Jilid 20
Orang yang ada disebelah kiri mempunyai perawakan yang tinggi besar, wajahnya berwarna merah darah dengan sepasang tongkat besi Thiat Hoay Ciang tersoren dipanggungnya. Ia mengenakan jubah warna merah, sepatu warna merah dan seluruh tubuhnya merah bagaikan kobaran api.
Sedang orang yang ada disebelah kanan berjubah biru menyoren pedang. Dia bukan lain adalah sipelajar bertangan dingin Thian Tiong Goan.
Dan orang yang ada ditengah memakai jubah warna hitam, diatas alis sebelah kirinya terdapat codet bekas bacokan golok, hingga alisnya yang panjang dan tebal terpotong jadi dua bagian.
Setelah melihat siapa yang datang dengan suara lirih Siauw Ling segera berbisik, “Sipelajar bertangan dingin itu berani mengejar sampai kesini. Aku rasa dia pasti sudah membuat suatu persiapan, mungkin saja kedua orang itu adalah anggota dari Lam Hay Ngo Hiong.”
“Aku sipengemis tuapun mempunyai perasaan yang sama!”
“Kalau benar mereka adalah manusia-manusia dari lima laknat, aku rasa Cheng Yap Cing bukan tandingannya, kita harus segera munculkan diri untuk membantu dirinya.”
“Tidak mengapa, lebih baik kita perhatikan dulu secara diam-diam.”
Untuk sesaat Siauw Ling tak dapat menebak maksud hati Soen Put Shia, terpaksa ia menurut dan berdiri membungkam ditempat semula.
Sungguh cepat gerakan tubuh ketiga orang itu. Dalam sekejap mata mereka sudah berada dihadapan Cheng Yap Cing dan berhenti kurang lebih empat lima didepan jago muda dari Bu tong pay ini.
Tampak orang berbaju hitam yang berada ditengah menoleh dan memandang sekejap kearah Thian Tiong Goan lalu tanyanya, “Apakah orang itu?”
“Bukan….”
“Kalian bertiga hendak cari siapa?” tegur Cheng Yap Cing sambil memutar pedangnya.
“Siauw Ling” jawab orang berbaju hitam sambil menyapu wajah jago muda itu beserta keempat orang tootiang lainnya.
“Tidak salah, Siauw thayhiap memang berada didalam kuil ini dan tidak sulit bila kalian bertiga jika mau bertemu dengan dirinya, tetapi sebelum itu kalian harus menangkan dulu pedangku ini!”
“Hmm! siapa kau?”
“Sejak Siauw Ling terjun kedalam dunia persilatan jejaknya selalu misterius” pikir Cheng Yap Cing didalam hati. Tetapi setiap kali ia berhasil menonjolkan diri. Dalam waktu yang singkat bukan saja namanya telah terkenal dikolong jagad bahkan secara diam2 dia sudah menjadi orang yang paling dihormati dalam Bulim, setelah lewat beberapa saat lagi tidak sukar baginya untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin Bulim. Sebaliknya kami partai Bu tong sudah bertahun-tahun lamanya tancapkan kaki didunia persilatan, dia bukan saja nama besarnya sukar menonjol malah jangan-jangan partai kami bisa ternadih oleh nama besarnya. Seandainya ketiga orang itu memang benar-benar mau menantang Siauw Ling, kenapa aku tidak menggunakan kesempatan ini untuk kalahkan mereka. Diluar aku bertindak demi Siauw Ling tapi secara diam-diam aku bisa gemilangkan nama besar partai kami….”
Saking asyiknya dia berpikir sampai lupa sang alis berjubah hitam itu berkerut kencang, napsu membunuhnya memancar keluar dari balik sinar matanya, jelas ia merasa sangat gusar, Tetapi entah apa sebabnya ternyata rasa marah yang bergolak dalam hatinya ditekan selalu, terdengar ia bertanya setelah mendehem berat.
“Apakah kau anak murid Bu tong pay?”
“Sedikitpun tidak salah, cayhe adalah Cheng Yap Cing anak murid partai Bu tong. Kalian bertiga berani datang kemari menantang Siauw thayhiap. Aku rasa kamu tentu bukan manusia tanpa nama bukan?”
“Lima rasul dari Lam Hay, kau tentu pernah mendengar bukan!” sahut orang berbaju hitam itu sambil angkat tangan kanannya dan perlihatkan lima jari.
Cheng Yap Cing tertegun.
“Aaah, sudah lama cayhe mendengar akan nama kalian” sahutnya tanpa terasa.
Selama ini orang berjubah serba merah yang ada disebelah kiri serta pelajar bertangan dingin Thian Tiong Goan membungkam dalam seribu bahasa. Jelas hal ini menunjukkan bilamana kedudukan orang berjubah hitam ini jauh lebih tinggi dari pada mereka berdua.
Terdengar orang berjubah hitam itu berkata kembali, “Kalau kau sudah tahu akan nama besar lima rasul, ayo cepat lapor kedalam….”
“Apa yang perlu dilaporkan?”
“Laporkan kepada Siauw Ling dan katakanlah lima rasul dari Lam Hay ada urusan penting dan hendak bertemu dengan dirinya.”
“Cuwi cuma bertiga, kenapa disebut lima rasul?”
Hijau membesi seluruh wajah orang berbaju hitam itu hingga tampak begitu menyeramkan, jelas orang ini mempunyai perangai yang buruk dan watak yang sangat berangasan, tetapi oleh sesuatu kekuatan yang tak terwujud ia tak bisa mengumbar tabiatnya dan seakan-akan terbelenggu. Dengan paksaan diri ditangannya emosi dan golakan hawa amarahnya.
Tampak dia menggelengkan dan berseru, “Apakah kau ingin mengetahuinya sampai jelas?”
“Sedikitpun tidak salah.”
Mendadak orang berjubah hitam itu mendepakkan kakinya keatas tanah. Pasir dan batu berterbangan memenuhi angkasa, diatas permukaan tanah yang keras seketika muncul sebuah bekas kaki sedalam dua coen, sahutnya dengan dingin, “Cayhe adalah Soh Hoen Ciang sitelapak membentot sukma Soen Seng, dalam lima rasul dari Lam Hay menduduki urutan kedua….” sinar matanya beralih kearah orang berbaju merah disebelah kirinya. “Dan dia adalah samte kami Cay Wie” kembali matanya beralih kearah Thian Tiong Goan. “Dan dia adalah Ngo te kami sipelajar bertangan dingin Thian Tiong Goan. Nah apa yang ingin kau tanyakan lagi?”
Soen Put Shia dan Siauw Ling yang bersembunyi dibelakang pintu dapat mendengar semua percakapan itu dengan cepat pengemis tua itu jadi keheranan bisiknya, “Tempo dulu lima manusia laknat dari Lam Hay pernah membasmi habis semua anggota dari partai Ciang Shia serta Go Bie, waktu mereka kejam, buas dan tidak berperi kemanusiaan, sedikit-sedikit saja lantas turun sangat membunuh. Kenapa sikapnya hari ini begitu sadar dan lunak? sungguh aneh!”
“Kalau ditinjau dari wajahnya yang penuh diliputi napsu membunuh, jelas hawa gusar yang bergelora dalam dadanya saat ini sukar dilukiskan lagi dengan kata-kata. Cuma saja ia bersabar terus mempertahankan diri!”
“Nah disitulah letak keanehannya, ia bersabar diri dan menekan hawa gusar yang berkobar dalam dadanya, maksud dan tujuannya tidak lain ingin bertemu dengan dirimu.”
Dengan tidak dapat menahan kesabarannya lantas ia telah bertanya lagi, “Apa maksudmu kami bertiga mencari Siauw Ling berada disini atau tidak, kau harus tahu bahwa kesabaran cayhe ada batasnya.”
teriak sitelapak pembetot sukma penuh kegusaran.
Siauw Ling siap melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, namun Soen Put Shia segera menahan tubuhnya seraya berbisik, “Jangan gugup, tunggulah sejenak lagi!”
Cheng Yap Cing yang ada dikalangan ingin sekali mencemerlangkan nama partainya. Ia segera kebas pedang ditangan dan berseru, “Tidak sulit kalau kau hendak berjumpa dengan Siauw thayhiap namun tembusi dulu pos pertahanan ini.”
“Kalau terus menerus menyusahkan diriku, entah apa maksudmu yang sebenarnya?” ia lantas ulapkan tangan kirinya.
Ada disebelah kiri dengan cepat meloncat keluar, tangan kanannya diayun dan dengan keras ia cengkeram pedang Cheng Yap Cing.
Jago muda dari Bu tong pay ini tidak menyangka kalau serangan musuh datangnya begitu cepat, hampir saja pedangnya kena dirampas. Dalam keadaan terdesak dan gugup, cepat ia loncat mundur lima depa kebelakang. Pedangnya diayun dan menciptakan serentetan bunga pedang.
Cay Wie membentak keras. Weeesss….! tangan kanannya diayun kemuka mengirim satu pukulan dahsyat. Badannya maju dua langkah kedepan dan tangan kirinya segera mencabut keluar tongkat besi yang tersoren dibahunya.
Bukan saja gerak geriknya gagah dan ampuh, serangannya tajam dan mengerikan, ternyata ia sudah anggap pedang baja ditangan Cheng Yap Cing itu bagaikan benda yang tak berharga.
Cheng Yap Cing sendiri terperanjat luar biasa tak kala merasakan datangnya angin serangan lawan yang begitu dahsyat bahkan mengandung daya tekanan yang hebat, segera pikirnya, “Sungguh dahsyat angin pukulan orang ini, rupanya dia bukan manusia sembarangan….”
Dalam pada itu Cay Wie telah meloloskan senjatanya.
Buru-buru Cheng Yap Cing melancarkan serangan balasan, pedangnya dengan jurus “Seng Ko To Kwa” atau binatang berguguran diatas sungai menciptakan beratus-ratus titik cahaya tajam menyelimuti seluruh angkasa.
Jurus serangan ini merupakan jurus yang ampuh diantara ilmu pedang Bu tong Kiam Hoat, serangannya rapat dan tajam. Dalam serangan disertai pula dengan pertahanan membuat seluruh badannya terlindung dengan rapatnya.
Siapa sangka Cay Wie jeri dengan ancaman ini, tongkat besinya disodok kedepan dan menyerang masuk melalui cahaya pedang yang sangat rapat tadi.
Traaaang….! Traaang….! suara bentrokan senjata berkumandang tiada hentinya memekikkan telinga. Cheng Yap Cing tak sanggup mempertahankan diri dan ia terdesak mundur satu langkah kebelakang, pergelangan tangannya secara rapat-rapat terasa kaku dan linu setelah Cheng Yap Cing dengan serangan dua tongkat besi ditangan kirinya, dengan cepat tangan kanannya meloloskan tongkat besi kedua dan melancarkan serangannya.
“Tahan!” tiba-tiba Soen Seng membentak Cay Wie tarik kembali tongkat besinya dan segera loncat mundur kebelakang.
“Kedatangan cayhe kemari sama sekali tiada bermaksud memusuhi kalian, kami mempunyai persoalan penting yang hendak disampaikan kepada diri Siauw Ling” seru Soen Seng kembali seraya ulapkan tangannya Cheng Yap Cing membungkam, apa yang dipikirkan dalam hatinya adalah jurus “Seng Hoo Too Kwa” yang barusan berhasil dipecahkan oleh Cay Wie itu. Dia merasa serangan tongkatnya tanpa pakai aturan, namun entah apa sebabnya ternyata semua perubahan tadi berhasil dipecahkan. Ia merasa terkejut, kaget tercengang dan tidak puas.
Tatkala Cay Wie melihat Cheng Yap Cing tidak menjawab perkataan toakonya, gusar segera serunya, “Mungkin Siauw Ling tidak berada disini, orang ini sengaja berpura-pura tuli dan bisu, tak mau memperdulikan kita. Aku rasa tak usah kita banyak bicara lagi dengan mereka biarlah siauwte jagal dulu orang ini serta keempat orang toosu tua hidung kerbau itu.”
Tongkatnya segera dipersiapkan untuk melancarkan serangan kembali.
Mendadak…. terdengar gelak tertawa nyaring berkumandang datang, seorang pemuda berpakaian ringkas perlahan-lahan munculkan diri dari balik pintu.
Orang itu adalah Siauw Ling yang menyaksikan pertarungan antara Cay Wie dengan Cheng Yap Cing hatinya merasa sangat terperanjat, segera pikirnya, “Orang itu bertempur tanpa memakai aturan tetapi setiap serangan dan hantamannya mengandung daya tekanan yang luar biasa, mungkin Cheng Yap Cing bukan tandingannya. Karena itulah sambil tertawa terbahak-bahak ia lantas munculkan diri mendekati orang she Soen itu.”
Cheng Yap Cing melirik sekejap kearah Siauw Ling, dengan wajah jengah ia masukkan kembali pedangnya kedalam sarung dan mengundurkan diri kesamping.
Dari serangan Cay Wie yang ganas serta daya tekanan yang dahsyat dalam gerakannya yang sederhana itu pemuda she Siauw lantas berpendapat bila ia tidak memiliki tenaga dalam yang sakti dan maha dahsyat, murni otaknya berputar mencari akal untuk menghadapi dirinya.
Tampak sitelapak tangan pembetot sukma Soen Seng maju dua langkah kemuka, setelah menjura katanya, “Apakah saudara adalah Siauw Ling?”
Siauw Ling tidak menjawab. Matanya menyapu sekejap keadaan lawan dimana ia jumpai kesembilan orang lelaki berbaju hitam mengiringi ketiga orang itu, berdiri jauh dibelakang Soen Seng, telah termenung sejenak ia menyahut, “Cayhe memang Siauw Ling adanya, entah ada maksud apa kalian bertiga datang mencari aku?”
“Tadi, adik kami telah melakukan kesalahan terhadap dirimu, disini cayhe mohonkan maaf.”
“Aaah…. tidak mengapa” seru Siauw Ling sambil tertawa hambar, sementara hatinya tercengang pikirya, “Sebetulnya apa yang telah terjadi? apakah kedatangan mereka tidak untuk balas dendam bagi kekalahan yang diderita Thian Tiong tadi….”
Terdengar Soen Seng mendehem ringan dan berkata kembali, “Kami lima bersaudara dari Lam Hay tidak pernah mempunyai maksud untuk memusuhi diri Siauw thayhiap, namun apa daya takdir menentukan demikian ditambah pula Djen Bok Hong menghasut dari belakang, hingga akhirnya kami terpaksa sudah berbuat kasar terhadap diri Siauw thayhiap.”
“Kau tak usah sungkan-sungkan!”
“Terus terang saja Siauwte katakan, bahwa kedatangan kami kali ini pertama adalah untuk minta maaf dan kedua, ada suatu urusan hingga terpaksa kami harus merepotkan Siauw thayhiap!”
Siauw Ling berpaling. Ia jemput Soen Put Shia telah menyusul kesisi tubuhnya, namun jago tua sudah punya pengalaman luas dan telah lama berkelana dalam dunia persilatan ini sedang berdiri dengan wajah bimbang dan ragu jelas iapun dibikin tercengang oleh sikap orang. Ketika Soen Seng tidak mendengar jawaban dari Siauw Ling kembali dia menjura sambil berkata, “Maukah Siauw thayhiap membantu diri kami?”
“Katakan dulu persoalan apa yang sedang kau hadapi. Nanti cayhe baru ambil keputusan!” Soen seng tertunduk, dengan nada lirih sahutnya, “Sejak terjun kedunia kangouw kami lima bersaudara dari Lam Hay belum pernah mohon bantuan orang lain, tapi hari ini terpaksa kami harus memohon kepada Siauw thayhiap agar suka ringan tangan menolong kami.”
“Terangkanlah dahulu persoalan apa yang sebenarnya kalian hadapi!” karena semakin bingung terpaksa si anak muda itu berkata demikian.
“Sejak berkelana dalam dunia kangouw banyak permusuhan yang telah kami ikat, tentunya Siauw thayhiap pernah mendengar bukan peristiwa pembasmian terhadap partai Cing Shia serta partai Go Bie yang kami lakukan tempo dulu.”
Meskipun tidak paham apa maksudnya pihak lawan berkata demikian, namun Siauw Ling mengangguk juga.
“Tidak salah.”
“Bila persoalan itu sudah siauwte utarakan keluar namun Siauw thayhiap tak sudi menolong. Bisa jadi kami lima bersaudara dari Lam Hay tak ada mula lagi untuk tancapkan kaki dalam dunia persilatan.”
Jelas maksud perkataan itu adalah mengartikan bila masalahnya telah dikatakan maka bila Siauw Ling tak mau menolong, mereka tentu akan memaksa terus.
“Bilamana permintaan saudara adalah permintaan yang terbuka dan jujur maka bagimanapun juga aku orang she Siauw pasti akan membantu dengan segenap tenaga, sebaliknya kalau perminataan itu adalah permintaan yang kelewat batas dan memalukan sekalipun kepalaku dipancung, jangan harap cayhe sudi mengabulkan.”
Cheng Yap Cing yang mendengar perkataan itu diam-diam merasa malu sendiri pikirnya, “Siauw Ling betul-betul manusia budiman yang bijaksana, aku benar-benar bukan tandingannya….”
“Baik!” jawab Soen seng sesudah termenung sejenak. “Sekalipun sudah siauwte katakan dan siauw thayhiap tak sudi menolong cayhepun tidak akan memaksa.”
“Nah katakanlah!”
“Secara tiba-tiba Loo toa serta Loo su dari kelima saudara telah mengindap penyakit edan yang parah, kami tahu bahwa dikolong langit dewasa ini cuma Siauw thayhiap seorang saja yang sanggup menyembuhkan penyakit ini. Kami mohon agar Siauw thayhiap suka menolong kami dan sembuhkan penyakit Loo toa serta Loo su kami. Lima bersaudara dari Lam Hay pasti tak akan melupakan budi kebaikanmu itu!”
“Mengobati penyakit edan?” seru Siauw Ling tertegun.
“Tidak salah. Sakit yang diderita toako serta sute kami datangnya terlalu mendadak, meskipun cuma dua belas jam namun mereka sudah gila hebat hingga saudara dan kenakalanpun tak dinilai lagi. Telah kujelajahi daerah sekeliling tempat ini, tiga belas orang tabib telah kami undang namun mereka tak sanggup menyembuhkan penyakit itu, sebab itulah maka terpaksa kami harus merepotkan diri Siauw thayhiap.”
“Kalau urusan menyembuhkan penyakit Boe Wie Tootiang adalah jago yang lihay” pikir Siauw Ling. “Aku orang she Siauw sama sekali tidak mengerti akan ilmu pertabiban, kenapa mereka mencari aku?”
Dari sakunya Soen Seng ambil keluar secarik kertas, sambil diangsurkan kemuka sahutnya, “Apakah Siauw Ling thayhiap kenal dengan sipengirim surat ini?”
Siauw Ling segera menerima surat itu dan dibaca isinya, “Penyakit aneh yang diderita saudara kalian sangat ganas dan berbahaya, bilamana didalam dua puluh empat jam tidak disembuhkan maka urat nadinya akan pecah dan mati binasa. Keadaannya mengerikan dan mendirikan bulu roma.
“Untung Thian maha pengasih, dengan ini kutunjukkan satu jalan hidup buat kalian. Satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan penyakit edan ini kecuali dirimu adalah Siauw Ling, tetapi sayang aku masih ada urusan lain yang harus dikerjakan maka tak bisa kubantu kamu semua. gunakanlah kesempatan yang sangat baik ini untuk mohon bantuan Siauw Ling.”
Sederhana sekali isi surat itu, dibawahnya tidak tercantum pula tanda tangan ataupun tanda apapun jua.
Siauw Ling berdiri tertegun, dibacanya berulang kali surat tadi sedang dalam hati ia tidak habis mengerti siapakah yang sedang mengajak dia bergurau.
“Apa yang ditulis dalam surat itu?” tanya Soen Put Shia.
“Bacalah sendiri Loocianpwee!”
Soen Put Shia menerima surat tadi dan dibacanya, dalam hati ia merasa tercengang dan tidak habis mengerti.
“Siauw thayhiap, kau tentu kenal dengan orang ini bukan?” tanya Soen seng.
“Soal ini….”
“Kalau tidak kenal, mana mungkin dia bisa memberi petunjuk kepada kalian?” sambung Soen Put Shia dengan cepat.
Siauw Ling jadi terperanjat segera pikirnya, “Menyembuhkan sakit seseorang menyangkut mati hidup orang itu, mana boleh kuanggap sebagai suatu permainan?”
Sementara dia mau membantah. Soen Put Shia telah berkata lebih jauh, “Dimanakah dua orang terluka itu?”
“Berada dalam sebuah rumah manusia bijaksana yang penuh welas asih, setelah dia mengetahui akan kejadian ini sudah tentu akan membantu sekuat tenaga.”
“Cayhe merasa amat berterima kasih atas kesediaan Siauw thayhiap untuk menolong kedua orang saudara kami.”
“Tetapi sayang kalian bersekongkol dengan Djen Bok Hong sedangkan ketua dari perkampungan Pek Hoa San cung adalah musuh besar dari Siauw thayhiap. Seandainya kami menolong kedua orang saudara bukan berarti kami telah mengundang musuh yang lebih tangguh?”
“Kalau Siauw thayhiap suka menolong toako serta sute kami, dengan sendirinya kami lima bersaudara dari Lam Hay tak akan membantu Djen Bok Hong lagi untuk memusuhi diri Siauw thayhiap.”
“Haaah…. haaah…. haaah….” Soen Put Shia segera tertawa terbahak-bahak, sambil menuding kearah Thian Tiong Goan serunya: “Ngo te kalian dengan membawa jago-jago lihay dari perkampungan Pek Hoa San cung telah turun tangan keji dan melukai beberapa orang saudara dari Siauw thayhiap dengan senjata rahasia beracun. Bagaimana pula pertanggungan jawab kalian terhadap persoalan ini?”
“Cayhe datang kemari justru hendak menyembuhkan luka beracun yang mereka derita” buru-buru Thian Tiong Goan berseru.
Soen Put Shia mendengus dingin.
“Hmm, kalau kami harus menunggu sampai kau datang memberi obat pemusnah, mungkin mereka sudah mati sejak tadi.”
Soen seng melirik sekejap kearah Thian Tiong Goan lalu berkata, “Ilmu pertabiban yang dimiliki Siauw thayhiap sangat sempurna hanya senjata rahasia beracun saja tentu takkan menyusahkan dirinya. Ngo te! kau telah berbuat salah terhadap Siauw thayhiap, ayo cepat maju kedepan minta maaf.”
Apa boleh buat, terpaksa dengan langkah perlahan Thian Tiong Goan maju dua langkah kemuka dan menjura.
“Bilamana cayhe sudah melakukan kesalahan terhadap Siauw thayhiap, harap Siauw thayhiap suka memaafkan!”
“Dalam suatu petarungan sudah jamak kalau saling luka melukai. Tak usah kau murungkan tentang persoalan itu.”
“Siauw thayhiap berpikiran luas dan berlapang dada, cayhe merasa amat kagum.”
“Hmm…. hmm…. kelicikan dunia kangouw bagaimanapun juga harus dijaga” jengek Soen Put Shia dari samping. “Siapa tahu kalau tindakan kalian saat ini bukan lain adalah hendak memancing Siauw thayhiap masuk perangkap….”
“Walaupun lima bersaudara dari Lam Hay sering kali turun tangan keji namun belum pernah kami bicara bohong.”
“Lalu siapakah yang berdiri dibelakang kalian?”
“Jago-jago dari perkampungan Pek Hoa San cung!”
“Bagus sekali!” teriak Soen Put Shia sambil tertawa dingin. “Orang-orang dari perkampungan Pek Hoa San cung pun berjalan bersama kalian, sudah semakin jelas lagi kalau surat itu bukan lain adalah siasat licik dari Djen Bok Hong.”
“Baiklah. Kalau kalian tidak percaya terpaksa aku harus bunuh dulu orang-orang dari perkampungan Pek Hoa San cung ini sebagai pertanda bahwa ucapan kami adalah jujur!”
Mendadak ia putar badan dan menubruk kearah barisan lelaki yang berada dibelakangnya.
Tampak sepasang telapaknya diayun berantai, dua orang lelaki berbaju hitam ini sebelum sempat mencabut keluar senjatanya telah roboh binasa diatas tanah.
Cay Wie serta Thian Tiong Goan pun segera mengikuti jejak kakaknya. Badan mereka menubruk kearah lelaki berbaju hitam itu dan tampaklah bayangan tombak berputar cahaya pedang menggulung, dalam sekejap mata semua orang berbaju hitam yang ada disitu mati konyol tanpa sempat memberikan perlawanan.
Menyaksikan keganasan orang dalam hati Siauw Ling lantas berpikir, “Nama besar lima manusia laknat dari Lam Hay benar2 bukan nama kosong belaka, bukan saja hati mereka kejam bahkan keji dan telengas sekali….”
Sebaliknya Soen put shia sendiripun tidak menyangka kalau ketiga orang itu segera bertindak setelah ia sampai tertegun dan berdiri melongo.
“Siauw thayhiap sekarang kau sudah percaya bukan.” Soen Seng kemudian melangkah datang.
“Setelah kalian bertiga membinasakan jagoan dari perkampungan Pek Hoa San cung, bagaimana pertanggungan jawab kalian dikemudian hari dihadapan Djen Bok Hong?”
“Sebelum berkenalan dengan Siauw thayhiap kami memang dipergunakan oleh Djen Bok Hong untuk memusuhi Siauw thayhiap, tetapi kini sesudah kita bersahabat sudah tentu kami tak akan berbakti lagi kepada pihak perkampungan Pek Hoa San cung.”
“Sekalipun kau binasakan Djen Bok Hong tak nanti aku sanggup menyembuhkan sakit edan yang diderita kedua orang saudaramu” pikir Siauw Ling.
Dia merasa bahwa persoalan ini tak bisa diundurkan lagi, sementara dia siap menerangkan kalau ia tak pandai ilmu pertabiban kembali Soen put shia menimbrung lebih dulu, “Harap kalian bertiga menunggu sejenak diluar kuil, biar sipengemis tua rundingkan dahulu persoalan ini dengan diri Siauw thayhiap.”
“Jadi kawan atau jadi lawan semuanya terngantung pada keputusan Siauw thayhiap. Kalian berdua silahkan berlalu!”
“Saudara Siauw, mari ikut aku dipengemis tua!” seru Soen put shia sambil putar badan dan berjalan masuk kedalam kuil.
Siauw Ling tak berkutik terpaksa dia mengikuti dibelakang pengemis tua itu, setibanya didalam kuil segera tegurnya, “Loocianpwee, kenapa kau sanggupi untuk menyembuhkan luka yang mereka derita?”
“Apabila membiarkan lima manusia laknat dari Lam Hay membantu pihak perkampungan Pek Hoa San cung dengan sekuat tenaga, itu berarti membuat Djen Bok Hong bagaikan harimau yang tumbuh sayap, kita harus berusaha untuk memisahkan kerjasama diantara mereka!”
“Tetapi boanpwee sama sekali tidak paham akan ilmu pertabiban, dari mana bisa kusembuhkan sakit edan yang mereka derita?”
“Dalam hal ini keadaan aku sipengemis tua tiada berbeda denganmu, itulah sebabnya kita harus rundingkan dahulu persoalan ini dengan diri Boe Wie Tootiang.”
Ia percepat langkahnya dan lari masuk kedalam pendopo tengah.
Sementara itu Boe wie Tootiang, Tiong Cho Siang ku serta Suma Kan sekalian sedang merasa keheranan karena lama sekali belum juga kedengaran ada suara pertempuran, melihat ketiga orang itu munculkan diri mereka segera menyongsong.
Begitu tiba diruang tengah, Soen put shia segera berseru, “Peristiwa aneh jarang terjadi dalam kolong langit, tapi tahun ini sungguh banyak yang telah terjadi, aneh, aneh, sungguh aneh.”
“Persoalan apa yang aneh?” tegur Boe Wie Tootiang.
“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. ruapanya kemampuan Siauw Ling yang disiarkan dalam kolong langit telah meningkat sehingga seakan2 persoalan apapun sanggup dilakukan olehnya!”
“Sebenarnya apa yang sudah terjadi?”
“Tiga orang bersaudara dari Lam Hay Ngo Hiong telah datang kemari untuk minta tolong Siauw Ling guna menyembuhkan sakit edan yang diderita saudara mereka.”
“Aaah, sudah terjadi kejadian seaneh itu?”
“Tapi sang siauwte tidak mengerti sama sekali tentang ilmu pertabiban” sahut Siauw Ling sambil melangkah masuk. “Mana mungkin sakit edan dari Lam Hay sanggup kusembuhkan?”
“Yang aneh lagi, dari mana mereka bisa datang mencari dirimu?”
“Mungkin saja ada orang yang sengaja hendak menyusahkan diriku, maka disuruhnya Lam Hay Ngo Hiong datang kemari untuk mencari aku, sehingga kalau sampai aku tak mampu menyembuhkan sakit mereka maka antara mereka dengan kami akan terikat dendam sakit hati.”
“Tidak salah, mungkin saja memang demikian?”
“Sudah siauwte tolak berulang kali, tetapi mereka belum mau juga percaya!”
“Lalu bagaimana menurut pendapat Siauw thayhiap?”
“Mereka datang membawa sepucuk surat dalam surat tadi mengatakan bahwa hanya cayhe yang sanggup menyembuhkan sakit edan tersebut, maka Lam Hay Ngo Hiong ngotot terus memohon kepada diriku.”
“Sudah kau sanggupi?”
“Keadaan sangat mendesak, tidak disanggupipun rasanya tak mati.”
“Siapakah yang menulis surat itu? apakah Siauw thayhiap bisa kenali tulisannya?”
“Sungguh menjengkelkan, pada akhir surat itu sama sekali tak ada tanda tangannya.”
Boe Wie Tootiang termenung sejenak, kemudian jawabnya, “Kalian memang Siauw thayhiap sudah menyanggupi mari kita tengok keadaan sakit mereka.”
“Tapi cayhe….”
“Pinto akan pergi bersamaan, kita bekerja mengikuti keadaan pada saat itu.”
Siauw Ling berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk.
“Yaaah, terpaksa kita harus berbuat demikian.”
“Biarlah aku sipengemis tua berangkat bersama kalian! seandainya sampai terjadi pertarungan, dengan jumlah kita persis seorang lawan seorang!”
“Tempat ini tak bisa didiami lebih jauh, akupun akan suruh mereka sekalian berangkat….” kata Boe Wie Tootiang. Dia berpaling memandang sekejap kearah Im Yang cu kemudian sambungnya, “Turunkan perintah agar mereka semua siap sedia, bawalah beberapa orang yang terluka parah itu menyingkir dari sini.”
“Lalu kita akan bertemu lagi dimana?”
“Ehm…. kalian berangkatlah lebih dulu keselat Huang Yang Kok!”
Im Yang cu mengiakan dan segera berlalu.
“Mari kita jumpai Lam Hay Ngo Hiong!” teriak Boe Wie Tootiang kemudian, bersama Siauw Ling kemudian mereka lantas keluar dari kuil.
Sementara itu sitelapak pembetot sukma Soen seng sedang menanti dengan hati gelisah melihat mereka keluar dia maju menyongsong.
“Siauw thayhiap, kau suka berangkat bersama kami bukan?” serunya sambil menjura.
Siauw Ling berpaling memandang sekejap kearah Boe Wie Tootiang kemudian menjawab, “Cayhe ingin berangkat bersama2 Boe Wie Tootiang, karena ilmu pertabiban dari Tootiang sangat lihay dan sempurna, dia merupakan pembantu yang paling berharga bagiku.”
“Ooh, sudah lama kami mengagumi nama besar Tootiang, dengan senang hati kami persilahkan Tootiang untuk ikut berangkat.”
“Menolong orang bagaikan menolong api. Urusan tak boleh ditunda2 lagi setelah kita setuju ayoh mari kita berangkat!” ajak Soen put shia.
Boe Wie Tootiang berbisik memesan beberapa patah kata kepada Cheng Yap Cing, kemudian segera berangkat.
Begitulah dibawah pimpinan sitelapak pembetot sukma Soen seng, Cay Wie serta Thian tiong Goan, berangkatlah Siauw Ling sekalian mengikuti dibelakangnya.
Keenam orang itu merupakan jago-jago lihay dalam dunia persilatan, perjalanan yang dilakukan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh ini betul2 cepatnya luar biasa.
Perjalanannya kian lama kian bertambah cepat, Siauw Ling segera mengerti bila Lam Hay Sam Mo sengaja hendak mengunggul kemampuan larinya, hawa murni segera disusulkan keluar dan ia percepat larinya.
Enam sosok bayangan manusia berkelebat dengan cepatnya ditengah jalan gunung yang licin dan terjal, begitu cepat seakan2 bintang kejora yang sedang mengejar rembulan.
Kurang lebih empat puluh li kemudian Soen seng baru berhenti, serunya sambil berpaling, “Kita sudah sampai!”
Siauw Ling tertegun, kiranya dimana mereka berhenti saat ini merupakan ujung dari pada sebuah selat, kedua belah sisi mereka merupakan dinding tebing yang menulang keangkasa, dihadapannya terdapat pula sebuah bukit menghalangi perjalanan mereka. Didasar lembah penuh tumbuh semak belukar yang lebat serta pohon2 yang pendek, suasana serta pemandangannya amat miskin dan seram.
“Dimana kedua orang saudara kalian….” Boe Wie Tootiang segera menegur.
“Mereka berada didalam sebuah goa yang rahasia sekali letaknya, mari ikuti diri cayhe!”
Siauw Ling sekalian tidak banyak bicara, dengan ketat mereka ikuti dari belakang.
Setibanya dibawah bukit yang menghalangi perjalanan mereka itu Soen seng berhenti dan segera berseru lantang, “Dua bocah pelindung, kalian ada dimana?”
“Tecu ada disini!” jawaban yang tinggi lengking menyahut dari balik batu besar ditepi dinding tebing, diikuti munculnya dua orang bocah berusia empat lima belas tahun dengan memakai baju hijau dan menyoren pedang dipunggung.
Sekilas pandang Siauw Ling dapat melihat jelas wajah kedua orang bocah itu, air muka mereka berdua berwarna hijau kekuning2an seakan2 orang yang sudah lama kelaparan, namun sorot matanya tajam bercahaya jelas mereka miliki tenaga kweekang yang sempurna.
Empat buah sorot mata yang tajam dari kedua orang bocah itu menyapu sekejap wajah Siauw Ling, lalu bersama2 menjura kearah Soen seng sambil berseru, “Menghunjuk hormat buat Susiok bertiga!”
“Tak usah banyak adat, bagaimana keadaan sakit suhu kalian?”
“Belum menunjukkan tanda2 membaik!” jawab sang bocah yang ada disebelah kiri.
“Ehmm, Siauw thayhiap telah datang, cepat payang suhu kalian keluar agar penyakitnya bisa diperiksa oleh Siauw thayhiap!”
Kedua bocah itu mengiakan, mereka sapu sekejap wajah ketiga orang itu dengan sorot mata tajam kemudian perlahan2 berjalan masuk kebalik batu.
“Dibalik batu cadas itu pasti sudah diatur sesuatu yang lihay” Boe Wie Tootiang segera membatin. “Karena itu mereka tidak ijinkan kami sekalian masuk kedalam….”
Siauw Ling serta Soen put shia pun mempunyai kecurigaan kesana, meski begitu mereka tetap bersabar dan tidak buka suara.
Rupanya Soen seng dapat menebak kecurigaan Siauw Ling sekalian, ia mendehem dan segera berkata, “Penyakit dari toako serta sute kami sangat parah, keadaan gua porak poranda tidak karuan. Kami merasa kurang leluasa untuk mengundang cuwi sekalian duduk didalam gua!”
“Hmm, mungkin saja disitu ada apa2nya” batin Soen Put shia, tapi diluar dia lantas tertawa terbahak2.
“Haah…. haah…. haah…. kami datang kemari adalah untuk memeriksa penyakit dari kakak serta adikmu, masuk kedalam gua atau tidak itu bukan urusan penting!”
Soen Seng tertawa hambar, diapun tidak banyak bicara lagi.
Kurang lebih seperminum teh kemudian tampaklah dua orang bocah berbaju hijau sambil menyoren pedang menggotong keluar sebuah tandu lemas yang terbuat dari rotan.
Diatas ranjang reotan tadi berbaring seorang pelajar berbaju biru yang berwajah hijau kekuning2an seperti halnya dengan wajah kedua orang bocah itu.
“Turunkan kebawah!” perintah Soen seng. Kedua orang bocah berbaju hijau itu segera turunkan pembaringan rotan tadi keatas tanah kemudian mundur lima depa kebelakang.
Waktu itu pelajar berbaju biru tadi berbaring dengan mata terpejam rapat2 rupanya ia sedang tertidur pulas.
Siauw Ling memandang sekejap wajahnya lalu seraya menoleh kearah Soen seng ujarnya, “Saudara ini adalah….”
“Pemimpin dari Lam Hay Ngo Hiong loota kami, Kioe Kiam Sin Hoan atau sembilan pedang gelang sakti Thio Cu Yoe adanya!”
“Aaah, kiranya pemimpin dari lima rasul maaf…. maaf!”
“Aaai….! toako kami ini bukan saja mempunyai kecerdasan yang melebihi kami sekalian bahkan ilmu silatnya jauh diatas kami semua. Sembilan bilah pedang pendeknya bisa menjagal harimau dari seratus tindak. Sepasang gelang saktinya bisa merontokkan burung yang terbang sepuluh tombak ditengah udara. Oleh sebab itu ia dikenal orang sebagai sembilan pedang gelang sakti. Sungguh tak nyana manusia gagah seperti dia ternyata harus menderita penyakit yang begitu parah….”
Terhadap soal pembicaraan Siauw Ling boleh dibilang sama sekali tak berpengalaman, melihat Thio Cu Yoe pejamkan mata tak sadar ia jadi bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Siauw thayhiap, lebih baik kau tanyakan dahulu keadaan sakit dari Thio heng ini” kata Boe wie Tootiang sambil mendehem.
“Ehmm…. memang seharusnya demikian….” sinar matanya beralih kearah Soen seng dan menambahkan: “Apakah kakakmu selalu berada dalam keadaan tidak sadar?”
Soen seng menggeleng.
“Dia jadi gila dan terhadap saudara sendiripun tidak kenal, maka dari itu dalam keadaan terpaksa cayhe totok jalan darahnya.”
“Bila ingin mengetahui keadaan sakitnya kita harus bebaskan dahulu jalan darahnya yang tertotok!” saran Siauw Ling.
Soen seng ragu2, ia termenung sebentar lalu berkata, “Pada saat ini kesadarannya telah kacau dan hilang, seandainya jalan darahnya kita bebaskan apakah tidak takut kalau ia turun tangan melukai orang?”
Mula2 Siauw Ling tertegun oleh ucapan tersebut, tetapi dengan cepat dia menjawab, “Tidak mengapa, asal sedikit lebih berhati2 rasanya sudah cukup….!”
“Hiante berdua harap berhati2″ pesan Soen seng kemudian sambil memandang sekejap kearah Cay Wie serta Thian tiong Goan. Setelah itu dia baru bebaskan jalan darah Thio Cu Yoe yang tertotok.
Tampak seorang she Thio itu membuka matanya lebar2 dipandangnya sekejap beberapa orang itu kemudian berontak seakan2 mau bangkit berdiri.
Tetapi beberapa jalan darah yang ada dilengan serta kakinya masih tertotok. Oleh karena itu walaupun dia ingin bangkit namun tiada tenaga sama sekali untuk melaksanakan.
“Jalan darah pingsannya telah kubebaskan” bisik Soen seng.
“Ehmm, alangkah baiknya kalau semua jalan darah ditubuhnya dibebaskan, agar siauwte bisa segera periksa denyutan nadinya.”
“Bebaskan jalan darah dilengan serta kakinya?”
Siauw Ling sama sekali tidak mengerti apakah urat nadi seseorang bisa diperiksa atau tidak setelah jalan darah dilengannya tertotok, namun ucapan telah diutarakan terpaksa ia mengangguk.
“Tidak salah, jalan darah dilengannya harus dibebaskan lebih dulu!”
“Kalau begitu berhati2lah Siauw thayhiap” sambil berseru tangannya bergerak cepat membebaskan jalan darah dilengan Thio Cu Yoe, kemudian buru2 loncat mundur tiga langkah kebelakang.
Diam2 Siauw Ling mengempos tenaga dalamnya memperlihatkan reaksi orang she Thio itu.
Tampak Thio Cu Yoe mengulet lalu bangun duduk.
“Bagaimana keadaan sakit anda?” tegur Siauw Ling kemudian setelah menenangkan hatinya.
“Siapa kau?” tegur Thio Cu Yoe sambil menatap wajah lawannya dengan tajam.
“Cayhe Siauw Ling.”
“Heeeh…. heee kiranya kau adalah Siauw Ling, selamat berjumpa!”
“Sadar sekali pikirannya” pikir Siauw Ling. “Sama sekali tidak menunjukkan tanda sedang sakit.”
Sementara otaknya sedang berputar, mendadak pergelangan kirinya mengencang dan urat nadinya sudah dicengkeram oleh Thio Cu Yoe.
Siauw Ling segera salurkan hawa murninya untuk melindungi nadi, kemudian sambil tertawa tegurnya, “Segar sekali ingatanmu kawan?”
Tampak tangan kanan Thio Cu Yoe tiba2 diayun kemuka menghantam dada Siauw Ling, serangan itu membawa deruan angin yang tajam serta daya tekanan yang luar biasa.
Cepat2 si anak muda itu ayun tangan kanan menangkis.
“Cayhe memperoleh undangan dari adik saudara untuk datang memeriksa penyakit yang diderita Thio heng.”
Beberapa kali Thio Cu Yoe hendak bangkit berdiri, namun berhubung jalan darah dilutut serta kakinya masih tertotok maka setiap kali badannya roboh kembali keatas pembaringan. Sekalipun begitu serangan pada tangan kanannya tetap ganas dan dahsyat. Semua hantaman mengancam tempat berbahaya didepan dadanya Siauw Ling.
Sesudah pergelangan kiri si anak muda itu dicengkeram dengan tangan kirinya, maka jarak kedua belah pihak boleh dibilang cuma terpaut beberapa depa saja, Siauw Ling pun tidak melancarkan serangan balasan, setiap kali telapaknya selalu berputar menangkis setiap serangan serta ancaman yang datang dari Thio Cu Yoe, dengan demikian maka untuk sementara waktu kedua belah pihak masih tetap bertahan.
Dalam sekejap mata Siauw Ling telah punahkan sebelas jurus serangan dahsyat dari Thio Cu Yoe.
Sementara itu Soen put shia yang ada disisi kalangan mengikuti jalannya pertempuran itu dengan mata melotot dia merasa betapa serangan dari Thio Cu Yoe kian lama kian bertambah dahsyat dan telengas, tanpa sadar ia jadi curiga pikirnya, “Seandainya Djen Bok Hong mengatur siasat licik dnegan suruh orang itu pura2 sakit lalu memancing kedatangan Siauw Ling kemari maka keadaan kami teramat bahaya. Apalagi kalau dia sudah persiapkan orang2nya disekitar sini…. aku harus bertindak hati2.”
Karena berpikir demikian, segera teriaknya dengan suara lantang, “Saudara Siauw hati2, cepat totok jalan darahnya.”
Sesudah saling bergebrak sebanyak belasan jurus Siauw Ling sendiripun merasakan keadaannya kurang beres, dia merasakan urat nadi pada pergelangan kirinya yang dicengkeram kian lama kian bertambah kencang dan dia mulai merasa tidak tahan. Pemuda ini sadar bila jalan darahnya tercengkeram hilangnya daya kemampuannya untuk melawan musuh bahkan ada kemungkinan bakal terluka ditangannya.
Mendengar teriakan dari pengemis tua, dia tidak sungkan2 lagi, serangan balasan segera dilancarkan dan sekali totok dia hajar bahu Thio Cu Yoe.
Serangan ini cukup berat datangnya, seketika itu juga Thio Cu Yoe merasakan sekujur badannya kaku, ia tak bertenaga untuk melancarkan serangan lagi, sambil mengedorkan cengkeramannya dia roboh kebelakang.
“Siauw thayhiap, kau tidak terluka bukan?” tegur Soen seng cepat, kemudian sambil melirik sekejap toakonya ia bertanya lebih jauh, “Apakah Siauw thayhiap menotok jalan darahnya kembali?”
“Sedikitpun tidak salah!”
“Aaai, itu berarti kita tak akan berhasil memeriksa denyutan nadinya….!”
“Keadaan memang demikian, terpaksa cayhe harus mencari akan lain!” seraya berkata diam2 ia totok jalan darah dilengan Thio Cu Yoe, kemudian tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan kiri orang itu.
Tampak denyutan nadinya sangat lambat, mungkin hal itu disebabkan karena jalan darah pada lengannya tertotok, kecuali itu Siauw Ling tak berhasil menemukan tanda2 aneh lainnya.
“Siauw thayhiap, bagaimana denyutan nadi orang ini?” terdengar Boe Wie Tootiang bertanya.
Dari pemeriksaan tadi Siauw Ling tidak berhasil menemukan perubahan apapun, namun dalam keadaan yang mendesak terpaksa sahutnya, “Denyutan nadi orang ini tidak tetap, jelas menunjukkan tanda2 menderita penyakit.”
Soen seng menghela napas panjang, sambil angkat kepalanya memandang cuaca ia berkata, “Toako kami sudah sehari semalam menderita penyakit aneh itu, untuk mencari Siauw thayhiap telah kehilangan waktu selama empat lima jam lagi, apalagi ucapan dari orang yang meninggalkan surat itu tidak salah, maka hingga kini cuma tinggal tujuh sampai delapan jam saja kesempatan untuk hidup baginya.”
“Cayhe akan berusaha keras menyembuhkan sakitnya.”
“Rupanya Siauw thayhiap belum berhasil juga menemukan sesuatu tanda pada penyakit toako.” sela Thian Tiong Goan dari samping sambil melirik sekejap saudaranya.
“Hmmm!” Soen put shia mendengus dingin. “Kalau sakit yang diderita saudaramu cuma penyakit biasa saja saudaramu tak nanti pergi mengundang kehadiran Siauw thayhiap.”
“Sedikitpun tidak salah” buru2 Soen seng menyambung seraya menjura dalam2. “Saudaraku ini masih muda dan tak tahu urusan, bilamana ucapannya menyinggung perasaan cuwi sekalian, disini heng te mewakili dirinya mohon maaf!”
Menghadapi orang yang menderita sakit aneh ini Siauw Ling benar2 dibikin gelagapan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, segera ujarnya, “Penyakit yang diderita saudara kalian memang luar biasa dan berbeda dengan penyakit2 lain, cayhe hendak rundingkan dahulu persoalan ini dengan Boe Wie Tootiang kemudian baru tentukan penyakit aneh apakah yang sudah dia derita.”
“Meskipun cayhe tidak mengerti akan ilmu pertabiban tetapi kalau dibicarakan dengan kemampuan Toako, boleh dikata ilmu silatnya telah mencapai pada taraf tidak mempan terhadap penyakit apapun, siapa sangka secara tiba2 ia terserang penyakit aneh. Karena itulah cayhe lantas curiga mungkin ada orang sengaja mencelakai dirinya.”
“Penyakit yang diderita saudaramu memang patut dicurigai!”
“Kalau begitu terpaksa kami harus merepotkan kalian berdua!” sambil membawa Cay Wie serta Thian Tiong Goan ia mundur satu tombak kebelakang dan duduk bersila disitu.
Siauw Ling menyapu sekejap wajah kedua orang bocah berbaju hijau itu, lalu katanya pula, “Kalian mundurlah sedikit kebelakang cayhe hendak merundingkan keadaan majikan kalian dengan diri Tootiang.”
Kedua orang bocah berbaju hijau itu saling bertukar pandangan, kemudian bersama2 mundur lima langkah kebelakang.
Setelah kedua orang itu berlalu Siauw Ling baru berkata kepada Boe Wie Tootiang, “Siauwte benar2 tidak mengerti akan ilmu pertabiban, tak kuketahui penyakit apa yang sebenarnya diderita orang ini, bagaimana kalau tootiang yang memeriksanya?”
Boe wie Tootiang mengangguk, dia pegang urat nadi pada pergelangan kiri Thio Cu Yoe untuk diperiksa, kemudian dengan alis berkerut ujarnya, “Pinto rasa dia tidak ada tanda2 menderita sakit.”
“Apakah orang ini sedang pura2 sakit?”
“Aku rasa dia telah terluka!”
Pembicaraan mereka berdua dilakukan degan suara yang amat lirih, sehingga dua orang bocah berbaju hijau yang memperhatikan secara diam2 tak sanggup mengetahui sesuatu apapun.
“Apakah Tootiang mempunyai cara untuk mengobatinya?” tanya Siauw Ling.
“Pinto hanya bisa membuat resep sesuai dengan hasil pemeriksaan nadi, bisakah manjur sukar dikatakan!”
“Aaaai, entah siapa yang telah bergurau dengan kita, bukan saja telah meninggalkan peringatan bahkan menuding diriku yang bisa sembuhkan penyakit ini, dan yang aneh lagi ternyata Lam Hay Ngo Hiong begitu mempercayai ucapannya.”
“Kalau orang yang meninggalkan surat itu ada maksud hendak membantu dirimu untuk menaklukan Lam Hay Ngo Hiong dia pasti akan membantu kita secara diam2.”
“Hingga kini belum ada sesuatu gerak gerik apapun, mungkin dia sengaja hendak mengacau kita.”
“Pinto rasa satu2nya jalan yang bisa kita tempuh sekarang adalah membuat dahulu sebuah resep, lalu suruhlah mereka tunggu sejenak. Kalau tidak ada reaksi juga maka kaulah yang membuat sebuah resep menuntut petunjukan, sekalipun tidak berhasil melukai luka dalamnya sedikit banyak tidak sampai mencelakai jiwanya.”
“Mengikuti keadaan yang ada saat ini, aku rasa terpaksa kita harus bertindak demikian.”
Dalam pada itu Soen seng sekalian yang telah mengundurkan diri sejauh satu tombak kendati sedang bersemedi namun secara diam2 mereka perhatikan setiap gerak gerik dari Siauw Ling. Ketika dilihatnya pemuda itu sedang bicara berbisik2 dengan Boe Wie Tootiang seakan2 sedang merundingkan penyakit dari Thio Cu Yoe terpaksa mereka menunggu dengan sabar.
Siapa sangka setengah jam sudah lewat tanpa menemukan gerak gerik apapun dari Siauw Ling, akhirnya dia tidak sabar lagi dan segera maju kedepan dengan langkah lebar serunya seraya menjura, “Lima bersaudara dari Lam Hay telah membuktikan ketulusan hati kami, semoga Siauw thayhiap suka turun tangan menyembuhkan penyakit yang diderita toako kami.”
Dalam hati Siauw Ling betul2 tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika itu, namun diluar ia tetap berlagak tenang.
“Menurut denyutan nadi kakak kalian rupanya dia tidak menderita penyakit!”
“Tidak menderita penyakit?” seru sitelapak pembetot sukma Soen seng dengan hati terperanjat. “Lalu kenapa dia?”
“Rupanya menderita luka dalam yang parah!”
“Kejadian yang sebenarnya cayhe tidak begitu jelas!” kata Soen seng setelah termenung sejenak. “Ketika aku tiba kembali disini penyakit edan toako kami sedang kumat bagaimana caranya sampai dia menderita penyakit aneh seperti itu ataukah dia cuma menderita luka dalam, cayhe tidak mengetahuinya.”
“Aaah, kenapa aku tidak tanyakan keadaan penyakitnya lebih dulu?” pikir pemuda kita. Sinar matanya segera beralih memandang sekejap kearah dua orang bocah berbaju hijau itu. “Apakah kedua orang murid kakak kalianpun tidak tahu kejadian yang sebenarnya?”
Soen seng segera ulapkan tangannya, dua orang bocah berbaju hijau itu segera mengiakan dan maju kemuka.