JILID 33
“Mungkin saja untuk menghindari pengawasan serta perhatian orang lain….”
“Tadi aku saksikan diantara kelopak matanya terdapat bekas air mata, mungkin saja ia sedang berdoa sesuatu didepan malaikat suci.”
“Setelah budak itu munculkan diri ditempat ini, mungkin saja sinaga sakti berlengan delapan Toa Bok Ceng juga berada disini, mari kita cari orang she itu untuk diajak berbicara.”
“Pada masa yang lalu kami pernah menaruh salah sangka terhadap diri toako, kami anggap kau telah membaktikan diri terhadap perkampungan Pek Hoa San cung tapi sekarang hubungan toako dengan Shen Bok Hong telah diketahui oleh setiap umat manusia yang ada dikolong langit. Budak tersebut menaruh sifat kurang hormat terhadap diri toako, sudah tentu kita harus menegur diri Toan Bok Ceng yang kurang keras mendidik anak muridnya.”
“sudahlah, toh orang lain tiada hubungan apapun kenapa mereka harus menghormati kita?”
Tu Kioe masih mencoba membantah tapi Sang Pat segera mengedipkan matanya untuk mencegah ia berbicara lebih jauh.
Rupanya sitoojien penjaga kuil itu sudah terbiasa melihat orang sekeok ataupun berkelahi, ia sangat menjaga diri sendiri dan sedikitpun tidak melirik atau memperhatikan ketiga orang itu.
“Apakah malam ini kita akan tinggal diatas puncak In Wan Hong ini….?” tanya Sang Pat kemudian.
Sebelum Siauw Ling menjawab, mendadak terdengar suara jawaban yang dingin dan ketus berkumandang datang, “Lebih baik kalian tetap tinggal disini saja!”
Ucapan yang muncul secara tiba-tiba ini sangat mengejutkan hati semua orang, baik Siauw Ling maupun Tiong chiu Siang Ku segera berdiri tertegun dibuatnya.
“Siapa?” Tu Kioe segera menghardik.
“Aku!” seorang pemuda kurus pendek berbaju hijau perlahan-lahan munculkan diri didalam ruangan kuil.
Dengan tajam Sang Pat memperhatikan sekejap wajah orang itu, ia merasa walaupun wajahnya amat ganteng tapi kekurangan sifat kelaki-lakiannya, maka diapun segera menegur, “Kami bersaudara sedang bercakap-cakap toh tiada sangkut pautnya dengan dirimu, mengapa saudara ikut menimbrung?”
Pemuda berbaju hijau itu tidak memperdulikan teguran dari Sang Pat, dengan sorot mata yang jernih ditatapnya wajah Siauw Ling beberapa saat, kemudian serunya, “Apa sebabnya kau datang kepuncak In Wan Hong ini?”
Nadanya sangat akrab dan seolah-olah pembicaraan terhadap sahabat lama, bahkan terpancar jelas betapa besarnya perhatian orang itu terhadap diri Siauw Ling.
Jago kita segera memperhatikan beberapa kejap kearah sastrawan berbaju hijau itu, tetapi walau dipandang secara bagaimanapun ia tidak dapat mengingat-ingat siapakah gerangan dirinya, maka iapun lantas bertanya, “Siapakah kau?”
“Sungguhkah kau tidak kenal dengan diriku lagi?” air muka pemuda tersebut mendadak berubah jadi amat sedih.
“Tampaknya sih agak kenal, tapi aku tak ingat kita pernah saling berjumpa dimana.”
“Itulah sebabnya kau pelupa, kenapa aku mengenali dirimu?”
“Entah siapakah orang ini” pikir Siauw Ling dengan hati keheranan….”Kenapa ia paksa diriku untuk mengakui bahwa aku kenal dengan dirinya?” sebelum ingatan itu lenyap dari pandangannya, tampaklah pemuda berbaju hijau itu tiba-tiba melepaskan kain hijau pembungkus kepalanya sehingga terlihatlah rambutnya yang halus dan panjang.
“Aaaah, adalah kau nona Pek Li!” mendadak Siauw Ling berseru tertahan.
“Ooooh…. sungguh payah aku mencarimu” bisik gadis itu sambil mendekap wajahnya.
Sang Pat serta Tu Kioe yang menyaksikan kejadian itu diam-diam saling bertular pandangan kemudian berlalu dari ruangan kuil.
Toojien penjaga kuil yang berada disamping mereka, mendadak memukul gembrang dan bersenandung lirih, “Kalau ada jodoh ribuan li pun akhirnya berjumpa, kalau tak ada jodoh bertemu mukapun tak kenal, siapa yang tulus berdoa pasti akan terkabul keinginannya….”
Siauw Ling pun melangkah maju kedepan, kemudian tegurnya, “Nona, mengapa kau datang kemari?”
Kiranya orang yang baru saja datang bukan lain adalah Pak Hay Kongen Pek Li Peng adanya.
Perlahan-lahan Pek li Peng melepaskan tangannya yang menutupi wajah, lalu menjawab, “Aku telah melakukan penguntilan sejauh ribuan li dan akhirnya berhasil temukan dirimu disini!”
“Aku bisa sampai dipuncak In Wan Hong hanya disebabkan suatu ilham yang muncuk secara mendadak” pikir Siauw Ling didalam hati. “Darimana ia bisa menduga kalau aku bakal datang kemari!”
Karena berpikir demikian maka ia bertanya kembali, “Sejak kapan nona datang kemari?”
“Tengah hari tadi….” ia merandek sejenak kemudian sambungnya, “Dalam hati kecilku masih terdapat banyak urusan yang hendak kutanyakan kepadamu!”
“Tempat ini bukan tempat yang cocok bagi kita untuk berbicara, mari kita cari tempat pemondokan lebih dahulu….”
“Aku telah memesan sebuah kamar penginapan dipuncak In Wan Hong ini….!” sambung Pek li Peng cepat.
“Tapi aku masih ada dua orang saudara!”
“Tidak mengapa, didalam penginapan itu masih ada kamar kosong, mari aku membawa jalan untukmu.”
Sambil putar badan ia kenakan kembali kain pengikat kepalanya.
Tiba-tiba Siauw Ling merasakan bahwa siputri dari laut utara yang sudah terbiasa dimanja ini ternyata jauh lebih matang dari pada tempo dulu dan ia jauh lebih dewasa lagi, perpisahan selama beberapa bulan dirasakan bagaikan beberapa tahun saja.
Dalam pada itu Pek li Peng telah berjalan keluar dari dalam kuil dan menuju keluar.
Siauw Ling segera menguntil dari belakangnya, setelah sampai ditempat luaran dengan tajam matanya memperhatikan kesekeliling tempat itu, tetapi bayangan tubuh Tiong chiu Siang Ku sama sekali tidak nampak, hatinya jadi tercengang, pikirnya, “Kemana perginya kedua orang itu?”
Ingin sekali ia berteriak memanggil, tetapi setelah ucapannya meluncur keluar mendadak ia telan kembali.
Pek li Peng mempercepat larinya menuju kearah sebuah rumah gubuk disebelah selatan.
Terpaksa Siauw Ling harus mempercepat langkah kakinya mengikuti dibelakang gadis itu masuk kedalam kamar.
Rumah penginapan yang ada disana tujuannya hanya digunakan sebagai tempat untuk berteduh dari hujan bagi para pesiarah yang mengunjungi kuil tersebut, tentu saja tiada pelayanan yang bagus dan pantas, ketika Siauw Ling masuk didalam rumah penginapan tadi tiada seorangpun yang menyapa, dengan mengikuti dibelakang Pek li Peng akhirnya sampailah pemuda kita didalam kamar.
Ruangan telah diterangi oleh cahaya lilin, seorang gadis berbaju hitam yang berwajah serius dan keren telah berada didalam ruangan itu lebih dulu.
Siauw Ling jadi keheranan, pikirnya, “Bagus sekali, kenapa mereka berdua bisa berada jadi satu?”
Sementara Pek li Peng telah berpaling memandang sekejap kearah Siauw Ling kemudian ujarnya, “Kalian tentu sudah pernah saling bertemu bukan?”
“Ketemu sih pernah beberapa kali” pikir Siauw Ling didalam hati. “Cuma berbicara belum pernah satu kalipun.”
Iapun menjura dan berkata, “Kenapa Toan Bok Loocianpwee tidak ikut serta?”
“Suhuku?” sahut dara berbaju hitam itu sambil tundukkan kepalanya rendah-rendah. “Berkat pertolongan dari nona Pek li, beliau berhasil loloskan diri dari bokongan orang.”
“Oooh kiranya karena peristiwa tersebut mereka jadi saling kenal” kembali pemuda kita membatin.
“Bagaimanakah keadaan luka Toan Bok Loocianpwee?”
“Terima kasih atas perhatian dari Siauw thayhiap, setelah menelan obat mujarab pemberian nona Pek li, sekarang ia sudah tidak menguatirkan lagi keadaannya.”
Dua kali ia bercakap-cakap dengan Siauw Ling, namun tak pernah kepalanya mendongak untuk memandang kearah si anak muda itu.
Mendadak Pek li Peng menimbrung dari samping, “Walaupun keadaan luka yang diderita Toan Bok Loocianpwee sudah tidak menguatirkan tapi ia masih membutuhkan banyak istirahat, karena itulah ketika ia lihat aku melakukan perjalanan seorang diri maka diutuslah nona Toan Bok untuk menemani diriku.”
“Aneh…. ia sebut Toan Bok Ceng sebagai gurunya, kenapa ia sendiripun she Toan Bok?” pikir Siauw Ling, meski dalam hati menaruh curiga tapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Sementara itu Pek li Peng selesai mengucapkan kata-kata itu, matanya menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam untuk menantikan jawabannya, siapa tahu si anak muda itu hanya repot dengan jalan pikirannya sendiri lupa untuk menjawab.
Melihat pemuda itu tak mau menjawab, Pek li Peng segera mendegus dingin tegurnya, “Hei, kenapa kau tidak menjawab?”
Seolah-olah ia baru mendusin dari impian Siauw Ling berseru tertahan dan berkata, “Aaaa, nona sedang mengajak aku berbicara?”
“Dalam ruangan ini hanya kita bertiga sedang aku tidak mengajak nona Toan Bok berbicara, kalau bukan ajak kau berbicara lalu aku ngomong dengan siapa?’
“Apa yang ingin nona bicarakan?”
“Semestinya kau bertanya kepadaku, bagaimanakah kehidupanku selama beberapa waktu terakhir?”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Aaaai….! karena harus menolong cayhe nona telah menyalahi peraturan perguruan. Tapi kaupun harus tahu bahwa ayahmu merasa amat sedih karena kepergian nona ini. Sekarang ia sedang berusaha keras untuk mencari jejak nona….”
Pek li Peng memandang sekejap kearah gadis berbaju hitam itu, bukannya menjawab ia perlahan-lahan duduk diatas kursi.
Gadis berbaju hitam itu bukan seorang manusia yang bodoh, menyaksikan keadaan tersebut ia segera berkata lirih, “Kalian berdua berbicaralah, aku akan siapkan sedikit makanan dan minuman bagi kalian berdua….”
“Aaah, cukup suruh pelayan saja siapkan, masa kita musti merepotkan nona!”
Gadis berbaju hitam ini tidak menjawab, begitu selesai berkata ia lantas keluar dari ruangan, sebelum Siauw Ling selesai berbicara bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Dengan begitu dalam ruanganpun tinggal Pek li Peng serta Siauw Ling berdua saja.
Dengan pandangan mata yang jeli, Pek li Peng menatap wajah Siauw Ling tajam-tajam. rupanya ia ingin menemukan sesuatu dari balik wajah si anak muda itu.
Siauw Ling yang dipandang secara demikian jadi gelisah dan tidak tenang, dan ingin menegur tetapi secara mendadak tampaklah Pek li Peng menutup wajahnya dan jatuhkan diri keatas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Menyaksikan kejadian itu pemuda she Siauw jadi tertegun, buru-buru ia dekati gadis itu sambil berkata, “Nona melakukan perjalanan didalam dunia persilatan demi diriku, cayhe bukannya tidak tahu….”
Pek li Peng mendadak tertawa.
“Sejak kecil aku dibesarkan didalam istana es dengan pelayan yang tak terhingga banyaknya, kini setelah aku berkelana seorang diri didalam dunia persilatan, luntang lantung sebatang kara…. masa satu orang yang mengurusi dirikupun tak ada….”
Sejak kecil ia sudah terbiasa dimanjakan, tapi karena ingin menemukan Siauw Ling dengan susah payah dan tak mengenal lelah ditempuhnya perjalanan dengan seorang diri berkelana didunia kangouw, siapa tahu setelah bersusah payah dan berhasil menemukan kembali idaman hatinya sikap serta pengertian yang diberikan kepadanya tidak seimbang dengan pengorbanan yang telah diberikan, hal ini tentu saja menyedihkan hatinya.
“Nona, akupun tahu sampai dimanakah penderitaan yang dialami dirimu, tetapi cayhe….”
Mendadak Pek li Peng bangun duduk, sambil menyeka air matanya selanya, “Mau apa kau datang kemari?”
Siauw Ling ingin menjawab, tapi belum sempat ia berkata Pek li Peng sudah keburu berkata, “Bukan kau naik kepuncak In Wan Hong untuk mencari diriku?”
“Dimana aku bisa tahu kalau kau berada disini?” batin si anak muda itu didalam hati, tetapi ketika menyaksikan wajahnya penuh mengharapkan jawaban yang enak didengar maka dengan keraskan hati iapun menyahut, “Sedikitpun tidak salah, aku memang datang kemari untuk mencari diri nona!”
Pek li Peng kontan tertawa gembira setelah mendengar jawaban itu.
“Kalau begitu kau psti amat rindu kepadaku bukan….”
Ia merandek sejenak, dan sambungnya kembali, “Meskipun banyak penderitaan yang telah kurasakan, tetapi ada senangnya juga melakukan perjalanan seorang diri didalam dunia kangouw.”
“Ia gembira karena salah mengira aku datang kemari karena hendak mencari dirinya” pikir pemuda itu dalam hati. “Agaknya aku boleh mengatakan duduk perkara yang sebenarnya.”
Karena itu iapun balik bertanya, “Dan nona sendiri mau apa datang kemari?”
“Dari mulut orang lain aku mendengar bahwa diatas puncak In Wan Hong terdapat kuil In Wan Bio yang khusus ditujukan bagi orang yang minta jodoh, karena itu sengaja aku datang kemari untuk memanjatkan doa, eeei…. sungguh tak nyana aku benar-benar berhasil temukan dirimu disini….”
Rupanya ia merasa jawabannya terlalu membuka rahasia hatinya, seluruh wajahnya kontan berubah jadi merah padam dan kepalanya tertunduk rendah-rendah.
Siauw Ling terkesiap mendengar ucapan itu, pikirnya, “Mati aku! sungguh tak terkira olehku bahwa kata-kata menghiburku bisa membuat ia tersenyum gembira, ucapan yang bernada dingin dapat membuat ia menangis tersedu-sedu, kalau begitu rasa cintanya terhadap aku sudah tertanam dalam sekali, apa yang harus aku lakukan….”
Ia merasa hatinya jadi murung dan kesal, dengan alis berkerut ia segera membungkam dalam seribu bahasa.
Perlahan-lahan Pek li Peng turun dari atas pembaringan, setelah menuang secawan air teh ia angsurkan cawan itu kehadapan Siauw Ling sambil ujarnya lembut, “Sebelum berjumpa dengan dirimu, sering kali aku berharap agar aku bisa menunjukkan sikap yang hangat dan mesra setelah berjumpa dengan dirimu, agar kau merasa gembira dan senang bisa berkumpul dengan diriku. Aaai siapa tahu setelah berjumpa dengan dirimu aku malah ngambek sampai air tehpun lupa dihidangkan.”
Seraya berkata ia angsurkan cawan teh tadi ketangan Siauw Ling.
Beberapa patah perkataannya barusan bukan saja menunjukkan kepolosan serta sifat kekanak-kanakkannya, bahkan memperlihatkan pula keterbukaan serta sikap jujurnya yang tidak dibuat-buat.
Siauw Ling segera merasakan dadanya seperti terhantam martil yang sangat berat, hatinya tergetar keras, pikirnya, “Ucapan gadis ini begitu jujur dan terbuka sedikitpun tidak menyembunyikan perasaan hatinya, entah bagaimanakah sikapku dikemudian hari terhadap dirinya….”
Terdengar Pek li Peng berkata lagi dengan suara lembut, “Untuk datang kemari kau telah melakukan perjalanan naik turun bukit, aku rasa kau tentu haus sekali bukan?”
Siauw Ling meneguk air teh itu setengah, lalu panggilnya sambil tertawa, “Nona….”
“Apa? kau panggil aku nona? baik, akupun akan mengenal dirimu sebagai Siauw siangkong.”
“Benar, sudah sepantasnya kalau kita saling menyebut dengan panggilan begitu.”
“Tidak, aku tidak setuju!”
“Kenapa?”
“Kalau kita saling mengenal dengan sebutan begitu, bukankah hubungan kita terasa makin jauh?”
“Lalu musti memanggil nona dengan sebutan apa?”
Pek li Peng termenung dan pikirnya sebentar, kemudian sahutnya, “Sewaktu aku masih berada dilaut utara, ayah baginda serta ibu permaisuri selain sahut aku sebagai Peng jie, bagaimana kalau kaupun mengenal aku dengan sebutan tersebut?”
Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang, pikirnya, “Aku harus berusaha untuk menasehati dirinya agar mau pulang kerumahnya….”
Setelah mengambil keputusan demikian, iapun lantas memanggil, “Peng jie!”
“Ooh…. sungguh indah dan menarik sebutanmu itu” teriak Pek li Peng kegirangan. “Aaai…. ucapan ibu permaisuri sedikitpun tidak salah, dahulu aku selalu tak mau mendengarkan perkataannya, sekarang kalau diingat kembali, aku benar-benar merasa bahwa setiap patah katanya memang tepat dan sangat bermanfaat.”
“Apa yang pernah diucapkan ibumu?”
“Ibu bilang lunak bisa tundukkan keras, seorang gadis harus memiliki kehalusan budi serta kelembutan sikap, hanya sikap yang lemah lembut dapat menggembirakan hati sang kekasih.”
“Ehmm…. pastilah dia sangat nakal sewaktu berada didalam istana es, sehingga ibunya yang kewalahan harus mengucapkan kata-kata seperti itu agar ia mau lebih pendiam, sungguh tak nyana ia malah menganggapnya sungguhan….”
Berpikir sampai disini diapun terbayang kembali akan tujuannya untuk memasuki istana terlarang. Ia tahu tugasnya kali ini bakal menemui banyak kesulitan serta mara bahaya, dari pada kedua orang gadis itu dibawa serta maka pemuda inipun mengambil keputusan untuk berusaha memaksa ia kembali kesisi Pak Thian Coen cu….
Sementara ia masih berpikir, mendadak terdengar Pek li Peng berkata, “Ehmmm! kau panggil aku Peng jie, lalu sebutan apa yang harus kupergunakan untuk memanggil dirimu?”
“Sesuka hatimulah!”
Pek li Peng tertawa manis.
“Kau lebih tua dua tahun dari diriku, aku panggil kau dengan sebutan toako saja!” katanya.
“Baiklah! panggil saja aku toako.”
“Baik! kalau begitu mulai detik ini aku akan panggil dirimu toako!” berbicara sampai disini mendadak gadis itu mulai menggerakkan tangan dan badannya, dibawah cahaya lampu lilin iapun mulai menari.
Siauw Ling yang menyaksikan kegembiraan yang diperlihatkan gadis itu sudah kelewat batas sehingga lupa keadaan, kontan ia berdiri tertegun dibuatnya.
Setelah menari beberapa saat lamanya mendadak Pek li Peng menghentikan gerakannya dan berkata, “Toako, mendadak aku teringat satu persoalan.”
“Persoalan apa?”
“Mari kita pergi kekuil In Wan Bio untuk memberikan kaul!”
“Kaul apa?”
“Ketika bersembahyang didalam kuil In Wan Bio tadi dalam hati aku telah berjanji, bilamana toako berhasil kujumpai maka aku harus pergi kekuil lagi untuk membayar kaul.”
“Yang mau kaul teh kamu, kenapa musti pergi bersama aku?” pikir si anak muda itu didalam hati.
Kendati punya pikiran begitu, namun ia tak tega untuk mengutarakan keluar.
Dengan tangannya yang putih halus dan lembut itu Pek li Peng menggenggam tangan kanan Siauw Ling, kemudian ajaknya, “Toako, temanilah aku! malaikat didalam kuil In Wan Bio benar-benar manjur sekali!”
Siauw Ling tidak tega untuk menampik ajukan itu, terpaksa ia bangkit berdiri.
“Sekarang juga kita kesitu?” tanyanya.
“Lebih cepat membayar kaulku rasanya lebih baik, toako temanilah diriku pergi kesitu!”
“Baik!” dengan perasaan apa boleh buat Siauw Ling segera melangkah keluar dari dalam ruangan.
Dengan wajah berseri-seri dan penuh kegembiraan Pek li Peng menguntil dibelakang si anak muda itu dan berjalan menuju keluar.
Tatkala kedua orang itu tiba didepan pintu kecil, kebetulan sang toojien penjaga kuil hendak melangkah keluar, tapi begitu melihat sepasang muda mudi itu berjalan mendatang maka perlahan-lahan ia mengundurkan diri kembali ketempat semula.
Pek li Peng langsung menuju kedepan meja sembahyangan, sambil berlutut mulutnya berkemak-kemik tiada hentinya. Entah apa saja yang telah dia utarakan ketika itu.
Sebaliknya Siauw Ling dengan sikap termangu-mangu berdiri disisinya dan memandang sepasang arca pria desa dan gadis desa itu tanpa berkedip.
Selesai berdoa Pek li Peng berpaling kearah pemuda kita, sewaktu dilihatnya Siauw Ling tetap berdiri tak berkutik ia segera menarik tangannya sambil berkata, “Aah toako! kenapa kau tidak jatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada malaikat jodoh?”
Sebenarnya si anak muda itu tidak ingin berlutut, tapi setelah menyaksikan air muka Pek li Peng yang diliputi penuh pengharapan, ia tak tega dan terpaksa jatuhkan diri berlutut didepan meja sembayangan.
Dengan wajah riang gembira Pek li Peng kembali memberi hormat kepada patung arca tersebut, setelah itu baru bangkit berdiri dan berkata, “Sekarang mari kita kembali kerumah penginapan!”
Selama ini Siauw Ling hanya memikirkan bagaimana caranya menasehati gadis ini agar mau pulang kerumahnya, terhadap kejadian didepan mata sedikitpun tidak ambil perhatian.
Setelah Pek li Peng menarik tangannya, Siauw Ling baru tersadar kembali dari lamunannya, ia segera bangkit berdiri.
“Baik, mari kita pulang!”
Sikap si anak muda ini seketika melenyapkan rasa girang dan wajah berseri-seri dari Pek li Peng, perlahan-lahan ia membisik, “Toako, rupanya kau mempunyai persoalan hati yang amat berat?”
“Tidak?” Siauw Ling segera menggeleng.
“Aaaai….! toako kau tak usah membohongi aku, aku bisa mengetahuinya dari sikapmu alismu selain berkerut dan wajahmu murung sekali, kalau kau tiada persoalan hati yang memberatkan dirimu, pastilah mereka tidak senang karena berjumpa dengan aku….”
Sambil membereskan rambutnya yang awut-awutan, ia menghela napas panjang sambungnya, “Toako, tahukah kau apa yang kudoakan ketika berlutut didepan patung malaikat tadi?”
“Entahlah!”
“Aku telah berdoa kepada malaikat agar kita bisa berbahagia selalu, akupun telah bersumpah bahwa sejak hari ini aku akan selalu mendampingi diri toako, sedikitpun tak akan berpisah.”
Siauw Ling jadi amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, buru-buru serunya, “Ayahmu telah mengerahkan segenap jago lihay istana esnya untuk mencari jejakmu, andaikata kau selain berada disampingku, bukankah hal ini justru akan menggelisahkan ayahmu?”
Walaupun Pek li Peng masih muda dan sifat kekanak-kanakkannya belum hilang, tetapi dia adalah seorang gadis yang amat cerdik, setelah termenung berpikir sebentar segera ujarnya, “Apakah kau takut aku jadi sengsara dan menderita karena mengikuti dirimu?”
“Pak Thian Coen cu memiliki ilmu silat yang lihay jago kelas satu anak buahnyapun tiada terhingga banyaknya” pikir Siauw Ling didalam hati kecilnya. “Sekarang ia telah mendendam terhadap diriku, seandainya suatu ketika ia berhasil mengetahui bahwa kau berada bersama-sama diriku, bukankah saat itu aku bakal dituduh dan walaupun terjun kesungai Huang hoo pun aku tak bisa menghilangkan tuduhan tersebut?”
Yang ia selalu pikirkan hanyalah keselamatan dari Gak Siauw Cha serta perjalanannya memasuki istana terlarang, karena itu terhadap cinta kasih Pek li Peng yang begitu mesra dan hangatnya sama sekali tidak dirasakan.
Dalam pada itu ketika Pek li Peng menyaksikan Siauw Ling termenung terus tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia segera tertawa dan berseru, “Aaaah, sekarang aku sudah mengerti!”
“Kau mengerti apa?”
“Bukankah kau takut menimbulkan kecurigaan ayahku bila kau melakukan perjalanan bersama-sama diriku?”
“Aaaai….! walaupun hal itu merupakan salah satu alasan, tetapi yang terpenting adalah rasa rindu dan cemas dari ayah serta ibumu setelah menyaksikan kau belum juga kembali kerumah setelah pergi lama sekali, aku rasa nona pasti tak ingin disebut seorang anak yang tidak berbakti bukan?”
“Tidak usah kuatir, aku bisa menulis sepucuk surat dan mengutus orang pergi ke Pek Hay untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa aku sedang berpesiar didaratan Tionggoan dia pasti tak akan merindukan diriku lagi!”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Letak istana es di Pek Hay jauh mencapai beberapa laksa li, lagipula sepanjang tahun selalu beku dan diliputi oleh salju abadi, apakah orang biasa sanggup untuk menemukan letaknya?”
“Toako!” tiba-tiba Pek li Peng berseru dengan alis berkerut. “Agaknya kau sangat membenci diriku sehingga dengan pelbagai akal dan cara kau hendak mengusir diriku, bukankah begitu?”
Siauw Ling gelengkan kepalanya dan kembali menghela napas panjang.
“Kecuali ayah ibumu sangat merindukan dirimu, kedatanganku kegunung Boe Gie San inipun masih ada maksud tujuan lain, dan aku merasa tidak leluasa untuk membawa serta dirimu.”
“Apakah tujuanmu itu? bolehkah diberi tahukan kepadaku?”
Siauw Ling tidak tega menyaksikan air muka gadis itu diliputi kesedihan bahkan air matanya telah bercucuran, ia melirik sekejap kearah toojien itu lalu bisiknya lirih, “Peng jie mari kita keluar dulu dari sini.” sambil bicara ia melangkah keluar terlebih dahulu.
Pek li Peng segera membuntuti dari belakangnya, dalam sekejap mata mereka sudah tinggalkan kuil tersebut.
Setelah memandang sekelilingnya sekejap. Pek li Peng segera berseru, “Toako disekeliling tempat ini tiada orang lain, kau boleh mengutarakannya keluar!”
“Peng jie, apakah kau pernah mendengar kisah mengenai istana terlarang….”
“Agaknya ayahku pernah membicarakannya.”
“Nah, itulah dia, aku tak bisa membawa serta dirimu karena aku hendak memasuki istana terlarang.”
“Apakah anak gadis dilarang memasuki istana terlarang?”
“Itu sih tiada larangan macam begini!” jawab Siauw Ling sejujurnya karena ia tak terbiasa membohong.
“Kalau memang tiada larangan, apa salahnya kalau aku ikut serta didalam perjalanan ini?”
“Setiap jago Bulim yang ada didaratan Tionggoan sama-sama berharap bisa memecahkan rahasia yang menyeimbangi istana terlarang apabila mereka sampai mendengar berita ini niscaya orang-orang itu akan berbondong-bondong datang kemari, sebelum memasuki istana terlarang kita sudah akan terancam oleh pelbagai ancaman yang membahayakan jiwa, apalagi didalam istana terlarangpun penuh dengan alat rahasia yang hebat dan dahsyat, selangkah saja kita salah mengambil jalan kemungkinan besar akan terancam. Kepergian Siauw heng kami ini adalah menempuh mara bahaya, mati hidup masih belum bisa diramalkan, mana boleh kubawa serta dirimu?”
“Kalau memang demikian adanya, maka aku semakin bersikeras tak akan tinggalkan dirimu seorang diri!” seru Peng li Peng dengan tegas.
“Kenapa?”
“Kalau memang istana terlarang diliputi banyak bahaya yang setiap saat bisa mengancam keselamatan jiwamu, mana aku boleh biarkan dirimu pergi menempuh bahaya seorang diri, aku akan….”
“Tidak boleh….”
“Kenapa?” seru Peng li Peng dengan wajah serius. “Kalau kau memang sudi kuanggap sebagai toako ku maka sudah sepantasnya kalau membiarkan aku ikut menderita dikala kau sedang sengsara dan gembira tatkala kau sedang riang gembira.”
“Peng jie persoalan ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan dirimu, kenapa kau harus turut serta menerjunkan diri kedalam air keruh?”
“Tetapi toh antara toako dengan aku ada hubungan yang sangat erat?”
Siauw Ling jadi terkesiap setelah mendengar perkataan itu, ia segera menghentikan langkah kakinya.
“Peng jie….”
“Toako, biarkanlah aku meneruskan kata-kataku!” tukas Peng li Peng dengan air mata jatuh bercucuran.
Siauw Ling dibikin apa boleh buat, terpaksa ia mengangguk.
“Baik! katakanlah….”
“Tahukah kau apa sebabnya aku sebagai seorang gadis remaja, dengan seorang diri melakukan perjalanan sejauh beribu-ribu li?”
“Karena hendak mencari diriku?”
“Ehmmm, kiranya kau sudah tahu.”
“Bukankah tadi sudah kau katakan sendiri hingga jelas? sekalipun orang lain juga akan mengerti dengan jelas.”
“Nah, itulah dia! dengan susah payah aku berhasil menemukan dirimu, tetapi kau malah mengusir aku pergi, coba pikirlah apakah aku punya muka untuk menjumpai orang lagi? apakah aku punya muka untuk hidup dikolong langit lebih jauh?”
“Soal ini…. soal ini….”
“Meskipun aku dibesarkan didaerah dingin yang sepanjang masa ditutupi salju, tetapi banyak sekali pelajaran agama serta sastra dari daratan Tionggoan yang pernah kubaca. Toako! kau pasti telah memandang diriku sebagai seorang gadis tidak genah yang rendah martabatnya, kau pasti memandang hina diriku….”
Belum sempat Siauw Ling menjawab, mendadak Peng li Peng telah putar badan dan lari pergi.
Dengan cepat Siauw Ling mengejar dari belakangnya, dalam waktu singkat mereka sudah tiba dipinggir jurang.
Menyaksikan gadis itu lari terus keujung jurang dan sikapnya seperti mau loncat kebawah. Siauw Ling jadi amat terperanjat buru-buru serunya, “Peng jie, jangan bergurau lagi!”
“Kau berhenti dulu!” teriak Peng li Peng.
Siauw Ling tidak berani membangkang, terpaksa ia menghentikan langkah kakinya.
Sambil berdiri diujung jurang, perlahan-lahan Peng li Peng berkata, “Toako, tahukah kau akan kisah cerita dari kuil In Wan Bio ini?”
“Seorang penebang kayu tua telah menceritakannya kepadaku!”
“Tebing curam ini adalah tempat dimana sepasang muda mudi itu menerjunkan diri kedalam jurang, seandainya sekarang aku ikut meloncat kedalam jurang maka didalam kuil In Wan Bio mungkin akan didirikan pula sebuah patung arca untuk memperingati diriku, hanya saja patung itu tidak didampingi oleh toako saja.”
Siauw Ling jadi amat cemas, pikirnya, “Sifat kekanak-kanakkan dari gadis ini belum hilang, dalam malu dan gelisahnya mungkin saja ia benar-benar menerjunkan diri kedalam jurang, bukan saja kejadian ini akan menyesalkan diriku sepanjang masa bahkan akan mendatangkan pula pelbagai kesulitan bagiku…. aku harus mengurungkan niatnya itu.”
Karena berpikir demikian ia lantas berseru, “Peng jie, cepat kembali, jangan ngaco belo lagi.”
“Tidak, aku bukan sedang bergurau, setiap patah kata yang kuutarakan kepada toako muncul dari hatiku yang murni, dihadapan malaikat aku telah mengangkat sumpah bahwa sepanjang masa akan selalu mengikuti dirimu, kalau toako menampik permintaanku ini, maka terpaksa aku harus terjun kedalam jurang untuk memperlihatkan kesucian serta ketulusan hatiku.”
Ucapannya begitu pedih dan menyedihkan membuat orang yang mendengar ikut beriba hati.
Siauw Ling jadi semakin gelisah apalagi ketika dilihatnya gadis itu sudah makin menepi keujung jurang, tanpa berpikir panjang lagi ia segera teriak, “Cepat kemari, baiklah akan kuajak dirimu untuk ikut serta!”
“Sungguh?” mendadak Peng li Peng melompat kedepan dan menubruk kedalam pelukan si anak muda itu.
Kesedihan yang semula menyelimuti wajahnya kontan lenyap tak berbekas berganti dengan senyuman penuh riang gembira.
Setelah berjanji tentu saja Siauw Ling tak dapat mengingkarinya lagi, terpaksa ia mengangguk.
“Sudah tentu sungguh, cuma….”
“Cuma kenapa?”
“Aku hendak mengutarakan dulu beberapa buah syaratku. Pertama, kau tak boleh ribut dan bikin gara-gara tanpa sebab. Kedua, dalam segala hal kau harus mendengarkan perintahku, kalau kau berani melanggar syaratku itu maka janjiku akan kubatalkan pula.”
Dalam penilaian Siauw Ling sebagai seorang gadis manja yang sudah terbiasa disayang dan dicintai ayah ibunya semenjak kecil, dimana setiap harinya sudah terbiasa memerintahkan orang, syarat tersebut pasti akan menyulitkan dirinya.
Siapa tahu urusan ternyata jauh diluar dugaan si anak muda itu, dengan cepat tanpa berpikir panjang bahkan dengan wajah penuh riang gembira Peng li Peng segera menyahut, “Tentu saja aku akan menuruti setiap perkataan dari toako!”
“Bagaimana dengan nona Toan Bok itu?”
“Aku akan suruh dia pulang kerumah untuk merawat luka dari pamannya….” setelah merandek sejenak, tambahnya, “Toako, kapan kau hendak berangkat?”
“Paling lambat besok pagi!”
“Toako, bagaimana kalau kau kembali dulu kedalam kamarku untuk beristirahat sejenak?”
“Tak usah, aku masih ada dua orang saudara yang datang bersama-sama.”
“Ooooh, apakah Sang Pat serta Tu Kioe?”
“Tidak salah dari mana kau bisa tahu?”
“Setiap kali berjumpa dengan orang aku selalu mencari berita mengenai diri toako, sudah tentu banyak hal yang kuketahui.”
Ia tertawa manis dan terusnya, “Aku akan segera siapkan bekalku, bila toako hendak berangkat segeralah memberi kabar kepadaku.”
“Setelah kukabulkan permintaanmu, tentu saja tidak akan meninggalkan dirimu seorang diri, legakanlah hatimu!”
Peng li Peng tidak banyak bicara lagi, ia putar badan dan segera berjalan masuk kedalam ruang penginapan.
Diawasinya bayangan tubuh Peng li Peng hingga lenyap dari pandangan, mendadak Siauw Ling merasa dalam hatinya secara mendadak muncul suatu perasaan murung dan kesal yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, ia menghela napas panjang. Perlahan-lahan pemuda itu berjalan ketepi tebing dan duduk diatas sebuah batu besar.
Sementara itu malam semakin kelam, angin gunung berhembus kencang diatas puncak bukit tersebut. Ketika melongok kebawah tampaklah kegelapan mencekam seluruh permukaan, begitu dalam jurang tersebut hingga tidak nampak pada dasarnya, dalam hati diapun lantas berpikir, “Jurang ini dalamnya sukar diukur, meskipun seseorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sangat lihaypun badannya pasti akan hancur lebur apabila terjatuh kebawah, apalagi sepasang muda mudi dusun itu, meski selama hidupnya mereka tak bisa mengikat diri jadi suami istri, tetapi setelah meninggal dunia dihormati dan dipuja orang sebagai dewa, bahkan orang yang datang beziarah tak terhitung jumlahnya. Aaaai….! hitung-hitung kematian mereka berharga juga!”
Sementara si anak muda itu masih termenung, mendadak dari tengah lembah yang gelap itu muncul setitik cahaya hijau yang bergerak kian kemari dari dasar selat tadi, kurang lebih seperminum teh kemudian cahaya tadi baru lenyap dari pandangan.
Seandainya orang yang menemukan cahaya hijau tadi adalah orang biasa, mungkin mereka akan menganggap pandangan matanya jadi kabur ataukah menyangka bahwa mereka sudah bertemu dengan api setan. Tetapi bagi Siauw Ling yang memiliki ketajaman mata melebihi orang lain, ia segera dapat menebak bahwa cahaya tersebut berasal dari seseorang yang berjalan didasar lembah itu sambil membawa lampu lentera.
Pada saat itulah terdengar suara langkah manusia yang amat lirih berkumandang datang dari belakang tubuhnya.
Dalam hati Siauw Ling merasa amat terperanjat, tapi diluaran ia pura-pura tidak merasa, setelah mengempos tenaga murninya dalam-dalam laksana kilat ia putar badan.
Terlihatlah Sang Pat serta Tu Kioe dengan jalan berdampingan mendekati kearahnya.
Sang Pat segera tersenyum dan memuji, “Toako, sungguh tajam pendengaranmu, karena tak berani menganggu ketenanganmu maka sengaja kami memperingan langkah kakinya….”
“Kedatangan kalian sangat kebetulan sekali, dibawah dasar lembah sana aku telah menemukan sesuatu yang amat mencurigakan….”
Sang Pat serta Tu Kioe buru-buru memburu datang, tetapi ketika mereka melongok kebawah yang terlihat hanyalah kegelapan yang mencekam seluruh dasar lembah itu, sedikitpun tidak ditemukan sesuatu tanda yang mencurigakan.
Diam-diam Tu Kioe mengerutkan alisnya dan ia berseru, “Toako, siauwte sama sekali tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan hati, sebenarnya apa yang telah kau temukan?”
“Setitik cahaya hijau yang bergerak lenyap dibawah lembah sana!”
“Cahaya hijau?”
Sementara Siauw Ling hendak menjawab, cahaya hijau yang bergerak didasar lembah tadi kembali muncul dihadapan mata dan perlahan-lahan menggeser menjauh, buru-buru ia berseru, “Saudaraku berdua, cepat lihat!”
Sang Pat dan Tu Kioe segera alihkan sinar matanya, sedikitpun tidak salah, lama sekali baru lenyap tak berbekas.
“Sudah terlihat?” tanya Siauw Ling.
“Sudah!”
“Pengalaman serta pengetahuan kalian berdua jauh lebih luas daripada diri siauwte, tahukah kalian apa sebabnya bila terlihat cahaya hijau semacam itu?”
Sang Pat termenung sejenak, kemudian menjawab, “Selamanya siauwte paling tidak percaya dengan segala macam cerita setan ataupun dedemit, karena itu akupun tidak percaya kalau cahaya hijau didasar lembah tersebut adalah api setan seperti yang dikatakan sementara orang.”
“Suhu siauwte seorang jago kawakan yang berpengetahuan luas, beliau pernah memberi penjelasan kepada siauwte mengenai persoalan api Leng Hwie. Sekalipun begitu tapi kalau kutinjau dari lirik cahaya hijau yang tidak tetap tempatnya dan selalu menggeser itu, aku rasa pastilah bukan api Leng Hwie.”
“Jadi maksud toako, api hijau didasar lembah itu kemungkinan besar adalah perbuatan manusia?”
“Seandainya seseorang berjalan didasar lembah sambil membawa sebuah lampu lentera, bagi kita yang berdiri dipuncak bukit setinggi ratusan tombak ini akan melihat setitik cahaya hijau.”
“Pendapat toako sedikitpun tidak salah!” Sang Pat mengangguk.
“Mungkin saja didasar lembah itu ada manusia yang hidup disitu” sambung Tu Kioe.
“Kunci persoalan tersebut justru terletak disini, seandainya didasar lembah memang ada manusia yang bertempat tinggal maka penemuan itu tidak terhitung suatu hal yang aneh, sebaliknya tempat itu tak pernah dijamah manusia. Karena itu aku duga dibalik persoalan ini pasti ada hal yang tidak beres.”
“Hal-hal yang tidak beres bagaimana maksud toako?”
“Ditebing inilah sepasang muda mudi itu menerjunkan diri kedalam jurang, kalian berdua tentu masih ingat akan cerita dari sipenebang kayu tua itu bukan? pada waktu itu ada berapa banyak orang yang turun kedasar jurang untuk menemukan jenasah kedua orang itu, tetapi bukan saja jenasah mereka tak nampak bahkan sedikitpun tiada tanda-tanda yang menunjukkan mereka pernah jatuh kesitu.”
“Sedikitpun tidak salah, kalau dikatakan tubuh kedua orang itu hancur lebur semestinya tak mungkin kalau tidak meninggalkan tanda-tanda bekas disekitar sana.”
“Mungkinkah sewaktu kedua orang itu terjun kedasar jurang, ditengah tebing mereka telah terjatuh keatas pepohonan rotan yang empuk sehingga tidak sampai mencium dasar bumi?” kata Tu Kioe.
“Menurut pendapat siauwte, kemungkinan ini masih tetap ada, cuma yang siauwte sedang pikirkan adalah persoalan lain.”
“Persoalan apa?”
“Sekalipun ditengah lembah benar-benar ada orang yang tinggal disana, kenapa mereka mengangkat tinggi-tinggi lampu lentera hijaunya? mungkinkah disebabkan karena cahaya lampu berwarna hijau itu bisa menimbulkan pendapat orang lain sebagai api Leng Hwie maka cahaya lampu itu tidak gampang memancing kecurigaan orang.”
“Pendapat toako sangat masuk diakal, kalau memang demikian adanya keadaan tersebut memang merupakan suatu kejadian yang sangat mencurigakan….!”
“Dalam keadaan situasi seperti ini kita lebih penting mencari tahu letak puncak Eng Yang Hong serta selat Boan Coa Kok, kenapa mereka musti putar otak dan payah-payah memikirkan persoalan yang sama sekali tak ada gunanya itu?” pikir Tu Kioe.
Sementara itu terdengar Sang Pat telah berkata kembali, “Menurut pendapat toako, apakah kita hendak menyelidiki latar belakang dari peristiwa didasar lembah itu?”
“Kalau mengikuti pendapat siauwte” sela Tu Kioe. “Rasanya kita tak usah berusaha payah mengerjakan persoalan itu, pada saat ini waktu sangat berharga sekali bagi kita, kita musti cepat-cepat mencari letak dari istana terlarang, lebih baik kita jangan memecahkan perhatian kepersoalan lain.”
“Ucapan dari saudara Tu memang ada benarnya” sahut Siauw Ling. “Tetapi peristiwa tersebut telah kita jumpai, apa salahnya kalau kitapun melakukan penyelidikan….”
“Kalau memang persoalan itu tak ada sangkut pautnya dengan kita, lebih baik tak usah diurusi saja.”
Terhadap diri Siauw Ling selamanya ia menurut dan tak berani membantah perkataannya, tetapi keadaannya pada hari ini jauh berbeda, berulang kali ia telah menunjukkan pendiriannya yang berbeda.
Mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya, teringat betapa inginnya kedua orang itu hendak menuruni dasar lembah untuk melakukan penyelidikan ia sadar bahwa apabila niat mereka ini dihalangi maka kemungkinan besar dikemudian hari ia bakal digerutui.
Berpikir demikian maka diapun segera berkata, “Menurut pendapat siauwte orang yang berada didasar lembah itu ada atau tidak sama sekali tiada sangkut pautnya dengan kita….”
Mendadak ia temukan kembali cahaya hijau tadi muncul lagi didasar lembah, seketika itu juga ia membungkam.
Kali ini cahaya hijau yang muncul dari dasar lembah adalah dua buah sekaligus bahkan muncul dari dua arah yang berbeda.
Siauw Ling segera bergumam seorang diri, “Kejadian ini sungguh aneh sekali….”
“Bagaimana kalau kita cari orang untuk menanyakan persoalan ini?”
“Cari siapa?”
“Kalau ingin mencari orang yang benar-benar hapal dengan pemandangan disekitar sini seharusnya toojien didalam kuil itu, biar kubawa dia datang kemari.”
Habis berkata ia segera putar badan dan berlalu.
Sebenarnya Siauw Ling hendak menghalangi kepergiannya, tetapi gerakan tubuh Sang Pat cepat bagaikan hembusan angin, begitu ucapan terakhir diutarakan keluar bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan si anak muda itu membiarkan dirinya pergi.
Menanti ia melongok kembali daerah lembah, tampaklah cahaya hijau didasar lembah tadi telah berhenti bergerak kemudian lenyap dari pandangan.
Siauw Ling segera berbisik kepada Tu Kioe.
“Saudara Tu, coba kau lihat, mirip tidak dengan seseorang sambil membawa lampu lentera hijau sedang berhenti didepan sebuah bangunan rumah dan mengetuk pintu, kemudian berjalan masuk kedalam.”
“Ehmmm, memangnya radaan mirip.”
“Andaikata pada malam ini juga kita bisa melakukan pemeriksaan kedasar lembah, rasanya jauh lebih baik dari pada harus menunda sampai hari esok….!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung Sang Pat sambil menyeret tubuh toojien tersebut telah berlari datang.
Mungkin sang toojien itu sudah tertidur nyenyak, sewaktu disorot datang oleh Sang Pat matanya masih sipit-sipit mengantuk.
Sang Pat menyeret orang itu hingga tiba dihadapan Siauw Ling, kemudian berhenti.
Meski ditarik Sang Pat untuk melakukan perjalanan cepat, tapi keadaan toojien itu cukup payah juga, napasnya tersengkal-sengkal dan terpaksa harus bernapas dengan mulut.
Siauw Ling memandang sekejap kearah Toojien itu, lalu tanyanya, “Apakah Heng thay sudah lama berdiam disini?”
“Sejak kuil In Wan Bio ini didirikan, aku sudah berdiam ditempat ini….!”
“Kalau begitu kau pasti sangat hapal segala sesuatu yang berada disekitar tempat ini bukan?”
“Setiap batang kayu dan rumput aku kenal semua dengan hapal.”
“Kalau begitu bagus sekali, aku ingin mohon beberapa petunjuk dari hengthay!”
“Urusan apa?” tanya toojien sambil mengusap-usap matanya.
Perlahan-lahan Siauw Ling berpaling kearah dasar lembah, kemudian tanyanya, “Apakah ada manusia yang tinggal didalam lembah tersebut?”
Toojien itu tertegun, kemudian menjawab, “Sebelum cuwi sekalian datang kekuil In Wan Bio, pernahkah kalian mendengar kisah cerita mengenai kuil jodoh ini?”
“Hmmm! toako kami sedang bertanya apakah didasar lembah ada manusia yang hidup disana, siapa yang kesudian mendengarkan kisah cerita mengenai kuil In Wan Biomu itu!” tukas Tu Kioe ketus.
Mendengar seruan yang dingin, kaku dan ketus dari seorang she Tu ini kontan toojien itu merinding dan menggigil ketakutan, buru-buru menjawab, “Jurang ini dalamnya mencapai beberapa ratus tombak, jangan dikata tubuh yang terdiri dari darah dan daging, sekalipun sebutir batu karang yang keraspun niscaya akan hancur lebur bila dilempar kedalam lembah.”
“Hey, sebetulnya kau punya telinga tidak?” maka Tu Kioe semakin dingin. “Toako kami hanya ingin bertanya apakah didalam lembah ada orang yang hidup disitu?”
“Dasar lembah itu lembah dan sangat basah, banyak binatang beracun yang hidup disitu tentu saja tak seorang manusia yang berani hidup disitu….!”
“Terima kasih atas petunjukmu” Siauw Ling segera menjura. “Bilamana cayhe telah mengganggu tidur heng thay yang lagi nyenyak-nyenyaknya itu mohon dimaafkan sebesar-besarnya.”
Sejak Tu Kioe ikut angkat bicara tadi toojien tersebut sudah merasa sangat ketakutan sehingga bulu kuduknya pada bangun berdiri dan kini mendengar Siauw Ling melepaskan dia kembali, bagaikan memperoleh pengampunan, tidak sempat membalas hormat dari si anak muda itu lagi buru-buru putar badan dan berlalu.
Menanti toojien itu sudah lenyap dari pandangan, Siauw Ling baru berkata lirih terhadap kedua orang saudaranya, “Apakah kalian berdua sudah mendengarnya?”
“Sudah, lalu apa yang toako siap lakukan?”
“Aku ingin melakukan pemeriksaan kedasar lembah itu, mungkin saja kita akan memperoleh penemuan yang ada diluar dugaan.”
“Baik, menanti fajar telah menyingsing nanti kita segera turun kedasar lembah untuk melakukan pemeriksaan.”
“Siauw heng rasa sekarang juga aku hendak turun kebawah.”
“Sekarang juga?”
“Tidak salah, mungkin saja didasar lembah terdapat sesuatu kejadian yang mencurigakan hati atau mungkin juga kilapan cahaya hijau itu adalah api Leng Hwie yang dipancarkan dari tumpukan tengkorak binatang….”
Ia mendongak dan memandang cuaca sejenak, kemudian terusnya, “Kalian sekarang juga kita turun kedasar lembah kemudian sebelum fajar menyingsing naik keatas puncak lagi, maka kitapun tak usah membuang waktu dengan percuma.”
“Toako, bukanlah siauwte ada maksud menghalangi maksudmu, lembah tersebut letaknya amat curam dan terjal, lagipula tak kenal jalanan disini, rasanya tidak leluasa bagi kita untuk bergerak ditengah malam buta….”
“Aku tahu, apakah kalian berdua merasa tak ada jalan lalu untuk turun gunung?”
“Memang demikian adanya.”
“Jangan kuatir” kata Siauw Siauw sambil tersenyum. “Siauwte telah mendapatkan akal yang sangat bagus untuk menuruni lembah ini.”
“Toako ingin turun kebawah dengan gunakan cara apa?”
“Tadi sewaktu Siauw heng mengikuti nona Pek li masuk kedalam rumah penginapan itu, telah kujumpai tumpukkan tali jerami yang amat banyak disitu, asalkan saudara berdua memegangi ujung tali diatas puncak dan menggantung Siauw heng untuk turun, rasanya tidak sulit untuk mencari jalan menuruni lembah tersebut.”