JILID 28
“Tidak betul, tidak betul, andaikan bangunan ini tiada berpenghuni tidak nanti pintunya dipalang dari dalam.”
“Sungguh aneh sekali” seru Peng Im pula setelah memeriksa keadaan disekeliling itu sekejap. “Aku sipengemis cilik masih ingat betul disini tampaknya, dan tak bakal salah lagi, coba Sang heng melompati pagar tembok itu dan periksa keadaan didalam sana.”
Melihat kesadaran Peng Im normal dan tidak mirip sedang mengingau, timbul rasa ingin tahu dalam hati Sang Pat. ia segera mengempos tenaga dan meloncat masuk kedalam pekarangan kemudian membuka palang pintu tersebut.
“Tu heng. tolong gotong aku masuk kedalam!”
Tu Kioe mendongak memeriksa keadaan dalam, ia lihat sebuah jalan kecil yang beralaskan batu bata merah terbentang menghubungkan pintu depan dengan pintu kedua, keadaan situ bersih dan teratur, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda disitu tiada penghuninya, dalam hati dia lantas berpikir, “Bangunan rumah sebersih ini, masa tiada penghuninya?”
Walaupun dalam hati berpikir demikian tapi ia menurut juga dan melangkah masuk kedalam.
“Loo sam jauh sedikit jaraknya dengan aku” bisik Sang Pat lirih. “Kau yang menggendong sipengemis cilik itu bertindaklah lebih hati-hati. jangan sampai kena dibokong orang lain.”
Tu Kioe mengiakan dan segera mundur tiga langkah kebelakang.
“Adakah manusia disitu!”
“Andaikata ada orang, sejak tadi kedatangan kita sudah ditegur….” bisik Peng Im.
Belum habis ia berkata mendadak terdengar suara yang ketus dingin berkumandang datang.
“Ada urusan apa?”
Sang Pat melengak dan segera berhenti, kemudian seraya menjura ujarnya, “Aaah…. mengganggu ketenangan kalian, harap suka dimaafkan!”
“Hmm, kalian memasuki rumah orang tanpa permisi, perbuatan ini sudah melanggar peraturan, ayoh cepat keluar dari sini.” suara dingin ketus tadi kembali berkumandang datang.
Sang Pat melirik sekejap kearah Peng Im lalu bisiknya, “Ayoh kita keluar saja dari sini” ia putar badan dan siap berlalu.
“Sang heng, orang itupun bukan pemilik bangunan rumah ini!”
“Benarkah itu?”
“Kalau Sang heng tidak percaya, kenapa tidak kau tanyakan sendiri?”
Teringat betapa dingin dan ketusnya ucapan orang tadi, timbul keinginan si sie poa emas ini untuk memanasi hatinya, maka ia lantas berkata, “Saudara sendiri toh bukan pemilik bangunan rumah ini kalau bicara kenapa begitu tak tahu adat?”
“Hem! persoalan dikolong langit tentu ada yang datang lebih duluan dan datang belakangan, siapa suruh kalian datang terlambat satu tindak?”
“Bagaimana?” Peng Im segera berbisik. “Mereka tak lebih hanya datang lebih dulu setindak, bangunan rumah ini sama sekali bukan harta warisan mereka.”
Sang Pat alihkan sinar matanya memeriksa sekejap sekeliling tempat itu. “Saat ini fajar baru menyingsing. peng Im pun harus merawat lukanya, sedang bangunan ini begitu besar dan mereka bukan pemiliknya, apa salahnya kalau kita berteduh pula disini, toh kita sama-sama bukan pemilik bangunan rumah ini?”
Berpikir lalu ia lantas berseru lantang, “Kalau dibicarakan soal rumah ini, tiga hari berselang telah ada orang kita yang menginap disini, hanya saja karena ada urusan maka baru ini hari kami kembali kesini.”
Ia merandek sejenak, lalu ujarnya lagi, “Kalau mau dikatakan siapa yang datang lebih dulu, maka kamilah yang datang beberapa hari lebih cepat, cuma bangunan rumah ini memang bukan milik kami, bila memang kalian sudah berteduh disini kamipun tak akan mengusir kalian pergi. Untung bangunan rumah ini sangat besar, sekalipun ditambah beberapa orangpun rasanya tidak mengapa.”
“Tidak bisa jadi” tukas orang tua dengan suara dingin. “Dengarlah nasehatku, lebih baik cepat-cepatlah mengundurkan diri dari sini.”
“Kurang ajar, aku Sang Loo jie adalah manusia macam apa” pikir Sang Pat dalam hati. “Kau anggap ini hari aku bisa digertak lari dari sini?”
“Kalau sampai begitu apa gunanya aku berkelana didalam dunia persilatan?”
Maka dengan suara lantang serunya, “Andaikata cayhe tidak mau mengundurkan diri dari sini kau mau apa?”
“Kecuali bila kau sudah bosan hidup lagi dikolong langit!”
Mengikuti berasalnya suara tersebut Sang Pat berpaling, ia duga suara tadi berasal dari balik sebelah barat ruang tengah, hanya saja bayangan tubuhnya sama sekali tidak kelihatan.
Mendengar ucapan orang itu sesumbar dan jumawa, Tu Kioe jadi sangat mendongkol bisiknya, “Loo jie mari kita tengok keadaan disitu!”
“Baik, kau tak usah pergi, baik-baiklah melindungi keselamatan sipengemis cilik itu, kalau didengar dari ucapannya yang sesumbar rasanya dia bukanlah lampu yang kehabisan minyak.”
“Harap Sang heng berhati-hati!” pesan Peng Im pula.
Sang Pat mengangguk, dengan langkah lebar ia segera berjalan menuju keruang tengah.
Halaman bagian depan luas dan mencapai beberapa hektar, Sang Pat menghentikan gerakan tubuhnya kurang lebih lima tombak didepan ruang tengah.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara dingin ketus tadi berkumandang kembali, “Rupanya kalau tidak diberi hajaran tidak mau tahu keadaan, bukankah aku sudah memperigatkan cuwi sekalian untuk segera mengundurkan diri dari sini, kalau memang kalian sendiri yang mencari mati, janganlah salahkan diriku bertindak keterlaluan.”
Terhadap sipengancam tersebut Sang Pat tidak berani menaruh pandangan merendah, sejak semula hawa murninya telah dihimpun didalam tubuh siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. setelah mendengar ucapan terkahir ini kewaspadaannya semakin diperketat, tangan kanannya segera merogoh kedalam saku mengambil keluar dua butir mutiara dan digenggamnya ditangan.
Kekayaan dari Tiong Chiu Siang Ku boleh dibilang tiada taranya dikolong langit, tumpukan intan permata yang mereka miliki sudah mencapai beberapa buah ruangan banyaknya, meskipun ia tak pernah menggunakan senjata rahasia tetapi dalam sakunya selalu siap dengan pelbagai permata yang bisa digunakan dalam keadaan terpaksa.
Sementara itu perlahan-lahan Tu Kioe tela menurunkan pula Peng Im keatas tanah, katanya setengah berbisik, “Ucapan orang tua itu benar-benar gede dan sesumbar mungkin kepandaian silat yang dimilikinya betul-betul lihay, kau tunggu saja disini. Aku Tu Loo sam akan pergi kesana membantu diri Loo jie kami.”
“Eeei…. sejak kapan kau menyebut dirimu sebagai loo sam?”
“Sejak kami sepasang pedagang dari Tiong Chiu mengakui Siauw thayhiap sebagai liong tauw toako kami, aku telah menjadi Loo sam!”
“Oooh, kiranya begitu.”
Tiba-tiba terdengar Sang Pat mendengus berat lalu buru-buru mengundurkan diri dari tempat semula.
Mendengar akan hal itu Tu Kioe sangat terkejut, dengan cepat dia enjotkan badannya melayang kesisi saudaranya, lalu menegur, “Loo jie apakah kau sudah terluka?”
Sang Pat tidak menjawab hanya saja dengan alis berkerut kencang dia gulung ujung baju kirinya.
Mengikuti gerakan tersebut Tu Kioe segera menyaksikan sebuah anak panah kecil berbentuk kepala ular tertancap diatas lengan saudara angkatnya ini.
Kalau dikatakan benda itu sebagai panah dalam kenyataan kecilnya melebihi jarum untuk menjahit, kulit tangan sekitar luka telah berubah jadi semua merah.
Sementara Tu Kioe hendak mencabut keluar jarum beracun itu, tiba-tiba Sang Pat tarik kembali lengan kirinya dan meloncat mundur dua langkah kebelakang, serunya, “Racun yang dipoleskan diatas jarum ini terlalu keji dan ganas, jangan kau sentuh dengan tangan.”
Pada waktu itulah Siauw Ling, Soen Put shia, boe Wie Tootiang serta Suma Kan telah menyusul datang.
Peng Im segera berseru dengan suara cemas, “Tootiang cepat periksa keadaan luka dari Sang Loo jie, tangannya sudah termakan oleh senjata rahasia beracun.”
Boe Wie Tootiang percepat lainnya memburu kesisi tubuh Sang Pat, setelah memeriksa sejenak senjata rahasia itu dengan hati terkesiap serunya, “Aaaah, anak panah pengejar sukma berkepala ular!”
“Bagaimana? apakah jiwanya terancam bahaya?” tanya Tu Kioe terperanjat.
“Sedikitpun tidak salah, dari mendiang guruku pinto pernah mendengar akan kelihayan dari senjata rahasia tersebut, katanya racun yang terkandung diujung senjata itu luar biasa dahsyatnya, tetapi setelah pinto terjunkan diri kedalam dunia persilatan belum pernah kujumpai senjata rahasia anak panah pengejar sukma berkepala ular, sungguh tak nyana pada saat ini benda tersebut telah muncul kembali ditinjau dari hal ini jelas membuktikan bahwa sipelepas senjata rahasia mempunyai asal usul yang amat besar.”
“Bagaimana? apakah tootiang tak dapat memusnahkan racun yang ada diatas anak panah itu?” tanya Siauw Ling.
“Menurut apa yang pinto ketahui, kecuali orang yang melepaskan senjata rahasia tersebut yang mempunyai obat pemusnahnya, tabib sakti yang ada dikolong langit dewasa ini jarang sekali ada yang sanggup memusnahkan racun tersebut.”
Bicara sampai disitu ia lantas gerakan tangannya menotok dua buah jalan darah diatas lengan kiri Sang Pat.
Siauw Ling segera berpaling kearah Tu Kioe dan bertanya, “Apakah sipelepas senjata rahasia masih berada disini?”
Tu Kioe melirik sekejap kearah serambi sebelah barat dalam ruang tengah kemudian menyahut, “Mungkin dia berada disini.”
“Kalau begitu harap tootiang suka mencegah menjalarnya sang racun dalam tubuh saudara Sang ku itu, cayhe akan pergi minta obat penawarnya!”
Bicara sampai disitu dia lantas melangkah menuju keruang tengah.
Sebenarnya Boe Wie Tootiang ada maksud mencegah kepergian si anak muda itu, tetapi ketika dijumpai sikap gagah yang diperlihatkan dalam tingkah laku pemuda itu, dalam hati lantas berpikir, “Orang ini memang jauh berbeda dengan orang lain…. lebih baik biarkanlah dia pergi mencoba!”
Karena berpikir demikian diapun tidak banyak bicara lagi.
“Mari, biarlah aku sipengemis tua membantu dirimu” bisik Soe Put shia menawarkan jasa baiknya.
Sejak Siauw Ling terjunkan diri kedalam dunia persilatan, walaupun waktunya berkumpul dengan para jago lihay Bulim tidak terlalu panjang, tapi pengalamannya sudah sangat luas, ia langsung berjalan menuju keserambi sebelah barat sambil diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya bersiap sedia.
“Jago lihay dari manakah yang berada dalam ruangan?” tegurnya dengan suara lantang. “Cayhe Siauw Ling mohon bertamu!”
“Tidak ada waktu untuk menjumpai dirimu” jawaban yang dingin dan hambar berkumandang keluar dari serambi sebelah barat.
Siauw Ling tertegun, tapi ujarnya kembali, “Cayhe mohon bertemu dengan segala tata cara kesopanan, penampikan heng thay yang demikian kasar dan ketusnya apakah tidak merasa sedikit keterlaluan?”
Suara yang dingin ketus itu kembali berkumandang datang, “Cayhe paling ogah untuk berkenalan dengan kaum persilatan, lebih baik saudara segera angkat kaki dari tempat ini.”
Semula Siauw Ling hanya bermaksud menjumpai orang itu untuk minta obat penawar menyembuhkan luka keracunan yang diderita saudaranya Sang Pat, siapa tahu tanggapan yang diberikan pihak lawan bukan saja dingin dan ketus bahkan tidak enak didengar, hawa gusarnya seketika itu juga memuncak.
Sambil tertawa dingin serunya, “Sungguh besar amat bacot anda, apakah sikapmu ini tidak terlalu pandang rendah kaum persilatan?”
“Mulai detik ini cayhe tak sudi menjawab setiap pertanyaan yang kau ajukan” suara dingi ketus itu berkumandang lagi. “Apa bila kau berani maju selangkah lagi kedepan hati-hati…. senjata rahasia panah pengejar nyawa berkepala ular akan mencabut selembar jiwamu?”
Siauw Ling tetap berdiri tegak ditempat semula, ia tarik napas panjang dan segera mengenakan sarung tangan berkulit ularnya, setelah itu baru ujarnya, “Aku orang she Siauw menantikan petunjuk darimu!”
Beberapa saat sudah dinantikan namun tidak kedengaran juga suara jawaban berkumandang keluar dari serambi sebelah barat.
Dalam pada itu Soen Put shia telah berada disisi tubuh Siauw Ling, segera bisiknya, “Menurut apa yang aku pengemis tua ketahui, dalam kolong langit dewasa ini hanya ada seorang manusia saja yang dapat menggunakan senjata rahasia anak panah pengejar nyawa berkepala ular, tetapi orang itu sudah terperangkap didalam istana terlarang sebelum istana tersebut dibuka sudah tentu tak mungkin ia munculkan diri, entah siapakah orang ini? ternyata iapun sanggup menggunakan senjata rahasia aneh yang sangat beracun itu, saudara Siauw! kau harus selidiki berhati-hati….”
“Ehm, terima kasih atas perhatian dari loocianpwee.”
Ia merandek sejenak, dan tambahnya, “Loocianpwee, tak usah kau ikut boanpwee pergi menempuh mara bahaya…. tunggu saja dibelakang sana!”
Soen Put shia mengangguk dan segera mengundurkan diri kebelakang.
Dengan suara lantang Siauw Ling segera berseru, “Aku orang she Siauw sudah mohon maaf terlebih dahulu, apabila aku memang tidak menggubris terus, terpaksa aku akan menerjang kedalam dengan kekerasan.”
Ia tahu bahwa kepandaian silat yang dimiliki Sang Pat tidak lemah, dalam kenyataan orang itu sanggup merobohkan Sang Pat dalam sekali sambitan belaka. Hal ini membuktikan betapa lihaynya kepandaian silat orang itu, maka ia tak berani bertindak gegabah, sambil perlahan-lahan maju kedepan seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu.
Kurang lebih tujuh delapan langkah dari tempat semula tiba-tiba terasa sekilas cahaya tajam yang sangat menyilaukan mata laksana kilat meluncur datang, bukan saja gerakannya sangat cepat bahkan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun.
Cepat Siauw Ling ayunkan tangan kanannya menangkap senjata rahasia anak panah mengejar nyawa berkepala ular itu, sementara dalam hati diam-diam pikirnya dengan hati kaget, “Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, ilmu silatnya sungguh luar biasa sekali. Andai kata aku tidak bersiap sedia sejak tadi mungkin tanpa kusadari akupun sudah terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu….”
“Hmm, suatu kepandaian yang jitu” terdengar suara dingin ketus itu berkumandang datang. “Dalam kolong langit dewasa ini jarang sekali ada orang yang sanggup menerima sambitan anak panah pengejar nyawa berkepala ularku dengan tangan….”
Ia merandek sejenak lalu tambahnya, “Tapi sayang sekali diatas anak panah itu telah kupolesi semua dengan racun yang amat keji, sekalipun kau tidak tertusuk oleh senjataku tapi tanganmu yang meraba senjata tadi cukup untuk meracuni tubuhmu dengan hebat!”
“Hmmmmmmm, belum tentu!”
“Haaah…. haaa…. haaa….” orang itu tertawa tergelak. “Kalau kau tidak percaya dengan perkataanku, silahkan coba mengerahkan tenaga dalammu!”
Perlahan-lahan Siauw Ling mengangkat anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu keatas, kemudian katanya dingin, “Setelah datang kalau tidak menginap itu namanya tidak sopan, semoga saudarapun bisa berbuat seperti cayhe dan menerima kembali senjata rahasiamu ini.”
Sembari berbicara diam-diam hawa murninya disalurkan kedalam tangan dan didalam sebuah sentilan, anak panah pengejar nyawa berkepala ular itu segera meluncur keudara menyambar kearah orang tadi.
Cara melepaskan senjata rahasia yang dimilikinya adalah ajaran langsung dari Liuw Sian cu, sebagai seorang jago yang lihay dalam ilmu melepaskan senjata rahasia dan ilmu meringankan tubuh. Sentilan untuk melepaskan senjata rahasia ini cukup membuat Soen Put shia yang menyaksikan kejadian itu dari samping diam-diam merasa memuji.
Orang yang ada diserambi sebelah barat masih tertawa tergelak tiada hentinya, menanti ia saksikan Siauw Ling melepaskan anak panah itu yang ditujukan kepadanya, gelak tertawa itu mendadak terputus ditengah jalan.
Jelas orang tadi telah dibikin terkesiap oleh kelihayan si anak muda itu dalam melepaskan senjata rahasianya.
Dikala tangan kanannya melepaskan anak panah pengejar nyawa berkepala ular tadi, diam-diam Siauw Ling telah silangkan telapak kirinya untuk melindungi badan, selangkah demi selangkah ia menerjang kearah serambi sebelah barat.
Jarak antara serambi sebelah barat dengan tempat dimana Siauw Ling berada saat ini hanya terpaut dua tombak saja sekali loncat si anak muda itu sudah berada didepan serambi tadi.
Tampak sepasang pintu tertutup rapat-rapat, bahkan jendelapun tertutup semua dengan rapatnya.
Siauw Ling tahu bahwa situasi yang dihadapinya saat ini sangat berbahaya, tanpa berpikir panjang dan memeriksa keadaan disekelilingnya lagi, sekali tendang ia hajar pintu kayu tersebut.
Blaan….! dengan diiringi suara bentrokan keras, pintu kayu itu terbentang lebar.
Dikala melancarkan tendangan menghantam pintu tadi, pada saat yang bersamaan pula Siauw Ling telah menyingkir kesamping.
Rupanya si anak muda inipun merasa jeri terhadap kehebatan orang itu dalam melepaskan senjata rahasia anak panah pengejar nyawa berkepala ularnya, ia tahu andaikata dikala dirinya sedang melancarkan tendangan kearah pintu tadi mendadak orang itu melepaskan senjata rahasia pula, maka kemungkinan besar ia bisa terluka diujung senjata orang.
Siapa tahu ternyata orang itu sama sekali tidak melepaskan anak panah pengejar nyawa berkepala ularnya.
Siauw Ling menanti beberapa saat lamanya disisi pintu, kemudian dengan suatu gerakan yang cepat dan mendadak ia berkelebat masuk kedalam ruangan.
Setibanya dalam ruangan, ia lihat didekat jendela berdirilah seorang lelaki berbaju hijau.
Orang itu berdiri menghadap jendela dan membelakangi pintu, terhadap hadirnya Siauw Ling disitu ternyata sama sekali tak merasa.
Siauw Ling mendehem ringan dan berkata, “Untung cayhe tidak sampai kehilangan selembar jiwaku. Kini aku sudah berhasil tiba disini.”
“Sudah lama cayhe mendengar nama besar dari Siauw Ling dalam dunia persilatan, setelah bertemu hari ini baru ketahui bahwa namamu bukan nama kosong belaka.”
“Saudara terlalu memuji, anak panah pengejar nyawa berkelebat begitu cepat dan tanpa mengeluarkan suara, baru kali ini cayhe berjumpa dengan kepandaian silat itu.”
Orang berbaju hijau itu tidak langsung menanggapi perkataan tersebut, saat kemudian dengan nada ucapan yang jauh lebih lunak katanya, “Apa maksudmu memasuki ruang serambi sebelah barat ini?”
“Seorang saudara cayhe telah terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ular saudara, karena itu cayhe mohon obat penawar menyembuhkan keracunan tersebut.”
“Hanya dikarenakan persoalan ini saja?”
“Tidak salah, hanya disebabkan persoalan ini saja!”
“Tidak sulit untuk memperoleh obat penawar tersebut, tapi cayhepun ada satu syarat yang harus kau penuhi!”
“Apa syaratmu?”
“Setelah cayhe serahkan obat penawaran itu, aku harap cuwi sekalian segera tinggalkan tempat ini, apabila kau setuju maka obat penawar tersebut segera cayhe serahkan kepadamu, sebaliknya kalau kau menampik…. terpaksa aku harus biarkan saudaramu mati keracunan.”
Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya kemudian menjawab, “Andaikata saudara cayhe itu terluka ditangan orang lain, dan saudara rela memberi obat penawar kepadanya, jangan dikata cuma satu syarat ini saja meskipun delapan atau sepuluh syarat lagipun aku orang she Siauw tak akan menampik. Sayang seribu kali sayang saudara dari cayhe itu justru terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ularmu, sedang rekan kami yang ikut kemari cukup banyak. persoalan ini harus dirundingkan dahulu dengan mereka.”
Rupanya orang berbaju hijau itu sudah tak sabaran lagi, tiba-tiba selanya dengan nada gusar, “Kalau begitu saudara tidak mau menerima permintaanku itu?”
“Saat ini sulit bagiku untuk mengambil keputusan!”
“Baiklah, kau boleh rundingkan dahulu persoalan ini dengan mereka, kemudian datanglah lagi kemari untuk berbicara dengan aku!”
“Meninggalkan tempat ini bukanlah suatu syarat yang terlalu sulit dilakukan” pikir si anak muda dalam hati. “Cuma saja Soen Put shia serta Boe Wie Tootiang adaah orang kenamaan, andaikata kuajukan persoalan ini entah bagaimana perasaan serta pendapat mereka?”
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Cayhe akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh persetujuan dari rekan-rekan yang lain, tapi…. bagaimana kalau kau hadiahkan dahulu obat penawar tersebut kepada kami? haruslah diketahui menolong orang bagaikan menolong kebakaran, tak bisa ditunda-tunda lagi.”
“Temui dahulu rekan-rekanmu, selesai berunding rasanya belum terlalu lambat.”
“Membunuh orang harus bayar nyawa hutang uang bayar uang. Saudara, setelah kau lukai saudaraku, apakah aku harus membungkam belaka menyaksikan saudaraku itu menderita.” kata Siauw Ling mulai gusar. “Minta obat penawar dan tinggalkan tempat ini adalah dua masalah yang berbeda. Jangan kau campur baurkan yang satu dengan yang lain.”
“Lalu apa maksudmu?” jengek orang berbaju hijau itu sambil tertawa dingin.
“Cayhe ingin bertanya, kecuali kami tinggalkan tempat ini apakah masih ada cara lain lagi?”
“Masih ada satu cara lagi! obat penawar itu berada didalam sakuku, asal kau merasa punya kepandaian, silahkan untuk merampasnya sendiri.”
Sejak Siauw Ling masuk kedalam ruangan dan bercakap-cakap dengan orang berbaju hijau itu, ternyata hingga kini orang itu tak pernah menoleh barang sekejappun.
Terdengar Siauw Ling tertawa dingin.
“Kecuali itu sudah tiada cara lain lagi?”
“Cayhe rasa tiada jalan lagi!”
“Hmm, kalau memang begitu, maaf kalau terpaksa cayhe bertindak kasar terhadap dirimu.”
“Tak usah sungkan-sungkan, kalau memang merasa mampu silahkan turun tangan!”
Diam-diam Siauw Ling kerahkan tenaga dalamnya melindungi jalan darah jalan darah penting diseluruh tubuhnya, kemudian selangkah demi selangkah maju kedepan.
Ia berjalan hingga tiba dibelakang punggung orang berbaju hijau itu, namun orang itu tetap berdiri membelakangi dirinya, sama sekali tak berkutik.
Siauw Ling ayunkan tangan kanannya siap melancarkan babatan, tapi secara tiba-tiba ia urungkan maksudnya.
“Saudara mengapa kau tidak berpaling?” tegurnya.
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin, perlahan-lahan ia putar badannya menghadap kearah pemuda kita.
Begitu saling membentur dengan sorot mata lawan, Siauw Ling merasa hatinya terperanjat.
Kiranya raut wajah orang itu berwarna kuning keemas-emasan bukan saja tak sedap dipandang bahkan tidak mirip dengan warna kulit seorang manusia.
Dengan cepat pemuda kita berhasil mententramkan hatinya, perlahan-lahan ia berkata, “Ehmm, bagus amat kulit topeng yang saudara kenakan!”
Sembari berkata tangannya berkelebat cepat mencengkeram pergelangan kiri orang itu.
Orang berbaju hijau itu tetap berdiri tak berkutik ditempat semula, seolah-olah dia tak tahu kalau pergelangan kirinya sedang diancam lawan.
Serangan cengkeraman dari Siauw Ling ini banyak mengandung perubahan, dalam satu gerakan ia bisa dari serangan cengkeraman berubah menyabet atau menyentil tergantung dari reaksi yang diberikan pihak musuh.
Siapa tahu kejadian ternyata jauh diluar dugaan Siauw Ling, orang itu tetap bersikap tenang atas datanganya ancaman, bahkan sewaktu jari tangan pemuda itu sudah menyentuh diatas pergelangan tangannyapun orang berbaju hijau itu tetap tak berkutik.
Siauw Ling percepat gerakan tangan kanannya mencengkeram pergelangan kiri orang berbaju hijau itu.
Terasalah pergelangan tangan lawan keras bagai baja, dingin bagaikan es, sedikit tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa yang dipegang adalah tangan manusia. hatinya semakin terkesiap.
Mendadak terdengar orang berbaju hijau itu tertawa dingin, tangan kanannya bergerak cepat membabat pergelangan tangan Siauw Ling.
Si anak muda itu mengerlingkan matanya. Ia lihat tangan kanan orang itu halus lembut dan memelihara kuku yang sangat panjang, dengan cepat ia angkat tangan kirinya untuk menangkis. Sementara cekalannya pada pergelangan orang segera dikendorkan, badannya mundur tiga langkah kebelakang.
Orang berbaju hijau itu tertawa dingin.
“Saudara sudah terkena racun yang amat keji, seperminum teh kemudian racun itu akan mulai bereaksi, bersiap-siaplah kau urusi persoalan terakhirmu….”
Ia tak tahu kalau Siauw Ling mengenakan sarung tangan berkulit ular yang kebal terhadap pelbagai macam racun serta tidak mempan ditusuk maupun dibacok.
Sementara Siauw Ling sendiri sedang berpikir dalam hatinya, “Sepasang sarung tangan berkulit ular ini sudah banyak membantu diriku…. andaikata aku tidak memliki benda tersebut, entah bagaimana jadiku….?”
Dia angkat tangan kirinya untuk dipandang sekejap, lalu tanyanya, “Kenapa?”
“Diujung kukuku telah kupolesi dengan racun yang amat keji, tangan kanannmu setelah kena tergores kedalam tubuhmu, sesaat kemudian jiwamu bakal melayang….”
“Haah…. hah…. senjata rahasia segera dipolesi dengan racun keji, sedang dikuku jari tangan kanan mengandung pula racun keji, rupanya kau adalah seorang ahli dalam menggunakan racun, sayang cayhe tidak mempan terhadap pelbagai macam-macam racun” jengek Siauw Ling sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendengar ucapan itu, orang berbaju hijau tadi berdiri tertegun.
“Coba angkat tangan kirimu, dan periksalah dengan seksama!”
“Tak usah diperiksa lagi, cayhe yakin tidak mempan terhadap jenis racun macam apapun.”
Tapi orang berbaju hijau itu tidak percaya, kembali dia berkata, “Racun yang berada didalam kukuku jauh berbeda dengan racun biasa, sekalipun jago lihay yang bagaimana ampuhpun asal terkena oleh racun itu sesaat kemudian daya kerja racun itu segera akan menyebar keseluruh badan!”
“Kalau saudara memang tidak percaya dengan perkataanku, apa daya? akupun tak bisa berbuat apa-apa lagi.”
Tiba-tiba ia merangsek kedepan, telapaknya langsung diayun menghajar dada lawan.
Menyaksikan pihak musuhnya masih sanggup melancarkan serangan dahsyat kepadanya orang berbaju hijau itu amat terkesiap buru-buru diangkat tangan kirinya untuk menyambut kedatangan serangan tersebut.
Sejak mencekal pergelangan kirinya tadi Siauw Ling sudah menaruh perhatian khusus atas lengan tersebut, sebab ia merasa ada suatu kelainan pada lengan tadi. Kini melihat orang itu ayun tangan kirinya buru-buru sang telapak ditekan kebawah dan berkelit kesamping.
Menggunakan kesempatan itulah ia perhatikan lengan kiri lawan dengan lebih seksama, tampaklah diujung lengan muncul tiga buah jarum hitam yang panjang mencapai dua coen lebih.
Rupanya orang itu mengenakan lengan palau yang terbuat dari baja.
Siauw Ling segera tertawa dingin.
“Ooooh…. rupanya saudara hendak menggunakan lengan bajumu sebagai senjata tajam hmm…. pemikiran semacam ini benar-benar terlalu lucu….”
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak menggubris perkataan si anak muda itu, dan saat yang bersamaan tangan kiri serta tangan kanannya sekaligus melancarkan tiga buah serangan.
Beberapa jurus serangan itu bukan saja amat rapat bahkan cepat bagaikan kilat, memaksa Siauw Ling harus mundur tiga langkah kebelakang. Suatu saat berhasil memperoleh kesempatan baik, sepasang telapaknya segera bekerja mengirim beberapa buah serangan berantai.
Sekejap mata delapan jurus seragan telah dilancarkan kemuka, pikirnya, “Andaikata aku tak berani menundukkan orang ini, mungkin sulit bagiku untuk memperoleh obat penawar itu.”
Sedikit saja pikirannya bercabang, orang berbaju hijau itu kembali mendapatkan kesempatan untuk melancarkan serangan balasan segera terjadilah suatu pertarungan yang amat sengit.
Terasalah cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, setiap kali tangan besinya yang melancarkan serangan menunjukkan kelemahan-kelemahan, telapak kanan segera menyusul datang menutupi kelemahan tersebut, hingga dengan demikian bukan saja serangannya makin dahsyat bahkan pertahanan tubuhpun semakin ketat.
Siauw Ling sendiri meskipun memakai sarung tangan berkulit ular, tetapi menjumpai kilatan cahaya diujung tangan besi lawan, timbul rasa jeri dalam hatinya, ia tak berani saling membentur dengan tangan lawan.
Dengan adanya persitiwa tersebut, bukan saja Siauw Ling merasakan kerugian yang besar, untuk beberapa saat lamanya ia merasa tidak memiliki kemampuan untuk membalas.
Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan rendah berkumandang datang, “Tahan!”
Mendengar seruan itu, orang berbaju hijau tadi segera mengundurkan diri dan meloncat mundur lima depa kebelakang.
Siauw Lingpun berhenti menyerang dan berpaling, tampaklah seorang pemuda tampan berbaju biru dengan membawa sebuah seruling kumala berdiri didepan pintu.
Begitu berjumpa dengan pemuda berbaju biru itu, orang yang berbaju hijau yang jumawa dan sombong tadi segera menghunjukkan hormat dengan sikap sangat merendah, serunya, “Menjumpai kongcu….”
“Tak usah banyak adat” pemuda berbaju biru tadi ulapkan tangannya sambil melangkah masuk kedalam ruangan.
Orang berbaju hijau itu segera mengiakan dan mengundurkan diri kesamping.
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan pisau belati pemuda berbaju biru itu alihkan pandangannya keatas wajah Siauw Ling, setelah diperhatikan beberapa saat lamanya ia menegur, “Siapa saudara?”
Napsu membunuh terlintas diatas wajahnya, tapi ucapan tersebut diutarakan dengan nada sopan.
“Cayhe Siauw Ling adanya!”
Begitu mendengar nama tersebut, hawa gusar yang semula telah menyelimuti wajah orang berbaju biru itu seketika lenyap tak berbekas, dengan senyuman dikulum buru-buru sahutnya, “Ooh, kiranya Siauw heng, sudah lama kudengar nama besarmu….”
Ia merandek sejenak kemudian terusnya, “Sejak bertemu dengan diri Siauw heng tadi, dalam hati aku sudah menaruh curiga jangan-jangan dirimu. Eeei…. sedikitpun tidak salah, ternyata dugaanku tidak meleset….”
“Tolong tanya siapakah sebutan heng thay?”
Orang berbaju biru itu termenung sebentar, kemudian menjawab, “Sahabat sekalian memanggil aku dengan sebutan Giok Siauw Lang Koen atau lelaki tampan berseruling kumala.”
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, pikirnya, “Giok Siauw Lang koen? bukankah dia adalah kakak misan dari Lan Giok Tong….?”
Segera katanya, “Saudara mempunyai julukan sebagai lelaki tampan berseruling kumala, dalam genggamanpun membawa sebuah seruling kumala. Aku rasa kau pastilah seorang ahli dalam permainan seruling.”
“Kepandaian mengenai irama musik?” seru Giok Siauw Lang Koen. “Aaah siauwte sih cuma mengerti sedikit banyak saja.”
“Oooh, orang itu terlalu sungkan” pikir pemuda kita dalam hati. “Didengar dari permainan serulingnya kemarin malam…. aaai…. sungguh membuat orang ikut terbuai dalam kesedihan sehingga tanpa terasa ikut mengucurkan air mata…. permainan serulingnya memang betul-betul hebat….!”
Ketika ditunggunya lama sekali Siauw Ling belum juga memberi jawaban, ia berkata lagi, “Siauw heng tentu mempunyai kepandaian yang sangat mendalam bukan dalam ilmu permainan musik?”
“Siauwte? ooh…. hoo…. sama sekali tak mengerti.”
“Siauw heng terlalu merendah….” sinar matanya dialihkan keatas wajah orang berbaju hijau itu, terusnya. “Siauw heng, apa sebabnya kau sampai bergebrak dengan pembantu siauwte? harap kau suka menerangkan bila ada kesalahan aku pasti akan mohon maaf kepada dirimu.”
“Sikapmu terlalu sungkan terhadap diriku, pastilah hal ini ada sebab-sebabnya” pikir Siauw Ling dalam hati. “Perduli amat kau mempunyai maksud apa, aku harus menggunakan kesempatan baik ini untuk minta obat penawar darinya.”
Berpikir demikian ia lantas berkata, “Minta maaf sih tak usah, hanya saja seorang saudara cayhe telah terluka diujung anak panah pengejar nyawa berkepala ularnya, karena itu sengaja aku datang kemari untuk minta sedikit obat penawar.”
Giok Siauw Lang Koen segera berpaling kearah orang berbaju hijau itu, tegurnya, “Huuh! kembali kau lukai orang dengan senjata rahasia beracun itu, ayoh cepat serahkan obat penawarnya kepadaku.”
“Mereka hendak menempati bangunan rumah ini dengan kekerasan, maka terpaksa aku harus memberikan sedikit kelihayan kepadanya agar mereka tahu diri dan segera mengundurkan diri, apa perbuatan ini salahku?” bantah orang berbaju hijau.
“Katanya saja mereka adalah majikan dan pembantu” batin pemuda itu. “Tapi kalau dilihat sedikitpun tidak mengenal kesopanan….”
Walaupun diluaran orang berbaju hijau itu membantah perkataan majikannya tapi tangan kanannya merogoh kedalam sakunya juga dan mengambil keluar sebuah botol porselen, dari situ ia keluarkan sebutir pil dan diserahkan ketangan Siauw Ling.
Sebagai seorang jago yang lihay apalagi mengenakan sarung tangan pemuda kita tidak takut dikecundangi orang, ia segera sambut pemberian pil itu.
Dengan sorot mata yang tajam Giok Siauw Lang Koen awasi terus tangan besi orang berbaju hijau itu, rupanya dia takut pembantunya melancarkan serangan bokongan kepada si anak muda itu.
Sebaliknya orang berbaju hijau itu sudah tahu kalau Siauw Ling tidak mempan terhadap serangan racun, maka diapun tidak menggunakan akal apa-apa, pil tadi dengan cara yang sopan diserahkan ketangan lawan.
Menanti jago kita sudah menerima pemberian pil tadi, Giok Siauw Lang Koen baru berkata sambil tersenyum, “Asalkan temanmu itu benar-benar terkena racun dari anak panah pengejar nyawa berkepala ular ini, setelah menelan pil tersebut tanggung didalam satu jam lukanya akan sembuh dan kesehatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”
“Terima kasih atas pemberian obat penawar itu!”
Giok Siauw Lang Koen mendehem ringan.
“Siauwtepun mempunyai suatu permintaan yang kurang pantas, harap Siauw heng suka mengabulkan.”
“Permintaannya kalau memang tidak pantas diutarakan, kenapa suruh aku menyanggupi?” pikir Siauw Ling didalam hati.
Tapi diluaran dia lantas bertanya, “Persoalan apa? asal siauwte dapat melakukan pasti akan kukabulkan tanpa membantah.”
“Pada malam ini siauwte ada janji dengan seorang teman untuk membicarakan suatu masalah didalam bangunan rumah ini, aku tidak ingin ada orang lain yang ikut hadir dalam pembicaraan tersebut, oleh sebab itu mohon persetujuan dari Siauw heng untuk memberikan kebebasan kepada diriku kali ini saja.”
Biji mata Siauw Ling berputar mengerling sekejap kesamping, ia lihat orang berbaju hijau bertangan besi itu sedang berdiri dengan wajah penuh kegusaran, rupanya ia merasa sangat tidak puas dengan sikap Giok Siauw Lang Koen yang begitu sungkannya terhadap diri Siauw Ling, timbul rasa heran dalam hatinya.
“Kenapa sikap majikan dan pelayan itu terhadap diriku jauh berbeda satu sama lainnya?” ia membatin. “Kalau sang majikan begitu sungkan terhadap diriku, sebaliknya sang pelayan begitu gusar dan tidak puas, entah dalam hati apa aku orang she Siauw telah menyalahi dirinya?”
Terdengar Giok Siauw Lang Koen berkata kembali, “Entah bagaimanakah menurut pendapat Siauw heng?”
“Pada saat ini sulit bagi siauwte untuk mengambil keputusan, cayhe harus rundingkan dahulu persoalan ini dengan orang cianpwee kemudian baru memberi jawaban kepada heng thay. Entah bagaimana menurut pandanganmu?”
“Heeh…. heeh…. kau maksudkan sipengemis tua dan sitoosu tua hidung kerbau itu?” jengek Giok Siauw Lang Koen sambil tertawa dingin.
“Sipengemis tua itu adalah cakal bakal angkatan tua dari perkumpulan Kay Pang. Sedangkan dia tootiang itu bukan lain adalah Boe Wie Tootiang ciang bunjien dari partai Bu tong.”
“Hmm, partai Bu tong hanya merupakan nama kosong belaka, ngakunya saja pemimpin dari lima partai pedang tersebut, dalam kenyataan jurus pedangnya cuma kepandaian kucing kaki tiga belaka, begitupun mengaku loocianpwee….”
Dengan wajah dingin silelaki tampan berseruling kumala itu mendongkol dan menghembuskan napas panjang terusnya, “Sedangkan perkumpulan Kay Pang? hmm, lebih memalukan lagi, segerombolan tua muda berpakaian rombeng yang dekil minta makan sana minta derma sini…. Huh, walaupun jumlahnya banyak, tak seorangpun yang sanggup menahan sebuah pukulanku!”
Mendengar ocehan tersebut Siauw Ling tertegun segera pikirnya, “Sungguh besar amat perkataan orang ini, Shen Bok Hong sendiripun belum tentu berani mengucapkan kata-kata sombong seperti ini.”
Diluaran dengan suara lembut sahutnya, “Saudara berani pandang rendah partai Bu tong serta perkumpulan Kay pang, aku rasa kepandaian silatmu pasti dahsyat sekali tetapi siauwte adalah salah satu sahabat mereka dan merupakan angkatan muda yang menghormati dia, oleh sebab itu menghadapi setiap masalah saya harus rundingkan dulu dengan dia sebelum mengambil keputusan.”
“Yang penting adalah Siauw heng menyetujui untuk tinggalkan tempat ini, sisanya kalau tak mau pergi dari sini berarti mencari penyakit buat diri sendiri.”
“Soal ini biarlah cayhe rundingkan lebih dahulu dengan mereka berdua. Secepatnya saya kembali memberi jawaban!”
Tidak menunggu Giok Siauw Lang Koen menanggapi lagi, ia segera putar badan dan melangkah keluar.
Dengan perasaan tak puas orang berbaju hijau bertangan besi itu mendengus dingin sementara dia siap melakukan pengejaran Giok Siauw Lang Koen telah ulapkan tangannya mencegah.
Begitulah dengan langkah lebar Siauw Ling berjalan menuju keluar ruang, setibanya disisi Sang Pat sambil angsurkan pil pemusnah racun itu ketangannya ia berseru, “Cepat telan pil penawar racun ini!”
Racun dari anak panah pengejar nyawa berkepala ular benar-benar sangat keji meskipun Sang Pat terkena belum lama tapi saat itu keadaannya sudah payah, wajahnya berubah jadi hijau membesi sedang keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya.
Sekalipun begitu kesadaranya masih tetap utuh ia segera menerima pil penawar racun itu dari tangan toakonya dan ditelan kedalam perut.
Menyaksikan penderitaan dari Sang Pat, diam-diam Siauw Ling merasa bergidik, pikirnya, “Anak panah pengejar nyawa berkapala ular itu sungguh luar biasa ampuhnya, entah bagaimanakah khasiat dari obat penawar itu? apakah seperti yang dikatakan lelaki tampan berseruling kumala itu, dalam waktu singkat racunnya bakal lenyap?”
Persoalan nomor satu yang dipikirkan Siauw Ling pada saat ini adalah berharap agar luka yang diderita Sang Pat cepat sembuh, oleh sebab itu dengan pandangan tajam ia awasi terus perubahan dari saudara angkatnya itu.
Sedikitpun tak salah, obat penawar racun keji itu luar biasa manjurnya, tidak lama setelah Sang Pat menelan obat itu khasiatnya segera kelihatan peluh dingin yang membasahi batok kepalanya mulai lenyap.
Siauw Ling tarik napas panjang, bisiknya kepada Tu Kioe, “Bawa dia ketempat yang tenang dan aman suruh dia atur pernapasan dan jangan banyak bergerak menurut pemilik obat penawar ini didalam satu jam kekuatannya akan pulih kembali seperti sedia kala.”
Sang Pat melirik sekejap kearah saudaranya bibirnya bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya maksud itu diurungkan, dibawah bimbingan Tu Kioe berjalanlah dia dibawah sebuah pohon dan mengatur pernapasan disitu.
Dalam pada itu Soen Put shia menghampiri jago kita sambil tanyanya dengan suara setengah berbisik, “Sudah kau temui orang itu?”
“Ehm, majikan dan pelayannya sudah kujumpai semua!”
“Kami temui seorang pemuda berjubah biru membawa seruling masuk kedalam ruangan” Boe Wie Tootiang menambahkan.
“Dia adalah sang majikan, ada seorang lagi manusia berbaju hijau bertangan besi dialah sang pelayan yang melukai saudara Sang dengan panah beracunnya!”
Boe Wie Tootiang megerutkan alisnya.
“Sang pembantu saja sudah begitu lihay ilmu silat yang dimiliki majikannya psti lebih lihay lagi.”
“Bukan lihay saja bahkan jumawa dan sombong” batin Siauw Ling didalam hati. “Dia sama sekali tidak memandang sebelah matapun terhadap partai Bu tong serta Kay Pang kalian.”
Tapi karena merasa bahwa pernyataan yang sejujurnya malah bakal melukai nama baik kedua orang itu, terpaksa ia menahan diri.
Sembari mengangguk sahutnya, “Bagaimanakah ilmu silat yang dimiliki sang majikan, cayhe belum pernah mencobanya. Tapi aku sudah bergebrak dengan orang berbaju hijau itu, kepandaian silatnya memang sangat lihay.”
“Apakah kau sudah tanyakan siapa namanya?”
“Ia tidak mengatakan namanya, tapi ia menyebut julukannya sebagai Giok Siauw Lang Koen.”
“Giok Siauw Lang Koen? Giok Siauw Lang Koen?” gumam Soen Put shia tiada hentinya. “Belum pernah aku dengar nama orang ini!”
“Kalau ditinjau dari umurnya, kurang lebih dua puluh lima enam tahunan” ia termenung sebentar, lalu tambahnya. “Kalau cayhe tidak salah menduga, Giok Siauw Lang Koen adalah sipeniup seruling yang kita dengar permainan musiknya sewaktu ada dikuil keluarga Loo.”
“Kalau begitu dia adalah sahabat kita, sudah sepantasnya kalau kita pergi menjumpai dirinya” kata Boe Wie Tootiang.
“Tak usah” Siauw Ling menggeleng. “Tabiatnya suka menyendiri dan jumawa, mungkin ia tak sudi bercakap-cakap dengan kita.”
Ia berpikir sejenak, kemudian sambungnya, “Andaikata ia membantu kita secara diam-diam pstilah disebabkan suatu sebab tertentu ini….! sikap Giok Siauw Lang Koen terhadap diriku masih terhitung rada sungkan, tapi sipelayan berbaju hijau itu selalu pandang diriku bagaikan orang yang paling dibencinya sepanjang hidup, ia terus menerus melototi diriku dengan pandangan gusar. Seakan jiwaku setiap detik bisa dicabutnya.”
“Wah…. waah, kalau begitu orang itu memang kukoay sekali” seru Soen Put sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Selama aku sipengemis tua berkelana didalam dunia persilatan, memang sering sudah kujumpai manusia aneh berwatak dingin, tapi manusia yang memandang setiap orang sebagai musuhnya belum pernah kutemui.”
“Masih ada banyak persoalan yang tidak berhasil cayhe paham, tapi kalau dipikir dibalik persitiwa tersebut tentu mempunyai sebab-sebab tertentu!” ujar Siauw Ling perlahan.
“Apa sebabnya?”
“Mungkin persoalan ini mempunyai sangkut pautnya dengan enci Gak Siauw Cha….” batin pemuda kita, sebelum duduknya perkara dibikin jelas ia merasa tidak leluasa untuk bicara terus terang, maka sahutnya, “Sulit bagi cayhe untuk membuat dugaan terhadap duduknya perkara itu, rasanya lebih baik kita nantikan saja perkembangan selanjutnya.”
Rupanya Boe wie Tootiang telah mengetahui bahwasanya Siauw Ling menemui kesulitan untuk memberi jawaban, segera ia memberi bisikan kepada Soen Put shia untuk tak banyak bertanya.
Siauw Ling sendiripun segera alihkan pembicaraan mereka kesoal lain, katanya, “Sewaktu Giok Siauw Lang Koen menyerahkan pil penawar racun itu kepadaku tadi, iapun sudah ajukan sebuah syarat.”
“Apa syaratnya itu?”
“Dia minta kita segera tinggalkan tempat ini.”
“Kenapa?” timbrung sisegulung angin Peng Im penasaran. “Apakah tempat ini milik mereka?”
“Katanya ia mau menjumpai seorang sahabatnya ditempat ini, dan tidak ingin pertemuannya itu terganggu oleh kehadiran kita.”
“Kalau memang begitu, pinto rasa ada baiknya kita segera tinggalkan tempat ini saja” Boe wie Tootiang usulkan.
“Apakah saudara siauw telah menyanggupi permintaannya itu?” tanya Soen Put shia.
“Cayhe tidak berani sembarangan mengambil keputusan, maka sengaja aku datang kemari untuk ajak loocianpwee berdua merundingkan persoalan ini.”
“Menurut penglihatan aku sipengemis tua, kendati ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw Lang Koen bagaimana lihaynyapun, kita tak boleh mengundurkan diri dengan begini saja.”
Siauw Ling tertegun, pikirnya dalam hati, “waah…. rupanya loocianpwee ini masih mempunyai rasa ingin menang yang jauh tidak kalah dengan kaum muda.”
Meski berpikir begitu, diluaran ia berkata, “Ucapan Giok Siauw Lang Koen meski diutarakan dengan amat sungkan, tapi nadanya tegas dan serius, andaikata kita menampik mungkin saja dapat menimbulkan pertikaian yang seru.”
“Kalau kita harus mengundurkan diri dengan begini saja, bukankah tindakan kita ini sama artinya melemahkan kekuatan sendiri?”
“Lalu menurut pendapat loocianpwee?”
“Haah…. haah…. bagaimanapun juga dia harus memberikan pertanggung jawabnya terhadap kita.”
Ucapan terakhir ini diutarakan dengan suara lantang, rupanya dia ada maksud agar orang yang ada didalam ruangan ikut mendengar perkataannya itu.
Sedikitpun tidak salah, dari balik sermabi sebelah barat segera muncul suara teguran dari Giok Siauw Lang Koen, “Siapa yang telah mengucapkan perkataan begitu tak tahu adat?”
Diam-diam Siauw Ling merasa keheranan, pikirnya, “Kalau dikatakan Soen Put shia sengaja hendak mencari gara-gara dengan Giok Siauw Lang Koen hal ini rada tidak mirip, entah apa sebabnya ia bersikeras tak mau pergi dari sini?”
Dalam pada itu Soen Put shia telah menjawab, “Aku sipengemis tua yang bicara!”
Terdengar suara tertawa dingin berkumandang datang, disusul munculnya lelaki tampan berseruling kumala selangkah demi selangkah mendekati mereka, wajahnya dingin penuh napsu membunuh, mulutnya bungkam dalam seribu bahasa tapi sepasang matanya memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan hati.
“Celaka!” pikir Siauw Ling. “Rupanya pertarungan tak bisa dihindari lagi….”
Walaupun ia belum pernah bergebrak melawan Giok Siauw Lang Koen, tapi teringat akan kelihayan ilmu silat yang dimiliki ornag berbaju hijau itu, ia dapat membayangkan sampai dimanakah kelihayan ilmu silat majikannya.
Karena kuatir Soen Put shia terluka didalam sebuah serangan kilatnya, buru-buru pemuda kita lintangkan badannya menghadang didepan pengemis tua itu, serunya seraya menjura, “Harap heng thay jangan gusar!”
“Siauw heng” tegur lelaki tampan berseruling kumala dengan alis berkerut. “Apakah kau hendak mewakili orang lain untuk memusuhi diriku….?”
“Eeei…. secara baik-baik aku menasehati kau malah berkata dengan begitu tak tahu adat kepadaku” batin Siauw Ling gusar segera serunya, “Bukankah sejak tadi sudah cayhe utarakan bahwa persoalan ini tak bisa diputuskan oleh aku orang she Siauw seorang diri, dan kini kami sedang merundingkan persoalan ini pergi atau tetap tinggal belum diputuskan. Apa sebabnya heng thay datang kemari dengan marah-marah? bukankah tindakanmu ini sama artinya memandang rendah diri kami?”
Air muka lelaki tampan berseruling kumala itu berubah hebat, ujarnya ketus, “Cayhe tidak ingin menyusahkan dirimu, lebih baik berpeluklah tangan disamping kalangan, tak usah kau campuri urusanku ini.”
“Heng thay, kalau kau memaksa terus menerus, jangan salahkan kalau aku orang she Siauw terpaksa harus turut campur.”
“Jadi kalau begitu harus turut ambil keputusan untuk mengambil bagian dalam persoalan ini?”
Siauw Ling mengangguk.
“Keadaan memaksa demikian, apa boleh buat terpaksa aku harus melakukan juga.”
Air muka Giok Siauw Lang Koen berubah berulang kali, jelas dalam hatinya terjadi pergolakan kencang, matanya memandang tubuh Siauw Ling tajam-tajam, rupanya setiap saat ia ada maksud turun tangan.