Jilid 11
“Aai! locianpwee, kau terlalu memuji diri boanpwee!”
“Haaa…. haaa…. seiama hidup aku sipengemis tua tak pernah memuji orang, hanya saja dalam keadaan kacau semacam ini aku harus mohon bantuan bagi umat umat Bu-lim yang menderita….
Mendadak dengan nada rendah tambahnya: “Kedua orang tuamu telah menjadi suatu beban yang amat berat bagimu, Shen Bok Hong tidak nanti adu kekerasan dengan kau. dia pasti akan menggunakan segala daya upaya untuk mencari tahu jejak kedua orang tuamu. Saudara Siauw? aku sipengemis tua rela menggunakan sisa umurku untuk membantu dirimu, asalkan saja kaupun punya kepandaian untuk memikul tanggung jawab berarti ini.”
Siauw Ling dapat menangkap artl lain dari pada kata-kata tersebut, untuk beberapa saat lamanya ia bungkam dalam seribu bahasa.
Si-sie poa emas Sang Pat yang selama lni tidak ikut bicara, tiba-tiba menimbrungnya dari samping,
“Cayhe telah mendapatkan suatu tempat terpencil yang mungkin bisa terlepas dari pengamatan mata-mata Shen Bok Hong.
“Dimana?”
“Tempat Itu letaknya ditengah laut Selatan dan merupakan sebuah pulau kosong yang dikelilingi oleh samudra luas bukan saja tempat aman bahkan pemandangan alam sangat indah. Seandainya Kiem Lan serta giok Lan suka menemani kedua orang tua itu mengasingkan diri disana, kemungkinan besar Shen Bok Hong tidak akan berhasil mengejar mereka.”
….
“Tidak bisa jadi,” seru Soen put shia menyatakan ketidak setujuanya. Penduduk yang berdiam diatas pulau kosong itu cuma beberapa puluh keluarga saja. seandainya kedua orang tua itu tiba diatas pulau tersebut kedatangannya pasti akan menggemparkan seluruh pulau kabar berita ini lambat laun pasti akan tersiar juga kedaratan Tionggoan.”
I Sang-pat termenung kemudian mengang-glk.
“Ucapan locianpwe ada benarnya juga, kita arus mencari suatu tempat terpencil yang sama sekali tidak berpenghuni!”
“Itupun salah besar. Tempat yang harus kita cari adalah suatu tempat yang bisa melegakan hati saudara Siauw, agar dengan demikian saudara Siauw tak usah cabangkan pikirannya lagi untuk merisaukan persoalan itu “
“Aaai….!” Siauw Ling menghela napas pan Jang “Sungguh tak nyana dikolong langit yang begitu luas, ternyata aku Siauw Ling telah menyusahkan kedua orang tuaku sehingga tiada tempat untuk berteduh.”
Toako. kau tak usah sedih. Persoalan ini biar kita pikirkan perlahan-lahan saja, suatu saat kita pasti akan berhasil mendapatkan suatu tempat yang bisa melegakan hati toako.
Sementara pembicaraan itu sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang datang-
“Cepat bersembunyi kebalik semak!” bisik Soen Put-shia sambil meloncat kesisi jalan Tampaklah dua ekor kuda laksana kilat cepatnya meluncur datang kearah mereKa berada.
Terdengar orang yang berada dikuda sebelah depan mengomel, “Kita sudah melakukan perjalanan selama sehari semalam. namun sedikit kabarpun belum- ada, aku lihat kita pasti telah salah ambil jalan!
“ToNG-HENG. Legakan hatimu,” jawab orang kedua. “Ramalan sakti siauw-te selamanya tak pernah salah, arah yang benar adalah sini!”
Sang Pat yang bersembnnyi dibalik semak belukar segera berbisik kapada Siauw Ling setelah mendengar ucapan tersebut.
“Toako. bukankah suara lni adalah suara dari Suma Kan siperamal sakti dari Lautan Timur.
“Hmm, memang mirip suaranya. tapi biarlah mereka mendekat lebih jauh dulu baru kita bicarakan lagi.”
Kedua ekor kuda itu bergerak semakin dekat dengan tempat persembunyian beberapa orang itu. ternyata orang yang berada di paling depan memang bukan laiu adalah Suma Kan.
Sedang orang kedua yang berada dibelakang memanggul busur besar dipunggungnya dengan sebuah karung penuh berisi anak panah tergantung dipinggang, dia bukan lain adalah sipanah sakti yang menggetarkan jagad Tong goan Khie adanya.
Sianw Ling segera meloncat keluar dari tempat persembunyiannya seraya berseru, “Suma-heng, kau sedang mengejar siapa?”
Kemunculan Siauw Ling secara mendadak itu mengejutkan hati Suma Kan. buru-buru ia tarik tali les kudaaya sehingga kuda yang sedang lari cepat segera berhenti.
“Aah, Siauw-heng! aku sedang mencari kau!” sahutnya sambil loncat turun dari pelana. ia lari menghampiri si anak muda itu mencekal tangannya dan berseru kembali, “Ooh. sungguh payah mencari kalian….”
Tidak menanti Siauw Ling menjawab. kembali ia berpaling kearah Tong Goan Khie sambil berseru, “Tong-heng, bagaimana dengan ramalan sakti sianw-te?”
“Sungguh luar biasa sekali!”
Si pemanah sakti yang menggetarkan jagad itupun meloncat turun dari atas kuda, berjalan kearab Siauw Ling dan berkata kembali setelah menjura dalam dalam. “Sejak Be Coug Piauw Pacu menderita luka parah, ia telah menyanjung diri Siauw-heng, katanya. Seandainya kita inginkan umat Bu-lim lolos dari penjagalan sadis yang telah melanda sungai telaga saat ini, maka kita harus mengangkat siauw-heng sebagai pemimpin Bu-lim “
“Bagaimana keadaan luka dari Be-Piauw Pacu?” tukas Siauw Ling dengan hati cemas.
“Walaupuu lukanya amat parah, namun berkat pertolongan dari Boe Wie Tootiang itu sang Ciangbunjien dari Bu-tong-pay,jiwanya berhasil diselamatkan!
“Aaaai…. orang budiman selalu dilindungi Thian, semoga kesehatannya lekas pulih kembali seperti sedia kala.”
“Siauw-heng, apakah kau tidak berada sa-ma-sama Tiong Chiu siang-ku?” tanya Suma-Kan.
“Sepasang pedagang dari Tioug-Chiu berada disini!” seru Sang Pat sambil membim-bing Tu Kioe bangun berdiri.
“Bagus sekali, bagus lekali,” teriak Suma-Kan kegirangan, “setelah memperhatikan cu-wi sekalian sehat walafiat.siauwte pun dapat mempertanggung jawabkan diri kepada mereka.”
“Mempertanggung jawabkan apa””
“Para engbiong heohan sama-sama menguatirkan keselamatan kalian berdua. sedang siauwte ngotot bilang kalian sehat semua. Seandainya kamu berdua mendapat celaka, bukankah para enghiong hoohan yang ada di kolong langit akan mentertawakan ramalan dari aku orang she suma tidak cocok?”
“Meski siauwte tidak mati, namun luka tidak ringan!…. Mendadak…. Sang Pat teringat kembali akan sipencuri sakti Siang Whie, buru-buru tanya-nya “Bagaimana keadaan dari pencuri tua itu?”
“Luka yang diderita Siang-heng rada enteng, ia sudah dapat bergerak seperti sedia kala.”
sekarang mereka berada dimana?” sela Soen Put-shia sambil perlahan-lahaan menam-pilkan diri.”
Seraya turun dari kuda, serunya kepada Tu Kioe, “Tu-heng, silahkan naik keatas kuda untuk melanjutkan perjalanan!”
Siauw Ling yang menyaksikan tingkah laku orang itu dalam hati merasa tercengang, pikirnya, “Ketika pertama kali aku berjumpa dengan orang ini. sikapnya angkuh dan dingin, sedikitpun tidak pandang sebelah mata kepada orang lain, mengapa sikapnya pada saat ini bisa berubah jadi begitu hangat dan ramah?
sungguh aneh….”
Terdengar Sang Pat telah berseru: “Ldo-jie, naiklah keatas kuda! setelah si tukang ramal mengalah kepada kita, tidak seharusnya kita tolak tawaran baiknya itu!” “Kalau begitu terpaksa aku harus merepotkan dirimu.” kata Tu Kioe dingin sambil melangkah maju dengan langkah lebar.
“Tu-heng sedang terluka, sudah sepantas-nya kalau siauwte berikan kuda ini kepada-mu.”
“Sinar mata Sang Pat perlahan-lahan beralih kearah Tong Goan Khie. lain berkata pula.
“Toug heng, kami masih ada seorang nona yang menderita luka….”
“Mana orangnya??? silahkan dia naik keatas kuda!”
“Nona Kim Lan!” Sang-pat segera berseru. “Bagaimanakah keadaan luka dari Giok Lan?? apakah ia sanggup melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda??”
“Berkat perawatan dari Soen Locianpwe, hawa murninya berhasil dipulihkan kembali dan luka yang ia deritapun berangsur sem-buh kembali mungkin ia masih sanggup melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda.”
“Bagus sekali! cepatlah bawa dia kemari.”
Kim Lao mengiakan, sambil membopong Giok Lan ia segera menaikkan saudaranya keatas pelana kuda milik Tong Goan Khie.
Siauw Ling merasa tidak tenteram, sebetul nya ia ingin mengucapkan beberapa patah kata rasa terima kasihnya. namun sebelum ia sempat berbicara terdengarlah Soen Put shia telah berseru, “Asal Shen Bok Bong berhasil melintasi Jembatan gantung ini, dia pasti akan menge-jar kita kembali, kita harus cepat cepat ting galkan tempat ini!”
“Baik,” sahut Suma Kan, “siauw-te akan membawa jalan!”
Demikianlah sang peramal sakti dari Lautan timur itupun berangkat terleblh dahulu menuju kearah depan disusul dengan Sang Pat serta yang lain.
Ditengah perjalanan Siauw Ling meuceritakan kisah perjalanan nya selama in yang membuat Suma Kan serta Tong-goan Khie jadi melongo dan terbelalak.
Selesai mendengar kisah tersebut, tak ta-han Tong goan Khie menghela napas dan nenggumam, “Seorang Shen Bok Hong saja sudah cukup memusingkan kepala apalagi kini bertambah lagi dengan seorang Su-hay Koan-cu. Aaaai, kekalutan yang sedang berlangsung dalam dunia persilatan boleh dikata merupakan kejadian yang paling ruwet selama ratusan tahun belakangan ini.”
“Telah lama aku dengar Boe Wie Tootiang itu sang ciangbunjien dari partai Bu tong punya akal yang tajam.” ujar Soen Put-ship. “Seandainya dia dapat memperoleh Satu cara dimana dapat memaksa Su-hay Koan-cu serta Shen-bok Houg harus bertarung sendiri. kemungkinan besar kita bisa mengirit banyak tenaga!”
“Menurut pendapat cayhe, baik Shen Bok Hong maupun Su Hay Koencu semua merupakan manusia yang berakal panjang, rasanya tidak gampang untuk menghasut mereka agar melakukan pertarungan sendiri,” kata Siauw Ling memberi pendapat.
“Bagaimana dengan ilmu silat yang dimiliki Su Hay Koan-cu itu?” tanya Suma Kan.
“Kami tidak sempat bertarung dengan orang ini, jadi sulit untuk memberikan gambaran yang jelas….”
“Aku sipengemis tua tahu sedikit mengerti tentang keadaan Siauw Yauw-cu, orang in bukan memiliki ilmu silat yang amat tinggi bahkan licik dan keji luar bisa Su Hay Koen cu bisa menarik manusia macam Siauw Yauw-cu sebagai pembantu setianya, aku rasa dia pastilah bukan manusia sembarangan.” Baik Tong Goan Khie- maupun Suma Kan sama-sama tidak tahu akan asal usul dari Siauw Yauw-cu, maka untuk beberapa saat mereka tak tahu apa yang harus diucapkan.
Tatkala fajar mulai menyingsing, sampailah Siauw Ling sekalian disebuah dusun kecil karena kesehatan Siauw Hujien yang tidak mengijinkan terpaksa para jago harus beristirahat setengah harian disitu, kemudian menyewa sebuah kereta kuda untuk melanjutkan perjalanan.
Kali ini perjalanan dilakukan seharian penuh, menanti sang aurya telah lenyap dibalik gunung sampailah mereka ditepi sebuah telaga
Siauw-heng.” kata Suma Kan. “Boe Wie Tootiang sekalian pada berkumpul ditepi pantai seberang telaga….”
Siauw Ling mendongak dan menatap kedepan, tampaklah olehnya sebuah bukit nan hijau membentang kedepan mata, pada kaki bukit secara samar-samar nampsk sekelompok rumah gubuk.
Soen Put-shia pun diam-diam mengukur luas telaga itu, ia duga panjangnya Ada dua li dengan luas beberapa li, maka ia lantas berkata, “Disini tiada nampak untuk menyebrangi telaga ini, bagaimana caranya kita bisa ketempat itu?”
“Tak usah loocianpwee risaukan tentang persoalan ini,” sahut Tong Goan Khie. “Cay-he segera akan suruh mereka kirim sebuah perahu kemari!”
Tangan kiri mengambil gendewa, tangan kanan mempersiapkan sebatang anak panah bersuara dan…. Sreeet anak panah itupun di lepas ketengah udara
Beberapa saat kemudiau. anak panah itu berdesir membelah angkasa, dari permukaan telaga pun muncul sebuah sampan kecil yang perlahan lahan bergerak mendekat.
Sungguh cepat laju sampan kecil itu. beberapa saat kemudian sampailah perahu tadi ditepi pantai dimana para jago menanti.
Seorang toojien setengah baya yang menyoren pedang mendayung sampan, dengan ditemani seorang lelaki berbaju biru berdiri keren diujung perahu, dia bukan lain adalah Cheng Yap Cing. sang sute dari Boe Wie Tootiang.
Tidak menanti sampan berbenti, Cheng Yap Cing segera loncat naik kedaratan lalu seraya menjura kearah Tong Goan Khie serta Suma Kan serunya, “Merepotkan kalian berdua Sinar matanya beralih keatas tubuh Soen Put-shia lalu menjura dan menyapa, “Tak nyana loocianpwee pun sudi mengun-jungi tempat ini \”
“Ehmm, suhengmu tak pernah mencam-puri urusan dunia kangouw, aku pengemis tuapun tidak nyana kalau dalam peristiwa kali ini terpaksa ia haruS terjunkan diri lagi kedalam dunia kangouw!”
“Meski gelar suheng kami adalah Boe Wie namun dia adalah seorang pendekar yang berjiwa besar. pertama kali terjadi kegaduhan dalarn Bu-lim. partai kami sudah terseret dalam kancah kekacauan tersebut, berkat kebijaksanaan serta kebesaran Jiwa suheng kamilah maka partai kami tidak tega melihat pertumpahan darah berlangsung terus
“Kenapa? Sauw-lim, Go-bie, Ceng-shia ser ta partai partai besar lainnya sama-sama berpeluk tangan belaka??”
“Suheng kami telah mengutus seorang murid untuk menemui Sauw-lim Hong-tiang dalam Surat mana telah dijelaskan pula bagai-mana keadaan situasi dalam dunia persilatan dewasa ini. utusan kami hingga kini belum kembali, jadi bagaimanakah sikap partai Siauw-lim masih belum bisa dikatakan “
ia merandek sejenak, kemudian tambahnya, “Suheng kami telah menanti kehadiran an-da sekalian. silahkan cuwi semua naik keatas perahu ‘”
Soen Put-shia pun tidak sungkan sungkan lagi, ia segera meloncat naik keatas sampan.
“Cheng-heng. silahkan anda menghantar Soen Loocianpwee serta Siauw-thay hiap sekalian menyeberang lebih dahulu, kami sekalian akan menanti disini.” teru Suma Kan.
Kiranya sampan itu amat kecil sekali. setelah Soen Put-shia. Siauw Ling serta Siauw thay-jien suami istri ditambah pula dengan Kim Lan. Giok Lan naik keatas perahu, di-atas sampan itu sudah tiada tempat luang lagi.
Cheng Yap Ching mengangguk, kepada tootiang pendayung bisiknya, “Tinggallah kau disini menemani mereka biar aku yang pegang kemudi!”
Walaupun usianya masih muda, namun kedudukannva dalam partai Bu-tong tinggi sekali. Toojien itu segera mengiakan dan meloncat naik keatas daratan.
Setelah toosu itu mendarat, Ceng Yap Cing menggerakkan dayungnya. perahu meluncur kedepan taksana kilat, dalam sekejap mata Sampailah mereka ditepi pantai seberang.
Tampaklah Boe Wie Tooiiang yang memelihara jenggot putih sepanjang dada dengan membawa lm Yang cu telah menanti ditepi pantai.
Siauw Ling memutar biji matanya memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu, ia temukan tempat itu merupakan sebidang tanah yang berbentuk setengah lingkaran, separuh menempel dibukit dan separuh lagi menempel telaga, pemandangan sangat indah dan amat mempesonakan sekali.
Boe Wi Tootiang rangkap tangannya menjura kearah Soen Put-shia, lalu ujarnya sambil tertawa, “Puluhan tahun lamanya locianpwe mengasingkan diri, tak nyana kali ini terseret kembali kedalam kancah pembunuhan serta kekacauan dunia persilatan.”
“Haaa-haaa…. aku pengemis tua sudah tua dan pikun. dalam keadaan loyo masih bisa menyumbangkan sedikit tenaga bagi keadi-lan Bu-lim, meski harus matipun tidak menyesal!”
Siauw Ling yang teringat kembali akan bndi Boe Wie Tootiang dimana pernah membantu dirinya, buru-buru maju kedepan memberi hormat dan menyapa, “Boanpwe Siauw Ling menghunjuk hor-mat kepada Tootiang.”
“Siauw thay-hiap kini kau telah menjadi orang yang paling dihormati oleh setiap umat Bu-lim, pinto beruntung telah kenal dirimu sejak dulu. tak usah banyak adat!”
“Aaaai…. aku orang she Siauw masih muda dan tolol. budi serta kemampuan apa yang di miliki? pujian dari tootiang malahan membuat boanpwee jadi malu!”
Boe wie Tootiang tersenyum. ia menoleh memandang sekejap kearah Im Yang-cu lalu berkata, “Jie-te, wakililah siauw-heng untuk menyambut para enghiong.”
Sedang kepada Soen Put-shia, sang ketua dari Bu-tong-pay ini berkata
“Silahkan anda berdua masuk kedalam kamar untuk minum teh, kebetulan sekali pinto sedang menjumpai suatu masalah yang amat menyulitkan pikiranku, pinto ingin mo-hon petunjuk dari kalian berdua.”
Sementara itu tampak dua orang toojien setengah baya tampil kedepan menyambut kedatangan Siauw thay jien suami istri, Kiem lan serta Giok Lan untuk diantar masuk ke salah satu gubuk.
Sedangkan Siauw Ling serta Soen Put-shia mengikuti dibelakang Boe Wie Tootiang masuk kedalam gubuk yang lain.
Perabot dalam gubuk itu amat sederhana sekali, kecuali sebuah dipan, sebuah meja hanya tampak beberapa buah kursi bambu belaka, meski demikian keadaan ruangan itu amat bersih.
Seorang toosu cilik berwajah cakep segera munculkan diri uutnk menghidangkan air teh.
Soen Put-shia adalah seorang jago tua yang sudah lama mencicipi asam garam, namun begitu wataknya tetap berangasan. ter-dengar ia berseru dengau nada gclisah, “Tootiang, persoalan apa yang sedang kau hadapi? cepat utarakan, aku sipengemis tua sudah tidak sabar menunggu lagi!’”
Boe Wie Tootiang tidak langsung menjawab, ia ulapkan tangannya mengundurkan toosu citik tadt kemudian mengunci pintu ruangan rapat rapat.
Menyaksikan tingkah lakn toosu tua tersebut, dalam hati Soen put-shia merasa tercengang, pikirnya, “Aaaah-….! kalau dilihat tingkah laku sihidung korban ini, rupanya persoalan yang terjadi amat rahasia sekali….”
Sementara itu terdengar Boe Wie Tootiang menghela napas ringan lalu berkata, “Peristiwa ini berlangsung amat mendadak sehingga pinto sendiripun dibikin kebingungan setengah mnti. Seandainya hari ini Siaaw-thay hiap tidak datang. mungkin malam nanti ditempat ini bakai terjadi suatu pertumpahan darah yang mengerikan.”
“Apakah peristiwa tersebut ada sangkut pautnya dengan boanpwe?” tanya Siauw Ling tercengang.
“Sedikitpun tidak salah, orang itu datang kemari dengan maksud mencari Siauw-thay-hiap.”
“Siapakah orang itu?”
“Pak-Thian-Coen-cu dari istana es!”
“Apa? gembong iblis tua itupun telah hadir diatas daratan Tionggoan?” sela Soen Put-shia dengan wajah berubah.
“Benar, kini ia benda kurang lebih sepuluh li disekitar sini. Meskipun iblis tersebut berdiam jauh di istana Es yang terletak di Lautan Utara yang jarang sekali mengunjungi daratan Tionggoan, namun beritanya amat tajam sekali, terhadap situasi Bu-lim yang sedang berlangsung dewasa ini ia tahu bagaikan melihat jari tangan sendiri….”
“Apakah gemboug iblis itu telah bersekongkol dengan Shen Bok Hong untuk menciptakan badai pembunuh berdarah diatas daratan Tionggoan?” sela sang pengemis.
Dengau cepat Boe Wie Tootiang mengge-leng
Pak Thian-Coeu-cu adalah seorang jagoa yang tinggi hati, mana ia sudi bersekongkol dengan manusia seban sa Shen Bok Hong? lagi pula selama ini ia tidak punya ambiai untuk merajai Bu lim….
“Kalau begitu ia datang kemari khusus untuk mencari satroai dengan Siauw Ling pri-badi?”
“Sedikitpun tidak salah “
Sinar mata toosu tua dari Bu-tong Pay Ini perlahan-lahan menatap wajah Siauw Ling, lalu sambungnya’
“Siauw-ttaay-taiep, harap kau jangan marah. Meski pinto sendiripun sadar bahwa di balik perisitiwa ini pasti telah terjadi salah paham, namun bagaimana juga aku harus terangkan duduknya perkara.”
“Silahkan loeCianpwee utarakan kata kata-mu, boanpwee akan mendengarkaa dengan seksama.”
“Apakah Siauw thay-hiap kenal dengan putri kesayangan dari Pak-thian Coencu?”
“Pernah ketemu dua kali!”
“Kalau begitu, meski peristiwa ini terjadi karena salah paham namun sama sekali bukan isapan jempol belaka?”
“Sebenarnya apa yang telah terjadi? ha-rap locianpwe terangkan dengan jelas.”
“Kemarin malam secara tiba-tiba Pak-thian Coencu muncul ditempat ini seorang diri, setelah menyeberangi telaga ia langsung menyerbu kedalam gubuk. Piuto yang sudah lama mendengar akan nama besarnya dan sadar pula sampai dimanakah taraf ilmu silat yang dimiliki, segera menyambut kedatangannya dengan segala tatacara, siapa tahu ia tidak menggubris diri pinto bahkan langsung mencari tahu jejak dari Siauw-thay hiap….”
“Lalu bagaimana jawab totiang?”
“Menyaksikan Wajahnya penuh kegusaran, pinto segera menjawab tidak tahu tetapi ia tidak percaya dengan perkataan pinto, sebelum meninggalkan tempat ini ia telah mengancam kepada pinto agar menemukan Siauw thayhiap sebelum tengah malam nanti, ka-lau sampai saatnya pinto tidak berhasil mencari tahu jejak Siauw thayhiap, maka ia hendak membasmi seluruh anggota perguru-an Bu-toug Pay kami.”
“Mengapa?”
“Dia bilang Siauw thayhiap telata melarikan putrinya….”
“Apa alasannya ia menuduh demikian?• sepasang alis si anak muda itu langsung berkerut, sinar tajam memancar kelUar dari matanya.
“Pinto tahu bahwa dibalik peristiwa ini pasti telah terjadi kesalahan paham, namun Pak Thiau Cosa-cu tidak mau menerangkan lebih jauh, dengan penuh kegusaran ia segera berlalu.”
“Aah, mungkin gembong iblis itu memang sengaja hendak mencari satroni,” kata Soen Put-shia, “selama beberapa hari ini. aku sipengemis tua selalu berada disamping Siauw heng. belum pernah. kami berjumpa dengan putrinya Pak Thian Coen-cu.”
“Mengenai peristiwa ini Sudah berulang kali pinto putar otak. pinto merasa yakin pasti ada rahasia lain yang terkandung dibalik kejadian ini….” sinar mata toosu itu beralih keatas wajah Siauw Ling kemudian menambahkan.
“Dewasa ini dalam dunia persilatan telah muncul dua orang Siauw Ling….”
“Sedikitpun tidak salah!” Mendadak Soen Put-shia menjerit sambil loncat bangun. “Perbuatan ini pasti hasil karya dari Siauw Ling gadugan itu.”
Sebaliknya siauw Ling menghela napas panjang.
“Sebelum duduknya perkara dibikin jelas, janganlah kita menuduh Lam Giok Thong dengan tuduhan yang bukan-bukan sudahlah! tak usah dibicarakan lagi, tunggu Saja hasil perjumpaanku dengan Pak Thian Goeu-cu nanti malam.”
Kalan dilihat dari situasi saat ini, rasanya cara itu memang paling cepat, sampai waktunya biarlah pinto serta Soen Loocianpwee menemani kau untuk berjampa dengan dia, dengan begiiu seandainya sampai terjadi pertarungan kamipun bisa memberi bantuan.”
“Jejak boanpwee tiada yang dirahasiakan boanpwe tidak takut dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan!”
“Walaupuu begitu, namun Pak-thian Coeu cu adalah seorang manusia yang berwatak tinggi hati, aku takut kalau ia tak sudi mendengarkan penjelasanmu!”
Kalau ia memaksa terus apa boleh buat? terpaksa akan kulayani kemauannya sampai dimanapun.”
Dari mulut orang, Boe Wie Tootiang pernah mendengar tentang kegagahan SiauwLing dikala ia bertempur melawan orang-crang dari perkampnugan Pek Hoa Sau-cung, meski demikian melihat usianya yang masih muda toosu itu merasa ragu-ragu akau kemampuannya untuk melawan Pak Thian boeu-cu, sebenarnya ia ingiu mengucapkan beberapa patah kata nasehat, tapi secara mendadak pintu terbuka, dua toosu cilik penjaga pintupun melangkah masuk kedalam ruangan sambil melapor.
‘Jie-susiok beserta para jago telah tiba, mereka menanti diluar ruangan!”
“Oooow….! cuwi sekalian silahkan masuk!” buru-buru Boe Wie Tootiang bangun berdiri dan menyambut kedepan pintu.
Dipimpin oleh Sang Pat yang berjalan paling depan, Tu Kioe. Tong goan Khie, Suma Kan, Cheng Yap Cing serta Im Yang-cu se gera melangkah masuk kedalam ruangan.
Toosu cilik muncul untuk menghidangkan air teh, dan para jagopun sama-sama ambil tempat duduknya masing-masing.
Menanti suasana menjadi sunyi kembali. Suma Kan segera menjura dan berkata sambil tertawa, “Tootiang, berkat ilmu meramalku yang tepat akhirnya siauwte berhasil menemukan Siauw thayhiap sekalian, cayhe rasa tootiiang| tentu tidak merasa kecewa bukan.”
“Merepotkan diri Suma-heng “
Sinar mata toosu tua ini beralih kearah Tu Kioe, lalu tambahnya, ‘Bagaimana keadaan luka Tu-heng? apa-kah perlu beristirahat sejenak diruang belakang.”
“Tidak usah, cayhe masih sanggup mempertahankan diri!”
Wajah orang ini rupanya selalu dingin terus kendati berbicara dengan siapapun teru-tama sekali nada suaranya bukan saja dingin bahkan ketus dan tidak enak didengar. hal ini membuat setiap pendengar merasakan hatinya jeri dan tidak enak.
Boe Wi Tootiang tidak tersinggung akan sikap orang itu ia malah tersenyum.
“Pinto memilih tempat ini sebagai markkas, tujuannya tidak lain adalah dikarenakan tempat ini tidak mudah diserang musuh secara menggelap dengan ketajaman pendengeran Shen Bok Hong yang sudah terkenal dise luruh koloug langit, mungkin saja pada saat ini ia sudah tahu tempat kita berada, seandainya ia ada maksud…. mencari…. satroni dengan kita orang mungkin didalam dua tiga hari lni ia bakal datang membawa para jago
Ia merandek sejenak untuk tukar napas, lalu ujarnya, “Cuwi sekalian datang dari tempat jauh, pinto rasa perut kalian tentu sudah keroncongan bukan? silahkan bersantap lebih da-hulu kemudian Pinto akan mengantar cuwi sekalian beristirahat dikamar penginapan. dengan demikian seandainya Shen Bok Hong muncul disini dengan membawa para jago nya, kitapun sudah mempunyai semangat baru untak berduel mati-matian dengan dirinya.
Berbicara sampai disitu, tampak dua orang toojien setengah baya masuk kedalam gubuk sambil berkata, Silahkan cuwi sekalian bersantap dikamar makan!”
Begitulah, dibaWah petunjuk dua orang toojien setengah baya itu para jago pindah kedalam gubuk yang lain untuk bersantap, disana sayur serta arak telah tersedia, pada meja sebelah dalam dihidangkan ikan, daging, ayam dan bebek sedang dimeja sebelah luar tersedia beberapa piring sayur yang be-bas dari barang berjiwa.
Kiranya Boe Wie Tootiang serta Im Yang-cu adalah anak murid kaum beribadat. mere ka semua pantang makan barang berjiwa.
Selesal bersantap, dibawah petunjuk beberapa toojien para jagoanpun pergi beristirahat.
Semula tempat itu berdiam beberapa pu-luh keluarga nelayan serta pemburu namun setelah Boe Wie tootiang memilih tempat itu sebagai markas besar dalam perlawananya menentang pengaruh perkampungan Pek Hoa san-cung, toosu tua ini telah membeli daerah sana dengan harga yang tinggi. sebab ia tidak ingln menyaksikan penduduk yang tak bersalah itu ikut menjadi korban atas kega-nasan orang orang Bu-lim.
Siauw Ling berdiam disebelah Timur orang tuanva, menyaksikan putra kesayangan mereka telah menjadi pemimpin Bu-lim, kedua orang tua itu mengerti bahwa tak mungkin bisa menasehati lagi puttanya untuk mengundurkan diri dari pertikaian Bu lim, merekapun membungkam dalam seribu bahasa.
Meski demikian Siauw-hujien yang sangat menyayangi putranya setiap hari, setiap malam selalu menguatirkan keselamatan Siauw Ling, beberapa kali ia hendak menasehati putranya ini untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan serta mencari tempat yang sunyi untuk hidup dengan perdamaian, namun setiap kali selalu dicegah oleh Siauw-thayjien.
Malam itu ketika kentongan kedua telah tiba. diam-diam Sicuw Liag bangun dari tidurnya setelah beristirahat setengah harian semangat maupun tenaganya telah pulih kembali.
Tatkala ia lihat kamar orang tuanya masih terang benderang oleh lampu, dalam hati segera pikirnya, “Aku Siauw Ling telah menyusahkan orang tua. usia mereka sudah lanjut namun harus melakukan perjalanan jauh karena aku.
Aaaai sungguh kasihan mereka ini…. sudah tengah malam beginipun mereka belum tidur.”
Berpikir demikian tanpa terasa kakinya melangkah kearah plntu, belum sempat ia me ngetnk pintu tiba-tiba terdengar suara ibunya berkumandang keluar dari ruangan.
“Aaaai….! semula aku mengharapkan putraku hidup sebagai petani dan melewatkan masa hidupnya dengan penuh kedamaian, justeru karena Ling-jie terlalu pandai akhirnya beginilah jadinya, banyak persoalan menim-pa dirinya…. membuat aku siang malam harus menguatirkan keselamatan jiwanya.
Suara Ibunya penuh mengandung rasa sayang dan cinta kasih. membuat Sianw Ling yang mendengar mengucurkan air mata.
“Sudahlah, tak usah kau pikirkan lagi,” Suara Siauw Thay-jien segera menyambung. “Seandainya Ling jie benar benar hidup didunia sebagai petani, mungkin kau akan menga-takan dia tidak becus, sekalipun kita harus menderita selama dalam perjalanan namun banyak pengetahuan serta pengalaman yang kita dapatkan, gunung nan hijau, telaga nan jernih serta bintang dan rembulan yang tersebar-diangkasa benar-benar merupakan pengalaman yang tak pernah kuimpikan sebe-lumnya….”
Sebagai ayah, kau sama sekali tidak memikirkan tentang keselamatan putra sendiri.” tegur Siauw hujien dengan gusar, “Setiap hari ia bergelimpangan diantara sambaran golok dan tombak…. kau harus tahu golok dan tombak tiada bermata. seandainya ia sampai terlu-ka ditangan…. musuh…. bagaimana jadinya
nanti?”
“Haaa…. haaa…. tentang soal ini, tak usahlah kau kuatirkan, sudah kulihat sendiri betapa lihaynya kepandaian silat yang ia milikl, sekalipun adalah seratusribu orang pasukan berkuda dan hujan Panah yang melanda jagad tidak nanti tubuhnya berhasil dilukai, Coba kau lihat, usianya masih muda belia namun ia dihormati oleh para jaga. para enghiong hoohan yang ada didalam Bn-llm, betapa terhormat kedudukannya saat ini, sebagai ayah aku merasa amat bangga mempunyai putera macam begini….”
“Ooooow…. bagus! bagus sekali…. pandai benar kau puji perbuatannya itu, tidak aneh kalau wataknya begitu liar dan kasar, kau sebagai ayahnya pun begini!”
“Andaikata Leng-jie tidak mempelajari serangkaian ilmu silat yang begitu sakti, dapatkah ia hidup hingga detik ini masih su-kar diramal kau tentu masih ingat bukan akan perkataan yang kusampaikan kepadamu dahulu.”ia mengidap penyakit aneh. sampai-sampai tabib kenamaanpun dibikin kewalahan oleh sakitnya itu, paling banter ia cuma hidup sampai usia dua puluh tahun, – karena itu lah aku punya rencana untuk membawa ia pesiar kemana mana setelah usianya genap mencapai angka sepuluh, agar tidak kecewa ia hidup didunial”
“Sekalipun begitu, keadaan dahulu dan keadaan saat ini jauh berbeda, kini penyakit aneh yang diderita Ling-jie telah sembuh, apakah kau ngotot hendak mengatakan hahwa ia masih mengidap penyakit aneh??”
“Ling-jie pun sudah lama mati karena penyakit anehnya yang diderita. Ling-jie yang ada sekarang bukanlah Ling-jie milik kita lagi.
“Aku yang melahirkan dia dan aku pula yang membesarkan dia, kalau bukan milik-ku milik siapa lagi7″
“Haaa…. haaa…. Ling-jie yang kumiliki saat ini merupakan bintang penolong bagi umat bu-lim, mati hidup beribu-ribu orang terletak diatas bahunya, seandainya. Hujien tetap berhati egois dan memaksa Ling-jie untuk membuang kedudukannya sekarang dan masuk desa hidup sebagai petani, sebagai anak yang berbakti Ling-jie pasti akan mengikuti permintaanmu itu, akhirnya kita memang mendapatkan kembali Ling-jie tapi umat Bu-lim jadi menderita, berapa banyak ayah ibu bakal kehilangan putra kesayangan mereka? berapa banyak kaum istri yang bakal kehilangan suaminya? dan berapa banyak anak yang bakal kehilangan orang tuanya….”
“Aaaai….! uSia Lingjie belum mencapai angka dua pulnh, begitu pentingkah dirinya bagi keselamatan umat mannsia?”
“Sekalipnn usianya masih sangat muda, namun kepandaian silat yang dimilikinya telah mencapai pada puncak kesempurnaan, saat ini dia boleh dibilang terhitung sebagai jagoan lihay. Meskipun pertumpahan darah yang berlangsung kini menyangkut soal dendam sakit hati serta balas membalas antara umat Bulim sendiri, tapi akibat yang timbul karena pertumpahan darah ini kemungkinan besar akan menyeret pula para penduduk untuk ikut menderita, apakah kau cuma memikirkan keselamatan putramu belaka dan
mengabaikan keselamatan orang lain? seandainya jalan pikiranmu tetap begitu
aaaai….? apakah kau tidak merasa tarlalu mementingkan diri sendiri?”
•000O000-
SIAUW Ling yang mencuri dengar pem-bicaraan orang tuanya diluar jendela. merasa kan darah panasnya bergelora didalam dada, semangatnya timbul kembali, tanpa pikir panjang ia segera putar badan dan menuju keruang tinggal Boo Wie Tootiang.
Sementara itu Boe Wie Tootiang serta Soen Put-shia telah menanti kedatangannya diluar ruangan, menyaksikan si anak muda itu muncul mereka segera maju menyambut.
“Boanpweo telah datang terlambat. Harap cianpwee berdua 8uka momaafkan ” bisiknya lirih.
“Tepat sekali kedatanganmu saat ini,” sa-hut Soen Put-shia sambil memandang cuaca.
“Persoalan mengenai Pak thian Coen-cu tidak ingin pinto sebarkan hingga diketahui para jago,” kata Boe Wie Tootiang pula. “Oleh sebab itu pinto hanya mengajak Soen heng seorang belaka untuk menemani SiaUw Thayhiap, disamping itu ada baiknya kita temui gembong iblis itu dipantai seberang saja, dengan begitu seandainya sampai terjadi pertempuran tidak sampai mengejutkan para jago.”
“Ucapan Loocianpwee tepat sekali!” Ketika mereka tiba ditepi telaga, Cheng Yap Cing dengan pakaian ringkas Serta pe-dang tersoren telah menanti diatas Sampan.
“Darimana kau bisa tahu?” tegur Boe Wio Tootiang dengan alis berkerut.
“Harap suheng suka memaafkan!” buru buru Cheng Yap Cing menjura. Soen Put-shia tertawa. “Menurut penglihatan aku sipengemis tua, dikemudian hari sutemu ini bakal mengangkat nama partai Bu-tong kalian. Biarkaniah dia ikut untuk menambah pengetahuan!”
Hmmm kalau…. bnkan Soen Locianpwe yang mintakan ampun, saat ini juga kau sudah pasti telah kuusir dari atas sampan.” Chen Yap-cing tersenyum. “Terima kasih atas bantuan locianpwee!” katanya sambil menjura kearah si pengemis.
“Sudah, tak usah banyak adat. ayoh cepat berangkat!”
Chen Yap-eing mengambil dayung lalu berseru kepada Boe Wie Tootiang, “Biarlah sianwte yang pegang kemudi, rnurid yang suheng tugaskan pegang kemudi tadi telah siauwte perintahkan pulang’”
Dengan kekuatan lengannya, sekali dayung sampan kecil itupun meluncur ketengah telaga laksana…. kilat.
Awan hitam menutupi seluruh jagad, menutupi pula sinar rembulan serta bintang yang tersebar diangkasa, permukaan telaga tampak gelap gulita sekali.
Dengan sepasang mata yang tajam Boe Wie Tootiang menatap kepermukaan telaga lalu lambat-lambat berkata, “Kita harus lebih berhati-hati, seandainya Pak Thian Coen-cu datang lebih pagi dari kita dan langsung menerjang kemarkas kita. Aaai…. entah bagaimana akibatnya.”
Sementara pembicaraan berlangsung, mendadak tampak sebuah sampan kecil meluncur datang dengan cepatnya.
“Orang yang berada diatas sampan itu bukankah Pak-thian Coen-cu?” ujar Soen Put-shia.
Tidak menunggu perintah dari Boe Wie-tootiang, Cheng Yapcing segera putar kemudi dan mendayang sampan mereka menyongsong kedatangan orang itu.
Dalam sekejap mata kedua belah pihak telah berpapasan, Cheng Yap cing putar kemudi, sampannya diputar sedemikian rupa sehingga menghalangi jalan pergi dari sampan kecil itu.
Boe Wie-totiang yang berada diujung perahu segera menjura sambii menyapa, “Apakah anda adalah Pak-thian Coen-cu.”
“Sedikitpun tidak salah, memang loohu adanya.”
Dari atas sampan tadi perlahan-lahan bangun berdiri seorang kakek tua berbaju hijau bertopi kecil.
Kiranya diatas sampan kecil orang itu di pasang sebuah kursi malas, dan si kakek tadtipun berbaring diatas kursi malas tadi.
“Ehmm…. Pak-thian Coen-cu pandai benar mencari kesenangan.” pikir Soen Put-Bhia didalam hati. “Diatas sampan kecil ma-cam itupun ia pasang sebuah kursi malas!”
Dalam pada itu Siauw Ling telah memperhatikan diri Pak Thian Coen-cu. Ia saksikan diatas sampan itu kecuali dia seorang hanya seorang lelaki kekar yang pegang kemudi. Dalam hati ia merasa tercengang, segera katanya, “Selamanya orang ini selalu pergi dengan pengawal yang banyak, mengapa pada malam ini ia datang seorang diri? Sungguh mengherankan.”
Terdengar Boe Wie tootiang sambil terta-wa telah menegur ;
“Saat ini kentongan ketiga belum tibar sungguh pagi benar kedatangan Coen-cu!”
“Apakah Tootiang sudah menemukan diri Siauw Ling ” bukannya menjawab si Rasul dari langit utara malah bertanya.
“Sungguh beruntung sekali pinto tak sampai mengecewakan hati Coen-cu, cuma saja.”
“Cayhelah manusia yang bernama Siauw Ling, entah Coen-cu ada urusan apa mencari aku?” tukas si anak muda itu tidak menunggu sampai Boe Wie tootiang menyelesaikan. kata-katanya.
“Eham. sejak tadi lohu sudah menduga akan dirimu, ternyata dugaanku tidak salah.”
Sinar matanya perlahan-lahan beralih keatas tubuh Soen-put-shia dan menambahkan
“Bukankah kau adalah Soen-put-shia tiang loo dari perkampungan Kay-pang….”
“Haaa…. haaa…. tidak salah, memang aku si pengemis tua adanya.”
“Sudah lama lohu mendengar akan nama harummu, sungguh beruntung malam ini kita dapat saling berjumpa.”
“Terima kasih.-.terima kasih….”
Perlahan lahan sinar mata Pak-thian Coen cu beralih kembali keatas wajah Siauw Ling-
“Sekarang siauwli berada dimana?” ia me negur.
“Kemana perginya putrimu, darimana cayhe bisa tahu???” dengan seksama, seandainya nama cayhe yang ternoda. hal ini masih mendingan. Seandainya nama putrimu lah yang ternoda…. aaai…. bagi dia. kejadian ini beuar-benar merupa-kan suatu peristiwa yang menimbulkan hati.”
“Hmmm! Kalau bukan kau yang mencu-liknya. lalu kemana perginya putriku??”
“Darimana cayhe bisa tahu??”
“Apakah kau sungguh – sungguh tidak tahu,” tegur Pak-thian Coen-cu kembali setelah berpikir sejenak.
“Tentu sungguh, apakah cayhe sudi mengajak kau bergurau dalam menanggapi persoalan ini!”
Pak-thian Coerj-cu termenung dan berpikir sebentar, kemudian ia berkata kembali, “Perduli kau atau bukan yang…. menculik putriku, selama putriku belum munculkan diri aku tetap menuduh kaulah yang melarikan!”
‘Coan cu, perkataanmu sama sekali tidak tahn aturan. sebenarnya apa maksudmu?”
“Haaa…. haaa…. haaa…. dikolong langit dewasa ini, masih ada beberapa banyak ma-nusia yang pantas msmbicarakan soal cengli dengan diri loohu?”
“Lalu mennrut maksud Cosn-cu, kau hen-dak menghukum aku orang she Siauw dengan cara apa?”
Sisnak muda ini sadar bahwa kepandaian silat yang dimiliki orang ini sangat lihay, dalam situasi yang serba kalut dan kacau macam ini ia tidak ingin menanam bibit permusuhan lagi dengan orang banyak. Oleh sebab itulah kendati dalam hati ia merasa sangat mendongkol hingga sukar ditahan namun ia berusaha keras untuk tetap bersabar.
“Loohu hendak membawa kau pergi dari sini,” kata Pak Thian Coen-cu lagi.
putrimu teal pergi, sekalipun aku dibawa pergi pun percuma,” seru Siauw Ling dengan nada tertegun.
“Loohu punya akal bagus!”
“Seandainya akalmu itn dapat membantu uutuk mencari kembali putrimu, dengan Senang hati aku orang she Siauw akau membantu, tapi dapatkah Coen-cn jelaskan dahulu bagaimanakah rencanamu itu. agar cayhepun bisa pertimbangkan dengan seksama “
“Putriku pergi meninggalkan rumah sebabnya bukan lain adalah karena hendak mencari kau, asal loohu bawa pergi dirimu kemudian mengumumkan kepada dunia bahwasanya loohu berhasil menangkap Siauw Ling dalam sebulan kau akan kuhukum mati. Demi menolong jiwamu sebelum batas waktu sebulan habis putriku tentu akan pulang kerumah.”
“Heee…. heee heee…. suatu akal yang sangat bagus.” jengek Soen Put-shia sambil tertawa dingin, “hanya saja ada satu hal yang aku rasa kurang bagus.”
“bagaimana yang kurang bagus?”
“Seandainya putrimu terlambat mendengar berita itu sehingga pulang lebih dari sebulan atau seandainya setelah mendengar kabar itu tapi tetap tak mau kembali, bagaimana tindakan Coen-Cu terhadap diri Siauw Ling?”
“Seandainya tiada permohonan dari putri ku, setiap perkataan yang telah loohu utarakan tidak akan kurubah kembali….”
Ia merandek tejenak, kemudian terusnya: “Maksud tujuan loohu dalam perjalananku kedaratan Tionggoan kali ini bukan lain adalah hendak mencari tahu dimanakah kunci istana terlarang tersimpan, siapa sangka putriku meninggalkan rnmah tanpa pamit sehingga mengakibatkan pikiran loohu
kalut dan hati jadi sedih. karena persoalan ini pula terpaksa masalah istana terlarang harus kukesampingkan terlebih dulu.”
“Jadi maksud Coen-cu, seandainya dalam satu bulan kau tidak berhasil juga menemu kan putrimu. maka kau benar-benar akan menghukum mati diri Sianw Ling?”
“sedikitpun tidak salah, oleh sebab itulah loohu tidak mengerti bagian manakah yang kau maksudkan tidak bagus.”
Mendengar perkataan itu, darah panas dalam rongga dada Siauw Ling kontan bergolak begitu hebatnya sampai sukar ditahan lagi, segera serunya, “Ada satu masalah. mungkin coen-Cu telah lupa untak memikirkatnja.”
“Persoalan apa “
“Coen-cu lupa bahwa aku Siauw Ling tidak nanti sudi menyerah kalah dengan begitu saja “
“Heee…. heee…. heee…. masa kau berani bergebrak melawan lohu….?….”
“Kenapa tidak berani??”
“Bagaimana kalau diatas sampan kecil ini juga?” teriak Pak-thian Coen cu marah.
Mendengar tantangan itu Siauw Ling segera berpikir dalam hati, “Ia sudah lama berdiam diistana es yang terletak di samudra sebelah utara, kepandaiannya bermain dalam air tentu lihay sekali, aku tak boleh melayani tantangannya diatas tampan “
Berpikir akan hal itu, ia tahan hawa amarahnya dan berkata, “Tempat ini terlalu kecil lagi sempit, apa bila Coencu ingin berduel lebih baik mencari tempat yang lebih luas saja.”
“Baiklah” ia ulapkan tangannya dan sampan kecil itupun segera meluncur lebih dahulu kearah pantai.
Soen-put-shia melirlk sekejap kearah. Boe Wie Tootiang, lalu berkata, “Ditinjau dari situasi yang terbentang di depan mata saat ini, rupanya perdamaian tak bisa diharapkan lagi “
Boe Wi Tooiiang mengangguk. mendadak tangan kirinya menekan kebawah sehingga perahu sampan itu bergerak lambat. menunggu Pak-thian Coen-cu sudah pergi jauh ia baru berbisik kepada Siauw Ling.
“Siauw thay-hiap kepandaian silat yang dimiliki Pak thian Coencu lihay sekali, benarkah Siauw thayhiap hendak bertempur melawan dirinya??….”
“Urusan sudah mendesak hinpga mencapai puncaknya, meski boanpwe tidak ingin betempurpun tak bisa!”
“Kalau begitu kita layani saja dirinya secara bergilir, pertarungan pertama serahkan saja kepada aku sipengemis tua, seandainya aku gagal untuk menangkan dirinya barulah saudara siauw…. turun tangann, dalam keadaan seperti in kita tidak usah persoalkan peraturan Bu-Iim lagi, bila perlu Tootiangpun sekalian turun tangan….”
“Aku rasa cara ini rada kurang bagus….”
“Dimana letak kekurang bagusannya?’.'“
“Anak buah yang dimiliki Pak thian Coen cu banyak sekali dan Cayhe pernah saksikan sendiri dengan mata kepalaku Seandainya kita layani dia secara bergilir, kemungkinan besar kejadian ini akan mengundang anak buahnya untuk membantu dia, bukankah kejadian ini malah mendatangkan kerepotan bagi kita sendiri? lebih baik biarlah cayhe turun tangan seorang diri, baik menang mau-pun kalah jangan sampai menyeret orang lain sehingga terjerumus pula dalam masalah ini.”
“Setelah aku sipengemis tua serta boe Wie Tootiang ikut campur dalam peristiwa in tidak nenti kami akan biarkan Pak-thian Coen-cu menggusur kau pergi dari sini. Seandainya kau menang dalam pertempuran kali ini tentu saja jauh lebih bagus, seandainya kau tidak beruntung dan kalah, maka aku sipengemis tua serta Boe Wie Tootiang tidak nanti berpeluk tangan belaka. dan dalam pertempuran selanjutnya pasti akan terjadi peristiwa berdarah yang mengerikan.”
Sementara mereka bercakap-cakap, sampan kecil itu telah tiba ditepi daratan
Dalam pada itu Pak-thian Cosn-cu telah menunggu ditepi daratan dengan wajah penuh tidak sabar tegurnya dingin, “Luas telasa ini paling banter Cuma seratus tombak, meski perjalanan kalian lakukan lebih lambatpun tidak seharusnya hingga kini baru tiba….”
Siauw Ling tidak menggubris, ia loncat naik keatas daratan lalu berseru
“Coen-Cu, silahkan mulai turun tangan!”
Waktu itu awan gelap yang menyelimuti angkasa telah buyar, rembulan nan indah tergantung jauh di awang-awang memberikan cahaya yang redup di bumi, bintang bertaburan diseluruh angkasa.
Pak Thian Coeu-cu mengamati sejenak wajah Siauw Ling, kemudian tertawa hambar.
“Usiamu masib muda sungguh tak dinyana nyalimu benar-benar hebat sekaii!”
“Tak usah kau puji diriku:” Terdengar suara ujung baju tersampok angin, Soen Put-shia, Boe Wie tootiang serta Ceng Yap Cing sama telah loncat keatas daratan.
Dipandangnya sekejap ketiga orang Itu dengan sinar mata dingin, setelah itu ia menatap kembali wajah Siauw Ling dan berkata, “Cabut senjatamu!”
“Coen-cu, silahkan kau cabnt keluar senjatamu!” sahut Siauw Ling sambil cabut ke luar pedangnya yang tersoren diatas punggng.
“Loohu akan layani dirimu dengan sepa-sang telapak ini saja!”