JILID 3
JIE HIONG WAN tidak lantas menyahut, agaknya dia bersangsi, tapi akhirnya menunjuk pada kereta. „Aku lagi hantar mereka pergi ke Po-teng," dia menyahut juga.
Bouw Pek manggut, dia tidak kata apa2. Dia jalan sambil terus tuntun kudanya.
Melihat sikap orang itu, Jie Hiong Wan lalu kata;
„Kalau kau ada urusan penting, hiantit, silahkan kau jalan lebih dulu. Karena kami jalannya lambat sekali"
Mendengar itu, Bouw Pek dapati ketika baik. Dia angkat kedua tangannya.
„Baiklah, lauwsiok," dia jawab. „Nanti, sepulangnya dari kota raja, aku akan mampir pula pada kau. Kalau ada keperluan di kota raja, tolong lauwsiok bilang saja, nanti aku akan berbuat apa yang aku bisa."
„Oh, tidak ada apa2 !" Hiong Wan jawab sambil tertawa.
Lie Bouw Pek betulkan les kudanya, lantas dia lompat naik keatas kudanya itu. dia baru kasi kudanya jalan beberapa tindak, atau si jago tua teriaki dia : „Lie Hiantit!" Maka dia lekas2 tahan kudanya. Kapan dia menoleh, dia lihat si orang tua kasi kudanya lari akan menyusul dia. „Ya, lauwsiok," dia tanya, „ada apa ?"
Setelah datang dekat, jago tua itu berdiam, pertanyaan orang dia tidak jawab, nampaknya dia sangsi, sampai keretanya telah dapat susul dia.
Tenda kereta disingkap sedikit, mukanya Jie Siu Lian muncul separoh.
„Ayah, hayo kita berangkat!" kata anak itu. yang suaranya halus tapi terang.
Bouw Pek bisa pandang nona itu, roman siapa nampaknya terlebih elok dan manis, hingga hatinya jadi memukul. Sementara itu si orang tua sudah ambil putusan tidak mau bicara, maka dia kata sembari ketawa :
„Benar-benar aku tua, sampai urusan yang baru mau dibicarakan aku lupa lagi ! Tapi tidak apa, hiantit, silahkan kau lanjutkan perjalananmu, harap dibelakang hari kita akan bisa bertemu pula!,"
Tentu sekali Bouw Pek tidak mengerti. Kendati demikian, karena si orang tua telah angkat kedua tangannya, iapun lekas2 membalas hormat itu. Begitulah mereka berpisahan pula.
Bouw Pek larikan kudanya sampai jauh-nya kira2 sepanahan, lantas dia menoleh kebelakang. Dia lihat si jago tua bersama keretanya jalan dengan pelahan.
Pikirannya jadi kusut. Kembali semangat nya lelah kena dibetot oleh Siu Lian. Sekarang kambuh pula penyakitnya dari dua bulan yang lalu. Diapun lalu pikirkan sikap nya si orang tua barusan.
„Dia hendak bicara dengan aku, tetapi dia batalkan dengan tiba2, kenapakah dia tanya dalam hatinya sendiri. „Dia seorang jujur, kenapa barusan dia bersangsi ? Ini lah. heran! Apakah dia hendak bicarakan suatu urusan penting? Apa dia hendak minta bantuanku ? Jie Hiong Wan gagah dan hatinya baik, diapun sabar sekali, kejadian dua bulan yang lalu dia tidak buat ingatan, padaku ia tidak benci atau jemu, sebalik nya, dia berlaku baik sekali. Melihat aku, dia yang menegur duluan ! Coba aku yang lebih dulu lihat dia, belum tentu aku berani tegor dia" Bouw Pek lantas men-duga2.
„Dia bilang puterinya sudah ditunangkan dengan keluarga Beng, apakah itu bukan pelabi melulu ! Apa tidak bisa jadi, selama dua bulan ini dia telah selidiki jelas asal-usulku dan sekarang dia kandung niatan akan serahkan puterinya itu padaku? Siapa tahu ?"
Mendengar demikian, tiba2 Bouw Pek menjadi gembira. Dia segera ingat sikapnya Siu Lian. Si nona telah turunkan tenda kereta, begitu lekas nona itu lihat dia.
„Dia rupanya malu ketemu aku. Kenapa mesti malu ? Apa itu disebabkan ayahnya hendak jelaskan jodohnya mau diikat dengan jodohku ?" Lantas anak muda ini menoleh. Kereta jalan terus dengan pelahan, si orang tua berada diatas kudanya. Tenda kereta tetap dikasi turun.
„Entah buat urusan apa mereka pergi ke Po-teng ?" dia men-duga2.
Bouw Pek pikir akan putar kudanya, akan samperi rombongan itu buat jalan sama2, akan tetapi perasaan malu mencegahnya. Maka dia lalu jalan terus sampai empat atau lima lie, didepan ada suatu hutan cemara, dimana ada kuburan dari seorang hartawan, kuburan itu besar dan bagus.
Disini Bouw Pek berhenti akan lompat turun dari kudanya, akan tuntun binatang itu masuk kedakan kudanya akan dituntun terbang kalang-kabut Kapan ada orang dan kuda datang. Bouw Pek tambat kudanya pada sebatang pohon, dia sendiri duduk diatas sepotong batu. Dia duduk belum lama ketika kupingnya lantas dengar suara roda kereta menggelinding disebelah luar hutan.
Mengawasi keluar dari mana orang tidak lihat dia Bouw Pek lihat Jie Hiong Wan lewat bersama keretanya. Diam2 dia tersenyum. Dia tunggu sampai kereta sudah lewat jauh, baru dia hampirkan kudanya akan dituntun pergi keluar hutan. Rombongan itu sudah lewat kira2 satu lie.
Bagus, sekarang aku bisa kuntit mereka !" pikir anak muda kita. „Aku ingin ketahui, di Poteng mereka hendak kerjakan apa.'
Baru saja dia mau kasi lari kudanya akan kuntit Jie Hiong Wan, tiba2 kupingnya dengar riuhnya kaki2 kuda disebelah belakang. Dia berpaling dengan lekas, lantas dia lihat tiga penunggang kuda sedang mendatangi. Tapi apa yang bikin dia heran, mereka itu adalah si dua orang lelaki dan satu perempuan muda !
„Hei, apa sih mereka hendak bikin?" dia men-duga2, makin curiga. „Kuda mereka lari keras, tadinya mereka telah lewati aku, kenapa sekarang mereka justeru ada disebelah belalang?" Dengan lekas tiga penunggang kuda itu telah sampai dekat anak muda kita.
„Eh, sobat, kau ada disebelah depan kita ?" menegor si jangkung, sembari tertawa.
Dua kawannya sebaliknya mengawasi dengan mata dibuka lebar2.
Bouw Pek bersenyum, dia tidak menyahut, dia kasi mereka itu lewat. Mereka itupun menuju keutara. Dia lantas kasi kudanya lari.
Tidak antara lama, tiga penunggang kuda itu sudah dapat candak rombongan Jie Hiong Wan, mereka tidak melewati, hanya menahan kudanya, mereka pada lompat turun dan masing2 tarik golok mereka dari tempat cantelannya diatas sela. Dengan menghunus senjata, mereka bergerak kejurusan kereta.
„Ah!" berseru Bouw Pek yang dapat lihat orang2 itu, sikap mereka membikin dia terkejut sekali. Dengan tidak pikir panjang lagi, dia keprak kudanya akan susul mereka itu. Disebelah depan Jie Piauw-tiauw telah tahan kudanya, dia ambil golok, lantas dia lompat turun dari kudanya, akan hadapi tiga orang itu, siapa sudah lantas menyerang. Bertiga mereka kerubuti jago tua itu.
Hampir berbareng dengan itu, Jie Siu Lian lompat turun dari keretanya, tangan nya memegang siangtoo, dengan senjata itu dia bantu ayahnya. Dia dapat perlawanan dari si penunggang kuda perempuan.
Selama itu, karena kudanya larat, Bouw Pek sudah datang mendekati.
„Tahan ! Tahan !" dia berteriak berulang ulang.
Sementara itu pertempuran berjalan seru, sudah lewat dua- puluh jurus.
Jie Lauw Tiauw gagah, tetapi dia sudah tua, selama undurkan diri dia kurang berlatih, tidak heran kalau gerak2annya sedikit lambat, napasnya kurang panjang. Maka selanjutnya dia nampaknya keteter terhadap dua musuh yang sedang tangguhnya dan gagah. Lawannya Siu Lian gagah dan telengas, dia mesti berlaku hati2 supaya tidak sampai kena dipecundangi oleh musuh itu, yang dia tidak kenal.
Justru itu Bouw Pek sudah sampai sambil, hunus pedangnya, anak muda ini lompat turun dari kudanya. Dia menghampirkan kejurusan Jie Hiong Wan.
„Lauwsiok, silahkan mundur !" dia berseru, karena teriakannya supaya mereka berhenti bertempur sudah tidak digubris, hingga dia mendongkol, sedang dia percaya pasti tiga penunggang kuda itu bukan orang baik dan maksudnya pastilah busuk.
Jie Hiong Wan girang menampak datang nya anak muda itu, sedang dia sudah jadi sibuk sekali, karena dia dapat kenyataan di sebelah dua musuh tangguh, hingga dia jadi repot layani serangan2nya dua golok. Dia lekas mundur beberapa tindak, buat kasi si anak muda maju.
Si muka hitam kelihatannya murka melihat orang datang menyelak.
„Kami sedang berkelahi, apa sangkutannya itu dengan kau
?" dia tegor Bouw Pek.
Juga si jangkung turut bicara, dia berseru:
„Sobat, lekas minggir ! Kita tidak bermusuhan, kami tidak ingin lukai kau !'
Tapi anak muda dari Lamkiong ini gusar.
„Telur busuk !" dia bentak mereka itu. „Kau menghina aku punya Jie Siokhu ini! Kau tahu, kau seperti juga telah hina aku!"
Lantas dia geraki pedangnya, seperti seekor ular perak, menerjang dua orang lelaki itu si muka hitam dan si jangkung. Mereka itu mundur, tetapi terus melawan. Mereka pun gusar ada orang yang merintangi, mereka lalu merangsak
dengan hebat, buat balas menyerang.
Menampak aksi musuh, Jie Hiong Wan lantas maju pula. Dia gusar berbareng malu. Dia gusar terhadap musuh2nya yang tak di kenal, dia malu karena seorang kenalan baru sampai bantu dia. Dia pun malu yang dia keteter terhadap musuh2nya itu. Dia tidak ingin si anak muda dapat kesan jelek tentang dirinya. Tapi karena lihat si anak muda sanggup layani dua musuh lelaki, dia lalu maju membantu anaknya.
Lie Bouw Pek unjuk ketangguhannya, belum terlalu lama dia hayar si jangkung, setelah mana dia lalu rangsak si hitam. Dia ini terkejut melihat kawan nya rubuh, hatinya jadi ciut, tidak menunggu lama lagi dia lompat mundur dan lari kejurusan kudanya, lompat naik atas tunggangannya dan kabur. Tapi sembari menyingkir, ber-ulang2 dia berteriak :
„Moay-moay, hayo lari! Lekas !"
Nyonya muda itu tangguh dan berani juga, dia telah lawan dua musuh, sedikitpun dia tidak merasa takut, malah dalam sengitnya dia bisa bikin Jie Hiong Wan dan gadisnya terdesak mundur!
„Kepandaiannya bangsat perempuan ini tidak bisa dicela." pikir Bouw Pek, apabila dia sudah saksikan perempuan muda itu ber tempur sekian lama. Karena ini dia tidak jadi susul si penjahat lelaki, tadinya niat kejar, dia hanya hampirkan Hiong Wan dan anaknya, akan bantu mereka. Ini membikin perempuan muda itu kewalahan.
„Kau beberapa orang kerubuti aku satu? " dia lalu berteriak. Tapi belum dia keburu tutup mulutnya, goloknya Siu Lian telah kena kemplang punggungnya, hingga sambil keluarkan jeritan, dia rubuh terbanting. Nona Jie sengit, dia hendak maju akan bikin habis jiwa orang, tetapi ayahnya keburu mencegah.
Bouw Pek pun sudah lantas berhentikan gerakan tangannya, dia berdiri mengawasi.
Ketika itu, simuka hitam sudah menghilang.
Pertandingan itu bukan tidak ada yang tonton, sebaliknya cukup banyak orang yang menyaksikan yalah mereka yang berlalu lintas, baik yang naik kereta maupun yang jalan kaki, mereka ini merandek akan menonton, sebegitu jauh tidak ada yang berani datang dekat atau berteriak memisahkan, adalah setelah pertempuran sampai diakhirnya, mereka pada datang mendekatkan dan mengerumuni. Si jangkung rebah sambil merintih, oleh karena pahanya terluka, tapi kemudian dia paksa merayap bangun akan berduduk. Dia merintih terus.
Si orang perempuan benar2 tangguh. Luka nya di belakang hebat, bajunya pecah dan mandi darah, tetapi begitu jatuh, dia paksakan merayap, merayap sampai dibawah sebatang pohon, disini dia senderkan diri, sambil kerutkan alis dan kertek gigi akan tahan rasa sakitnya. Mukanya berobah menjadi pucat.
„Bertiga kau orang kepung aku sendirian, apa kau orang masih terhitung orang gagah?" begitu dia kata dengan berani. Dia awasi Jie Hiong Wan dengan mata mendelik, tandanya dia sangat mendongkol dan gusar. Kemudian dia katakan Lie Bouw Pek usilan dan damprat. Siu Lian dengan perkataan kotor. Nona Jie gusar bukan main.
„Perempuan jahat, aku nanti bunuh kau !" dia berteriak seraya maju menghamparkan, goloknya dia sudah angkat naik.
“Jangan bunuh dia, nona!" Bouw Pek mencegah. „Sekarang banyak orang yang menonton, inilah kurang bagus! Lebih baik kita gusur dia pada pembesar negeri, supaya dia terima hukumannya.
Siu Lian bisa dicegah, dia deliki perempuan itu, dia pandang Bouw Pek dengan masih marah, kemudian dia samperkan ayahnya.
Jie Hiong Wan sudah simpan goloknya, sambil angkat tangan pada orang banyak dia kata : „Tuan2 telah saksikan selagi baik2 kami berjalan, tiga orang ini telah kejar kami dan lantas saja menyerang, hingga kami mesti lawan mereka. Syukur kami ayah dan anak mengerti juga ilmu silat, jikalau tidak, tidak ampun lagi kami pasti akan terbinasa ditangan mereka itu”
Beberapa orang, yang telah saksikan kejadian, ada dipihaknya Jie Piauwsu, mereka benci tiga orang itu, maka mereka hampirkan si jangkung, yang lagi duduk kesakitan, akan dupaki dia! „Bukankah kau si bangsat yang sering membegal ditengah jalan? Sekarang dari mana kau orang datang ? Hayo lekas mengaku !"
Si jangkung menjerit kesakitan, tapi dia jawab orang banyak.
„Tuan2 jangan kau orang fitnah aku. Kami bukannya mau begal orang ini tidak ada harganya buat kami begal dia. Kami ke dua pihak sebenarnya dendam sakit hati dari sepuluh tahun lamanya! Itu tua bangka she Jie telah bunuh mati guruku !"
Juga perempuan yang terluka itu lantas serukan piauwsu kita:
„Orang she Jie, lekas sewakan kami kereta, supaya kami bisa pergi, nanti kami
kasi ampun padamu! Kalau tidak, kau tidak nanti dapat kemenangan sendiri! Baiklah aku kasi tahu, sekarang ini aku masih punya belasan saudara, jikalau kau serahkan kami pada pembesar negeri, mereka itu niscaya tidak akan kasi ampun padamu!"
Jie Hiong Wan bingung, sampai dia mandi keringat. Memang dia telah keluarkan banyak tenaga. Dia memang tidak niat tarik panjang perkara itu. Apa mau, disitu lantas datang kepala kampung, hiangyak dan teepo.
„Tidak, perkara ini tidak bisa dibikin habis secara diam2!" mereka itu kata dengan berkukuh. „Lihat, luka mereka hebat! Daerah ini termasuk Jiauw-yang, tiekoan kita, Teng Tay-looya, paling keras pemerintahannya, apapula kemarin dulu disini telah terjadi pembegalan dan penjahat-belum dapat ditangkap, bila kami lepaskan kau orang dan kemudian tiekoan mendapat tahu, kami sendiri bisa dapat susah!"
Jie Hiong Wan kerutkan alis. Siu Lian sudah naik keatas kereta.
„Memang perkara susah buat dibikin habis sampai disini," anak muda kita bilang."tapi lauwsiok tidak usah sibuk, kita bukan difihak salah."
„Aku tidak takut, aku hanya paling sebal menghadapi hal yang memusingkan kepala," kata jago tua itu. Bouw Pek tidak bisa kata apa2, dia lihat jago tua itu sedang jengkel, dia tidak berani lantas tanyakan duduknya perkara diantara kedua pihak.
Sementara itu si pembesar kampung sudah datang dengan sebuah gerobak kerbau, dua orang yang luka dinaikkan keatas gerobak itu. Karena ini, terpaksa Jie Hiong Wan mesti ikut juga dengan tunggang kudanya. Bouw Pek turut naik atas kudanya.
Pembesar kampung pun tarik dua-tiga orang diantara orang banyak, untuk dijadikan saksi Mereka tidak lupa bawa golok dan kudanya dua penjahat itu.
Keretanya nyonya Jie lalu mengikuti di belakang.
Mereka menuju kebarat laut, setelah melalui sepuluh lie lebih mereka sampai di Jiauwyang. Mereka masuk kedalam kota, terus menuju kekantor tiekoan.
Dengan dibantu oleh beberapa opas, dua orang yang luka dibawa kemuka kantor. Kepala kampung minta Jie Hiong Wan menghadap bersama anak isterinya dan juga Lie Bouw Pek, begitupun beberapa saksi.
Jie Lauw Tiauw merasa tiekoan itu pembesar lihai apabila dia lihat hidung orang seperti patok betet dan mata seperti alap.
Tiekoan mulai pemeriksaannya dengan lebih dulu tanya she dan nama semua orang yang dibawa menghadap padanya oleh karena ini, Jie Hiong Wan jadi dapat tahu si jangkung adalah Can Tek lo dan si perempuan adalah anak perempuan Ho Hai Liong, namanya Kiam Go, gelarannya Lie Mo-ong, si Raja Iblis perempuan.
„Ada permusuhan apa diantara kau dan mereka ini, hingga mereka datang mengejar dan hendak bunuh kau ditengah jalan?" tiekoan kemudian tanya piauwsu tua itu.
„Aku tadinya piauwsu, yang suka bikin perjalanan sambil melindungi barang2" Jie Hiong Wan aku, „oleh karena pekerjaanku ini, tidak jarang aku mesti tempur orang untuk melindungi barang2 dan jiwaku, terutama buat nama baikku sebagai piauwsu yang dipercaya orang banyak. Begitu diluar keinginanku, aku jadi dapatkan musuh2, yang aku sendiri tidak pernah ingat pula. Selama ini sudah banyak tahun aku undurkan diri, maka segala apa aku sudah lupa betul2." Lantas Tong Tiekoan tanya Tek Po dan Ho Kiam Go. Tadinya Can Tek Po mau beber duduknya hal dengan tuduh Jie Hiong Wan telah bunuh Ho Hui Liong, tetapi Ho Kiam Go dului dia memberikan keterangan lain, sebab perempuan muda ini tidak ingin duduknya hal itu diutarakan dimuka umum, lantaran dia kuatir orang banyak nanti dapat tahu dia anaknya berandal.
„Aku minta tayjin tidak usah tanyakan keterangan dengan teliti sekali," berkata perempuan garang ini, dengan suara yang menyalakan dia masih tetap sangat mendongkol.
„Dikalangan Sungai telaga adalah tidak aneh kalau orang saling hutang dan saling bayar. Ayahku binasa ditangannya Jie Hiong Wan, ini terjadi pada tujuh atau delapan tahun yang lalu, diwaktu aku masih kecil. Bagaimana duduknya perkara aku tidak tahu, hanya aku tahu bahwa aku mesti bikin pembalasan. Maka aku lantas belajar silat. Sekarang, sesudah besar, kami datang untuk bikin pembalasan. Aku datang bersama engkoku Cit Houw, engko yang kedua, dan suheng Can Tek Po ini. Kami telah datang ke Kielok. Rupanya Jie Hiong Wan ketahui kedatangan kami, dia lantas berangkat buat singkirkan diri dengan ajak anak-isterinya. Tentu saja kami lantas susul dia. Sudah beberapa hari kami menguntit, baru tadi kami dapat susul dia. Kami hendak bunuh si tua- bangka, siapa tahu mendadak datang orang ini " dia tuding Lie Bouw Pek, romannya jadi bengis, seperti dia hendak terkam dan cekek mampus pemuda kita. „Coba tidak datang dia ini, pastilah sakit hati kami sudah terbalas! Oh, binatang, kalau lain kali kita ketemu pula, bisa jadi kami bisa ampuni si tua- bangka, tetapi kau pastilah tidak!"
Lie Bouw Pek tidak ladeni perempuan katak dan galak itu, dia hanya bersenyum ewah.
Setelah itu tiekoan minta keterangan si anak muda.
,,Aku seng-goan dari Lam-kiong," Bouw Pek terangkan,
„aku dalam perjalanan kekota raja guna sambangi sanakku, ditengah jalan aku saksikan mereka ini berdua, bersama seorang kawannya yang bisa kabur, pegat Jie Loo-piauwtauw, yang mereka lantas serang. Aku tidak bisa lihat perbuatan tidak adil itu, aku cabut pedang dan bantu Jie Loo-piauwtauw. Aku kenal loo-piauwtauw, akan tetapi kami tidak bergaul rapat. Tentang duduknya permusuhan mereka, aku tidak tahu suatu apa "
Paling akhir tiekoan tanyakan semua saksi. Mereka tuturkan duduknya hal yang benar, dialah selagi berjalan. tiba2 mereka dikejar dan diserang oleh tiga orang itu, maka piauwsu bikin perlawanan sampai akhirnya datang si anak muda yang bantu piawsu itu, bahwa dua penyerang kena dirubuhkan, tetapi satu kawannya lolos. Perihal duduknya perkara, mereka pun bilang tidak tahu. Sesudah dengar semua itu tiekoan manggut-manggut. „Sekarang jangan kau orang banyak omong lagi," kata pembesar ini pada Kiam Go dan Tek Po.
„Sekarang sudah terang perbuatan kau orang sebagai begal. Betul kau telah terluka, tetapi dalam hal ini mereka itu bertindak buat bela diri, maka mereka tidak bisa dihukum."
Lantas Tong Tiekoan perintah Jie Hiong Wan dan anak- isterinya ber-sama2 Lie Bouw Pek dan sekalian saksi undurkan diri akan tunggu panggilan lebih jauh, sedang dua orang terluka itu diperintah dibawa kepenjara buat ditahan.
Jie Hiong Wan dan rombongannya haturkan terima kasih pada tiekoan, setelah unjuk hormat, mereka pergi keluar.
Justeru itu, secara mendadak Ho Kiam Go lompat kemeja akan samber bakhie, dengan itu dia timpuk tiekoan ! Syukur Tong Tiekoan dapat lihat gerakan itu dan keburu berkelit dengan mendekam dimeja,. dengan begitu bakhie melayang lewat kepalanya, jatuh hancur dibelakangnya !
Opas-opas, yang kaget berbareng gusar, segera terjang Ho Kiam Go. buat telikung lebih jauh dia ini, sembari dihajar belengguan ditambahkan. Tapi dia gusar terus, dia memaki kalang kabut, dengan kakinya dia dupak meja hingga terbalik.
Tiekoan murka, dia damprat perempuan galak ini, hingga mereka jadi saling maki; Beberapa opas itu tidak bisa takluki perempuan ini, setelah datang beberapa opas lagi baru dia bisa dibikin rubuh dia terus dihajar lagi dan dibelenggu. dengan rantai yang besar dan berat, dengan begitu barulah bersama Can Tek Po dia bisa digusur kepenjara.
Jie Hiong Wan dan rombongannya telah saksikan Radja Iblis Perempuan itu ngamuk, kemudian sesampainya diluar piauwsu tua itu menjura pada beberapa saksinya, haturkan terima kasih atas keterangan mereka, sebab kendati mereka omong dengan sebenarnya, itu tetap berarti pertolongan baginya. Dia tunggu sampai mereka sudah pergi, dia silahkan isteri dan anaknya naik kereta.
„Barusan tiekoan perintahkan kita mundur buat tunggu panggilan lebih jauh, karena ini sedikitnya dalam satu-dua hari ini kita belum bisa lanjutkan perjalanan kita," dia berkata pada Lie Bouw Pek, „Aku menyesal buat kejadiannya, karena tempo kau jadi terganggu."
„Aku tidak punya urusan penting, lauwsiok," Bouw Pek jawab. „tidak ada halangan aku singgah beberapa hari disini. Mari kita cari tempat penginapan yang berdekatan, lauwsiok perlu mengasokan diri."
„Kau benar, hiantit, mari kita cari pondokan," kata si orang tua.
Baru saja mereka mau lompat naik atas kuda masing2, dari kantor lari keluar beberapa orang, yang teriaki mereka berulang-ulang. Dua orang dandan dengan rapi dan mewah kelihatannya, satu diantaranya bermuka putih, matanya kecil, dan dua lagi
seperti pengikut tetapi pakaiannya pun bersih. Lagi dua orang adalah opas-opas, mereka ini yang memanggil, apabila mereka sudah datang dekat, dengan garang mereka tegor jago tua kita : „Eh, kemana kau orang mau pergi ?"
„Kami mau cari rumah penginapan," sabut Jie Hiong Wan,
„kalau ada panggilan dari koan thayya, sembarang waktu bisa datang." „Tidak bisa kau cari pondokan sendiri!" kata pula opas itu, suaranya tetap kaku. ,Dengan kau yang cari tempat sendiri, bila ada panggilan, kemana kami mesti cari kau?"
„Kalau begitu, silahkan jiewie tolong carikan tempat," berkata jago tua kita, yang terus berlaku hormat dan sabar.
Ketika itu si anak muda yang kelihatannya mewah telah hampirkan kereta, dengan angkat tangannya dia menyingkap tenda akan melongok kedalam.
Siu Lian lekas melengoskan muka kesamping ibunya. Anak muda dengan matanya yang sipit tertawa. Jie Hiong Wan dan Lie Bouw Pek jemu melihat kelakuan orang, tetapi karena mereka tidak tahu si anak muda adalah tiekoan punya apa, mereka tahan sabar."
„Inilah isteri dan anakku," kata jago tua kita, yang maju. Dia berlaku manis, kendatipun dengan paksaan. Anak muda itu manggut, dia lepaskan tenda, dengan tidak kata apa2.
„Mari, kita nanti carikan rumah penginapan untuk kau orang," kata si dua opas.
Jie Piauwsu manggut, bersama Bouw Pek sambil tuntun kuda mereka, mereka ikut dua hamba wet itu. Keretapun mengikuti dari belakang.
Beberapa kali Lie Bouw Pek menoleh ke belakang, dia dapat lihat si anak muda mewah masih berdiri dengan diapit oleh dua pengiringnya, berdiri mengawasi kedalam kereta. Sudah terang anak muda ini tertarik oleh oleh Siu Lian. Tentu saya anak muda kita jadi panas.
„Beginilah peruntungan perempuan cantik, kemana saja dia pergi dia tentu bikin orang2 perhatikan dia," pikir dia.
Dengan lekas mereka sudah sampai dihotel yang dicarikan oleh kedua opas, nama nya Hok San," Jie Piauwsu pilih sebuah kamar yang besar serta sebuah yang kecil,
yang kecil ini buat Lie Bouw Pek. Barang2 sudah lantas dibawa masuk, jongos dipesan buat kuda mereka.
Diam2 Jie Piauwsu selipkan dua potong perak pada kedua opas pengantarnya. ,,Buat jiwie minum arak," dia kata. Dengan segera air muka dua hamba wet itu berobah.
„Tidak usah, looya-cu," kata yang satu, sedang yang satunya lalu menghibur, katanya: „Dalam perkara ini looya-cu jangan kuatir, kau jadi pendakwa dan mereka itu penjahat, malah tadi si perempuan sudah terbitkan gara2, dia tentu akan dapat hukuman berat. Benar besok barangkali kau tidak usah sampai dipanggil menghadap lagi, koan-thayya barangkali akan kami kirim buat mengasi tahu, yang kau merdeka dan boleh melanjutkan perjalanan"
„Dalam segala hal aku mengandal pada kau berdua jiewie," kata piawsu kita, yang tidak mau banyak omong. Sebagai seorang yang berpengalaman, dia tahu kepusingan selagi berhadapan dengan hamba2 wet yang rakus. Sampai disitu dua orang itu lantas berlalu.
Siu Lian pimpin ibunya duduk ditaphang dia sendiri duduk disampingnya.
„Ayah, kau perlu mengaso," kata anak perempuan ini.
„Sekarang ini ayah tidak usah kuatir lagi."
„Aku tidak ibuk, aku tidak lelah," sahut sang ayah. „Aku mau bicara dengan Lie Hiantit."
Orang tua itu benar2 lantas pergi keluar akan pergi kekamarnya Bouw Pek.
Anak muda kita tidak sampai ikut masuk kekamarnya piauwsu tua itu. Dia masih merasa likat. Dia terus masuk kekamarnya, setelah letakkan buntalannya dan pedang diatas pembaringan, dia perintah jongos bawakan dia air teh. Dia duduk dikursi sambil menunggui jongos itu. Dia lekas berbangkit apabila dia lihat si jago datang.
„Duduk, hiantit," orang tua itu pun minta. Dia lantas duduk didepannya anak muda itu, yang telah ambil kursinya pula.
„Kejadian tadi adalah diluar dugaanku" kata siorang tua, sambil menghela napas. „Syukur ada kau, hiantit, bila tidak, pasti lah kami akan jadi korbannya tiga orang kejam itu."
„Belum pasti, lauwsiok," Bouw Pek menghibur. „Aku lihat diantara mereka tiga, si orang perempuan yang paling lihai nyalinya besar bukan main. Dua orang lelaki itu bukan tandingan lauwsiok."
„Orang perempuan itu anaknya Pootoo Ho Hui Liong, Holam punya penjabat besar pada sepuluh tahun yang berselang," Jie Hiong Wan kasi keterangan. „Dia bernama Kiam Go, julukannya Lie Mo-ong. Kabarnya dia telah menikah dengan Kim-chio Thio Giok Kin, si Tumbak Emas. Thio Giok Kin itu sekarang hoohan paling terkenal di Siamsay, Holam dan kedua daerah sungai Hoay. Aku percaya, kalau Thio Giok Kin dapat kabar yang isterinya terluka ditangan kita, dia pasti tidak akan mau mengerti, apa lagi sekarang isterinya sampai mendekam dalam penjara. Hal ini aku anggap soal yang sulit." Mendengar disebutnya nama Kim-chio Thio Giok Kin, didalam hatinya Bouw Pek terperanjat. Dalam beberapa tahun ini, namanya si Tumbak Emas dalam kalangan Sungai Telaga sangat terkenal, umpama kata tidak ada orang yang tidak ketahui. Kejadian ini membikin dia telah tanam bibit permusuhan, dibelakang hari dia betul2 akan hadapi banyak
urusan. Kendati begitu, dia tidak takut.
„Bukannya siauwtit omong besar, lauwsiok," kata dia
„andaikata Kim-chio Thio Giok Kin ketemu aku dan berani main gila, aku nanti bikin tumbaknya patah, orangnya binasa!" Tapi Jie Hiong Wan, yang darahnya sudah kendor jalannya,
goyang2 kepala.
Kemudian Bouw Pek tanya duduknya permusuhan.
Terhadap anak muda yang gagah ini, Jie Hong Wan tidak mau simpan rahasia, maka dia lalu tuturkan permusuhannya dengan Ho Hui Liong, bekas sobatnya sendiri, karena si sobat telah jadi jahat dan berani ganggu piauwnya. Dia kata dia tidak membunuh dengan sengaja, itu sudah terjadi karena dia sengit. Karena itu dia bilang, dia jadi tutup perusahaannya dan hidup menyendiri karena dia menyesal sekali atas kejadian itu.
„Baru dibulan Chia-gwee yang baru lewat aku dengar anak2nya Ho Hui Liong, mau cari aku buat bikin pembalasan," jago tua ini cerita lebih jauh. „Dua anak lelakinya sudah jadi besar dan anak perempuannya kabarnya menikah dengan Thio Giok Kin. Katanya dalam tempo tiga bulan mereka akan mewujudkan pembalasan nya. Kabar ini belakangan benar telah di buktikan."
Jie Hiong Wan lantas tuturkan bagaimana dia dipegat ditengah jalan waktu tee-coa diharian Cengbeng, bahwa sekarang dia ingat, si muka hitam tadi adalah satu dari antara empat pemegatnya.
„Sutitku Yok Thian Kiat kemudian datang pula kasi kisikan padaku hal anak nya Ho Hui Liong mau cari aku," dia cerita lebih jauh „katanya Thio Giok Kin bersama Ho Cit Houw dan sejumlah jago lain merupakan satu rombongan, yang sudah, berangkat dari Wee-hui menuju ke Kie-lok. Jumlah mereka besar, aku sedikit, biar bagaimana juga aku kuatir kami nanti jadi korban2 mereka, maka dengan terpaksa aku ajak anak- isteriku meninggalkan Kie-lok. Aku mau pergi ke Po-teng akan berdiam untuk sementara waktu di-rumahnya sobatku, tidak nyana mereka bisa susul aku ditengah jalan, hingga terbitkan perkara ini." Sehabis cerita, jago tua itu menghela napas pula.
„Aku sudah tua sekarang, aku tidak berdaya," kemudian dia tambahkan. „Sudah lama aku mundurkan diri, diluaran aku sudah tidak punya banyak sobat lagi. Lebih sukar bagiku aku sekarang mesti berati isteriku yang sudah berusia tinggi dan anakku yang masih belum keluar pintu. Coba aku masih muda dan bersendirian, tidak nanti aku takut terhadap mereka itu."
Bouw Pek bersimpati pada orang tua ini, dia merasa kasihan. Menyedihkan yang jago tua itu, karena usianya sudah lanjut, sekarang jadi begini lemah.
„Baik lausiok jangan terlalu pikirkan hal itu," dia menghibur. Ganjalan dari kelancangannya bikin dia tidak berani bicara sembarangan. „Lie Mo-ong Ho Kiam Go sudah terluka dan tertangkap dan pembesar negeri tentu hukum dia, maka sesudah dua kali gagal, bisa jadi pihak mereka itu menjadi jerih, mereka mestinya insyaf yang lauwsiok tidak boleh dibuat permainan, bisa jadi selanjutnya mereka tidak berani datang mencari lauwsiok lagi. Sekarang urusan sudah beres, siauwtit mau lanjutkan perjalanan ke Pakkhia. Umpama kata dibelakang hari lauwsiok hadapi perkara sulit silahkan kau kirim orang ke Pakkhia akan cari aku, aku nanti lantas datang buat membantu apa yang kau bisa." Orang tua itu manggut.
„Terima kasih, hiantit," jawabnya, ia kembali menghela napas. Dia seperti mau bicara banyak, tetapi urung sendirinya.
Karena tidak bisa bicara banyak. Bouw Pek pun tidak bisa menghibur lebih jauh.
Setelah duduk lagi sebentar, selama mana mereka tidak bicara, Jie Hiong wan berbangkit kembali kekamarnya.
Tidak antara lama, jago tua itu minta disediakan santapan malam. Berbareng dengan itu, nyonya Jie mengeluh ulu- hatinya sakit.
„Barangkali aku tidak bisa dahar," kata nyonya tua itu dengan lemah.
Jie Lauw Tiauw jadi bersusah hati bersusun tindih Dia tahu isterinya terkejut dan berkuatir dan penyakitnya yang lama lantas kumat. Ini berbahaya bagi nyonya itu, yang sudah ada umur.
Siu Lian-pun berduka, dia urut2 dada ibu-nya, yang rebah dengan terus merintih. Dia menghibur, tetapi percuma. Ayahnya duduk disamping meja, dengan masgul bukan main.
Justeru itu, seorang mendadak bertindak masuk, Kapan jago kita angkat kepalanya, dia kenali salah satu opas, yang telah hantarkan mereka kehotel itu. Dia lekas berbangkit menyambut. Ada apa, toako? Silahkan duduk," dia mengundang.
,,Looyacu, jangan berbahasa toako padaku," kata opas itu, sembari tertawa. Sikapnya manis. Dia duduk dengan tidak tunggu sampai diundang dua kali. „Perkara sekarang tidak usah dibuat kuatir," kemudian dia tambahkan. „Koan-thayya memang paling baik batinya terhadap orang2 tua dan miskin Tadi thayya panggil aku, dia perintah aku datang kemari buat sampaikan pada looyacu supaya looyacu jangan kuatir. perkara sudah beres. Barangkali lagi dua-tiga hari, perkaranya dua penjahat itu diputus, lantas looyacu boleh berangkat." „Terima kasih buat kebaikan kau, toako, nanti kita paykui didepan kau," kata Jie Hong Wan. Opas itu tersenyum, matanya diam2 melirik pada Siu Lian.
„Rupanya nona dan thaythay banyak kaget," dia kata.
„Anakku masih kecil, dia tidak kenal takut," orang tua itu bilang, „adalah isteriku sakit ulu-hatinya sekarang kambuh” Setelah kata begitu Hiong Wan menarik napas.
,.Berapa usianya si nona tahun ini ?" kemudian opas itu tanya. „Tujuh-belas."
„Dia tentu belum ditunangkan ?" „Sudah, sedari masih kecil." Opas itu nampaknya putus harapan dan bersangsi dengan berbareng.
„Umpama kata nona belum bertunangan, aku bisa carikan dia pasangan," dia kata pula kemudian. „Dia adalah toa- kongcu koan thayya. Dia sekarang baru berusia dua-puluh tujuh tahun, orangnya cakap, pelajaran-nya tinggi, sudah sepuluh tahun dia menikah, dia belum bisa dapatkan anak. Koan-thayya ingin empo cucu, tentu sekali karena itu cita2nya belum bisa kesampaian. Maka itu dia ingin nikahkan lagi toakongcu cuma sampai begitu jauh dia belum bisa dapatkan nona yang dia penujui . Tapi tadi digeemui dia lihat si nona, dia penuju, maka dia lantas ajak toakongcu berdamai. Nyata toakongcu setuju. Begitulah aku sekarang diutus kemari, guna meminang si nona. Jikalau looyacu suka ikat tali persanakan dengan koan-thayya, bukan saja urusan akan tidak jadi soal lagi, looyacu pun dapat besan tiekoan yang mewah, looyacu jadi cinkee yang agung ! Koan-thaythay juga bilang, kalau looyacu bisa atur pesalin, itu lebih bagus lagi !"
Setelah kata begitu, opas ini ber-senyum2, matanya dibuat main dibikin kecil. Dia awasi jago tua itu, buat tunggu jawaban.
Siu Lian dengar semua omongan itu, dia mendongkol dan gusar. Tapi dia diam saja, sambil tundukkan kepala.
Juga Jie Hiong Wan gusar, tapi sebagai orang tua dia bisa kendalikan diri. „Tolong toako sampaikan pada koan-thayya," dia kata dengan bersenyum terpaksa, „dalam hal ini bukan aku tidak tahu diri, tetapi dengan sebenarnya anakku sedari siang2 sudah ditunangkan, dari itu menyesal sekali harapan koan- thayya aku tidak sanggup penuhi " Mendapat jawaban itu, air muka si opas berobah dengan segera.
Looyacu, jangan kau salah mengerti," dia lalu mendesak.
„Thayya kita ber-sungguh2 hati, kalau nanti si nona sudah menikah, tidak dia akan telantar. Kau tahu sendiri, ikatan jodohnya dilakukan secara terang2an. memang benar sinona menjadi isteri yang kedua, kendati demikian, kedudukannya akan jauh terlebih atas dari pada isteri pertama."
Sampai disitu, Jie Lauw Tiauw tidak mampu cegah amarahnya lagi. Opas itu tidak mengerti salatan dan telah terlalu menghina dia. Maka dia lantas tepok meja.
Siu Lian murka, tetapi dia bisa berlaku sabar.
„Jangan gusar, ayah, bicaralah dengan pelahan," dia kata pada ayahnya itu.
Tetapi piauwsu tua itu tepok2 meja pula.
„Kau dengar sendiri ocehannya itu !" dia kata pada gadisnya. ,,Tiekoan pandang aku sebagai orang macam apa ? Seumur hidup ku aku bergelandangan dikalangan Sungai Telaga, aku tetap putih bersih, aku tidak nyana sekarang, sesudah tua, berulang ulang orang berani hina aku ! Lihatlah anak2nya Ho Hui Liong, mereka paksa aku pindah, hingga aku si tua bangka mesti terombang ambing di tengah perjalanan jauh ! Dan sekarang aku ketemu tiekoan bangpak ini, tiekoan celaka duabelas ! Jangan kata kau memang benar sudah ditunangkan dengan keluarga Beng, andaikata belum, tidak nanti aku Jie Hiong Wan, satu laki-laki, akan nikahkan kau untuk dijadikan isteri kedua! Mustahil kau mesti jadi gundik orang?" Siu Lian jadi sangat bersusah hati, hingga dia menangis. Nyonya Jie juga menangis bahna jengkel, dia kata :
„Dimana saja Kita berada, orang telah hinakan kita, lebih baik kita bertiga mati saja." Opas itu lihat orang gusar, kuatir nanti kena dihajar, maka dengan tidak berkata apa lagi, sambil kasi dengar tertawa menjengeki dia berbangkit dan bertindak pergi.
Jie Lauw Tiauw duduk diam, bahna pepat pikiran, dia pun kucurkan air mata tua.
Lie Bouw Pek dapat dengar suara ramai, dia telah dalang kekamar orang, ia terperanjat apabila melihat orang sedang menangis.
„Ada apakah, lauwsiok ?" dia tanya.
„Kita lagi hadapkan kesulitan baru, hiantit," sahut orang tua itu, yang lalu tuturkan hal kedatangan nya si opas, yang mau lamar gadisnya buat putera tiekoan yang sulung, buat jadi isteri muda. Dia unjuk bagaimana opas itu sudah ancam dia.
„Sayang aku telah tua dan lemah." kata dia akhirnya.
Benar sulit, lauwsiok." kata Bouw Pek yang turut jadi terharu. Dia mendongkol, tetapi dia tidak bisa lampiaskan itu disitu dihadapannya orang tua dan anaknya itu.
Bouw Pek lebih masgul apabila dia lihat Siu Lian duduk menangis sambil baliki belakang. „Biar bagaimana juga, baiklah lauwsiok bersabar," coba menghibur.
„Diwaktu muda aku beradat keras, belum pernah aku terima hinaan dari siapapun juga," mendadak kata orang tua itu sambil keprak meja, 'jikalau tidak, Ho Hui Liong tidak akan binasa ditanganku, sedang dia adalah sobatku selama dua- puluh tahun. Kejadian itu telah menanam sakit hati, hingga aku tutup perusahaanku dan keram diri di dalam rumah, sampai aku takut bertengkar dengan orang, siapa nyana sekarang aku hadapi kesukaran be-runtun2 . . Ah!.Cuma sebentar jago tua ini berdiam, lantas dia tambahkan: „Benar aku sudah tua, tapi golokku aku masih bisa gunai, ilmu silatku belum terlupa semuanya, maka apabila orang desak aku secara keterlaluan, aku nanti korbankan jiwa tuaku!"
„Jangan turut hawa kemurkaan, lauwsiok," Bouw Pek menghibur pula. „Sekarang dalam segala tindakan. lauwsiok harus ingat ada encim dan si nona. Sekarang masih ada aku disini, andaikata lauwsiok perlu gunai tenaga, biarlah kasih aku yang maju terlebih dulu ! Lauwsiok harus bersabar,"
„Bagaimana aku berani bawa-bawa kau hiantit ?" orang tua itu kata sambil menghela napas pula.,Kau sedang hadapi hari kemudianmu. Sekarang saja aku menyesal, lantaran urusan kami, tempomu sudah terganggu beberapa hari."
Kemudian, setelah menghibur lagi, Bouw Pek kembali kekamarnya. Dia berduka berbareng mendongkol buat urusannya keluarga Jie itu, sedang dia tidak berdaya akan meringankan kesukaran keluarga itu. Si jago tua dan gadisnya dia tidak pikirkan, ada si nyonya tua yang lemah, yang bikin orang tidak merdeka.
Malam itu sehabis dahar, Bouw Pek naik kepembaringannya. Syukur buat dia, dia bisa juga tidur. Esoknya dia bangun pagi2, setelah dandan dia keluar dari hotel. Dia berniat menyerap-nyerapi kabar dekat kantor tiekoan, buat dapat tahu bagaimana putusan si tiekoan. Dia bertindak dijalan besar menuju kebarat. Dia masih tidak tahu, keterangan siapa ia perlu tanya. Dijalan sebelah utara ada sebuah warung teh, disitu banyak tamu. kesitu dia masuk, dia ambil meja kosong dan minta jongos sediakan air teh. Dengan pelahan-lahan dia irup tehnya, kupingnya dia pasang akan dengari pembicaraan orang. Mereka, yang berkawan pasang omong dengan asik. Umumnya orang bicara hal ditangkapnya dua penjahat, seorang lelaki dan seorang perempuan, bahwa si penjahat perempuan adalah berani, lainnya tidak.
Bouw Pek tidak tertarik oleh pembicaan itu, karena dia sudah tahu, sedang yang, dia ingin ketahui adalah putusannya tiekoan. Dimeja disampingnya ada orang bicara hal perkara lain, sembari bicara, orang itu samar2 kutuk tiekoan. Maka dari sini dia ketahui bahwa dengan sebenarnya tiekoan itu bukannya tiekoan baik2.
„Kemarin Jie Lauw Tiauw maki tiekoan, kalau dia main gila dengan Lie Mo-ong, jago tua itu bisa dapat susah," pikir Bouw Pek. Karena ini, dia jadi tambah masgul. Setelah duduk pula sekian lama dengan tak peroleh hasil, Bouw Pek bayar uang teh dan berlalu dari warung itu.Dia kembali ikuti jalan, sekarang menuju ketimur, kemudian kembali kehotei Hok San. Baru saja dia bertindak masuk, kuasa hotel sudah samperi dia.
„Kau pulang, thayya, bagus!" kata kuasa hotel itu. „Pergi kau masuk kekamarnya Jie Loo-sian-seng, dia baru saya ditangkap dan dibawa pergi oleh orang-orang tiekoan geemui." Bouw Pek terkejut bukan main mendengar keterangan itu.
„Aku men-duga2, sekarang ternyata dugaanku terbukti," pikir anak muda ini. „Nyata sekali Tong Tiekoan pembesar yang jahat dan kejam !. "
Dia segera masuk kekamarnya Jie Honq Wan, baru sampai didepan pintu dia sudah dengar tangisannya nyonya Jie dan anaknya perempuan. Dia lantas saja turut terharu. Selagi mau bertindak masuk, dia sengaja kasih dengar batuk2 bikinan.
Siu Lian duduk menangis dipembaringan, ibunya rebah dengan tidak bisa bangun, sembari menangis nyonya tua itu berbareng merintih karena napasnya saban2 sesak, dia mengeluh karena sakit dadanya.
Sebenarnya Bouw Pek tidak ingin bicara pula dengan nona Jie guna singkirkan kecurigaan, akan tetapi sekarang dia tidak bisa kukuh pada pikiran itu.
„Nona, bagaimana lauwsiok dibawa pergi ?" begitu dia paksakan menanya, sambil kerutkan alis. Mukanya Siu Lian penuh airmata, rambutnya kusut, waktu itu dia mirip bunga toh yang telah ketimpah hujan, tetapi sembari susut air matanya dia jawab pertanyaan itu.
„Lie Toako, tolong kau lekas pergi ke-geemui akan lihat ayah," kata dia. „Barusan dua opas, mereka lantas bawa pergi ayah. Ini ekornya kejadian kemarin, sebab ayah telah damprat tiekoan." Bouw Pek banting kaki bahna mendongkol.
„Nona jangan kuatir, aku akan lantas pergi ke gemui," dia menyahut dan lantas berlalu dari kamar itu. „Tie-koan jadi ayah ibu rakjat, dia telah makan gaji negeri, dia mesti berlaku jujur dan adil," pikir anak muda ini, „tapi Tong Tiekoan, sebab lamarannya ditolak, sudah tangkap orang secara sembarangan, jikalau pembesar secara dia tidak disingkirkan sungguh tidak ada keadilan'
Dengan masih mendongkol Bouw Pek sampai didepan kantor tiekoan. Disini dia lihat beberapa opas, dengan roman yang garang tengik senantiasa usir orang2 yang datang berdiri didekat kantor. Tapi Bouw Pek samperi salah seorang dari mereka, sambil unjuk hormatnya, dia tanya: „Toako, barusan ada seorang tua she Jie, yang dibawa dari Hok San Loo-tiam, apa aku boleh ketemui dia?"
Beberapa opas itu kenali anak muda kita, yang kemarin turut menghadap dikantor, karena lihat pakaian orang rapi, mereka tidak mau berlaku sembarangan. Mereka pun mengharap bisa garuk sakunya pemuda ini. Orang yang ditanya tidak lantas menjawab, dia mengawasi dulu.
„Aku tidak tahu,"akhirnya dia jawab dengan dingin „Pergi kau tanya disana."
Dia menunjuk pada kamar didalam kantor,
Bouw Pek maju akan masuk kekantor, kekamar panpong disebelah selatan. Kamar itu terpecah dua, bagian luar dan dalam. Didalam dia lihat belasan orang sedang kerja dan pasang omong. Dia tidak mau berlaku lancang, dia berdiri menunggu.
„Ada apa, eh?" tanya seorang yang baru keluar sikapnya tak perdulian.
Bouw Pek unjuk hormat, dia berkata: „Barusan sobatku yang bernama Jie Hiong Wan telah dibawa kemari, aku pikir sesudahnya pemeriksaan, aku hendak ketemui dia." dia menyahut. Dia rogoh kantong nya dan keluarkan sepotong perak, yang mana dia sodorkan pada hamba kantor itu.
,Tolong kau terima ini, buat kebaikan mu.,
Orang itu ulur tangannya akan sambuti uang itu, air mukanya dengan lantas berobah manis.
„Kau she apa " dia tanya. „Aku she Lie. Aku dari rombongannya Jie Lauwsiok."
„Aku tahu. Kau kemarin turut menghadap bukan?"
„Benar."
Orang itu berpikir sebentar, lantas berkata:
„Urusanmu sudah beres, kalau kau mau pergi, kau bisa pergi, sudah tidak ada halangannya." dia kemudian bilang.
„Sobatmu Jie Hiong Wan, kena dirembet oleh sipen jahat perempuan, katanya dia dulu pun penjahat besar, maka tiekoan thayya tangkap dia buat diperiksa. Tapi aku percaya apabila tidak ada buktinya, tidak akan dapat susah, paling banyak dia akan ditahan beberapa hari selama pengakuannya hendak didengar, nanti juga dia dimerdekakan pula."
„Jikalau dia di tahan disini, apa kami boleh antarkan dia nasi?" Bouw Pek tanya.
„Tentu saja, aku bisa bicarakan hal kau ini dengan yang urus. Cuma kau perlu keluarkan sedikit uang." „Perkara uang kau jangan kuatir."
Sembari kata begitu, Bouw Pek keluarkan lagi sepotong perak yang lantas diserahkan.
Orang kantor itu tertawa.
„Kau jangan kuatir," dia kata pula „Kau tunggu disini, sebentar sesudahnya pemeriksaan, aku nanti ketemukan kau dengan orang tua itu."
Bouw Pek membilang terima kasih, dia lantas duduk dibangku dipinggiran.
Orang itu lantas berlalu, masuk kedalam.
Kemudian ada beberapa orang datang beruntun buat satu dan lain urusan. Bouw Pek lihat, semua mereka mesti mengodol saku, bila tidak, mereka tidak dapat pelayanan, malah diperlakukan tawar dan bengis.
„Sungguh celaka." pikir Bouw Pek yang jadi dapat pengalaman. „Inilah yang dibilang, kecil bisa menjadi besar dan sebaliknya. Di tiekoan geemui orang begini rakus, jangan2 di Heng-pou jauh lebih hebat. Kalau nanti aku sampai di Pakkhia dan dipekerjakan di Heng-pou, bagaimana aku harus ambil sikap ? Pekerjaan ini sungguh bertentangan dengan cita2ku."
Pegawai yang tadi kelihatan keluar, tidak lama balik bersama seorang opas, yang samperi Bouw Pek seraya berkata „Bukankah kau mau ketemui si orang she Jie? Nah, pergilah dengan tuan ini."
Bouw Pek mengucap terima kasih, lantas dia ikut opas itu yang bawa dia kepenjara.
Ternyata Jie Piauwsu sudah diperiksa, setelah mana dia ditahan dalam penjara.
Ketika dari antara jeruji besi Bouw Pek lihat jago tua itu, yang terkurung dengan terbelenggu, hatinya perih, sampai air mata meleleh tanpa dia bisa cegah lagi.
Jie Hiong Wan sebaliknya, kelihatan tidak berduka, romannya tenang sekali.
„Lie Hiantit, lihat, beginilah peruntunganku," kata dia. „Aku telah hidup enam-puluh tahun lamanya, seumurku aku belum pernah langgar undang2 negeri, tetapi sekarang, dengan tidak ada suatu sebab, orang telah jebluskan aku dalam penjara!.
Kau tengoki aku, hiantit, inilah kebetulan. Perkaraku tidak tentang. Tiekoan sudah kisikkan Lie Mo ong, supaya dia seret aku, dengan katakan bahwa aku dulu pernah jadi penjahat, tetapi Lie Mo-ong dan si orang she Can adalah orang2 Sungai Telaga sejati, mereka masih punya rasa kehormatan, mereka tahu aku orang macam apa, mereka tidak sudi turuti kehendak tiekoan buat rembet aku. Mereka kata, bahwa mereka tidak bisa menuduh aku secara memfitnah. Mereka nyatakan, kalau sekarang mereka tidak mampu bunuh aku, dibelakang hari mesti ada orang2 yang akan membalas padaku."
Hati Bouw Pek lega apabila dia dengar keterangan ini.
„Kalau begitu, kenapa tiekoan masih tahan kau, lauwsiok?" dia tanya.
„Dia mau tahan aku, apa aku bisa bikin?" Jie Hiong Wan kata sambil tertawa. Tapi kemudian dia menghela napas juga.
Dia tambahkan: „Sekarang ini aku tidak berdaya, benar aku tidak bisa serahkan anak ku pada mereka, tapi aku tidak bisa bayar uang. Baiknya diwaktu mau berangkat aku bekal empat- ratus tail lebih. Tolong kau pulang mintakan uang pada Siu Lian, uang itu kau boleh gunai sesukamu digeemui, supaya aku bisa berlalu dari sini. Aku pun minta supaya setiap hari aku dikirimkan sedikit nasi. Asal aku tidak binasa didalam penjara, aku sudah puas, jikalau tidak."
Orang tua itu kertek giginya, matanya seperti mendelik bahna hebatnya dia menahan nafsu-amarahnya.
„Sudah, lauwsiok, kau jangan bergusar lagi," Bouw Pek coba menghibur „Harap saja yang dalam dua-tiga hari ini kau nanti bisa keluar dari sini"
Air matanya orang tua itu keluar dengan mendadak.
„Kalau aku keluar dari penjara, rasa-nya aku tidak akan hidup lama lagi." dia kata. „Siu Lian serta ibunya, tolong kau perhatikan!."
Bouw Pek terharu, sampai air matanya turut turun. Dia kasihan pada orang tua ini, satu jago yang nasibnya malang, hingga sesudah tua dia masih mesti keluarkan air mata.
Tadinya anak muda kita niat menghibur lebih jauh, tetapi mandor bui hampirkan mereka.
„Cukup, sudah cukup!" berkata dia. „Kau sudah bicara, lama. Kau sudah tua, kau perlu mengaso. Dan kau, tuan, kau perlu lekas keluar, akan berdaya, bicara saja disini tidak ada faedahnya."
Ucapan itu adalah pengusiran halus, tetapi itu benar, maka meski dia mendongkol, Bouw Pek tidak bisa kata apa2. Dia hiburkan si orang tua, lantas dia permisi berlalu. Dia pulang langsung kehotel, begitu sampai dia ketemui Nyonya Jie dan Siu Lian, tuturkan hal pertemuannya dengan si jago tua didalam penjara. la sampaikan semua pesanan orang tua itu.
Nyonya. Jie dan anaknya lagi2 menangis apabila mereka dengar keterangan anak muda kita. Nyonya tua itu lebih bersedih, karena dia justeru sedang sakit, sampai dia tidak mampu bangkit dari pembaringan.
Bouw Pek lantas minta jongos pergi undang tabib buat periksa sakitnya si nyonya, setelah dibikinkan resepnya dia minta jongos belikan obatnya, kemudian dengan pinjam anglo dari hotel Siu Lian masak obat itu.
Kemudian Bouw Pek minta jongos sediakan nasi serta dua rupa sayuran, dia minta makanan itu dihantar buat Jie Loo piauwsu.
Setelah atur semua itu, Bouw Pek minta perkenan kembali kekamarnya. Disini dia rebahkan diri mengaso, tetapi otaknya tidak bisa berhenti bekerja. Dia menyesal yang uangnya tinggal sedikit, hingga uang itu tidak cukup untuk dipakai mengurus perkaranya Jie Hiong Wan buat minta pada nyonya Jie, seperti pesanan si jago tua, dia tidak berani buka mulut.
„Tidak ada jalan lain, aku mesti jual kudaku, dengan itu aku bisa dapat empat puluh tail lebih," pikir dia akhirnya.
„Sebentar aku pergi pada saudagar kuda, buat tanya berapa dia berani beli kudaku."
Belum lama Bouw Pek rebahan, dijendela dia dengar suara batuk2 pelahan, dia lekas2 berbangkit, lantas dia lihat Siu Lian bertindak masuk kekamarnya.
Selama dua hari, Bouw Pek selalu ketemu si nona, tetapi sekarang dia dapat kenyataan nona itu perok, tanda bahwa dia itu berduka sekali, kurang tidur dan tidak ada nafsu dahar. Nona itu pakai baju dan celana hijau, rambutnya kusut, muka nya pun tidak dipulas pupur dan yancie.
Kendati demikian, kecantikannya si nona tidak menjadi kurang, malah sekarang dia nampaknya lebih ayu, romannya menarik hati, mendatangkan rasa kasihan. Pada ke dua belah pipinya si nona, samar2 masih ada tanda bekas air mata. Tangannya nampaknya berat. Itulah sebab dia bawa bungkusan, yang dia terus letakkan dialas meja.
„Ini empat bungkusan uang, jumlahnya kira2 dua-ratus tail," berkata nona ini. „Ayah didalam penjara, kelihatannya dia benar perlu uang. Aku bawa uang ini pada kau, toako, karena aku percaya kau niscaya tidak punya kelebih uang cukup banyak untuk kepentingan kami. Terserah pada toako buat memakai uang ini." „Demikian pesannya lauwsiok," sahut Bouw Pek. „Dengan sebenarnya, aku tidak bawa banyak uang tadi aku niat minta pada kau nona, tetapi aku tidak bisa buka mulutku."
Nona Jie menghela napas. „Kau terlalu seejie, toako," kata dia. „Sekarang kau sedang bekerja buat kami, mustahil kau juga mesti gunai uangmu sendiri, sedang kau tidak leluasa dalam keuangan? Baiklah toako ketahui, kami sama sekali bawa uang empat ratus tail perak." Bouw Pek hendak buka mulutnya, tetapi si nona telah mendahului:
„Jikalau dijalan kami tidak ketemu kau, toako, entah bagaimana jadinya dengan kami," kata dia „Toako mau pergi ke Pakkhia, sekarang tempomu terganggu, kami menyesal sekali." Setelah kata begitu, air matanya si nona jatuh bertetesan, sebutir dengan sebutir seperti mutiara.
„Jangan bilang, begitu, nona," berkata Bouw Pek, yang pun menghela napas ber-ulang2, kemudian dia tunduk akan tidak awaskan nona itu, yang telah bikin dia rindu sendirinya. „Aku sebenarnya niat tengoki ayah, sekalian bawakan dia nasi, bagaimana kau pikir, toako, apa aku boleh pergi kesana ?" kemudian Siu Lian tanya.
Nona ini tidak likat2 lagi, tidak malu2 seperti tadinya, malah barangkali telah hilang penasarannya yang Bouw Pek waktu pertama kali ketemu sudah bikin ikat kepalanya tersontek dan terampas. Bouw Pek berpikir keras, dia kelihatannya sangsi betul.
„Aku rasa lebih baik nona tidak usah pergi menengoki," kemudian dia menyawab juga. „Dikantor dan penjara tidak ada orang baik, dengan pergi kesana, nona tidak akan mendapat kebaikan suatu apa."
Siu Lian bisa mengerti, dia menduga Bouw Pek tidak setujui dia pergi kekantor, karena kuatir ketemu pula anak tiekoan dan nanti terbit soal baru.
„Baiklah, toako, terserah pada kau." kata dia sambil berdehem, „Apa yang aku kuatirkan adalah kalau2 ayahku dapat sakit didalam penjara. Dia sudah berusia tinggi dan hawa udara sangat panas." Dia tutupi mukanya dan menangis. Bouw Pek pun gunai tangan bajunya akan menepas air matanya.
„Jangan bersusah hati nona. Bersusah hati pun tidak ada faedahnya. Lebih baik kau rawat baik2 ibumu, ayahmu serahkan padaku. Aku harap ayahmu bisa lekas keluar, umpama hari ini. Siu Lian manggut. „Baiklah," kata dia, yang undurkan diri.
Bouw Pek awasi belakang orang hatinya perih sekali.
„Dasar aku tidak punya rejeki," kata dia dalam hatinya. „Siu Lian bukannya tidak
perhatikan aku coba tidak dari siang2 dia sudah ditunangkan, Jie Piauwsu tentu suka serahkan dia padaku. Sekarang aku tidak boleh harapkan dia lagi. Kalau nanti Jie Piauwsu sudah merdeka, umpama kata pertunangan anaknya dengan keluarga Beng putus, aku juga masih tidak berani nikahi Siu Lian, sebab nanti orang pasti kata sekarang aku bergiat menolong si orang tua karena aku harapi anaknya orang niscaya akan tuding aku seperti babi dan anjing.”
Anak muda ini bisa tetapkan hati. Dia sudah pikir, bila nanti Jie Piauwsu sudah merdeka, dia mau lekas menuju ke Pakkhia atau merantau ketempat lain, supaya bisa bikin sembuh luka pada hatinya itu"
Tidak lama jongos datang dengan barang makanan, Bouw Pek lantas duduk bersantap.
,.,Apa makanan buat dikirim kepenjara sudah sedia?" dia tanya jongos, sehabis dahar.
„Sudah, tuan."
„Baiklah, tolong suruh satu bocah membawanya, supaya dia ikut aku."
Bouw Pek rapikan pakaiannya, dia bekal sebungkus uang, yang lainnya dia simpan dengan rapi, kemudian dia berlalu dari hotel.
Sibocah, yang tenteng nampan, ikut dia. Ketika dia sampai, beda dari mula2, dengan mudah dia bisa menemui Jie Hiong Wan. Dia kasikan nasi dan minta orang tua itu makan. Dan setelah orang tua itu sudah dahar, si kacung diperintah pulang lebih dulu dengan bawa nampan.
Bouw Pek serahkan dua tail perak pada penjaga bui, dia minta supaya orang tua itu tidak diganggu, sebaliknya supaya se-bisa2nya supaya segala keperluannya dilayani. Kemudian dia pergi kepanpong, akan cari pegawai yang tadi membuka jalan. Pegawai itu sudah pulang, tetapi dia ada pesan bila ada orang cari dia, supaya dia di susul kerumahnya. Lantaran ini Bouw Pek lantas pergi kerumahnya itu, satu kacung antarkan dia. Tidak lama Bouw Pek sudah sampai dirumahnya pegawai kantor tiekoan itu, yang pernahnya tidak jauh dari kantor. Tuan rumah menyambut dengan manis, karena dia bisa duga bahwa tamunya datang dengan bawa uang.
Bouw Pek tidak mau buang tempo, dengan ringkas dia nyatakan dia suka keluarkan uang asal Jie Hong Wan dapatkan ke merdekaannya. Dia kata dia berani keluarlan sampai kira2 dua ratus tail perak.
“jangan kuatir, aku nanti atur, kata pegawai itu, aku harap dalam tempo tiga hari si orang tua sudah dapat pulang kemerdekaannya”. Bouw Pek bilang terima kasih, ia serahkan uang sepuluh tail, lantas ia minta diri. Ia pulang terus ketemui Siu Lian, akan kasih tahu apa yang telah dikerjakannya dia bilang bahwa loo piauwsu baik2 saja. Hati Siu Lian menjadi sedikit lega setelah dengar keterangan si anak muda.
Perkaranya Jie Hong Wan sebenarnya sudah beres, karena menolak lamaran tiekoan dan mengucapkan kata2 keras, tiekoan yang terima laporan dari wakilnya jadi tidak senang dan perintahkan si orang tua buat diajar adat. Tapi sekarang orang bersedia mengeluarkan uang, dia bersedia tidak menarik panjang. Dia terima seratus lima puluh tail dari wakilnya, sedang wakil itu minta lima puluh dari Bouw Pek, yang tiga puluh si wakil sendiri, orang2 lain Cuma dibagi sejumlah dua puluh tail.
Berselang tiga hari, Jie Hong Wan benar dimerdekakan. Ia tidak dapat gangguan didalam penjara, setiap hari dia diantarkan makanan dengan tertentu, tapi selama itu si jago tua ini merasakan kesukaran tiga tahun. Sebabnya dialah kamar penjara buruk dan menyiarkan bau tidak sedap, sedangkan dia mendongkol dan masgul dan tidak dapat ketika untuk melampiaskan dua perasaan yang menindih hebat pada bathinnya itu Tapi ketika dia pulang ke hotel, dia unjuk semangat, hingga dia kelihatan segar dan sehat. Ketika itu kira2 jam dua lewat tengah hari.
„Lekas siap, kita berangkat sekarang juga !" kata orang tua ini begitu lekas dia sampai dihotel dan ketemu isteri dan anak nya. Perintah siap dia berikan pada anak dara nya.
Bouw Pek ikut masuk kedalam kamar, si nyonya tua masih belum bisa bangun.
„Apa tidak baik kita menunda satu hari, lauwsiok ?" dia tanya, „Perkara sudah beres, aku kira buntutnya tidak ada lagi. Kenapa mesti ter-buru2 ? Encim sedang sakit dan lauwsiok juga perlu mengaso." Orang tua itu goyang kepala.
„Kau tidak ketahui, hiantit," berkata dia „Ke-satu aku tidak ingin berdiam lebih lama lagi disini, meski hanya satu hari saya, aku bisa jadi gila ! kedua, dia melanjutkan seperti berbisik, selagi ditahan aku telah dapat ketahui satu hal penting. Lie Mo-ong dan si orang she Can, namanya saja mereka meringkuk di penjara sebagai penjahat besar, sebenarnya setiap waktu mereka bisa dapat kunjungan dari luar, dari luar ada yang bawakan mereka obat luka”
Bouw Pek terkejut mendengar keterangan ini. “sungguh aneh” dia berseru, “apa disini mereka punya kenalan?’ Jie Hiong Wan nyatakan, “tapi hiantit harus ketahui, mereka dari tempat ribuan lie jauhnya dari Hoolam sampai Titlee, buat cari aku, mereka tentu datang bukan Cuma bertiga, mereka pasti punya kawan2. mereka mesti punya uang, dengan uang mereka bisa lakukan segala apa!. Aku percaya tidak lama lagi Lie Mo-ong dan si orang she Can bisa keluar dari penjara, jikalau aku tidak lekas berangkat, niscaya aku akan hadapi kesulitan lagi !. bagaimana andai kata mereka cari aku pula ?” Bouw Pek anggap kekuatirannya jago tua itu beralasan, dia tidak mau kata apa2 lagi, dia lantas ambil sisanya uang dan taruh itu diatas meja.
„Baiklah kau simpan itu, untuk kau pakai sendiri, hiantit," Jie Hiong Wan bilang. „Buat aku, kau telah sialkan tempo mu beberapa hari, barangkali sedikit sisa dari uangmu kau sudah pakai habis. Sisa uang itu kau tidak usah pulangkan, aku sendiri masih punya dua-ratus tail lebih."
Bouw Pek goyang? kepala, „Kalau nanti aku perlu uang, aku akan cari kau, lauwsiok," dia bilang. Jie Hiong Wan unjuk air muka seji, dia menghela napas. Dia mengerti hatinya si anak muda, dia tidak mau mendesak.
„Hiantit," katanya pula, ,,kalau sebentar kita berpisah, aku tidak tahu kita akan bisa bertemu lagi atau tidak."
„Mengapa kau mengucap begini, lauwsiok ?" tanya Bouw Pek dengan alis mengkerut. „Andai kata kau kuatir buat perjalananmu, baiklah aku jangan pergi dulu ke Pakkhia, aku hantar kau sampai di Po-teng. Aku lihat jalanan tidak seberapa jauh ."
„Tidak usah, hiantit, terima kasih," si jago tua mencegah, sambil geleng kepala. „Sekarang ini aku tidak pikir buat menuju ke Po-teng." Bouw Pek tidak mengerti.
„Kemana lauwsiok hendak menuju?" dia tegasi. Ditanya begitu, orang tua itu angkat dada nya.
,.Aku betul sudah tua, hari ajalku sudah tidak ketentuan siang atau malam, tetapi asal jiwaku masih ada, aku bisa lindungkan kehormatanku !" dia kata dengan gagah. „Ho Kiam Go, Ho Cit Houw, mereka belum tentu bisa berbuat apa atas diriku, apa yang aku buat menyesal ialah urusanku ini sudah menyiakan waktu muda kau orang yang besar pengharapannya. Hal ini bikin hatiku tidak tenteram. "
Lie Bouw Pek tidak mau kata apa2 lagi, dia pun bisa mengerti perasaannya orang tua itu. Siu Lian sudah lantas benahkan pauwhok mereka, sedang tidak lama kemudian jongos datang memberi tahu bahwa kereta sudah siap. Jie Hiong Wan sudah lantas bikin perhitungan dengan kuasa hotel, ia bayar sekalian ongkos kamar dan makan dari si-anak muda, kemudian mereka bertindak keluar, Siu Lian pimpin ibunya yang menurut saja apa suaminya bikin. Berdua mereka lantas naik keatas kereta. Jie Lauw Tiauw tuntun kudanya.
„Hiantit, kau boleh singgah lagi satu hari disini," kata dia pada Bouw Pek. „Kami mau berangkat sekarang, harap lain kali kita bertemu pula ! Aku ingin tengok lau nanti dikotaraja !" Bouw Pek kasih hormat pada jago tua itu.
„Moga2 lauwsiok sekalian selamat disepanjang jalan !" dia kata.
Jie Siu Lian singkap tenda dan tongolkan kepalanya, dia lesu tetapi romannya sangat bersukur.
„Lie Toako, sampai ketemu pula." dia kata pada anak muda kita.
„Sampai ketemu pula, nona," sahut Bouw Pek dengan hati perih. Sungguh manis dari sinona, siapa dia sebaliknya tidak boleh harap lagi. Jie Hiong Wan sudah siap dengan kudanya, tetapi ketika dia mau naik tubuh-nya sempojongan, ternyata karena mendekam dipenyara kakinya telah jadi lemah.
„Hati2 ayah, pe-lahan2 !" Siu Lian berseru dari keretanya. Dia terkejut ketika melihat ayahnya. Tapi jago Tua itu tidak sampai jatuh terguling, Lie Bauw Pek disampingnya sudah lompat mencegah tubuhnya terpelanting. Kendati demikian, duduk diatas kudanya, napas orang tua ini sengal2, mukanya pucat, kumisnya nampak seperti bergemetar. Bouw Pek kerutkan alis, dia kuatir sekali buat orang tua itu, tubuh siapa menjadi lemah dengan cepat.
„Aku kuatir, belum sampai keluar kota, dia sudah hadapi halangan." pemuda ini pikir.
Akan tetapi hatinya jago tua itu kuat dia tetap kukuh.
„Mari kita berangkat," dia kata pada tukang kereta.
Begitulah, dengan kereta didepan dan kuda tunggang dibelakang , rombongan jago tua ini berangkat menuju kepintu kota timur, akan keluar dari situ. Lie Bouw Pek berdiri bingung mengawasi berangkatnya rombongan itu, pikiran nya ada pada sinona, si jago tua, sinona adalah bayangannya, yang dia tidak bisa lupai, dan si jago tua adalah kesehatan dia. Kemudian dia kembali kekamarnya, seperti semangatnya hilang. Mendadak hatinya anak muda ini jadi tidak tenteram.