“Sepasang mata siucay berbaju hijau segera berkelebat dengan amat seramnya memandang tajam wajah sang bocah kecil mungil itu.
“Jarak dari sisi gunung Bu-tong-pay amat jauh sekali. Hmmm! Sebelum tiba digunung Bu-tong-pay mungkin kau sudah mati terlebih dahulu,”ujarnya dengan dingin.
“Sekalipun aku mati ada sangkut paut apa dengan dirimu?”tantang Siauw Ling dengan kesal.
Si siucay berbaju hijau itu segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, agaknya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.
Tiba-tiba terdengar si pengemis kelaparan sudah berkata dengan suara yang amat dingin sekali.
“Bocah cilik itu adalah aku si pengemis tua yang menitipkannya kepada Im Yang Tooheng untuk dibawa kembali ke gunung Bu-tong-pay. Bilamana dari tengah ada orang yang bermaksud menghalangi maka orang itu sama saja bermaksud hendak mencari garagara dengan kami si pendeta pemabok serta si pengemis kelaparan!”Air muka si Pek So suseng segera berubah sangat hebat. Hawa hitam yang meliputi di atas alisnyapun semakin menebal, tetapi hanya di dalam sekejap saja sudah lenyap kembali.
“Haaa… haaaa… haaa…! kalau memangnya Shen heng bermaksud demikian maka cayhe tidak akan menghalangi lagi,”sahutnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Heeei… cuma sayang nyawa saudara cilik ini harus lenyap di tangan Im Yang Too heng yang bermaksud baik ini.
“Im yang Cu yang jadi orang amat tenang segera tertawa tawar.
“Soal ini Jan heng tidak usah mewakili pinto merasa kuatir…”Katanya dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, “Bagaimana kalau Jan heng memberi jalan buat pinto?”“Heee… heee semoga Too heng bisa selamat bila selama di dalam perjalanan,”sindir Pek So suseng sambil tertawa dingin.
Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan si lelaki cebol itu.
Im Yang Cu segera di depan melindungi si toosu cilik berbaju hitam yang menggendong Siauw Ling untuk mengundurkan diri dari ruangan kuil tersebut.
Walaupun usia Toosu cilik itu tidak begitu besar tetapi kecepatan geraknya sangat gesit sekali.
Siauw Ling cuma merasakan telinganya tersampok amgin yang menderu hawa dingin dengan amat tajamnya menyampok badan membuat dia sukar untuk bernapas, terpaksa sambil menyembunyikan wajah ke belakang leher toosu cilik itu dia berdiam diri.
Entah lewat bebrapa saat kemudian mendadak Siauw Ling mersakan Toosu cilik itu menghentikan gerakan tubuhnya. Sewaktu dia angkat kepalanya memandang terlihatlah tempat dimana dia berada ada di bawah sebuah puncak gunung yang amat tinggi.
Im Yang Cu sambil mengobat abitkan hut timnya berdiri kurang lebih empat lima depa dari dirinya. Sambil tersenyum dia lantas berkata kepada Toosu cilik itu dengan suara yang perlahan, “Turunkan dirinya, mari kita makan dulu kemudian baru melanjutkan kembali perjalanan.
““Suhu!”ujarnya si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya?”“Dapatkah Pek So suseng itu mengejar datang??”“Walaupun mereka punya maksud untuk mengejar kemari, tetapi aku menduga Shen Cong si pengemis kelaparan itu akan turun tangan menghalang-halangi dirinya.
“Dengan perlahan si Toosu cilik itu baru meneurnkan tubuh Siauw Ling yang dipanggulnya itu ke atas tanah lalu menghembuskan napas panjang-panjang, agaknya setelah melakukan perjalanan jauh ini badannya terasa amat lelah.
Dari dalam sakunya Im Yang Cu lantas mengeluarkan rangsum keringnya, kepada Siauw Ling ujarnya sambil tertawa.
“Saudara cilik, kau jangan takut, pinto pasti tidak akan merugikan dirimu.
“Siauw Ling menerima pembagian rangsum kering itu dan bersama-sama kedua orang Toosu itu bersantap, setelah beristirahat sebentar akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Seperti keadaan semula kembali dia digendong si Toosu cilik berbaju hitam itu untuk melanjutkan perjalanan.
Siauw Ling yang berotak cerdik apa lagi sejak kecil banyak mempelajari buku pengetahuan.
Ditambah pula selama beberapa hari ini mengikuti Gak Siauw-cha merasakan bahayanya dunia kangouw membuat di dalam hatinya lebih mengerti lagi terhadap kelicikan dan kekejaman dunia ini.
Di dalam hati dia mengerti kalau si Toosu yang gagah dan berwibawa ini bukanlah hendak menyembuhkan sakitnya secara kesungguhan hati, di samping hal itu tentu mempunyai maksud yang tertentu cuma saja Siauw Ling tidak mengetahui apakah maksud yang sebenarnya dari Toosu ini.
Pertanyaan ini selalu saja berpaut di dalam otaknya membuat dia mulai menggerakkan akalnya memikirkan cara-cara untuk menyelamatkan diri.
Mereka kembali melakukan perjalanan selama satu harian penuh dan akhirnya deretan pegunungan yang amat panjang itu berhasil dilalui tanpa rintangan apapun.
Setelah itulah siauw Ling melakukan perjalanan tidak digendong lagi oleh Si Toosu cilik itu, mereka memasukkan Siauw Ling ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Pada saat-saat itulah Siauw Ling merasakan badannya terjadi perubahan. Penyakit yang semula mengeram di dalam badannya setelah mengalami luka ini mulai kambuh kembali, seluruh tubuhnya amat panas, anggota badannya terasa amat berat dan sukar diangkat cuma kesadarannya saja masih tetap penuh.
Kelihatannya Im Yang Cu amat gelisah sekali dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menyembuhkan sakit dari Siauw Ling ini, tiada hentinya dia memeriksa urat nadinya kemuian menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh sang bocah.
Tetapi keadaan sakit dari Siauw Ling sama sekali tidak mengalami perubahan, kesadarannyapun berangsur-angsur punah.
Bocah cilik itu cuma merasakan secara samar-samar dia harus meminum obat berulang kali.
Hari itu kesadaran Siauw Ling mendadak pulih kembali ketika dia membuka matanya terlihatlah Im Yang Cu ad disisinya sedang si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil memegang sebuah mangkok obat sedang memandangi dirinya dengan hati gelisah.
Kini melihat dia sadar kembali dengan wajah yanga amat girang segera berseru, “Apakah kau merasa baikan?”“Hatiku terasa panas seperti dibakar. Aku rasa nyawaku tidak akan lama lagi hidup di dunia,”sebut Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
“Tidak mengapa! kita sudah hampir tiba digunung Bu-tong-pay,”ujar si Toosu cilik itu.
“Too supekku pandi sekali di dalam ilmu pengobatan, dan punya kepandaian untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati, asalkan kita bisa tiba digunung Bu-tongpay maka dengan cepatnya kau bakal sembuh kembali dari sakitmu.
““Heeei… kenapa kalian begitu merasa kuatir terhadap mati hidupku!”tanya Siauw Ling secara tiba-tiba sambil menghela napas panjang.
Si Toosu cilik itu jadi melengak.
“Karena… karena…”Dia tidak terbiasa berbicara bohong, maka untuk beberapa saat lamanya dia orang dibuat gelagapan tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
“Aku tahu!”terdengar Siauw Ling tertawa sedih. “Kalian bukanlah bersungguh-sungguh hendak menyembuhkan diriku dari sakit, kalian cuma ingin membawa aku ke gunung Bu-tong-pay…”“Heeei… lukamu amat parah, penyakit lama yang tidak pernah diobati ditambah pula dengan luka dalam yang parah membuat badanmu jadi lemah.
“sambung Han Yang Cu secara tiba-tiba. “Kini harus terkena pula angin dingin membuat penyakit itu jadi mulai bekerja… heee… sekarang bermacam-macam penyakit itu sudah bergabung menjadi satu, kecuali Too suhengku seorang mungkin pada saat ini ada orang lain yang bisa menyembuhkan sakitmu itu.
““Soal itu tidak mengapa. Aku tidak takut”Seru Siauw Ling perlahan.
Agaknya Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa mengatakan perkataan tersebut, tidak kuasa lagi hatinya jadi melengak.
“Walaupun kau menderita luka dan sakit yang parah tetapi wajahmu menunjukkan bukankah orang yang berusia pendek”hiburnya sambil tertawa. “Ilmu pengobatan dari Toa Suheng amat lihay sekali, untuk menyembuhkan sakitmu itu pinto rasa bukanlah satu pekerjaan yang sukar sekali.
“Mendadak siauw Ling bangun berdiri agaknya dia bermaksud untuk duduk, siapa tahu baru saja dia kerahkan sedikit tenaga sepasang matanya jadi menggelap badannya amat sakit sekali sehingga tidak kuasa lagi dia sadarkan diri.
Entah lewat beberapa saat lamanya Siauw Ling cuma merasakan adanya dua buah telapak tangan yang amat panas bergerak dan meraba diseluruh tubuhnya setelah itu badannya terasa agak segar dari pada keadaan semula.
Dengan perlahan dia membuka matanya kembali terlihatlah seorang Toosu yang rambutnya sudah berwarna putih dengan wajah yang angker sedang mengurut dan memijit seluruh tubuhnya, dimana jari tangannya menyentuh segera terasalah segulung aliran yang amat panas meresap masuk ke dalam badannya.
Di belakang Toosu berambut putih itu berdirilah Im Yang Cu dengan wajah yang amat serius, didekat pembaringan terletak sebuah hiooloo berwarna hitam yang amat cantik.
Dari hiooloo tersebut mengepullah asap putih yang berbau harum.
Terdengar Toosu tua itu menghembuskan napas panjang-panjang lalu dengan perlahan menarik kembali sepasang telapak tangannya.
Lama sekali dia memandang diri Siauw Ling dengan termangu-mangu. Kemudian pada wajahnya yang angker terlintaslah satu senyuman yang amat ramah sekali.
“Bocah cilik, kau merasa baikan?”tanyanya halus.
“Benar… aku merasa rada baikan,”jawab Siauw Ling sambil mengangguk. “Loo Tootiang sudah tentu adalah suheng dari Im Yang Tootiang ciangbunjin dari Bu-tong-pay bukan?”Si Toosu berambut putih itu segera tersenyum.
“Pinto adalah Bu Wie. Keadaan sakit dari siauw sicu amat parah dan kini pun aliran darah baru saja lancar, lebih baik janganlah banyak membuang tenaga untuk berbicara, untuk bercakap-cakap waktu dikemudian hari masih panjang, kini lebih baik kau beristirahat telebih dahulu.
“Mendadak Siauw Ling menghela napas panjang.
“Heeei…, Enci Gak ku entah pada saat ini ada dimana?”keluhnya.
Setelah itu dengan perlahan dia memejamkan matanya kembali.
Im Yang Cu dengan hormatnya lantas menjura terhadap Bu Wie Tootiang setelah itu dengan cepat mengundurkan diri dari situ.
Agaknya Bu Wie Tootiang merasa agak payah, begitu Im Yang Cu sudah mengundurkan diri dari ruangan tersebut diapun segera pejamkan matanya untuk mengatur pernapasan.
Suasana di dalam kamar seketika itu juga berubah menjadi amat sunyi, saking sunyinya sampai terjatuh jarumpun bisa kedengaran.
Setelah tidur dengan puas semangat dari Siauw Ling pun jauh pulih seperti sedia kala sewaktu dia membuka matanya kembali terlihatlah si Toosu tua itu masih tetap duduk bersila dengan amat tenangnya di samping pembaringan. Saat ini waktu sudah menunjukkan tengah malam, suasana di dalam kamar itu gelap gulita cuma terpecik sedikit cahaya biru dari dalam Hiooloo kuno tersebut, seluruh benda yang ada di dalam kamar setelah terkena sinar kebiru-biruan tersebut secara samar-samar segera memantulkan cahaya hijau yang amat tipis.
Siauw Ling segera sedikit menggoyangkan badannya, lalu dengan perlahan-lahan bangun duduk.
Baru saja dia bermaksud molor dari atas pembaringan mendadak Boa Wie Tootiang yang ada di sampingnya sudah membuka matanya lebar-lebar.
“Bocah di tengah malam buta kau tidak boleh berjalan-jalan diluar kamar”tegurnya sambil tertawa. “Tetapi bilamana kau ingin jalan-jalan bolehlah kau berjalan di dalam kamar pembuat obat ini saja karena dengan demikian terhadap obat yang baru saja kau telan memberikan bantuan yang amat berharga.
“Kedudukan ciang bunjin dari Bu-tong-pay amat dihormati sekali di dalam Bulim kali ini dia bersikap begitu ramahnya terhadap Siauw Ling hal ini boleh dikata merupakan satu perisatiwa yang patut dibanggakan.
Tetapi Siauw Ling sama sekali tidak merasa dia dengan langkah yang perlahan segera berjalan mendekati hiooloo kuno yang memancarkan sinar kebiru-biruan itu.
Dengan perlahan Boa Wie Tootiang menghela napas panjang, dia tidak ambil perduli dirinya lagi Siauw Ling yang berjalan kesamping hiooloo kuno itu segera merasakan satu tekanan yang keras memaksa dirinya, kejadian ini segera membuat dalam hati dia merasa keheran-heranan.
“Entah barang apa yang sedang dimasak di dalam hioolo itu, kenapa pengaruhnya begitu besar?”pikirnya dihati.
Ketika dia menengok kedalam, tampaklah diantara membaranya api berwarna kebirubiruan itu terletaklah sebuah kotak sebesar kepalan, entah kotak itu terbuat dari bahan apa saat ini ternyata sudah dibakar sehingga memancarkan warna merah membara. Secara samar-samar diapun dapat melihat adanya bahan berwarna hijau yang mengalir keluar dari antara kotak yang merah membara tersebut.
Api yang berwarna kebiru-biruan itu mengepulkeluar dari beberapa lubang sebesar jari di bawah kotak kecil itu. Tetapi Siauw Ling tidak dapat mengetahui bahan apakah itu yang sedang terbakar di bawah hiooloo tersebut.
Mendadak di dalam pikiran Siauw Ling teringat kembali akan ayahnya yang pernah membuat pil, sehingga tidak kuasa lagi dia lantas bertanya, “Loo Tootiang, kau lagi membuat pil??”“Benar lagi membuat semacam obat kuat dirimu!”sahut Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
“Bikin obat buat diriku??”tanya Siauw Ling keheranan.
Bu Wie Tootiang tertawa.
“Mungkin lewat tiga hari tiga malam kemudian api itu bisa padam sendirinya, waktu itulah obat tersebut boleh diambil untuk dimakan,”katanya.
Dengan sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang. lalu dengan langkah perlahan berjalan kehadapan pembaringan kayu itu.
“Loo Tootiang,”ujarnya. “Kita tidak saling mengenal, kenapa kau bersikap sangat baik terhadapku??”Sekali lagi Bu Wie Tootiang tersenyum.
“Orang beragama selalu mengutamakan kebajikan, pinto yang sudah tahu kalau didadamu menderita sakit yang amat parah bagaimana berani tidak mengurus…”katanya.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian tambahnya, “Apalagi ketika urat nadimu yang membeku karena semacam penyakit bukanlah bisa disembuhkan oleh setiap orang.
“Dengan perlahan Siauw Ling mendekati pembaringan dan duduk kembali, setelah termenung beberapa saat lamanya dia berkata kembali, “Aku tidak percaya kalau Loo Tootiang menolong aku dikarenakan kebajikan!”Agaknya Bu Wie Tootiang sama sekali tak menyangka kalau secara tiba-tiba dia bisa mengungkap urusan ini. Bahkan perkataannya diucapkan secara terus terang, tidak kuasa lagi dia jadi melengok dibuatnya.
Setelah termenung beberapa saat lamanya dengan perlahan dia baru berkata, “Pinto yang menahan dirimu digunung Bu-tong-pay ini kemungkinan sekali memang ada maksud tertentu tetapi membantu dirimu untuk menyembuhkan penyakit yang kau derita adalah merupakan sebab utama yang paling penting…”Berbicara sampai disini mendadak dia memutuskan kata-katanya.
“Siapa?”bentaknya dengan keren.
Terdengar dari luar kamar berkumandang masuk suara dari seseorang yang rendah dan berat.
“Tecu ada urusan yang hendak dilaporkan.
“Sepasang alis yang merah dari Bu Wie Tootiang sedikit dikerutkan, tetapi dia tetap duduk bersila di tempat semula.
“Masuklah!”perintahnya.
Pintu dengan perlahan dibuka dan masuklah seorang Toosu berusia pertengahan yang mempunyai perawakan tinggi besar dengan jenggot hitam terurai ke bawah.
Jika ditinjau dari usianya jelas tidak berada di bawah usia Im Yang Cu tetapi gerakgeriknya terhadap Bu Wie Tootiang jauh lebih menghormat lagi.
Dari tempat kejauhan dia sudah merangkap tangannya memberi hormat setelah itu berjalan mendekati pembaringan.
“Ada orang yang melakukan perjalanan malam menaiki gunung…”sambungnya dengan sangat hormat.
“Siapakah orang itu?”tanya Bu Wie Tootiang dengan agak berubah.
“Kepandaian silat dari orang itu tidak lemah Im Yang susiok sudah memberi perintah agar kelima pelindung hukum dari kuil bersama-sama turun tangan menyelidiki urusan ini sampai jelas, karena takut sampai mengganggu ketenangan dari suhu maka sengaja memerintah tecu untuk melaporkan hal ini kepada suhu.
“Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah jadi amat tenang, tangan kirinya segera diulapkan mengundurkan Toosu tersebut.
“Ehmmmm… sudah tahu!”Toosu berusia pertengahan itu segera merangkap tangannya di depan dada memberi hormat, setelah itu dengan sangat berhati-hati menutup kembali pintu kamar itu.
Selama ini Siauw Ling tidak mengucapkan sepatah katapun setelah termenung sebentar diapun mendadak meloncat turun dari atas pembaringan lalu dengan langkah lebar berjalan keluar.
“Bocah, kau ingin pergi kemana?”tegur Bu Wie Tootiang sambil mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Akupun ingin pergi keluar, aku mau lihat yang datang apakah enci Gak ku?”Selesai berkata dengan cepat dia membuka pintu kamar dan dengan langkah lebar berjalan keluar. Ketika dia dongakkan kepalanya terlihatlah bintang tersebut laksana semut, malam ini adalah suatu malam yang gelap tak terlihat adanya rembulan, segulung angin dingin bertiup datang. Tidak kuasa lagi Siauw Ling bersin beberapa kali.
Mendadak dari samping badannya berkumandang datang suara seseorang yang amat rendah dan berat.
“Angin malam sangat dingin sekali, lebih baik siauw sicu kembali saja ke dalam kamar!”tegurnya. Siauw Ling segera menoleh kesamping entah sejak kapan di samping badannya sudah berdiri seorang Toosu muda yang menyoren pedang pada punggungnya.
“Tidak. Aku tidak mau kembali,”sahutnya setelah memenangkan hatinya.
Toosu muda itu baru berusia delapan, sembilan belas tahunan, wajahnya bersih dan tampan. Sebilah pedang tersoren di belakang punggungnya dengan jubah yang berkibar tertiup angin.
Dia memandang diri Siauw Ling beberapa saat lamanya, setelah itu dengan amat dingin ujarnya, “Tempat dan keadaan disini tidak akan memperkenankan kau untuk sembarang menerjang bilamana siauw sicu tidak suka kembali dengan sendirinya maka terpaksa pinto akan bantu kau melaksanakan pekerjaan ini!”Sewaktu berbicara dia sudah mengulur tangannya mencengkeram pergelangan tangan dari Siauw Ling.
Dengan terburu-buru Siauw Ling segera menarik kembali pergelangan tangannya ke belakang.
Toosu muda itu melancarkan serangannya cepat bagaikan kilat, Siauw Ling mana mungkin menghindarkan dirinya.
Dia cuma merasakan tangan kirinya jadi kaku, urat nadi pada pergelangan tangan kirinya sudah berada di dalam cekalan Toosu muda tersebut.
Terdengar suara helaan napas yang amat panjang berkumandang keluar disusul suara yang tua dan serak dari Bu Wie Tootiang bergema datang.
“Jangan paksa dia kembali. Biarkanlah dia berlalu!”perintahnya.
Dengan terburu-buru Toosu muda itu segera melepaskan cekalannya pada pergelangan kiri Siauw Ling sambil menyahut dengan cepat dia mengundurkan dirinya kembali ke bawah sebuah pohon siong.
Siauw Ling segera melepaskan dulu pergelangan tangannya yang terasa kaku, setelah itu dengan langkah lebar dia melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke depan.
Secara samar-samar dia bisa melihat dihadapannya merupakan sebuah bunga yang amat luas.
Di bawah tiupan angin malam yang dingin secara samar-samar tersiarlah bau harum yang semerbak. Dedaunan pohon siong yang menghijau tumbuh diantara berbagai bunga yang beraneka warna membuat pemandangan disitu kelihatan amat indah sekali.
Pertama, karena gelapnya keadaan membuat pandangan Siauw Ling kurang begitu jelas, kedua dia tidak bermaksud untuk menikmati keindahan bunga tersebut, dengan langkah yang lebar dia langsung berjalan menuju ke arah pintu.
Halaman itu sangat luas sekali. Siauw Ling yang tidak kenal dengan keadaan disana walaupun sudah berjalan sangat lama tetapi tidak berhasil juga keluar dari kumpulan tanaman bunga tersebut.
Tetapi sifat yang amat kukuh membuat dia pantang mundur, walaupun saking dingin seluruh tubuhnya sudah gemetar keras dia tetap tidak bermaksud kembali, setelah menentukan satu arah tanpa jerinya dia berjalan terus ke arah depan.
Beberapa saat kemudian terlihatlah olehnya dua ekor burung bangau putih berdiri diantara kebun bunga itu, sekalipun Siauw Ling lewat di sampingnya tetapi kedua ekor burung bangau itu sama sekali tidak melarikan diri.
Keadaan yang amat aneh ini sama sekali tidak memancing rasa keheran-heranan dari Siauw Ling di dalam hatinya dia cuma ingin cepat-cepat bertemu dengan Gak Siauw-cha tentu enci Gaknya.
Di dalam hati dia percaya Gak Siauw-cha tentu lagi mencari dirinya sehingga tidak kuasa lagi dia lantas berteriak keras, “Enci Gak, enci Gak, aku disini. Aku Siauw Ling!”Sekalipun dia sudah berteriak dengan sekuat tenaga tetapi tidak kedengaran juga suara jawaban yang ada tidak lebih cuma pantulan suara teriakannya sendiri.
Di tengah menderunya angin malam yang kencang dengan tiada hentinya dia berjalan ke depan.
Setelah melewati sebuah kebun bunga yang amat luas, akhirnya sampailah dia di samping sebuah tembok pekarangan yang terbuat dari batu hijau.
Sebuah pintu yang berbentuk bundar sejak semula sudah terbuka. Siauw Ling yang badannya masih lemah dengan napas memburu keringat mengucur keluar meneruskan perjalanannya ke depan.
Selewatnya dari pintu dia berhenti sebentar untuk menyeka keringat yang membasahi tubuhnya. Dia dapat melihat dihadapannya terbentang sebuah jalan kecil yang beralaskan batu putih, secara samar-samar diapun bisa melihat adanya sebuah bagunan berloteng berdiri dengan angkernya di tengah kegelapan malam.
Siauw Ling memperhatikan sebentar keadaan disitu setelah itu dengan memilih arah yang lapang dia melanjutkan kembali langkahnya ke depan.
Waktu ini keadaannya sudah seperti orang gila, sambil berjalan dengan sekuat tenaga tiada hentinya dia berteriak dan memanggil-manggil enci Gaknya.
Di tengah malam yang amat sunyi, suara teriaknya yang mengandung rasa cinta kasih ini laksana mengamuknya ombak di tengah samudra menggetarkan seluruh kuil Sam Yan Koan yang angker itu.
Entah berlari lagi beberapa waktu lamanya, saking lelahnya Siauw Ling merasakan napasnya ngos-ngosan pandangan matanya jadi kabur. Dia merasa enci Gaknya sudah berubah jadi seorang perempuan cantik yang berdiri dihadapan matanya… dia merasa hatinya semakin bergolak, dengan sekuat tenaga tiada hentinya dia lari terus ke arah depan.
Dia berlari terus, berlari sampai badannya merasa amat lemah baru berhenti, keringat mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Saat ini Siauw Ling tidak sanggup untuk maju selangkah lagi, pandangannya jadi berkunang-kunang darah panas bergolak dengan amat kerasnya di dalam dada, sepasang kakinya jadi amat lemas sehingga tidak kuasa lagi dia jatuh ke atas tanah tidak sadarkan diri.
Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak Siauw Ling jadi sadar kembali karena tajamnya sinar surva yang menyoroti matanya.
Dengan perlahan dia membuka matanya tampaklah kurang lebih beberapa depa dari dirinya berada duduklah bersila Im Yang Cu sedang dirinya pada saat ini sedang berbaring di atas tanah rumput yang lunak dan halus. Sedang di sekelilingnya tumbuhlah pepohonan siong dengan amat lebatnya.
Kurasa lebih beberapa kaki dari tempat dimana dia berada terdepatlah sebuah tebing yang dalamnya beratus-ratus kaki air terjun dengan derasnya memancar ke bawah sehingga menimbulkan suara yang memekikkan telinga.
“Bocah, kau sudah bangun??”Tanya Im Yang Cu dengan wajah tersenyum ramah.
Sambil mengucak-ucak matanya Siauw Ling bangun duduk.
“Dimanakah tempat ini?”tanyanya.
“Inilah gunung sebelah belakang dari kuil Yan Yan Koan,”jawab Im Yang Cu sambil tertawa.
Ketika Siauw Ling dongak kepalanya terlihatlah kurang lebih tiga empat li dari tempat itu berdirilah sebuah kuil dengan amat angkernya.
Ketika teringat akan pengalamannya semalam, dia mulai merasakan sepasang kakinya linu dan sakit sekali.
Dengan perlahan Im Yang Cu bangkit berdiri dan berjalan ke arah samping badannya.
“Kau merasa bersedih hati?”tanyanya sambil tertawa.
Siauw Ling menghembuskan napas panjang-panjang, dia merasa darahnya mengalir dengan amat derasnya kecuali tulangnya merasa rada sakit tempat-tempat lain sama sekali tidak merasa aneh.
“Aku sangat baik”sahutnya kemudian, “Heei! Tootiang! Apakah kau pernah melihat enci Gak ku?”“Tidak!”jawab Im Yang Cu sambil tertawa. “Bilamana encimu pun rindu padamu aku rasa tidak lama kemudian dia bakal datang untuk mencari dirimu.
““Lalu yang kemarin datang kemari bukan enci Gak?”“Bukan!”sahut Im Yang Cu tertawa. “Bocah ciangbun suhengku itu walaupun memiliki ilmu pengobatan yang amat lihay dan berilmu tinggi tetapi selamanya suka menyepi sekalipun anak murid dari kuil sendiripun jarang bisa bertemu muka dengan dirinya.
Heei… kau yang bisa disembuhkan olehnya boleh dikata merupakan satu keuntungan yang luar biasa…”“Hal itu ada apanya yang lucu,”sambung Siauw Ling dengan cepat.
“Enci Gak pun bisa bantu aku menyembuhkan penyakit ini.
“Mendengar perkataan tersebut Im Yang Cu lantas tertawa.
“Sekalipun dia bisa membantu kau untuk menyembuhkan penyakit ini tetapi jeleknya pada saat ini tidak terang, bahkan mungkin jauh di ujung langit, untuk beberapa saat lamanya bagaimana mungkin kita bisa mencari dirinya??”Dengan perlahan Siauw Ling menundukkan kepalanya tidak beebicara lagi.
“Bilamana kau tidak suka mendengar perkataanku dan sebelum penyakit tersebut benar sembuh sudah berjalan-jalan, bukan saja susah payah dari Cianbun suheng akan berlalu bagaikan air bahkan ada kemungkinan penyakitmu itu bakal kambuh kembali, sampai saat itu sekalipun enci Gak mu datang juga tidak akan dapat berjumpa lagi dengan dirimu.
“Beberapa perkataan ini seketika itu juga hati Siauw Ling rada bergerak.
“Aaah benar!”pikirnya. “Bilamana aku mati karena sakit, maka selamanya tidak bakal bisa bertemu dengan enci Gak.
“Berpikir sampai disitu tidak terasa lagi dia lantas berkata, “Bilamana menginginkan aku suka mendengarkan nasehatmu, hal ini tidaklah terlalu sukar tetapi kaupun harus mau menerima satu permintaanku.
““Kau bicaralah!”ujar Im Yang Cu dengan perlahan. “Asalkan pinto bisa melaksanakannya, tentu akan aku lakukan tanpa membantah.
“Haruslah diketahui Bu-tong-pay merupakan salah satu partai yang terbesar di dalam Bulim dan menerima penghormatan dari semua jago.
Bu Wie Tootiang maupun Im Yang Cu pun merupakan jago-jago yang berbakat paling aneh selama ratusan tahun ini, bukan saja kepandaian silat mereka amat dahsyat melebihi beberapa orang Too tiang pada angkatan semula bahkan kecerdikannya pun amat sempurna. Tidak disangka karena ingin menggunakan seorang bocah cilik yang masih tidak mengerti urusan untuk mencapai sesuatu maksud kini harus berbuat demikian ramahnya terhadap diri Siauw Ling.
“Aku berdiam diri disini sih boleh,”ujarnya Siauw Ling setelah berpikir sebentar.
“Tetapi bilamana enci Gak ku datang maka kalian harus memberitahukan berita ini kepadaku dan membiarkan aku pergi meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan dirinya.
““Baiklah! pinto kabulkan permintaanmu itu,”sahut Im Yang Cu setelah berpikir sebentar.
Dengan perlahan Siauw Ling berjalan maju ke depan, sembari berjalan gumamnya seorang diri, “Aku tahu, enci Gak ku tentu akan datang kemari untuk mencari aku!”Im Yang Cu yang mendengat perkataan itu diam-diam menghela napas panjang.
Setelah itu sambil mempercepat langkahnya dia menggendong tubuh Siauw Ling.
“Bocah!”ujarnya sambil tertawa.
“Kemarin malam kau sudah berlari satu malaman hingga pingsan, setelah mengorbankan tenaga murni pinto selama beberapa jam lamanya aku baru berhasil menolong kau lolos dari lobang kematian. Sekarang kekuatan badanmu belum sembuh, mari biarlah pinto yang membopong pulang.
“Siauw Ling yang baru saja berjalan beberapa langkah segera merasakan sepasang kakinya jadi lemas segera mengetahui kalau perkataan dari Toosu itu sedikitpun tidak salah, tanpa membantah lagi dia membiarkan Im Yang Cu menggendong tubuhnya.
Dengan cepatnya Im Yang Cu lantas melakukan perjalanan, kurang lebih seperminum teh kemudian dia sudah masuk ke dalam kuil.
Siauw Ling yang berada di atas pundak Im Yang Cu dapat melihat banyak sekali Toosu yang berjalan bolak balik dijalan kecil yang terbuat dari batuan hijau itu, begitu bertemu dengan Im Yang Cu mereka lantas merangkap tangannya memberi hormat dan menyingkir kesamping memberi jalan. Dari sikap mereka yang sangat menghormati jelas membuktikan kalau kedudukan dari Im Yang Cu ini di dalam Bu-tong-pay amat tinggi sekali.
Setelah melewati beberapa buah ruangan yang benar, terlihatlah sebuah tembok pekarangan yang terbuat dari batu hijau menghalangi perjalannya.
Sambil mengeendong Siauw Ling, Im Yang Cu lantas berja;an masuk melalui pintu yang berbentuk bulat.
Mendadak tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau berkelebat menghalangi perjalannya.
“”Susiok harap berhenti, ciangbun suhu lagi menerima tamu,”ujarnya dengan suara perlahan.
“Tamu siapa? Kenapa sampai aku pun harus menyingkir?”tanya Im Yang Cu sambil memandang wajah Toosu cilik berbaju hijau itu.
“Tecu tidak kenal”sahut si Toosu cilik berbaju hijau setelah termenung sebentar. “Tetapi Ciangbun suhu sangat hormat sekali menghadapi dirinya, suhu memerintahkan aku berjaga disini untuk melarang siapapun berjalan masuk. Bilamana Susiok ada urusan tunggulah sebentar, biar tecu masuk ke dalam untuk memberikan laporannya.
““Tidak usah, biarlah sebentar lagi aku kembali,”jawab Im Yang Cu kemudian.
Sambil menggendong tangan Siauw Ling dia lanats berjalan pergi dari situ.
Haruslah diketahui biasanya Im Yang Cu sangat menaruh rasa hormat terhadap suhengnya, Bu Wie Tootiang yang suka hidup menyendiri dari gangguan urusan selamanya selalu saja menyerahkan semua urusan kepada Im Yang Cu. Selama puluhan tahun ini tidak perduli urusan apapun selalu Im Yang Cu lah yang membereskannya, siapa tahu ternyata terhadap kedatangan tetamu ini dai suhengnya sudah mengharuskan dia untuk menyingkir.
Im Yang Cu segera mengajak Siauw Ling berjalan masuk ke dalam sebuah halaman kuil yang kecil dan amat sunyi sekali.
“Bocah!”terdengar Im Yang Cu berkata sambil membawa Siauw Ling masuk ke dalam ruangan tersebut. “Kau duduklah disini, setiap benda yang ada di dalam ruangan ini boleh kau lihat tetapi janganlah sekali-kali memegangnya!”Sinar mata Siauw Ling dengan perlahan menyapu sekejap kesekeliling tempat itu, terlihatlah di atas dinding tergantunglah sebilah pedang serta sebuah kantungan kain di atas meja pada dinding sebelah dalam terletak tiga batang anak panah emas yang panjangnya ada tujuh, delapan coen. Di sampingnya terdapatlah dua buah cawan pualam putih yang ditutupi dengan jain putih, entah barang apa yang terdapat didalamnya.
Agaknya Im Yang Cu merasa amat lelah tanpa memperdulikan diri Siauw Ling lagi dia lantas duduk di atas pembaringan untuk semedi.
“Hmmm…! Barang-barang yang ada di dalam ruangan ini apanya yang heran? Aku tidak akan melihat barang-barang itu dari pada harus dipandang hina oleh orang lain,”pikirnya.
Diapun lantas memejamkan matanya dan bersandar dikursi.
Tetapi bagaimanapun sifat kebosanannya masih ada akhirnya diatidak kuasa untuk menahan rasa ingin tahu yang semakin mencekam hatinya.
Semakin dia tidak ingin melihat maka rasa ingin tahu semakin besar.
Akhirnya tidak kuasa lagi dia segera berdiri dan berjalan mendekati meja tersebut.
Terlihatlah di depan ketiga batang anah panah emas itu masing-masing terukirlah sebuah lukisan yang amat indah sekali.
Diam-diam lantas berpikir.
“Orang yang menggunakan pedang emas tentunya seorang jagoan yang berkepandaian tinggi tetapi kenapa pada anak panah itu terukir lukisan yang begitu indahnya?”Sinar matanya dengan perlahan beralih ke atas cawan yang ditutupi kain putih itu, disanapun terukir juga sebuah lukisan yang amat indah.
“Entah apakah isi dari cawan itu?”pikirnya lagi.
“Kenapa diatasnya harus ditutupi dengan kain putih?? Biarlah aku sedikit menyingkap kain putih itu untuk melihat apa isi dari cawan tersebut.
“Berpikir sampai disini dia segera mengulu tangan kanannya untuk coba membuka kain putih yang menutupi cawan tersebut.
“Jangan dipegang!”terdengar suara bentakan yang amat dingin berkumadang datang.
Dengan terkejut Siauw Ling menarik kembali tangan kanannya lalu menoleh ke belakang.
Jilid 9 Terlihatlah seorang Toosu cilik berusia lima, enam belas tahunan yang berdiri di depan pintu dengan wajah yang angker, sepasang matanya melotot lebar, dan dengan tajamnya memperhatikan dirinya.
Pada saat itu Im Yang Cu pun sudah membuka matanya.
“Bocah!”ujarnya sambil tersenyum. “Di dalam cawan yang tertutup oleh kain putih itu berisikan racun yang berbahaya, aku larang kau untuk memegangnya adalah bermaksud baik.
“Siauw Ling segera merasakan wajahnya jadi panas, dengan perlahan dia mengundurkan dirinya kembali ke tempat duduknya semula.
Toosu cilik itupun segera merangkap tangannya dari depan ruangan.
“Ciangbunjien ada perintah mengundang suhu untuk bertemu!”lapornya.
“Apakah tetamu itu telah pergi?”“Tecu cuma mendapat laporan dari Cing Hok Suheng yang mengatakan suhu diundang oleh Ciangbunjien, tentang apakah tamu itu sudah pergi atau belum Cing Hok Suheng sama sekali tidak mengungkapnya.
“Im Yang Cu segera menoleh dan memandang ke arah Siauw Ling, belum sempat dia mengucapkan sepatah katapun terdengar si Toosu cilik itu sudah menyambung kembali kata-katanya.
“Ciangbunjien mengundang suhu untuk bertemu dengan membawa serta Siauw sicu ini.
“Im Yang Cu segera mengangguk dan membawa serta Siauw Ling keluar. Mereka berdua dengan cepatnya segera menuju kamar pembuat pil dari Bu Wie Tootiang.
Tampaklah pada saat itu sambil bergendong tangan Bu Wie Tootiang lagi berdiri di depan biolop tersebut, sepasang matanya dengan terpesona sedang memandang api berwarna hijau yang mengepul naik keangkasa itu, jelas wajahnya amat murung sekali.
Melihat akan hal itu Im Yang Cu segera merasakan hatinya tergetar.
“Menghujuk hormat buat Ciangbun suheng,”ujarnya kemudian sambil merangkap tangannya memberi hormat.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengangkat kepalanya memandang sekejap ke arah Im Yang Cu, setelah itu sahutnya, “Sore tidak usah banyak adat, silahkan duduk.
“Im Yang Cu tidak berani membantah, dia segera duduk di atas kursi yang sudah tersedia di dalam kamar itu.
“Ciangbun suheng sengaja mengundang pinto ada urusan apa?”tanyanya.
O X O Dari sepasang mata serta perubahan wajah dari Bu Wie Tootiang ini dia sudah dapat melihat kalau urusan ini sangat penting dan berbahaya sekali.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengalihkan sinar matanya ke atas tubuh Siauw Ling.
“Bocah!”ujarnya dengan perlahan. “Sembilan partai besar dari seluruh Bulim beserta para jagi dari sungai telaga tidak seorangpun yang tidak mengharapkan bisa memperoleh anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut untuk membuka rahasia dari istana terlarang.
Walaupun pinto sendiripun mempunyai keinginan tersebut tetapi pinto tidak ingin dikarenakan urusan ini mengakibatkan timbulnya satu pembunuhan masal di dalam Bulim.
“Dia berhenti sebentar untuk tukar napas sesudah itu sambungnya lagi, “Walaupun anak kunci untuk pembuka istana terlarang itu merupakan satu benda pusaka yang diinginkan oleh setiap jago tetapi merupakan juga satu bibit bencana yang bakal mendatangkan kehancuran buat dirinya sendiri. Tidak perduli siapapun yang menyimpan anak kunci Cing Kong Ci Yau itu maka semua jago di Bulim akan mengalihkan seluruh perhatian kepadanya, sekalipun kawan baik sendiri mungkin karena urusan inipun bakal menjadi musuh! Heeei nama serta kedudukan sungguh mendatangkan bencana saja.
““Apa sangkut pautnya urusan ini denganku?”diam-diam pikir Siauw Ling dalam hati.
Tiba-tiba tampaklah wajah Bu Wie Tootiang sudah berubah jadi amat serius sekali, gumamnya kembali, “Walaupun pinto tidak bermaksud untuk memperoleh barang pusaka yang ada diistana terlarang tersebut, tetapi dari Socouw mau tidak mau harus pinto bawa kembali.
““Walaupun pinto tidak ingin mencampuri urusan dunia kangouw lagi tetapi di dalam peristiwa ini mau tidak mau pinto terpaksa harus ikut campur, aku ingin kau sebagai majikannya mengambil keputusan sendiri karena pinto tidak ingin memaksa orang.
““Suruh aku mengambil keputusan?”tanya Siauw Ling dengan wajah penuh kebingungan.
“Tidak salah, aku suruh kau orang mengambil keputusan!”“Tapi, suruh mengambil keputusan apa?”Dengan perlahan Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Baru saja pinto menerima beberapa orang jagoan berkepandaian tinggi dari Bulim beserta dengan orang pendeta beribadat tinggi dari kuil Siauw Lim si.
““Apa tujuan mereka datang kemari?”sela Im Yang Cu dengan wajah berubah hebat.
Dengan perlahan sinar mata Bu Wie Tootiang menyapu sekejap ke arah Siauw Ling.
“Heeei… soal Siauw sicu ini.
““Hmm! Bagus… bagus sekali!”seru Im Yang Cu sambil mendengus dingin.
“Mereka tidak berhasil memperoleh jejak dari Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha kini sudah mengalihkan perhatiannya terhadap bocah cilik ini!”“Soal ini tak dapat menyalahkan diri mereka,”ujar Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
“Coba bayangkan anak kunci Cing Kong Ci Yau mempunyai sesuatu rahasia yang amat besar, bukan saja istana terlarang tersebut sudah disimpan barang pusaka dari empat partai besar, masih ada pula pusaka dari enam orang jagoan sakti beserta berita mati hidup dari puluhan cianpwee dari dalam Bulim. Barang siapa yang mempunyai hubungan atau sangkut paut dengan kesepuluh orang jagoan Bulim ini dengan membawa semangat serta keberanian mereka tentu pergi mencari berita dari anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut.
““Tetapi bocah ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan soal anak kunci Cing Kong Ci Yau itu, bukan saja tidak mengerti ilmu silat bahkan di dalam badannyapun sudah bersarang satu penyakit yang sudah amat berat, kita tidak boleh berpeluk tangan saja membiarkan mereka menyiksa bocah ini.
““Heeei, jagoan di dalam Bulim kebanyakan bersifat kejam dan telengas, bilamana bocah ini sampai terjatuh ketangan mereka, maka dengan menggunakan keselamatan dari Siauw Ling mereka tentu akan memaksa Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha untuk munculkan diri. Kau menukarkan nyawa-nyawa bocah ini dengan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut, soal ini kita tak boleh mengabulkannya.
“Sekali lagi Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
“Karena itu di dalam urusan ini seharusnya Siauw Ling mengambil keputusan sendiri, bilamana ia tak suka tinggal disini buat apa kita paksa dia untuk tetap berada disini.
“Im Yang Cu tahu sifat dari suhengnya ini amat tawar, jujur tegas dan bersifat adil, karena itu tidak banyak membantah lagi. Sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah diri Siauw Ling ujarnya, “Bocah! Asalkan kau sudah mengambil keputusan dihati bilamana kau ingin meninggalkan tempat ini kami tidak akan memaksa. Jikalau kau ingin tetap berada disini kami orang-orang dari Bu-tong-pay tentu akan melindungi dirimu dengan seluruh tenaga, kami tidak akan membiarkan ada orang mengganggu dirimu.
““Cara bekerja dari orang-orang Bu-tong-pay sebagai satu partai sungguh berbeda dengan cara bekerja dari Tiong Cho Siang-ku,”pikir Siauw Ling.
Sinar matanya dengan cepat berputar, terlihatlah olehnya sepasang mata Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu dipentangkan lebar-lebar dan lagi memperhatikan dirinya tajam-tajam sedang pada wajah Im Yang Cu sendiri sudah penuh diliputi oleh penuh harapan besar.
Pikiran Siauw Ling dengan cepat berputar terus untuk beberapa saat lamanya dia tidak dapat mangambil keputusan.
Dia merasa sikap Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu terhadap dirinya sangat baik jauh lebih baik tetap tinggal disini, tetapi iapun merasa takut setelah dia berada disini dikemudian hari bilamana Gak Siauw-cha datang mencari dirinya, Im Yang Cu dan Bu Wie Tootiang tidak menyanggupi untuk melepaskan dirinya pergi.
Walaupun dia mengikuti Gak Siauw-cha hanya sebentar saja tetapi apa yang dilihat di dalam dunia kangouw sudah amat banyak sekali, sehingga dalam hati kecilnya sudah timbul kewaspadaan.
Walaupun dia bisa mendengar dari nada perkataannya Im Yang Cu serta Bu Wie Tootiang jauh lebih baik dari Tiong Cho Siang-ku tetapi di dalam hati dua orang tidak berani percaya dengan begitu saja.
“Bocah, apa kau sudah mengambil keputusan?”Tanya Im Yang Cu dengan halus.
“Aku lagi berpikir”sahut Siauw Ling.
“Bocah!”seru Bu Wie Tootiang pula dengan ramah. “Jangan terlalu dipaksakan, apa yang sedang kau pikirkan katakan saja.
““Bilamana aku menyanggupi untuk tetap tinggal disini, dikemudian hari bilamana enci Gak datang mencari aku apakah waktu itu aku boleh ikut dia pergi?”Agaknya Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa mengajukan pertanyaan tersebut tak kuasa mereka jadi melengak dibuatnya.
Tampat Siauw Ling mengeluskan alisnya rapat-rapat wajahnya diliputi oleh keteguhan hatinya.
“Tootiang berdua adalah orang dari kaum beragama sudah tentu dengan orang-orang jahat itu tidak ada miripnya, perhatian yang kalian berikan kepadaku selama beberapa hari ini dalam hati aku merasa sangat berterima kasih sekali, bilamana kalian ingin aku mengabulkan urusan ini harap Tootiang berdua suka menyanggupi dulu satu urusan!”“Bocah baik, kau ingin mengajukan syarat?”seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
“Baiklah coba kau katakanlah…”Sifat yang tawar dan welas kasih membuat dia orang sama sekali tidak tersinggung oleh perkataan dari Siauw Ling yang amat bernafsu itu.
Sepasang mata Siauw Ling dipentangkan lebar-lebar wajahnya berubah jadi amat serius sekali.
“Bilamana kalian menyanggupi untuk lepaskan aku pergi bilamana dikemudian hari enci Gak datang mencari aku maka aku suka tetap tinggal disini. Bilamana tidak mau, biarkanlah aku dibawa pergi oleh orang lain.
““Bocah, tahukah orang lain tidak bakal bersikap ramah seperti kami?”tegur Im Yang Cu memberi peringatan.
“Aku tahu kalau hal itu tidak mungkin, tetapi soal itu tidak penting, asalkan aku bisa menemukan cara untuk mati maka mereka tak akan bisa mengapa-apakan diriku dan menggunakan au orang untuk mengancam enci Gak.
““Bocah cilik sungguh keras dihatimu,”puji Bu Wie Tootiang sambil tertawa. “Sifatmu benar-benar mengagumkan sekali, baiklah pinto kabulkan permintaanmu itu.
“Siauw Ling benar-benar merasa terharu, titik air mata mulai menetes keluar dari sepasang matanya, dengan cepat dia jatuhkan diri berlutut dan jalankan penghormatan besar.
“Tootiang berhati welas kasih, sekali pandang saja aku sudah tahu kalau kau adalah seorang yang teramat baik. Tootiang sama sekali berbeda dengan Tiong Cho Siang-ku yang amat jahat itu.
“Walaupun usianya masih muda tapi pikiranya tajam, beberapa perkataannya itu diucapkan keluar dari dasar hati kecilnya.
Bu Wie Tootiang tersenyum, dia lantas menoleh ke arah Im Yang Cu dan berkata, “Kalau memangnya Siauw sicu suka tinggal disini maka di dalam kuil harus mengadakan persiapan-persiapan, coba kau perintahkan seluruh anak murid yang ada di dalam kuil untuk mengadakan penjagaan yang ketat, bilamana ada orang ddatang berkunjung dengan mengikuti aturan laporkan dulu kepadaku.
“Di dalam ingatan Im Yang Cu selamanya belum pernah dia melihat suhengnya merasa begitu tegang tidak perduli menghadapi peristiwa yang bagaimanapun Bu Wie Tootiang paling banter cuma tertawa tawar saja dan tak terpikirkan di dalam benaknya.
Sekarang secara tiba-tiba melihat dia orang sudah merasa begitu tegang terhadap beberapa orang pengunjung tersebut dalam hati lantas mengerti kalau musuh-musuhnya bukanlah orang sembarangan.
Ia tak berani berlaku ayal lagi dengan cepat tubuhnya bangun berdiri dan berlalu keluar.
Setelah dilihatnya Im Yang Cu keluar dari ruangan Bu Wie Tootiang baru mengalihkan sinar matanya ke atas wajah Siauw Ling.
“Bocah!”ujarnya dengan serius. “Tahukah kau ornag bahwa pada saat ini dirimu sudah menjadi incaran dari para jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim?”“Aku ada beberapa hal merasa tidak paham!”seru Siauw Ling kurang tahu.
Air muka Bu Wie Tootiang berubah semakin serius lagi, ujarnya dengan perlahan, “Selama puluhan tahun ini pinto selalu melarang anak murid Bu-tong-pay untuk mencari gara-gara dan mengikat permusuhan dengan dunia kangouw, tapi demi siauw sicu bukan saja kami dari Bu-tong-pay sudah ikut tersangkut di dalam urusan perebutan kunci wasiat yang terjadi di dalam sungai telaga bahkan sampai pinto sendiripun sudah terseret pula di dalam kancah pergolakan ini.
“Baru saja Siauw Ling bermaksud untuk mangatakan sesuatu terdengarlah genta dipukul berlalu-lalu.
Air muka Bu Wie Tootiang segera berubah sangat hebat.
“Siapa lagi yang sudah datang?’ serunya.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu tiba-tiba menghela napas panjang, pikirnya, “Sungguh tak tersangka olehku seorang bocah yang tidak mnegerti ilmu silat seperti akupun dicari-cari dan dikejar-kejar oleh jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim.
Heeei”Suara gema dengan perlahan berhenti sudah, mendadak terlihatlah sesosok Toosu cilik berbaju hijau berlari masuk dengan langakh tergesa-gesa, sambil merangkap tangannya memberi hormat, lapornya, “Kang Lam Su Kongcu datang menyambangi Ciangbun suhu.
“Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah hebat, tetapi hanya di dalam sekejap saja sudah berubah kembali tenang seperti sedia kala.
“Persilahkan tetamu untuk minum teh dipendopo. Sebentar lagi aku datang bertemu!”perintahnya sambil mengulap tangan.
Toosu cilik itu menyahut dan mengundurkan diri dari sana.
Dengan wajah yang amat serius Bu Wie Tootiang segera menoleh ke arah Siauw Ling.
“Bocah!”ujarnya halus. “Selama hidup pinto tidak pernah ikut campur di dalam urusan orang lain oleh karena itu dihadapan para enghiong hoohan kau harus menjawab dengan sejujurnya, kalau kau rela berada dikuil Sam Yuan Koan tanpa paksaan urusan lainnya biar pinto sendiri yang mengambil tindakan.
““Aku akan ingat-ingat terus!”sahut Siauw Ling mengangguk.
“Baiklah! Mari kita berangkat,”ujar Bu Wie Tootiang kemudian sambil bangkit berdiri.
“Kau boleh ikut sekalian untuk menambah pengetahuanmu tentang Su Kongcu yang namanya sudah menggetarkan seluruh Bulim itu.
“Setelah pergaulannya selama beberapa hari dengan Gak Siauw-cha mengalami kejadian yang mengerikan, nyalinya pada saat ini bertambah besar. Sambil busungkan dada dia lantas berjalan ke depan dengan langkah lebar.
Bu Wie Tootiang yang melihat sikapnya yang amat gagah itu tidak terasa sudah menganggukkan kepalanya.
“Bocah bagus”katanya “Kang Lam Su Kongcu masing-masing memiliki kepandaian silat yang tinggi walaupun pinto sendiri belum pernah menemui mereka berempat tetapi menurut berita yang tersiar kepandaian silat dari mereka berempat sudah mencapai pada taraf melukai orang dengan bunga, kau orang sama sekali tak berilmu demi keselamatanmu sendiri maka sewaktu bertemu keempat orang itu janganlah meninggalkan tubuh pinto sejauh tiga depa, sehingga bilamana waktu kepepet pinto dapat turun tangan menolong.
““Aku tak takut mampus, namun aku dapat mendengarkan perkataan Tootiang.
““Bocah! Nyalimu sungguh amat besar.
“Sambil menggandeng tangan Siauw Ling mereka lantas keluar meninggalkan ruangan tersebut.
Siauw ling dengan kencangnya mengikuti terus dari belakang tubuh Bu Wie Tootiang sewaktu dia berjalan melewati jalan kecil yang berasalkan batu putih terasa olehnya pemandangan disekitar tempat itu sudah amat berbeda.
Para Toosu yang hilir mudik melalui jalanan kecil itu kini sudah tidak tampak lagi, tetapi disetiap jalanan maupun tempat-tempat yang strategis pasti ada seorang Toosu yang menyoren pedang dan memegang hut tim melakukan penjagaan.
Tojin-tojin itu menaruh rasa hormat yang berlebihan terhadap diri Bu Wie Tootiang.
Beberapa kaki, sebelum ciangbunjinnya tiba mereka sudah tiba merangkap tangannya memberi hormat dan tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Setelah melewati dua buah ruangan, pemandangan kembali berubah. Terlihatlah di tengah kebun bunga yang amat luas berdirilah sebuah loteng yang berwarna merah. Di atas sebuah pilar terpancanglah sebuah papan nama yang bertuliskan “Pendopo tenang.
“Empat penjuru penuh ditumbuhi pohon Siong, air mengalir dengan amat tenangnya waktu itulah Siauw Ling baru bisa melihat kalau di sekeliling pendopo tersebut dikelilingi dengan sebuah sungai yang airnya amat tenang dengan di sampingnya tumbuh pohon Liauw yang ramping semampai. Sebuah jembatan berwarna merah menghubungkan tempat tersebut dengan pendopo itu.
Dua orang Toosu cilik berbaju hijau dengan masing-masing berdiri dikedua belah sisi jembatan melakukan penjagaan.
Sewaktu dilihatnya Bu Wie Tootiang telah tiba disana mereka pada merangkap tangannya menjura dan menyambut kedatangannya.
Tidak menanti Bu Wie Tootiang mengajukan pertanyaan Toosu cilik yang ada disebelah kiri sudah berkata terlebih dahulu.
“Tetamu sudah tiba, saat ini lagi menanti dalam ruangan pendopo dengan dikawani oleh Im Yang susiok.
““Bocah, ingat!”ujar Bu Wie Tootiang lagi kepada Siauw Ling sambil menaiki jembatan tersebut.
“Janganlah sekali-kali kau meninggalkan diriku sejauh tiga depa.
““Baik!”Selesai melewati jembatan yang panjang tiga kaki itu mereka berdua masuk ke dalam ruangan pendopo.
Terlihatlah suasana di dalam ruangan pendopo tersebut amat bersih dan diatur sangat indah. Waktu itu Im Yang Cu lagi mengawani empat orang pemuda perlente untuk bercakap-cakap.
Melihat munculnya Bu Wie Tootiang disana Im Yang Cu terburu-buru bangun berdiri dan memberi hormat kepada ciangbunjiennya. “Mengunjuk hormat buat suheng”serunya.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas pada bangun berdiri memberi hormat, tetapi empat pasang mata dengan tanpa terasa sudah dialihkan ke atas tubuh Siauw Ling.
Bu Wie Tootiangpun dengan cepat merangkap tangannya membalas hormat.
“Maaf pinto dapat menyambut sendiri atas kedatangan dari kalian berempat, silahkan duduk, silakan duduk,”ujarnya sambil tertawa.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas tertawa.
“Kami sekalian sudah lama mengagumi nama besar dari Tootiang. Kunjungan kita kali ini harap Tootiang suka menerima dengan hati terbuka.
““Pinto sudah lama tidak berkelana di dalam Bulim, terhadap banyak jago-jago anehpun jarang bertemu ini hari bisa bertemu dengan saudara berempat hal ini benar-benar merupakan satu peristiwa yang amat menyenangkan sekali.
“Sehabis berkata dia lantas duduk disisi Im Yang Cu.
“Tootiang!”terdengar sipemuda perlente yang duduk dipaling ujung sebelah kiri tertawa.
“Kau adalah seorang pendeta beribadat tidak seperti kami manusia-manusia kasar yang setiap hari cuma bergaul di dunia kangouw saja.
““Aaah, mana… mana!”seru Bu Wie Tootiang tersenyum.
Dia mendehem beberapa kali, kemudian sambungnya lagi, “Walaupun pinto amat jarang berkelana di dalam dunia kangouw tapi terhadap nama besar dari Kang Lam Su Kongcu sudah lama mendengarnya cuma aku belum tahu nama-nama dari…”Sinar matanya segera dialihkan ke arah Im Yang Cu.
“Sute! Cepat kau perkenalkan kepadaku.
““Tidak usah!”potong orang yang di ujung kiri.
“Biarlah kami perkenalkan diri sendiri saja! Cayhe adalah It Cang Hong atau segulung angin Thio Ping!”“Cayhe adalah Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam”sambung yang lain.
Pemuda perlente yang ketiga lantas tersenyum, sambungnya pula, “Cayhe adalah Lak Gwat Soat atau enam bulan salju Lie Poo!”“Dan cayhe adalah Han Kiang Gwat atau rembulan di tengah telaga Cau Kuang”seru pemuda perlente yang keempat dingin.
“Selamat bertemu… selamat bertemu!”seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Dengan perlahan sirembulan di tengah telaga angkat kepalanya memandang ke atas atap rumah lalu dengan suara yang amat dingin ujarnya, “Kedatangan kita empat bersaudara ini hari adalah bertujuan ingin menanyakan satu urusan kepada diri Tootiang!”“Silahkan bicara, pinto akan mendengarkan.
““Keadilan dan keramahan dari Tootiang sudah pujian dari semua orang,”ujar sisegulung angin Thio Ping sambil tertawa. “Sudah tentu terhadap nama besar kami berempat pernah mendengar bukan?”“Tentu… tentu…”“Di dalam dunia kangouw banyak menyiarkan kalau kami bersaudara melakukan pekerjaan paling kejam dan telengas.
“sambung sienam salju Lie Poo tanpa menunggu jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi. “Tetapi menurut pandangan kami bersaudara, kesemuanya ini hanyalah berita jempolan saja.
“Wajah Bu Wie Tootiang masih kelihatan amat ramah, dia tersenyum.
“Nama besar dari saudara-saudara sekalian sudah menggetarkan seluruh dunia kangouw, siapa yang tidak tahu.
“Sisegulung angin Thio Ping tertawa nyaring memutuskan pembicaraan dari Bu Wie Tootiang sambungnya, “Berita yang tersiar di dalam dunia kangouw tak dapat dipercaya, ini hari kita bersaudara sengaja berkunjung kemari dikarenakan telah lama mengagumi nama besar dari Tootiang sehingga kami sengaja datang hendak menyambungi kami dengar sewaktu Im Yang Too heng berkelana kedaerah selatan pulangnya telah membawa seorang jaminan manusia, entah benarkah urusan ini?”Perkataan yang diucapkan oleh orang ini amat tajam dab keras membuat Im Yang yang mendengar tak kuasa lagi sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat, wajahnya berkerut sedang bibirnya sedikit bergerak hendak mengatakan sesuatu.
Tetapi perbuatannya ini berhasil dicegah oleh kedipan mata dari Bu Wie Tootiang.
Sinar mata dari Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam dengan amat tajamnya menyapu sekejap diri Siauw Ling.
“Tootiang adalah seorang ciangbunjien dari satu partai besar, apa yang diucapkan olehmu sudah tentu kami berdua akan mempercayainya.
“Beberapa perkataan ini jelas bernadakan menyindir, dia tidak memberi kesempatan buat Bu Wie Tootiang untuk menyingkir dari jawaban tersebut.
“Perkataan dari saudara-saudara sekalian terlalu berat”jawab Bu Wie Tootiang sambil tertawa tawar. “Sute dari pinto memang pernah membawa datang seorang bocah yang berpenyakitan tetapi bukannya barang tanggungan!”“Lalu tahukah Tootiang apakah orang itu?”tanya sirembulan di tengah telaga Cau Kuang dengan dingin.
“Pinto siap mendengarkan penjelasan dari saudara.
““Hahahahaha… kami empat saudara selamanya mondar mandir tak pernah jual lagak.
Tahukah Tootiang akan Gak Im Kauw?”tanya sienam bulan salju sambil tertawa.
“Ilmu pedang keluarga Gak sudah terkenal diseluruh kolong langit, walaupun pinto tidak pernah menemui diri Gak Im Kauw tetapi sudah lama mendengar nama besarnya.
““Lhaaa… dialah putra dari Gak Im Kauw itu.
“————-http://ecersildejavu.
wordpress.
com/———————- “Siapa yang bilang? Aku bernama Siauw Ling!”teriak sang bocah busungkan dadanya.
Empat pasang mata dari Kang Lam Su kongcu bersama-sama segera dialihkan ke atas tubuh Siauw Ling.
“Kau bernama Siauw Ling?’ tanyanya.
“Sedikitpun tidak salah!”Lalu Gak Siauw-cha itu apamu?”desak simanusia racun.
“Dia adalah enciku.
““Hmmm! kau she Siauw sedang dia she Gak bagaimana bisa jadi dia adalah encimu?”Siauw Ling yang usianya masih amat muda dan belum mengerti banyak urusan kini didesak oleh perkataan tersebut seketika itu juga dibuat kelabakan untuk sesaat lamanya dia berdiri termangu-mangu disana.
Terdengar sisegulung angin Thio Ping tertawa kembali.
“Tidak perduli kau she Siauw atau bernama Gak Ling, pokoknya yang jelas kau orang mempunyai sangkut paut serta hubungan yang amaterat dengan Gak Im Kauw, bukankah begitu?”Angin, bunga, salju, serta rembulan emapt orang kongcu yang sudah lama bergaul satu sama lainnya saat ini hati masing-masing sudah saling tembus, tak perduli di dalam ilmu silat, perkataan atau gerakan mereka mempunyai kerja yang amat bagus sekali. Satu dingin, satu panas yang lain maju dan yang lainnya mundur sehingga membentuk satu kerja sama yang sukar untuk ditembusi.
“Hahahaha… terdengar simanusia lima racun tertawa terbahak-bahak kembali. “Dari pihak orang-orang sembilan partai besar selalu saja menganggap kami empat orang bersaudara melupakan orang-orang dari kalangan Hek to sebaliknya dari kawan-kawan Hek to menganggap kami sebagai orang-orang dari golongan Pek to, ada kemungkinan dikarenakan pada kebiasaannya kami berempat kurang bergaul sehingga dimusuhi oleh kedua belah pihak… waaah… karena itu kami terpaksa harus memperbaiki kedua belah pihak.
“Beberapa perkataan ini kedengarannya amat biasa bahkan secara samar-samar memperdengarkan kesusahan mereka. Padahal yang sesungguhnya secara diam-diam dia lagi memberi peringatan kepada Bu Wie Tootiang kalau mereka bersaudara bisa lurus bisa hitam, bisa kawan bisa musuh selamanya melakukan pekerjaan tanpa memandang bulu sehingga baik itu dari kalangan Hek to maupun dari kalangan Pek to asalkan berbuat salah kepada mereka maka urusan selanjutnya bakal panjang.
Bu Wie Tootiang yang sudah memiliki latihan mental yang amat kuat walaupun mendengar perkataan itu tidak lebih dia cuma tersenyum saja, sebaliknya Im Yang Cu tidak kuasa untuk menahan hawa amarahnya lagi, dia segera tertawa dingin.
“Perkataan dari Ong heng terlalu panjang dan ruwet membuat orang sukar untuk mengerti, lebih baik kalau bocara sedikit lebih jelas lagi sehngga kami bisa mengerti maksudnya.
““Haaa, haaa, haa, maksud kami bersaudara tujuan kita kali ini berkunjung di atas gunung adalah dikarenakan persoalan bocah cilik ini saja, tanpa mempunyai sesuatu maksud hati yang lain,”jawab sienam bulan salju Lie Poo sambil tertawa terbahak-bahak.
Orang ini amat licik dan banyak akal, perkataannya jelas bernadakan tajam tetapi tidak ingin sampai melukai orang.
“Ada apa dengan bocah cilik ini?”tanya Im Yang Cu pura-pura berlagak pilon.
“Kalau tidak ada urusan kami empat bersaudara tidak akan menyambangi kuil Poo Thian, apalagi nama besar Bu-tong pun sudah amat terkenal di dalam Bulim, bilamana karena soal ini sehingga mengikat satu bibit bencana bukankah hal ini cuma mendatangkan kerepotan saja dikemudian hari?”seru sirembulan di tengah telaga Cau Kuang.
“Bilamana Too heng berdua sudi mengabulkan permintaan kami untuk membawa pergi Siauw Ling, bocah ini maka permusuhan bisa kita punahkan sampai disini saja bahkan diantara kita bakal mengikat suatu tali persahabatan yang erat.
“Baru saja Im Yang Cu hendak mengumbar hawa amarahnya kembali berhasil dicegah oleh Bu Wie Tootiang.
“Maksud baik dari kalian berempat disini pinto ucapkan terima kasih terlebih dahulu.
Cuma…”mendadak terdengar suara langkah manusia yang amat tergesa-gesa bergema datang dari pintu luar pendopo tersebut, kemudian tampak seorang memberi hormat dan angsurkan sebuah kartu merah yang besar.
Melihat kartu merah tersebut Bu Wie Tootiang segera mengerutkan alisnya dengan perlahan diua membuka dan mulai dibacanya.
“Choe Koen San dari daerah Chow Choe mohon bertemu.
“Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan Toosu cilik itu, ujarnya, “Menerima seorang tetamu terhormat lagi ada baiknya juga, cepat kau undang dia kemari, katakan saja pinto sedang menanti di dalam pendopo.
“Toosu cilik itu menyahut dan dengan tergesa-gesa berlalu dari sana.
Si Kang Lam Su Kongcu, walaupun tidak mengetahui siapakah yang sudah datang, tetapi mendengar ciangbunjien dari Bu Wie Tootiang ini mempersilahkan dia masuk hal ini membuktikan kalau kedudukan orang tersebut di dalam Bulim amat tinggi, tidak kuasa lagi mata mereka mulai melirik kekartu merah itu.
Siapa tahu sejak semula Bu Wie Tootiang sudah menduga kalau Hong, Hoa, Soat serta Gwat empat orang kongcu itu bisa melakukan perbuatan tersebut, karena sewaktu meletakkan kartu merah tersebut dia sengaja menaruh terbalik.
Di dalam hati segulung angin Thio Ping tahu keadaan pada saat ini kurang menguntungkan bagi mereka apalagi kini sudah kedatangan seorang lagi, hatinya jadi mulai merasa ragu-ragu.
“Bu Wie Tootiang di dalam kuil sudah kedatangan jago kepandaian tinggi dari mana lagi?”tanyanya.
“Kalian berempat boleh menunggu, sebentar lagi orang itupun muncul disini, buat apa kalian merasa cemas.
“sahut Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Sirembulan di tengah telaga Cau Kuang mendadak mengangkat tangannya menggapai kartu merah yang terletak di atas meja disisi Bu Wie Tootiang itu secara mendadak saja melayang ke tengah udara meluncur ketangannya.
“Kami bersaudara selamanya memiliki sifat yang cepat ingin tahu,”katanya. “Biarlah kami lihat dulu kartu merahnya baru melihat orangnya sehingga untuk menyapapun lebih leluasa,”katanya penuh kesombongan.
Bu Wie Tootiang dengan amat tenang dan seriusnya duduk tak bergerak di tempat semulaterhadap perbuatannya itu dia orang sama sekali tidak mengambil perduli.
Sebaliknya Im Yang Cu diam-diam merasa amat terkejut, pikirnya “Berita yang tersiar di dalam Bulim mengatakan bahwa kepandaian silat dari Hong, Hoa, Soat, serta Gwat empat orang Kongcu amat lihay sekali kelihatannya perkataan tersebut sedikitpun tidak salah cukup gapaiannya tadi untuk menghisap kartu nama jelas menunjukkan tenaga dalamnya sudah dilatih hingga mencapai pada taraf yang amat sempurna, agaknya suheng tidak suka mencegah jaga dikarenakan hal ini.
“Tiba-tiba manusia lima racun Ong Kiam mengulapkan tangan kanannya pula ke depan, kartu nama yang lagi melayang sampai di tengah perjalannya sudah kena direbut olehnya.
“Haaah, haaah, aku kira jagoan dari mana, tidak tahunya dia orang adalah Coe Koen San,”ujarnya tertawa setelah melirik sekejap ke atas kartu tersebut.
“Apakah sitangan besi peluru sakti Coe Loen San?”Sambung sienam bulan salju Lie Poo.
“Bukan dia lalu ada siapa lagi?”“Hm! Sinar kunang-kunang juga ingin berebut dengan sinar sang surya! Sungguh tak tahu diri!”ejek Cau Kuang dengan dingin.
“Haaah, haah, tapi permainan ketiga puluh enam jurus ilmu Liong Hauw Loen Hoa nya masih tidak jelek juga,”sambung sisegulung angin Thio Ping pula.
“Hm. Aku lihat cuma pelurunya saja yang mengerikan orang. Bilamana membicarakan soal senjata rahasia maka senjatanya adalah paling lihay.
“Bu Wie Tootiang yang mendengar mereka saling mengejek tidak mau ambil perduli, dia tetap tersenyum-senyum saja.
Sebaliknya Im Yang Cu sendiri walaupun merasa kurang puas terhadap sikap empat orang tersebut tapi berhubung ada dihadapan suhengnya dia terpaksa menahan sabar.
Beberapa saat kemudian tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau dengan memimpin seorang kakek tua berbadan tegap dengan jenggot putih terurai sepanjang dada dan menyoren sepasang senjata roda Jie Gwat Loen berjalan masuk ke dalam dengan langkah lebar, orang itu bukan lain adalah Coen Koen San adanya.
Di tangan kanan orang ini membawa dua buah peluru besi. Langkahnya tegap membuat sikap serta keadaannya amat gagah sekali.
“Coe Tayhiap, angin apa yang sudah meniup dirimu datang ke atas gunung yang sungyi ini? Silahkan duduk! Silahkan duduk!”“Haaah, haaah, terima kasih! Kunjungan dari cayhe yang mengganggu ketenangan Tooheng harap suka dimaafkan.
“Sinar matanya dengan cepat berputar dan memperhatikan diri Siauw Ling.
“Eei, kau benar-benar ada disini,”tegurnya.
“Empek Coe, apa kau baik-baik saja?”sapa Siauw Ling sambil tertawa.
“Aku baik, aku sangat baik.
““Hey tua bangka she Coe, bagus sekali. Kau sudah lupa dengan kami empat bersaudara?”teriak sehulung angin Thio Ping dengan suara keras.
Lima jari tangan Coe Koen San dengan cepatnya disentil sehingga membuat kedua butir peluru itu saling berputar dengan amat kerasnya dan menimbulkan suara berdentingan yang amat nyaring, sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke atas wajahnya Kang Lam Su Kongcu itu.
“Oow, kiranya Hang, Hoa, Soat, serta Gwat empat orang kongcu!”serunya kemudian.