Jilid 23
PAU KUN LUN adalah yang berbangkit paling dahulu, dan segera ia lari keluar.
Diluar langit ada gelap, dan didalam pekarangan tidak ada dipasang penerangan.
Ketika Pau Cin Hui sampai diluar justeru ia tampak dari jurusan kamarnya ada berlari keluar satu orang dengan tubuh limbung, dan baru dia itu jalan dua tiga tindak, dia sudah rubuh sambil menjerit-jerit kesakitan.
Nyata orang itu adalah Liong Cie Khie.
Bukan main gusarnya Pau Kun Lun, lantas ia menduga pada satu orang, maka itu, sambil kepal keras tangannya ia berseru : “Kang Siau Hoo, mari maju! Jikalau kau ingin adu jiwa, mari adu jiwa dengan aku! Kenapa kau ganggu muridku?“
Hampir berbareng dengan itu, dari dalam kamar ada mencelat keluar satu bayanan hitam, yang terus loncat naik ke atas genteng.
Dalam murkanya, Pau Kun Lun memburu, ia loncat naik juga ke atas genteng, tubuhnya yang sangat berat membuat ia sedikit limbung, maka segera ia perbaiki diri. Bayangan tadi sekejap saja, sudah lenyap.
Pau Kun Lun berdiri dengan tercengang. Ia lihat nyata bayangan itu bertubuh kecil dan kurus, tidak seperti yang dilukiskan Kie Kong Kiat bahwa Siau Hoo ada berbadan tinggi, sedang di Su-coan Utara ini orang mengatakan Kang Siau Hoo bertubuh gemuk hitam dan kepalanya besar.
Ketika itu dibawah, suara orang ada berisik sekali dan api-pun dipasang terang-terang. Lau Kiat sudah atur orang- orangnya, untuk cari “penjahat” didalam dan diluar kalangan rumahnya itu.
Tidak ayal lagi Pau Kun Lun loncat turun dari genteng akan menghampiri Liong Cie Khie, yang rebah pingsan dengan tangan kirinya sudah putus, tubuhnya bermandikan darah, keadaannya ada sangat mengerikan dan menyedihkan, maka juga sang guru lantas menggedruk- gedruk kaki seraya menghela napas.
“Muridku ini telah ikuti aku untuk menderita ... “ kata ia. Kemudian ia tambahkan : “Dia masih pingsan, biar dia rebah, sehingga tersadar sendirinya!“
Jago tua ini lari ke kamarnya buat ambil goloknya, dengan bawa senjatanya itu ia bersama-sama pula keluar pekarangan dimana keadaan-pun sangat kalut dan berisik, karena beberapa puluh chungteng, orang-orangnya Lau Kiat, dengan golok dan toya di tangan, dengan bawa-bawa obor, sedang mencari sana-sini. Lau Kiat dengan bersenjatakan tumbak panjang masih asyik kepalai orang- orangnya.
“Periksa semua! Periksa sekali-pun tumpukan rumput! Jangan beri penjahat lolos!“ Demikian suaranya Tiang-pat- chio, Si Tumbak Panjang. Orang buat banyak berisik sampai sekian lama, namun hasilnya tidak ada.
Tidak antara lama dari kejauhan kelihatan dua buah lentera dibawa datang sambil berlari. Cin Hui dan Lau Kiat mersa heran, hati mereka menduga-duga. Kemudian ternyata yang datang adalah enam polisi dengan gaetan dan thie-cio ditangan masing-masing, napas mereka memburu.
“Apakah Kang Siau Hoo telah dilukai dan kena ditangkap?“ tanya orang polisi yang kepalai rombongan itu, ialah seorang she Cui. Dia kenal Lau Kiat dan sudah lantas tanya tuan rumah itu. Kemudian dia tunjuk dua orang polisi di belakangnya seraya berkata pula: “Ini ada dua tuan yang diutus dari kantor tiehu tayjin, mereka datang kemari sejak beberapa hari yang lalu mereka diutus teristimewa untuk menangkap Kang Siau Hoo, penjahat yang sudah membegal di Loo Su Nia terhadap keluarga tiekoan. Baru saja satu bocah berlari-lari kekantorku mengatakan bahwa disini orang telah tawan Kang Siau Hoo, bahwa Kang Siau Hoo telah dilukai, maka itu kita sudah …”
Lau Kiat heran dan bingung, ia anggap Cui Pou-tau sedang ngaco disebabkan sudah tenggak terlalu banyak arak. Sebaiknya Pau Kun Lun sudah jadi marah besar.
“Yang terluka adalah muridku,” berkata ia dengan keras. “Dia sudah hampir mati! Mana ada Kang Siau Hoo? Marilah masuk kedalam dan lihat!“
Selagi orang masih terus mencari dan Lau Kiat masih berdiri ternganga, Cin Hui dengan mendongkol ajak enam orang polisi masuk ke pekarangan dalam, terus ke samping tubuhnya Cie Khie, akan lihat muridnya itu.
Cie Khie sudah sadar, ia sekarang rebah dengan celentang, diantara darah yang mengumpyang mulutnya tak berhentinya perdengarkan nintihan, suaranya sangat lemah. Orang-orang polisi itu lantas menyuluhi dengan lenteranya.
Kedua orang polisi dari kantor tiehu lihat orang yang rebah itu benar-benar berkepala gede, mukanya hitam dan berewokan, tubuhnya-pun tinggi besar dan gemuk, jadi mirip benar dengan lukisan roman dan potongan tubuh dari penjahat yang sedang dicarinya.
“Dia she apa?“ tanya seorang polisi. “Dia she Liong,” Cin Hui jawab.
“Benarlah dia,” kata orang polisi itu. “Penjahat yang
membegal di Loo Su Nio itu, mula-mula sebut dirinya Kang Siau Hoo, kemudian kepada tukang kereta dia sebutkan dirinya Liong Jie-thayya … “
Pau Kun Lun ada demikian gusar hingga tahu-tahu kakinya sudah melayang pada tubuhnya opas itu hingga rubuh bergulingan, lenteranya terlepas dan jatuh ketanah dan menyala-nyala!
Masih saja jago tua ini gusar, ia angkat goloknya hendak bunuh polisi itu.
Syukur Lau Kiat dan beberapa polisi lainnya keburu mencegah antaranya ada yang pegangi lengannya.
“Kalau berani tuduh muridku sebagai pembegal di Lou Su Nia?’ ia berseru. “Pergi kau cari keterangan, apa ada murid-muridku yang pernah berbuat jahat dan busuk? Kau tidak mampu bekuk Kang Siau Hoo, kau hendak cekuk muridku untuk dijadikan gantinya? Kau menghina sangat kepadaku!”
Lau Kiat beramai tarik jago tua itu kedalam, goloknya telah dirampas, mereka terus membujuki tanpa mereka perdulikan didalam pekarangan orang masih serabutan membuat banyak berisik, begitu-pun diatas genteng orang masih mencari si orang jahat. Orang suguhkan arak pada jago tua ini, yang mukanya masih merah padam, kumis jenggotnya bergerak-gerak, napasnya turun-naik.
“Jangan gusar, lauko,” Lau Kiat berkata. “Aku lihat walau-pun lukanya muridmu hebat tetapi tidak membahayakan jiwanya.”
“Mati-pun tidak berarti apa-apa,” kata Cin Hui, “tetapi penasaranku sukar dibuat habis! Jikalau benar ada muridku yang permainkan orang perempuan, pasti aku buat dia mati! Cara bagamana ada muridku yang berani bunuh hamba negeri dan membegal keluarga pembesar? Liong Cie Khie adalah muridku yang paling alim dan jujur, sudah dua puluh tahun lebih dia ikuti aku, satu kali-pun dia belum pernah lakukan pelanggaran. Dulu dia suka juga datang ke Su-coan Utara ini mengantar piau. Cobalah kau cari keterangan, kecuali perselisihannya dengan Long Tiong hiap, apakah dia lakukan apa-apa yang bisa mendatangkan malu bagi Kun Lun Pay?”
“Jikalau begitu, pasti orang sudah keliru mengenalinya!“ kata Cui Pou-tau. “Inilah tentu disebabkan karena potongan tubuhnya dan romannya mirip dengan lukisan disurat perintah. Harap loo-piausu jangan gusar.”
Sebelum Pau Kun Lun mengatakan apa-apa, Thia Pat, yang sudah isap pula huncweenya, tanya Cui Pou-tau: “Tadi, orang macam bagaimana yang sudah membawa warta kekantor?”
“Satu anak umur sepuluh tahun lebih,” sahut si orang she Cui, “Dia telah berkaok-kaok dimuka kantor, begitu kita muncul, dia sudah lantas pergi pula. Kita sangka dia ada orang suruhan dari sini.”
Lau Kiat semakin bingung akan hal ini. “Kejadian disini baru saja terjadi.” kata ia, “Kita juga tidak kirim orang untuk melaporkan kekantor negeri. Dari mana datangnya anak itu?“
Pau Cin Hui dengar itu, ia heran berbareng gusar, dalam hatinya ia kata : “Sekali-pun satu bocah, dia masih berani permainkan aku guru dan murid! Oh, kita kaum Kun Lun Pay telah terima terlalu banyak penghinaan! Apakah ini disebabkan aku telah robah peri lakuku? Apakah memang orang kang-ouw tak boleh jadi baik? Kalau aku tetap galak seperti dulu semasa masih muda, pasti kita tidak ada orang yang berani main gila!”
Selama itu keadaan sudah mulai reda, tapi justeru itu ada nerobos masuk satu orang yang tindakannya cepat sekali. Dia adanya Thio Hek Hou, yang tadi ada yang undang ke kota untuk berjamu dan baru sekarang dia pulang.
“Siapa yang lukai Liong Cie Khie!” dia tanya begitu lekas dia sudah masuk kedalam ruangan. “Apakah penyerangnya Kang Siau Hoo? Apakah dia tak dapat ditangkap?”
“Siapa juga tak dapat lihat padanya!” Lau Kat jawab. “Ilmu jalan malamnya benar-benar lihay, dia telah bisa lukai orang tetapi dia sendiri, sampai-pun bayangannya tak kelihatan!“
“Karena aku yang keluar paling dulu, aku masih bisa dapat lihat dia,” berkata Pau Cin Hui, “benar aku tidak lihat tegas roman atau mukanya tapi terang dia bertubuh kurus sekali dan kecil. Mungkin dia adalah anak yang lari kekantor untuk mengasi laporan! Apakah tuan-tuan dapat tahu kalau-kalau di Su-coan Utara ini ada penjahat muda?”
Mendengar demikian, Thio Hek Hou membanting kaki. “Pastilah itu mereka adanya!“ ia berseru “Baru saja tadi aku lihat mereka di jalan besar di Tong-kwan, kota Timur. Mereka encie dan adik ada menunggang keledai kecil, sekeluarnya dari rumah penginapan, mereka menuju ke Utara …”
Thia Pat lantas saja cabut huncwee dari mulutnya. “Apakah mereka ada Cin Siau San enci dan adik?” tanya
ia sambil buka matanya lebar-lebar.
Thio Hek Hou manggut.
“Benar!” ia jawab, “Mereka ada nyonya mantunya Long Tiong Hiap. ialah Cin Siau San dan adiknya, Cin Siau Hiong. Entah Liong Cie Khie sudah berbuat saah bagaimana terhadapnya maka nyonya itu sudah datang dan maui jiwanya.”
“Apakah Cie Gan In tidak turut mereka itu?” Thia Pat tegasi pula.
“Tidak, cuma mereka dua saudara,” Hek Hou terangkan. “Rupanya sang encie telah datang kemari menyerang Cie Khie dan adiknya pergi ke kantor untuk mengabarkan pada pembesar negeri, kemudian berdua mereka berlalu bersama- sama. Pastilah mereka pulang malam-malam juga ke Long- tiong. Jangan-jangan Long Tiong Hiap dan anaknya nanti datang kemari akan satrukan kita …”
“Tidak, itulah tak bisa menjadi,” kata Thia Pat sambil goyang-goyang tangan, “Baru kernarin ini Long Tiong Hiap nyatakan bahwa ia hormati Pau Lauko, dan sebaliknya ia benci sangat pada Kang Siau Hoo sebab perbuatannya Kang Siau Hoo, di Loo Su Nia ada terlalu busuk!”
“Hanya ... “ berkata Thio Hek Hou, yang terus menoleh pada Cin Hui, kemudian ia lanjutkan: “Tadi aku hadiri suatu pesta didalam kota, diantara hadirin ada dua piausu, yang datang dari Timur, katanya ketika mereka lewat di Thong-kang, disana mereka telah bertemu dengan Ciau Tek Cun, Ciauw Eng dan Kang Siau Hoo-pun ada disana.
Ciau Eng itu keponakannya Tek Cun sudah terbitkan onar di Thong-kang, dan Ciau Tek Cun kena dilukai oleh satu okpa disana, karena mana, dia mesti rebah di rumah penginapan. Lantaran ini, Kang Siau Hoo jadi tertahan disana, tidak bisa dia lantas berangkat ke Barat. Mereka bilang ada orang yang lihat Kang Siau Hoo walau-pun kulit mukanya ada hitam tetapi dia tidak gemuk. Tiekoan dari Tong kang pernah panggil Kang Siau Hoo datang menghadap, disana dia dipadu dengan kusir kereta yang keretanya dibegal di Loo Su Nia. Mereka si kusir kereta, dia bukahlah Kang Siau Hoo yang membegal di Loo su Nia, bahwa begal itu, sekali-pun dia sebut dirinya Kang Siau Hoo, dia toh umpat caci Siau Hoo serta kemudian, dia aku dirinya orang she Liong. Maka itu …”
Selagi Hek Hou berkata-kata sampai di situ, semua orang menoleh pada Pau Cin Hui.
“Maka itu sekarang orang telah curigai Liong Cie Khie
... “ Hek Hou melanjutkan, “Orang sangka, Cie Khie telah pakai namanya Kang Siau …”
Belum lagi si Harinau Hitam tutup mulutnya, atau tiba- tiba meja terbalik, hingga segala apa diatasnya, hingga menerbitkan suara nyaring dan berisik, karena Pau Kun Lun sudah dupak meja hinga jumpalitan.
“Mana bisa jadi?” berseru jago tua ini, yang nampaknya seperti kalap dengan tiba-tiba. “Mana bisa jadi muridku begal keluarga pembesar negeri dan membunuh polisi? Mana bisa dia jadi begal dan pakai juga namanya Kang Siau Hoo?” Thio Hek Hou, Lau Kiat dan Thia Pat pada undurkan diri kesamping. Cuma Cui Pou-tau, yang kelihatannya tenang.
“Sabar, loo-piausu,” kata ia, sikapnya sungguh-sungguh. “Urusan-pun masih perlu dibuktikan. Isteri tiekoan dari Hong-an ialah nyonya yang dibegal dan diculik, yang dirumah penginapan di Kang-kau-tin sudah gantung diri, telah dapat ditolong oleh tuan rumah, hinggga dia tidak sampai mati. Nyonya itu bisa dijadikan saksi bersama-sama si kusir, yang sekarang masih ada di Thongkang. Mereka dapat membuktikan bahwa muridmu adalah pembegal yang dimaksud atau bukan, lantas duduknya hal bakal menjadi jelas. Hanya menurut aku, adalah terlebih baik jikalau muridmu itu tak usah pergi menghadap dikantor negeri dengan memandang kepada Lau Toaya, kita boleh urus ini secara persahabatan. Baiklah dipikir suatu daya untuk muridmu sembunyikan diri ... “
Pau Kun Lun kepal keras tangannya.
“Muridku tidak langgar undang-undang negara!” kata dia dengan nyaring, “Kenapa dia mesti sembunyikan diri! Baiklah kau orang yang memangku pangkat, panggil isteri tiekoan itu datang kemari untuk mengenali, asal dapat dibuktikan muridku ada si begal kau boleh tangkap padanya, kau hendak hukum penjara atau hukun mati, kau ada merdeka! Jikalau tidak demikian, tidak perduli siapa, asal ada orang tuduh muridku, aku punya golok Kun-lun- too pasti tidak mau kebal siapa juga!“
Cui Pau-tau mundur satu tindak, ia bersenyum tawar. “Buat apa mesti undang nyonya tiekon dari Hong-an?”
berkata dia, “Mantunya Long Tiong Hiap juga pasti ketahui
perkara ini terang, jikalau tidak, selagi dia tidak bermusuhan dengan muridmu itu kenapa tadi dia datang menyerang dan melukainya? Kenapa dia-pun begitu perlukan mengirim adiknya pergi ke kantor akan memanggil kita seraya terang-terang menjelaskannya bahwa begal Kang Siau Hoo berada disini sedang terluka? Maka teranglah sudah, muridmu ini adalah begal yang palsukan namanya Kang Siau Hoo! Itu encie dan adik jadinya sudah lakukan suatu perbuatan gagah dan mulia!”
Jago tua itu gusar hingga tubuhnya bergemetar, kumis dan jenggotnya memain seperti disampok angin, sedang kedua matanya terpentang lebar, dengan muka merah- padam, dia kelihatannya jadi bengis sekali.
“Baik!“ ia berseru seraya banting kaki. “Nyonya mantunya Long Tiong Hiap itu belum pergi jauh, nanti aku suruh padanya, untuk ajak dia kembali kemari, untuk tanya dia kenapa dia kata muridku ada Kang Siau Hoo si penjahat besar!”
Kapan Thio Hek Hou dan Lau Kiat dengar jago tua ini hendak susul Cin Siau San, bukan saja mereka tidak mencegah, mereka malah jadi girang. Lau Kiat-pun segera perintah orangnya siapkan kudanya jago tua itu.
Thia Pat lantas unjuki jalanan yang diambil oleh Cin Siau San dan adiknya.
Dengan hati sangat mendongkol, Pau Kun Lun pergi ke kamarnya, untuk ambil goloknya.
Waktu itu Cie Kie sudah digotong ke dalam kamarnya, ada dua orang sedang obati lukanya dibagian lengannya yang buntung.
Pau Kun Lun mendekati muridnya itu goloknya ditandalkan pada batang lehernya muridnya.
“Kau tunggu sampai aku telah bekuk nyonya mantunya LongTiong Hiap, itu waktu nanti terbukti, kau penasaran atau tidak!” kata guru ini dengan bengis. “Jikalau tuduhan benar dan kau betul-betul sudah langgar laranganku, hm! aku nanti cingcang tubuhmu hingga hancur-lebur!“
Liong Cie Khie merintih, ia teraduh-aduh, tidak keruan, dia dengar tegas atau tidak ancaman gurunya itu. Mengenai sikapnya guru itu, dia diam saja.
Pau Cin Hui bertindak seraya dupak pintu hingga terpentang, ia bawa goloknya menuju keluar dengan tindakan lebar, di muka pintu pekarangan, bujangnya Lau Kiat serahkan dia kuda yang sudah siap. Tanpa cambuk, dia lompat naik atas kudanya, dengan sebelah tangan menyekal les, sebelah tangannya yang lain, dengan goloknya, ia ketok punggungnya kuda itu, untuk dikasi kabur dengan segera. Maka binatang itu lantas saja lompat lari menuju ke luar kampung, dijalanan yang Thia Pat Unjukkan: dari utara mutar ke barat. Itu ada jalanan ke Long-tiong.
Malam itu ada gelap, angin Barat meniup keras, jalanan besar ada sunyi-senyap bagaikan mati. Ditengah jalan, tidak ada sorang-pun jua. Cahaya dari beberapa rumah ditepi jalanan ada terlihat molosnya cahaya api kelak-kelik seperi bintang.
Pau Kun Lun kaburkan kudanya dengan hati panas sekali, darah seperti mengalir diseluruh tubuhnya. Empat kaki kuda perdengarkan suara berisik diatas jalanan yang keras. Pau Cin Hui sering memandang kekiri dan kanan dengan kedua matanya yang bersinar tajam. Beberapa kali, saking mendongkolnya, ia berseru seorng diri: “Eh, nyonya mantunya Long Tiong Hiap, perempua hina-dina, berhenti! Pau Loo yan-cu hendak tanya kau!“
Entah berapa lama ia sudah kaburkan kudanya, Cin Hui tidak tahu, sampai dengan sekonyong-konyong, di depan dia, ada dua bayangan yang menghalau, disusul dengan tegorannya dua suara halus tetapi tajam : “Siapakah kau?“
Pau Cin Hui mengerti, ia sudah menyandak, dari itu, ia lantas tahan kudanya dan siapkan juga goloknya.
“Aku Pau Kun Lun!” ia menyahuti. “Aku hendak ketemui Cin Siau San, nyonya mantunya Long Tiong Hiap! Siapakah kau orang?”
Baru Pau Lookausu tutup mulutnya atau ia sudah dapat jawaban.
“Itulah aku!“ demikian suara itu, yang keluar dari salah satu orang diatas seekor keledai kecil, suaranya orang perempuan. “Orang she Pau, ada urusan apa kau susul kita? Tadi aku tidak bunuh kau disebabkan aku lihat kau sudah berusia tua terlalu lanjut, pedangku tidak tega! …”
“Oh, perempuan hina-dina!“ jago tua mencaci, saking mendongkolnya.
Baru jago tua itu mengucap demikian, sinarnya sebatang pedang berkelebat mendesak ia.
Untuk berkelit, Chi Hui loncat turun dari kudanya, binatang mana terus lari kepinggiran.
Cin Siau San juga lompat turun dari keledainya, terus saja ia menyerang pula.
Cin Hui angkat goloknya menangkis, hingga kedua senjata jadi benterok, sebagaimana suaranya terdengar nyaring sekali. Rupanya pedang Si nyonya dibuat terpental dan tangannya sesemutan, karena itu terus ia putar tubuhnya, untuk menyingkir.
Selagi begitu, satu bayangan lain, yang lebih kecil, lompat kebelakangnya Si jago tua, yang dia terus hajar dengan sebatang toya kayu. Serangan ini mengenai orang punya kepala, sampai jago tua itu kesakitan dan pusing, maka berbareng dengan merasa sangat murka, ia putar tubuh seraya membabat dengan goloknya yang besar dan berat!
“Aduh!“ demikian satu jeritan, atas mana, bayangan kecil itu rubuh ketanah toyanya terlepas dari tangannya.
Cin Siau San lari balik, ia sudah lantas nangis.
“Anjing tua, kau bunuh adikku?“ ia berseru. Ia punya pedang menyamber bagaikan kilat terhadap tubuhnya jago tua itu.
Pau Kun Lun menangkis dengan goloknya. Ia berlaku telengas, ia tak perdulikan lagi dengan siapa ia sedang berhadapan.
Pertempuran ada sengit sekali, malah berjalan sampai belasan jurus tatkala pedangnya Cin Siau San kena dibuat terpental, atas mana nyonya itu memutar tubuh untuk loncat keluar lalangan, terus lari.
Dalam murkanya, Pau Cin Hui mengejar, ia cuma mengawasi musuh, tidak tahunya, didepan ia ada mengandang tubuhnya seekor keledai hitam, yang sedang rebah, tidak ampun lagi, ia kesandung dan rubuh, kedua kakinya diatas keledai itu.
Binatang tersebut kaget dan kesakitan, ia lompat bangun dengan berjingkrak, hingga karena itu, tubuhnya si jago tua kena terangkat terbalik. Sukur bagi dia, goloknya tidak terlepas. Dengan merayap, dia lekas bangun. Ia-pun napasnya memburu. Ketika ia mengawasi keadaan sekitarnya, Cin Siau San entah sudah menyingkir kemana kedua keledai-pun lenyap bersama.
Dengan pentang mata lebar? jago tua ini kemudian cari korban goloknya. Ia berhasil menemui orang itu, ketika ia mengower-ower dengan kakinya, tubuh itu tidak berkutik dan ia-pun tidak dengar suara rintihan. Maka ia terus membungkuk, ia ulur tangannya untuk meraba. Ia kena pegang barang cair. Ia tahu, itulah tentu darah adanya. Maka teranglah sudah, musuh itu satu bocah terbinasa diujung goloknya!
Tiba-tiba, hatinya menjadi lemah, ia merasa kasihan terhadap bocah itu.
“Coba dahulu aku bunuh Kang Siau Hoo bagaimana sekarang bisa terjadi hal seperti ini? Tentulah aku tidak meninggalkan bibit bencana, hingga aku mesti pergi merantau? Tidaklah, dengan merantau, orang mesti berlaku kejam?”
Dengan tiba-tiba juga, hatinya jadi kuat lagi, malah dengan bengis, ia dupak tubuh yang tidak bernyawa itu, sesudah mana, ia perdengarkan suara suitannya, akan panggil kudanya. Setelah binatang tunggangan itu menghampiri, ia menaikinya, ia berjalan pergi. Ia sobek sepotong baju dalamnya, untuk susuti goloknya, buat bersihkan darah ditangannya. Masih saja ia mendongkol, ia larikan kudanya untuk kembali ke rumahnya Lau Kiat. Ketika ia sampai, orang-orang polisi masih belum berlalu. Lau kiat semua, dengan mata terpentang, pada mengawasi.
Cin Hui masih tak lepaskan goloknya ketika ia masuk kedalam dan duduk diatas kursi, nafasnya masih memburu.
“Loo-piausu, apakah kau dapat candak nyonya mantunya Long Tiong Hiap?” Thia Pat tanya.
Cin Hui menggeleng kepala, sambil benarkan jalan napasnya.
“Aku tak dapat menyandak, aku tidak kenal jalanan,” ia menjawab kemudian. Thia Pat saling menandang dengan Thio Hek Hou dan Lau Kiat.
Cin Hui masih duduk sekian lama, lalu ia berbangkit, dengan bawa goloknya, ia masuk kekamarnya. Kamarnya dipasangi api terang, disitu tidak ada lain orang kecuali Cie Khie yang rebah dengan tangannya tinggal sebelah, tubuhnya masih berlepotan darah, tubuh itu tidak bergerak, bagaikan mayat saja, cuma dari mulutnya keluar rintihan perlahan.
Pau Kun Lun letaki goloknya, ia jadi berduka.
“Kita, guru dan murid, sungguh harus dikasihani.“ pikir ia. “Bukan saja kita telah didesak, dilukai dan diperhina, kita juga telah dibuat sangat penasaran …”
Tidak merasa lagi, orang tua ini mengalirkan air mata.
Jago tua ini tutup pintu kamar, ia padamkan api, lantas ia naik keatas pembaringan. Sia-sia saja ia mencoba tidur, saban-saban ia terbangun sendirinya sampai empat atau lima kali.
Pertama ia terbangun karena ia seperti merasakan ada gerakan apa-apa diluar jendela, sebagai juga Kang Siau Hoo atau Cin Siau San hendak datang membunuh padanya. Kedua kalinya ia berbangkit, ia kuatir kalau-kalau Liong Cie Khie menutup matanya dengan tiba-tiba. Yang lainnya tetap ada gangguan pada asalatnya itu.
Begitu ia lekas bangun di hari esoknya, Cin Hui segera lilat luka muridnya. Ia dapatkan murid itu melainka bisa buka kedua matanya.
“Suhu,“ kata murid itu sambil menangis. Datam dukanya, jago tua itu jadi gusar. “Cie Khie, kau sabar, kau rawat lukamu,” ia berkata dengan nyaring. “Aku nanti balaskan sakit hatimu ini, untuk lampiaskan penasaranmu!”
Cie Khie tidak bilang suatu apa, ia merintih, teraduh- aduh.
Justeru itu, ada ketokan pada daun pintu. Itulah bujangnya Lau Kiat.
“Majikanku mengundang,” kata bujang itu. Diam-diam Pau Kun Lun terperanjat.
“Begini pagi Lau Kiat cari aku ada apa?” ia tanya dirinya
sendiri. Tapi ia segera ikuti bujang itu pergi keruangan tamu dimana Lau Kiat berada bersama-sama Thio Hek Hou dan Hoa-Thayswee Chio Seng. Tampangnya tuan rumah nampaknya suram.
“Tolong wakilkan aku bicara kepada Pau Lauko,” kata Lau Kiat pada Chio Seng.
Hoa-Thayswee bersikap sangat sewajarnya, malah ia tertawa.
“Pau Lauko, kau dengari apa aku hendak bilang,” berkata ia. “Kita bicara tentang kejadian semalam. Kau telah berhasil menyandak Cin Siau Hong, iparnya Cie Gan In, dan kau telah binasakan dia ditepi jalanan. Perkara itu sudah jatuh dalam tangannya pembesar negeri, orang polisi bakal datang untuk menawan kau ... ”
Biar bagamana, Cin Hui kaget, hingga segera ia niat lari ke kamarnya, buat ambil goloknya, akan kempit Liong Cie Khie, untuk dibawa lari, sebelum ia sempat berbuat demikian, Chio Seng sudah ulapkan tangan.
“Jangan sibuk, lauko, jangan kuatir,” berkata si Dato Kembang ini. “Kau tinggal sama Lau Toako disini, orang polisi tidak nanti berani datang kemari untuk tangkap kau. Urusan dengan pembesar negeri masih gampang dibereskan, tidak demikian dengan urusan perseorangan, yang ada hebat. Hari ini atau besok, pastilah Long Tiong Hiap ayah dan anak, bersama-sama Cin Siau Sian, bakal datang kemari. Orang yang terbinasa-pun ada cucu luar dari Siok Tiong Liong. Benar Siok Tiong Liong itu sudah lama sucikan diri, tetapi kabarnya ia masih hidup sampai sekarang ini, umpama ia dapat dengar tentang perkara atau kematian cucunya, niscaya sekali dia akan datang kemari untuk menuntut balas. Disebelah itu, baik kita tak usah sebut-sebut halnya Kang Siau Hoo. Pau Lauko, kita undang kau karena kita orang hendak kagumi padamu, kita ingin bersahabat dengan kau. Memang kita hendak satrukan Long Tiong Hiap, tetapi maksud kita melainkan untuk tandingi dia, buat menangkan padanya. Sama sekali bukan niat kita akan musuhkan dia secara musuh besar. Sekarang duduknya hal menjadi lain sekali. Tentang urusan dengan pembesar negeri, lauko, kau jangan sibuki, mengenai itu kita bertiga yang akan membereskan, kita hanya ingin tanya, bagaimana urusan dengan Long Tiong Hiap sendiri? Lauko, kita ingin sekali dengar dari mulutmu yang setulusnya!”
Cin Hui sekarang mengerti maksudnya tiga orang itu baiki ia, untuk hadapi Long Tiong hiap. Diam-diam ia mendongkol, ia sampai berdiam saja sekian lama. Akhirnya, ia tertawa dengan tawar. Ia lantas tepuk-tepuk dada.
“Inilah ada urusan tidak ada artinya!“ berkata ia. “Baik urusan dengan pembesar negeri, baik urusan dengan Long Tiong Hiap, sendirian saja aku Pau Kun Lun yang nanti tanggung! Tidak nanti aku buat sulit pada kau orang, samwie lautee. Umpama seorang polisi hendak datang menawan aku, aku nanti serahkan diriku, aku bersedia akan diperiksa dan diadili. Memang siapa membunuh jiwa manusia, dia mesti mengganti jiwa, siapa berhutang uang, ia mesti bayar dengan uang! Ada harganya untuk aku, satu tua bangka umur tujuh atau delapan-puluh tahun, mengganti jiwanya satu bocah dari umur belasan tahun. Andaikata pembesar negeri tidak tangkap aku, aku akan berdiam terus disini, tidak nanti aku umpatkan diri! Tidak perduli Long Tiong Hiap, Cie Gan In, Cin Siau San, Siok Tiong, Karig Siau Hoo, atau gurunya Kang Siau Hoo, sekalipun, aku tidak takut! Aku ada punya Kun-lun-too, aku punyakan sebatang golok dan satu jiwa, maka siapa terlebih lemah dari padaku, biarlah dia rasai golokku!”
Pau Kun Lun bicara dengan bersemangat, romannya jadi keren sekali, suaranya-pun keras, maka itu, melihat demikian, Lau Kiat bertiga menjadi puas. Malah air mukanya Lau Kiat lantas berubah menjadi sabar seperti biasa.
“Bagus!” berseru tuan rumah ini. “Dengan kata-katamu ini, lauko, tidaklah kecewa kau menjadi seorang kangouww sejati, satu enghiong. Tentang urusan dengan pembesar negeri, jangau lauko buat pikiran, anggap saja seperti sudah tak terjadi suatu apa, andaikan Cui Pou-tau datang, asal aku lirik dia, dia bakal berlalu pergi. Umpama kata Long Tiong Hiap datang, belum tentu kita semua bakal dapat dikalahkan, kita nanti bantu kau dengan sungguh-sungguh hati!”
Cin Hui manggut, namun dengan napas masih memburu.
“Bak, baiklah,” kata ia. ”Sebeatar aku nanti gosok golokku, buat dipakai menantikan Long Tong Hiap semua. Muridku terluka parah, siapa diantara saudara-saudara yang ketahui siapa ada punya obat luka yang mustajab, guna diminta pertolongannya mengobati muridku itu? Jikalau muridku itu bisa ditolong sampai sembuh, tidak kita lupakan budi ini yang sangat besar.”
“Lauko, jangan kau bicara secaca demikian sungkan,” kata Lau Kiat. “Sekarang juga aku nanti perintah orangku pergi kekota undang tabib Lie It Tiap, yang pandai mengobati.”
Pau Kun Lun manggut.
“Asal jiwanya dapat ditolong, biar dia hilang sebelah tangannya atau bercacat,” kerkata guru ini. “begitu lekas urusan disini sudah beres, aku nanti cuci perkara penasarannya, aku ingin bawa dia menemui keluarganya tiekoan dari Hong san untuk mereka kenali muridku itu, benar dia atau bukan yang jadi begal di Loo Su Nia!”
Lau Kiat dan Thio Hek Hou tertawa.
“Itulah urusan di belakang hari, yang gampang diselesaikannya,” kata Lau Kiat. “Yang penting adalah urusannya Long Tiong Hiap, puteranya dan nyonya mantunya. Aku sudah pesan semua orangku begitu-pun orangnya saudara Thio, siapa juga diantaranya, tidak boleh sembarangan berlalu dari sini, dan semua mesti selamanya siapkan senjatanya masing-masing. Aku juga telah kirim beberapa orang, guna serep-serepi kabar, apabila mereka lihat Long Tiong Hiap mendatangi, selagi jaraknya masih sepuluh lie, mereka mesti memberi tahu terlebih dahulu.”
Pau Cin Hui manggut-manggut. Karena pembicaraan telah selesai, ia balik ke kamarnya, untuk cuci muka dan minum teh, kemudian ia melihat lukanya Cie Khie siapa kelihatannya seperti sudah tidur tetapi dalam mimpinya dia masih merintih-rintih ... Jago tua ini menghelah napas saking berdukanya. Ia lantas ambil goloknya, ia ambil sepotong kain, untuk dipakai menggosoki gegamannya itu, tetapi waktu ia lihat tanda tanda bekas darah, ia ingat si bocah yang tadi malam ia binasakan. Ia percaya, pada waktu itu, mayatnya bocah itu pasti sudah diperiksa selesai oleh pembesar negeri. Ia lalu pikirkan, ada permusuhan apa antara ia dengan bocah cilik itu yang bersenjatakan toya hingga ia membunuhnya? Lantas saja ia jadi tambah duka, tetapi sekejap kemudian, ia bisa keraskan hati, ia tidak mau ingatkan bocah itu, ia lantas gosok goloknya, setelah nyusuti sekian lama, golok itu mengkilap berkilau-kilau.
Sehabis membersihkan golok, jago tua ini robek-robek sepotong baju, buat membuatnya menjadi suatu lembaran yang panjang, dengan itu, libat pinggangnya dan pahanya dengan keras sekali, untuk buat tubuhnya jadi ringkas, supaya ia bisa bergerak dengan leluasa. Paling akhir-akhir, ia salin pakaian, sesudah beres dandan, dengan bawa goloknya, ia pergi pula keluar, keruangan tamu.
Lau Kiat ada berdua dengan Thio Hek Hou, mereka sedang bicara secara asik, rupanya mereka bicarakan urusan rahasia. Chio Seng tidak ada bersama, dia ini tentulah sudah pulang. Sedang Thia Pat, Sejak tadi malam ia sudah tidak berada dirumahnya si orang she Lau itu.
Melihat munculnya Pau Kun Lun. Lau Kiat dan Thio Hek Hou berhentikan bicara pembicaraan mereka, mereka sambut jago tua ini seraya tuan munah pesan orangnya lekas sediakan barang hidangan.
Cin Hui letakkan goloknya dimeja lain, ia duduk bersama dua sahabat itu. Oleh karena pikirannya sedang kalut, ia tidak menahan-nahan hati lagi akan tenggak banyak air kata-kata, sesudah mana, barulah orang, sajikan barang makanan. Selagi mereka itu dahar, satu orang datang masuk sambil berlari-lari. Dia adalah orangnya Thio Hek Hou. Dari air mukanya, terang ia berkuatir.
Ciu Hui segera berbangkit, ia hendak ambil goloknya. Thio Hek Hou sebaliknya bersikap tenang.
“Ada apa?“ ia tanya orangnya itu.
“Hek-pa cu Ngo Kim Piu sudah kembali,” orang itu menjawab. “Sekarang ia sedang duduk minum arak di rumah makannya si orang she Kwee. Kita telah tanya dia, dia dapat cari Kang Siau Hoo atau tidak, dan selama beberapa hari ini dia pergi kemana saja, dia tidak mau menjawab, dia menggoyang-goyang kepala sambil berenyum berseri-seri.”
Baru setelah mendengar begitu, air mukanya Hek Hou menjadi padam.
“Pergi kau ajak kawan-kawan kau seret binatang itu kejalan besar dan hajar padanya!“ ia titahkan. “Tak usah kau orang ambil jiwanya cukup jikalau kamu orang hajar dia sampai setengah mampus ... !“
Orang itu menurut, tetapi ketika ia mau undurkan diri, Lau Kiat menggoyang-goyang tangan.
“Buat apa, buat apa layani dia!” berkata tuan rumah ini. “Lihat saja, apabila sampai dua hari dia masih belum angkat kaki dari sini, baru kita bicara pula. Sekarang ini kita jangan recoki segala urusan kecil, urusan besar terlebih dahulu, setelah urusan besar selesai, urusan kecil gampang diurus!“
Pau Kun Lun bisa duga, yang dibilang urusan besar itu adalah urusannya Long Tiong Hiap, maka ia-pun turut menggoyangkan tangan. “Ya, jangan perdulikan dahulu si orang she Ngo itu,“ ia bilang. “Dia balik seorang diri, teranglah sudah bahwa ia tidak dapat cari Kang Siau Hoo. Untuk sementara ini, Kang Siau Hoo tentu tak akan datang kesini. Aku tahu dimana adanya dia sekarang. Aku harap betul hari ini Long Tiong Hiap datang bersama anaknya, setelah tempur mereka, hari ini juga aku nanti pergi cari Kang Siau Hoo!“
Orangnya Thio Hek Hou segera mengundurkan diri. Tiga orang itu melanjuti dahar sambil minum dan bicara,
akan tetapi hati mereka masing-masing tegang. Terutama
Pau Kun Lun, hari itu ia duduk dan berdiri serba salah.
Selagi mendekati magrib, satu orangnya Lau Kiat pulang dengan mandi keringat dan penuh debu, tangannya masih pegangi cambuknya, begitu lekas bertindak kedalam ruangan, dengan roman kuatir, dengan tergesa-gesa dia kata
: “Long Tiong Hiap sudah datang!“
Bertiga Lau Kiat, Thio Hek Hou dan Pau Kun Lun segera lompat bangun, malah jago tua itu sudah lantas samber goloknya.
“Loo-piausu, sabar!“ berkata si orang suruhan. “Long Tiong Hiap beramai baru sampai di Cio-to-tin, tidak bisa dia segera sampai disini!”
“Berapa jumlahnya orang Long Tiong Hiap itu?“ tanya Hek Hou.
“Jumlahnya ada belasan, semuanya dengan menunggang kuda, dengan membekal senjata,“ juru warta itu terangkan. “Mereka ada Long Tiong Hiap sendiri bersama Cie Gan In dan Cin Siau San, yang lain ada orang-orang mereka. Mereka tidak ajak orang lain.” Lau Kiat kaget mendengar musuh datang dalam rombongannya itu, tampangnya berubah. “Peng lekas kau undang Chio Jie-ya!” ia perintah pembawa berita itu. “Kau minta dia ajak banyak orang! Habis itu, kau terus pergi ke kantor akan cari Thia Pat-ya, umpama kata dia tidak ada di kantornya, kau susul dia di gang Yang-ciekang di rumah Nyonya Ciu. Biar bagaimana, kau mesti cari dia sampai dapat, kau mesti minta dia datang dengan ajak banyak orang polisi, lebih banyak lebih baik. Nah, lekas, lekas!”
Sebelum orang itu berangkat, Cin Hui menghalau di pintu, goloknya dimajukan kemuka. Ia perlihatkan roman yang bengis sekali.
“Tidak usah!“ kata ia dengan nyaring. “Mereka datang untuk membalas sakit hatinya bocah semalam, aku adalah pembunuhnya anak itu, maka asal aku kemukakan diriku, mereka tidak akan perdulikan lain orang lagi! Jiewie, jangan kau orang campur tahu urusanku ini, aku nanti pergi keluar kampung, untuk nantikan mereka. Inilah urusan perseorangan, karena itu, tidak usah kita buat pusing pembesar negeri!“ Setelah mengucap demikian, dengan gagah jago tua ini bertindak keluar, jalannya cepat sekali.
Ketika itu orang-orangnya Lau Kiat serta orang- orangnya Thio Hek Hou yang didatangkan dari Pa-tiong, mendengar bakal datangnya Long Tiong Hiap, semua jadi berkuatir sekali, malah ada yang ingin pergi sembunyikan diri saja. Cuma ada beberapa orang yang siapkan golok dan panah untuk menyambut musuh.
“Tuan jangan sibuk!“ kata Cin Hui sembari ia berjalan keluar. “Urusan disebabkan oleh aku sendiri, sudah seharusnya jikalau aku sendiri juga yang berurusan dengan mereka itu! Umpama pertempuran mesti dilakukan, biarlah dilakukan diluar kampung ini! Jikalau sampai ada selembar rumput saja yang terganggu disini, sungguh aku malu terhadap Lau Toaya!“ Demikian ia keluar dari pekarangan akan pergi ke mulut kampung. Ketika itu ada dipermulaan musim ketiga, pohon padi sudah tumbuh tinggi. Ada sejumlah orang tani, lelaki dan perempuan, yang sedang bekerja dengan rajin.
Dijalan besar dimuka kampung itu, tidak banyak orang yang berlalu lintas.
Cin Hui hampirkan sebuah batu besar ditepi jalan, ia duduk disitu seraya tangannya pegang terus goloknya, matanya memandang jauh ke depan, tetapi di detik itu ia teringat kejadian pada sepuluh tahun yang lampau, ketika seorang diri di depan rumahnya ia hadapi Long Tiong-hiap, dan waktu itu, cucunya yang baru berumur kurang lebih sepuluh tahun, yang kuatirkan ia tak sanggup lawan jago dari Long-tiong itu, sudah teriaki ia : “Awas, ya-ya, dia nanti lukai kau!“ Tapi sekarang Ah Loan sudah ikut Kie Kong Kiat, entah bagaimana keadaannya.
Jago tua ini lalu ingat Kang Siau Hoo, yang katanya sudah datang ke Su-coan Utara tetapi masih belum ada kabar-ceritanya.
“Apakah bisa jadi Kong Kat dan Ah Loan telah terbinasa ditangan Siau Hoo?” ia mengelamun lebih jauh.
Karena menduga demikian, batinnya jago Kun Lun Pay itu jadi lemah, hingga ia berduka sekali. Justeru itu dan depan ada mendatangi dua penunggang kuda, yang larikan kudanya sangat pesat.
Segera Cin Hui berbangkit akan memapaki.
Kapan kedua orang itu sudah datang dengan cepat, Cin Hui lihat mereka bukannya Long Tiong Hiap dan kawan mereka adalah orang-orangnya Lau Kiat, ialah juru warta. Ia lantas saja bertindak ke pinggiran. “Bagaimana?” ia tanya. “Long Tiong Hiap sudah sampai atau belum?”
“Mereka sedang mendatangi!” sahut dua orang itu yang larikan terus kudanya melewati disampingnya jago tua itu, untuk kabur terus kedalam kampung.
Cin Hui lantas saja maju ke depan, dadanya dirasakan panas sekali. Ia maju baru belasan tindak, lantas tertampak disebelah depan mendatangi belasan penunggang kuda, debu mengepul naik. Mereka itu tidak kaburkan kuda mereka.
Dengan cekal keras goloknya Cin Hui berdiri tegak ditengah jalan.
Kapan rombongan telah datang semakin dekat, kelihatan nyata yang jalan dimuka adalah Long Tiong Hiap, ia memakai tudung besar, bajunya biru, kudanya berbulu putih, kelenengan berbunyi tak berhentinya dilehernya kuda itu.
Pau Kun Lun dapatkan jago dari Long-tiong itu tidak berubah romannya, kecuali sekarang dia ada punya berewok hitam yang pendek.
“Saudara Cie, sudah lama kita tidak bertemu!“ Cin Hui segera mendahului menegor seraya unjuk hormatnya. “Tahanlah kudamu!“
Cie Kie tahan kudanya setelah ia berpisah lima tindak dari jago tua itu, lebih dahulu ia cabut pedangnya, kemudian baru ia mengawasi dengan hunjuk roman sungguh-sungguh.
“Penjahat tua, kau masih ada punya muka akan tunggui aku disini?“ ia menegor. “Selama sepuluh tahun aku hormati aku anggap kau ada seorang tua dari kalangan kangouw yang kenal adat sopan santun. Itulah sebabnya kenapa aku tidak pernah cari kau dan tidak sudi campur pula urusan kaum kangouw, aku rela serahkan Siamsay Selatan dan Su-coan Utara kedalam tangannya kaum Kun Lun Pay! Baru selang dua hari aku dengar kau telah datang kemari karena didesak Kang Siau Hoo, aku merasa berkasihan luar biasa terhadap nasibmu itu, sehingga aku memikir untuk muncul pula guna damaikan kedua pihak. Akan tetapi tadi malam nyonya mantuku pulang menyampaikan warta, barulah aku ketahui kau sebenarnya ada jahat sekali, kau sangat menjemukan! Muridmu Liong Cie Khie, sudah mengganas di Su-coan Utara ini. Di Loo Su Nia dia binasakan hamba negeri, dia membegal, dia culik isterinya tiekoan! Di Thay Kek San dia menjadi perampas milik orang! Bukan itu saja, pun didusun Giok- sekcun dia berani permainkan nyonya mantuku. Selain dia lakukan macam-macam perbuatan jahat dan busuk itu, pula dia berani pakai namanya Kang Siau Hoo, dia memfitnah! Dan kau, bukan saja kau tidak serahkan muridmu itu kepada pembesar negeri, kau tidak tegor dan hukum padanya, bahkan sebaliknya kau sudah mengeloni dan lindungi murid binatang itu! Kau telah bunuh satu bocah umur belum lima belas tahun. Kau manusia macam apa, tua bangka? Kau, satu bandit bangkotan!“
Selagi mengucap demikian mata Long Tiong Hiap bersinar tajam sekali, lalu dengan tiba-tiba ia menyerang.
Pau Cin Hui sudah siap, ia segera menangkis, hanya karena serangan itu, ia tidak sempat mengucapkan kata- kata.
Ketika itu rombongannya Long Tiong Hiap telah sampai, dengan lantas mereka maju mengurung, malah Cie Gan In yang muda gagah dan Cin Siau San yang gesit segera turun tangan. Perbuatan mereka lalu ditelad oleh kawan-kawannya. Maka itu Cin Hui mesti layani banyak musuh, ia bertempur secara hebat sekali.
“Semua mundur!“ Long Tiong Hiap berseru. “Buat bunuh penjahat tua semacam dia ini, kenapa mesti banyak orang mesti turun tangan?“
Dilain pihak, Lau Kiat dan Thio Hek Hou telah datang bersama tiga atau empat puluh orangnya, untuk membantu si jago tua.
“Siapa juga jangan bantui aku!“ Pau Kun Lun berseru.
Cie Gan In turut seruan ayahnya, ia tarik isrerinya mundur, orang-orangnya turut mundur juga.
Lau Kiat semua juga tidak maju menyerang musuh.
Satu kalangan dan beberapa tumbak lebar dan panjang lantas jadi medan pertempuran dari kedua orang itu. Long Tiong Hiap sudah loncat turun dari kudanya, dengan pedangnya ia menyerang pula.
Permainan pedangnya jago Long-tiong ada lebih liehay daripada sepuluh tahun yang lalu karena ia rajin berlatih, tetapi Pau Kun Lun-pun berkelahi dengan terlebih sungguh- sungguh daripada waktu ia layani musuh ini pada sepuluh tahun yang lalu itu, goloknya berkilau-kilau seperti juga pedangnya Cie Kie yang berkeredepan.
Pertempuran seru sekali, tidak ada yang mau mengalah, dengan cepat dua puluh jurus telah lewat.
Thio Hek Hou yang menonton dengan perhatian, segera tolak tubuhnya Lau Kiat.
“Aku kuatir si orang tua she Pau kalah,” berkata dia, “Setelah dapat mengalahkan Pau Kun Lun, Long Tiong Hiap tentu akan gunai ketika ini akan tempur kita. Maka, mari maju!” Mendengar demikian, Lau Kiat lantas geraki tumbaknya mengajak orang-orangnya maju turun tangan.
Cie Gan In dan Cin Siau San yang melihat musuh membantui kawannya, merekapun segera beri tanda akan orang-orangnya tangkis serangan itu. Mereka tidak keder walau-pun musuh berjumlah jauh lebih besar.
Maka itu pertempuran jadi sangat dahsyat, suara mereka sangat berisik.
Dantara suara beradunya berbagai senjata, -pun ada terdengar jeritan-jeritan dan kesakitan, dari mereka yang terluka.
Selagi pertempuran berjalan kalut itu, dari kejauhan ada mendatangi beberapa penunggang kuda, mereka itu berteriak-teriak seraya kerjakan cambuk mereka.
Cie Kie dan Cin Hui bertempur seru sekali. Pedangnya Long Tiong Hiap telah dapat menikam satu kali, tetapi goloknya Pau Kun Lun pun telah berkenalan pula dengan bahu kirinya Cie Kie. Sedangnya sengit mereka bertempur, lalu terdengar pekikan-pekikan riuh. “Ada polisi! Ada polisi!”
Dengan lekas kedua pihak yang bertempur lantas berhenti sendirinya, berkumpul dalam rombongan masing- masing yang terluka bergeletakan ditengah medan pertempuran, ialah dua orangnya Long Tiong Hiap, tiga bujangnya Lau Kiat, dan satu orangna Thio Hek Hou. Si Harimau Hitam-pun dengan satu luka pedang di kepalanya, rebah diantara pengempang darah, napasnya sudah berhenti jalan.
Cie Gan In minta sepotong sapu tangan dari isterinya untuk membesihkan pedangnya yang berlumuran darah. Cin Siau San masih berniat menikam Pau Kun Lun, yang napasnya memburu, tetapi orang polisi keburu sampai, antaranya ada yang serukan, “Tiekoan looya datang!”
Semua orang menoleh, lantas mereka lihat dua buah kereta besar sedang mendatangi, di belakang kereta ada dua hamba negeri diatas kuda masing-masing.
Tidak antara lama sampailah kedua kereta itu. Yang paling dahulu muncul dari dalam kereta adalah Thia Pat, dia berpakaian biasa tetapi sepatunya sepatu kepangkatan begitupun kopiahnya. Begitu injak tanah, ia banting-banting kaki.
“Hei, apakah artinya ini? Benar-benar buat aku sukar!“ demikian ia perdengarkan sesalannya.
Long Tiong Hiap mengawasi sambil bersenyum.
”Lau Pat, jangan banyak susah hati!” ia berkata. “Kau boleh minta koan-thayya bawa kita kekantor!”
Tiekoanpun telah turun dari keretanya. Ia pakai pakaian kebesarannya. Ia jalan sambil tunduk, melihat tempat adu jiwa itu berikut sekalian kurbannya, yang binasa dan luka- luka.
“Siapa yag bunuh dia ini?“ dia tanya.
“Kedua pihak bertempur secara kalut, golok dan tumbak pun tidak ada matanya,” sahut Cin Siau San, “mungkin dia terjatuh sendirinya dan binasa diujung gegamannya sendiri!
…”
Dibalik kaca matanya, tiekoan memandang nyonya muda yang bicara itu, kemudian ia berpaling akan awasi si jago tua dengan kumis-jenggotnya memain diantara hembusan napasnya sendiri.
“Hei, orang celaka!“ demikian ia menegor, matanya mendelik. “Apakah kau yang bergelar Pau Kun Lun? Semua ini sudah terjadi karena gara-garamu! Muridmu yang bernama Kang Siau Hoo adalah penjahat yang dicari oleh pembesar dari empat distrik, sedangkan kau tadi malam ditengah jalan sudah bunuh satu anak kecil! Kau tentunya dilain tempat ada mempunyai lain-lain perkara lagi. Hayo opas, rantai dahulu dia inil!”
Beberapa polisi menghampiri, mereka hendak jalankan titah itu.
Pau Kun Lun mengawasi dengan tajam, ia angkat goloknya.
Tiekoan segera menyingkir kesamping, tetapi ia berseru. “Eh, kau berani lawan pembesar negeri? Lekas lempar golomu! Jangan kau tidak kenal wet negeri!“
Karena ini, orang-orang polisi-pun merandek. Lau Kiat bersama Thia Pat mendekati tiekoan itu, mereka bicara bisik-bisik, atas mana tiekoan itu angguk-anggukkan kepala.
“Lebih dahulu bawa dia ke Lau-keechung!“ ia menitah pula. Ia bersikap tetap garang. “Bersama muridnya kita nanti bawa dia kekantor!“
Pau Kun Lun berdiam, ia bercuriga, maka itu ia tidak mau lepaskan goloknya.
Lau Kiat dan Thia Pat lantas menghampirkan. “Mari kita pulang!” mereka mengajak.
Long-tiong-hiap Cie Kie, yang sudah simpan pedangnya, mengawasi kejadian didepannya itu, ia bersenyum dingin.
Tiekoan pandang jago Long-tiong itu serta putera dan nyonya mantunya, tetapi tidak bilang suatu apa.
Thia Pat mendekati jago Long-tiong itu. “Tiekoan kita, Lou Loo-ya, merasa sangat sulit atas kejadian ini,” ia berkata “Kau adalah satu penduduk kenamaan dari Long-tiong, sedang Lau Kiat ada hartawan terkenal disini, umpama karena perkelahan ini, yang menumpahkan darah dan meminta jiwa, kau mesti dibawa kekantor, pasti urusan akan menjadi besar sekali, mungkin tak dapat diadili dalam tempo delapan atau sepuluh tahun! Launio dan Lau Chung-cu ada sahsbatku lama, sedang Thio Hek Hou yang terbinasa ada saudara angkat kita, maka kejadian itu sungguh bisa membangkitkan tertawaan orang-orang kangouw. Maka itu tadi aku telah berdamai dengan Lou Loo-ya, perkara ini paling baik dibereskan cara peseorangan. Sekarang, dengan ajak siau-ya dan Siau- naynay, baiklah lau-ko pergi dahulu ke hotel Kong Seng didalam kota, paling lama tiga atau empat hari akan datang orang-orang dari Pa-tiong, ialah keluarga Thio, itu waktu aku nanti coba mendamaikan kedua belah pihak. Mengenai Pau Cin Hui, itulah urusan lain. Dia adalah pembunuhnya Cin Siau-ya, dia sendiri-pun sudah mengakui, inilah terlebih gampang pula. Dalam hatinya muridnya, ialah Kang Siau Hoo tetiron yang hendak ditangkap, bila saksi sudah datang, dalam tempo pendek akan menjadi terang. Ringkasnya, mereka guru murid sudah seperti ditahan di Lau-kee-chung, dari itu mereka tidak akan manpu angkat kaki dari sini.”
“Pasti aku juga tidak akan angkat kaki!” kata Long Tiong Hiap dengan tertawa dingin.
“Perkaramu sendiri gampang diurusnya, lauko,” kata pula Thia Pat. “Thio Hek Hou terbinasa dalam pertempuran, siapa-pun tidak dapat ditunjuk sebagal pembunuhnya, hanialah bila perkara jadi panjang, itulah berabe dan memusingkan kepala. Maka pikirku baiklah diatur seperti apa yang aku katakan tadi. Nah, lauko, silahkan kau pergi dulu kerumah penginapan untuk beristirahat, sebentar aku nanti ketemui kau!”
Setelah berkata begitu, Thia Pat tepuk pundaknya Long hong Hiap dan tertawa. Long Tiong hiap bersenyum dingin.
“Benar-benar aku tidak sangka?“ kata ia. “Aku tidak sangka di Gie-liong ini Tiang-pat-chio Lau Kiat ada punya pengaruh demikian besar! Syukur hari ini dia muncul apabila melainkan aku dan Pau Kim Lun berdua yang bertempur, sekali-pun tidak terjadi perkara jiwa, tentu aku mesti turut Pau Kun Lun ditangkap. Sekarang begini saja. Perkaranya Thio Hek Hou ada satu soal lain. Jikalau terjadi kau menawan Pau Kun Lun, kau mesti panggil aku untuk turut diperiksa. Aku tidak mau, sebagai satu penduduk baik- baik dari Long tiong-hu, nanti dikatakan sudah menghina seorang tua yang sedang merantau! Baiklah, aku pergi kehotel Kong Seng untuk menantikan panggilan! Umpama Pau Cin Hui dan Lau Kiat tidak puas, terserah kepada mereka, mereka boleh cari pula aku guna bertempur lebih jauh!“
Long Tiong Hiap memberi hormat pada Thia Pat, lalu ia loncat naik atas kudanya.
Cie Gan In dan Cin Siau San turut teladan ayah atau mertua itu.
Dua orang yang terluka sudah ada kawan-kawannya yang beri naik atas kuda mereka, dan itu mereka bisa lantas berlalu dari situ. Rombongan ini berjalan dengan pelahan- lahan.
Thia Pat lantas ajak tiekoan mampir ke Lau-kee-chung, disana pembesar itu bicara banyak dengan Lau Kiat, bicara berdua saja, kemudian Thia Pat berangkat pulang. Semua orang yang terluka sudah diangkut ke rumahnya Lau Kiat, mereka lantas dirawat sedang mayatnya Thio Hek Hou ditempatkan disebuah ruangan dimana kedua gundiknya tangisi padanya. Diantara orang-orangnya, ada yang segera kabur ke Pationg untuk menyampaikan kabar jelek itu pada adiknya Thio Hek Hou.
Lau Kiat bersama Thia Pat telah bujuki Pau Kun Lun untuk jangan keluar dari gedung, dan Thia Pat-pun kata: “Perkara ini gampang diurus. Asal perkaranya Long Tiong Hiap dan Lau chung-cu tidak ditarik panjang, pasti kau tidak akan dibiarkan mendekam dalam penjara.”
Pau Kun Lun tidak bilang suatu apa, ia hanya menghela napas, kemudian ia pergi kekamarnya sendiri. Ia ada masgul dan mendongkol, pikirannya kusut. Ia hendak angkat kaki tetapi ia tidak sangka sekarang terjadi perkara hebat ini.
Jago tua ini telah berkeputusan hendak pergi ke Thong- kang buat cari Kang Siau Hoo, umpama ia tak dapat ketemui pemuda itu, ia akan berangkat terus ke Tiang-an akan tengok Ah Loan, tapi sekarang Cie Khie terluka parah, malah murid ini-pun tersangka berat, pasti ia tidak dapat meninggalkannya. Ia tetap tidak percaya bahwa muridnya sudah lakukan kejahatan seperti dituduhkan. Ia anggap perkara ini soal kecil, yang penting ia anggap nama Kun Lun Pay dirusak, inilah ia tak dapat antapkan saja.
“Ya, aku mesti berdiam disini sehingga perkara menjadi terang!” demikian ia ambil putusan. “Aku mesti tunggu datangnya saksi-saksi dan kejadian di Loo Su Nia itu untuk dipadu!“
Jago tua ini duduk dalam kamarnya, hatinya tetap panas. Ia telah terluka pada dadanya, darah telah menembusi bajunya, luka itu tidak menyebabkan ia merasa sakit, malah luka itu-pun ia tidak obati. Ia letaki goloknya diatas pembaringan. Malamnya ia buat penjagan karena ia kuatir Cin Siau San datang pula untuk membokong. Tapi sampai keesokannya pagi, tidak ada terjadi suatu apa.
Dihari ke dua, jago tua ini tidak keluar dari rumah, seantero hari ia keram diri didalam kamar dengan hati berdongkol dan pikiran pepat.
Lukanya Cie Khie telah banyak mendingan, ia tidak lagi merintih, ia bisa bicara.
Melihat keadaan muridnya itu, Cin Hui desak muridnya.
“Pembegalan di Leo Su Nia itu sebenarnya perbuatanmu atau bukan?“ demikian pertanyaannya dengan suara dan sikap bengis. “Bicara sebenarnya!“
“Aku tidak lakukan itu,” sahut Cie Khie. Ia merintih pula. “Ketika hari itu aku jalan di Leo Su Nia, tidak ketemukan satu juga keluarga pembesar negeri. Aku hanya dapatkan Kang Siau Hoo menjadi raja digunung itu, dia telah lukai aku, dia rampas uangku dan mengumpat-caci kau, suhu …”
”Apakah kau juga tidak ganggu nyonya mantunya Long Tiong Hiap?“ sang guru mendesak lebih jauh.
“Mana aku berani lakukan itu?“ sahut Cie Khie. Terus ia menangis. “Sudah dua puluh tahun lebih aku turut suhu, selama itu aku belum pernah langgar aturan dari Kun Lun Pay kita! Lagi-pun aku datang ke Su-coan Utara ini karena desakannya Kang Siau Hoo, maka itu cara bagaimana aku berani main gila?”
“Kang Siau Hoo!” berseru guru silat itu. “Aku bersumpah tidak mau hidup bersama kau!“ Pembicaraannya diantara guru dan murid berhenti sampai disitu, sang guru berdongkol, sang murid kebat-kebit hatinya. Hari itu lewat dengan tidak terjadi suatu apa.
Dihari ke tiga, adik kandungnya Thio Hek Hou telah datang dari Pa-tiong. Adik ini juga mengerti ilmu silat. Kapan dia lihat mayat engkonya, dia banting-banting kaki, dia menangis menggerung-gerung.
“Koko, rapatkanlah matamu!” berkata ia. “Aku sudah perintah orang pergi cari gurumu, Tiat Tiang Ceng! Pasti aku akan minta gurumu itu balaskan sakit hatimu ini!“
Walau-pun adik ini berkeras ingin balaskan dendam engkonya, tetapi mengenai perkara dimuka pembesar negeri ia suka buat habis. Dia kata : “Didalam dunia kangouww, orang terbinasa atau terluka ada karena nasib. Dalam dunia kangouw, siapa kuat dia hidup, siapa lemah dia binasa, tidak perlu mesti berperkara!“
Mendengar sikapnya orang she Thio itu, hatinya Lau Kiat menjadi lega, namun ia tetap berduka, karena teranglah sudah, sekarang ini ia jadi makin lemah karena kekurangan tenaga. Ia jadi tidak ingin lanjutkan permusuhannya dengan Long Tiong Hiap. Bahkan ia segera utus Thia Pat ke Long-tiong-hiap untuk selesaikan perdamaian dengan jago dari Long-tiong itu.
Thia Pat suka menjadi orang perantara ia pergi kekota akan cari Long Tiong Hiap, ia baru pulang kembali dia kata
: “Long Tiong Hiap ayah dan anak suka membuat habis persengketaan. Terhada Pau Cin Hui, mereka merasa berkasihan, tak ingin orang tua itu berurusan pembesar negeri. Tidak demikian Ciu Siau Sian, dia kata dia menuntut balas untuk adiknya!”
Pau Kun Lun ada duduk bersama mendengar laporan itu ia mengehela napas. “Memang, membinasakan Cin Siau Hiong adalah kesalahanku,” ia akui. “Aku bersedia akan menghaturkan maaf pada nyonya mantunya Long Tiong Hiap itu. Andaikata ia masih tidak sudi beri keampunan padaku, aku nanti sodorkan batang leherku buat ia bunuh saja padaku! Aku sudah berusia lanjut, aku tidak menyesal terbinasa ditangannya!“
“Tidak boleh berbuat demikian!” Thia Pat membantah. “Kebinasaannya Cin Siau Hiong adalah karena kekeliuran loo-piausu. Lain dari itu, encienya-pun sudah lukai muridmu, hingga diantara kedua pihak tidak dapat dibilang siapa yang mesti menghaturkan maaf! Dia ada seorang perempuan, umpama dia terus penasaran, dia toh tidak akan mampu berbuat suatu apa! Tunggulah, aku hendak mengadakan perjamuan dirumah makan Ngo Cip Lau dikota Timur untuk mendamaikan kau kedua pihak. Aku harap supaya semua pibak suka memandang padaku.”
Cin Hui menghela napas, ia nyatakan setujunya.
Kemudian, dengan sangat lesu ia kembali ke kamarnya.
Benar pada sorenya Thia Pat undang Lau Kiat serta jago tua itu pergi ke restoran Ngo Cip Lau untuk berjamu. Untuk ini Cin Hui dandan dengan rapi, akan tetapi karena kuatir Cin Siau San nanti ganggu ia, ia bekal goloknya yang ia gantung dipinggangnya.
Ketika bujang datang mewartakan bahwa semua kuda sudah disiapkan, ia terus ikut Lau Kiat, Thia Pat dan adiknya Thio Hek Hou pergi kekota Timur Tong-kwan.
Restoran No Cip Lau adalah restoran paling besar untuk kota Timur. Thia Pat minta ruangan atas. Long Tiong Hiap masih belum datang, cuma Hoa-Thay-swee Chio Seng yang sudah menantikan. “Thia Loo-ya, siapakah orang-orang yang kau undang?” Cin Hui tanya.
“Tidak ada lain orang, melainkan kita berlima serta Long Tiong Hiap ayah dan anak,” jawab Thia Pat. “Yang lainnya hanialah bun-an sinshe, jurutulis she Gu dan kantor tiekoan, yang akan jadi saksi. Dia adalah penghubung kita dengan pembesar negeri. Secara perseorangan ia adalah adik misan dari tiekoan.”
Cin Hui tidak bilang suatu apa mengenai jurutulis itu, tetapi ketika ia turut duduk, hatinya goncang, pikirannya tidak tenteram.
“Ketika tadi aku datang kemari.” berkata Chio Seng, yang sedot huncweenya, “di depan rumah makan aku lihat Hek-pa-cu Ngo Kim Piu, ia jebikan bibirnya, ia memandang aku sambil bersenyum mengejek.”
“Buat sementara kita jangan perdulikan dia,” Lau Kiat bilang serta menggoyangkan tangan. “Lagi beberapa hari pasti aku akan ajar adat padanya.”
“Tidak ada harganya melayani orang semacam dia,” Thia Pat bilang, “Baiklah kita tunggu sampai urusan kita ini sudah selesai, baru kita pikir pula. Apabila perkara kita sampai dikupingnya Sun-hu Thy jin di Seng-tou, jikalau dia kirim wakil menyelidiki, perkara bisa berubah menjadi hebat. Binatang Ngo Kim Piu itu pasti tak punya kepandaian berarti, dia mungkin hanya mengebul saja. Nanti di waktu berlalu aku akan kisikan pada Lou Tiekoan ada punya daya untuk cekuk padanya. Tak usah kita turun tangan sendiri.”
Cin Hui masgul sekali, kembali ia menghela napas.
“Aku merantau untuk cari Kang Siau Hoo,” berkata ia, “baru sampai disini, aku telah bertemu dengan tuan-tuan yang ikat padaku tali persahabatan, malah dengan tidak mencelanya, tuan-pun sudi membantu kepadaku, budi besar ini untuk seumur hidupku tidak akan aku lupakan. Sayang, selagi tuan-tuan telah membantu keras kepadaku, aku sendiri belum pernah berbuat kebaikan apapun juga terhadap kau sekalian, bahkan sebaliknya aku menyebabkan tuan-tuan peroleh kepusingan, sampai-pun saudara Hek Hou terbinasa karenanya ... “
Lau kiat menggoyangkan tangan.
“Jangan sebut-sebut itu, lauko,” ia mencegah, “Dengan menyebut demikian, lauko seperti orang luar. Memang aku telah tersangkut oleh urusan lauko akan tetapi karena kita telah menjadi sahabat-sahabat, inilah ada baiknya untuk kita. Kalau nanti lauko pulang, tolong kau sebutkan pada sekalian muridmu tentang persahabatan kita ini, supaya apabilia kelak mereka pergi ke Sucoan Utara, bilamana mereka tampak sesuatu kesulitan, aku bisa berikan bantuan. Di Long-tiong ada saudara Thia Pat, disini ada aku.”
Pau Cin Hui bersyukur, ia menghela napas.
“Baiklah,” sahutnya. “Di belakang hari murid, dan cucu muridku serta cucuku Ah Loan dan cucu-mantu Kie Kong Kiat mesti satu kali mereka datang ke Sucoan Utara ini, maka apabila kejadian mereka datang harap saudara- saudara sudi perhatikan mereka. Umpama kali ini aku bisa pulang kekampung halamanku dengan aku masih hidup, pasti aku akan beritahukan semua muridku bahwa Lau Cungcu di Gie-liong ini dan Thia Loo-ya di Long-tiong adalak tuan-tuan penolong dari guru mereka!”
“Ah, loo-piausu, kau terlalu seejie!“ kata Lau Kiat dan Thia Pat.
Selagi mereka bicara, ditangga terdengar tindakan naiknya kaki orang, lalu muncullah Gu Bun-an, si juru tulis tiekoan, kemudian menyusul Long Tiong Hiap, yang diikuti oleh Cie Gan In, puteranya, Long Tiong Hiap dandan dengan rapi, antero pakaiannya terbuat dari sutera, sama sekali tak ada tanda-tandanya bahwa bahunya terluka, malah dia tidak membawa senjata, cuma anaknya yang membekal sebilah pedang.
Pau Kun Lun segera berbangkit, akan tetapi sebelum sempat ia mengucapkan apa, Long Tiong Hiap sudah hampirkan ia seraya mendahului berkata : “Pau Loo-suhu, tentang urusan kita kemarin ini, setelah ada sahabat-sahabat yang mendamaikan baik kita jangan sebut pula. Cin Siau Hiong benar telah terbinasa tetapi kau bunuh dia karena kesalahan, mengenai itu, kita ayah dan anak tidak ingin menarik panjang. Akan tetapi isterinya Gan In, sangat berduka karena kebinasaannya adiknya itu, maka mengenai dia, selain kita mesti berdaya untuk menghiburinya, kita- pun mesti berjaga-jaga. Dia ada liehay, mungkin penjagaan kita kurang sempurna, dari itu baiklah kau berlaku waspada. Disebelah itu ada lagi satu hal. Tadi aku dengar dari Gu sinshe katanya Cui Pou-tau dari kantor tiekoan ... ”
Cie Kie berhenti dengan tiba-tiba karena juru tulis she Gu memotong pembicaraannya.
“Cie Toa-ya, biarlah aku bicara sendiri dengan pelahan- lahan kepada Pau Loosian-seng,” demikian bun-an sinshe itu. Ia-pun lantas ajak jago tua itu pergi ke pinggiran.
Semua mata, diantara terangnya api, mengawasi kedua orang itu.
Gu Sinshe memulai katanya dengan unjuk dulu kekagumannya pada jago Tin-pa itu, yang dikatakan nama besarnya sudah lama ia dengar, kemudian barulah ia bicara dengan pelahan sekali. Dengan sekonyong-konyong Pau Kun Lun menjadi gusar, matanya melotot.
“Aku tidak percaya!“ ia berseru, “Aku berani pastikan bahwa muridku tidak begal keluarga tiekoan dan tidak membunuh orang polisi!“
Mendengar demikian, Lau Kiat segera menghampirkan akan tarik tanganya Pau Kun Lun.
“Jangan bicara keras-keras,” ia mencegah. ”Baiklah kita bicara dengan sabar.”
“Adatnya Loosianseng ini ada terlalu aseran,” berkata Gu Sinshe sambil tertawa. “Aku sebenarnya ada bermaksud baik ... “ ia berhenti sebentar, akan segera menambahkan, “Bukankah hari ini telah datang saksi dalam perkara pembegalan di Loo Su Nia? Ketika pembegalan terjadi, orang itulah yang kendarai kereta. Tadi ketika kau ajak loosianseng ini datang kemari, Cui Poutau telah ajak saksi itu kegedungmu, Lau Toa-ya, disana mereka pergi lihat Si orang she Liong. Menurut pengakuannya saksi itu, orang she Liong itu benar Kang Siau Hoo yang membegal mereka di Loo Su Nia. Oleh karena orang she Long itu terluka parah dia tidak lantas dibawa pergi. Maka itu, urusan ini jadi gampang untuk diselesaikannya.”
Kembali Cin Hui gusar, ia gebrak meja.
“Aku pasti tidak percaya!“ dia berseru, “Diantara muridku pasti tidak ada yang berani lakukan perbuatan jahat dan busuk demikian!“
Long Tiong Hiap diam saja, ia melainkan tertawa dingin.
Lau Kiat tidak unjuk rupa heran, ia bujuki si jago tua untuk tidak umbar adatnya yang keras.
Gu Bun-an tetap berlaku sabar. “Tapi saksi itu menetapkan keterangannya,” kata ia pula dengan pelahan. “Pada beberapa hari yang lain di Thong- kang, saksi itu telah dipadu dengan Kang Siau Hoo, dan ia bilang Kang Siau Hoo bukanlah si pembegal itu. Dia tidak bermusuh dengan muridmu itu, loosianseng, tidak ada alasan untuk dia memfitnahnya. Saksi itu-pun nyatakan, si orang she Liong telah terluka demikian hebat, umpama dia dibawa kekantor tiehu, barangkali belum sampai dia diperiksa, dia akan sudah menutup mata. Oleh karena ini, perkara ini jadi dapat diselesaikan secara perseorangan hanya untuk itu, tak dapat tidak Pau Loosianseng haruslah keluarkan sedikit …”
Belum lagi juru tulis itu sebutkan apa yang si jago tua mesti keluarkan, atau Pau Kun Lun telah hunus goloknya dengan apa ia gebrak meja, sedang sebelah tangannya menolak tubuhnya juru tulis itu sehingga terpelanting jatuh!“
Jago tua ini segera perlihatkan romannya yang bengis, matanya mendelik.
“Tuan-tuan, kau adalah sahabat-sahabat baikku, silahkan tuan-tuan dengar perkataanku! “ ia berseru. “Aku berani tanggung dengan jiwaku bahwa kaum Kun Lun Pay pasti tidak punyakan murid durjana, maka itu aku larang lain orang mengatakan muridku menjadi begal, apabila ada erang berani menuduh demikian, tidak perduli dia ada pembesar negeri atau orang preman, aku nanti …”
Selagi jago Kun Lun itu hunjuk kekerengannya, adalah semua orang lompat bangun dengan tiba-tiba dan mata dipentang lebar-lebar mengawasi kemuka tangga.
Dimuka tangga loteng ada muncnl satu orang. Dia berumur dua-puluh lebih, tubuhnya jangkung luar biasa, dia tidak gemuk hanya kulitnya hitam. Sepasang matanya yang tajam sangat bercahaya, pakaiannya biru, sebelah tangan menyekal sebilah pedang yang begemerlapan. Dengan romannya yang bengis matanya ditujukan kepada Pau Cin Hui.
Thia Pat lihat orang muda itu segera ia mengenalinya. “Kang Siau Hoo!” ia berseru. Ia ada begitu kaget dan
takut, hingga hampir ia rubuh menggelinding kekolong
meja!
Sebaliknya Long Tiong Hiap segera meninggalkan kursinya, menghampirkan.
-oo0dw0oo-