Jilid 15
“Seandainya kalian bertemu dengan musuh tangguh atau tanda yang mencurigakan, harap segera kirim tanda kepadaku agar siauwte bisa mempersiapkan bantuan.”
Sang Pat mengangguk kepada Siauw Ling bisiknya, “Siauwte dengan membawa anjing ini akan masuk kedalam hutan lebih dahulu, harap toako suka menyusul dibelakangku.”
Siauw Ling kerutkan dahinya, bibirnya bergerak mau bicara namun tak sepatah katapun sempat dilontarkan keluar.
Sang Pat pun tidak menanti Siauw Ling menjawab segera ulapkan tanganya, dengan membawa anjing raksasa miliknya menerobos kedalam hutan lebih dahulu.
Dari sakunya Siauw Ling merogoh keluar dua biji mata uang dan digenggaman sebagai senjata rahasia, siap-siap menghadapi segala kemungkinan yang menimpa mereka.
Hutan tersebut amat lebat sekali, ranting bersambungan dengan ranting pohon berdempetan dengan pohon lain, begitu lebatnya daun sampai-sampai sedikit sekali cahaya yang berhasil masuk.
Sang Pat salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan, mengikuti dibelakang anjingnya telapak kanan dipersiapkan menghadapi segala kemungkinan.
Pedang panjang ditangan kanan Siauw Ling tiada hentinya berkelebat membabat dahan serta ranting yang menghalangi jalan, tapi hutan ini memang betul-betul lebat. Bagi Siauw Ling yang harus membabat ranting bukanlah suatu pekerjaan gampang. Sedikit pecah perhatian saja ia sudah ketinggalan beberapa tombak dari Sang Pat, terpaksa ia simpan kembali senjatanya dan buru-buru mengejar kedepan.
Kurang lebih setengah jam mereka menerobos kesana kemari, entah berapa jauh sudah dilewati, tiba-tiba anjing itu berhenti. Dihadapan mereka kini terbentang sebuah kolam air yang luasnya mencapai tiga tombak, cahaya air berkilauan menusuk pandangan. Jalan lurus kedalam hutanpun terpotong sampai disitu.
Siauw Ling memandang kolam itu, lalu berbisik: “Saudara Sang, sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Sungguh aneh sekali!” jawab Sang Pat sambil memandang air kolam. “Aku sendiripun tak mengerti apakah orang itu berdiam didalam air?”
“Luas kolam ini mencapai beberapa tombak, sekelilingnyapun merupakan hutan yang amat lebat, sekalipun ada orang berdiam disini tak mungkin ia berdiam didalam air.”
“Siauwtepun merasa rada aneh! tidak mungkin tanpa alasan anjing ini membawa kita kemari!”
Perlahan-lahan Siauw Ling alihkan sinar matanya kearah kolam. Ia lihat air kolam itu berwarna hijau, sekilas pandang suka melihat dasarnya, dalam hati iapun merasa keheranan.
“Mungkinkah didalam kolam yang kecil masih terdapat hal-hal yang aneh?”
Pluuuung….! mendadak titik air muncrat keangkasa membasahi angkasa. Kiranya Sang Pat telah menyambitkan sebuah batu kedalam kolam.
“Saudara Sang” ujar Siauw Ling kemudian setelah menghela napas panjang. “Menurut pendapat siauw heng tidak mungkin orang itu berdiam didalam kolam, mungkin kita sudah terperangkap oleh siasat musuh.”
“Kecuali sebelumnya orang itu sudah tahu kalau kita punya anjing yang bisa mengintip jejak mereka. Mungkin mereka sengaja menghilangkan jejaknya ditepi kolam itu.”
“Mereka bisa temukan goa batu itu, kenapa tidak bisa mengatur siasat ini?”
“Ucapan toako sedikitpun tidak salah….” ia merandek sejenak lalu tambahnya: ” Seandainya orang itu bisa berpikir demikian seksama ia benar-benar seorang musuh tangguh.”
Tiba-tiba terdengar suatu gelak tertawa yang sangat aneh berkumandang datang.
Sang Pat segera berpaling memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ia lihat disisi kolam ada tanah kosong seluas beberapa depa, seandainya sampai terjadi pertarungan maka mereka cuma bisa berkutik disekeliling sana belaka.
Dengan kencang Siauw Ling genggam mata nangnya, ia mendongak keatas. Tampaklah dari atas sebuah pohon yang tinggi besar tiba-tiba muncul seutas tali rotan yang amat panjang. Disusul munculnya seorang lelaki kekar berbaju hitam meluncur turun lewat rotan tadi.
Sang Pat takut Siauw Ling tidak kuat menahan sabar segera turun tangan keji buru-buru bisiknya, “Toako jangan tergesa-gesa turun tangan kita bicarakan dahulu persoalan ini hingga jelas.”
Siauw Ling mengangguk, ia lantas berpaling kearah orang berbaju hitam tadi.
Rotan itu terkulai kearah tengah kolam, tatkala sepasang kaki orang berbaju hitam itu sambil menempel diatas permukaan air, tiba-tiba ia mengayun rotan tersebut kemudian lepas tangan dan melayang ketepi daratan.
Sejak turun dari rotan hingga berdiri ditepi daratan, orang itu selalu berdiri membelakangi Siauw ling. Oleh sebab itu baik si anak muda itu maupun Sang Pat tak dapat menjumpai raut wajahnya.
Masing-masing pihak berdiri membungkam hampir seperminum teh lamanya, siapapun tidak buka suara, sedang orang itupun tidak pernah menoleh.
Si sie poa emas Sang Pat tak dapat menahan sabar lagi, ia mendehem dan menegur, “Sahabat, sungguh hebat kesabaranmu! apakah kau tidak takut kami sekalian turun tangan membokong dirimu?”
“Coba saja membokong aku!” jengek orang itu dingin, kepalanya sama sekali tidak berpaling.
Sang Pat melirik sekejap kearah Siauw Ling, lalu berkata, “Sahabat, besar benar bacotmu! seandainya kami hendak membokong dirimu, mungkin pada saat ini mayatmu sudah mengapung ditengah kolam.”
“Hmmm! untung kalian tidak sampai membokong aku, kalau kalian berbuat begitu mungkin mayat yang mengapung ditengah kolam pada saat ini bukan aku melainkan diri kalian.”
“Seorang lelaki jantan, pria sejati berani berbuat berani menanggung, buat apa kau lakukan tindak tanduk yang tersembunyi? setelah berani menampakkan diri, kenapa tidak berpaling kearah kami?”
“Hal ini disebabkan napsu membunuh dalam hati loohu belum berkobar.”
“Sungguh aneh!” batin Siauw Ling. “Sebelum napsu membunuhnya berkobar kenapa ia tak sudi berpaling?”
Segera tanyanya, “Maksud dari ucapan sahabat sukar diterima dalam pikiran kami, dapatkah kau jelaskan lebih jauh?”
“Kalian ingin tahu?”
“Dengan senang hati kami dengarkan penjelasanmu.”
“Sejak loohu berdiam disini aku telah angkat sumpah, barang siapa yang berjumpa dengan loohu tidak kulepaskan dia pergi dalam keadaan hidup-hidup, semuanya akan kubunuh sampai habis.”
Sinar mata Siauw Ling perlahan-lahan menyapu sekeliling tempat itu, tampaklah diantara pepohonan yang lebat kecuali kolam tersebut boleh dibilang tiada tempat yang bisa digunakan untuk berdiam diri. Dalam hati kembali ia berpikir: “Tempat semacam ini hanya sesuai digunakan sebagai sarang ular dan harimau, mana mirip tempat jagoan lihay?”
Dalam hati ia berpikir begitu, diluar ia menyahut, “Kini sahabat telah menampakkan diri, hal ini berarti kita sudah saling bertemu.”
“Sebelum kalian berjumpa dengan wajah asliku, tentu saja pertemuan ini tak boleh diartikan sebagai suatu perjumpaan.”
“Ingin sekali aku menyaksikan wajahmu yang sebenarnya” Sang Pat berseru. “Tapi kamipun tak ingin dibunuh. Apakah kau punya cara lain untuk mengatasi hal ini?”
“Caranya sih ada, cuma kemungkinan besar kalian tak punya kemampuan untuk melakukannya.”
“Coba katakanlah caramu itu!”
“Cuma ada satu jalan, yaitu kalian harus menangkan diri loohu terlebih dahulu.”
“Baik. Kita tentukan dengan sepatah perkataanmu itu. Sahabat. Harap kau suka berpaling.”
Orang berbaju hitam itu tertawa dingin, perlahan-lahan ia putar badannya menghadap kearah Sang Pat berdua.
Mata Siauw Ling dan Sang Pat dengan tajam mengawasi wajah orang itu, tetapi dengan cepat hati mereka tergetar keras, pikirnya, “sungguh jelek dan menyeramkan wajah orang ini.”
Kiranya diatas pipi orang itu masing-masing tumbuh sebuah bisul beracun sebesar kepalan tangan, dari bisul yang sebelah kiri darah segar mengucur terus tiada hentinya, sedangkan dari bisul yang sebelah kanan menetes keluar nanah yang kental dan busuk sekali baunya.
“Loo heng” Sang Pat segera menjura. “Sudah lamakah kau tinggal disini?”
Napsu membunuh berkobar dari sepasang mata orang berbaju hitam itu, sambil menuding kearah Siauw Ling katanya, “Mungkin lebih lama dari usia bocah ini!”
“Ingin sekali kami mencari tahu satu persoalan dari loo heng.”
“Aku lihat lebih baik kau tak usah mencari tahu persoalan lain lagi.”
“Persoalan ini mempunyai sangkut paut yang amat besar dengan kami sekalian. Bila kau suka memberi tahu, kami sangat berterima kasih sekali.”
“Apakah kalian telah melupakan sumpah dari loohu? kalian sebentar lagi akan mati. Sekalipun persoalan yang akan datang bisa diketahui tapi apa gunanya?”
“Aku harus memaklumi keadaannya, tentu saja ia jadi malu bertemu dnegan orang karena dipipinya tumbuh dua bisul yang bau dan jelek. Biarlah aku mengalah saja” pikirnya.
Berpikir demikian dengan tenang katanya, “Antara Loocianpwee dengan kami berdua belum pernah terikat permusuhan tidak bersungguh-sungguh ingin membinasakan kami berdua.”
“Selama berdiam disini loohu telah membunuh delapan belas orang, bersama kalian dua orang jumlahnya tepat dua puluh orang. Orang-orang yang telah kubunuhpun sama halnya dengan kalian tidak pernah terikat permusuhan apapun dengan cayhe.”
“Sungguh keji dan kejam hati orang ini. Tidak sepantasnya kubiarkan manusia seperti ini tetap hidup didunia untuk mencelakai sesama manusia” pikir Siauw Ling lagi.
Sementara itu Sang Pat tertawa terbahak-bahak.
“Kami telah memasuki daerah terlarang milik loo heng sudah sepantasnya kalau kami dibunuh mati, tapi sebelum kami menemui ajal dapatkah loo heng menjawab terlebih dahulu satu persoalan? sehingga seandainya mati ditangan loo heng pun tidak sampai jadi menyesal!”
“Baik, tanyalah.”
“Tahukah loo heng kemarin malam ada orang yang telah melewati daerah terlarang milik loo heng?”
“Kalau ada orang berani melewati tempat ini, dia pasti sudah mati binasa….”
“Sekalipun orang itu sudah mati, mayatnya tentu masih ada bukan?”
Namun orang berbaju hitam itu segera menggeleng.
“Sejak lima tahun berselang, kalian berdua baru saja merupakan orang pertama yang mendatangi tempat ini.”
Sang Pat jadi tertegun.
“Bicara terus terang kami bisa sampai ditempat ini karena sedang mengejar beberapa orang penjahat, sepanjang perjalananpun ada anjing ini sebagai pencari jalan, seandainya tiada orang yang pernah melewati tempat ini, tidak nanti anjing kami membawa kami sampai disini. Kita berdua adalah sama-sama orang Bulim. Harap loo heng suka memberi petunjuk buat kami.”
“Jangan ajak loohu bersilat lidah” teriak orang itu marah. “selama hidup loohu belum pernah bersahabat dengan orang lain.”
Siauw Lingpun dibikin naik pitam oleh sikap orang itu, bentaknya pula, “Kami sekalian tiba disini atas petunjuk anjing kami, cayhe rasa kami tidak salah mencari. Sekarang anda berusaha membohongi jelas kamupun komplotan dari mereka!”
“Bagus…. bagus sekali!” saking gusarnya seluruh tubuh orang berbaju hitam itu bergetar keras. “Sungguh besar nyalimu bocah, berani benar bicara kurang ajar dengan loohu!”
Tiba-tiba ia membentak keras, tangannya diayun mengirim sebuah serangan dahsyat.
Siauw Ling tidak gentar, ia ayun pula telapak kirinya menyambut datang serangan itu dengan keras lawan keras.
Bentrokan sepasang telapak menimbulkan suara ledakan dahsyat, kedua belah pihak sama-sama mundur selangkah kebelakang.
“Sungguh dahsyat kekuatan kakek ini, aku tak boleh pandang enteng dirinya….” pikir Siauw Ling.
Sementara kakek itupun memandang wajah Siauw Ling dengan mata melotot, setelah tertegun beberapa saat serunya, “Bocah cilik, hebat juga kepandaian silatmu! semenjak loohu berdiam disini selama puluhan tahun dan membinasakan delapan belas orang yang berani mendekati kolam ini. Belum pernah ada orang yang sanggup menahan dua buah pukulan loohu.”
“Ooouw ya? maaf kalau aku telah mengejutkan dirimu.”
“Loo heng!” Sang Pat pun berkata sambil tertawa. “Telapakmu berwana merah darah, rupanya ilmu yang kau yakini adalah ilmu Ang Sah Ciang!”
“Tidak salah, selama puluhan tahun belum pernah ada orang yang berhasil lolos dalam keadaan selamat dari ancaman ilmu Ang San Ciangku!” seraya berkata orang berbaju hitam itu kembali ayun telapak kanannya siap melancarkan serangan.
“Tahan!” buru-buru Sang Pat berseru.
“Perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan?”
“Dalam membinasakan kedelapan belas korbanmu, Loo heng selalu mengirim pukulan hanya satu jurus belaka, sebaliknya pukulanmu yang pertama pada saat ini bukan saja tidak berhasil mendapatkan korban bahkan sama sekali tak dapat melukai toako kami. Apabila pertarungan ini dilanjutkan terus, siapa menang siapa kalah masih sukar untuk diduga, seandainya kami sekalian terbunuh yah sudahlah…. tapi jikalau Loo henglah yang terluka ditangan kami, bukankah hal ini akan merugikan dirimu?”
“Loohu percaya tidak nanti sampai terluka ditangan kalian!” sahut kakek jelek itu dingin tanpa banyak bicara lagi telapak kanannya langsung diayun menghantam dada Siauw Ling.
Menyaksikan tingkah laku orang berbaju hitam itu, dalam hati Siauw Ling segera berpikir, “Rupanya sebelum aku berhasil tundukkan orang ini, tidak nanti ia mau bicara terus terang….”
Laksana kilat tangan kanannya segera menotok keluar mengancam urat nadi orang tua itu sementara tangan kirinya mengirim satu pukulan dahsyat.
Meski wajah orang berbaju hitam itu amat jelek dan memuakan, ilmu silatnya tidak lemah, sepasang telapak mengirim serangan berbareng, bukan saja gencar dan cepat bahkan hebatnya luar biasa.
Siauw Ling tak mau tunjukan kelemahannya iapun saling merebut menyerang dengan andalan ilmu pukulan kilat berantal.
Dalam sekejap mata dua puluh jurus telah lewat, Siauw Lingpun berhasil merebut posisi diatas angin.
Rupanya orang berbaju hitam itu sama sekali tidak mengira kalau ilmu telapak yang dimiliki pemuda ini begitu dahsyat dan ampuh, hatinya terperanjat sekali. Setelah bergebrak beberapa jurus lagi ia mulai tak sanggup menerima datangnya serangan lawan, gerak geriknya mulai bingung dan kacau rupanya sebentar lagi ia bakal roboh.
Siauw Ling sendiripun tidak ingin bertempur lebih lama, diam-diam ia siapkan ilmu totok Siauw loo sim cienya yang sakti. Ditengah pertempuran mendadak ia menyentil keluar.
Dalam pada saat itu sikakek tua berbaju hitam tadi sudah mulai kehabisan tenaga dan terdesak hebat. Berada dalam keadaan seperti ini tidak mungkin lagi baginya untuk menjaga serangan lawan. Sentilan Siauw Ling dengan cepat menghantam jalan darah Chiang Bun Hiat diatas iganya.
Kehebatan ilmu jari Siauw Ling luar biasa hebatnya, kakek tua itu merasakan iganya jadi kaku, tanpa dapat diketahui lagi kakinya jadi lemas dan jatuh terjengkang diatas tanah.
“Selama ini kau telah membinasakan delapan belasan orang, rupanya saat pembalasan bagi perbuatanmu telah tiba pada hari ini!” seru Sang Pat. ia cekal baju orang dan diangkat keatas. “Kalau kau ingin membunuh dua orang lagi sehingga jumlah korbanmu genap jadi dua puluh orang, sekarang hanya bisa terpenuhi dengan satu cara saja!”
“Apa caramu itu?”
“Jawablah setiap pertanyaan yang cayhe ajukan secara jujur dan tepat, kalau kau berani bicara bohong barang sepatah kata, jika sampai ketahuan oleh cayhe…. awas akan kusiksa badanmu.”
Rupanya sekalipun watak kakek itu dingin dan sombong, namun ia sangat takut menghadapi kematian. Buru-buru sahutnya, “Cepatlah ajukan pertanyaanmu, asal loohu tahu pasti akan kujawab sejujurnya.”
“Dari kemarin hingga pagi ini, apakah ada orang yang lewat ditempat ini?”
Kakek berbaju hitam ini menggeleng.
“Barang siapapun yang melewati tempat ini pasti akan diketahui loohu….”
“Siapa saja orang terakhir yang melewati tempat ini? dan kearah mana mereka pergi?”
“Sejak tiga tahun berselang belum pernah ada orang yang melewati tempat ini….” sinar matanya menyapu sekejap kearah Siauw Ling serta Sang Pat. “Kalian berdua adalah orang terakhir yang mengunjungi tempat ini.”
“Hmm! rupanya sebelum kau merasakan sedikit penderitaan kau tidak mau bicara terang” jengek Sang Pat. Jari telunjuknya segera menotok keatas bisul besar pada pipi sebelah kirinya.
Kakek berbaju hitam itu mendengus berat, keringat dingin mengucur keluar membasahi diseluruh tubuhnya, jelas bisul yang terlemah darinya, sehingga cuma sentilan perlahanpun sudah cukup membuat dia menderita.
“Kau mau bicara tidak?”
“Aku betul-betul tidak pernah berjumpa dengan orang yang berusaha lewat disini….” teriak kakek itu berulang kali sambil menahan rasa sakit.
Kontan Siauw Ling mengerutkan alisnya.
“Kami punya anjing yang membawa jalan, seandainya orang itu tidak lewati tempat ini tidak nanti ia membawa kami sampai disini.”
“Kalau soal bau, hal ini dikarenakan didaerah sekitar sini terdapat seekor binatang aneh yang bisa menyiarkan bau harum semerbak, anjingmu itu datang kemari karena tertarik oleh bau tadi.”
“Binatang aneh apa yang bisa menyiarkan bau harum yang begitu wangi?”
“Loohu sendiripun tak tahu namanya, tapi tempat yang dilalui olehnya pasti menyiarkan suatu bau harum yang aneh, setiap kali ia keluar dari sarangnya, bau harum itu pasti memancing kehadiran harimau, macan tutul dan lain-lainnya. Hanya saja binatang ini jarang sekali meninggalkan goanya.”
“Kini binatang aneh itu berada dimana?”
Orang berbaju hitam kemak kemik namun tak sepatah katapun diutarakan keluar.
“Bagus…. bagus sekali. Rupanya kau ingin main setan dengan aku?” teriak Sang Pat. Tangan kanannya diayun, kembali ia totok bisul besar diatas pipinya.
“Jangan…. jangan…. akan loohu terangkan akan loohu terangkan!”
Menyaksikan tingkah laku kakek itu, dalam hati Sang Pat merasa amat geli, pikirnya, “Waktu berjumpa pertama kali tadi, aku masih menyangka dia lihay sekali, tak tahunya orang inipun takut akan kematian.”
Sebaliknya Siauw Ling yang menyaksikan dua bisul besar diatas pipinya, dimana yang satu mengeluarkan darah sedang yang lain mengeluarkan nanah, timbul rasa kasihan dari dalam hatinya.
“Lepaskan dia, biarlah dia berbicara perlahan-lahan!” ujarnya cepat.
Sang Pat menurut dan melepaskan cengkeramannya.
“Kalau kau berani main gila dan bicara bohong lagi, akan kukorek kedua bisul besar diatas wajah itu!”
Orang itu menghela napas panjang.
“Binatang itu berdiam dalam sebuah goa hitam kurang lebih sepuluh li dari sini….”
“Mengenai asal usul gua hitam ini loohu rada kurang begitu jelas, tetapi diatas batu peringatan didepan goa tadi memang tertulis Goa Hitam, dua patah kata itu. Oleh sebab itulah loohu sebut saja goa itu sebagai Goa Hitam.”
“Baiklah! lanjutkan ceritamu!”
“Dibawah batu peringatan tersebut terdapat sebuah goa, dalam hutan rimba yang memangnya jarang kena sinar membuat itu makin gelap gulita hingga sulit menemukan dasarnya, baru masuk beberapa depa saja suasana sudah amat gelap hingga sukar melihat jari tangan sendiri.”
“Kau pernah pergi kesitu?”
Kakek tua itu mengangguk.
“Seandainya loohu tidak pernah pergi kesitu tidak nanti tumbuh dua buah bisul besar diatas pipiku.”
“Aaah! sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Kejadian ini sudah berlangsung puluhan tahun berselang, ketika loohu mengejar binatang aneh itu dan masuk kedalam gua hitam. Baru saja masuk beberapa tombak jalan darahku telah ditotok orang….”
“Jadi kalau begitu dalam goa hitam itu berdiam seseorang?” tanya Siauw Ling cepat.
“Masihkah orang itu berdiam didalam gua hitam, loohu tidak berani memastikan. Tetapi setelah jalan darahku tertotok rasanya aku dengar ada dua orang sedang berbicara, jelas mereka adalah satu pria satu wanita….”
“Jadi kalau begitu bisul yang ada diatas wajahmu baru ada sejak waktu itu?”
“Tidak salah, bisul beracun yang tertinggal diatas pipi loohu adalah hasil karya dari kedua orang laki perempuan itu, entah mereka sudah mengusapkan bubuk racun apa keatas wajahku beberapa hari kemudian muncullah dua bisul-bisul beracun ini. Kalau mengikuti maksud sang pria, dia ingin membinasakan diriku tetapi yang perempuan ngotot hendak menahan nyawaku, maka akupun lantas disuruh menjaga kolam air ini….”
“Bagaimanakah raut muka lelaki dan wanita itu?”
“Selama ini loohu belum pernah menyaksikan sendiri raut muka serta potongan badan mereka.”
“Kenapa kau tidak melarikan diri?”
“Diatas pipiku tumbuh dua buah bisul racun yang setiap hari mengucurkan darah kental, darimana aku berani berjumpa dengan orang lain? lagipula setiap tiga bulan sekali aku harus menelan obat penawar, apabila obat itu tidak ditelan maka bisul racun ini akan semakin membesar, sakitnya sampai menusuk sumsum, meski terhitung aku tidak malu bertemu dengan orang dan lari dari sini, seandainya bisul ini kambuh dan tiada obat yang bisa menyembuhkan, bukankah jiwaku bakal melayang?”
“Ooouw…. kiranya begitu!”
“Itu berarti setiap tiga bulan sekali dari sana ada ornag yang datang mengantarkan obat penawar bagimu?” Sang Pat bertanya.
“Tidak salah, cuma yang mengantarkan obat itu bukan manusia.”
“Kalau bukan manusia yang mengantarkan obat itu apa setan?”
“Obat itu dikirim oleh seekor monyet putih.”
Siauw Ling melirik sekejap kearah Sang Pat. Tiba-tiba ia kebaskan jalan darah orang tua itu, ujarnya, “Kau berbuat demikian karena dipaksa orang. Karena keadaanmu memang patut dikasihani, tapi selama kau berada disini delapan belas nyawa sudah hilang, perbuatanmu sedikit banyak keterlaluan sekali.”
“Loohu berbuat demikian karena dipaksa oleh keadaan. Pemilik goa hitam itu memerintahkan cayhe untuk membunuh setiap manusia yang berani memasuki daerah sekitar tombak dari kolam ini. Apabila loohu tidak menuruti perintahnya, ia tidak memberikan obat penawar itu kepadaku.”
“Tahukah kau jalan menuju kegoa hitam?”
“Aku tahu, tapi aku tak berani pergi kesitu lagi.”
“Bawalah kami kesana, keselamatanmu pasti kami lindungi.”
Biji mata orang tua berbaju hitam itu berputar memperhatikan sekejap kedua orang itu kemudian katanya, “Keahlian silat orang itu amat lihay, mungkin kalian masih bukan tandingan dari pemilik goa hitam!”
Sang Pat tertawa dingin.
“Memang harus pergi, kalahpun harus pergi. Kalau kau tidak ingin minum arak kehormatan, baiklah akan kami berikan arak hukuman kepadamu.”
“Seandainya kalian bertemu dengan lelaki perempuan itu dan kehilangan nyawa, loohu yang ikut kesitu bukankah akan mati konyol juga?”
“Kau hidup sebagai budak, lebih baik mati saja. Kau lebih bebas dan tidak terikat oleh siapa-siapa?”
“Aaah betul juga ucapanmu” seru orang itu rada melengak. “Selama belasan tahun ini, kenapa loohu tak pernah berpikir sampai kesitu?”
“Sekarang kau sudah dapat berpikir sampai kesitu bukan?”
“Berkat teguran anda, kini aku telah mendusin dari impian.”
“Jadi kamu suka membawa kami pergi kesitu kan?”
“Baiklah, paling-paling kalau kamu berdua kalah, aku ikut korbankan selembar jiwaku.”
Mendadak Sang Pat maju dan menjura kepada orang berbaju hitam itu.
“Loo heng, siapakah namamu? dapatkah diutarakan?”
“Siauwte Ong Hong….”
“Aaaa…. haaa…. kiranya simacan tutul berkepala sembilan Ong Hong.”
“Sedikitpun tidak salah dan saudara adalah?”
“Sie poa emas Sang Pat.”
“Ouw kiranya sepasang pedagang dari Tiong chiu….”
“Tidak salah cayhe adalah Loo toa dari Tiong chiu Siang Ku. Ong heng!! kau jarang bergaul dengan orang Bulim. Selamanya berkelana seorang diri. Sungguh tak nyana kaupun kenal dengan nama kami berdua.”
“Aaai…. selama hidup cayhe paling tidak suka bersahabat, ditambah pula berdiam selama puluhan tahun dalam hutan lebat ini, tentu saja tabiatku makin lama berubah jadi makin aneh. Bila aku sudah berbuat salah pada kalian tadi, harap kamu berdua suka memaafkan….”
“Laaa…. laaa…. coba lihat. Bukankah sikapmu halus dan ramah sekali? kenapa tak bisa bersahabat dengan orang lain?”
“Aaaai…. selama hidup cayhe belum pernah punya sahabat, biasanya aku berkeliaran seorang diri didalam Bulim. Itu masih tidak seberapa. Sejak pemilik goa hitam mempolesi pipi loohu dengan racun sehingga mengakibatkan tumbuhnya dua bisul yang mengucurkan darah serta nanah kental. Ditambah pula harus berdiam dalam hutan lebat yang tiada berpenghuni selama puluhan tahun, setiap kali teringat kejadian lampau, loohu merasa tiada satu persoalaanpun yang patut dikenang, bahkan seorang manusiapun tak ada yang bisa kukenang….”
“Haaa…. haaa…. oleh sebab itu Ong heng ingin bersahabat dengan kami?”
“Siauwte merasa rendah diri. Bila saudara tidak menampik….”
“Ong heng tak usah bicara sungkan, siauwya senang sekali mengikat tali persahabatan dengan Ong heng.”
“Sungguh?”
“Setiap perkataan yang kuucapkan keluar dari hati sanubariku.”
Sementara Ong Hong hendak menjawab, tiba-tiba terdengar serentetan suara yang sangat aneh berkumandang datang.
“Suara apa itu?” tanya Siauw Ling.
Tampaknya anjing raksasa yang berada didepan Sang Pat menggonggong keras kemudian lari kemuka.
“Sang heng!” buru-buru Ong Hong berseru. “Cepat halangi perjalanan anjingmu, binatang aneh tersebut segera akan menampakkan diri.”
Sepasang tangan Sang Pat dengan cepat ditempelkan keatas mulut dan memperdengarkan suitan panjang yang rendah dan berat.
Sungguh aneh sekali anjing yang sedang lari kemuka itu tiba-tiba berhenti, putar badan dan balik kesisi majikannya.
“Entah suara gonggongan anjing barusan telah mengejutkan binatang aneh itu atau tidak?” bisik Siauw Ling.
“Setiap tiga hari sekali binatang aneh itu tentu akan datang kekolam ini untuk mandi, ini hari adalah saatnya pergi mandi. Ayo kita cepat sembunyikan diri.”
Sang Pat segera bopong anjingnya dan bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar.
Siauw Ling serta Ong Hong pun cepat menyembunyikan diri.
Baru saja beberapa orang itu menyembunyikan diri, terciumlah serentetan bau harum yang sangat aneh berhembus datang.
“Binatang aneh itu segera akan menampakkan diri” bisik Ong Hong yang berada disisi Siauw Ling.
Si anak muda itu alihkan sinar matanya tampak dari balik hutan lebat disebelah barat lambat-;ambat muncul seekor binatang aneh berbulu putih yang mirip kidang namun bukan, mirip pula seperti kambing namun bukan kambing.
Tampak binatang itu perlahan-lahan berjalan kesisi kolam, ia pandang sekejap air didalam kolam kemudian terjun kebawah.
“Apa gunanya binatang aneh ini?” bisik Siauw Ling.
“Menurut apa yang cayhe ketahui, pemilik Goa Hitam itu sangat menyayangi binatang ini sedang mengenai apa gunanya siauwte kurang begitu jelas….”
Suatu ingatan berkelabat dalam benak Siauw Ling, “Seandainya kita berhasil menangkap binatang aneh ini. Pemilik Goa Hitam pasti akan datang mencari kita. Bukankah dengan begitu kita tak usah pergi ke Goa Hitamnya?”
“Tentang soal ini siauwte tak berani mengambil keputusan, rasa sayang pemilik Goa Hitam terhadap binatang aneh inipun berkat pengamatan siauwte selama puluhan tahun ini. Namun selama puluhan tahun pemilik Goa Hitam tak pernah tinggalkan goanya barang selangkahpun jua, sekalipun kita berhasil menangkap binatang aneh itu, berhasilkah memancing dia keluar dari goanya masih merupakan sebuah tanda tanya besar.”
Sementara mereka berbicara, mendadak terdengar suara auman yang amat keras berkumandang datang dari balik hutan.
“Suara apa itu?” tanya Siauw Ling dengan sepasang alis berkerut.
“Oouw…. itu suara seekor singa jantan! setiap kali binatang aneh itu pergi mandi, binatang buas serta binatang-binatang lain seringkali terpancing datang kemari. Walau selama banyak tahun siauwte merasa kesepian namun banyak pengalaman serta pengetahuan yang telah kudapat, banyak burung serta binatang aneh yang telah aku jumpai.”
Pada saat itu kembali terdengar pekikan aneh berkumandang datang dari tengah udara.
Siauw Ling yang bersembunyi dibalik hutan segera mendongak, tampaklah seekor burung raksasa yang berbulu warna warni terbang rendah diatas kolam dan hinggap diatas sebuah pohon.
“Burung merak tersebut adalah seekor burung jantan” ujar Ong Hong. “Semula mereka berpasangan, tapi entah kenapa sudah banyak waktu burung merak betina itu tidak nampak, mungkin saja ia sedang bertelur, sudah hampir setengah bulan ia tidak datang kemari.”
Ucapan ini mengherankan hati Siauw Ling, pikirnya, “Mungkinkah bau harum yang disiarkan binatang aneh itu bisa begini lihay? bukan saja burung-burung aneh bahkan binatang buaspun pada berkumpul disini.”
Terdengar suara auman keras kembali berkumandang datang, seekor singa yang amat besar perlahan-lahan berjalan kearah kolam dan merebahkan diri diatas rerumputan.
Diam-diam Siauw Ling mengempos tenaga tangan kirinya merogoh kedalam saku ambil sebiji mata uang, asalkan singa tadi menunjukkan gerak gerik yang tidak menguntungkan, ia akan segera menghajarnya.
“Harap Siauw heng suka legakan hati” bisik Ong Hong. “Keanehan binatang tersebut justru terletak pada sikap binatang lain yang begitu halus serta lunak terhadap dirinya, siapapun tak akan melukai dirinya.”
“Ouw begitu!!”
Sementara mereka masih bercakap-cakap, mendadak binatang aneh berbulu putih itu loncat keluar dari dalam kolam dan lari kearah barat.
“Aduuh celaka!” teriak Ong Hong. “Meski binatang aneh itu tidak takut pada binatang buas atau burung ganas, tapi sangat jeri terhadap manusia bahkan telinga serta matanya amat tajam, mungkin dia telah mendengar pembicaraan kita!”
“Kalau begitu ayo cepat kita kejar!” seru Siauw Ling sambil loncat keluar dari persembunyiannya.
Pada saat itu Sang Patpun loncat keluar dari balik pohon, anjing yang berdiri disisinya segera meloncat kemuka diiringi gonggongan keras binatang itu menubruk kearah singa yang sedang berbaring disisi kolam. Dengan gusar singa itu mengaum keras iapun melompat bangun menyongsong kedatangan anjing tadi.
Pada waktu itu Siauw Ling telah tiba ditepi seberang, menyaksikan singa itu melotot dengan amat gusar. Ia takut anjing milik Sang Pat bukan tandingannya, tangan kanannya segera diayun menyambitkan mata uang yang digenggamnya tadi kearah singa.
Serangannya kuat dan tepat, mata uang tadi dengan telak menghajar mata kiri singa itu. Sang singa mengaum kesakitan diiringi dengusan yang berat binatang itu putar badan dan melarikan diri.
Terdengar suara burung terbang keangkasa, berpuluh-puluh ekor burung aneh yang lagi bertengger diatas pohon sama-sama melarikan diri mencari keselamatan.
Begitulah dipimpin oleh Siauw Ling yang segera disusul oleh Sang Pat serta Ong Hong, mereka sama-sama mengejar binatang aneh tersebut, walaupun hutan rimba yang lebat amat mempengaruhi kecepatan gerak mereka.
Untung sekali daya cium anjing yang mereka bawa amat tajam, dengan petunjuk sisa bau harum yang tertinggal mereka terus kemuka.
Beberapa li kembali sudah lewat, tiba-tiba pemandangan dihadapan mereka berubah, ditengah hutam rimba yang lebat muncul sebuah tanah lapang yang luas dan cerah tersorot cahaya sang surya.
Sang Pat memperhatikan sekejap tanah lapang itu, luasnya kurang lebih ada sepuluh tombak. Rumput nan hijau dan lembut laksana permadani yang menutupi permukaan bumi, suasana disitu jauh berbeda dengan keadaan didalam hutan rimba tadi.
“Tempat apakah ini?” tanya Siauw Ling sambil berpaling kearah Ong Hong.
“Soal ini…. soal ini…. cayhe sendiripun kurang begitu jelas….!”
“Tempat ini bukan Goa Hitam?”
“Bukan! Goa Hitam letaknya berada dibawah sebuah pohon siong yang besar. Meskipun didepannya terdapat sebidang tanah namun tempat itu tertutup oleh dedaunan yang lebat, tiada cahaya matahari yang bisa menyoroti sisinya….”
“Kalau begitu kita lepaskan lagi anjing kita, biar dia yang menunjukkan tempat persembunyian binatang aneh itu.”
“Jangan keburu napsu!” cegah Siauw Ling. Ia berjongkok dan cabut segenggam rumput, setelah diperhatikannya beberapa saat ia berkata, “Ong heng kau telah berdiam puluhan tahun didalam hutan rimba ini, pernahkah kau jumpai rerumputan yang begitu lunak dan halus?”
“Belum pernah kutemui!”
Sang Pat pun berjongkok dan mencabut segenggam rumput, ia rasakan rumput itu lunak bagaikan kapas, segera serunya pula, “Aaah betul juga. Rumput ini halus dan empuk!”
“Persoalan terletak disini, ditengah hutan rimba yang lebat dan seram darimana bisa muncul rumput halus yang begitu lunak? jelas ada orang sengaja memeliharanya disini.”
“Pendapat toako sedikitpun tidak salah, tempat ini memang rada sedikit kukoay!”
“Kecuali tanah berumput seluas puluhan tombak ini, tempat lain penuh ditumbuhi hutan belukar yang saling bersambungan. Oleh sebab itu aku rasa tempat yang paling mencurigakan adalah daerah sekitar sepuluh tombak ini….”
“Tidak salah, hanya dari daerah sekitar sepuluh tombak ini saja kita dapat membongkar rahasia ini.”
Siauw Ling putar badannya siap menggali tanah diujung tanah lapang berumput itu, belum sampai ia bertindak mendadak terdengar suara peringatan yang bernada berat berkumandang datang.
“Dibawah tanah berumput ini terpelihara makhluk yang paling berbisa dikolong langit dewasa ini, sekalipun kalian memiliki ilmu silat yang sangat lihay, jangan harap bisa menghadapi beribu-ribu bahkan berjuta-juta ekor binatang beracun ini!”
Peringatan tersebut muncul secara mendadak membuat Siauw Ling serta Sang Pat sama-sama tertegun dibuatnya.
Tatkala mereka mendongak, tampaklah sebuah kursi beroda perlahan muncul dari balik hutan!
Kursi beroda itu aneh sekali bentuknya disekeliling karena terpancang bambu-bambu diempat penjuru, sedang disekeliling bambu terpancang kain kelambu berwarna hijau. Seorang lelaki berusia pertengahan dengan wajah yang pucat pias bagaikan mayat dan memakai baju warna biru duduk dalam kursi roda tadi.
“Orang ini sungguh aneh” bisik Siauw Ling kepada Sang Pat dengan nada tercengang. “Kenapa ia pasang kelambu disekeliling kursi rodanya?”
“Rupanya dalam hutan rimba yang sangat lebat ini banyak terdapat urusan aneh dan manusia aneh, kita harus bertindak lebih hati-hati.”
Tampak orang itu mendorong roda kursinya dengan melewati sisi tanah rumput itu mendekati kearah Siauw Ling sekalian dan berhenti kurang lebih satu tombak dihadapan mereka.
“Orang ini tidak berjalan diatas rumput melainkan memutar disampingnya, aku lihat dibalik sosoknya itu terdapat sedikit persoalan” bisik Sang Pat.
“Ehmm, tidak salah!” Siauw Ling mengangguk. Sinar matanya dialihkan keatas tubuh orang setengah baya diatas kursi roda itu, tapak lututnya ditutupi dengan sebuah selimut warna merah, disisi badannya terletak sebuah jaring, dandanan semacam ini kelihatan menyolok dan aneh sekali.
“Sahabat, apakah kau berdiam disini?” tegur Sang Pat memberi hormat.
Mula-mula orang itu geleng kepala namun kemudian mengangguk sambil menghela napas panjang jawabnya, “Boleh dibilang begitulah!”
“Sebetulnya apa yang terjadi? sahabat! dapatkah kau bicara lebih jelas lagi?”
“Tempat ini bukan tempat tinggalku tapi aku sudah berdiam selama lima tahun disini, menurut pandanganmu tempat ini boleh dikatakan sebagai tempat kediamanku atau bukan?”
“Haaa…. haaa…. betul ucapanmu memang cengli.”
Menyaksikan sikap orang itu ramah dan berbeda dengan watak kukoay dari Ong Hong tadi, Siauw Ling maju kedepan dan menjura.
“Sahabat, tolong tanya siapa namamu?”
“Cayhe she Thio bernama Kie An.”
“Oh, kiranya Thio heng. Cayhe Siauw Ling.”
“Aaaai….! cuwi sekalian adalah manusia pertama yang kujumpai selama lima tahun belakangan, pada hari-hari biasa cayhe cuma dapat menyaksikan binatang buas, burung-burung serta cengkerik!”
“Ditinjau dari nada ucapan Thio heng rupanya kau tinggal disini bukan karena kehendak sendiri.”
“Sepasang kakiku dibelenggu orang diatas kursi roda. Setengah langkahpun tak bisa berpisah dari kursi ini, darimana aku bisa tinggalkan hutan rimba yang lebat dan susah dilalui semacam ini?” ujar Thio Kie An sambil membuka selimut merah diatas lututnya.
Ketika Siauw Ling berpaling tampaklah sepasang kaki orang itu dibelenggu orang dengan otot kerbau, mungkin dikarenakan kaki itu sudah lama dibelenggu maka bukan saja kakinya jadi pucat pias bahkan otot kerbau itu sendiripun sudah berubah jadi hitam pekat.
Dalam hati lantas ia berpikir, “Otot kerbau macam itu sih memang kuat, namun bagi orang yang pandai bermain silat cukup didalam tiga sampai lima hari sudah dapat memutuskan semua otot-otot tersebut….”
Berpikir begitu maka ia berkata, “Waktu sudah lewat sangat lama, mengapa Thio heng tidak berusaha memutuskan otot-otot kerbau yang membelenggu dirimu itu?”
Thio Kie An memperhatikan sejenak wajah Siauw Ling lalu tertawa terbahak-bahak.
“Rupanya Siauw heng sekalian adalah jago-jago lihay dari dunia persilatan?”
“Kami cuma bisa sedikit ilmu silat cakar ayam!” jawab Sang Pat cepat.
“Dalam pandangan cuwi sekalian, otot kerbau yang membelenggu kaki cayhe ini mungkin dianggap tidak seberapa, tapi bagi seorang manusia lemah yang tidak punya tenaga untuk menjagal seekor ayam macam diriku, memutuskan otot kerbau semacam itu bukanlah suatu pekerjaan yang sangat gampang.”
“Aaai…. kalau memang Thio heng bukan orang Bulim, apa sebabnya kau dicelakai orang sampai macam begini? keadaanmu saat ini bukanlah hasil balas dendam seperti apa yang terjadi pada umumnya.”
“Hal ini harus disalahkan karena cayhe punya rasa ingin tahu yang amat tebal, sejak kecil aku suka sekali membaca buku-buku yang berisikan segala macam pengetahuan serta ilmu yang aneh, lama kelamaan kebiasaanku ini jadi terbiasa sehingga dimanapun aku mencari kitab-kitab kuno. Setiap hari kerjaku cuma membaca buku melulu” ia angkat kepala dan menghela napas panjang, sambungnya: “Kurang lebih sepuluh tahun berselang, aku berhasil membeli sebuah kitab kuno yang berasal dari melaikat lukisan si Thian Too. Diatas kitab tersebut terdapat tulisan tangannya dan entah secara bagaimana akhirnya berhasil kubeli. Sejak membaca kitab itu boleh dibilang aku jadi lupa makan lupa tidur, setiap hari semua perhatian kucurahkan untuk mempelajari isi kitab tadi.”
“Kitab apakah yang berhasil Thio heng dapatkan? kepandaian apa saja yang termuat dalam kitab itu sehingga memancing perhatian Thio heng untuk membaca siang malam?” sela Sang Pat.
“Kitab itu adalah sejilid kitab kuno, entah siapa pengarangnya cayhe sendiripun kurang tahu. Isi kitab itu antara lain adalah ilmu pertabiban, resep, ilmu membuat racun, memusnahkan racun serta memelihara pelbagai makhluk berbisa.”
“Oooh kalau begitu kitab tersebut adalah sejilid kitab ilmu pertabiban….!”
“Tak dapat dikatakan sebagai kitab ilmu pertabiban sebab isi dari kitab itu amat luas, terutama sekali bagian yang memuat cara-cara membuat racun, memusnahkan racun serta cara memelihara binatang berbisa, kepandaian aneh semacam itu merupakan kepandaian yang belum pernah dijumpai didunia selama ini. Aaai….! Pengarang kitab tersebut bukan saja memiliki pengetahuan yang luas serta membaca berlaksa jilid buku bahkan ia sudah melakukan perjalanan berlaksa-laksa li mengelilingi seantero jagad, dalam kitab itu tercatat pula cara menangkap berpuluh-puluh jenis binatang berbisa serta dimana binatang itu terdapat.”
“Pernah kau praktekkan kepandaian tersebut?”
“Karena terlalu kesemsem oleh kepandaian itu maka timbul rasa ingin tahu didalam hatiku, maka pada suatu hari setelah mempersiapkan diri dan membawa seorang pembantu cayhe pergi jauh kepropinsi In Lam, dengan mengikuti cara yang termuat dalam kitab itulah cayhe berhasil menangkap tiga belas jenis ular aneh yang amat beracun.”
“Ah, benarkah ada kejadian seperti ini?”
“Sedikitpun tidak salah” Thio Kie An mengangguk. “Dengan mengikuti cara melarikan binatang beracun yang termuat dalam kitab itu, bukan saja cayhe berhasil menangkap ketiga belas macam ular berbisa itu bahkan dapat menjinakan mereka dan melaksanakan semua perintahku!”
“Waduh…. waduh…. aku benar-benar belum pernah mendengar ada kejadian seperti ini” puji Sang Pat tiada hentinya.
“Setelah menyaksikan kepandaian menjinakan ular mendatangkan hasil yang memuaskan. Dalam hatiku kembali timbul rasa ingin tahu. Setahun kemudian dengan mengikuti keterangan didalam kitab itu kembali aku masuk kehutan. Perjalananku kali ini telah berhasil pula menangkap beberapa jenis makhluj beracun, tapi dengan adanya kejadian ini maka kemampuanku menaklukkan makhluk berbisa jadi tersebar luas diseluruh dusun dan karena itu pula mendatangkan banyak kesulitan bagiku sendiri.”
“Apakah ada banyak orang ingin menyaksikan binatang berbisamu?”
“Kesulitan paling besar yang kualami adalah disebabkan suatu ketidak sengajaanku menyembuhkan bisul racun seorang tetanggaku dengan cara racun lawan racun, sungguh tidak dinyana, karena keberhasilanku itu nama besarku jadi semakin cemerlang, satu kabarkan sepuluh dan sepuluh kabarkan seratus, orang yang datang minta pertolongan kian lama kian bertambah banyak. Sampai-sampai orang yang tinggal beberapa ratus lipun berduyun-duyun datang mencari aku.”
“Menolong sesama manusia adalah suatu perbuatan mulia, mengapa Thio heng malah merasa tidak senang hati?”
“Siauwte sendiri sama sekali tidak mengerti ilmu pertabiban, apa yang kulakukan itu adalah menulis resep menurut catatan dalam buku. Tapi sungguh aneh, resep-resep itu ternyata sangat manjur. Semua penyakit bagaimana parahnya segera sembuh setelah minum obat itu. Makin cayhe tampik semakin banyak orang yang datang mohon pertolongan, akhirnya karena keadaan terpaksa cayhe buat satu peraturan yakni barang siapa yang tidak menderita parah atau nyawanya terancam maut cayhe tak mau menolong mereka. Dengan adanya kejadian ini maka keadaanpun sedikit dapat dikuasai. Namun namaku sudah terlanjur tersiar sampai dimana-mana. Lima tahun berselang pada suatu malam yang gelap cayhe ditangkap orang dan dibelenggu diatas kursi, sejak itulah aku dipaksa oleh mereka untuk memelihara beberapa macam binatang beracun dan kejadian itu berlangsung hingga kini!”
“Dibawah tanah berumput ini!”
“Binatang beracun apa yang kau pelihara?”
“Semula cayhe memelihara beberapa puluh jenis binatang, tapi setelah mengalami masa perjuangan selama banyak tahun akhirnya hingga kini cuma tinggal dua binatang beracun saja.”
“Binatang-binatang itu tentu punya nama bukan? apa saja kedua jenis makhluk beracun itu?”
“Yang satu bernama Lalat Darah sedang yang lain adalah Kelabang Bersayap Emas!”
“Kalau kelabang bersayap emas sih sering cayhe dengar orang membicarakannya, sedang Lalat Darah belum pernah kudengar.”
“Kalau kedua jenis binatang itu dibandingkan maka racun Lalat Darah jauh lebih ganas dari pada Kelabang Bersayap Emas.”
Sinar matanya perlahan-lahan menyapu wajah beberapa orang itu, lalu sambungnya, “Binatang itu banyak terdapat dipropinsi Sin Kiang bagian selatan. Dalam Bulim memang banyak orang suka menggunakan binatang beracun tapi jarang sekali ada orang yang berani menangkap lalat darah.”
“Sesuai dengan namanya cayhe rasa binatang itu tentu punya bentuk badan yang hampir sama dengan lalat biasa, bukan begitu?” tanya Siauw Ling. Thio Kie An mengangguk.
“Kalau dibicarakan dari bentuknya memang tiada berbeda dengan lalat biasa, cuma perawakannya jauh lebih besar bahkan punya jarum keras yang tajam dan panjang ujung sabetan depan. Yang dimaksudkan sebagai Lalat Darah adalah lalat yang gemar mengisap darah.”
“Kalau cuma begitu sih belum terhitung sebagai binatang berbisa” sela Sang Pat sambil tersenyum.
“Kalau kemampuannya cuma begitu saja nanti mereka gunakan banyak pikiran dan tenaga menyuruh aku menangkap binatang tersebut dan pelihara disini.”
“Lalu berapa banyak jumlah kelabang bersayap emas serta lalat darah yang ada didalam tanah saat ini?”
“Kalau kelabang bersayap emas mungkin jumlah diantara ribuan ekor, sedangkan lalat darah sukar sekali dihitung jumlahnya, mungkin diantara laksaan ekor.”
“Siapa yang suruh kau melihara barang terkutuk macam begini?”
“Kalau dibicarakan sungguh memalukan sekali hingga kini aku masih belum pernah bertemu muka dengan majikanku itu, setiap kali ia hendak berbicara dengan diriku tentu memilih ditengah malam yang tak berbulan, bahkan jarak mereka berdiri amat jauh dariku. Hanya saja aku berani memastikan bahwa mereka dalah sepasang laki perempuan.”
“Aaah, kalau begitu mereka tentu adalah pemilik Goa Hitam” sela Ong Hong dari samping.