mulut, Pendekar gombal! Hidup dan matimu serta gadis cantikmu itu ada di tanganku! Tapi aku masih punya pertimbangan. Serahkan Kitab Serat Biru padaku, niscaya kau kubebaskan membawa bekas muridku itu ke mana kau suka!"
Pendekar 131 balik tertawa. "Tanpa pertimbanganmu, aku bebas membawanya ke mana kusuka. Atau barangkali kau mau ikut serta?! Namun harap buka dahulu penutup wajahmu, aku takut, jangan-jangan ucapan orang tua tadi betul! Kau perempuan yang..."
"Jahanam!" maki Dewi Siluman keras. Sosoknya segera berkelebat ke depan dengan kedua tangan bergerak lepaskan pukuian 'Kabut Neraka'.
Joko yang sudah waspada tak menunggu lagi. Begitu dari kedua tangan Dewi Siluman melesat kabut hitam, dia kirimkan pukulan 'Lembur Kuning'! Pukulan 'Lembur Kuning' belum menggebrak, satu kekuatan aneh telah melesat mendahului.
"Bummm!" Ledakan dahsyat menggelegar membuncah tempat itu. Sosok Dewi Siluman terpental satu tombak ke belakang. Akibat pukulan 'Kabut Neraka' bentrok dengan kekuatan yang melesat mendahului pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sepasang mata Dewi Siluman terbeliak, karena baru saja kakinya menjejak tanah, gelombang angin panas pukulan 'Lembur Kuning' menggebrak!
Dewi Siluman tidak menunggu, kedua kakinya segera dihentakkan ke atas tanah. Dari sepasang matanya melesat sinar hitam yang langsung diarahkan pada pukulan yang kini mengarah padanya!
"Byaaarrr!" Gelombang panas ambyar bertabur sinar hitam. Sosok Dewi Siluman terjengkang roboh. Di depannya murid Pendeta Sinting terhuyung lalu jatuh terduduk. Namun karena khawatir lawan hendak lepaskan pukulan lagi dengan menahan rasa nyeri di dada masing-masing, Dewi Siluman dan Pendekar 131 segera sama-sama bergerak bangkit.
Tiba-tiba Dewi Siluman cabut Pedang Tumpul 131 dari balik jubahnya. Tangan kanannya menarik pedang dari sarungnya yang dipegang tangan kiri. Lalu tangan kirinya mencampakkan sarung pedang itu ke tanah. Sembari menyeringai ganas, Dewi Siluman segera melompat ke depan. Pedang Tumpul 131 dibabatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting! Sinar kekuningan yang dikeluarkan hawa luar biasa panas segera menghampar bersamaan dengan membabatnya pedang.
Maklum akan kehebatan pedang miliknya sendiri, murid Pendeta Sinting segera mundur satu langkah. Lalu sambil melompat dari arah samping kedua tangannya bergerak menggebrak ke arah tangan Dewi Sliuman yang membabatkan pedang.
Dewi Siluman hentikan babatan pedangnya. Dan secepat kilat dia tarik pulang kedua tangannya, sementara tubuhnya ditarik sedikit, hingga gebrakan tangan Joko menghantam tempat kosong. Saat kedua tangan Joko lewat, Dewi Siluman sentakkan tangan kanannya yang memegang pedang.
"Breettt!" Pakaian murid Pendeta Sinting robek besar pada bagian samping lambung. Untung Pendekar 131 cepat berkelit. Terlambat sedikit, bukan tidak mungkin perutnya akan ambrol terbabat Pedang Tumpul 131.
Dewi Siluman tertawa pendek. "Masih ada waktu untuk berpikir! Lekas serahkan Kitab Serat Biru atau kepala dan perutmu akan kubuat jebol"
Sitoresmi tampak cemas melihat kejadian itu. Diam-diam dia bergumam. "Perempuan ini penghalang kebahagiaan ku! Kalau Pendekar 131 tak bisa bertahan, rasanya aku tak bisa hidup sendirian! Lebih baik mati bersama daripada hidup merasa sendirian!" serentak Sitoresmi bergerak bangkit. Meski masih terhuyung-huyung namun gadis ini kuatkan diri.
"Bagus! Kuturuti kehendak kalian yang ingin mampus bersama!" teriak Dewi Siiuman geram.
Saat itulah satu bayangan merah berkelebat disusul dengan menderunya angin keras. Dewi Siluman cepat berpaling. Dewi Seribu Bunga kini tampak tegak lima jangkah di depannya!
"Kau!" desis Dewi Siluman. "Katakan apa maksudmu!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Mata gadis murid Maut Mata Satu ini memandang pada Sitoresmi lalu pada Pendekar 131. Sitoresmi balas memandang. Hingga sejurus kedua gadis Ini sama bentrok pandangan.
"Dewi Seribu Bunga!" kata Joko. "Harap kau tidak ikut campur!"
"Dan harap jangan mengambil keuntungan dari keadaan!" sahut Dewi Siluman karena masih menduga jika Dewi Seribu Bunga menginginkan Pedang Tumpul 131 seperti yang pernah didengarnya saat Dewi Seribu Bunga bercakap-cakap dengan gurunya Maut Mata Satu beberapa waktu lalu di lereng bukit.
Mendengar ucapan orang, Dewi Seribu Bunga yang telah dilanda rasa cemburu membuang muka sambil berkata keras. "Jangan sembarangan berucap menuduh orang! Dan kau gadis berjubah merah! Sekali lagi kudengar ucapanmu yang bukan-bukan, aku tak segan menambah tamparan pada mulutmu!"
Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga mundur agak menjauh. Tapi sepasang matanya tak hendak beranjak dari tubuh Sitoresmi. Sebaliknya Sitoresmi tak juga palingkan wajahnya dari menatap ke arah Dewi Seribu Bunga!
"Hem... Tampaknya gadis-gadis ini lebih mementingkan urusan cinta! Dasar gadis bodoh! Mereka kira cinta dapat membahagiakan hidup! Hik hik hik... Mereka tidak tahu, justru cinta adalah pangkal malapetaka dan sengsara!" kata Dewi Siluman dalam hati. Lalu memanfaatkan keadaan, perempuan bercadar dan berjubah hitam ini cepat meloncat ke arah Pendekar Tangan kanannya kembali babatkan pedang, sementara tangan kirinya melepaskan pukulan mengarah pada kepala!
Pendekar 131 yang diam-diam telah kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan dan kedua tangannya segera menyambuti dengan angkat kedua tangannya.
"Bukkk! Buukkk!" Dewi Siluman memekik keras. Tangan kirinya yang beradu dengan tangan kanan Pendekar 131 mental balik ke belakang. Sementara tangan kanannya yang memegang pedang dan baru saja bentrok dengan tangan kiri Joko tampak bergetar keras serta kejang kaku dan dingin tidak bisa digerakkan! Hingga tatkala Dewi Siluman mundur, Pedang Tumpul 131 terlepas dari tangannya.
Murid Pendeta Sinting yang baru saja lepaskan tenaga Inti 'Sukma Es' segera merangsek ke depan. Namun Dewi Siluman segera berkelebat menghadang dengan kaki menginjak Pedang Tumpul 131. Karena sudah telanjur merangsek, kedua tangan Joko segera pula berkelebat lepaskan pukulan. Dewi Siluman tak berani berlaku ayal. Kedua kakinya cepat menghentak tanah. Saat itu juga dari sepasang matanya melesat dua sinar hitam!
"Sinar Setan!" seru Sitoresmi. "Menyingkir!"
Tak ada kesempatan !agi bagi murid Pendata Sinting untuk menghindar selamatkan diri. Hingga pada saat genting itu dia cepat alirkan tenaga dalamnya di telapak tangannya. Lalu seraya terus merangsek dia menghadang dengan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
"Dess! Desss!" Baik Dewi Siluman maupun Pendekar 131 tak dapat hindarkan diri dari pukulan lawan. Hingga saat terjadi bentrok pukulan, sosok masing-masing sama-sama terpelanting. Joko jatuh terkapar dengan pakaian hangus dan sebagian robek. Wajahnya pucat pasi dengan dada berdebar sakit. Meski pukulan 'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman menghantam tubuhnya, namun karena Joko telah melindungi diri dengan tenaga inti 'Sukma Es', maka tubuhnya tidak melepuh hangus, walau tak urung darah segar nampak keluar dari mulutnya pertanda dia terluka bagian dalam.
Sebaliknya Dewi Siluman sendiri telentang di atas tanah berpasir dengan tubuh bergeletar dan mata memejam rapat. Dari bagian bawah cadar penutup wajahnya tampak darah menetes, pertanda dia juga terluka bagian dalam. Bahkan untuk beberapa lama perempuan bercadar dan berjubah hitam ini diam tidak bergerak-gerak. Saat itulah tiba-tiba bayangan merah berkelebat dan menyambar Pedang Tumpul 131 beserta sarungnya yang tergeletak di atas pasir.
***
TUJUH
KITA kembali sejenak ke tempat agak jauh di sebelah kanan. Begitu Ratu Pemikat melihat Dewi Siluman berkelebat ke arah Pendekar 131 yang coba salurkan hawa murni selamatkan Sitoresmi, perempuan cantik bertubuh bahenol ini yang urusannya pernah dihalangi oleh iblis Ompong beberapa waktu yang lalu segera berkelebat ke arah kakek tak punya leher dan tak punya gigi ini yang tetap berdiri tegak memunggungi.
Melihat hal ini, Datuk Hitam yang punya ganjalan dengan Ratu Malam segera pula melompat ke arah si nenek yang duduk mencangklong di atas gugusan batu padas. Maut Mata Satu tak tinggal diam. Dia cepat melesat ke depan dan tegak tiga langkah di hadapan Dewi Es. Ki Buyut Pagar Alam memandang sejenak pada Dewa Sukma dan Gendeng Panuntun. Dia seolah menimbang. Lalu sekejap kemudian dia telah berkelebat ke arah Dewa Sukma.
Merak Kawung sejurus merasa kebingungan. Karena tinggal Gendeng Panuntun yang masih tampak belum ada yang menghadapi, akhirnya laki-laki setengah baya berkepala gundul ini merangsek ke arah Gendeng Panuntun yang masih telentang menindih tubuh Malaikat Penggali Kubur.
Karena jarak yang paling dekat adalah antara Merak Kawung dan Gendeng Panuntun, maka laki-laki setengah baya ini sekejap saja sudah tepat berada di hadapan Gendeng Panuntun, Dan tanpa menunggu lama dia segera lepaskan satu tendangan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Gelombang angin terdengar menderu keras mendahului tendangan yang dilepas Merak Kawung.
Gendeng Panuntun kucek-kucek matanya yang putih, lalu berguling ke samping kanan. Tendangan maut Merak Kawung sejengkal lewat di samping tubuhnya, membuat Merak Kawung menggeram. Dia putar tubuhnya sekali. Lalu maju selangkah dan serta-merta tangan kanannya berkelebat menghantam ke arah sosok Gendeng Panuntun yang telah kembali menindih sosok Malaikat Penggali Kubur.
"Mampus!" teriak Merak Kawung saat melihat Gendeng Panuntun tidak membuat gerakan meski si laki-laki berkepala gundul itu telah lepaskan satu pukulan ke arahnya.
Namun sejengkal lagi tangan kanan Merak Kawung menghantam batok kepala Gendeng Panuntun, kakek bertubuh besar bermata buta ini gerakkan kaki kanannya sambil berguling.
"Settt!" Merak Kawung terkesiap. Kaki kanannya terdorong deras ke belakang hingga tubuhnya melipat ke depan. Namun Merak Kawung tak hendak urungkan tangan kanannya yang menghantam.
"Buukkk!" Terdengar seruan tertahan keras. Bukan dari mulut Gendeng Panuntun melainkan dari mulut Malaikat Penggali Kubur yang terkena hantaman tangan Merak Kawung. Bukan hanya sampai di situ, saat tubuh Merak Kawung melipat ke depan, Gendeng Panuntun angkat kaki kanannya dan ditusukkan pada pantat Merak Kawung. Merak Kawung terjerembab menelungkup di atas tubuh Malaikat Penggali Kubur dengan deras, membuat Malaikat Penggali Kubur kembali berseru seraya memaki tak karuan.
“Jahanam! Kau memukul dan menindihku!" teriak Malaikat Penggali Kubur lalu gerakkan kedua tangannya memukul ke atas, di mana saat itu sosok Merak Kawung berada di atasnya.
"Bukk! Bukkk!" Mendapati dirinya dihantam dari bawah, Merak Kawung tak tinggal diam, kedua tangannya yang tertindih tubuhnya segera ditarik keluar lalu dihantamkan ke arah punggung Malaikat Penggali Kubur.
"Bukkk! Bukkk!"
Malaikat Penggali Kubur menggembor marah. Dia kembali hendak menghantam ke atas, sementara Merak Kawung yang tahu hendak dihantam kembali hantamkan kedua tangannya. Ketika kedua pasang tangan itu sama-sama hendak menggebuk, tiba-tiba Gendeng Panuntun jejakkan tangan dan kakinya ke tanah berpasir. Tubuhnya membal ke udara lalu bergerak ke samping ke arah Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur.
"Plukkk!" Terdengar dua seruan keras berbarengan. Sosok besar Gendeng Panuntun kini telentang menindih tubuh Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur. Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur sama-sama tercekat. Karena tindihan Gendeng Panuntun dengan pengerahan tenaga dalam, maka kedua orang di bawah tubuh Gendeng Panuntun hanya bisa gerak-gerakkan tangan tanpa bisa gerakkan tubuh.
"Ha ha ha...! Rasanya enak juga berkasur anak manusia!" kata Gendeng Panuntun sambil tertawa bergelak-gelak hingga tubuhnya berguncang-guncang, membuat dua orang di bawahnya menyumpah tak karuan.
"Setan alas!" teriak Merak Kawung lalu hantamkan sikunya ke arah tubuh Gendeng Panuntun.
"Dukkk!" Sosok Gendeng Panuntun bergoyang-goyang. Namun sekejap kemudian Gendeng Panuntun bergerak bangkit. Usap-usapan cerminnya sejurus lalu kaki kanannya menjulur kebelakang dan bergerak menendang kaki Merak Kawung.
"Desss!" Karena tendangan itu bukan tendangan biasa, maka saat itu juga sosok Merak Kawung tampak berputar-putar di atas tubuh Maiaikat Penggali Kubur laksana baling-baling.
Saat itulah Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya ke atas tanah. Tubuhnya melonjak ke atas, membuat tubuh Merak Kawung ikut membumbung ke udara! Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Malaikat Penggali Kubur. Dia segera balikkan tubuh. Ketika sosok Merak Kawung yang tetap berputar melayang turun, Malaikat Penggali Kubur yang sudah merasa geram cepat rentangkan kedua tangannya, sementara kakinya ditekuk sedikit ke atas. Saat setengah depa lagi tubuh Merak Kawung menghempas tubuhnya, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangan dan kakinya.
"Prakkk! Desss!" Merak Kawung menjerit keras. Tubuhnya kembali membumbung ke udara, lalu melayang jatuh dengan kepala rengkah dan nyawa putus!
Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu cepat bergerak bangkit. Menatap sejurus pada mayat Merak Kawung lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. Untuk beberapa saat murid Bayu Bajra ini tampak ragu-ragu. Dari beberapa kali bentrok, tampaknya Malaikat Penggali Kubur sadar, bahwa ilmu kepandaiannya masih berada di bawah Gendeng Panuntun. Namun hawa amarah tampaknya lebih menguasai dirinya. Hingga didahului bentakan keras, pemuda ini melesat ke depan seraya lepaskan pukuian 'Telaga Surya'!
Namun baru saja dari kedua tangannya yang mengepal keluarkan cahaya terang, beberapa pantulan cahaya telah melesat hingga kedua tangan Malaikat Penggali Kubur terpental ke belakang. Malaikat Penggali Kubur cepat melompat mundur, lalu secepat itu pula kedua tangannya diangkat.
Namun belum sampai kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan, kembali beberapa pantulan cahaya menggebrak, malah kali ini disertai menderunya angin keras! Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur sedang siapkan pukulan 'Telaga Surya', hingga dia tidak kuasa membendung gebrakan angin yang mengarah padanya.
"Desss! Deesss!" Sosok Malaikat Penggali Kubur mencelat dan terjengkang di atas tanah berpasir dengan mulut keluarkan darah. Entah karena merasa khawatir Gendeng Panuntun hendak menyerang kembali, Malaikat Penggali Kubur cepat bergerak bangkit meski sekujur tubuhnya merasa luluh lantak.
"Kau!" ujar Malaikat Penggali Kubur dengan memandang tajam pada Gendeng Panuntun yang tegak sepuluh langkah di hadapannya. "Adalah manusia pertama yang kelak akan kucari!" Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur terhuyung-huyung balikkan tubuh lalu berkelebat ke arah pinggir pulau.
Gendeng Panuntun tertawa mengekeh, lalu melangkah ke arah satu gugusan batu padas dan duduk bersandar dengan mata memejam!
Di sebelah samping, tiba-tiba terdengar letupan. Lalu tampak kepingan batu padas bertabur ke udara. Disusul bentakan keras yang ternyata keluar dari mulut Datuk Hitam karena sosok Ratu Malam yang duduk mencangklong di atas batu padas tiba-tiba berkelebat lenyap hingga hantaman tangan Datuk Hitam melabrak batu padas yang tadi diduduki Ratu Malam.
Datuk Hitam kertakkan rahang. Lalu berpaling ke samping kanan. Tangan kanannya menyibak ram butnya yang terurai ke wajahnya. Sepasang matanya mendelik angker menatap pada Ratu Malam yang kini tegak dengan kacak pinggang dan mulut bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau hitam.
"Terimalah kematianmu!" teriak Datuk Hitam. Lalu laksana terbang kakek berwajah hitam legam ini melesat ke arah Ratu Malam. Kedua tangannya mengembang lalu menghentak ke depan lepaskan pukulan 'Puspa Jagat'.
"Wuuttt! Wuuutttt!"
Sesaat suasana berubah hitam. Lalu terdengar deru keras disertai menggebraknya hamparan angin deras berhawa panas. Ratu Malam dongakkan kepala. Gumpalan tembakau hitam di mulutnya tampak keluar mencuat, namun kejap kemudian tertarik dan masuk lagi ke mulutnya. Bersamaan itu kedua tangannya mendorong ke depan lalu disentakkan ke bawah.
Gebrakan gelombang angin yang keluar dari kedua tangan Datuk Hitam tertahan di udara, lalu bersamaan dengan menyentaknya tangan Ratu Maiam ke bawah, gebrakan angin itu menukik deras menghantam tanah berpasir!
"Bummm!" Tanah berpasir berwarna biru berhambur ke udara. Lalu tampak lobang besar menganga karena akibat pukulan Datuk Hitam yang berbelok menukik. Meski tidak langsung bentrok pukulan, namun sosok Datuk Hitam tampak tersurut lima langkah dengan wajah makin mengetam. Dadanya berdenyut nyeri sementara kedua tangannya bergetar.
Sebenarnya nyali Datuk Hitam sudah pupus tatkala mengetahui pukulan andalannya begitu mudah dipangkas oleh Ratu Malam. Namun berpikir Ratu Malam tidak akan membiarkannya pergi, membuat Datuk Hitam nekad. Sepasang kaki Datuk Hitam segera menjejak tanah. Tubuhnya membumbung ke udara, di atas kakek berwajah hitam ini membuat gerakan telentang dan berputar-putar. Lalu melesat ke depan sambil kirimkan pukulan 'Puspa Jagat' untuk kedua kalinya!
Ratu Maiam komat-kamitkan mulut. Tiba-tiba nenek ini putar tubuh dan kejap lain tubuhnya membai tinggi ke udara satu tombak di atas tubuh Datuk Hitam, membuat pukulan Datuk Hitam menghantam tempat kosong. Dan begitu melihat sosok Ratu Malam melayang di atas tubuhnya, Datuk Hitam tersentak kaget. Takut Ratu Malam lepaskan pukulan, Datuk Hitam segera bergerak mendahului lepaskan pukulan dengan sentakkah kedua tangannya ke atas.
Namun bersamaan dengan itu, kedua tangan Ratu Malam menyentak ke bawah. Hingga gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Datuk Hitam tertahan malah kini berbalik menggebrak ke arah si kakek!
Tidak ada waktu lagi bagi Datuk Hitam untuk menangkis atau menghindar dari pukulannya sendiri yang membalik, hingga saat itu juga Datuk Hitam memekik keras terhantam pukulannya sendiri. Sosoknya lebih keras berputar lalu melayang jatuh bergedebukan di atas tanah berpasir dengan mulut dan hidung keluarkan darah. Untuk sesaat kakek berwajah hitam ini mengerang, namun kejap lain suara erangannya terputus laksana direnggut setan. Tubuhnya melejang sejenak sebelum akhirnya diam tak berkutik lagi!
Ratu Malam melayang turun sambil usap-usap jubah merahnya di bagian bahu yang tampak hangus. Memandang sejenak pada sosok Datuk Hitam yang sudah tidak bernyawa, lalu melangkah ke arah batu padas di mana Gendeng Panuntun duduk bersandar. Kejap lain nenek berambut putih sebatas tengkuk ini telah duduk mencangklong di atas batu sandaran Gendeng Panuntun!
***
Saat Datuk Hitam berkelebat menggebrak ke arah Ratu Malam, di sebelah samping, Ratu Pemikat telah pula melesat dan langsung lepaskan jotosan tangan kiri kanan ke arah belakang kepala Iblis Ompong.
Kakek tidak punya leher dan tidak bergigi ini tengadah sedikit, mulutnya dibuka lebar-lebar. Karena dia tegak memunggungi, begitu sejengkal lagi kedua jotosan Ratu Pemikat menggebrak kepalanya, Iblis Ompong lipat tubuhnya ke depan, hingga jotosan sang Ratu hanya menghantam angin di atas kepala Iblis Ompong yang telah menghindar. Malah karena Iblis Ompong melipat tubuhnya ke depan, membuat pantatnya mencuat menungging. Hingga karena Ratu Pemikat tidak menduga, maka tak ampun lagi pantat Iblis Ompong menumbuk deras perut Ratu Pemikat.
"Buukkk!" Sosok Ratu Pemikat mental ke belakang. Namun sebelum tubuhnya menjejak tanah, Ratu Pemikat telah kerahkan tenaga dalam, lalu melesat kembali ke depan dengan mengambil posisi agak ke samping. Setengah tombak lagi sampai, Ratu Pemikat putar tubuh, lalu disertai bentakan keras kaki kanannya membuat gerakan menendang sosok Iblis Ompong yang masih menungging.
Tapi bersamaan dengan melesatnya kaki Ratu Pemikat menendang, tiba-tiba Ibiis Ompong tarik tubuhnya lalu cepat tubuhnya bergerak rebah ke bawah rata dengan tanah. Melihat hal ini, Ratu Pemikat cepat tarik pulang kakinya, namun secepat itu pula kakinya dihentakkan ke bawah menggebrak ke arah sosok Iblis Ompong. Tapi perempuan cantik bertubuh bahenol ini melengak kaget. Karena bersamaan dengan itu kaki Iblis Ompong bergerak menyapu ke arah sebelah kaki Ratu Pemikat yang digunakan sebagai tumpuan tubuhnya.
"Desss!" Tubuh Ratu Pemikat terhuyung ke depan sebelum akhirnya jatuh telengkup di atas tubuh Iblis Ompong!
"Sial! Seandainya aku telentang, tentu kenikmatannya akan bertambah!" ujar Iblis Ompong.
Di seberang terdengar suara orang tertawa mengekeh panjang. "Hei… Kau tertawa sendirian. Ada apa?! Katakan apa yang kau lihat!" Gendeng Panuntun berucap saat mendengar Ratu Malam yang duduk mencangklong di atasnya tertawa bergelak.
"Mau-maunya perempuan cantik itu menindih tubuh bau Lantika! Hik hik hik...! Apa dikira tubuh tua bangka itu masih menjanjikan kehangatan?”
"Jadi...?!" ujar Gendeng Panuntun.
"Gadis bahenol berbaju biru itu saling tindih dengan saudaramu Lantika! Malah sempat menciumi punggungnya! Hik hik hik...!"
"Walah, mimpi apa dia tadi malam hingga hari ini mendapat rezeki besar! Sampai-sampai punggungnya diciumi gadis cantik! Sekarang katakan padaku apa lagi yang dilakukan gadis cantik itu!"
"Dia mengelus-elus leher Lantika! Hik hik hik...! Apa dia tidak tahu jika tua bangka itu tidak punya leher?!"
"Apa? Mengelus lehernya?!" ulang Gendeng Panuntun sambil geleng-geleng kepala. "Dunia ini yang sudah gila atau orang-orang itu yang gila-gilaan? Beraninya mereka bermesra-mesraan di hadapan orang..."
Ratu Pemikat menggereng marah. Dia cepat tarik kepalanya dari punggung Iblis Ompong. Lalu tubuhnya ditarik ke depan dan kini menduduki pantat iblis Ompong. Kejap lain kedua tangannya bergerak menghantam ke arah kepala si kakek!
Ratu Malam tiba-tiba putuskan tawanya, sepasang matanya yang sipit perhatikan ke arah Ratu Pemikat tak berkesip. Sementara Ratu Pemikat menyeringai seraya teruskan hantamannya. Dia yakin kali ini Iblis Ompong tidak akan bisa lolos dari hantaman tangannya, karena tubuhnya tertindih tak bisa bergerak. Namun saat kedua tangan Ratu Pemikat sejengkal lagi menghantam kepala si kakek, tiba-tiba kedua kaki Iblis Ompong bergerak terangkat ke belakang.
"Buukkk! Buukkk!" Punggung Ratu Pemikat tertumbuk kedua kaki iblis Ompong hingga bukan hanya membuat hantaman tangannya melenceng menghantam tangan di samping kepala si kakek, lebih dari itu kembali tubuhnya jatuh telungkup di atas tubuh Iblis Ompong!
Ratu Malam angkat tangannya menutupi mulutnya, namun tak urung suara tawa cekikikannya masih terdengar keluar. Ratu Pemikat sudah tidak dapat lagi membendung marah. Tanpa menarik lagi kepalanya dari punggung Iblis Ompong, kedua tangannya yang berada di sebelah kepala si kakek segera bergerak menghantam! Saat itulah mendadak sepasang kaki Iblis Ompong menekuk ke atas. Lalu...
"Wuttt!" Pantat iblis Ompong bergerak mencuat ke atas. Sosok Ratu Pemikat terpental ke depan. Untung perempuan ini cepat dapat kuasai tubuh, hingga walau sejenak tampak terhuyung, namun kejap lain telah tegak. Dengan wajah merah mengelam, Ratu Pemikat putar tubuh. Di depannya, Iblis Ompong bergerak bangkit, namun kejap kemudian dia berbalik dan memunggungi Ratu Pemikat dengan mulut dibuka lebar-lebar. Malah sesaat kemudian tangan kanannya meraba punggungnya.
"Ah, hangatnya masih terasa..." gumamnya lalu tertawa terbahak. Dia memandang sejenak pada Gendeng Panuntun dan berujar. "Rawadan! Tidakkah kau ingin menikmatinya juga? Dadanya hangat, aromanya harum..."
"Sialan kau, Lantika! Ucapanmu membuatku jadi berdebar-debar!"
"Jahanam!" maki Ratu Pemikat dengan mata mendelik.
"Hai! Kalian ini sedang bermesraan atau apa? Satunya mengatakan kenikmatan, tapi satunya lagi memaki tak karuan! Heran..." Gendeng Panuntun berujar sambil usap-usap cerminnya.
"Ah, kau juga pura-pura tak tahu! Perempuan biasanya kan begitu. Memaki-maki tapi sebenarnya hatinya mau... Hik hik hik..." Yang menyahut adalah Ratu Malam.
"Kalian semua Tua-tua bangka busuk!" teriak Ratu Pemikat. Lalu angkat kedua tangannya dan lepaskan pukulan sakti 'Hamparan Langit'. Sinar terang biru melesat mengembang lalu menyungkup tempat itu. Gelombang angin deras berkiblat!
Iblis Ompong maju satu tindak kedepan. Lalu kedua tangannya menyentak ke belakang. "Wusss! Wuusss!" Dari kedua tangan Iblis Ompong melesat dua bola asap sebesar roda kereta keluarkan suara berderak-derak laksana roda kereta melaju di atas pasir!
Saat sinar terang biru hampir bentrok dengan dua bola asap, tiba-tiba bola asap itu mengembang besar. Kejap lain, laksana punya kekuatan sedot luar biasa, sinar biru terang pukulan andalan Ratu Pemikat masuk lenyap ke dalam dua bola asap. Pada saat bersamaan, terdengar ledakan hebat. Bola asap ambyar bertabur ke udara pancarkan warna putih dan biru.
Sosok Ratu Pemikat terpelanting ke belakang dan jatuh berlutut dengan mata terpejam dan mulut keluarkan darah. Wajahnya berubah pucat pasi. Di sebelah depan Iblis Ompong terdorong ke muka sampai tiga langkah. Terhuyung sejenak namun saat lain dia telah memandang Ratu Pemikat dari sela kedua kakinya dengan tubuh melipat ke depan dan pantat menungging!
Ratu Pemikat terhuyung bangkit. Kerahkan tenaga dalam, lalu kembali melesat ke arah iblis Ompong. Namun baru saja kedua tangannya hendak bergerak lepaskan pukulan, tiba-tiba perempuan ini rasakan tubuhnya terlanggar gelombang angin dahsyat, hingga sosoknya mental balik dan terjengkang roboh di atas tanah berpasir. Belum sempat dia bangkit, tampak dua bola asap menggelinding deras ke arahnya.
Meski sudah terluka, namun perempuan cantik ini tidak mau pasrah. Dia segera gulingkan tubuhnya ke samping kanan. Meski tubuhnya selamat dari derakan bola asap yang keluar dari tangan Iblis Ompong, namun tak urung kaki kirinya sempat terlanggar, hingga sambil terus bergulingan dia menjerit dan tarik kaki kirinya menekuk di depan dada. Begitu gulingan tubuhnya berhenti, perempuan ini perlahan-lahan bangkit. Wajahnya sudah pucat pasi. Pakaian yang dikenakan berubah menghitam.
"Aku bisa celaka sendiri jika meneruskan pertarungan ini!" desisnya sambil melirik kanan kiri. Begitu dilihatnya Iblis Ompong tak juga membuat gerakan lagi, Ratu Pemikat cepat putar tubuh lalu berlari menuju pinggir pulau.
Iblis Ompong hanya memandang dari sela kedua kakinya lalu tertawa terkekeh-kekeh dan terus buka mulutnya meski suara tawanya telah tidak terdengar lagi!
***
DELAPAN
MAUT Mata Satu yang tidak mengenal siapa adanya Dewi Es tampaknya hanya memandang sebelah mata. Hingga tatkala dia lepaskan tendangan ke arah Dewi Es yang duduk bersila dihadapannya, dia hanya andalkan tenaga luar. Namun demikian sebelum tendangan itu sendiri menghantam sasaran kepala Dewi Es, gelombang angin menderu keras hingga curahan air yang tampak mengguyur dari atas tubuh Dewi Es menyibak!
Tapi setengah jalan tendangan kaki Maut Mata Satu yang mengarah pada kepala Dewi Es, mendadak perempuan berjubah putih yang tubuhnya selalu tampak diguyur air ini angkat kepalanya dengan kelopak membuka. Tangan kirinya diangkat sejajar bahu lalu didorong pelan ke depan.
Udara tiba-tiba berubah dingin. Lalu Maut Mata Satu rasakan kakinya kejang beku. Sadar akan bahaya, cepat Maut Mata Satu tarik pulang kakinya. Namun tak urung juga kakek bermata satu ini terlengak kaget. Karena saat itu juga gelombang angin dingin menyambar hingga tubuhnya tersurut dua langkah kebelakang! Hal ini menyadarkan Maut Mata Satu jika lawan yang dihadapi tidak bisa dipandang enteng.
Sambil mendelik besar, Maut Mata Satu kembali melangkah maju. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Dengan kerahkan separo tenaga dalamnya, guru Dewi Seribu Bunga ini ayunkan kedua tangannya lepaskan hantaman!
Untuk kedua kalinya Dewi Es hanya angkat tangan kirinya sejajar bahu. lalu didorong agak ke atas. Kedua tangan Maut Mata Satu terpental balik ke belakang. Untung kakek bermata satu ini cepat kerahkan tenaga murni pada kedua tangannya, jika tidak niscaya kedua tangannya akan kejang beku! Karena ketika Maut Mata Satu meneliti, ternyata kedua tangannya tampak dibungkus oleh gumpalan-gumpalan es!
"Keparat jahanam!" maki Maut Mata Satu marah karena merasa disepelekan. Kakek ini kerahkan segenap tenaga yang dimiliki. Didahului bentakan keras, ia melompat ke depan dengan tangan kiri kanan mengayun deras!
Sosok Dewi Es terlihat bergoyang akibat bias tenaga dalam yang menyertai ayunan kedua tangan Maut Mata Satu, membuat Maut Mata Satu percaya diri, dan teruskan ayunan kedua tangannya yang mengarah pada kepala Dewi Es. Sejengkal lagi kedua tangan Maut Mata Satu menggebrak pecah kepala Dewi Es, perempuan ini angkat kedua tangannya sekaligus.
"Desss! Desss!" Maut Mata Satu berseru keras. Kali ini bukan hanya kedua tangannya yang baru saja bentrok dengan kedua tangan Dewi Es yang mencelat mental namun tubuhnya ikut tersapu mundur dan kalau saja dia tidak cepat bisa kuasai diri, niscaya tubuhnya akan terjengkang roboh di atas tanah berpasir!
Maut Mata Satu sudah kehabisan akal, hingga jalan satu-satunya adalah langsung lepaskan pukulan andalan. Kakek ini sejenak pandangi Dewi Es. Lantas maju tiga tindak. Tubuhnya tiba-tiba bergetar. Kejap lain kedua tangannya bergerak menghantam.
"Wuuttt! Wuuttt!" Dari tangan kiri Maut Mata Satu membersit sinar hitam, sedang dari tangan kanannya melesat sinar berwarna-warni. Maut Mata Satu sekaligus telah lepaskan dua pukulan andalan. Tangan kiri kirimkan pukulan 'Gelombang Kematian' sedang tangan kanan lepaskan pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'! Hingga seketika itu pula, terdengar deru gelombang angin dahsyat yang ditingkahi dengan muncratnya bunga-bunga api hamparkan hawa luar biasa panas!
Dewi Es pejamkan kembali kelopak matanya. Lalu kedua tangannya disentakkan keras ke depan. Dari tangan perempuan ini tampak muncratan air disusul dengan melanggarnya gelombang angin dingin. Terdengar letupan beberapa kali tatkala bunga-bunga api pecah dan meredup. Sesaat kemudian terdengar ledakan keras ketika dua gelombang angin beradu di udara.
Sosok Maut Mata Satu tersapu dan mencelat lalu jatuh terkapar dengan napas megap-megap dan tubuh bergetar. Sementara dari mulutnya mengalir darah segar akibat bentrokan tadi, kakek bermata satu ini telah mengalami luka cukup parah di bagian dalam.
Sementara Dewi Es sendiri tampak terseret ke belakang dan baru terhenti tatkala punggungnya menumbuk satu gugusan batu padas. Namun perempuan ini tidak mengalami cedera sama sekali, malah perlahan-lahan dia bergerak bangkit.
Maut Mata Satu bergerak bangkit sambil mengusap mulutnya yang keluarkan darah. Diam-diam nyali kakek ini telah menciut, apalagi ketika matanya menangkap sosok Ratu Pemikat yang melarikan diri dan melihat Merak Kawung yang telah jadi mayat. Dia berpaling ke belakang. Dia jadi terkesiap tatkala melihat Dewi Seribu Bunga tidak ada lagi di tempatnya.
Sebenarnya Maut Mata Satu sudah punya niat untuk meninggalkan pulau melarikan diri, namun karena Dewi Seribu Bunga tampak berada jauh ke depan, membuat kakek ini tampak kebingungan bercampur jengkel, karena muridnya tidak turuti apa yang dikatakannya.
Selagi Maut Mata Satu dilanda kebimbangan, tiba-tiba terdengar satu suara. "Boleh leluasa tinggalkan pulau, tapi tinggalkan dulu pakaian yang melekat! Hik hik hik...!"
"Benar! Celananya tampak bagus, aku menginginkannya!" sahut suara lain. Ternyata yang keluarkan suara adalah Ratu Malam dan Iblis Ompong.
"Ah, karena pakaiannya mungkin tak cukup untukku, aku menginginkan matanya saja! Meski cuma satu, tapi lumayan! Bisa untuk melihat tubuh bahenol!" ujar Gendeng Panuntun. Lalu tertawa bergelak.
"Jahanam! Mereka pasti tak akan membiarkan orang lolos! Apa boleh buat, daripada menanggung malu lebih baik mampus bersama!" putus Maut Mata Satu. Untuk kedua kalinya, kakek bermata satu ini melompat ke depan. Dari jarak tujuh langkah, dia lepaskan pukulan sakti 'Api Seribu Bunga'.
Dewi Es angkat kedua tangannya ke atas kepala. Bunga-bunga api yang melesat tertahan di udara, membuat Maut Mata Satu tercekat. Dia buru-buru hendak menyingkir, namun sebelum tubuhnya berkelebat selamat diri, Dewi Es telah dorong kedua tangannya ke depan.
Bunga-bunga api berbalik dan kini makin kencang melesat ke arah Maut Mata Satu! Karena tenaganya telah terkuras, dan lebih-lebih lagi dirinya telah terluka, meski Maut Mata Satu masih sempat angkat tangannya namun bunga-bunga api telah menggebrak lebih dulu!
Maut Mata Satu perdengarkan pekikan tinggi. Tubuhnya terhuyung dengan jubah dan sebagian anggota tubuh berlobang-lobang terkena hamburan bunga-bunga api. Dari tiap lobang anggota tubuhnya keluar darah kehitaman. Sementara dari mulut makin banyak lagi darah yang mengalir.
"Kalian... Kalian semua..." Hanya itu ucapan yang terdengar dari mulut Maut Mata Satu. Bersamaan itu sosoknya tumbang di atas tanah dengan nyawa lepas!
Ki Buyut Pagar Alam tampak tercekat tatkala mengetahui Merak Kawung, Datuk Hitam serta Maut Mata Satu menggeletak tewas. Apalagi tatkala memandang ke jurusan agak jauh terlihat Dewi Siluman terkapar di atas tanah berpasir. Gemuruh kemarahannya naik ke ubun-ubun.
Namun diam-diam hatinya mulai dirasuki rasa gentar, apalagi saat dia sudah tidak lagi menangkap sosok Ratu Pemikat hingga meski sepasang matanya memandang tajam ke arah Dewa Sukma yang tegak di depannya, tapi dia juga mencuri kesempatan untuk edarkan pandangannya berkeliling.
Hal ini membuat kakek berjubah hitam ini mulai melupakan tujuannya yang hendak memburu Kitab Serat Biru. Yang terpikir dalam benaknya sekarang adalah bagaimana selamatkan diri setidak-tidaknya bisa lolos dari pulau dengan nyawa masih utuh.
Rupanya apa yang di dalam otak Ki Buyut dapat ditangkap oleh Iblis Ompong. Hingga sambil melangkah mondar-mandir dia berujar. "Hidup dan mati memang sudah ditentukan. Tapi mumpung masih ada kesempatan, harap gunakan otak biar tidak salah jalan. Karena sekali kaki salah bergerak, nyawa akan berpindah letak!"
"Jahanam! Apa dikira mereka bisa seenaknya memindah nyawa orang!" desis Ki Buyut. Lalu tanpa pedulikan lagi keadaan sekitar, kakek ini melompat ke arah Dewa Sukma. Kedua tangannya serentak keluar dari saku jubahnya dan sekonyong-konyong berkelebat menghantam ke arah dada Dewa Sukma. Dewa Sukma lintangkan kedua tangannya di depan dada. Lalu diangkat ke atas.
"Desss! Desss!" Dua pasang tangan bertenaga dalam tinggi bentrok. Sosok Ki Buyut tetap tegak, namun wajahnya tampak berubah sementara kedua tangannya yang baru saja beradu dengan tangan Dewa Sukma tampak berubah memerah dan bergetar. Dewa Sukma sendiri tubuhnya bergoyang lalu kibas-kibaskan tangannya dengan raut meringis menahan sakit.
"Aku tak bisa lama-lama! Kulihat Dewi Siluman pun butuh pertolongan!" gumam Ki Buyut dalam hati. Lalu melangkah mundur dua langkah. Kejap lain tangannya telah kembali bergerak dan kini langsung lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'!
Dewa Sukma tidak berani bertindak sembrono, karena kali ini 'Kabut Neraka' dilepaskan sendiri oleh dedengkotnya. Hingga tatkala kabut hitam telah melabrak, dia lorotkan sedikit tubuhnya. Kedua tangannya disentakkan ke depan.
"Wuttt! Wuuttt!" Gelombang angin dahsyat melanggar tanpa terlebih dahulu perdengarkan deruan.
Meski kabut hitam dan gelombang angin sempat beradu di udara, anehnya tidak terdengar ledakan, malah seolah tanpa penghalang sama sekali, baik kabut hitam pukulan Ki Buyut maupun gelombang angin pukulan Dewa Sukma terus melesat ke arah lawan masing-masing!
Dua orang ini sama-sama tersentak kaget. Namun mereka berdua sudah demikian terlambat untuk menghindar, hingga tanpa ampun lagi keduanya sama-sama tersapu pukulan lawan! Sosok Ki Buyut melenting deras ke belakang lalu jatuh terkapar dengan mulut keluarkan darah. Di pihak lain, sosok Dewa Sukma tampak terhumbalang ke belakang dan bergedebukan menghantam batu padas hingga pecah berkeping-keping. Dari mulutnya juga terlihat darah mengalir!
Melihat hal ini Ki Buyut tampaknya mulai berpikir lagi tentang keselamatannya. Karena seandainya dia mampu mengatasi Dewa Sukma, maka tidak mungkin lagi baginya menghadapi Ratu Malam atau Iblis Ompong. Apalagi Ki Buyut telah tahu sampai di mana katingglan ilmu dua orang tadi. Belum lagi Jika ditambah dengan Gendeng Panuntun dan Dewi Es.
Memikir sampai di situ, Ki Buyut segera bangkit, lalu lemparkan sesuatu ke udara. Kejap lain di atas udara tampak kepulan asap hitam!
***
SEMBILAN
GADIS berbaju merah itu tegak dengan tangan kanan menggenggam Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri memegang sarung pedang. Namun belum sempat tubuhnya bergerak lagi, satu bayangan merah juga berkelebat dan tahu-tahu telah tegak dengan sikap menghadang.
"Jangan berani bergerak dari tempatmu!Dan serahkan pedang itu padaku!" bentak orang yang tegak menghadang yang bukan lain adalah Sitoresmi dengan mata nyalang tak berkesip.
Sosoknya masih tampak sedikit limbung, namun gadis berjubah merah ini seolah tidak menghiraukan keadaan dirinya. Sebaliknya gadis berbaju merah yang memegang pedang dan bukan lain adalah Dewi Seribu Bunga menyeringai sambil berkata keras.
"Sekali lagi kuperingatkan. Jangan berani buka mulut menuduh yang bukan-bukan! Aku tidak punya niat untuk memiliki benda ini!"
"Mulut bisa bicara, tapi kenyataannya kau mengambilnya!" Sitoresmi tak mau kalah. Dia berkata pula dengan suara keras.
Mungkin karena geram, Dewi Seribu Bunga melangkah maju satu tindak sambil membentak. "Kalau aku mengambilnya, kau mau apa?!"
Sitoresmi tidak segera menjawab ucapan Dewi Seribu Bunga yang bernada menantang. Dia tampaknya maklum, dalam keadaan masih terluka begitu rupa, adalah tolol jika melayani ucapan orang meski hatinya panas. Tapi saat itu rupanya Sitoresmi sudah tidak pikirkan lagi dirinya yang terluka. Hingga meski dengan menahan sakit pada dadanya, dia coba kerahkan tenaga dalam.
Namun baru saja salurkan tenaga dalam, gadis bekas murid Dewi Siluman ini rasakan peredaran darahnya menyentak-nyentak. Dadanya berdenyut nyeri. Dan tak lama kemudian sosoknya limbung dan jatuh terduduk.
Dewi Seribu Bunga menatap sejenak, lalu alihkan pandangannya pada Dewi Siluman dan Pendekar 131 yang bergerak-gerak hendak bangkit. "Aku harus selamatkan pedang ini!" gumam Dewi Seribu Bunga, lalu secepat kilat dia putar tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu. Namun gerakan murid Maut Mata Satu ini tertahan, tatkala tiba-tiba dua bayangan telah berkelebat dan kejap lain teiah tegak di hadapan Dewi Seribu Bunga.
"Serahkan padaku pedang itu atau kuputus selembar nyawamu!"
Dewi Seribu Bunga tersentak. Dia cepat belalakkan sepasang matanya dan memandang ke depan. Terlihat seorang gadis cantik berjubah kuning dengan tangan kiri diangkat seolah siap lepaskan pukulan, sementara tangan kanan membuat gerakan seperti orang meminta. Di sebelah gadis berjubah kuning yang bukan lain adalah Wulandari, tegak seorang gadis berjubah biru dan tidak lain Ayu Laksmi adanya.
"Hem... Kita memang punya urusan yang belum selesai! Tapi urusan itu akan kulupakan. Jika kalian angkat kaki enyah dari hadapanku!" kata Dewi Seribu Bunga sambil memandang silih berganti.
Wulandari menyeringai. "Jika kau tak mau turuti ucapanku, berarti urusan lama kita teruskan! Dan kali ini harus tuntas! Kau dengar?!”
Di lain pihak, melihat munculnya Wulandari dan Ayu Laksmi, Sitoresmi makin khawatir. Namun gadis berjubah merah ini tidak bisa berbuat banyak, karena saat dia coba lagi kerahkan tenaga dalam, tubuhnya bergetar hebat dan peredaran darahnya laksana tersumbat dan menyentak-nyentak.
"Kalian telah kuberi tawaran, tapi tampaknya kalian pilih yang lain. Baik. Pedang ini akan kuserahkan padamu, tapi kalian harus serahkan nyawa kalian sebagai gantinya!"
"Keparat!" teriak Wulandari. Lalu gadis berjubah kuning ini telah melompat dan segera lepaskan pukulan sakti 'Kabut Neraka'.
Gadis berjubah kuning ini tidak mau bertindak ayal, karena lawan yang dihadapi memegang senjata sakti, hingga dia tidak berani bentrok jarak dekat, karena bukan tidak mungkin lawan akan pergunakan senjata di tangannya, itulah pertimbangan Wuilandari hingga begitu menyerang dia langsung lepaskan pukulan 'Kabut Neraka'.
Di pihak lain, begitu kabut berwarna kuning menggebrak, Dewi Seribu Bunga cepat pula sentakkan tangannya lepaskan pukuian 'Api Seribu Bunga'.
"Bummm!" Untuk kesekian kalinya, Pulau Biru diguncang ledakan keras. Sosok Wulandari dan Dewi Seribu Bunga sama-sama terpental. Keduanya sama terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Hal ini tak dilewatkan oleh Ayu Laksmi. Begitu Dewi Seribu Bunga belum bisa kuasai tubuh, gadis berjubah biru telah melesat ke depan dengan tangan kanan memukul ke arah kepala sedangkan tangan kiri menyambar pedang.
"Pengecut busuk!" maki Dewi Seribu Bunga dengan raut terkejut besar. Karena mengkhawatirkan pedang jatuh ke tangan orang, gadis berbaju merah ini tidak lagi hiraukan tangan kanan Ayu Laksmi yang berkelebat ke arah kepalanya. Dia hanya pusatkan perhatiannya pada tangan kiri Ayu Laksmi yang menyambar akan mengambil pedang, hingga tanpa ampun lagi tangan kanan Ayu Laksmi menghantam kepalanya.
Namun bersamaan dengan itu, Dewi Seribu Bunga tarik tangannya yang memegang pedang. Begitu tangan Ayu Laksmi yang menyambar pedang lolos, dia segera membabatkan pedang ke tangan lawan.
"Bukkk! Craasss!"
Sosok Dewi Seribu Bunga terhuyung deras ke belakang lalu jatuh telentang dengan kepala berdenyut sakit. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar, akibat kepalanya terhantam tangan Ayu Laksmi. Sementara Ayu Laksmi perdengarkan jeritan tinggi. Tubuhnya tersentak mundur dengan tangan kanan pegangi tangan kirinya yang ternyata telah putus sebatas pergelangan tangan tangan.
Darah tampak mengucur deras dari pergelangan tangan itu. Dan tak lama kemudian, tubuh Ayu Laksmi tampak melorot lalu jatuh terduduk dengan mulut mengerang.
"Setan alas! Aku mengadu jiwa denganmu!" seru Wulandari tinggi melihat Ayu Laksmi cedera parah. Lalu tanpa menunggu lama, dia melesat ke depan dengan tangan kiri kanan lepaskan pukulan ke arah tangan Dewi Seribu Bunga yang memegang pedang.
Dewi Seribu Bunga cepat berguling. Namun Wuiandari tak memberi kesempatan. Ke mana gulingan tubuh Dewi Seribu Bunga, ke sana kedua tangan Wulandari mengarah. Bahkan kini kaki kanan gadis berjubah kuning ini mulai ikut bergerak lepaskan tendangan.
Entah karena telah terluka atau percuma terus menghindar, pada satu kesempatan Dewi Seribu Bunga hentikan gulingan tubuhnya lalu serta-merta tangan kirinya memapak pukulan tangan kanan Wulandari sementara tangan kanannya membabat pedang.
Karena tidak menyangka, Wulandari tidak bisa berkelit lagi. Hingga jika dia tidak menangkis dengan tangan atau kakinya ke arah pedang yang kini membabat, niscaya perutnya akan ambrol. Dalam keadaan terjepit demikian rupa, akhirnya Wulandari menangkis dengan menggunakan kaki kanannya, sementara kedua tangannya tetap teruskan memukul.
"Bukkk! Bukkk! Craaasss!"
Terdengar dua jeritan tinggi. Dewi Seribu Bunga mental dengan pedang lepas dari genggamannya. Sementara Wulandari terhuyung lalu roboh dengan kaki kanan putus sebatas betis!
Karena terpaku dengan Pedang Tumpul 131 yang tergeletak di tanah, baik Ayu Laksmi maupun Wulandari tidak pedulikan tangan dan kakinya yang telah putus dan banyak kucurkan darah. Sebaliknya kedua gadis ini sama-sama bergerak.
Ayu Laksmi melangkah cepat ke arah pedang, sedang Wulandari bergulingan mendekat. Sejengkal lagi tangan kanan Ayu Laksmi dan tangan Wuiandari menyambar pedang, tampak bunga-bunga api bertaburan mengarah pada kedua gadis murid Dewi Siluman itu.
"Dess! Desss! Desss! Desss!"
Wulandari dan Ayu Laksmi sama menjerit. Tubuh keduanya terjengkang roboh dengan jubah berlobang-lobang demikian juga sebagian tubuhnya! Untuk beberapa saat, kedua gadis ini menggeliat-geliat laksana orang direbus. Tapi kejap lain tubuh keduanya diam tak bergerak-gerak lagi!
Di seberang, sosok Dewi Seribu Bunga yang baru saja lepaskan pukulan Api Seribu Bunga' tampak pucat pasi lalu kepalanya terkulai. Gadis ini kehabisan tenaga lalu telentang pingsan
***
Ketika Dewi Siluman bergerak bangkit dan melihat asap hitam di udara, perempuan bercadar dan berjubah hitam ini cepat berpaling ke arah di mana Ki Buyut Pagar Alam berada. Sejenak sepasang matanya dari lobang cadar terlihat mendelik.
"Celaka! Ki Buyut tampaknya perlu bantuan! Padahal urusanku sendiri belum selesai!"
Dewi Siiuman palingkan kepalanya pada Pendekar 131 yang juga telah tegak. Lalu layangkan pandangannya pada Pedang Tumpui 131 yang masih tergeletak dengan sebagian tubuh pedang ternoda darah. Sepasang matanya hanya menyipit sejurus tatkala menyaksikan Wulandari dan Ayu Laksmi telah tidak bergerak-gerak lagi.
"Terpaksa urusan ini harus kutunda..." desis Dewi Siluman, lalu berkelebat ke depan hendak menyambar pedang yang tergeletak.
Pendekar 131 rupanya sudah waspada. Dia pun segera berkelebat hendak menyambar pedangnya. Namun gerakan Dewi Siluman dan Pendekar 131 sudah terlambat, karena bersamaan dengan itu satu bayangan merah mendahului melompat dan...
"Bukkk!" Sosok merah yang bukan lain adalah Sitoresmi telungkupkan tubuhnya di atas Pedang Tumpul 131!
"Bangsat jahanam!" teriak Dewi Siluman marah. Dla teruskan kelebatan tubuhnya dengan tangan diangkat ke atas sedang tangan kiri membuat gerakan mengayun.
Melihat Sitoresmi terancam nyawanya, Pendekar 131 teruskan juga kelebatannya. Kedua tangannya segera pula didorong.
"Wuuusss!" Dewi Siluman berseru keras. Dia merasakan dirinya dihantam sapuan gelombang angin dahsyat yang sangat dingin, hingga tubuhnya sejenak laksana ditahan dan tak bisa bergerak maju. Tapi perempuan ini teruskan pukulannya pada Sitoresmi yang telungkup di atas Pedang Tumpul 131.
"Wuuttt!" Kabut hitam melabrak ganas ke arah Sitoresmi, membuat murid Pendeta Sinting terkesiap karena tak mungkin lagi memangkas pukulan Dewi Siluman yang sudah begitu dekat dengan Sitoresmi. Saat setengah depa lagi kabut hitam menghantam telak sosok Sitoresmi, tiba-tiba tampak dua cahaya memantul.
"Blaappp! Blappp! Bummm!"
Kabut hitam bertabur buyar di udara. Sosok Dewi Siluman terdorong deras kebelakang sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mulut makin banyak keluarkan darah yang merembes lewat penutup wajahnya. Di seberang sana, Gendeng Panuntun yang baru saja selamatkan Sitoresmi tampak usap-usap cerminnya.
Batu yang dibuat sandaran berguncang keras. Namun Ratu Malam yang duduk di atas batu tadi sepertinya tidak merasakan guncangan! Dia enak saja tetap duduk mencangklong dengan mulut mainkan gumpalan tembakau hitam.
Sedangkan Sitoresmi yang berada dekat dengan bentroknya pukulan tampak mental sejauh dua tombak. Karena keadaannya sudah terluka, apalagi baru saja terkena getaran bentroknya pukulan Dewi Siluman dengan cermin Gendeng Panuntun membuat Sitoresmi tak bisa berbuat banyak saat tubuhnya melayang turun. Ketika setengah tombak lagi tubuh Sitoresmi menghantam tanah, satu bayangan berkelebat, lalu telentang menyusur tanah. Dan...
"Blukkk!" Sosok Sitoresmi mendarat di atas tubuh yang telentang itu. Sitoresmi yang sesaat tadi tampak pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa pejamkan sepasang matanya. Namun ketika menyadari tubuhnya tidak menghantam tanah, dia segera buka kelopak matanya. Mungkin karena senang ada orang selamatkan dirinya dari menghantam tanah, gadis yang sudah terluka ini tanpa pikir panjang lagi segera memeluk orang di bawahnya.
Orang yang berada di bawah tubuh Sitoresmi sejenak tampak diam saja, namun tak lama kemudian tubuhnya menggeliat, hal ini membuat Sitoresmi maiah mempererat pelukannya karena khawatir dirinya akan terjatuh terguling. Saat itulah terdengar suara orang tertawa cekikikan ditingkah dengan suara berat.
“Kau cekikikan lagi, Sekar Mayang! Ada apa?!"
Sekar Mayang alias Ratu Malam putuskan tawanya. "Setan itu besar sekali rezekinya hari ini! Tadi punggungnya diciumi perempuan cantik. Sekarang tubuhnya saling tindih dan dipeluk erat-erat gadis cantik. Hik hik hik...!"
Gendeng Panuntun mengeluh. "Dasar curang! Dia memang sengaja memilih gadis-gadis agar bisa begitu! Jika tidak, mana mungkin ada perempuan atau gadis mau memeluknya! Jangankan memeluk, berdekatan pun mungkin tak sudi! Mulutnya yang selalu terbuka itu membuat perut mual!"
"Hai... Lepaskan pelukanmu..." gumam orang di bawah Sitoresmi.
Seakan baru tersadar, Sitoresmi cepat longgarkan pelukannya. Sepasang matanya dibuka. Lalu kepalanya ditarik ke belakang. Yang terlihat pertama kali oleh Sitoresmi adalah satu wajah pucat dengan rambut putih. Lalu sepasang mata besar. Dan gadis berjubah merah ini tersentak tatkala melihat mulut orang di bawahnya terbuka tebar tanpa gigi satu pun!
"Maaf..." Hanya itu suara yang terdengar parau dari mulut Sitoresmi sambil bergerak bangkit dengan tubuh limbung dan kejap lain jatuh terduduk.
Orang yang tadi di bawah tubuh Sitoresmi dan bukan lain adalah ibiis Ompong usap-usap pakaiannya. Lalu bangkit dan berpaling pada Pendekar 131. "Cepat sandarkan dia pada batu dekat orang buta itu!"
Murid Pendeta Sinting cepat turuti ucapan Iblis Ompong. Dia melangkah ke arah Sitoresmi. Gadis ini telah pejamkan sepasang matanya. Sementara tangan kanannya tampak gemetar. Di tangan kanan gadis ini tampak Pedang Tumpul 131.
Dengan perlahan-lahan Pedang Tumpul 131 diambil oleh Pendekar 131 lalu diselipkan di balik pakaiannya. Kedua tangannya lantas menjulur dan membopong tubuh Sitoresmi kearah Gendeng Panuntun.
Di seberang, Dewi Siluman menggeliat bangkit. Dia memaki panjang pendek tatkala mengetahui Pedang Tumpul 131 sudah tidak ada lagi di tempat tadi menggeletak. Dan saat berpaling dia lihat Ki Buyut memberi isyarat. Tanpa pedulikan lagi pada kedua muridnya yang telah tewas, Dewi Siluman berkelebat ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
***
SEPULUH
"KITA harus meloloskan diri! Tidak mungkin lagi kita menghadapi mereka!" bisik Ki Buyut begitu Dewi Siluman telah tegak di sampingnya.
"Tapi..."
"Dewi! Jangan mencari urusan! Jiwa kita ada di ujung tanduk!" ujar Ki Buyut memperingatkan tatkala dilihatnya Dewi Siluman sepertinya masih enggan meninggalkan pulau. "Kau cepat ke arah kereta! Aku menunggu di pinggir pulau!" sambung Ki Buyut, lalu hendak berkelebat. Dewi Siluman sendiri tampak hendak putar tubuh dan berkelebat ke arah kereta.
Namun belum ada yang sempat berkelebat, Ratu Malam yang masih duduk di atas gugusan balu padas berteriak. "Meski datang tidak diundang, seharusnya pulang dengan pamit! Lebih dari itu, tak enak rasanya punya tamu yang masih belum dikenal wajahnya..."
Dewi Siluman tersentak. Ucapan Ratu Malam jelas menghendaki dirinya buka cadar yang selalu menutupi wajahnya. Dewi Siluman tampak bergetar, sepasang matanya membelalak. "Aku tak akan turuti kata-katanya!" desis Dewi Siluman. Ki Buyut Pagar Alam sendiri terlihat tertegun dengan mulut terkancing.
"Betul! Meski mataku tidak bisa melihat, setidaknya aku bisa mendengar cerita tentang wajah yang katanya selalu ditutup cadar hitam! Siapa tahu dugaanku salah!" sahut Gendeng Panuntun timpal ucapan Ratu Malam sambil bergerak bangkit karena Pendekar 131 telah berada di dekatnya dan hendak sandarkan tubuh Sitoresmi pada batu padas yang tadi disandari Gendeng Panuntun.
"Aku tidak sudi turuti ucapan kalian!" teriak Dewi Siluman.
"Jika begitu, aku akan minta lebih dari yang diminta tadi! Bukan hanya minta kau buka penutup cadarmu, tapi juga minta kau buka..." Iblis Ompong yang menyahut tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya tertawa bergelak-gelak.
"Walah. Kau selalu membuat dadaku jadi berdebar-debar dan jakun turun naik! Tapi cerita-cerita begitu memang lebih sedap didengar! Ha ha ha...!" Gendeng Panuntun ikut-ikutan tertawa.
"Dewi..." gumam Ki Buyut. "Untuk sementara ini kita mengalah saja. Turuti apa yang mereka minta, ini demi keselamatan kita! Kita masih punya waktu untuk memperhitungkan pembalasan!"
"Aku tidak mau! Kalau kau takut mati, silakan pergi dahulu!" sahut Dewi Siluman dengan menatap tajam pada Ki Buyut.
Ki Buyut gelengkan kepala. "Percuma kau berkeras kepala! Kau telah terluka. Membunuhmu, bagi mereka semudah membalik telapak tangan!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut. "Kau tak perlu khawatir. Aku duga, mereka sebenarnya telah mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau mereka ingin kau membuka cadarmu, mungkin hanya untuk meyakinkan! Jadi tak ada gunanya lagi bersikap keras kepala!"
Di depan sana, Ratu Malam tiba-tiba mendongak. "Hari sudah hampir malam. Jika keadaan gelap, dan aku tak dapat mengenali wajah di balik cadar, mungkin aku juga minta tambahan!"
"Dewi... Cepat buka cadarmu! Ucapan orang-orang seperti mereka setiap saat bisa berubah!" ujar Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman berpaling pada Ratu Malam. "Baik. Kalian lihat yang jelas!" Habis berkata begitu, Dewi Siluman angkat tangan kanannya.
"Breettt!" Kain hitam penutup wajah Dewi Siluman terenggut lepas. Kini tampaklah seraut wajah cantik jelita dengan mata bulat dan bulu mata panjang lentik. Bibirnya bagus dan merah. Hidungnya mancung dengan kulit putih agak kekuningan.
"Durga Ratih...!" gumam Ratu Malam hampir berbarengan dengan Iblis Ompong.
Sementara Dewa Sukma hanya terdiam dengan sepasang mata memandang tak berkesip. Di sampingnya Dewi Es buka kelopak matanya sejenak, namun kejap lain telah memejam kembali. Untuk beberapa lama suasana hening. Hanya tampak beberapa pasang mata saling pandang lalu bersama-sama terarah pada Dewi Siluman.
Dewi Siluman menyeringai. Lalu tangan kanannya terangkat kembali hendak memasang kain cadarnya Namun gerakan tangan sang Dewi tertahan tatkala tiba-tiba Dewa Sukma meloncat ke depan dan seolah hendak menghadang kelebatan KI Buyut dan Dewi Siluman. Sepasang matanya mengawasi Dawi Siluman tajam.
Dewi Siluman dan Ki Buyut terkesiap kaget. "Apa maumu?! Aku telah turuti yang kalian minta. Jangan tarik ucapan sendiri" teriak Dewi Siluman sambil balas menatap pada Dewa Sukma.
"Yang berkata tadi Iblis Ompong dan Ratu Malam! Aku belum mengatakan apa yang kuminta!" jawab Dewa Sukma.
"Hem... Nyatanya kalian orang-orang yang tidak bisa pegang janji!"
"Durga Ratih! Aku belum ucapkan janji!" ujar Dewa Sukma, membuat Durga Ratih alias Dewi Siluman menyeringai meski air mukanya tampak membayangkan rasa takut. Perempuan cantik ini berpaling pada Ki Buyut Pagar Alam. Ki Buyut tampak kernyitkan dahi namun belum juga buka mulut.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tergelak berat. Bukan hanya membuat Pulau Biru bergetar, namun sebagian pasir di pulau itu tersapu dan membumbung ke udara. Kejap lain di sela-sela taburan pasir tampak sebuah benda melayang lalu jatuh menancap di tengah-tengah pulau!
Ki Buyut dan Dewi Siluman serentak palingkan kepala masing-masing. Dewa Sukma menoleh dan terbelalak. Di seberang, Ratu Malam pentangkan sepasang matanya yang sipit dengan mulut komat-kamit, Iblis Ompong tengadah dengan mulut dibuka lebar-lebar.
Dewi Es buka kelopak matanya lalu memandang tak berkesip. Pendekar 131 yang kini telah tegak di samping Gendeng Panuntun kerutkan dahi dan ikut-ikutan belalakkan sepasang matanya.
Bersamaan dengan tertancapnya benda di tengah pulau, tiba-tiba laksana disentakkan setan, suara tawa berat yang sempat membuat pulau bergetar dan pasir bertaburan lenyap! Gendeng Panuntun mendongak.
"Ada benda menancap, aku mencium amisnya darah! Heran... Kenapa orang-orang mendadak seperti patung tak ada yang mengoceh?"
"Kek..." sahut murid Pendeta Sinting yang berada di sampingnya. "Di tengah pulau memang menancap sebuah tombak terbalik. Ujung di atas pangkal masuk ke dalam pasir. Di ujung tombak terlihat tiga buah tengkorak tersusun berlumuran darah segar!"
Gendeng Panuntun tersurut satu tindak saking terkejutnya. Kepalanya diluruskan. Sesaat kemudian dia bergumam. "Hampir mustahil! Dunia persilatan tampaknya belum bisa tenang. Bencana lebih besar akan datang lagi..."
"Kek. Apa sebenarnya ini?!" tanya Joko dengan mata pandangi ke arah tengah pulau.
"Pintu istana Hantu telah terbuka! Malapetaka akan terjadi!"
"Kek. Aku tak mengerti maksud ucapanmu!"
"Kelak kau akan mengerti sendiri. Dan aku punya dugaan, kaulah kelak yang harus menghadapinya!"
Di sebelah depan, Dewi Siluman dan Ki Buyut mundur dua tindak. Tanpa bicara lagi, Ki Buyut Pagar Alam segera menarik tangan Dewi Siluman. Keduanya lalu berkelebat menuju kereta. Kejap lain kereta itu telah bergerak ke arah pinggir pulau. Hebatnya meski roda kereta dan kaki ladam kuda menghentak tanah berpasir serta gugusan batu padas, tapi tidak ada suara yang terdengar!
Melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut hendak meloloskan diri, sementara beberapa orang di situ sepertinya sepertinya terpaku pada tombak yang menancap di tengah pulau, murid Pendeta Sinting berkelebat mengejar. Namun gerakannya tertahan tatkala tangan kanan Gendeng Panuntun mencekalnya.
"Biarkan mereka pergi..."
"Tapi, Kek. Orang seperti mereka akan menjadi duri di kemudian hari!"
"Kau tidak tahu siapa perempuan itu!"
"Peduli apa dengan dia?!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Dengar, Anak muda! Mendiang guruku pernah mempunyai seorang murid perempuan. Karena dia ugal-ugalan dan selalu melanggar perintah, pada akhirnya dia diketahui hamil. Dia lantas diusir. Di kemudian hari dia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Durga Ratih. Jadi bagaimanapun juga, Durga Ratih masih saudaraku..."
Murid Pendeta Sinting tercenung dan akhirnya hanya bisa memandang pada kereta yang terus bergerak. Sampai ke pinggir pulau, dengan hanya sentakkan kedua tangannya, tali pengikat pada leher kuda terputus. Dan sekali tendangkan kaki, kuda itu meringkih lalu menghambur bebas. Kini kereta itu meluncur tanpa kuda dan begitu mulai menginjak air, Ki Buyut membungkuk.
"Trakkk! Trakk!"
Dua kayu penyangga kereta bagian depan patah. Dengan menggunakan patahan penyangga kereta, Ki Buyut tusukkan ke dalam air laut. Gerobak kereta itu akhirnya meluncur deras di atas permukaan air laut. Dewi Siluman tampak tegak di atas peti putih di bagian belakang gerobak kereta dengan kedua tangan bersedekap di depan dada dan menghadap ke belakang!
"Jangan terpaku pada apa yang terlihat! Masih ada yang harus dikerjakan!" Tiba-tiba Gendeng Panuntun berseru. Lalu melangkah pada batu padas dimana Sitoresmi bersandar.
Dewa Sukma balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Iblis Ompong segera pula mendekat. Dewi Es bergerak bangkit dan melangkah ke arah tubuh Dewi Seribu Bunga yang tergeletak pingsan. Gendeng Panuntun jongkok di samping tubuh Sitoresmi. Kedua tangannya sejenak meraba tangan si gadis.
Lalu kepalanya manggut-manggut. Kejap kemudian dia keluarkan dua butiran hitam dari balik pakaian hijaunya yang gombrong. Butiran itu diserahkan pada Iblis Ompong. Iblis Ompong menyambuti lalu sambil jongkok, kedua butiran itu dimasukkan ke dalam mulut Sitoresmi.
"Kukira urusan di sini telah selesai! Kita pulang..." kata Dewa Sukma sambil berpaling pada Dewi Es yang kini telah tegak sambil membopong tubuh Dewi Seribu Bunga.
"Biar gadis ini kuurus..." ujar Dewi Es lalu melangkah mendahului kepinggir pulau.
Joko bungkukkan tubuh hendak membopong Sitoresmi yang kini matanya terpejam dan tampak lemas. Namun buru-buru Gendeng Panuntun lantangkan tangan kirinya, membuat gerakan murid Pendeta Sinting tertahan.
"Gadis ini urusanku!" ucap Gendeng Panuntun lalu sekali sambar tubuh Sitoresmi telah berada di pundaknya. "Tuntun aku ke pinggir pulau!"
Akhirnya rombongan itu melangkah ke pinggir pulau. Tapi sesampainya di pinggir pulau, mereka tampak kebingungan. Karena tidak ada satu pun perahu terlihat.
"Tidak mungkin sekarang naik es lagi! Kita harus cari tumpangan yang layak!" ujar Gendeng Panuntun setelah mengetahui di situ tidak ada perahu dan Dewa Sukma mengusulkan agar Dewi Es membuat tumpangan es seperti tatkala mereka menuju Pulau Biru.
Ketika orang-orang sama bingung, tiba-tiba Joko berteriak. "Lihat! Ada perahu menuju kemari!"
***
SEBELAS
PERAHU itu meluncur deras menuju pulau laksana anak panah. Namun begitu perahu merapat, semua orang jadi tercengang. Sepasang mata Ratu Malam tampak bolak-balik memejam membuka dengan mulut makin keras komat-kamit. Sementara Iblis Ompong mendongak dengan mulut dibuka lebar-lebar. Di sampingnya Dewa Sukma mendelik dengan mulut terkancing rapat.
Dewi Es kernyitkan kening dengan mata sedikit menyipit. Murid Pendeta Sinting sendiri mendelik dengan kepala berpaling ke sana kemari seolah ingin minta penjelasan. Hanya Gendeng Panuntun yang tampak tenang-tenang saja. Karena ternyata perahu itu tidak berpenumpang!
Belum hilang rasa kejut orang, dan belum sempat ada yang buka suara, tiba-tiba dari belakang perahu meluncur sebuah papan kayu yang melaju kencang menerjang ganasnya gelombang laut. Di atas papan kayu terlihat seorang kakek berjubah kuning tanpa leher. Sepasang matanya terpejam rapat, sementara mulutnya berkemik. Kakek ini rambutnya putih panjang dikelabang dan dikalungkan dilehernya.
Dia duduk bersila dengan kedua tangan saling menakup dibawah dagu. Di belakang kakek berjubah kuning Ini tegak berdiri seorang laki-laki berusia lanjut. Wajahnya amat pucat dan berkeriput. Tapi keriputan wajah kakek ini hanya merupakan garis samar-samar karena kulit wajah itu demikian tipis.
Rambutnya yang putih panjang dibiarkan tergerai melambai-lambai ditiup angin laut. Kumis dan jenggotnya juga lebat menutupi sebagian wajahnya. Dia mengenakan jubah besar kusam yang bertambal-tambal dari beberapa kain yang berwarna-warni.
Belum sampai papan kayu yang ditumpangi kedua kakek merapat, dua kakek tersebut membuat gerakan. Kejap lain tujuh langkah di samping rombongan orang di Pulau Biru telah duduk bersila kakek berjubah kuning tanpa leher, sementara di sampingnya tegak kakek berjubah kusam bertambal-tambal. Belum ada yang membuat gerakan, Pendekar 131 mendahului berkelebat lalu menjura di depan dua kakek yang baru datang.
"Eyang... Manusia Dewa..." kata Joko begitu mengenali siapa adanya orang.
Kakek berjubah kuning tanpa leher yang rambutnya dikelabang dan bukan lain memang Manusia Dewa adanya buka kelopak matanya, lalu anggukkan kepala tanpa berucap sepatah kata. Disebelahnya, kakek berjubah kusam bertambal-tambai dan bukan lain Pendeta Sinting adanya tertawa panjang sambil manggut-manggut.
Sepasang mata kakek ini lantas mengedar memandang satu persatu pada semua orang yang ada di situ. Mulutnya membuka hendak bicara, namun sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah mendahului.
"Dasar orang sinting! Datangnya jika urusan sudah selesai! Apa saja yang dikerjakan?! Padahal kudengar anak belum punya...!"
"Bagaimana punya anak. Perempuan saja tidak ada yang mau didekati!" sahut iblis Ompong, lalu mendekat pada Manusia Dewa dan berujar. "Sudah beberapa puluh tahun tidak jumpa, nyatanya kau masih awet muda, kalau tak keberatan mau berikan Ilmunya padaku?! Terimalah hormatku, Manusia Dewa!"
"Ah. Ternyata ada sahabat. Kalau benar yang datang adalah Manusia Dewa dan sobatku Pendeta Sinting, sungguh ini sebuah pertemuan yang membahagiakan! Di atas semua itu, pasti ada hal yang perlu dibicarakan!" Gendeng Panuntun menyahut sambil tangan kirinya usap-usap cerminnya.
"Senang sekali Pendeta Sinting dan Manusia Dewa bisa datang ke sini meski hidangannya telah habis!" Yang angkat bicara kali ini adalah Dewa Sukma.
Sedangkan Dewi Es yang membopong tubuh Dewi Seribu Bunga hanya mengangguk pada Pendeta Sinting dan Manusia Dewa.
"Maaf sahabat-sahabat..." kata Manusia Dewa. "Kami datang terlambat. Namun itu masih tidak apa daripada tidak datang. Bukankah begitu Pendeta Sinting...?"
Pendeta Sinting jerengkan sepasang matanya. “Betul! Meski hidangan telah habis sesungguhnya masih ada hidangan baru yang lebih lezat dan memerlukan tenaga lebih banyak!"
"Eh, sepertinya kedatangan kalian membawa kabar baru!" ujar Gendeng Panuntun setelah menyimak kata-kata Pendeta Sinting.
"Bukan kabar, tapi kenyataan! Tapi untuk itu biarlah sahabatku Manusia Dewa yang mengatakannya!"
Suasana sejenak hening. Pendekar 131 melangkah mendekat ke arah Eyang gurunya. Lalu berbisik. "Eyang. Ada kabar apa sebenarnya?!"
"Itu nanti akan dikatakan Manusia Dewa. Sekarang aku tanya padamu. Bagaimana dengan tugasmu?!"
"Berkat doa restu Eyang, aku berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru..." Joko hendak keluarkan kitab dari balik pakaiannya, tapi Pendeta Sinting memberi isyarat agar muridnya urungkan niat. Kakek ini lantas berkata.
"Jaga baik-baik kitab itu! Sekarang dengarkan apa yang diucapkan Manusia Dewa." Kedua orang murid guru ini sama berpaling pada Manusia Dewa.
"Sahabat-sahabatku..." Manusia Dewa muial angkat bicara. "Dua hari yang lalu rimba persilatan digemparkan dengan terbunuhnya beberapa tokoh dunia persilatan. Aku memberitahukan hal ini karena kukira kalian semua saat itu pasti terpaku pada urusan Kitab Serat Biru, hingga kemungkinan besar para sahabat sekalian tidak mendengarnya.
Sebenarnya yang membuat gempar bukanlah pembunuhan itu sendiri. Sebaliknya si pembunuhlah yang membuat orang laksana tersentak. Karena hal seperti ini pernah terjadi beberapa puluh tahun silam. Si pembunuh meninggalkan satu tanda begitu meninggalkan korbannya!"
Sejenak Manusia Dewa hentikan keterangannya. Semua orang masih diam tak ada yang buka suara. Manusia Dewa lanjutkan ucapannya. "Tanda itu adalah sebuah tengkorak yang masih berlumuran darah!"
Terdengar gumaman tak jelas. Mulut Ratu Malam makin keras berkomat-kamit. Iblis Ompong makin lebarkan ngangaan mulutnya. Dewa Sukma berpaling pada Gendeng Panuntun. Sementara Dewi Es pejamkan sepasang matanya.
"Tengkorak Berdarah!" ujar Gendeng Panuntun.
"Benar! itulah tanda jika yang melakukan adalah seorang tokoh misterius yang sampai saat ini belum ada yang tahu siapa sebenarnya tokoh itu. Hanya karena setiap kali melakukan pembunuhan meninggalkan tanda tengkorak berlumur darah, orang-orang rimba persilatan menjuluki tokoh misterius itu Tengkorak Berdarah!"
"Berarti Istana Hantu telah terbuka kembali!" Gendeng Panuntun kembali berkata.
"Benar! Dengan telah keluarnya Tengkorak Berdarah, berarti pintu istana Hantu telah terbuka lagi..."
"Kek. Aku belum mengerti kaitan semua ini!" kata Pendekar 131.
"Anak muda..." ujar Manusia Dewa. "Beberapa puluh tahun silam rimba persilatan pernah digemparkan dengan beberapa pembunuhan terhadap tokoh-tokoh yang dilakukan oleh seorang misterius yang kemudian digelari orang Tengkorak Berdarah. Tengkorak Berdarah bertempat pada sebuah istana dekat belantara sunyi.
Jika pintu istana itu terbuka, maka bisa dipastikan ada beberapa orang terbunuh. Dan begitu beberapa pembunuhan terhenti, pintu Istana itu tertutup. Hingga saat ini belum ada seorang pun yang berhasil menerobos masuk pintu istana itu, hingga orang menjuluki tempat itu Istana Hantu!"
"Eyang..." kata Joko pada Pendeta Sinting. "Kalau tak salah, tengkorak berlumur darah yang menancap di tengah pulau itu tentu pekerjaan tokoh yang baru saja dikatakan Manusia Dewa!"
Pendeta Sinting tampak terkejut. Kepalanya berpaling ke arah tengah pulau di mana di situ tertancap sebuah tombak yang dihiasi tiga tengkorak berlumur darah. "Astaga! Jadi dia sudah merambah sampai pulau ini!"
"Aku sejak tadi memang mencium amisnya darah. Namun tak kusangka jika itu berasal dari lumuran darah tengkorak..." Manusia Dewa menggumam lalu ikut berpaling ke tengah pulau. "Anak muda! Kudengar kau tadi mengatakan Kitab Serat Biru. Aku ikut merasa gembira. Namun lebih dari itu, kau harus segera mempelajari isinya, karena di depan sana sudah ada lagi hal yang harus kau selesaikan!" kata Manusia Dewa seraya memandang pada Pendekar 131.
Joko masukkan jari kelingkingnya pada lobang telinganya. "Luar biasa sekali pendengaran orang tua ini. Namun ucapannya tadi sepertinya telah membebankan tugas baru lagi padaku..."
Diam-diam murid Pendeta Sinting membatin. Joko lantas berbisik pada Eyang gurunya mengatakan apa yang ada dalam hatinya. Pendeta Sinting tertawa pendek lalu berujar.
"Sontoloyo! Tanpa bertanya seharusnya kau sudah mengerti! Dan aku tidak bisa menjamin apakah aku bisa membantu atau tidak!"
"Aku juga!" sahut Iblis Ompong. "Urusan selanjutnya harap kau sendiri yang selesaikan!"
"Ah. Aku juga tak mau ikut campur!" Gendeng Panuntun angkat bicara.
"Aku pun tak akan cari urusan baru!" ucap Ratu Malam menimpali.
"Sahabat-sahabat sekalian. Sebenarnya urusan ini adalah urusan kita semua sebagai orang rimba persilatan. Namun kalau sahabat sekalian punya halangan, apa hendak dikata. Sekarang semuanya tergantung pada Pendekar 131!"
"Jika itu demi keselamatan dan ketenangan dunia persilatan, tanpa bantuan pun aku akan laksanakan tugas ini!" kata Pendekar 131 sambil memandang satu persatu pada orang yang ada di tem pat itu.
"Hem... Bagus! Memang itulah watak yang harus dimiliki seorang pendekar. Gelombang lautan api, gemuruh ombak bukanlah satu halangan jika demi keselamatan dunia persilatan!"
Habis berkata begitu, Manusia Dewa dongakkan kepala. "Kukira sahabat sekalian tidak berniat menginap di sini bukan? Nah, malam tampaknya sudah menjelang, berarti sudah waktunya untuk tinggalkan tempat ini!" Tanpa menunggu jawaban. Manusia Dewa gerakkan bahunya dua kali. Tubuhnya tiba-tiba melesat dan kejap lain telah duduk bersila di atas perahu.
"Memang apa enaknya menginap di sini. Hanya beralas pasir dan berselimut langit. Hik hik hik...!" ujar Ratu Malam lalu berkelebat ke arah perahu.
"Tubuh reot begini memang sudah tidak seharusnya tidur sembarangan. Apalagi di tengah gelombang ombak lautan!" timpal Iblis Ompong lalu ikut melesat ke arah perahu dan tegak memunggungi Ratu Malam.
Pendekar 131 melangkah cepat ke arah Dewi Es yang membopong tubuh Dewi Seribu Bunga. Namun baru saja dekat dan belum sempat buka mulut bicara, Dewi Es telah mendahului berkata. "Untuk sementara kau tak usah tanyakan urusan gadis ini. Biarlah dia jadi urusanku..."
Murid Pendeta Sinting hanya bisa mengangguk. Lalu memandang pada Gendeng Panuntun yang memanggul tubuh Sitoresmi. Buru-buru Joko mendekat. Namun lagi-lagi Gendeng Panuntun telah berkata mendahului.
"Anak muda. Urusanmu didepan masih besar. Jangan ditambah dengan mencemaskan gadis ini. Kelak mungkin kalian akan bertemu lagi. Sekarang ayo tunjukkan arah perahu!"
Selesai berkata Gendeng Panuntun rentangkan tangan kirinya. Namun Joko tidak segera tuntun Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia palingkan kepala kebelakang. Karena tiba-tiba murid Pendeta Sinting ini teringat pada Ki Ageng Mangir Jayalaya namun kakek berjubah putih penjaga Kitab Serat itu telah tidak ada lagi di tempatnya.
"He... Kau dengar ucapanku, bukan?!" kata Gendeng Panuntun.
Pendekar 131 menyengir lalu menggandeng tangan Gendeng Panuntun dan melangkah ke arah perahu. Di belakang mereka menyusul Dewa Sukma dan Dewi Es.
"Meski tidak ada perempuan yang mau kudekati, tapi bukan berarti aku senang tidur di tempat seperti ini!" gumam Pendeta Sinting lalu berkelebat ke arah perahu.
Tak berselang lama, perahu berpenumpang sepuluh orang itu meluncur membelah ombak. Anehnya meski tidak ada satu pun yang kemudikan perahu dengan mendayung, namun perahu itu meluncur deras. Yang tampak hanyalah gerakan-gerakan tangan yang mengayun ke bawah seolah orang menari. Tapi begitu gerakan-gerakan tangan itu makin keras, perahu melaju makin deras..!
S E L E S A I