Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 14

Jilid 14

“KEMANA perginya Kie Kong Kiat?” Siau Hoo tanya. “Katanya   dia   menuju   ke  Selatan.   Kita   tidak punya

pergaulan  kepadanya,  kita-pun  melainkan kenal namanya.

Tuan tahu sendiri, orang bangsa kita hidup dari persahabatan kaum Kangouw, kita tidak inginkan permusuhan, dan itu terpaksa kami antap dia menulis ditembok kita yang putih bersih. Untuk dapat keterangan jelas, cobalah tuan tanya Cin Eng Piau Tiam didalam kota, karena diwaktu datang kemari, Kie Kong Kiat berdiam disana. Ke Kong Kiat ada bersahabat dengan Lau Cin Eng dari piau-tiam itu.”

Siau Hoo manggut, dengan masih mendongkol ia undurkan diri, tapi selagi melewati tembok, ia membacok beberapa kali pada pemberitahuan tadi, sesudah mana, ia loncat naik atas kudanya, buat lantas menuju kekota.

Ia masuk dari pintu kota belum jauh, Ia sudah lihat merek “Cin Eng Piau Tiam” pada sebuah rumah dimana ditembok, ada huruf-huruf hitam dan besar, tetapi sudah tidak nyata, rupanya itu-pun ada kata-kata untuk menangkap dia. Disini ia lantas masuk kedalam pekarangan.

“Mana Lou Cin Eng?“ ia tanya dengan bengis dan tiba- tiba.

Disitu ada seorang yang dengan tak memakai baju sedang berlatih tumbak, ia  lihat orang masuk dengan lancang dan lantas dengar teguran kasar, ia lalu mengawasi.

“Lou Cin Eng sedang antar piau,” ia menjawab. “Ada urusan apa sahabat?”

“Aku cari Kie Kong Kiat!“ Siau Hoo jawab.  “Aku dengar Kie Kong Kiat tinggal disini!“

Orang itu manggut.

“Benar,” ia menyahut. “Kie Kong Kiat  itu  kenal ciangkui kita, dia datang pada beberapa hari yang lalu, setetah tinggal di sini dua hari, ia telah lantas pergi pula.”

“Kemana dia pergi?“ Siau Hoo tanya, dengan mata dibuka lebar.

“Katanya dia pergi ke distrik Siang-sui akan cari Lau Ceng Hou.’

Siau Hoo terperaujat mendengar keterangan itu.

“Tidak apa kalau dia cari Lau Ceng Hou,” pikirnya. “Tapi kalau dia tahu Yo Sian Tay ada sahabatku dan dia cari kepadanya akan tumpahkan amarahnya, itulah hebat. Aku jadi seperti celakai sahabatku ...” Ia  lantas tuntun kudanya pergi, atau tiba-tiba dia ingat : “Ciangkui  disini ada kawannya Kie Kong Kiat, baik aku perkenalkan diriku supaya mereka dapat tahu ...“ Maka terus ia berkata : “Aku Kang Siau Hoo dengar Kie Kong Kiat bertingkah dengan pemberitahuannya di tembok-tembok rumah, dia tak usah cari aku, nanti aku yang mendahului bekuk padanya. Sekarang juga aku hendak susul dia di Siang-sui!“

Siau Hoo menghampiri pelatok tambatan kuda di pinggiran, tiang itu terbuat dari batu dan besar, ia babat itu dengan tangannya hingga gempur dan rubuh, batunya berhamburan.

Orang yang berlatih tumbak serta beberapa kawannya, yang dandan seperti piausu, kaget hingga air mukanya berubah, semua mengawasi dengan ternganga.

“Bila ciangkuimu kembali, beritahukanlah halku!” kata Siau Hoo, yang terus loncat naik atas kudanya buat kabur keluar kota Lokyang, menuju ke Timur. Ia ada sangat mendongkol, ia panas untuk segala pemberitahuan ditembok itu, ia anggap itu bukan caranya seorang gagah.

Setelah melalui empat-puluh lie, Siau Hoo mesti lewati suatu selat sempit, yang tanah dikiri kanannya tinggi, dimana kembali ia lihat semacam pemberitahuan untuk menawan padanya, setiap hurufnya ada besar sekali dan diukirnya-pun dalam, rupanya dicokel dengan ujung pedang. Karena gusarnya ia bacok berulang-ulang huruf- huruf itu, hingga semuanya jadi rusak, tanahnya meluruk berantakan. Setelah itu, ia jalan terus, matanya berjelilatan kesegala penjuru, akan lihat ada lagi atau tidak pemberitahuan semacam itu.

Sorenya Siau Hoo sampai di distrik Sinceng dimana ia menginap datam sebuah hotel, disini ia tanya orang hotel akan halnya Kie Kong Kiat bersama dua orang kawannya yang menulis pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau Hoo.

“Tidak salah, tuan tidak salah,” kata pemilik hotel. “Orang itu kemarin dulu lewat disini, dia tulis pemberitahuan yang kau sebutkan itu ditembokku. Aku kiraja ada hamba negeri, aku tidak berani mencegahnya, tapi begitu lekas mereka sudah berangkat pergi, aku lantas busak huruf-huruf itu.”

Siau Hoo berdiam, hatinya makin panas, kalau ia tidak letih, dan waktu itu belum malam, pasti ia akan lanjutkan perjalanannya. Keesoknya pagi ia berangkat dengan cepat. Disepanjang jalan ia tanya-tanya orang, terutama jalanan ke Siang-sui.

Kira-kira jam sembilan Siau Hoo sampai  disebuah dusun. Ditepi jalan ada sebuah pohon kayu yang besar, disitu ada beberapa lembar kertas dengan huruf-huruf yang menyatakan hendak membekuk diri. Mukanya Siau Hoo jadi pucat saking gusarnya. Ia turun dari kudanya, ia sobek- sobek pemberitahuan itu, sehingga hancur. Beberapa orang yang berada didekatnya pada mengawasi dengan keheranan.

“Siapa yang tempel ini?” Siau Hoo tanya mereka. “Aku lihat kertasnya masih baru.”

“Yang tempel ini ada si Gemuk dari rumah makan disana,” sahut satu orang, tangannya menunjuk kesebuah restoran.

Dalam murkanya Siau Hoo lantas menghampiri rumah makan itu. Ia tinggal kudanya diluar, dengan bawa pedangnya ia bertindak masuk. Disitu belum ada tamu, hanya ada Ciangkui yang terokmok, dengan sebatang pit besar dari gerumpung dia asyik menulis pemberitahuan yang serupa, dengan jongosnya yang gosokkan bak. Di sampingnya sudah ada kira-kira tiga-puluh lembar yang sudah rampung ditulis.

Siau Hoo lantas menghampiri Ciangkui itu, paling dulu ia samber bak-hie, dengan itu ia timpuk mukanya ciangkui itu.

“Aduh!” menjerit si ciangkui, muka siapa lantas jadi hitam dengan air bak dan luka berdarah juga karena bakhie itu membuat mukanya terluka. Dia-pun rubuh dengan gelagapan.

Siau Hoo raup semua kertas dan dirobek-robek, lalu ia dupak meja terpental dan terbalik.

Jogos itu ketakutan, ia lantas saja lari kabur.

Karena tubuhnya yang besar, si terokmok tak dapat lantas merayap bangun, tapi sekarang dia sudah ingat apa yang terjadi.

“Kenapa kau pukul aku?” tanya ia, agaknya ia gusar.

Siau Hoo ketok kepalanya si terokmok dengan samping pedangnya.

“Aku Kang Siau Hoo,” ia kata dengan bengis. “Kenapa kau tulis semua pemberitahuan itu untuk tangkap aku? Kau toh bukannya pembesar negeri dan aku tidak langgar undang-undang negara?”

Mendengar itu, kuasa restoran itu jadi ketakutan.

“Itulah bukan keinginanku sendiri,” ia beri keterangan. “Kemarin dulu ada satu tamu lewat disini, dia beri  aku uang lima tail, dia suruh aku tulis pemberitahuan itu sebanyak aku bisa. Da janji, lagi dua hari dia akan kembali, dia hendak beri uang pula padaku. Sebenarnya, aku tidak tahu apa maksudnya itu.” “Telur busuk!” Siau Hoo membentak, “Apakah kau kira kau sembarang perhinakan aku?”

Selagi berkata demikian, Siau Hoo-pun dapat lihat belasan guci arak, lima diantaranya ada tulisan untuk menangkap dia, karena mana darahnya jadi naik bertambah-tambah.

Si Gemuk sudah merayap bangun, dia lihat orang awasi gucinya, lekas ia kata: “Kang Toaya, semuanya bukanlah aku yang tulis, itu ada tulisannya tamu she Kie itu sendiri. Dia ada disertai dua kawannya. mereka semua bawa-bawa pedang. Sekali-pun aku punya Thio Su Thayya ada hormati mereka itu. Jangankan aku diberikan uang, sekali-pun diperintah saja, aku takut akan membantahnya.”

Siau Hoo diam dalam murkanya itu, matanya mencari martil, apabila ia telah dapatkan itu, ia segera mengambilnya dengan apa ia hajar lima guci tersebut, sehingga pecah hancur! Tiga guci yang kosong menerbitkan yang berisik, dua yang lain terisi, araknya lantas mengalir melulahan!

Si Gemuk lantas saja banting-banting kaki dan menangis. “Oh, celaka aku!” demikian ia meratap. “Satu guci saja

berharga enam-tujub tail perak!”

“Toh kau bisa cari si orang she Kie akan minta penggantian?” membentak Siau Hoo. “Kalau kau berani menulis pula, apabila aku dapat tuhu, aku nanti ambil jiwamu!”

Dengan mendongkol Siau Hoo bertindak keluar, baru saja ia hendak loncat naik atas kudanya ia lihat dari jurusan Utara ada mendatangi lima-enam orang.

Semua membawa golok dan toya. Maka ia batal naik, ia menantikan siapa dengan pedangnya. Orang-orang itu ada yang pakai celana pendek, ada yang telanjangi dada, diantaranya ada si pelayan tadi, yang terus saja tunjuk pemuda kita dengan seruannya, “Nah, ini dia! ini dia!”

Beberapa orang itu lantas saja kurung Siau Hoo.

“Kau jangan lari!” beberapa orang kata, “Kiranya kau Kang Siau Hoo! Orang memang hendak bekuk kau!“

Ketika itu si Gemuk lari keluar, mukanya masih berlepotan bak dan arak.

“Tangkap dia! Tangkap dia!“ ia menjerit-jerit. “Dia telah pukul aku dan buat hancur guciku juga, dua guci arak sampai habis! Suruh dia ganti kerugian!”

Siau Hoo gusar melihat sikapnya orang-orang itu.

“Kau sekalian hendak berbuat apa?” ia tanya. “Apakah Kie Kong Kiat yang titahkan kau datang kemari? Kalau dia ada di sini, suruh dia lekas datang kemari, aku memang hendak cari dia! Kau semua tidak punya urusan dengan aku, jangan kau tidak tahu gelagat dan membangkitkan kemurkaanku! Pedangku tidak kenal kasihan!”

“Eh, bocah, jangan ngebul!” beberapa orang itu mengejek. “Lekas lemparkan pedangmu, mari turut kami menghadap Su Thayya. Thayya kami dengan Kie Toaya adalah paman dan keponakan, ketika kemarin dahulu Kie Toaya datang kemari, dia minta Su Thayya tolong tangkap kau! Kau ada berandal, kejahatanmu saling-susun. Orang- orang Kun Lun Pay dan Liong Bun-hiap justeru hendak tawan kau!”

Bukan main mendongkolnya Siau Hoo akan dengar semua ocehan itu. “Ngaco-belo!” ia membentak. Ia terus geraki pedangnya menyabet enam orang itu.

Mereka semua belum tahu liehaynya pemuda kita, mereka menangkis dan menyerang, sikapnya sangat garang.

Baru saja tiga jurus, Siau Hoo sudah buat empat orang terluka dan rubuh, hingga orang jadi gempar. Disitu memang telah berkumpul banyak orang lain.

“Perkara jiwa! Perkara jiwa!” mereka berteriak-teriak.

Si Gemuk lalu sambil pentang kedua tangannya, ia lari berteriak-teriak: “Orang Polisi Orang Polisi! Perkara jiwa!”

Siau Hoo tidak perdulikan kekalutan. Ia loncat naik atas kudanya, kemudian ia lukai sisa dua lawannya, sesudah mana, bersama kudanya jalan ke arah Timur-selatan. Ia rasakan hatinya seperti dibakar. Ia gusar benar terhadap Kie Kong Kiat. Saat itu kalau ia ketemu orang she Kie itu, ia akan membunuhnya sekali-pun ia mesti akan langgar pesan gurunya.

Pemuda itu baru melalui belasan lie ketika di belakangnya ia dapat kenyataan ada mendatangi serombongan penunggang kuda. Ia sangka orang kejar ia, ia tahan kudanya dan lantas hunus pedanguya.

Rombongan itu terdiri dari duabelas orang, semuanya muda, yang terdepan kudanya berbulu kuning, bertubuh tinggi dan besar, pakaiannya mewah.

“Eh, apakah kau susul aku?” Siau Hoo tanya mereka. “Kita ada orang yang sedang melakukan perjalanan!“

kata orang yang terdepan itu, mukanya diangkat.

Siau Hoo mengawasi, orang semua bawa golok tapi tanpa buntalan, maka ia lantas bersenyum ewah, ia manggut-manggut. “Baik!” kata ia. “Kau ambil jalanmu, aku  jalanku sendiri, kita tidak punya sangkutan!”

Ia balikkan pula kudanya, ke Timur selatan.

Rombongan itu juga larikan kudanya agaknya mereka mengejar.

Siau Hoo yang lihat sikap mereka itu jadi mendongkol, maka ia cabut pula pedangnya yang tadi ia telah masukan ke sarungnya. Selagi ia hendak balikkan kudanya, tiba-tiba rombongan tadi, dengan berbaris teratur, maju menerabas,

Siau Hoo hendak singkirkan diri tetap sudah kasep, ia kena keterjang juga, hingga ia terpelanting dari atas pelana, tapi ia ada punya kegesitan, selagi terpelanting ia loncat terus kepinggir, kakinya menginjak tanah tanpa terguling. sedang dengan ujung pedangnya, ia samber dua penunggang kuda yang paling belakang. Mereka ini tahan kuda mereka, sehingga kuda itu berjingkrak, atas mana mereka lantas tergelincir jatuh.

Siau Hoo terus lari mengejar lawannya yang lainnya, terutama orang yang jadi pemimpin. Mereka ini sudah lari cukup jauh, tetapi larinya pemuda kita bukan main kerasnya.

“Ayo!“ berseru si orang tinggi besar, yang tunggang kuda kuning. Ia menoleh ke belakang, ia lihat musuh tinggal kira- kira dua puluh tindak dari ia.

“Sungguh cepat larinya,” berteriak kawan-kawannya, “Su-ya, hati-hati!”

Orang yang dipanggil Su-ya adalah orang tinggi besar diatas kuda kuning itu. Ia ini kaget, ia coba keprak kudanya supaya kabur, dilain pihak ia raba goloknya. Akan tetapi belum sempat ia hunus senjatanya itu, Siau Ho sudah loncat kepadanya, cepat laksana menyambernya seekor elang, sebelum ia bisa berbuat sesuatu apa, ia telah menjerit. “Aduh!” dan tubuhnya rubuh terguling dari atas kudanya.

Penunggang-penunggang kuda lainnnya jadi kaget sekali.

Siau Hoo belum puas, ia loncat pada orang tinggi besar itu, sambil kakinya menginjak, pedangnya ditusukkan, maka pundaknya “Suya” itu lantas menyemburkan darah dan ia lantas pingsan.

Dan sisa sebelas orang, satu yang lain kabur bersama dua kawannya yang tadi rubuh, tinggal delapan yang tidak kenal takut, mereka turun dari kuda dengan mengeluarkan golok, segera mereka menyerang pemuda kita.

Siau Hoo tidak kenal takut, ia memang sedang panas. Baru beberapa gebrak, dengan ia loncat saja dan loncat sini, ia telab rubuhkan enam musuh, atas mana yang dua lainya terus saja lari berkuda mereka. dan kabur lebih juh.

Siau Hoo masih ingat akan pesan gurunya, ia lukai enteng pada semua musuh itu, diantara siapa sudah ada yang merayap bangun. Orang yang tinggi besar sudah sadar dari pingsannya, ia terluka pada bahunya, ia  merintih kesakitan.

Siau Hoo, melihat kelilingan, ia cari kudanya kemudian dengan duduk atasnya, ia menghampiri tujuh kurbannya, semua sudah tidak berdaya.

“Jangankan baru berjumlah dua-belas,” kata ia dengan tertawa menghina, “kalau orang-orang berkepandaian semacam kau ini, seratus lima puluh orang-pun aku tidak takut! Aku tidak ingin celakai orang tetapi sekarang adalah kau yang berbuat jahat. Satu laki-laki mesti berkelahi satu dengan satu, siapa main kerubut, menang juga bukannya laki-laki sejati, hanya manusia hina dina! Tadi kau dan kawan-kawanmu sengaja hendak terjang itu orang lain, pasti ia akan binasa dibawah injakan kaki kudamu sekalian. Berandal sekali-pun tidak sekejam kau ini.”

Bukan main mendongkolnya Siau Hoo sesaat itu, sampai ia mendekati dengan roman bengis, pedangnya diangkat.

“Ampun, tuan Kang, ampun!“ beberapa orang itu lantas memohon mereka berlutut. “Sayang kita melek tetapi seperti btua hingga tak kenali kau. Harap tuan tidak persalahkan kita, juga jangan Su-ya ini, semua ada salahnya Kie Kong Kiat, dia tidak saja tempelkan banyak pemberitahuan, dia-pun anjurkan kita akan tawan padamu. Memang Suya ajak kita buat tabrakkan supaya kau dapat ditangkap untuk nanti diperlihatkan kepada Kie Kong Kiat. Su-ya kita ini adalah keponakan luar dari Long Bun Hiap Kie Looya, dengan begitu Kie Kong Kiat ada jadi keponakannya ...”

“Sekarang Kie Kong Kiat ada dimana?“ Siau Hoo tanya.

“Kie Kong Kiat baru berangkat kemarin dulu ke rumahnya Lau Ceng Hou di Siang-sui akan cari kau, tuan,” seorang menerangkannya.

Siau Hoo manggut.

“Baik, aku segera susul padanya!“ ia kata. Ia  baru hendak jalankan kudanya, ia lihat mendatanginya serombongan kuda kereta. Ia mengira pada orang-orangnya si Suya, ia lantas siap, tetapi mereka ada orang-orang yang berlalu-lintas, yang tadi perjalanannya tertunda karena pertempuran. Ia masukkan pedangnya kedalam serangka, ia datang dekat pada rombongan itu, ia memberi hormat.

“Tuan-tuan ada orang-orang perjalanan, adakah tuan- tuan lihat disepanjang jalan pemberitahuan untuk menangkap Kang Siau Hoo?” ia tanya mereka itu. “Selama diperjalanan kita tidak perhatikan itu,” sahut beberapa orang.

Siau Hoo manggut.

“Penulis dari pemberitahuan itu adalah Kie Kong Kiat,” ia beri tahu, “dan orang yang dia hendak tangkap bernama Kang Siau Hoo. Kang Siau Hoo itu adalah aku sendiri! Aku ada satu laki-laki, belum pernah aku jadi penjahat, belum pernah aku langgar peraturan negeri, malah Kie Kong Kiat tidak kenal aku, seperti aku tidak kenal dia, karena kita tidak bermusuhan satu pada lain, hanya dia telah kena digosok-gosok oleh orang-orang Kun Lun Pay, jadi dia sengaja menghina dan membusuki aku. Maka itu tuan-tuan bisa mengerti yang aku tak dapat menahan sabar! Mereka itu ada kawan-kawannya Kie Kong Kiat, mereka celakai aku, aku terpaksa lukai mereka. Bukankah tuan-tuan telah saksikan sendiri duduknya kejadian? Bukan maksudku akan buat mereka celaka. Maka sekarang aku minta tuan-tuan suka menjadi saksi, dimana saja tuan-tuan sampai, tolong tuan-tuan uwarkan kejadian ini, dan dimana saja tuan-tuan lihat pemberitahuan yang aku sebutkan, tolonglah singkirkan semua, robek kertasnya atau busak surat- suratnya.”

Semua orang itu, kebanyakan saudagar, suka terima permintaan itu.

“Terima kasih untuk kebaikanmu sekalain, tuan!“ kata pula Siau Hoo, yang terus memberi hormat, sesudah mana, ia larikan kudanya meningalkan semua kurbannya itu. Tujuannya tetap arah Timur selatan.

Disepanjang jalan, Siau Hoo terus berpikir.

“Suhu pesan aku untuk aku jangan sembarangan lukai orang, akan tetapi Kie Kong Kiat ini tak dapat aku mengampuninya. Bila aku bertemu padanya, pedangku tak harus kenal kasihan lagi!“

Sore itu juga Siau Hoo sampai di Siangsui. Lau Ceng Hou bukannya satu hartawan besar, tetapi ia ada cukup ternama, Siau Hoo-pun sudah pernah datang kerumahnya, maka itu ia langsung menuju kerumah sahabat itu. Baru ia memasuki kampung, beberapa muridnya tuan rumah sudah sambut ia sambil memberi hormat.

“Oh, Kang Su-siok sudah kembali!“ mereka itu menyambut.

Siau Hoo ada dikenal disini, sebab sehabis pibu dengan Lau Ceng Hou, keduanya jadi bersahabat itu dan untuk beberapa hari tuan rumah minta ia tinggal bersama, hingga semua muridnya Ceng Hou kenal padanya.

“Adakah tamu yang datang kemari mencari aku?“ kemudian Siau Hoo tanya. Inilah tujuannya yang utama.

“Ada, susiok,” sahut satu murid. “Kemarin Kie Kong Kiat datang kemari mencari susiok. Dia datang bertiga.”

Siau Hoo buka matanya lebar-lebar.

“Dimana mereka sekarang?“ tanya ia, hatinya tegang benar.

“Kemarin juga mereka lanjutkan perjalanan mereka,” sahut pula murid itu. “Kami beri keterangan pada mereka bahwa suhu sudah pergi ke Sinyang. Kie Kong Kiat  rupanya menyangka susiok pergi bersama-sama suhu. Diwaktu mau berlalu, mereka tempel beberapa lembar kertas di pintu, bunyinya adalah untuk tangkap susiok. Sebenarnya kami panas, tapi sebab suhu tidak ada dirumah dan dia memangnya lihay, terpaksa kami antap saja, hanya setelah mereka tidak ada, segera kami singkirkan semua surat tempelan itu.” “Kurang ajar!” Siau Hoo berseru. “Biar aku susul mereka!“

Lantas ia putar kudanya dan beri lari, hingga semua muridnya Lau Ceng Hou melengak mengawasi padanya. Itu hari terus satu malam Siau Hoo kabur bersama kudanya, besoknya pagi ia sampai didistrik Ceng yang, Kanglam-hu. Ia masih bersemangat tapi toh ia berdahaga dan lapar. Ia sampai di Pak-kwan, kota Utara. Disini ia cari rumah makan, tetapi bukannya ia lantas dapati itu, ia justru hadapi pemandangan mata yang mengharukan hati. Dari depannya ada mendatangi serombongan besar rakyat jelata, yang pakaiaannya tak keruan, mirip dengan dandanan pengemis saja, dan mereka itu, lelaki dan perempuan, ada yang pimpin orang-orang tua, ada yang tuntun anak-anak kecil, kebanyakan menggendol pauhok butut, ada juga yang bawa botol pecah, dengan berlerot mereka menuju ke Selatan.

Siau Hoo kuatir kena terjang rombongan itu, lekas-lekas ia turun dari kudanya.

“Kau kenapa dan hendak pergi kemana?’ ia tanya satu orang.

Orang itu menyahut, lantas ia jalan terus. Ia  bicara dengan bahasa daerah lain tempat Siau Hoo tidak dengar nyata, ia tidak mengart. Baiknya disitu ada seorang, yang dandan seperti pedagang, yang tolong beri keterangan padanya, katanya : “Mereka ini ada penduduk bersengsara dari Hoay Pak, karena sungai Hoay Hoo pecah gili-gilinya, airnya merusak sawah kebun mereka, mereka hendak mengungsi ke Hoolam. Hari ini disana ada orang mengamal uang, mereka hendak pergi akan terima uang itu.”

Siau Hoo manggut-manggut untuk keterangan ini. “Entah siapa yang mengamal uang,” ia pikir. “Dia mesti ada hartawan yang murah hatinya ...”

Orang banyak itu ada terdiri dan beberapa ratus jiwa, mereka buat padat jalan besar, hingga ada sejumlah kuda kereta yang terhalang jalannya dan mesti ditunda ditepi jalan. Siau Hoo-pun turut terhalang jalannya. Syukur di pinggir jalan ada sebuah hotel, dengan paksa menumpang jalan, ia bisa tuntun kudanya. akan memasuki rumah penginapan itu, setelah serahkan kudanya pada jongos, ia berdiri didepan pintu, ia lupa akan lapar dan dahaganya, ia mengawasi orang banyak yang berduyun-duyun.

“Kasihan mereka ... “ pikirnya. “Aku ada punya empat ratus tail, kenapa aku mengamal sedikit kepada mereka?”

Disitu-pun ada menonton jongos lainnya dan tamu hotel itu.

“Ini dia yang dinamakan pintu amal sukar dibuka pintu awal sukar ditutup,” kata satu tamu sambil menghela napas. “Di toko beras disana ada menumpang satu tamu muda, kelilatannya dia bukan orang hartawan, tetapi dia berhati baik, tadi dia keluarkan lima tail perak, dia tukar dengan perak hancur, ia mengamal pada beberapa pengungsi. Habis itu, celaka betul. Kabar itu tersiar, dari satu sampai sepuluh, dari sepuluh sampai seratus, lantas datang semakin banyak pengungsi lainnya, mereka berdesak-desak sampai pintunya toko beras hampir rubuh. Biar-pun andaikata tamu itu ada punya limaratus tail perak, dia masih belum sanggup mengamal pada semua pengungsi...”

Perkataan-perkataan itu menjadikan Siau Hoo ingin lihat pemuda berhati murah itu, dia ada satu anaknya pembesar atau bukan. Ia lantas nyelak diantara orang banyak. Ia ada kuat dan gesit, ia berlasil membuka jalan, hingga lekas juga ia sudah sampai dimuka toko beras yang dimaksudkan. Disini suara orang ada sangat berisik.

“Pousat Looya, aku belun dibagi,” terdengar seorang memohon. “Kami kelaparan hampir mati, aku ada punya ibu yang sudah berumur delapan puluh tahun ... ”

“Tolong, tolong... “ demikian satu nyonya, yang mengempo satu bocah seperti tinggal kulit membungkus tulang, dia angkat tangannya.

Suara mengeluh lainnya-pun terdengar saling susul.

Pintu toko telah dikunci, diatas tembok muncul satu pemuda.

“Sekarang aku tidak punya uang sekali-pun satu chie “ katanya. “Seratus tail perak lebih aku telah dermakan, malah uang sahabatku-pun aku kena pakai! Aku sudah  tidak punya uang lagi ... ”

Orang ramai itu masih tidak mau bubaran.

“Tolong, tolong ... “ demikian beberapa suara. “Tolong, Pau-sat ...”

Siau Hoo tidak perdulikan orang banak, ia hanya awasi pemuda itu usia siapa bersamaan dengan usianya sendiri, orangnya kecil dan gesit, kulit mukanya sedikit hitam, pakaiannya hijau dipingangnya terikat angkin. Kelihatannya dia itu mengerti ilmu silat. Ia bersimpati kepada pemuda itu. Cepat ia lantas ambil putusan.

“Dia sudah tidak punya uang, aku ada!“ ia lantas serukan orang ramai. “Mari turut aku! Aku ada punya tiga atau empat ratus tail peak, nanti aku bagi-bagikan kepada kamu sekalian! Mari ikut aku!“

Suara ini terang tetapi suara berisik melenyapkan itu, Siau Hoo mengulangi sampai dua tiga kali, tetapi orang ramai tidak. mendengarnya, masih orang kerumuni pemuda diatas tembok itu.

“Pousat Looya, tolong ..“ demikian snaia riuh itu.

Siau Hoo kewalahan juga, sedang ia-pun di desak dari sana-sini.

“Sayang aku tidak bawa uangku, kalau tidak, aku bisa lantas membaginya sekarang,” pikir ia yang  sesaat kemudian ingat, uangnya ada separuh perak potongan dan yang lainnya ada uang kertas dari cianchong di Long-tiong. Bagaimana semua itu bisa dijadikan uang hancur?

Pemuda diatas tembok berseru pula:

“Benar-benar aku sudah tidak punya uang! Besok aku akan bagikan seorang dua chie! Aku nanti sediakan beberapa ratus tail, sesudah itu dibagi habis, baru selesai ...”

“Ah, pemuda ini omong besar, dia mestinya hartawan,” Siau Hoo pikir.

Ketika itu ditembok muncul dua orang baru, mereka ini lantas berseru: “Kenapa kau masih tidak mau bubarkan? Datanglah besok pagi, pasti kau akan dibagikan pula uang!”

Dari dua orang itu, yang satu kurus sekali, matanya sebelah, dan yang satunya pula ada sedikit gemuk dan mukanya hitam, kumisnya sedikit. Mengawasi orang itu, Siau Hoo rasa-rasanya kenal, ketika ia mengingat-ingat, ia segera ingat Lau Cie Wan.

“Ah tidak salah, inilah dia!” ia merasa pasti. “Kalau begitu, pemuda dermawan ini mestinya Kie Kong Kiat ...”

Tiba-tiba pemuda kita jadi tawar hatinya. Tidak buang tempo lagi ia nyelak antara orang bayak akan berjalan pulang, sesampainya dihotel, terus ia dahar, kemudian ia beristirahat. Dipekarangan, jongos-jongos dari sejumlah tamu lagi bicarakan urusan amal tadi. Kemudian seorang terdengar berkata: “Pemuda itu rupanya ada orang polisi yang datang kemari untuk dinasnya. Lihat sekarang dia menghindar dijalan besar, bersama kawannya dia lagi menempelkan surat pemberitahuan untuk menangkap seorang yang bernama Kang Siau Hoo ... “

Siau Hoo dengar itu tetap hatinya tak panas lagi.

“Biar dia tempelkan,” kata ia dalam  hatinya, “Pedangnya Kang Siau Hoo tida nanti buat celaka orang dermawan!”

Benar-benar, hari itu Siau Hio tidak keluar dari hotelnya. Sorenya ia suruh satu jongos coba cari keterangan, hasilnya adalah bahwa si pemuda dermawan benar Kie Kong Kiat, dia masih menumpang ditoko beras tadi, bahwa ditoko itu ada pengungsi yang menantikan, akan lewati sang malam di depan toko, untuk besoknya bisa terima amal pula.

“Inilah aneh juga,” pikir Siau Hoo. “Pasti sekali Kie Kong Kiat bukannya seorang hartawan, kalau sekarang uangnya tetah diamalkan habis. besok pagi dari mana ia bisa peroleh lagi beberapa ratus tail perak?”

Maka itu, selagi jongos nyalakan pelila, ia tanya: “Tempatmu ini ada suatu tempat kecil, disini mestinya tidak ada hartawan besar, bukan?”

“Kenapa tidak, tuan?” sahut sang jongos. “Disebelah utara sana-ada Ku Pek Ban dari Ku-kee-chung, dia ada terlebih kaya daripada siapa juga!”

Siau Hoo tertawa.

“Jadi disini cuma ada Ku Pek Ban, tidak ada hartawan besar yang keduanya!“ kata ia. “Ya, benar, tidak ada lagi yang lainnya,” jongos itu kata pula. “Tapi apa ini satu tidak cukup? Dia ada turunan dari menteri Hu-pou Long-tiong, orang katakan dia berharta pek ban, seratus laksa, sebenarnya uangnya cian-ban, seribu laksa,-pun ada! Sekali-pun di Kanglam-hu, di Sinyang ciu, tidak ada orang yang melebihi kekayaannya?”

Siau Hoo bersenyum, tetapi ia tanya pula. “Disini ada berkumpul banyak pengungsi melarat, kenapa hartawan itu tidak mau mengamal?”

“Ku Tao-wan-gwee itu, kalau dia hamburkari uangnya satu chie saja, dia rasakan sakitnya sampai dihatinya! Kalau tidak, mustahil orang juluki dia Ku si Kikir?“ sahut si jongos.

Siau Hoo tersenyum tawar.

Jongos itu letaki pelitanya, lantas ia undurkan diri, tapi begitu lekas orang ke luar, Siau Hoo padamkan penerangan itu, kemudian ia berjalan keluar.

Pada jam satu seperti itu, dijalan besar masih hanyak orang mundar mandir terutama kaum pengungsi yang mengemis disepanjang jalan, yang datangi sesuatu rumah buat minta-minta. Banyak rumah masih belum kunci pintu, juga toko atau warung.

Siau Hoo menghampiri sebuah restoran didepan mana ada dipasang tetarap, penerangannya ada tiga buah pelita. Disitu ada sejumlah orang duduk minum arak sambil mengobrol. atau main tiokie (catur Tionghoa). Ia menghampiri sebuah meja yang terujung, ia minta arak, akan minum pelahan-lahan, supaya ia bisa dengar pembicaraan orang disitu.

Kira-kira jam dua, kebanyakan dari tukang ngobrol itu sudah pada pergi tapi Siau Hoo masih duduk terus, matanya mengawasi kejalan besar, sampai tiba-tiba ia lihat seorang lewat dengan tindakan cepat. Orang itu datang dari selatan, pakaiannya berwarna hijau yang ringkas, sebelah tangannya mengempit satu bungkus kecil. tetapi panjang. Ia bermata awas, Ia segera kenali, orang itu Kie Kong Kiat adanya. Maka segera ia bayar uang araknya, ia keluar akan menyusul, ke Utara.

Malam itu ada gelap, dengan hati-hati Siau Hoo susul orang she Kie itu, sesudah mereka terpisah kira-kira dua puluh tindak, ia mulai menguitit tertebih hati-hati. Kalau orang yang dikuntit jalan dijalan besar, Siau Hoo jalan di pinggir, antara pohon kaoliang. Kong Kiat tidak tahu ada orang menguntit, dia jalan terus dengan cepat, sampai kemudian dia biluk ke Timur, memasuki tempat lebat dengan pohon cemara.

Siau Hoo berlaku semakin hati-hati menguntitnya. Ia- pun tidak bawa pedang, kalau ia kepergok, ia bisa hadapi ancaman bencana. Maka itu, ia antap orang jalan sekian lama, barulah ia memasuki rimba.

Ia jalan dengan tubuh membungkuk. Sekarang ia injak rumput yang lembek. Selagi ia jalan, tiba-tiba ada suatu benda yang melesat dibawah selangkangannya, entah kelinci, entah rusa, maka ia merandek, ia pasang kupingnya. Diantara suara jangkrik ia-pun dengar tindakan kaki pelahan sekali. Ia lekas sembunyikan diri.

Segera juga kelihatan Kie Kong Kiat kembali, pedangnya telah dihunus, rupanya dia dengar suara itu, dia balik untuk mencari tahu. Siau Hoo bercokol dicabang pohon, dari situ dengan leluasa ia mengawasi.

Selang sekian lama, Kie Kong Kiat keluar pula  dari rimba itu, maka Siau Hoo lantas turun dari pohon akan menguntit terus. Disebelah depan ada satu kali kecil yang airnya jernih, diatas mana bintang-bintang seperti berkaca.

Kie Kong Kiat jalan ke Barat, ia injak jembatan papan akan seberangi kali itu.

Siau Hoo terus menguntit, ia selalu sembunyi diantara pohon kaoliang atau gandum. Ia  jalan sampai ia lihat cahaya terang disebelah depan, rupanya itu ada sebuah kampung.

Selama itu, mereka sudah melalui tiga lie lebih.

Benar saja didepan ada sebuah kampung. Sampai disini Kong Kiat masuk keladang kaoliang. Dengan terpaksa sekarang Siau Hoo mengikuti langsung. Lama juga ia jalan, ketika kemudian ia muncul dilain tepi dari ladang itu, ia kehilangn Kie Kong Kiat. Di depannya ia lihat nyata cahaya api suram didalam kampung, dimana ada banyak pepohonannya. Pelita ada dua buah ia tidak mencari si anak muda, ia lantas jalan mutar dan pergi ke belakang, ialah belakang rumah besar yang terkurung tembok tinggi dan luas, diatas tembok ada dipancar paku berupa pelatok kayu soanco, hingga mirip dengan tembok penjaga saja. Tapi toh dengan gampang Siau Hoo bisa loncat naik, akan berdiri diatas tembok itu. Ia memasang mata dan kuping.

Tidak lama, lalu terdengar tiga kali suara kentongan.

Siau Hoo ikat keras sepatunya, lalu ia loncat keatas genteng dari sebuah rumah besar yang hampir nempel dengan tembok itu. Dari sini ia merayap ke depan. ia dapat kenyataan Ku-kee-chung ada besar sekali. Ia-pun menandakan kekayaannya Ku Pek Ban. Sebab ini adalah rumahnya si hartawan yang merkis atau kikir itu.

“Kenapa orang begini hartawan tetapt kikir?“ Siau Hoo pikir. “Guru pesan aku mesti tolong orang bersengsara, maka baik aku ambil uangnya hartawan ini,  akan  bantui Kie Kong Kiat menolong sekalian pengungsi itu. Ini toh bukannya pencurian? ...”

Lantas Siau Hoo melongok kebawah. Dikamar Timur dan Utara, semua ada apinya. Api dikamar Utara ada terlebah terang.

“Sekarang masih siang, baik aku tunggu dulu sebentar,” pikir Siau Hoo.

Tidak terlalu lama, dari kamar Utara ke luar seorang perempuan, yang pergi ke kamar Barat.

Siau Hoo lantas ikuti perempuan itu, yang tidak masuk kekamar hanya berhenti didepan pintu, akan perdengarkan suaranya! “Looya, Jie-thaythay minta kau beristirahat, sekarang sudah tidak siang lagi.”

Dari kamar Barat itu terdengar nyata suara shui-phoa, lalu terdenar suara jawaban tidak sabaran, katanya: “Penghitungan belum habis, suruh ia tidur lebih dulu!”

Atas itu, orang perempuan itu lantas kembali ke kamar Utara.

Tidak lama, pintu kamar Utara itu ditutup, api penerangan nyapun dipadamkan.

Dikamar Barat, suara shui-phoa masih berisik, tercampur suara bicara.

Sekarang Siau Hoo merayap kepayon, untuk bisa melongok kebawah, kedalam kamar. Ia mengawasi dari antara jendela. Ia tampak sebuah kamar seperti kamar tulis. Ada sebuah meja diatas mana, kecuali lampu, ada banyak buku. Tiga orang mengitari meja yang besar itu. Lembaran buku dibalik-balik, shui-phoa diketik berulang-ulang. Tukang ketik pesawat hitung itu ada seorang dengan rambut ubanan pakaiannya mewah. Seorang lain, yang berkumis, mukanya sedikit hitam, ada sepotong dagingnya yang nonjol. Di belakang dia ini ada satu kacung perempuan mengipasi padanya. Dia rupanya adalah Si loo- ya atau majikan, dia pegangi buku, mulutnya setiap kali menyebut:

“Dua ratus lima-puluh, tiga ribu tujuh ratus enam-puluh, empat-ratus delapan-puluh, lima-ratus tepat.“ Mengikuti sebutan itu, Si empek mainkan jari tangannya.

Mengertilah Siau Hoo sekarang. Orang bukan lagi baca buku hanya sedang menjumlah uang.

Bujang perempuan itu rupanya sudah mengipas terlalu lama, tangannya pegal, kakinya pegal juga, matanya kesap- kesip, satu kali dia salah mengipas, ia kena kebut lampu, serentak api padam, kamar jadi gelap.

Siau Hoo terkejut, segera ia naik ke genteng.

“Tolol!“ terdengar caciannya si looya, tangan siapa rupanya melayang kemuka bujangnya, kedengaran suara “Plok!“ Tapi tidak terdengar tangisan, rupanya bujang itu takut.

Cepat sekali Siau Hoo loncat turun, ia menghampiri pintu, akan buka itu dan masuk kedalam. Ia tidak terbitkan suara apa juga.

Si looya, dalam gelap-gulita, sedang sibuk.

“Mana api? Mana api?“ ia menjerit berulang-ulang. “Ada, disini, disini,” kata si empe. Ia nyalakan api, ia

terus pasang lampu. “Tolol! tolol!“ Si looya mencaci berulang-ulang. “Hayo, mulai lagi ... Tujuh-ratus enam-puluh, dua-ribu duaratus, empat ratus lima-puluh.

Si empe mainkan pula jari tangannya, dan si bujang perempuan mengipas lagi, air matanya masih meleleh.

Siau Hoo sementara itu telah mendekam dikolong pembaringan bambu, cahaya api yang suram ada menolong kepadanya, sedang tuan rumah dan kuasanya sedikit-pun tidak bercuriga. Si nona, seluinnya ngantuk,-pun ada berduka, matanya kembali sering kesap kesip.

Siau Hoo mendekam dengan hati panas. Ia  ingin terbaliki pembaringan, akan nyerbu buat robek semua buku, untuk hancurkan shui-phoa, akan akhirnya paksa si kikir ini keluarkan uangnya buat dipakai menolong sekalian pengungsi. Tapi perbuatan berterang semacam ini ia tidak niat lakukan. Maka terpaksa ia sabarkan hati.

Tidak tama, jam empat telah sampai, perhitungan telah dilakukan selesai. Si hartawan dan kuasanya sudah ngantuk sekali. Hartawan itu buka lemarinya buat simpan semua buku, lalu lemari itu ia kuci pula. Setelah si bujang padamkan api, bertiga mereka keluar dari kamar itu, yang terus dikunci dari luar.

Siau Hoo merayap keluar begitu ia dengar suara anak kunci, ia menghampiri jendela akan melihat  keluar.  Kalau si empe pergi keluar, si hartawan dan bujangnya pergi ke kamar Utara, dimana sinar api segera menyala lagi sekian lama, baru padam pula.

Lantas Siau Hoo menghampiri lemari, ia raba kuncinya, yang besar dan kuat, tetapi ditangannya, kunci itu tidak ada dayanya, dengan mudah pintu lemari dibuka. Belasan buku kena diraba, juga dua bungkusan uang yang besar serta empat atau lima bakul uang rece, tang-chie. Ia menghampiri lagi jendela untuk pentang itu, baru ia ikat dua  bungkus uang itu digendol dipundaknya. Ia merasa uang itu berat kira-kira lima puluh kati. Ia anggap uang ini cukup untuk nengamal pada semua pengungsi. Ketika ia hendak angkat kaki, ia-pun bawa orang punya buku. Ia lantas loncat keluar dari jendela. Disaat ia hendak loncat naik keatas genteng, ia dengar suara gembreng diluar kampung, ia terkejut, tapi toh ia teruskan loncat naik keatas, menuju ke kamar Utara.

Dikamar Utara ini, Si looya sedang hendak tidur sama jie-thaythay, isterinya yang ke dua, ketika ia terperanjat karena suara gembreng itu. Ia lantas berteriak : “Ada penjahat!“

Semua itu Siau Hoo tidak perdulikan, ia loncat akan lewati tembok, terus turun ketanah, buat ambil jalan semula tadi ia masuk dalam ladang kao-liang, terus kejalan kecil. Ia lihat cahaya terang ditempat banyak pepohonan, ia dengar suara berisik dari pertempuran. Ia percaya Ke Kong Kiat telah kepergok. Dalam hatinya ia anggap orang she Kie itu kurang sempurna perbuatannya, belum apa-apa sudah orang dapat ketahui. Tadinya ia hendak pergi menolongi atau membantui, tapi kapan ia ingat  pemuda itu sudah tempel pemberitahuan untuk tangkap padanya, dia jadi mendongkol. Maka ia batal menolongnya.

Demikian pemuda she Kang ini lari terus ke Barat- selatan. terus sampai dikali kecil. Disini ia lemparkan semua buku kedalam kali. Dengan meloncat ia seberangi kali itu. Sampai dseberang, ia mengawasi ketempat suara pertempuran Lath dmana ada cahaya api.

Tidak antara lama, Siau Hoo lihat tiga orang berlari-lari kejalanan kecil.

“Dia tentu Kie Kong Kiat,” Siau Hoo, menduga-duga. Sebelum Kie Kong Kiat sampai ditepi kali dimana ia bisa cari jembatan, dibelakannya sudah mengejar dua orang, rupanya cinceng dari Ku Pek Ban, mereka ini bawa golok, berlari-lari sambil berterak: “Bangsat, jangan lari!”

Melihat demikian, Kie Kong Kiat putar tubuh akan layani musuh.

“Ha, mereka bertempur,” kata Siau Hoo dalam hatinya.

Dari tempat jauh, Siau Hoo tidak bisa lihat kepandaiannya orang itu, ia hanya tampak senjata tajam berkelebatan dan beradu bersuara nyaring. Pertempuran itu berjalan sampai dua-puluh jurus, keputusan belum juga datang. Dari sebelah Utara ada datang orang-orang Ku-kee- chung beserta lentera dan obornya terang-terang, lari dijalanan kecil, mereka mendatangi semakin dekat. Itu waktu Kie Kong Kiat justeru loncat mundur, akan loncati kali kecil.

Ketika itu, Siau Hoo sudah umpatkan diri kedalam tempat lebat, sedang Kie Kong Kiat menyingkir kelain sebelah.

Sampai ditepi kali, kawanan pengejar berhenti dengan pengejarannya, rupanya mereka jerih lancang memasuki rimba.

Sampai disitu, Siau Hoo tidak perdulikan pula pada Kie Kong Kiat. Ia lari, kepintu kota Utara dari Cengyang, dijalan besar ia tidak lihat siapa juga kecuali pengungsi- pengungsi, yang tidur menggeletak disana sini.

Siau Hoo lari sampai di depan toko beras, dia loncat naik keatas genteng. Disini ia bingung, ia tidak tahu Kie Kong Kiat tidur dikamar yang mana. Ia lantas letaki bungkusan uang diatas genteng, ia sendiri terus numprah akan menunggui sambil beristirahat. Ia menunggu belum sepuluh menit, lantas ia lihat orang loncat dari luar masuk kedalam pekarangan. Ia belum melihat nyata tapi dia duga orang itu tentunya Kie Kong Kiat, tidak ayal lagi ia  angkat bungkusan uang, ia lempar itu ke arah pemuda she Kie itu, hingga uang jatuh disamping Kong Kiat  sambil menerbilkan suara nyaring.

Selagi begitu berdiri diatas genteng, Siau Hoo tertawa gelak-gelak.

Kong Kiat sedang terkejut dan heran, mendengar suara tertawa ia angkat kepalanya, ia lihat bayangan berkelebat, ia lantas loncat naik, tetapi sesampainya diatas ia dapatkan bayangan tadi sudah lenyap. Ia memandang  kesekitarnya, ia tidak lihat apa juga. Terpaksa dengan masgul ia loncat turun.

Siau Hoo sementara itu telah pulang ke hotelnya, ia masuk kekamarnya dan terus tidur. Ia merasa puas akan hal yang ia lakukan itu. Keesoknya pagi, ia tersadar karena suara berisik diluar hotel. Dijendela telah muncul cahaya terang dari sang fajar. Ia berbangkit dan keluar. Pintu hotel masih belum dibuka, maka ia buka itu sendiri, hingga ia segera lihat lerotan pengungsi, ada yang pergi, ada yang pulang, hingga mereka jadi berdesak-desak. Mereka yang pulang, pulang dengan kegirangan, sebab mereka sudah dapat uang derma.

Diam-diam Siau Hoo tertawa sendirinya. Ia tahu Kie Kong Kiat gunai uangnya untuk tolong pengungsi itu. Ia- pun puas melihat kaum pengungsi itu kegirangan, karena dermanya sekarang ada lebih banyak daripada kemarinnya.

Kapan sebentar kemudian langit telah jadi terang, dari arah selatan mendatangi tiga penunggang kuda, ialah Kie Kong Kiat bersama Lau Cie Wan dan si picak sebelah Chio Cie Yau. Mereka ini sudah selesai dengan “amalannya” membagi uang. Disepanjang jalan ada banyak pengungsi yang berlutut menghaturkan terima kasih, meski demikian, tampang mukanya Kie Kong Kiat tidak gembira.

Siau Hoo lekas kembali ke kamarnya, ia perintah jongos siapkan kudanya, ia sendiri lekas-lekas cuci muka, akan dandan juga, setelah membayar uang, ia tuntun kudanya keluar dari hotel itu. Itu waktu kawanan pengungsi sudah jadi kurangan, toko atau warung-warung telah membuka tiamlang. Ketika Siau Hoo keluar dari Patkwan, ditepi jalan kelihatan pengungsi-pengungsi lagi repot dengan mereka punya phia yang besar. Mereka ini bisa beli phia dan dahar dengan bernapsu.

“Kemana perginya orang yang menderma uang?“ Siau Hoo tanya beberapa orang.

“Tiga dermawan itu pergi ke Selatan sana,” sahut beberapa orang sambil menunjuk.

Siau Hoo larikan kudanya, ia sudah menyusul dua-puluh lie lebih, ia tidak ketemukan Kie Kong Kiac bertiga. Lantas saja hatinya menjadi tawar, hingga ia tahan kudanya.

“Buat apa aku susul mereka?” pikir ia. “Tadinya aku hendak tempur dia, sebab dia tempel surat pemberitahuan akan bekuk aku. Sekarang ternyata dia ada satu hiapkek, buat apa aku ladeni padanya? Biar dia coba tangkap aku, aku sendiri balik kembali ke See-an akan ketemui Ah Loan. kemudian baru aku pergi ke Tin-pa dan Cie-yang untuk menuntut balas ...

Siau Hoo merasa lapar, maka ia larikan kudanya ke depan dimana ia lihat ada sebuah dusun. Ia berhenti di depan sebuah rumah makan, ia tambat kuda diluar pintu, ia masuk kedalam akan minta arak dan mie. Disaat ia hendak mulai dahar, ia dengar pertanyaan keras di depan pintu: “Kuda ini siapa yang punya?” ia lekas keluar, ia lihat empat orang, dua diluarnya dandan sebagai polisi.

“Kuda ini siapa punya?“ tanya pula seorang polisi, ia tunjuk kudanya pemuda kita.

“Itulah kudaku. Ada apa?“ Siau Hoo menjawab seraya balik menanya.

“Tidak apa-apa,” sahut opas itu, yang lantas putar tubuh untuk pergi. Tapi salah satu kawannya, yang bukan orang polisi, yang tubuhnya tidak jangkung, mengasi hormat pada Siau Hoo seraya terus menanya: “Apakah kau tahu kemana perginya orang she Kie yang mendema uang di Ceng- yang?”

“Aku tidak tahu,” jawab Siau Hoo sambil geleng kepalanya, “Aku tidak kenal orang itu.”

Mendapat jawababan orang itu manggut, terus ia mau bertindak.

“Eh, tunggu dulu,” Siau Hoo memanggil “Aku sedang minum, kau panggil aku untuk ditanya, apa habis dengan begini saja?”

Dua opas itu nenoleh, mata mereka melotot.

“Apa kau bilang? Apa aku mesti beri upah padamu?” tanya mereka.

Tapi seorang yang ke tiga, yang tubuhnya kate, lantas kata sambil tertawa : “Maa ... Aku lihat dikudamu ada pedangnya, kita sangka orang she Kie itu sedang minum arak disini. Orang she Kie itu ada satu penjahat, tadi malam dia telah datangi rumahny Ku Pek Ban dimana ia curi uang tujuh-ratus tail lebih, uang mana ia pakai untuk mengamal pada kaum pengungsi, setelah itu ia terus kabur. Aku Yo Kong Kiu, cinteng dan keluarga Ku, gelaranku yang tidak berarti adalah Lu-ciu-hiap. Dan ini adalah saudara angkatku, Hoa-lian-pa Lau Eng,” ia tunjuk orang yang rada jangkung itu. “Dan ini adalah dia orang polisi dari Cen- yang ialah Beng Toaya dan Kiang Suya. Kita sekarang hendak pergi cari orang she Kie itu, maafkan kita yang telah ganggu kau.”

Setelah berkata begitu, Yo Kong Kiu dengn tiga kawannya lantas nyemplak kudanya kabur ke Selatan.

Sekarang Siau Hoo, ketahui, adalah Yo Kong Kiu dan Lau Eng ini yang tadi malam tempur Kie Kong Kiat. Diam- diam ia tertawa sendirinya, karena ia anggap lucu kejadian yang semalam itu

Tapi kemudian ia pikir lain; “Dua orang ini ada punya bugee cukup baik, mereka ada dibantu oleh dua orang polisi, apabila mereka berhasil menawan Kie Kong Kiat hingga orang she kie ini dibawa kekantor, apa dia tidak penasaran? Uangnya Ku Pek Ban akulah yang ambil,  apabila terjadi perkara, aku yang mesti tanggung-jawab, kalau lain orang yang gantikan aku, aku bukannya satu hoohan ...

Ingat ini, Siau Hoo, lekas-lekas masuk kedalam, ia keringi araknya, ia bayar uangnya, lantas ia keluar pula, ia kaburkan kudanya menyusul Yo Kong Kiu berempat. Ia lari ke Selatan, sampai kira-kira melalui enam puluh lie, sampailah ia di daerah Sinyang, lalu seterusnya ia kuatit Yo Kong Kiu.

Disepanjang jalan, Yo Kong Kiu berempat sering ketemu orang-orang yang ia  kenal. Ketika  mereka sampai di Sinyang, mereka lantas pergi ke piau-tiamnya Say-Ui-Tiong Lau Khong.

Siau Hoo bersangi akan masuk kedalam kota. Ia pernah datang kekota ini dan piebu dengan Lau Khong untuk beberapa hari ia singah dirumahnya sahabat baru ini, hingga disitu-pun ia kenal beberapa orang lain. Sekarang ada urusan ini, yang ia kenal.

“Baik aku berhenti disni akan minum teh,” pikir ia akhirnya.

Dipintu Timur dari kota Sin-yang ini, selagi Siau Hoo cari rumah makan atau warung teh, ia lihat ditenbok dan rumah-rumah penginapan, atau di cio-pay di mulut jalanan, ada pemberitahuan untuk menawam dia, melihat mana kembali hatinya jadi panas. ia lantas menghampiri satu hotel. Ia tanya pemiliknya. “Siapa yang tulis ini?” Sambil menanya, ia tunjuk pemberitahuan itu.

“Satu tuan she Kie adalah yang tulis itu,” jawab tuan ramah. “Dia tidak cuma menulis saja, setiap kali tulis, ia kurbankan dua renceng uang ...”

“Kurang ajar!” kata Siau Hoo dalam hatinya. “Aku berikan dia uangnya Ku Pek Ban untuk mengamal, dia rupanya masih punya kelebihan banyak, maka sekarang ia gunakan uangnya itu akan mengasi persen pada orang- orang ditembok siapa ia main corat-coret! Inilah hebat!”

Lalu dengan mata melotot ia kata pada pemilik hotel itu: “Lekas kau hapuskan huruf-huruf itu! Apakah kau tidak tahu, Kang Siau Hoo itu adalah satabatnya Say-Ui Tiong Lau Khong dan Lau Kee Piau Tiam? Pada bulan yang lalu, Kang Siau Hoo pernah datang kemari, dia telah rubuhkan Lau Khong!“

“Sekali-pun ditemboknya Lau Kee Piau Tiam, dia-pun tulis pemberitahuan semacam ini,” kata si pemilik hotel. “Pertama kali datang kemari, orang she Kie itu telah kunjungi Lau Toa-ciangkui, ketika si orang  she  Kie menulis, Lau Toa-ciangkui berdiri mengawasi saja di pinggiran. Rupanya dia bersahabat dengan orang she Kie itu.”

Mendengar keterangan itu, Siau Hoo mendongkol.

“Oh, kalan begitu, demikian saja sifatnya Lau Khong!‘ kata ia dalam hatinya. “Aku mesti cari pula padanya, akan berikan hajaran lebih jauh!“

Baru Siau Hoo pikir untuk pergi ke Lau Kee Piau  tiam, ia lihat empat penunggang kuda lewat dengan cepat di depannya menuju ke Selatan, ia lantas kenali mereka adalah Yo Kong Kiu dan kawan-kawannya, maka ia-pun lantas loncat naik atas kudanya untuk menyusul.

Yo Kong Kiu tinggalkan kota Sin-yang mereka menuju ke Barat-selatan.

Siau Hoo menguntit belum ada tiga-puluh lie, sekonyong-konyong Yo Kong Kiu berempat tahan kuda mereka, untuk diputar balik buat papaki pemuda ini, demikian Siau Hoo tak dapat ketika buat meyingkir lagi.

Lu-ciu-hiap, jago dari Lu-ciu, tentawa, ia terus berkata : “Sahabat, kau telah kuntit kita buat tujuh atau delapan puluh lie, apakah kau sangka kita tidak tahu? Coba terangkan, sahabat, kau sebenarnya kandung pikiran apa?”

“Siau Hoo tahan kudanya, ia-pun tertawa.

“Aku hendak menonton keramaian!” sahut ia, yang tidak kekurangan akal. “Aku, hendak saksikan bagaimana caranya kau bekuk Kie Kong Kiat!”

Mendengar itu, kedua orang polisi maju mendekati. “Apakah kan kenal Kie Kong Kiat?“ mereka ini tanya,

mata mereka mendelik.

“Aku datang dari Cengyang,” sahut Siau Hoo dengan sabar, “disana aku tinggal dua hari, disana Kie Kong Kiat menderma uang, cara bagaimana aku tidak dapat tahu? Aku hanya tidak menyangka dia ada si pencuri uang! Sekarang aku hendak ikuti kau untuk menonton saja!”

“Dia mendusta!” tiba-tiba Hoa-lian-pa Lau Eng si Macan Tutul membentak.

“Mestinya dia ada konconya Kie Kong Kiat! Mari kita bekuk dia dulu!”

Yo Kong Kiu cegah kawannya.

“Sahabat, kau she apa?“ ia tanya dengan sabar. “Apakah adanya penghidupan kau?”

Kang Siau Hoo bersenyum.

“Aku she Kang,” ia menyahut, “di Kanglam aku ada punya satu piau-tiam, tetapi sekarang aku sedang pesiar di Utara, aku tidak punya urusan yang penting.”

“Karena kau ada orang Kangouw, gampang untuk kita bicara,” Yo Kong Kiu kata pula. “Aku berempat hendak tangkap Kie Kong Kiat, dia rupanya pergi ke Barat, barangkali dia akan lewati Siangyang akan terus menuju ke Han-tiong, tetapi tak perduli dia menyingkir kemana, kita tetap akan menyusulnya dan tangkap padanya. Kau sekarang ikuti kita, sebenarnya tidak ada apa-apa yang menarik hati untuk ditonton, apabila kau ada punya urusan yang penting, baiklah kau ambil jalanmu sendiri!”

Sehabs berkata begitu, Yo Kong Kiu bersenyum dingin, lantas ia larikan kudanya akan lanjutkan perjalanan tugasnya.

Hoa-lian-pa Lau Eng dan dua opas mencaci,  hanya dengan suara pelahan. Berempat mereka jalan sampai kira-kira dua lie, tatkala mereka menoleh, mereka lihat Siau Hoo kembali kuntit mereka, sedang tadi pemuda itu tidak hunjuk sikap apa jua.

Lau Fng jadi gusar hingga ia sudah lantas hunus goloknya.

“Pemuda itu menyebalkan, pasti kandung maksud tidak baik!“ ia bilang dengan sengit.

Dua opas-pun gusar, mereka hunus golok berbareng keluarkan borgolan.

“Tangkap saja padanya,“ kata mereka dengan keras. Yo Kong Kiu cegah kawan-kawannya itu.

“Jangan semberono,” ia memberi nasihat. “Dia rupanya mengerti ilmu silat, atau mungkin dia adalah Kang Siau Hoo. Bukankah tadi Say-Ui-Tiong Lau Khong beritahu kita bahwa Kang Siau Hoo pakai tudung rumput pakai cau-ee, bawa pedang dan menunggang kuda hitam?“

“Sekali-pun Kie Kong Kiu yang gagah kita  hendak tawan, kenapa kita takuti Kang Siau Hoo?” kata Luw Eng, yang masih gusar.

Sementara itu, Kang Siau Hoo sudah datang dekat pada mereka.

“Jangan kau sekalian curigai aku,” ia kata sembari tertawa. “Aku hendak pergi ke Barat akan urus urusanku, aku tidak akan jalan sama-sama kau pula. Ada baik aku jelaskan padamu sekalian, Kie Kong Kiat itu ada cucunya Liong Bun Hiap, bugeenya tidak boleh disamakan dengan bugeenya lain orang. aku kuatir bukan saja kau tidak akan manpu bekuk dia. Sebaliknya kau bisa dapat kerugian!” “Hal itu kau tidak usah perdulikan!” membentak Lau Eng seraya ia ayun gloknya. “Kau pasti ada konconya Kie Kong Kat, kau juga ada satu penjahat!”

Sambil mengucap demikian si Macan Tutul majukan kudanya, terus ia menyerang.

Siau Hoo berkelit sambil putarkan kepala kudanya, sambil berbuat demikian, dengan cambuknya ia sabet lengan lawannya. Lau Eng kesakitan hingga dia mesti lepaskan goloknya jatuh ketanah!

Menampak demikian, Yo Kong Kiu loncat turun dari kudanya, ia maju membacok pemuda kita.

Siau Hoo tidak turut loncat dari kuda, ia hanya tunggui cintengnya Ku! ek Ban itu, ketika golok menyamber, ia bungkukkan sedikit tubuhnya dan ulur sebelah tangannya. Cepat luar biasa ia  jepit belakang golok dengan jari tangannya, ketika ia melirik tangannya itu, golok lawan telah kena dirampasnya. Sesudah itu dengan bersenyum ia larikan kudanya.

Dua orang polisi itu jadi panas, mereka mengejar. “Binatang!“ mereka berteriak-teriak, “Kau juga bangsat!

Kau hendak lari?“

Siau Hoo lari terus sambil tertawa, dengan dua tangannya ia adui golok pada lututnya, sehingga patah jadi dua potong. Ia lempar potongan golok itu ketanah, ia lalu tertawa gelak-gelak.

Menampak demikian kedua hamba negara itu tidak berani mengejar lebih jauh, mereka hanya berdiri ternganga, sebagai mana  juga Yo Kong Kiu dan Lau Eng jadi tercengang. Siau Hoo larikan terus kudanya, ia ada sangat gembira, menuju ke Barat sampai diperbatasan propinsi Ou-pak. Ia tiba di sebuah dusun dengan sang waktu bukannya siang lagi. Ia lantas saja  cari rumah penginapan. Disini ia beristirahat satu malam. Keesokan paginya ia berangkat terus, lewat tengah harinya ia memasuki kota Siangyang.

Segera juga ia lihat dua orang, yang mirip dengan jongos hotel, ada bawa satu tahang air kapur abu-abu, setiap kali ketemu tembok, mereka sapu tembok itu. Ia heran, ia lantas mendekati mereka.

Dua orang itu berhenti di depannya satu warung rumput, ditemboknya yang kuning ada coretan huruf pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau Hoo, lantas semua huruf itu dibusak. Melihat demikian Siau Hoo merasa mendongkol berbareng lucu. Ia turun dari kudanya.

“Eh, apa yang kau kerjakan?“ ia tanya sambil tersenyum.

“Kita berdua ada kulinya Hoa-chio Pang Jie-ya disini,”sahut satu diantaranya. “Tadi siang ada datang Kie Kong Kiat, cucunya Liong Ban Hiap. Dia datang bersama dua orang, yang romannya seperti opas, bengis. Mereka kunjungi Pang Jie-ya, dimana mereka sampai, Kie Kong Kiat itu telah tulis pemberitahuan untuk tangkap Kang Siau Hoo. Kang Siau Hoo itu ada orang gagah jaman ini, baru pada bulan yang lalu dia datang ke Siangyang ini. Sampai- pun Hoa-chio Pang Jie-ya bukantah tandingannya, Jie-ya tidak puas mengetahui Kie Kong Kiat hendak  tangkap Kang Siau Hoo, ia tanya Kie Kong Kiat sebabnya penangkapnya. Kie Kong Kiat ada jumawa dan galak, ia serang Pang Jie-ya, dengan sekali pukul saja Jie-ya kena dirubuhkan, hingga Jie-ya jadi sangat mendongkol. Seperginya Kie Kong Kiat itu, Jie ya lantas suruh kita hapuskan semua pemberitahuan itu.” Siau Hoo panas hati mendengar keterangan ini, iapun menyesal untuk belai dia, Pang Jie mesti jadi korban.

“Apa sekarang Kie Kong Kiat itu sudah pergi?“ ia tanya pula.

“Dia sudah pergi sejak setengah harian tadi,” sahut kuli itu. “Sesudah serang Jie ya, dia masih tanya Jie-ya dimana adanya Kang Siau Hao. Jie-ya jawab tidak tahu. Kie Kong Kiat pesan agar disampaikan pada Kang Siau Hoo yaitu kalau Kang Siau Hoo datang kemari, andai kata Kang Siau Hoo ada punya nyali, Kang Siau Hoo boleh susul dia di See-an.”

Kembali hatinya Siau Hoo jadi panas, hingga air mukanya-pun berubah, tapi sebisa bisa ia bersikap tenang.

“Apakah kau libat kemana mereka menuju?“ ia tanya lagi.

“Mereka datang dari See-an, pasti mereka kembali kesana. Hanya, selagi mau berangkat, mereka ada tanyakan hal Bu Tong San.

Mendengar ini. Siau Hoo sedikit berkejut. Ia ingat pesan gurunya dulu, bahwa kalau ia lewat di Bu Tong San, ia mesti waspada. Bu Tong San  berada didalam distrik Kunkoan di Siang-Pang-hu, dimana ilmu Lwee-kee ada keluaran itu Bu Tong Pay, kebanyakan imam di BuTong Pay ada pandai silat.

“Apa Bu Tong San terpisah jauh dari sini?“ ia tanya. “Tidak  jauh,”  jawab  satu  kuli.  “Sekeluarnya  dari kota

Utara  tuan   jalan   beberapa   puluh   lie,  gunung  itu sudah

lantas kelihatan.”

“Baiklah!“ kata Siau Hoo, yang terus larikan kudanya akan keluar dari kota Siang yang, menuju ke Barat utara. Benar saja belum lama ia sudah lihat sebuah gunung yang tinggi, yang jauhnya kira-kira seratus lie lebih. Ia larikan kudanya lebih jauh. Sesudah melewati kira-kira lima-puluh lie, Siau Hoo lihat di depannya ada tiga penunggang kuda, yang hendak menuju ke gunung itu. Ia tidak usah mengawasi lama-lama akan kenali Kie Kong Kiat bertiga.

“Ha, bagaimana sekarang?” pikir ia, yang tiba-tiba jadi sangsi. “Kalau aku susul mereka, tentu aku akan bentrok, mesti ada yang terluka. Kie Kong Kiat tidak usab penasaran kalau dia terluka, die toh mau cari aku, dia sampai buat banyak pemberitahuan, dia terlalu menghina aku, hanya sayang, sebab dia ada satu orang gagah yang mulia hatinya. Amalnya di Cengyang menyebabkan aku hargai padanya. Dia juga ada cucunya Liong Bun Hiap ... Di depan ada gunung Bu Tong San, disana tempatnya Cousu Thio Sam Hong mendapatkan kesempurnaannya, maka apa pantas kita kaum lwee-kee justeru saling bunuh dihadapannya? Ini ada perbuatan memalukan diri sendiri ... ”

Karena ini Siau Hoo lantas beri kudanya jalan pelahan, sebisa-bisa ia atasi dirinya sendiri. Dengan begitu, ia-pun bisa antap ketiga orang itu jalan menjauhi dirinya.

Tiga orang di depan itu tidak ketahui bahwa mereka ada yang kuntit.

“Biarlah aku ikuti mereka secara begini sampai di See- an,” Siau Hoo pikir lebih jauh. “Sesampainya di See-an, kalau dia tetap belai Kun Lun Pay, aku terpaksa tidak bisa berlaku sungkan-sungkan terlebih jauh.”

Kedua pihak jalan terus, sampai didepan mereka ada melintaang sebuah sungai besar. Kie Kong Kiat bertiga ikuti gili-gili akan jalan mutar, akan cari pelabuban. Siau Hoo pun menuruti. Tidak lama sampai mereka disebuah tempat dimana ada sebuah penyeberangan. Kong Kiat bertiga sudah lantas naik perahu, yang membawa mereka kelain tepi. Siau Hoo-pun terus panggil lain perahu keatas mana dia-pun terus naik. Disini Siau Hoo jadi dapat tahu, sungai itu adalah Lam Kang, yang menyambung ke sungai Han Sui,  bahwa diseberang ada distrik Kok-seng, yang terpisahnya dengan Bu Tong San sudah tidak jauh lagi. Ia-pun dengar, siapa hendak bersujut kepada Bu Tong San, dipenyebrangan ini orang sudah mesti turun dari kuda atau singgah. Di Bu Tong San tidak ada rumah penginapan,-pun katanya imam- imam diatas gunung tidak puas kalau mereka tahu ada  orang bersujut dengan terus menunggang kuda sampai diatas gunung.

“Apakah imam diatas gunung besar jumlahnya?” Siau Hoo tanya tukang perahu.

“Ya, imam disana tak sedikit jumlahnya,” terangkan tukang perahu itu. “Umpama di biara Gie Cin Koan saja ada empat peluh imamnya. Di Hian Bu Bio jumlahnya too- ya ada terlebih banyak lagi. Sekalian too-ya itu pandai bugee. Umpama satu piausu lewat  disana, sepuluh lie dikaki bukit dia sudah mesti turun dari kudanya.

Keterangan itu membuat Siau Hoo jadi heran. Sepuluh tahun ia belajar di Kiu Hoa San, ia  tidak dengar hal demikian perihal imam-imam atau toosu dari Bu Tong San maka ia pikir, apa bisa jadi, bugee mereka beda dari Pelajarannya sendiri.

“Baiklah aku naik ke gunung, untuk menyaksika sendiri,” ia kata dalam hatinya. “Disana aku boleh sekalian lihat, bagaimana sikapnya Kie Kong Kiat terhadap sekalian imam itu.” Setelah seberangi sungai Lam Kang itu,  Siau  Hoo sampai di distrik Kok-seng. Ia pergi ke Say-kwan (kota Barat), dimana ia cari rumah penginapan. Karena hari sudah bukan siang lagi, ia lantas minta makanan.

“Tuan hendak pergi kemana?” tanya jongos, yang lihat orang punya pauhok ada pedangnya.

“Aku niat berkunjung keatas gunung Bu Tong San,” Siau Hoo jawab.

“Apakah tuan ada dan golongan piau-tiam?” jongos itu tanya pula.

Sang tamu mengangguk.

“Aku tadinya jadi piausu di Kanglam, sekarang sudah tidak lagi,” ia ini beri keterangan, “aku hendak pulang ke rumahku di Han-tiong, selagi lewat disini, aku hendak mendaki gunung, akan bersujut didepan Thio Sam Hong Cinjin.”

Jongos itu manggut-manggut.

“Diatas gunung, kuil Gie Cin Koan dapat  dibilang kecil,” kata ia. “Biara satu-satunya yang besar adalah Cin Bu Nio. Kenapa gunung ini disebut Bu Tong San? Itulah disebabkan Cin Bu Yaya dapatkan kesempurnaannya diatas gunung. Cin Bu Yaya ada punya dua panglima, Ku dan Coa, yang lengkam sekali. yang sering munculkan diri!” Kemudian ia tunjuk pedangnya Siau Hoo. “Tuan, pedangmu ini tak dapat dibawa naik kegunung. Lima lie diatas gunung, ada satu tempat bernama Kay Kiam Coan, artinya sumber meloloskan pedang. Tak perduli orang punya kedudukan berapa tinggi kepandaiannya berapa liehay, satu kali sampai disana, oang mesti loloskan pedangnya dan lemparkan itu kedalam air. Kalau tidak, Cin Bu Ya-ya akan jadi gusar dan murid-muridnya Sam Hong Cousu tentulah tidak akan mau mengerti.”

“Diantara muridnya Sam Hong itu, sekarang masih ada siapa-apa lagi?” Siau Hoo tanya.

Jongos itu tidak menjawab, hanya ia bicara  tentang “Sam Hong Cousu.”

“Dahulu pernah ada satu tayciangkun, jenderal besar,” demikian katanya. “Pada suatu hari tyciangkun ini naik kegunung untuk bersujut, sesampainya di Kay Kiam Coan, sekalian ponggawa pengiringnya peringatkan untuk ia loloskan pedangnya namun ia tidak perdulikan itu. Ia jalan belum dua lie, segera terbit angin hebat, lalu muncul seekor ular besar yang tubruk padanya. Dia kaget dan rubuh dan lantas binasa karenanya. Ular itu adalah panglimanya Cin Bu Ya-ya ialah Coa Ciangkun. Atau lebih benar ular itu wujud lainnya daripada pedangnya Cin Bu Ya ya. Patung Suci dari Cin Bu Ya-ya ada pegang pedang Cit-seng-kiam, di belakangnya ada bendera Heng-ui-kie, dikiri dan kanannya berdiri Ku Ciangkun dan Coa Ciangkun. Orang biasa saja tak dibolehkan datang menghadap Cin Bu Ya ya dengan bawa-bawa pedang. Sekali-pun patung suci  dari Sam Hong Cousu sendiri melainkan pegang kebutan  lalat, ia tidak boleh cekal pedang. Dari empat-puluh tooya dari Gie Cin Koan, yang paling kesohor kepandaiannya ada tujuh orang yaitu Cit Toa kiam sian, tapi juga mereka ini tidak ada yang berani bawa-bawa pedang jikalau mereka keluar dari bio.“ Jongos itu bicara dengan lancar sekali, suatu tanda ia sudah sering berceritera yang demikian ini. Kemudian ia pesan pemuda kita. “Kalau besok tuan pergi mendaki gunung, harap tuan jangan bawa pedang jikalau tidak, sedikitnya tuan akan dapat sakit yang berat.”

Siau Hoo angguk-anggukkan kepala. “Tentu saja,” ia jawab. “Aku datang untuk bersujut, cara bagaimana aku berani tidak menghormati malaikat.”

Tapi, dengan menyahut demikian, iapun men-duga- duga, Kie Kong Kiat tahu aturan itu atau tidak. Kalau dia tidak tahu, bukan saja kedua Ciangkun, Coa dan Ku (Ku adalah kura-kura) akan gusar, malah Cit Toa-kiam-ian, tujuh tosu ahli pedang, pasti akan murka juga. Kalau Kong Kiat tidak tahu aturan itu, tentu akan lanjutkan corat-coret pemberitahuannya untuk tawan Kang Siau Hoo

Siau Hoo bersenyum-senyum terhadap jongos, lalu habis bersantap ia keluar, akan jalan-jalan. Ia  kitari kota dan Kwan-siang juga, toko dan warung ada sedikit tetapi orang yang berhilir-mudik ada banyak. Ketika ia sampai di Lam- kwan (kota Selatan), ia justeru lihat di depannya ada mendatangi satu anak muda dengan pakaian putih, pedang tergantung dipinggangnya, tubuhnya kate dan gesit. Dia itu adalah Kie Kong Kiat, yang terus memasuki sebuah rumah makan di Baratnya jalanan. Ia jadi ketarik hati, ia-pun masuk kedalam rumah makan itu.

Didalam rumah makan orang sudah pasang api, dan tamu ada banyak.

Sia-uw Hoo ambil kursi dimeja yang membelakangi lampu, Kie Kong Kiat duduk bertetanga dengan ia. Pemuda itu telah loloskan pedangnya yang diletaki diatas meja. Dia sudah minta arak dan minum sendirian, sikapnya anteng.

Untuk sementara, Siau Hoo kuatir juga. Ia kuatir Cie Wan dan kawannya datang. Kalau Cie Wan datang, ia bakal dikenali, hingga ia tidak tahu entah apa bakal terjadi, sedikitnya mereka akan bentrok satu dengan lain. Hanya sampai sekian lama, dua orang itu tidak juga muncul.

Tenang seperti pemuda itu, Siau Hoo hirup araknya pelahan-lahan, setiap kali ia pandang pemuda itu. Selang sekian lama, tiba-tiba Kie Kong Kiat berbangkit sambil berjingkrak.

“Jongos!“ Ia berseru. “Ambil pit dan bakhie, aku hendak tulis apa-apa diatas tembok!”

Jongos sedang berdiri disisi meja kantor, ia lantas saja menyahuti.

“Toaya, tembok kita baru saja dikapur, kalau dituliskan apa-apa, tentu akan jadi kurang necis untuk dipandang. Jikalau Toaya hendak menulis, disini kita ada punya keras, tuliskan itu diatas kertas nanti kita tempel ditembok. Dikota ini ada beberapa siucay, sering mereka menulis ayair. Yang suruh kita tempel ditembok. Ada kalanya ada tamu yang tertarik dengan syair itu, ia berikan kita uang, lantas  syair itu ia ambil.

Kie Kong Kiat tertawa tawar.

“Apakah kau takut, setelah aku menulis ditembokmu, kau tidak akan dapat uang?” Ia kata. “Ini dua chie untuk ongkosnya pit dan bakmu!”

Mendengar dia bakal dapat dua chie, jongos itu jadi girang, tidak tempo lagi ia bawa pit dan bakhie, lantas ia gosok baknya.

Siau Hoo mendongkol, ia berbangkit.

Itu waktu Kie Kong Kiat sudah menulis ditembok,  seperti biasanya, “Untuk tangkap Kang Siau Hoo.”

Panas hatinya Siau Hoo hampir ia ulur kepalannya akan hajar orang hingga rubuh. Tapi ia coba kendalikan diri, ia terus mengawasi.

Habis menulis itu, Kie Kong Kiat menulis tiga baris syair ialah : Di Liong-bun ada seorang gagah, ujung pedangnya belum pernah dicoba!

Ia bawa pedangnya merantau menjagoi diempat penjuru dunia :

Segala Kang Siau Hoo, apa bisanya - mana itu sebanding dengan Toaya?

“Bagus!” berseru Kang Siau Hoo begitu lekas orang telah selesai tulis syair itu. Ia mengucap demikian sambil bersenyum.

-ooo0dw0ooo-

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar