Jilid 24
Tampak sepasang mata Liok Hoo bersinar tajam, dia melirik sekejap kearah Siauw Ling kemudian secara tiba-tiba menjerit lengking dan melepaskan cekalannya.
Setelah berkelana selama ini didalam dunia kangouw, pengalaman yang dimiliki Siauw Ling tidak seperti dahulu lagi, dalam hati dia segera berpikir, “Kendati tenaga kweekang yang kusalurkan tidak terlampau berat tetapi kalau dia tak mengerti akan ilmu silat, serangan ini pasti akan membuat wajahnya berubah jadi pucat pasi, darah panas dalam rongga dadanya bergolak kencang. Maka bisa menjerit semacam itu? lagi pula saluran hawa kweekangku menyerang tubuhnya dengan sangat cepat. Jelas perempuan ini sama sekali tidak menderita luka oleh seranganku tadi namun sengaja dia lepaskan sumpit dan berpura-pura kaget. Jeritannya jelas ada maksud memberi tanda kepada komplotannya….”
Karena berpikir begitu, dia lantas menjengek dengan suara dingin, “Nona, pandai benar kau berlagak, dan bagus sekali perbuatanmu!”
“Kongcu” seru Liok HOo sambil berpaling kearah Ceng Yap Chin. “Kenapa kacungmu ini begitu tak sopan….”
Ceng Yap Chin tertawa hambar.
“Apakah dia telah melukai diri nona?”
“Sekalipun aku yang rendah tidak sampai terluka, tetapi hatiku dibikin amat terperanjat.”
“Ia tak pernah bersentuhan dengan jari tangan nona, kulit tubuhpun tak pernah bersenggolan, dari mana ia bisa mengejutkan hati nona?”
Sepasang biji mata Liok Hoo yang tajam menatap wajah Ceng Yap Chin dalam-dalam, kemudian balik tanyanya, “Benarkah kongcu tidak menyaksikan kejadian barusan?”
“Aku tidak melihatnya.”
Perlahan-lahan Liok Hoo bangkit berdiri serunya, “Kendati aku yang rendah berkecimpungan didalam pekerjaan seperti ini tetapi sejak kecil aku sering membaca buku pelajaran mengenai kesusastrawan, lagi pula perbuatanku memakai adat kesopanan Kongcu menaruh perhatian kepadaku hal ini merupakan suatu kebanggaan dari aku yang rendah, sekalipun kongcu yang pandang rendah diriku, itupun tak mengapa. Tetapi kongcu telah membiarkan seorang kacung kecil berkesiap begitu tak tahu adat kepada aku yang rendah, hal ini sungguh keterlaluan sekali….”
“Adikku, cepat duduklah” buru-buru Pek Bwee menarik Liok Hoo agar duduk kembali. “Jan siangkong adalah orang yang ramah dan agung, sudah tentu dia punya asal usul yang besar, kenapa adik boleh bersikap begitu tak tahu sopan dihadapan siangkong.”
Meminjam kesempatan itulah Liok Hoo melepaskan diri dari rasa malu, dan perlahan-lahan duduk kembali kekursinya.
Setelah itu Pek Bwee baru berpaling lagi kearah Ceng Yap Chin dan berkata, “Harap kongcu jangan marah, tabiat dari adikku ini selamanya memang begitu. Aaai…. oleh sebab itu entah sudah membuat salah terhadap beberapa banyak tetamu, ada pepatah yang mengatakan orang besar tidak akan menyalahkan orang kecil. Kongcu adalah berasal dari keluarga ningrat, tentunya tidak akan marah terhadap kami kaum pelacur bukan? aku yang rendah hormati secawan arak untukmu.”
Dia angkat cawan dan keringkan isinya hingga habis.
“Bagus sekali!” pikir Siauw Ling dihati. “Putar kesana putar kemari mereka selalu berusaha mencari kesempatan untuk meloloh dia dia minum arak atau makan sayur. Rupanya dalam arak dan sayur ini benar-benar ada yang tidak beres.”
Ceng Yap Chin angkat cawan menunjukkan gerakan merandek hendak ikut meneguk, namun sebelum arak menempel bibir ia sudah letakkan kembali cawan itu keatas meja.
Pek Bweepun tidak memaksa lebih lanjut, ia berpaling kearah Siauw Ling dan ujarnya, “Siauw Koan kia, ini hari adik Liok Hoo datang kemari adalah atas undangan dari siangkong kalian, didalam peraturan kami maka orang lain tak boleh mengganggunya asal dalam ini siangkong kalian tidak membawanya pergi tidur, maka Siauw Koan kia ada kegembiraan datanglah lagi besok malam, undanglah adik Liok Hooku ini. Maka saat itu meski Siauw Koan kia akan mengapakan dirinya, dia tidak akan marah.”
Siauw Ling bungkam dalam seribu bahasa. Sepasang pipinya terasa panas dan jengah, seandainya ia tidak mengenakan topeng diwajahnya niscaya semua orang akan melihat pipinya yang telah berobah jadi semu merah itu.
Sang Pat yang sudah berpengalaman dalam hal rayuan kaum pelacur, takut kalau Ceng Yap Chin serta Siauw Ling terpikat oleh kedua orang gadis itu, ia segera maju menghampiri sambil berkata, “Siauw Koan kia ini walaupun hanya seorang kacung dari kongcu kami tapi sejak kecil kedua orang itu main bersama, sehingga hubungan mereka boleh dibilang erat sekali.”
“Suya, ucapanmu ini rada keliru” tukas Pek Bwee sambil geleng kepala.
“Bagian mana yang keliru?”
“Kalau menurut pandanganku aku yang rendah, usia kongcu paling sedikit ada dua puluh tiga empat tahunan, sedang Siauw Koan kia ini kendati mempunyai potongan badan yang hampir mirip kongcu tetapi wajahnya yang masih kekanak-kanakan menunjukkan kalau umurnya paling banter baru lima enam belas tahunan, usia mereka berdua terpaut delapan sembilan tahun, mana mungkin mereka dibesarkan bersama?”
“Sungguh lihay budak ini” pikir Sang Pat, namun ia tetap tersenyum dan menjawab, “Nona, kau tidak tahu, kacung dari kongcu kami ini selamanya paling tidak suka memikirkan hal yang bukan-bukan, oleh sebab itu walaupun telah berusia dua puluh tahun tetapi wajahnya masih kelihatan seperti kekanak-kanakan.”
Mendadak dari luar kamar berkumandang datang suara seruan, “Pek Bwee, Liok Hoo, terima tamu!”
Pek Bwee serta Liok Hoo segera bangun berdiri, katanya, “Kongcu, harap tunggu sebentar, setelah aku yang rendah terima tamu seger akan balik kemari lagi.”
Ceng Yap Chin belum pernah memasuki rumah pelacuran, melihat kedua orang ia bangun hendak berlalu, dia tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sang Pat segera lintangkan badannya menghadang jalan pergi mereka, serunya, “Nona berdua akan pergi kemana?”
“Kami hendak menerima tamu sebentar!”
“Hmm, selama berada diibu kota kongcu kami sudah berjumpa dengan pelbagai pelacur kenamaan, tetapi selamanya kami larang mereka untuk pergi menjumpai tetamu lain, berapa sih harga kalian berdua? bukalah harga dan kami akan mengepoolnya semalam suntuk.”
“Peraturan dari gedung kami memang begini, sekalipun kongcu kalian mempunyai banyak emas, kami berduapun tidak berani terlalu kemaruk sebab kami tak berani melanggar peraturan.”
“Tahukah kalian siapakah kongcu kami?”
“Tidak tahu!”
“Dia adalah Jie Kongcu dari Jan tayjien pembesar tinggi daerah Kang lam! Hmmm…. siapapun mengenal dirinya.”
Liok Hoo tertawa hambar.
“Sekalipun putra raja yang datang sendiripun, kami tak dapat melanggar peraturan.”
Sang Pat tertawa dingin.
“Malam ini, kalian berdua jangan harap bisa berlalu dari sini….” ia menoleh kearah Tu Kioe dan perintahnya, “Undang masuk pelayan itu.”
Tu Kioe mengiakan dan segera keluar dari ruangan dengan langkah lebar, sesaat kemudian dia telah masuk kembali mengiringi seorang lelaki berbaju hijau bertopi kecil.
Sang Pat memandang sekejap wajah lelaki itu, kemudian tegurnya, “Apakah kau yang bertugas malam?”
“Sedikitpun tidak salah, ada pesan apa?”
“Berapapun harga dari kedua orang nona ini kongcu kami suruh ambil keputusan untuk pemborongnya. Mereka tak usah menjumpai tetamu lain lagi….”
Pelayan berbaju hijau itu melirik sekejap wajah Pek Bwee serta Liok Hoo kemudian dengan wajah serba salah termenung sejenak akhirnya dia berkata, “Kedua orang nona ini adalah nona yang paling top didalam gedung Sam kang Soe It kami ini, langganan mereka kebanyakan adalah kaum bangsawan serta kaum ningrat daerah sekitar sini, saking banyaknya tamu yang harus mereka layani sehingga mereka berdua terpaksa harus digilir. Bilamana kongcu hendak memborong mereka berdua, hamba takut kalau malam ini gedung Sam Kang Soe It bakal terjadi kegaduhan!”
“Bangsawan serta kaum ningrat disebuah kota kecil macam Ooh Chioe masih belum terhitung seberapa. Setelah kongcu kami tertarik pada kedua orang nona ini, bagaimanapun juga mereka harus tetap tinggi disini.”
“Begini saja!” akhirnya pelayan itu berkata sambil tertawa paksa. “Hambaakan membawa kedua orang nona ini pergi menemui para tetamu lebih dulu, setengah jam kemudian kami pasti akan menghantarkan kembali mereka berdua.”
“Orang ini bicaranya tak tahu adat” seru Ceng Yap Chin ketus. “Dia ada maksud melenyapkan kegembiraanku, kasih hadiah tempelengan satu kali!”
Tu Kioe mengiakan, dia segera maju mengirim satu babatan.
Melihat datangnya babatan, buru-buru pelayan itu berkelit kesamping.
Tapi serangan dari Tu Kioe cepat laksana sambaran kilat, baru saja orang itu berhasil menghindarkan diri dari ancaman tangan kiri tiba2 telapak kanan Tu Kioe telah menyusul tiba.
Plok! dengan telak serangan tadi bersarang diatas pipinya.
Berat sekali gaplokan tersebut, tubuh pelayan itu segera mundur sempoyongan dan hampir saja roboh keatas tanah.
Merasakan dirinya digaplok pelayan itu naik pitam, hardiknya dengan suara keras, “Eeei…. kenapa kau sembarangan memukul orang?”
“Hmm kalau kau berani menggusarkan hati kongcu kami lagi, hati-hati kutebas batok kepalamu!”
Sambil meliuw-liuwkaan pinggangnya yang ramping, dengan cepat Pek Bwee maju menghampiri Tu Kioe, pujinya, “Ehmm, cepat benar seranganmu!”
Melihat pihak mereka sudah turun tangan dan suatu pertempuran mungkin bakal berlangsung, Sang Pat ambil tindakan kilat dari gerakan menghindar diri pelayan tadi ia telah menyadar, bahwa pihak lawan bukan manusia sembarangan, maka laksana kilat badannya menghadang jalan keluar ruangan tersebut.
Sang Pat yang telah memotong jalan pergi Pek Bwee, seraya berkata, “Nona, harap kau segera kembali ketempat dudukmu!”
Pek Bwee menghela napas panjang.
“Sekalipun putra raja yang melanggar hukum, dosanya sama berat dengan rakyat jelata, serangan dari orang itu apakah tidak merasa rada keterlaluan?”
Menggunakan kesempatan dikala Pek Bwee mengajak Sang Pat bercakap-cakap itulah, diam-diam pelayan itu mengatur pernapasan.
“Kedua orang budak ini sombong dan binal” bisik Siauw Ling lirih. “Kalau tidak kita beri sedikit pelajaran, mungkin sulit untuk menundukkannya.”
Ceng Yap Chin mengangguk, mendadak ia bangun berdiri. Tangan kanannya segera diayunkan mencengkeram urat nadi Pek Bwee, bentaknya dengan nada gusar, “Budak busuk, kau berani kurang ajar.”
Menyaksikan datangnya serangan orang amat dahsyat, Pek Bwee tidak berani berlagak pilon, cepat badannya mengigos kesamping.
“Kenapa?” ia berseru.
“Oooh, kiranya nonapun memiliki gerakan tubuh yang demikian cepatnya, tidak aneh kalau kau jadi binal dan tak mau tunduk.”
Sembari berbicara tangannya bergerak cepat, dalam sekejap mata ia telah melancarkan tiga buah serangan berantai.
Ketiga buah serangan itu rata-rata merupakan jurus sakti dari ilmu Bian Ciang, bagi Boe su biasa untuk menghindari salah satu jurus serangan itupun susah tapi dengan gampang Pek Bwee berhasil menghindarkan diri dari ancaman.
“Suatu gerakan yang sangat indah” puji Sang Pat, tangan kanannya bergerak mencengkeram lengan gadis itu.
Pek Bwee doyongkan badannya kemuka lalu laksana kilat berputar, dengan suatu gerakan yang manis kembali dia berhasil menghindarkan diri.
“Nona, rupanya ilmu silatmu luar biasa sekali” seru Sang Pat dengan alis berkerut.
Sepasang telapaknya segera bekerja cepat melancarkan empat buah serangan dengan ilmu Kie Nah Ciu.
Pek Bwee bukan manusia sembarangan kembali ia berhasil meloloskan diri dari keempat buah ancaman tersebut.
Selama menghindarkan diri dari ancaman Ceng Yap Chin serta Sang Pat, gadis itu sama sekali tidak melancarkan sebuah serangan balasanpun.
Siauw Ling yang menyaksikan kehebatan orang diam-diam jadi terperanjat, pikirnya, “Andai kata dayang ini adalah anggota perkampungan Pek Hoa San cung ilmu silat yang mereka miliki jelas jauh diatas Kiem lan serta Giok Lan. Entah apakah mereka?”
Pek Bwee sendiri meskipun secara beruntun berhasil meloloskan diri dari serangan berantai Ceng Yap Chin serta Sang Pat, namun dalam hati diapun sadar bahwa ia telah bertemu dengan seorang jago lihay.
Sehabis mengelak dari serangan Sang Pat segera tegurnya dengan suara perlahan, “Sebenarnya siapakah kalian? orang-orang dari kalangan pemerintahan tak mungkin terdapat manusia-manusia lihay macam kalian.”
“Gerakan tubuh nona sendiri walaupun sakti dan lihay namun pengetahuanmu mengenai dunia persilatan masih kurang….”
Pek Bwee tertawa dingin.
“Kita masing-masing pihak telah saling memahami keadaan lawannya, aku rasa kamupun tak usah merahasiakan asal usul kalian lagi.”
“Dengan kepandaian silat yang nona miliki rasanya kalian berduapun bukan lonte penghuni sarang pelacuran, dapatkah kau sebutkan asal usul kamu berdua?”
Mengikuti garis pakaian yang ia kenakan Pek Bwee guratkan jari tangannya kebawah seolah-olah dibabat dengan golok jubah luar yang ia kenakan mendadak terbelah rata sekali, diikuti badannya bergetar pakaian luar itu rontok keatas tanah hingga tinggal seperangkat pakaian ringkas yang ketat.
Bersamaan itu pula tangan kirinya menyentil, gaun rontok kebawah tinggal celana merah yang membungkus tubuh.
Dalam pada itu Sang Pat telah menghadang didepan pintu. Ceng Yap Chin berdiri didepan meja perjamuan sedangkan Siauw Ling tetap berdiri dibelakang jago muda dari Bu tong pay.
Liok Hoo tetap memakai jubah luar serta gaun panjang, dengan tenang ia duduk dikursinya tanpa berkutik.
Pek Bwee dengan seperangkat pakaian ringkas ditengah-tengah antara Sang Pat serta Ceng Yap Chin. Pada pinggangnya terikat sebuah angkin putih, pada sisi angkin tersoren empat bilah pisau belati yang tajam.
Biji matanya yang jeli perlahan-lahan menyaru sekejap kearah Sang Pat serta Ceng Yap Chin kemudian ujarnya, “Kalian telah terperangkap didalam suatu daerah yang ketat dengan penjagaan, alangkah baiknya kalau sekarang juga mengaku terus terang asal usul kamu sekalian, kalau kalian tetap membangkang. Hmm….! kalau menolak arak kehormatan terpaksa akan kusuguhkan arak hukuman.”
“Besar benar lagak nona, entah apakah kedudukanmu dalam perkampungan Pek Hoa San cung?” tegur Sang Pat.
Pek Bwee rada tertegun, kemudian serunya, “Oooow…. rupanya cuwi sekalian telah menyelidiki dengan jelas asal usul kami?”
“Apa nona anggap gedung Sam Kang Soe It benar-benar amat rahasia letaknya hingga sukar diketahui orang?”
Pek Bwee tidak menyahut, ia berpaling kearah Liok Hoo dan berkata, “Adik Liok Hoo rupanya beberapa orang ini telah menyusup kemari dengan jalan menyaru, walaupun wajah mereka yang sebenarnya dapat dirahasiakan tetapi mereka semua merupakan jago-jago Bulim kelas satu cici rasa tenagaku seorang masih sulit untuk menghadapi mereka bagaimana kalau moay-moay terpaksa harus kuminta pertolongannya untuk membantu?”
Liok Hoo tertawa hambar, perlahan-lahan ia lepaskan jubah serta gaunnya hingga kelihatan pakaian ringkasnya yang berwarna hijau dengan ikat pinggang putih serta empat pisau belati yang tajam seperti halnya dandanan Pek Bwee.
Sang Pat menyapu sekejap wajah kedua orang itu, menyaksikan letak senjata mereka segera ujarnya, “Ilmu silat kedua orang dayang ini berasal dari satu aliran, asal kita berhasil menemukan titik kelemahan dari salah satu diantara mereka, rasanya tidak perlu sulit untuk membereskan kedua orang itu.
“Hmm, jangan sombong dulu, kalau mau omong besar, jajal dahulu kepandaian kami!” seru Liok Hoo, sepasang tangannya diangkat dan tahu-tahu masing-masing tangan sudah mencekal sebilah pisau belati.
“Setelah Liok Hoo menjerit tadi, kemudian pelayan ini kami tahan disini mungkin pihak lawan sudah mendapat kabar dan bersiap sedia” pikir Siauw Ling. “Jangan-jangan suasana tenang pada saat ini merupakan saat bagi mereka untuk melakukan persiapan.”
Terdengar Sang Pat telah menyahut, “Baiklah, biar aku yang coba menjajal kepandaian sakti nona dalam permainan empat bilah pisau belati.”
“Tak usah merepotkan dirimu….” sela Siauw Ling sambil memutar kehadapan si sie poa emas.
Kemudian ia berpaling kearah Liok Hoo dan berkata, “Bukankah nona menaruh rasa dendam terhadap diri cayhe? nah saat inilah kesempatan paling baik bagimu untuk menuntut balas atas sakit hati itu.”
“Heeeh…. heeeh rupanya kau sudah bosan hidup” jengek Liok Hoo sambil tertawa.
Sepasang telapaknya tiba-tiba bergerak, dua jalur cahaya tajam segera berkelebat menusuk tubuh Siauw Ling.
Dibawah sorot cahaya lampu, tampaklah dua bilah pisau belati itu dengan menciptakan selapis cahaya yang sangat tajam mengancam beberapa buah jalan darah penting didepan dada si anak muda itu.
Disebelah sini dia melancarkan serangan dipihak lain Ceng Yap Chin serta Sang Pat merasa terkesiap, pikir mereka, “Sungguh cepat gerakan tubuh dayang ini, jurus serangan yang digunakanpun lihay dan sangat ampuh….” pikiran ini seketika melenyapkan perasaan memandang rendah pihak lawan.
Siauw Ling mengempos tenaga, dengan kaki tanpa menekuk ia mundur satu langkah kebelakang, dengan manis dan sedikit menyerempet bahaya pemuda itu meloloskan diri dari ancaman.
“Hey, sebenarnya siapakah kau dan apa kedudukanmu?” tegur Liok Hoo dengan nada melengak.
“Aku cuma seorang kacung.”
“Hmm, kepandaian silat yang kau miliki rupanya tidak berada dibawah kepandaian kongcu kalian.”
“Terima kasih atas pujianmu!” sementara dalam hati pikirnya, “Kepandaian silat yang dimiliki kedua orang budak ini betul-betul tidak lemah, kalau tidak cepat-cepat kutaklukan mereka hingga musuh tangguh keburu datang…. waah kita bisa berabe….”
Dalam pada itu pelayan berbaju hijau terluka tadi mendadak meloncat bangun dan langsung menubruk kearah Sang Pat, cahaya tajam berkelebat lewat, tahu-tahu sebilah pisau belati telah mengancam tiba.
Sang Pat mendengar dingin, dengan tangan kiri menotok jalan darah kepada pergelangan kanan orang itu, tangan kanannya mengirim satu pukulan mematikan kearah dada lawan.
Serangan itu datang cepat dan dahsyat bahkan memiliki pertahanan yang ketat.
Terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati menggema diseluruh angkasa. pelayan itu mundur dua langkah kebelakang dan roboh terjengkang keatas tanah, darah segar muncrat keluar dari mulutnya. Sesudah berkelejit sebentar akhirnya orang itu mati seketika itu juga. Rupanya Sang Pat masih teringat akan dendamnya karena dibacok kemarin malam, maka serangan yang dilancarkan saat ini bukan saja cepat dan dahsyat bahkan telengas dan keji.
Selesai membinasakan pelayan itu, tangannya segera berputar merampas pisau belati yang ada ditangannya.
Pek Bwee terperanjat tatkala menyaksikan Sang Pat berhasil membinasakan orang itu dalam sekali hantaman, segera pikirnya, “Beberapa orang ini benar-benar merupakan jagoan kelas wahid, rupanya tidak gampang untuk membereskan mereka.”
Menyaksikan kematian dari orang itu, baik Liok Hoo namun Pek Bwee tetap tenang dan serius, sedikitpun tidak terlihat rasa kaget atau tercengang atau sedih.
Meminjam kesempatan dikala kedua orang gadis tadi sedang memperhatikan jenasah pelayan itulah, diam-diam Siauw Ling mengenakan sarung tangan kulit naganya.
Ceng Yap Chin memandang sekejap jenasah pelayan itu, lalu ujarnya dengan suara dingin, “Kalau nona berdua tak mau buru-buru bertobat, pelayan ini adalah contoh yang paling tepat bagi kalian berdua.”
“Hmmm belum tentu!” jawab Pek Bwee ketus. Tiba-tiba ia loncat keatas, telapak kiri dan kanan masing-masing dengan mencekal sebilah pisau belati bergerak menerjang Sang Pat.
Disaat Pek Bwee melancarkan tubrukan, Liok Hoopun ikut meloncat kedepan menubruk Siauw Ling, pisau belati ditangan kanannya segera berkelebat menusuk dadanya.
Dalam hati Siauw Ling sudah ada perhitungan, menyaksikan datangnya babatan maut, dengan cepat dia ayun tangan kanannya mencengkeram belati tersebut.
“Hmm pisau belatiku ini tajamnya luar biasa” pikir Liok Hoo didalam hati. “Sekalipun kau telah melatih ilmu pukulan Thiat Sah Ciang, sama juga akan terluka oleh pisau belati ini.”
Karena berpikir demikian sengaja dia perlambat gerakan pisaunya dan membiarkan Siauw Ling menangkap senjata tersebut, kemudian diam-diam mengerahkan tenaga dan berputar kekiri kanan.
Dalam pikirannya asal ia putar pisau belati itu, niscaya kelima jari Siauw Ling akan terbabat putus dan mengucurkan darah segar, siapa tahu peristiwa yang kemudian berlangsung jauh ada diluar dugaan orang, bukan saja telapak lawan sama sekali tidak terluka, sebaliknya pisau belati sendiri malah tak berkutik sama sekali seolah-olah dijepit oleh sebuah jepitan besi yang kuat.
Diam-diam Liok Hoo salurkan tenaganya makin besar dan berputar semakin kencang, namun sia-sia belaka usaha tersebut sebab pisau belatinya tetap gagal ditarik kembali. Sekarang dia baru sadar bahwasanya ia telah berjumpa dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya selama hidup. Hatinya terasa amat terperanjat, tangan kiri diayun dan segera menghantam pergelangan kanan Siauw Ling.
“Budak ini benar-benar amat keji” pikir si anak muda itu dalam hati. “Aku harus memberi sedikit pelajaran kepadanya.”
Hawa murninya segera disalurkan keluar, tiba-tiba ia tarik telapaknya kemuka dan merampas pisau belati dari tangan dayang itu.
Dalam pada itu telapak kiri Liok Hoo kebetulan sedang membabat kebawah. Plook….! dengan telak bersarang dilengan kanan sendiri.
Begitu tepat Siauw Ling menggunakan tenaganya sehingga tatkala telapak Liok Hoo membabat kebawah tiba-tiba pisau belatinya menyongsong keatas, angin pukulan yang dahsyat tak mungkin ditarik kembali, tak ampun lagi senjata telah makan tuan dan bersarang ditubuh sendiri.
Walaupun begitu ilmu silat yang dimiliki ternyata tidak lemah, pada detik terakhir yang sangat berbahaya ia tahan angin pukulan sehingga kendati sang telapak bersarang diatas lengan kanan sendiri namun tidak sampai menimbulkan luka.
Cepat Siauw Ling tarik kembali tangan kirinya kemudian laksana kilat mencengkeram persendiran sikut kiri Liok Hoo, tangannya disendat dan gadis itu tiba-tiba merasakan tulangnya amat sakit seperti retak. Seluruh tenaganya lenyap dan ia tak sanggup melancarkan serangan balasan lagi.
Setelah berhasil si anak muda itu baru berpaling kearah kalangan lain. Tampaklah Pek Bwee serta Sang Pat sedang melangsungkan suatu pertempuran yang amat seru, dua bilah pisau belati Pek Bwee menyambar kesana kemari dengan jurus-jurus yang cepat dan kilat, semua serangannya mengancam jalan darah penting ditubuh lawan. Sebaliknya Sang Pat membalas dengan serunya pula.
Walaupun Sang Pat membalas dengan serangan yang aneh namun Pek Bwee cukup cekatan dan cerdik, saudara angkat dari Siauw Ling ini tidak berhasil juga mencengkeram pergelangan lawan yang selalu diincarnya itu, namun sebaliknya serangan-serangan maut dari Pek Bweepun tak bisa mengapa-apakan diri Sang Pat pula.
Menjumpai situasi pertarungan itu, Siauw Ling segera berpikir, “Sepuluh gebrakan lagi Sang Pat pasti akan berhasil menguasai keadaan dan dua puluh gebrakan lagi ia dapat merampas pisau belatu ditangan Pek Bwee, tapi situasi pada saat ini amat kritis, mengulur waktu bukan saja tidak menguntungkan bahkan akan merepotkan, biarlah secara diam-diam kubantu diri Sang Pat.”
Diam-diam ia salurkan hawa murninya dan segera melancarkan sebuah totokan dengan ilmu Siuw Loo Sin ci.
Pek Bwee merasakan jalan darah dikaki kanannya tiba-tiba terhantam oleh sejalur hawa serangan yang tak berwujud dan bersuara, seketika itu juga sekujur badannya jadi kaku.
Dengan lenyapnya tenaga perlawanan Pek Bwee maka ketika serangan Sang Pat meluncur tiba, dengan gampangnya ia berhasil merampas senjata gadis itu.
Dengan pengalamannya yang luas, begitu senjata lawan berhasil dirampas ia lantas menyadari bahwasanya Siauw Ling mungkin telah membantu dirinya secara diam-diam.
Pek Bwee sendiri merasakan serangan yang mengena dikakinya sangat berat hingga sama sekali tak ada tenaga perlawanan, ia biarkan dirinya ditotok oleh Sang Pat sementara matanya berpaling kearah Siauw Ling serta Ceng Yap Chin sambil bertanya, “Siapa diantara kalian yang telah membokong diriku?”
“Cayhe, kenapa sih?” sahut Siauw Ling sambil tertawa hambar.
“Ilmu silat apa yang kau gunakan?”
“Djen Bok Hong tahu kalau aku pernah belajar ilmu Siauw Loo Sin ci dari Liuw Sian cu” pikir si anak muda itu. “Aku tak boleh memberitahukannya kepada budak ini.”
Maka segera sahutnya, “Kepandaian satu jari yang aku gunakan!”
Pek Bwee tiak bertanya lagi, ia berpaling kearah Liok Hoo dan bertanya, “Adikku, parahkah luka yang kau derita?”
Dasar watak Liok Hoo memang keras kepala, meskipun persendian tangannya yang terlepas terasa amat sakit hingga merasuk ketulang namun ia tetap membungkam dalam seribu bahasa. Menanti Pek Bwee bertanya ia baru geleng kepala dan menyahut, “Siauw moay sama sekali tidak terluka. cuma saja persendianku tercengkeram sehingga sukar untuk berkutik.”
Tiba-tiba Sang Pat mengambil pisau belati itu dan digerak-gerakan diatas wajah Pek Bwee, ancamannya, “Nona, bila aku masih menyayangi selembar wajahmu yang cantik jelita ini. Jawablah semua pertanyaan yang cayhe ajukan.”
“Apa yang kau ingin tanyakan?”
“Apakah kalian berasal dari perkampungan Pek Hoa San cung?”
“Tidak salah.”
“Sekarang Djen Bok Hong berada dimana?”
“Jejak Djen toa cungcu amat misterius dan sukar diikuti, darimana kami bisa tahu dimanakah sekarang dia berada? mungkin saja secara tiba-tiba dia bisa muncul dalam ruang ini.”
Setelah mendesak sejenak ujarnya kembali, “Kalian menyusup kemari dengan jalan menyaru, aku duga kamu pasti datang dengan membawa maksud-maksud tertentu. Apa tujuan kalian?”
Meskipun diluar ia tetap tegang dan seolah-olah rela wajahnya dirusak namun sebenarnya dalam hati gadis itu merasa amat takut.
Meskipun diluar ia berlagak ketus dan dingin, seakan-akan merasa tidak sayang kendati wajahnya mau disayat-sayat, namun dalam kenyataan hati kecilnya merasa cemas dan takut.
Kembali Sang Pat berkata sambil tertawa hambar, “Nona manis, andaikata wajahnya yang begini cantik jelita bagaikan bidadari sampai teriris oleh senjata cayhe hingga tersayat dan jadi jelek. Oooh…. sungguh suatu kejadian yang patut disayangkan!”
“Menurut anggapanmu pada malam ini apakah kalian masih punya kesempatan untuk meninggalkan gedung Sam Kang Soe It ini?” jengek Pek Bwee sambil tersenyum.
“Justru aku sedang bertanya kepada nona.”
Belum habis ia berkata, mendadak dari luar ruangan berkumandang datang suara bentakan gusar.
“Terimalah sebuah pukulan lagi!”
Ucapan itu membawa nada yang dingin dan ketus, bukan lain dilancarkan oleh Tu Kioe.
Ceng Yap Chin segera melepaskan jubah luarnya sambil meloloskan pedang yang tersoren dipinggang serunya, “Biar aku yang sambut diri Tu heng” seraya berkata dengan langkah lebar ia berjalan keluar.
Suara bentrokan senjata tajampun berkumandang masuk dengan nyaringnya, jelas pertarungan yang telah berkobar disitu telah berlangsung dalam keadaan yang amat seru.
“Ehmm, rupanya pihak lawan sudah mulai melancarkan serangannya” ujar Sang Pat dengan alis berkerut. “Bagaimana kita harus membereskan kedua orang dayang itu?”
“Setiap manusia yang berkecimpungan dalam perkampungan Pek Hoa San cung kebanyakan sudah terlalu banyak melakukan kejahatan” jawab Siauw Ling dengan wajah serius. “Meski demikian kedua orang dayang itu sudah tiada tenaga untuk melawan, janganlah membunuh mereka yang tak berdaya.”
Sang Pat mengangguk, tiba-tiba pisau belati ditangannya diguratkan keatas pipi kiri Pek Bwee sehingga muncul sebuah luka panjang yang mengucurkan darah, katanya lagi dengan nada dingin, “Hmm apakah nona anggap aku tidak tega untuk turun tangan terhadap dirimu? ayo cepat jawab, apakah Djen Bok Hong sudah tiba dikota Ooh Chioe?”
Tiba-tiba Pek Bwee pejamkan matanya, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
“Mau bunuh mau merusak wajahku silahkan kau laksanakan dengan sesuka hatimu tidak nanti aku sudi membuka mulut!”
Wajahnya kelihatan patut dikasihani, namun giginya tetap digigit kencang tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Akhirnya Siauw Ling menghela napas panjang.
“Kita tak bisa menyalahkan mereka. Peraturan dalam perkampungan Pek Hoa San cung memang terlalu ketat, sebagai manusia yang sudah banyak tahun hidup dibawah kekuasaan Djen Bok Hong tak bisa disalahkan kalau dalam hati kecil mereka telah timbul rasa takut yang tak terhingga terhadap cungcunya meskipun kau bunuh mereka juga tak berguna lebih baik totok saja jalan darah mereka.”
“Perkataan toako sedikitpun tidak salah” dua buah jalan darah diatas tubuh Pek Bweepun segera ditotok.
Mendadak kain horden tersingkap kesamping sekilas cahaya tajam laksana kilat meluncur kedalam langsung mengancam punggung Siauw Ling.
Dalam pada itu Siauw Ling sedang menggerakkan sikut kirinya untuk menotok jalan darah Liok Hoo merasakan datangnya ancaman tangan kirinya dengan sebat meraup kebelakang, sekali sambar ia sudah tangkap batang piauw yang mengancam tubuhnya itu.
Diikuti tangan kanannya digetarkan, pisau belati yang berhasil dirampas dari tangan Liok Hoo tadi segera ditumpuk kebalik horden.
Dengusan berat berkumandang datang dari balik horden, rupanya sang pembokong telah terkena timpukan pisau belati itu dengan telak.
Sang Pat menggerakkan tangannya menyambar horden itu lalu ditariknya sekuat tenaga. Kraaak! horden tadi segera robek sebagian.
Dibalik robekan horden itu tampaklah seorang lelaki berbaju serba hijau berdiri kaku didekat dinding, diatas dadanya tertancap sebilah pisau belati yang menembusi ulu hatinya hingga sebatas gagang rupanya orang itu sudah putus jiwanya.
Dibalik dinding terdapat sebuah pintu rahasia.Waktu itu pintu tadi belum sempat tertutup.
“Hati-hati” bisik Sang Pat. “Dalam ruangan ini pasti telah diatur alat rahasia.”
“Lebih baik kita terjang saja keluar dari sini” Siauw Ling mengusulkan tanpa menanti jawaban lagi ia segera menggerakkan tubuhnya menerjang lebih dahulu keluar dari ruangan.
Tampak cahaya pedang berkilauan memenuhi angkasa, Ceng Yap Chin sambil menggerakkan pedangnya sedang bertarung dengan sengitnya melawan seorang lelaki berbaju hijau.
Rupanya Tu Kioe berhasil didesak hingga mundur ketengah halaman, sementara Ceng Yap Chin menghadang didepan pintu.
Sekali berkelebat Siauw Ling lewat disisi Ceng Yap Chin, tangan kirinya diulur kemuka dan segera menyambar pedang ditangan lelaki berbaju hijau itu.
Karena tangannya mengenakan sarung tangan kulit naga yang kebal terhadap pelbagai macam bacokan senjata, bagi orang yang tak mengetahui rahasia ini rata-rata mereka ngeri bercampur kaget tatkala melihat ia rampas pedang orang dengan tangan kosong.
Tatkala pedangnya berhasil dicengkeram Siauw Ling, orang itu tertegun dan menghentikan gerakkannya. Pada saat yang bersamaan itulah tusukan pedang Ceng Yap Chin telah meluncur datang menembusi dadanya.
Mengikuti gerakan tadi Siauw Ling merampas pedang tersebut, kemudian dengan cepat menerjang keluar dari ruangan.
Ketika dia alihkan pedangnya ketengah kalangan, tampaklah olehnya Tu Kioe sedang dikurung rapat-rapat oleh empat orang lelaki, pertarungan sudah berjalan mendekati babak terakhir.
Suasana disekeliling sana terang benderang bagaikan ditengah hari, rupanya ditengah halaman entah sejak kapan telah tergantung beberapa buah lampu lentera yang menerangi sekeliling sana.
Ilmu silat yang dimiliki empat orang lelaki itu benar-benar amat lihay, dua orang menggunakan pedang dan dua orang yang menggunakan golok saling bekerja sama dengan eratnya, serangan-serangan mereka gencar dan dahsyat membuat Tu Kioe harus putar senjata pit serta gelang peraknya sedemikian rupa untuk melindungi keselamatan sendiri, kendati begitu posisinya tetap berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Siauw Ling mengepos napas dan menerjang keatas, pedangnya diobat abitkan kekiri kanan menghalau pergi datangnya tusukan dua bilah pedang.
Tatkala Tu Kioe menjumpai kehadiran Siauw Ling yang datang membantu dirinya, semangatnya segera berkobar kembali, gelang peraknya dengan cepat menghalau datangnya sepasang golok, sementara senjata pit bajanya dengan suatu jurus serangan yang aneh menotok bahu kiri seorang lelaki bersenjata golok.
Creeeet! bahu orang itu segera tertembus oleh tusukan pit kip dari Tu Kioe, dalam keadaan terluka parah buru-buru ia mundur kebelakang.
Siauw Ling yang kebetulan berada didekat sana segera mengirim satu tendangan menghajar lutut kiri lelaki tadi. Duuuk! tulang kakinya seketika patah jadi beberapa bagian.
Luka parah yang dideritanya secara beruntun sebanyak dua kali membuat orang itu tak sanggup mempertahankan diri lagi, ia mundur dengan sempoyongan dan akhirnya roboh terjengkang diatas tanah.
Disaat Siauw Ling melancarkan serangan tadi, pada saat yang bersamaan pula pedang ditangan kanannya dibabat kesamping. Sreet! sebuah lengan kiri lelaki yang bersenjata pedang terbabat kutung jadi dua.
Dalam sekejap mata empat orang yang mengepung Tu Kioe sudah ada dua orang roboh terluka, sisanya yang dua orang jadi terkesiap dan ketakutan setengah mati, dalam keadaan begini mereka tak berani bertempur lebih jauh setelah mengirim dua serangan gencar tubuhnya buru-buru mengundurkan diri kebelakang.
“Heeh…. heeh…. kalian masih ingin lari?” jengek Siauw Ling sambil tertawa dingin.
Sambil enjotkan badannya ia tubruk kearah lelaki bersenjata pedang itu.
Sementara itu dengan hati ketakutan setengah mati lelaki tadi sedang melarikan diri terbirit-birit dari situ, mendadak ia dengar ada ujung baju tersampok angin menubruk datang, dengan cepat ia menoleh.
Tampaklah Siauw Ling sambil menyekal pedangnya sedang menubruk datang, gerakannya cepat laksana sambaran kilat.
Ia jadi terperanjat, pikirnya, “Sungguh lihay gerakan tubuh orang ini…. aku harus segera menghindarkan diri!”
Pedangnya buru-buru diangkat keatas menyongsong datangnya tubrukan lawan.
Siauw Ling mendorong telapak kirinya melancarkan sebuah serangan…. duuk. Dengan telak bersarang diatas pedang orang itu, sedangkan pedang ditangan kanannya membabat kebawah menebas lengan orang tadi.
Ternyata orang itu kuat dan punya daya tahan yang hebat, meskipun lengannya telah terbacok kutung namun ia masih sempat mendengus dingin sambil melanjutkan larinya kedepan.
Siauw Ling menjengek dingin, tangan kirinya segera disentil kedepan melancarkan sebuah totokan dengan ilmu Siauw Loo Sin ci.
Criiit….! segulung angin tajam berdesir kemuka dan telak bersarang diatas punggung lelaki itu.
Setelah lengannya kutung sekarang termakan pula oleh hajaran ilmu jari Siauw Loo Sin ci, tentu saja tak sanggup baginya untuk mempertahankan diri. Ditengah jeritan tertahan yang mengerikan orang itu terjungkal keatas tanah dan menemui ajalnya saat itu juga.
Napsu membunuh mulai berkobar dalam dada Siauw Ling, disaat yang bersamaan pedang ditangan kanannya disambit kedepan, sekilas cahaya tajam segera berkelebat menembusi angkasa langsung menghajar tubuh lelaki bersenjata golok itu.
Ketika mendengar datangnya desiran angin tajam dari arah belakang, buru-buru lelaki itu putar badan sambil melepaskan satu babatan.
Siapa sangka timpukkan pedang dari Siauw Ling ini disertai dengan tenaga serangan yang maha dahsyat, baru saja lelaki itu membabaskan goloknya kebawah, pedang itu sambil miring sedikit kesamping langsung menyambar padanya.
Duuus….! tanpa ampun lagi dadanya jebol tertembus pedang tadi, diiringi jeritan tajam mayatnya roboh terjungkal diatas tanah.
Setelah berhasil membereskan kedua orang itu, Siauw Ling berpaling kembali kebelakang dia lihat dua orang yang telah terluka tadipun sudah dihabisi pula jiwanya oleh Tu Kioe.
Yang aneh setelah kematian lima orang itu ternyata tidak nampak ada orang lain yang munculkan diri, suasana disekeliling tempat itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Ketika mendingak keatas terasa cahaya lampu memancar dengan terangnya, seluruh atap bangunan disekitar sana berada dalam keadaan terang benderang.
“Toako apa yang harus kita lakukan sekarang?” terdengar Tu Kioe bertanya sambil datang menghampiri Liong Tauw toakonya.
“Kelihatannya aneh sekali, atap rumah diterangi oleh cahaya lentera sehingga terang benderang bagaikan ditengah hari, apa sebabnya dibawah wuwungan rumah gelap gulita?”
Dengan langkah lebar Ceng Yap Chin datang berkumpul, sahutnya, “Pertarungan yang telah berlangsung disini jelas sudah menggemparkan seluruh gedung Sam Kang Soe It. Ditinjau dari tak adanya musuh tangguh yang muncul lagi disini jelas mereka sedang menyusun rencana busuk lainnya.”
“Tidak salah” sahut Siauw Ling membenarkan sambil mengerling sekejap sekeliling tempat itu. “Kita harus bertindak lebih hati-hati lagi jangan sampai terbokong oleh mereka.”
“Aaaach benar” tiba-tiba Tu Kioe berseru. “Bukankah kita bisa mengompres kedua orang dayang itu? coba kita tanyai permainan setan apakah yang sedang mereka persiapkan.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung mendadak dari balik ruangan disebelah selatan berkumandang datang suara tertawa dingin yang amat sinis disusul seseorang berseru, “Kalian sudah berada dibawah kepungan kami sekalian, senjata rahasia telah dipersiapkan diempat penjuru dan semuanya berupa benda kecil yang sangat beracun apabila aku turunkan perintah maka keempat penjuru akan mulai bergerak untuk menghamburkan senjata rahasia kearah kalian. Hmm…. meskipun kepandaian silat kalian sangat lihay, jangan harap bisa meloloskan diri dari ancaman beribu-beribu batang senjata tajam yang lembut bagaikan grimis. Kendati kalian bergerak dengan cara apapun, niscaya senjata rahasia akan ditubuh kamu semua.”
Siauw Ling tidak ingin memperhatikan asal usulnya, maka kepada Ceng Yap Chin ia berbisik, “Ceng heng, ajaklah dia bicara, diam-diam siauwte akan perhatikan situasi disekitar sini.”
Ceng Yap Chin mengangguk, dengan suara lantang segera serunya, “Siapakah anda sekalian?”
“Kalian tak usah bertanya siapakah diri loohu, yang jelas mati hidup kamu semua telah berada ditangan loohu….”
Ia merandek sejenak, kemudian sambungnya lagi dengan suara keras, “Dalam keadaan seperti ini hanya ada dua jalan yang dapat kau tempuh, yaitu melepaskan senjata tajam dan menyerah kepada kami, atau mati dibawah serangan hujan senjata rahasia.”
Ucapan ini membuat Ceng Yap Chin merasa sangat tidak puas, pikirnya, “Hmm, congkak amat perkataannya meskipun ada berlaksa buah gendewa yang melancarkan serangan berbarengpun belum tentu bisa membinasakan kami sekalian….”
Tapi teringat bahwa perkataan yang kurang pantas kemungkinan besar bisa memancing datangnya serangan bokongan dari mereka, maka untuk beberapa saat ia membungkam dalam seribu bahasa.
Ketika tidak memperoleh jawaban, orang itu segera tertawa dingin dan berkata lagi, “Dalam ruangan, halaman serta kamar-kamar itu sudah kusembunyikan jago-jago lihay, bahkan jaraknya sangat dekat sekali dengan kalian, boleh dibilang daerah disekeliling kalian tak ada sejengkalpun yang merupakan daerah aman. Kalau kalian ingin melawan kekuatan kami dengan andalkan ilmu silat, itu berarti kamu semua mencari kematian buat diri sendiri.”
Ceng Yap Chin mengerutkan dahinya, kepada Siauw Ling segera bisiknya, “Siauw heng, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Kalau ditinjau dari keadaan disekeliling tempat ini rupanya apa yang ia utarakan sama sekali bukan gertak sambel belaka, seandainya apa yang dia katakan adalah kata yang sebenarnya waaah…. kita memang terancam dalam keadaan bahaya satu-satunya cara yang bisa kita tempuh saat ini adalah berusaha untuk mengundurkan diri kembali kekamar dimana telah disiapkan perjamuan tadi, kemudian berusaha memancing mereka melepaskan senjata rahasia dan kitapun rundingkan bagaimana caranya menghancurkan pertahanan musuh.”
Dari dalam ruangan terdengar suara Sang Pat berkumandang datang, “Lebih baik kalian berdua sedikit tahu diri. Selamanya loohu tidak pernah kenal mengasihani kaum wanita!”
Ketika Siauw Ling sekalian berpaling kebelakang, tampaklah Sang Pat dengan tangan kiri mencekal Pek Bwee, tangan kanan mencekal pergelangan Liok Hoo dengan langkah lebar berjalan mendekati.
“Loo jie, cepat mundur kembali kebelakang” seru Tu Kioe.
Sang Pat menggeleng.
“Kamar itu tak bisa dipergunakan lagi!”
“Kenapa?”
“Seandainya mereka lepaskan asap beracun, bukankah kita bakal mati konyol dalam ruangan tersebut?”
“Hmm, kalau begitu mereka memang sengaja memaksa kita kembali kedalam kamar, agar bisa merobohkan kita dengan asap racun.”
Sementara berbicara Sang Pat telah tiba dihadapan beberapa orang itu.
“Sekeliling halaman ini telah disembunyikan jago yang lihay melepaskan senjata rahasia” bisik Ceng Yap Chin. “Pada saat ini kita sudah terjerumus kedalam barisan senjata rahasia mereka yang lihay.”
Biji mata Sang Pat berputar memperhatikan sekejap daerah disekeliling tempat itu. terasa olehnya halaman ditengah bangunan itu merupakan sebidang tanah datar, kecuali tanah berumput boleh dibilang tiada tempat lain untuk menyembunyikan diri, tanpa terasa alisnyapun berkerut kencang.
“Seandainya mereka melepaskan senjata rahasia, terpaksa kita harus menggunakan tubuh kedua orang nona ini sebagai tameng” katanya.
Mendadak terdengar dari ruangan sebelah utara berkumandang datang suara seseorang dengan nada yang dingin.
“Rupanya sebelum berjumpa dengan peti mati kalian tak mau mengucurkan air mata, kalian tidak kudemontrasikan kelihayan kami, mungkin kamu semua tidak mau percaya.”
“Empat penjuru terdapat ancaman senjata rahasia” bisik Siauw Ling memperingatkan. “Kita semua tak boleh gegabah, masing-masing perhatikan hal satu arah!”
Sambil bicara tiba-tiba meloncat lima depa kedepan, disambarnya sesosok mayat kemudian meloncat balik ketempat semula.
Gerakannya datang dan pergi dilakukan dalam sekejap mata, kecepatannya benar-benar sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Dari arah utara kembali terdengar suara tertawa dingin.
“Aku akan mendemontrasikan sedikit kelihayan kami, agar mata kamu semua terbuka lebar….” ia merandek sejenak. “Lepaskan burung elang!”