DI LUAR KOTA TIN-PA, DI SIAMSAY SELATAN sebuah kota distrik yang seperti dirangkul oleh rentetan gunung, tinggal Hoo kauwsu Pauw Cin Hui, satu guru silat yang dapat julukan Pauw Kun Lun, disebabkan kepandaiannya menggunai golok Kun-lun-too. Itu ada sebuah golok biasa, kecuali dalam hal beratnya, tapi ditangannya guru silat ini, golok itu jadi sangat berbahaya.
Dalam usia mudanya, Pauw Cin Hui pernah masuk dalam kalangan tentara dan telah berbuat jasa, kemudian ia undurkan diri dan masuk dalam kalangan Piauwsu dengan membuka piauwtiam dibelasan tempat di Siamsay Selatan dan Sucoan Utara, maka banyak piauwsu adalah orang- orang sebawahannya. Sesudah berumur enam puluh, dengan ada punya cukup harta benda, ia unduran diri, ia serahkan piauwtiam pada anak-anak dan muridnya, ia sendiri berdiam saja di rumah lewati hari-hari yang tenang dan bahagia.
Dalam umur enam puluh empat, Cin Hui telah putih semua kumisnya, tapi kesebatannya ada luar biasa, tubuhnya jadi gemuk. Itulah ia tidak kehendaki, ia kuatir nanti dapat sakit, dan itu ia tidak berani alpakan ilmu silatnya, setiap pagi tentu ia berlatih golok dan tangan kosong, dan kalau magrib pergi menunggang kuda menggitari dusunnya, ialah dusun Pauw-kee-cun.
Bagian depan dari Pauw-kee-cun ada bukit, di Timurnya ada sebuah kali keci1 di Baratnya tegalan pegunungan, dan di Utaranya kota Tin-pa. Keindahannya pemandangan alam disini mirip dengan Kanglam.
Sama sekali Pauw Cin Hui ada punya tiga-puluh lebih murid, yang terpencar di berbagai tempat. Yang tetap ikuti ia cuma ada enam. Ia ada terkenal di desanya tetapi rumahnya tidak besar, dia tidak punya bujang atau budak, yang bantu ia adalah murid-muridnya saja. Bersama anak lelaki yang kedua ia bercocok tanam, meluku, potong padi, pelihara babi dan kuda dan lain-lainnya. Disebelah itu, semua muridnya tidak diwajibkan membayar uang belajar, mereka hanya dimestikan datang setiap hari. Temponya belajar adalah lima tahun, dia tanggung sang murid akan sudah belajar sempurna dan lulus.
Untuk murid-muridnya, Pauw Cin Hui adakan sepuluh aturan keras, yang mesti ditaati, antara lain ada enam larangan atau pantangan, ialah ke 1 dilarang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, ke 2 dilarang kemaruk paras elok dan lakukan perjinaan. ke 3 dilarang mencuri atau merampok, ke 4 dilarang menghina atau mengganggu orang-orang perempuan terutama janda, ke 5 dilarang kurang ajar terhadap guru, dan ke 6 dilarang melanggar peri-keadilan. Diantara enam itu, pantangan paling hebat ialah berjina atau main perempuan, sebab Cin Hui anggap, dan seribu satu kejahatan, biangnya adalah jina.
Selama lebih dari empat-puluh tahun yang ia hidup dalam kalangan kang-ouw atau Sungai Telaga, Pauw Kun Lun pernah bunuh lebih dari tiga-puluh orang, dan semua korbannya itu adalah tukang-tukang berjina atau pengganggu orang-orang perempuan lemah atau orang perempuan yang cabul.
Murid pertama dan Cin Hui adalah Siang Cie Kho, dia ini pernah gilai seorang perempuan penjual silat, atas perintah sang guru dia mesti kutungi sebelah lengannya. Murid yang keempat Chio Cie Yauw, pernah ganggu seorang perempuan selagi nonton wayang. ketika perbuatannya ketahuan, dia mesti cokel dengan segera biji matanya yang sebelah. Dan murid yang kedua puluh tiga, Ouw Cie Khay, telah berlaku serong dengan salah satu enso angkatnya, perbuatannya itu ketahuan, dia lantas dikirimkan surat oleh gurunya, surat mana tapinya tidak ada satu huruf-pun juga, melainkan ada tanda-tanda gurunya yang Cie Khay mengerti maksudnya, yang hendak menghukum padanya, dengan tidak bersangsi lagi ia jiret lehernya, sehingga mati.
Oleh karena aturan sangat keras itu, semua muridnya jadi sangat tunduk dan berlaku sopan-santun, masuk dan keluar mereka biasa tunduk, dan kalau di tengah jalan berpapasan dengan orang perenpuan, mereka tidak berani memandang mengawasi, hingga mereka mirip dengan murid-murid sekolah kebathinan.
Pada suatu hari dan bulan Jie-gwee, selagi pemandangan alam nan indah permai, seperti biasanya Pauw Kauwsu telah bangun dari tidurnya. Tempo ia lihat pintu kamarnya Cie Lim, anak kedua, masih belum dibuka, ia menjadi tidak puas.
Cie Lim menikah belum lama, baru dua bulan, tetapi meski-pun demikian, isterinya sudah bikin dia sangat berubah dari pada biasanya, sudah waktu demikian dia masih belum bangun dan keluar dari kamarnya, dengan begitu dia jadi telah sia-siakan pelajarannya silat yang telah diyakinkan kira-kira empat tahun lamanya.
Karena jengkel dan mendelu, Pauw Kauwsu pendengarkan elahan napas yang keras, supaya anaknya didalam kamar dapat dengar suaranya itu, kemudian dia sendiri terus bertindak keluar ke tanah lapang, akan lihat enam muridnya asyik berlatih dengan tangan kosong, dengan gunai golok dan toya, ia bertindak terus dengan menggendong tangan. Ia menghampiri muridnya yang ke 2, Tan Cie Cun, siapa sedang mainkan pukulan terakhir dari ilmu silat Thongpwee-kun dibagian “Liang-cie-yauw”, atau “Dua sayap bergoyang”.
“Salah!” berkata guru ini. “Mestinya begini!”
Lantas kauwsu tua ini pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya ke dada, lantas tangan kanan digeserkan terlebih dahulu, lempang ke depan, lalu ditarik pulang ke depan dada pula, lalu menyusul gerakan tangan kiri. Gerakan itu diulangi sampai dua kali.
Pauw Kauwsu telah berlaku sungguh-sungguh, maka tempo kemudian Ia berdiri disamping, napasnya memburu. Ia suruh muridnya berlatih pula.
Tan Cie Cun turut penintah gurunya, ia berlatih terus, sampai empat atau lima kali, setelah itu barulah guru ini manggut-manggut, tandanya ia puas.
Kemudian guru ini menghampiri muridnya yang ke 14, Lou Cie Tiong, yang sedang berlatih saling serang dengan golok dengan muridnya yang ke 25, Cin Cie Po.
Cie Tiong adalah murid paling disayang, permainan goloknya sudah sempurna tidak demikian dengan Cie Po, sebab sang guru mengawasi baru lima menit, muridnya ini sudah lakukan enam atau tujuh kesalahan. Lebih celaka, semakin gurunya awasi dia, Cie Po jadi semakin kusut permainannya, karena hatinya goncang.
Menampak demikian, guru itu jadi gusar hingga ia maju dan dupak golok muridnya itu, sampai senjata tajam itu terlepas dan terlempar dan tangannya si murid.
Mukanya Cie Po jadi sangat merah bahna malunya, sedang tangannya yang kanan itu-pun dirasakan sangat sakit, dan itu, ia jemput goloknya dengan tangan kiri, yang mana ia angsurkan pada gurunya itu.
Dengan tak melihat lagi muka muridnya, Pauw Kauwsu sambuti golok itu, untuk ia terus serang Cie Tiong, untuk berlatih sungguh-sungguh dengan muridnya ini, hingga sekejap saja sepasang golok jadi berkeredepan saling samber.
Tubuhnya sang guru ada gemuk dan besar ia sekarang sudah kurang kegesitannya, akan tetapi permainan goloknya tidak jadi kalut, ia bertempur sampai duapuluh jurus dan belum mau berhenti kalau tidak Cie Tiong yang mendahului lompat minggir, karena muridnya kuatir gurunya tak sanggup kendalikan napasnya.
Pauw Kauwsu lempar goloknya pada Cie Po seraya berkata: “Dengan permainan golokmu barusan, andaikata di dunia kangouww kamu ketemu tandingan sebangsa Sun Lay-cu, pasti sekali kau bakal dapat malu!”
Ce Po tunduk, ia merasa sangat malu, ia tidak ucapkan sepatah kata juga.
Sang guru bertindak, untuk tengok muridnya yang ke 21, Ma Ce Han, yang sedang berlatih dengan siang-kauw, sepasang gaetan, akan tetapi justeru itu, anaknya yang kedua, Cie Lim muncul. Anak ini telah julukan diri sendiri sebagai Siau Kun Lun, atau Kun Lun Kecil.
Melihat anaknya itu, Cin Hui jadi sebal dan masgul. Mukanya anak ini perok dan kuning kulitnya seperti berpenyakitan. Maka terus ia menghampiri Cie Hian dan ajarkan murid yang ke 21 ini bagian-bagian latihannya yang kurang tepat.
Cie Lim telah lantas berlatih, sesudah mainkan habis satu pelajaran, ia berdiri diam di pinggiran. Ciu Hui tidak mendekati puteranya itu, hanya ia menghampiri Kang Cie Seng yang sedang mainkan pedang.
Murid she Kang itu ada murid yang ke 30, ia baru belajar belum cukup tiga tahun namun kemajuannya sudah melebihi suhengnya, saudara seperguruan yang telah belajar lebih lama. Habis mainkan pedang ia tukar itu dengan golok dan berlatih golok dua kali, tubuhnya enteng dan gesit gerakannya, goloknya bergerak dengan sebat, sama sekali tidak ada pukulannya yang salah dan sikapnya ada sempurna.
Menyaksikan kemajuannya murid itu, Pauw Kauwsu diam-diam manggut-manggut dengan kekaguman, tetapi dilain pihak ia-pun jelus.
“Kalau aku ada punya putera sebagai dia ini, bukankah putera itu bakal bikin mukaku terang?” demikian ia berpikir. “Dan aku punya ilmu golok Kun-lun-too tidaklah akan tak terwariskan ... “
Kapan guru ini awasi muridnya itu yang sedang beristirahat, ia-pun jadi tidak senang, terus saja, sambil gendong tangan ia bertindak kepada anaknya yang ke 2.
Itu waktu Kang Cie Seng ada memakai pakaiau hijau, tangan bajunya digariskan dengan gigi balang sutera putih. Di kepalanya ada terlibat kuncir dari rambut panyang hitam mengkilap, sedang pada mukanya yang panjang ada sepasang alis yang kecil dan dua biji mata yang bagus, hingga dia mirip dengan satu nyonya muda yang cantik molek
Inilah roman yang membangkitkan perasaan tidak puas sang guru.
Dengan sengaja, Cie Lim bersilat pula beberapa kali, akan kemudian ia enjot tubuhnya meloncat tinggi, sebagai juga ia sedang yakinkan pelajaran loncat tinggi dan jauh, untuk berlari-lari keras diatas genteng. Tapi menampak demikian, sang ayah justeru jadi semakin sebal, sampal ayah ini berniat rampas goloknya Cie Seng buat bacok puteranya itu! Sukur disaat itu, ia teringat akan suatu kejadian tiga puluh tahun yang berselang, ia jadi tidak tega, lantas ia mendekati muridnya yang ke 2, Lauw Cie Wan, yang sedang belajar ilmu tumbak. Setelah ini, guru ini lantas bertindak kembali ke rumah masuk kedalam.
Begitu lekas sang guru sudah tidak ada, suasana antara murid-murid itu tidak lagi “setegang” tadi, malah Cie Wan segera lemparkan tumbaknya, ia lari kesebuah pohon hoay akan loloskan tambatan kudanya, dengan binatang mana terus lari pergi ke arah Selatan.
Kang Cie Seng taruh goloknya di para-para, pasang omong dengan Tun Cie Cun.
Cie Lim-pun menghampiri Ma Cie Hian yang bersilat dengan gaetan.
“Eh aku lihat ikat pinggangmu itu bukankah ada sulamannya isterimu?” ia kata sambil tertawa pada kawannya itu.
“Isteriku mana bisa menyulam seindah ini,” sahut Cie Hian sambil tertawa. “Ini adalah sulaman encie misannya isteriku.”
“Sungguh sulaman yang indah!” Cie Lim memuji.
Ma Cie Hian bersenyum ia menjebi kearah Kang Cie Seng.
“Encie misan isteriku,” kata ia pada Cie Lim, “ada isterinya Cie Seng!“ “Oh kiranya kau berdua ada tang-mui!” kata Cie Lim, yang baru tahu, “kau ada pernah ipar satu dengan lain.”
“Suhu keluar pula,” memperingatkan Cin Cie Po, yang berdiri dekat dua kawan itu. Mukanya masih bersemu merah, ia berbicara dengan berbisik.
Dengan lantas semua suara menjadi sirap, murid-murid itu ada yang duduk beristirahat, ada yang berlatih terus.
Cie Lim lihat ayahnya muncul dengan tangan kanan mencekal huncweenya yang panjang dan tangan yang lain menuntun cucu perempuannya yang baru berumur sepuluh tahun. Ayah ini mundar mandir di depan pintu dan sang cucu bernyanyi-nyanyi, kelihatannya dia sangat gembira.
“Cie Tiong!” tiba-tiba Pauw Kun Tun memanggil seraya ia berhenti bertindak.
Cie Tiong lantas letakkan goloknya, menghampiri gurunya itu di depan siapa berdiri dengan sikap menghormat.
“Ada apa suhu?” ia tanya.
“Aku memikir untuk menitah kamu berangkat ke Han- tiong besok,” kata sang guru. “Aku ingin kau tengok toakomu, sebab baru ini Liok-sukomu bilang, luka di kaki dari toakomu itu telah kumat, entah sekarang sudah sembuh atau belum ... “
“Baik, suhu, besok aku pergi,” kata Cie Tiong. “Aku tidak percaya kakinya toako sampai membahayakan dia.”
Guru itu manggut.
“Baik,” ia bilang. “Nanti aku bekalkan kau uang, besok kau boleh berangkat.”
Lantas guru ini jalan mundar mandir pula, antaranya ia tengok Cie Seng, siapa tertawa pada sang cucu. Ia ini memang gemar memain kepala nona cilik itu. Kemudian orang tua ini tuntun cucunya masuk kedalam.
Lantas setelah itu, murid-murid itu benahkan para-para senjata, yang mereka bawa masuk untuk disimpan. kemudian Tan Cie Cun dan Ma Cie Hian pergi nyapu, Lauw Cie Wan menggombong kuda. Cie Seng-pun cari lain kerjaan, akan dilain saat, ia pulang.
Cie Lim jongkok sebentar, lantas ia masuk kedalam, terus ke kamarnya.
Lou Cie Tiong masuk kedalam cari gurunya, guna ambil uang bekal.
Pauw Kausu berdiam di rumah Utara dimana ada tiga buah kamar, ketika itu dia sedang bersantap bersama cucunya dengan dilayani oleh nyonya mantunya yang pertama.
Putera pertama dan Cin Hui bernama Cie In umurnya sudah empat puluh lebih, isterinya adalah Pui-sie, yang sudah berumur empat puluh lebih juga. Suami-isteri ini cuma dapat satu anak perempuan yang diberi nama Ah Loan, ialah cucu perempuan yang engkongnya paling sayang.
Ketika itu Cie In tinggal di Han-tiong dimana, ia usahakan Kun Lun Piauw-tiam yang berjalan dengan baik. Pada tiga tahun yang sudah, selagi iring piauw kejalan Cin Nia, Cie In dicegat oleh Gin-piauw Ouw Lip yang rampas kereta piauw, hingga mereka jadi bertempur. Cie In ada dibantu oleh dua piauwsu pembantunya, tidak urung mereka kena dikalahkan. Cie In terluka kena piauw, keretanya kena dirampas, karena mana piauwsu ini mesti ganti kerugian seribu tail lebih. Lukanya di betis sudah sembuh, hanya setiap kali udara mendung dan turun hujan, bekas luka itu suka menerbitkan rasa sakit. Maka itu, beberapa hari yang lalu, tempo ada orang datang dari Han- tiong, dia ini menyampaikan kabar pada Pauw Kauwsu tentang kumatnya luka dari kaki anaknya itu, sehingga tidak bisa turun dari pembaringan. Maka itu Cin Hui hendak utus Cie Tiong.
Demikianlah, Cin Hui berikankan uang pada muridnya, sedang Pui-sie, atau nyonya Cie In, bekalkan obat luka, obat putih buatan Inlam untuk suaminya itu.
Ah Loan tarik tangannya Cie Tiong seraya kata: “Lou Siok-hu, tolong kau bawa ini anak kecil untuk ayah buat main.”
Ketika Cie Tiong sambuti barang yang si bocah serahkan, Ia dapatkan itu anak-anakan terbuat dari cita buatan si nona cilik sendiri, mata dan hidungnya dicat dengan baik! Maka ia tertawa.
“Ayahmu sedang terganggu lukanya dan kesakitan, mana dia bisa memain dengan anak-anakanmu ini!” kata sang engkong.
Ah Loan tidak mau mengerti, ia desak Cie Tiong bawa itu.
Sementara itu dengan tiba-tiba, Pauw Kauwsu perlihatkan roman bengis.
“Kau mesti perintah cari tahu, Gin-piauw Ouw Lip sekarang berada dimana!” ia pesan Cie Tiong. “Aku hendak cari dia untuk balas sakit hatinya toakomu. Dan kau-pun mesti peringatkan Wan Cie Gie untuk berlaku hati-hati, sebab aku dengar kelakuannya tidak benar, nanti aku pergi ke Han-tiong!”
Cie Tiong terima pesan itu, lantas dengan bawa uang, bungkusan obat dan anak-anakkannya Ah Loan, ia pamitan dari gurunya dan undurkan diri akan pulang ke rumahnya didalam kota. Ia ada punya isteri serta dua anak perempuan, ia ada melarat. Ia sudah boleh bekerja dipiauw- tiam, apa mau karena ia pandai bekerja dan gurunya sayang ia, si guru suruh ia tetap membantu, hingga kemajuannya jadi terhalang, sekali-pun demikian ia tetap kandung niatan untuk kerja sendiri, karena sukar untuk ia andalkan guru dan saudara-saudaranya saja. Sebelumnya sampai di rumah, ia mampir dahulu di tempat persewaan kereta, untuk sewa sebuah kereta, setelah itu baru ia pulang. Pada isterinya ia beritahukan hal keberangkatannya besok, lantas ia minta isterinya keluarkan surat gadai buat dia tebus pakaiannya. Waktu ia mau keluar, satu orang datang padanya.
“Eh, sutee, kau hendak hantar aku?” ia tanya. “Besok baru aku berangkat!”
Sutee itu adalah Kang Cie Seng, yang mukanya putih, muka mana segera tersungging senyuman.
“Aku tahu suko hendak berangkat besok, dan itu aku bawakan kau sedikit barang,” kata dia sambil tertawa.
“Mari masuk!” Cie Tiong undang adik seperguruan itu.
Cie Seng masuk, paling dulu ia beri hormat pada ensonya.
“Duduk, sutee,” Cie Tiong mempersilahkan. “Kau bawa barang apa?”
“Bukan barang berharga,” sahut Ce Seng sambil lertawa. Terus ia rogoh sakunya akan keluarkan uang beberapa tail serta selembar kertas catatan untuk minta dibelikan barang- barang antaranya ada 10 elo sutera merah, empat doos pupur Kiong hun dan duapuluh bungkus yancie.
“Suko,” sutee ini pesan. “Kalau uangnya cukup, belilah lebihan, kalau kurang, beli sedapatnya saja, asal pupur dan yancie jangan kau kurangi. Pupur dan yancie buatan sini jelek, buatan Han-tiong paling kesohor harumnya!”
Melihat catatan itu, Cie Tiong kerutkan dahi.
“Sutee, kau seharusnya ubah sedikit kelakuanmu,” kata ia dengan roman sungguh-sungguh. “Apakah kau tidak tahu suhu justeru paling benci orang yang gemar akan perempuan ?”
“Jangan kau curigai aku, suko,” kata Cie Song sambil goyangkan tangan. “Sama sekali aku tidak main gila diluaran, semua ini ada untuk isteriku. Dialah yang pesan.”
“Aku tahu tentang teehu!“ kata Cie Tiong sambil tertawa tawar. “Dia sudah punya dua anak, dengan harus rawati anak-anaknya apa benar dia masih gemar akan pupur dan yancie?”
Tapi juga Kang Cie Seng berlaku sungguh-sungguh. “Jikalau kau tidak percaya, suko, pergilah ke rumahku
dan kau boleh tanya sendiri teehumu itu!”
Ditantang begitu, Cie Tiong goyang-goyang tangan, ia simpan uang dan catatan itu.
“Sudah, sudah, aku nanti belikan semua!“ kata ia. “Aku hanya minta kau berlakulah sedikit tahu diri. Orang muda dan cakap seperti kau gampang kena gangguan bunga berjiwa, sedang lain-lain suheng dan sutee kita semua ada buntalan busuk, sedikit saja mereka mengadu kepada suhu, sementara suhu asal dengar ada muridnya main gila, lantas dia percaya dan pandang murid itu bagaikan musuh saja, sedikit juga ia tidak merasa kasihan!“
“Aku mengerti, suko,” Cie Seng manggut berulang- ulang. “Suko jangan kuatir. Dengan suhu aku tinggal sekampung, mustahil aku tidak ketahui adat suhu yang aneh itu? Lain dari itu, aku sudah mempunyai isteri dan anak-anak, aku lekas juga akan masuk umur tiga puluh, mustahil aku kemudian main perempuan diluaran? ... ”
Lantas sambil tertwa sutee ini mengucap terima kasih dan pamitan akan tetapi sesampainya diluar, ia merasa hatinya tidak enak.
“Terang isteriku yang pesan pupur dan yancie kenapa Cie Tiong curigai aku ada punya gula-gula di luaran?” kata ia dalam hatinya. “Umpama kata benar aku ada punya gula-gula, siapa bisa larang aku? Suhu? Sekali-pun ayahku, dia masih tidak bisa cegah aku! Aku belajar silat kepada suhu, bukan belajar untuk jadi pendeta atau orang kebiri!”
Berpikir begini, pemuda menjadi sengit sendirinya, hingga ia jadi masgul berbareng uring-uringan. Justeru begitu ia dengar orang panggil ia berulang-ulang: “Kang Toaya! Kang Toaya!” Ketika ia menoleh, ia kenali Tie Sam si tukang sewakan keledai.
Tie Sam ini ada sesama penduduk kampung Pauw-kee- cun, dia ada mempunyai seekor keledai yang belang, perutnya putih, keledai itu adalah andalan hidupnya setiap hari, maka sesama penduduk biasa panggil dia Tie Louw- cu, atau Tie si Keledai.
“Kang Toaya,” kata Tie Sam itu saraya menghampiri sambil tuntun keledainya, “hari ini toaya senggang sekali pesiar kekota! Apa toaya tidak pergi pada Pauw Kauwsu akan belajar silat?”
“Tentu saja!” sahut Cie Seng. “Mana bisa aku tidak pergi belajar!. Entah siap yang suruh aku kenal guru seperti biang kholera itu ... ”
Tie Sam tertawa menyengir. “Dasar toaya cari penyakit sendiri!” kata ia, “Kenapa toaya cari guru semacam dia itu? Ada terlebih baik toaya cari satu hartawan untuk bekerja seumur hidup padanya! Toaya pernah belajar surat, sayang toaya bercampur-gaul dengan guru-mu itu ?“
Ucapan ini bikin hatinya Cie Seng jadi semakin panas. “Kau sedang bikin apa? Apa kau lagi cari penyewa ?” ia
tanya.
“Bukan,” sahut Tie Sam sambil tertawa. “Aku hendak pergi ke Timur dan akan papak orang. Nyonya janda Louw Jie disana, pada tahun yang lalu telah nikahkan anaknya, nyonya mantunya itu adalah gadisnya Kiong Kee-cu si Pincang dari desa Kiong-kee-chung. Nona itu, dalam umur delapan belas ada cantik sekali, hanya sayang menikah belum sepuluh hari suaminya sudah pergi ke Hin-an untuk belajar dagang, hingga jadi ditinggal sendirian di rumah, mirip dengan janda saja, sedang dengan mertuanya nyata ia tidak akur. Sudah nyonya janda Louw Jie ada liehay, si nyonya mantu sendiri tidak boleh dibuat permainan. Nona itu sering pulang ke rumah ibunya, beginilah pada tanggal 17 yang lalu aku telah samper ia, sekarang belum tanggal 2 aku mesti hantar dia pulang. Kalau dia pulang pada ibunya, dia akan tinggal disana sedikitnya setengah bulan!”
Kang Cie Seng tertawa, ia anggap kejadian itu lucu. “Dengan kau sebentar menyambut dan mengantarkan
lama-lamakan bisa bawa kabur orang punya mantu itu!” ia
berjenaka.
“Hm, orang semacam aku!” kata si Keledai. “Biarnya aku ingin bawa lari orang-orang niscaya tak kesudian padaku! Lain lagi kalau aku ganteng seperti kau, toaya, nah, itu barulah bisa terjadi ! ... ” Cie Sang tertawa pula.
“Sudahlah, pergi kau papak nonamu itu!” kata ia. “Jangan bikin orang tunggu kau terlalu lama!”
Lantas pemuda itu balik tubuhnya akan lanjutkan perjalanannya.
“Toaya, toaya!” Tie Sam memanggil pula sambil memburu seraya betot keledainya.
“Ada apa, eh?” tanya Cie Seng, ia berhenti bertindak dan menoleh pula.
“Lagi dua hari, toaya, kau harus beri aku pinjam uang untuk beberapa chie,” kata si si tukang sewakan keledai sambil tertawa, dengan sikapnya ia memohon.
“Kerjaanmu begini bagus, kau masih hendak pinjam uang?” menegor ia.
“Ah, toaya, mustahil toaya tidak ketahui hal rumah- tanggaku?” kata si tukang sewakan keledai itu, yang toh tertawa. “Ayahku yang berumur delapan puluh lebih dan ibu yang sudah berumur tujuh puluh lebih, keduanya hidup mengandalkan keledaiku ini. Dalam satu hari aku dapat cuma beberapa puluh bun, mana cukup untuk ongkos hidup kita? Sekarang ini sudah mulai musim panas, bajuku yang tebal dan butut ini aku masih belum bisa buka karena belum ada gantinya. Kang Toaya, tolonglah, lagi dua hari, pinjamkanlah aku uang beberapa renceng saja, untuk aku beli pakaian tipis ... “
“Nah, lagi dua hari kita bicara pula!“ akhirnya Cie Seng kata, terus ia bertindak pergi.
Sesudah jalan lewati beberapa gang kecil, ia sampai di rumah seorang sahabat sekolahnya, yang bernama Hoan Thian Keng yang telah lulus sebagai kiejin pada tahun yang baru lewat. Sebaliknya ia sendiri tak mampu jadi siucay. Ia niat tengok orang punya isteri. Tapi ia hanya ketemu bujang tua, siapa beri tahu bahwa siauyanya baru berangkat ke Hoolam akan jadi tie-hu, dan nyonyanya diajak bersama.
“Sayang,” pikir Cie Seng, yang masgul bukan main. “Terang aku bertindak keliru. Selama dua tahun, kalau aku tidak belajar silat pada si tua bangka she Pauw, aku juga tentu sudah lulus sebagai kiejin dan menjadi tiehu. Sekarang aku paling bisa bekerja didalam sebuah piauw- tiam atau merantau dalam dunia kang-ouw.
Karena ini, Cie Seng dapat pikiran akan berhenti belajar silat, untuk lanjutkan. peryakinannya ilmu surat, selang lagi tiga atau lima tahun, pasti dia akan nanjak di tangga kepangkatan. Tidakkah itu mulia?
Cie Seng berjalan sambil berpikir, tanpa merasa ia sudah keluar dari pintu kota, mengikuti jalan besar mentuju ke Selatan. Ia hendak pulang. Hanya jalan belum ada setengah lie, tiba-tiba ia dengar pula panggilan: “Kang Toaya!”
Itu ada suaranya si Tie Sam yang gam dikenali, maka Cie Seng merandek, ia menoleh. Ketika itu Tie Sam sedang tuntun keledainya, diatas binatang tunggangan itu bercokol seorang perempuan, ialah nyonya Louw yang muda, yang benar-benar manis romannya, bajunya merah, celananya hijau, sepatunya bersulam bunga-bungaan, rambutnya dibungkus dengan saputangan hijau. Sekali-pun rambutnya tidak kelihatan. pasti rambutnya ada hitam mengkilap, sedang mukanya yang berpotongan bundar telur, ada dipakaikan pupur dan yancie, teristimewa bibirnya, yang merah bagaikan buah engtoh. Bila dipandang, nyonya muda ini tidak seberapa cantik, namun semangatnya Cie Seng toh seperti lantas kena dibikin terbang. Biasanya kalau Cie Seng berpapasan dengan orang perempuan ia suka buang muka akan tetapi sekali ini ia justru mengawasi, mengawasi terus sedang si nyonya itu- pun mengawasi ia dengan tidak kalah galaknya!
Tie Sam menyambuk untuk bikin keledainya jalan terus. “Kang Toaya, apa kau udah dahar pagi?” tanya si
Keledai sambil tertawa.
“Sehabisnya bersantap baru aku pergi ke kota.” Cie Seng jawab.
“Enso Kang pandai sekali bekerja!” si tukang keledai memuji. “Dia mesti rawat dua anak tetapi ia masih sanggup rawat suami dengan sempurna, pakaiannya rapi, barang hidangan siap pagi-pagi!”
Cie Seng tertawa, ia tidak kata apa-apa, hanya ia pandang si juwita.
“Ya, memang satu isteri harus dapatkan pasangannya yang setimpal!” Tie Sam ngoceh pula. “Toaya ada bun-bu coan cay, cakap ganteng, perangaimu baik, kedudukanmu- pun bagus, dikalangan orang lelaki, jarang ada orang sebagai kau, tidak heran kalau enso rawat kau dengan sungguh-sungguh dan gembira!”
Cie Seng puas dengan pujian itu, ia tersenyum, ia lirik nyonya Louw.
“Orang gembira, tetapi aku tidak!” kata ia. Ia balik tubuhnya, akan jalan bersama-sama Tie Sam, yang sudah datang dekat padanya. Maka selanjutnya mereka jalan berendeng sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Mereka jalan belum banyak tindak, tiba-tiba si nyonya Louw pandang Cie Seng, terus ia tertawa. “Apakah tuan ada Kang Toaya dari kampung Timur sana?” tanya ia dengan manis.
Inilah Cie Seng tidak nyana, ia jadi melengak, ia menoleh tetapi ia tidak bisa ucapkan sepatah kata juga. Ia seperti terpesona dengan mendadakan.
“Tuan ini bukan Kang Toaya dan kampung Timur tetapi dari Pauw-kee-cun,” Tie Sam wakilkan orang menyahut.
“Oh, begitu!” kata si nyonya, ia tertawa, ia manggut. Sementara itu, Cie Seng menghampiri.
“Enso Louw,” kata ia, “keluarga suamimu aku tidak
kenal tetapi keluarga ibumu aku tahu, itu tuan yang kakinya sakit.”
“Dia adalah ayahku!“ kata si nyonya, yang mendahului sambil ketawa.
“Ketika dahulu ayahmu buka warung rokok di kota, aku sering mampir padanya,” Cie Seng bilang.
“Kalau begitu, kau keliru, toaya!” kata si nyonya yang tertawa tetapi ia tutupi mulutnya. “Dia itu ada Lie Kee-cu, ayahku tidak pincang hebat seperti dia itu ... ”
Ia lantas tunduk tetapi Ia terus tertawa. Secara diam- diam, ia-pun melirik.
Oleh karena ia keliru, Cie Seng jengah, mukanya jadi merah.
Tie Sam segera datang sama tengah:
“Buat kita disekitar tigapuluh lie dari kota Tin-pa, bicara terus terang, kalau bukannya sanak, kita tentu ada sahabat- sahabat,” kata dia.
“Itu benar!” kata si nyonya sembari tertawa. “Kalau sebentar aku pulang dan aku sebut nama toaya, pasti ayahku mendapat tahu. Kalau ada ketikanya, Kang Toaya mampirlah ke rumahku. Rumahku letaknya di kaki bukit Selatan, yang pekarangannya ditanam pohon kembang toh, diwaktu musim hujan, bunga itu pada mekar merah semua.”
“Baik, baik,” Cie Seng tertawa. “Lagi dua hari aku hendak kunjungi ayahmu.”
Mereka jalan terus, sampai mendekati Pauw-kee-cun, Cie Seng merandek.
Si manis mengawasi, ia tertawa lantas ia ianjutkan perjalanannya dengan ambil jalan cabang. Tie Sam dibelakang keledainya masih menoleh pada Cie Seng sambil menggoda. Cie Seng masih mengawasi dengan bengong pada si wanita itu, sampai orang sudah pergi jauh dan lenyap, baru ia sadar, akan jalan masuk kedalam kampung. Tapi sekarang ia berlainan dari pada biasanya, ia seperti kehilangan semangatnya, sampai ia seperti tidak kenali rumahnya.
Selagi Cie Seng bertindak masuk kedalam pekarangan rumahnya, ia terkejut akan lihat suatu sinar putih berkelebat di sebelah depannya, hingga ia angkat kepalanya dan memandangnya.
Nyata Kang Siau Ho, anaknya yang baru berumur duabelas tahun sedang bersilat, dan golok yang dipakai adalah goloknya ayah ini.
“Eh, eh, jangan !“ mencegah orang main. “Golok itu ada golok tajam, nanti kau terluka. Jikalau kau gemar main golok, besok aku nanti bikinkan kau golok bambu.”
Siau Ho masih saja putar-putar golok itu.
“Aku tidak sudi golok bambu, aku inginkan golok tulen!“ jawabnya. “Aku ingin punyakan kepandaian tinggi, aku hendak rubuhkan guru ayah! Aku ingin, siapa juga tidak sanggup lawan aku !“
Kang Cie Seng tertawa melihat kejenakaan anaknya itu. Sementara itu muncul Oei-sie, isterinya pemuda she
Kang ini, yang sedang empo anaknya yang kedua, yang
baru berumur satu bulan, yang diberi nama Siau Louw.
“Jangan kau membiarkannya.” berkata isteri ini. “Barusan aku teteki Siau Lauw, ia ambil kursi dan naik mengambil golokmu. Kalau dia jatuh, itulah hebat ... ”
Cie Seng menghampiri anaknya buat ambil goloknya ia mesti membujuki berbareng menggertak anak itu, baru ia berhasil, meski-pun demikian, Ia mesti carikan sebatang toya untuk gantinya golok itu.
Dengan toya itu Siau Hoo lantas bersilat pula, menurut caranya sendiri, lalu gerak kesana-sini, ia berteriak-teriak juga.
Cie Seng sendiri ikuti isterinya masuk kedalam.
“Kau pergi ke kota cari Lou Suko, apakah kau ketemu dia,” Oei-sie tanya. “Apakah dia suka tolong belikan pesanan kita?”
Cie Seng manggut, ia agaknya sungkan bicara. Biasanya ia pandang isterinya ada si juwita manis, tapi hari ini, sebaliknya. Di depan matanya sekarang ada satu juwita, lainnya, yang seperti membetot semangatnya. Sampai sore hatinya masih belum tetap kembali.
Sore itu Tie Sam datang buat pinjam uang.
Cie Seng beri pinjam satu tail perak, ia pasang omong dengan tukang sewakan keledai ini dengan tertawa-tawa hanya ketika orang pergi kembali ia jadi berpikir keras. Oei-sie repot dengan bayinya, ia mesti masak nasi, Ia mesti urus penjahitan juga, Ia tidak dapat kesempatan untuk ketahui sikap luar biasa dari suaminya.
Besoknya pagi, Cie Seng bangun sampai siang, dengan lesu ia berangkat ke rumah gurunya, ketika ia sampai, ia lihat Tan Cie Cun, Ma Cie Hian, Cin Cie Po, Lauw Cie Wan dan Pauw Cie Lun asyik berlatih, sedang gurunya mundar-mandir melakukan penilikan.
“Ih, kenapa hari ini kau datang kesiangan,“ Pauw Kauwsu tanya, sikapnya keren.
“Aku sakit,” Cie Seng jawab. “Kepalaku pusing, kakiku lemas.”
“Jika demikian, hari ini kau tak usah benlatih,” kata sang guru. “Pergi pelihara itu tiga ekor kuda, setelah itu kau boleh pulang.”
Cie Seng menyahuti dengan ogah-ogahan, lantas ia pergi kekandang kuda. Ia tidak bantah gurunya itu, tapinya Ia tidak puas. Ia-pun merasa tidak leluasa, karena saudara- saudara seperguruannya sering-sering melirik kepadanya, malah Ma Cie Hian kemudian tertawai ia.
“Apakah bisa jadi mereka ini ketahui lelakonku kemarin?“ Ia tanya dirinya sendiri. Ia bingung dan likat sendirinya, ia jengah, hingga ia mesti berpikir tidak keruan juntrungannya. “Kalau suhu ketahui ini, sungguh hebat!“ Dan Ia lantas bergidik sendirinya. Toh, selagi menggombong kuda, pikirannya tetap melayang pada si juwita kemarin yang berbaju merah!
Orang begitu manis, lemah-lembut gerak gerakannya!
Habis memelihara kuda, Cie Seng menghampiri lapangan akan saksikan saudara-saudaranya berlatih. Dimatanya, semua saudara itu, yang terhitung suheng (saudara seperguruan yang lebih tua tingkatannya) tidak ada harganya, tidak perduli mereka semua telah belajar lebih dahulu daripadanya. Mereka itu nampaknya sebagai “paso-paso nasi” saja, berikut gurunya juga ... Sebab guru itu, walau-pun ilmunya lihay, usianya sudah tinggi, tenaganya sudah kurang, dan tubuhnya terokmok.
Dan sikapnya nyata tegas Cie Seng memandang enteng kepada mereka itu.
“Siapa bisa kendalikan aku?” kata ia dalam hatinya. “Suhu-pun tidak terkecuali! Aku boleh bikin apa aku suka, paling juga suhu tidak mau akui aku sebagai muridnya! Itu ada terlebih baik pula, supaya aku bisa kembali ke perguruan surat, supaya dibelakang hari aku bisa jadi kiejin dan memangku pangkat! Siapa tahu kalau si nyonya Louw itu benar-benar bakal jadi isteriku ? ... “
Itu waktu Pauw Kun Lun masuk kedalam, maka Cie Seng-pun ngeloyor pulang.
Cie Wan dan Cie Lim segera menyusul.
“Ih, kenapa baru datang, kau sudah hendak pulang lagi
?“ mereka ini tanya. “Apa kau sudah setesai lakukan titahnya suhu ?“
“Ya, siapa itu nyonya yang kemarin di tengah jalan bicara kepadamu sambil tertawa?“ Cie Wan-pun tambahkan.
“Dia ada adiku,” Cie Seng jawab. “Kemarin dia pulang ke rumah ibunya. Kau jangan ganggu aku, aku lagi sakit, tadi suhu telah ijinkan aku beristirahat, aku telah pelihara kuda, sekurang aku hendak pulang.”
Ia putar tubuhnya untuk berjalan terus.
Cie Lim memburu, ia cekal lengannya Cie Seng. “Bocah, hati-hati batok kepalamu !“ kata Suheng ini dengan gusar. “Ayahku paling benci penjahat dan tukang mogor, jikalau kau ganggu anak-isteri orang dan ayah ketahui itu, dia akan minta jiwamu !“
Cie Seng gusar mendengar ancaman itu.
“Ngaco !“ Ia membentak. “Kau tuduh aku main gila dengan orang punya anak isteri, kau ada punya bukti apa?”
Sambil kata begitu, Cie Seng kibaskan tangannya yang dicekal, sampai tangannya Cie Lim terlepas dan tubuhnya terpelanting hampir terguling jatuh.
Cie Lim mundur dua-tiga tindak untuk perbaiki imbangan tubuhnya, terus ia gulung tangan bajunya, karena ia jadi mendongkol, kemudian Ia bertindak maju akan jambak sutee itu.
Menampak demikian, Cie Hian lempar gaetannya dan cegah kawannya ini, yang ia terus bujuki.
Cie Lim tidak memaksa menerjang, tetapi ia lantas menggerutu, ia ngaco belo.
Ce Seng tidak meladeni, tetapi ia berlaku dengan hati panas, hingga Ia ambil putusan akan putuskan perhubungannya dengan Pauw Cin Hui sebagai murid dan guru.
“Mulai besok aku tidak akan datang belajar!“ pikir ia. “Selanjutnya, apa juga yang aku lakukan, mereka tak berhak untuk mencampurinya.”
Dengan terus mendongkol, pemuda ini berjalan pulang, ketika ia sampai di depan rumahnya, Ia lihat dipohon ada ditambat seekor keledai, sedang di pojok tembok Tie Sam kelihatan lagi nongkrong seraya mengawasi ke arah matahari. “Kang Toaya, kau sudah pulang !“ menegur tukang keledai ini seraya berbangkit bediri begitu lekas ia tampak orang she Kang itu. Ia bicara sambil tertawa.
“Sudah sehari tadi aku tunggui kau !“ Cie Seng lekas menghampiri.
“Ada apa?” tanya ia dengan pelahan.
Tie Sam menyahut dengan pelahan juga, mendengar mana, air mukanya Cie Seng jadi bergembira.
“Baik kau pergi lebih dahulu, selekasnya aku susul kau !“ kata Cie Seng kemudian.
Tie Sam bersenyum pada pemuda ini, ia loloskan tambatan keledainya, lantas ia ngeloyor pergi sambil tuntun binatang sewaannya itu. Ia cuma pesan sambil tersenyum: “Lekasan sedikit Toaya, agar orang tidak terlalu lama menunggui ... ”
Atas itu Cie Seng manggut sambil tertawa, kemudian ia lekas masuk kedalam rumah.
“Lekas sediakan nasi !“ kata ia pada isterinya. Seraya ia terus buka teromol pakaian akan keluarkan seperangkat pakaian yang indah. “Habis bersantap aku hendak pergi. Dari See-an ada datang satu suheng kita, maka kita hendak undang dia berjamu di kota.”
“Kalau kau hendak turut suhengmu benpesta di kota, untuk apa kau suruh aku sediakan nasi ?“ tanya Oei-sie.
Mukanya Cie Seng menjadi merah, tapi ia lekas jawab: “Itu ada pesta di waktu sore tetapi sekarang juga aku mesti pergi ke kota. Katanya ada datang sekumpulan sandiwara baru yang jempol, maka kita hendak sekalian pergi nonton
... ”
Oei-sie tidak kata apa-apa lagi, ia lantas pergi ke dapur. Cie Seng gunai temponya untuk salin pakaian. Ia pakai baju dan celana hijau, dan diluarnya ia pakai baju lapisan ungu, yang kembali ditutup dengan mantel hijau. Juga sepatunya ia tukar dengan sepatu sulam warna hijau. Setelah dandan Ia lantas duduk dahar.
Siau Hu telah masuk kedalam, melihat ayahnya dandan, ia heran.
“Ayah mau kemana?” tanya Ia. “Apa ayah hendak sambut pengantin?”
“Jangan kau campur urusanku?” Cie Seng kata sambil goyangi tangan. Ia dahar dengan cepat. Setelah habisan, ia samber Ia punya kopiah batok.
“Barangkali aku akan pulang tidak sampai malam,” kata ia. Dan ia berIalu dengan roman gembira.
Oei-sie tidak kata apa-apa, terus ia bekerja pula seperti biasa, sama sekali ia tidak curiga yang suaminya salin pakaian baru.
Siau Hoo pergi pula keluar akan memain dengan toyanya. Anak ini gemar sekali ilmu silat.
Kira-kira jam tiga, pintu pekarangan ada yang ketok. “Siapa ?” Siau Hoo tanya seraya ia lintangi toyanya
dengan aksi bersiap.
“Buka pintu, aku mau ketemu ayahmu,” sahut suara diluar.
Bocah itu lekas buka pintu dan ia lihat Ie thionya, Ma Cie Hian.
“Ayah keluar,” ia lantas kata. “Ayah pakai pakaian baru, dia mau sambuti pengantin !“
Cie Hian ternganga. “Cie Seng !“ memanggil ia, yang tapinya terus bertindak masuk. Ia ada merdeka untuk keluar-masuk di rumahnya sutee ini, karena ia dan Cie Seng ada bersanak satu dengan lain, isterinya adalah adik misannya Oei-sie.
“Kemana dia pergi ?“ ia tanya begitu lekas ia temui Oei- sie.
“Oh, kau tidak tahu, moay-hu?” Oei-sie tanya. “Dia kata tadi bahwa ada datang satu suhengnya dari See-an. Kau katanya hendak jamu suheng itu, tapi Ia mau pergi ke kota dahulu untuk nonton sandiwara, habis itu baru ia hendak hadiri pesta ... ”
Cie Hian heran.
“Apakah artinya ini?” kata ia, seperti terhadap dirinya sendiri. Setelah itu, ia menyesal sendirinya, karena ia telah terlepasan bicara. Ia pikir : “Kalau Oei-sie tahu rahasia suaminya, berdua mereka bisa berselisih, inilah tidak baik ... ” Maka segera ia ubah kata-katanya, “Aku tidak tahu siapa yang datang dari See-an. Rupanya mereka tidak ajak aku. Kapan ia Cie Seng pergi? Kapan Ia akan pulang ?“
“Ketika tadi ia pulang dari rumah gurunya, ia perintah aku lantas sediakan barang makanan,” Oei-sie jawab. “ia sendiri terus dandan, sehabis bersantap ia pergi dengan lantas. Tadinya ia kata ia akan pulang malam tapi kemudian Ia bilang barangkali ia akan pulang lebih siang.”
Cie Hian berdiam, ia masih berpikir.
“Biarlah, sebentar aku datang lagi,” kata ia kernudian. “Aku hendak bicarakan satu urusan penting dengan Cie Seng !“ Ia pamitan dari Oei-sie. Ia pulang ke rumahnya di kota, karena ia ada buka bengkel besi dan mesti bekerja. Sorenya, selagi cuaca mulai gelap, Cie Seng pulang dengan air muka gembira. Ia ketemu isterinya dengan sepasang matanya lantas memain.
“Apakah kau sudah dahar?“ Oei-sie tanya suaminya. “Belum,” sahut sang suami, yang lantas jatuhkan diri di
kursi, karena ia agaknya berpikir, sampai ia lupa akan lantas buka kopiahnya.
“Baik kau salin pakaian dahulu,” Oei-sie kata, “Kalau pakaian itu kotor, dengan apa kau akan tukarnya?”
“Apa sih artinya pakaian?” sahut sang suami, sambil tertawa. “Kalau pakaian rusak, boleh bikin pula yang baru
!“
Oei-sie menjadi heran, Ia tak mengerti dengan perubahan sikap secara mendadakkan demikian dari suaminya itu. Tapi ia terus berdiam, ia lekas sajikan barang makanan.
Cie Seng terus bersantap, sambil berpikir, karena beberapa kali ia menunda sumpitnya.
Oei-sie perhatikan suaminya itu, ia sudah pikir, kalau sebentar suaminya sudah dahar cukup, ia hendak minta keterangan. Justeru itu diluar terdengar ketokan pada pintu.
“Tentulah Cie Hian yang datang,” kata ia. “Tadi siang, setelah kau pergi, ia datang, katanya ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu, barusan aku lupa beritahukan itu padamu.”
Setelah berkata, Oei-sie bertindak keluar, tetapi Siau Hoo, yang sedang berlatih dengan toyanya, sudah mendahului membukakan pintu, maka Cie Hian sudah lantas kelihatan masuk.
“Oh, kau sulah pulang !” Cie Hian menegur. “Silahkan duduk !“ Cie Seng mengundang seraya ia minta isterinya pasang lampu. Ia-pun lantas buka kopiahnya.
“Ada apa kau cari aku, moayhu ?” kemudian ia tanya.
Oleh karena disitu ada Oei-sie, Cie Hian jadi tidak leluasa untuk bicara.
“Tidak apa-apa,” ia menyahut sambil tertawa, “hanya tadi Kau toh tahu tabiatnya suhu bukan? Siapa bikin dia gusar, lantas dia tidak kenal kasihan ! Kita ada bersanak, kita-pun jadi suheng dan sutee, maka itu, aku suka bicara kepadamu. Kau tahu, untuk ini seharian aku bingung tidak keruan ... “
Cie Seng angkat mangkok nasinya, Ia bersikap sebagai juga tidak ada urusan apa-apa mengenai dirinya.
“Aneh,” kata ia seraya tertawa dingin, “ada urusan apakah yang menyebabkan suhu tidak senang terhadap aku?”
“Sabar,” Cie Hian bilang, seraya ia ulapkan tangan. “Bagaimana duduknya hal, benar atau tidak, aku tidak tahu, hanya tadi Lauw Cie Wan beramai bilang, katanya kau kemarin ... ”
Cie Seng segera merasa, tetapi ia kuatir isterinya dapat tahu dan jadi gusar, maka itu, ia mendahului banting sumpitnya.
“Dia ngaco!” kata ia dengan sengit. “Besok aku nanti tegur padanya!”
“Tidak usah,” Cie Hian beri nasihat. “Hanya baiklah kau sedikit kendalikan kelakuanmu. Makin tua tabiat suhu jadi makin luar biasa, apa pula sekarang, anaknya yang terluka piauw masih belum sembuh, sedang anaknya yang kedua tak punya guna, hingga ia mendongkol dan masgul, karena mana ia jadi semakin gampang bergusar. Apa saja asal sampai kekupingnya, itu pasti bukannya suatu perkara main-main !“
“Sebenarnya ada terjadi apakah?” tanya Oei-sie, yang heran. “Moayhu, coba kau beri keterangan padaku.”
“Tidak apa-apa, piauwcie.” jawab Cie Hian seraya menggoyangkan tangannya.
“Perkara ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, orang perempuan!“ kata Cie Seng dengan sengit pada isterinya. “Aku tidak akur kepadanya dan dia mengadu di depan suhu, sebabnya tidak lain daripada mereka jelus, karena aku belajar silat belum lama tapi aku telah dapat lombai mereka! Kawanan telur busuk itu, Cie Tiong diantaranya, aku tidak sudi kenal lagi! Malah si tua-bangka she Pauw aku juga tidak takuti ! Ada lebih baik pula si tua-bangka tidak sukai aku, sebab aku-pun justeru tidak ingin belajar silat terlebih jauh. Apakah mereka sangka aku sudi hidup dalam kalangan kang-ouw?”
Dalam mendongkolnya, Cie Seng tolak mangkok nasinya, terus ia bangkit.
Siau Hoo berada disamping ayahnya, Ia tampak kegusarannya ayah itu.
“Siapa perhinakan kau, ayah?” tanya dia, seraya dia lintangkan toyanya. “Apakah gurumu? Nanti aku cari dia untuk tempur padanya!”
Lalu sambil bawa toyanya itu, bocah ini bertindak keluar.
“Diam kau !” membentak Oei-sie, ia tarik anaknya itu yang ia gaplok. Cie Hian duduk tergugu, lalu ia menghela napas.
“Cie Seng, kau sungguh besar nyalimu!” kata ipar ini. Jangankan dia ada guru kita yang harus dihormati, sekali- pun dia ada orang lain, kita tidak harusnya undang kemurkaannya. Coba pikir, dengan adatnya itu, dan selagi dia ada punya begitu banyak murid, siapakah berani main gila terhadap dia? Sungguh kalau dia memikir untuk membinasakan satu atau dua jiwa, buat dia bukan main gampangnya ... ”
Mendengar disebutnya jiwa, Oei-sie jadi sangat berkuatir.
“Jangan kau bikin gurumu gusar,” Ia kata pada suaminya, “gurumu memang bisa bikin orang mati ... ”
Cie Seng tertava meliliat kekuatirannya isteri itu.
“Aku tidak bermusuhan kepada suhu, cara bagaimana buat satu urusan kecil saja ia binasakan aku,“ kata ia. “Sudah, kau jangan sibuki tentang urusanku.”
Setelah kata begitu, suami ini lantas hunjuk roman sabar dan tenang.
“Aku mau pulang sekarang, aku kuatir pintu kota keburu ditutup,” kata Cie Hian kemudan ia pamitan.
Cie Seng tidak cegah itu kawan atau sanak, ia mengantari keluar rumah, tetapi ketika ia kembali kedalam, ia duduk dengan bengong. Ia ingat, golok Kun-lun-too dari gurunya memang harus ditakuti. Tetapi ia tidak bisa lupai si nyonya Louw yang manis, kepada siapa tadi Tie Sam telah ajak ia bertemu, hingga semangatnya seperti sudah kena dibetot. Oleh karena pikirannya kalut, ia masuk tidur siang- siang. Keesoknya pagi, seperti biasanya Cie Seng berangkat ke rumah gurunya. Ia berlatih dengan luar biasa sungguh- sungguh dan rajin. Ia sering lirik Cie Hian, ia dapatkan kawan seperguruan itu sering mengawasi ia dan tertawa, sedang Cie Lim suka pandang ia dengan sorot mata jelus. Ia berlaku sabar, ia tidak perdulikan sikap mereka itu. Hanya, ketika gurunya mendekati ia, hatinya goncang. Tampak orang punya tubuh raksasa dan air muka suram, mau atau tidak ia jadi jerih dan takut. Ia dapat anggapan, guru ini benar-benar bisa bunuh ia.
“Aku mesti ubah kelakuanku,” ia berpikir, “Apabila perbuatanku ketahuan, benar-benar suhu bisa bunuh aku
...”
Oleh karena ini sehabisnya belajar, Cie Seng lantas kerjakan ini dan itu, kemudian tidak pasang omong dengan saudara-saudaranya seperti biasanya, ia terus ngeloyor pulang. Begitu lekas ia sudah keluar dari rumah gurunya lantas ia ingat pula si juwita, yang mencintai ia, hingga Ia merasa sukar untuk lupai dia itu.
Tempo Cie Seng sampai di rumahnya, ia dapati Tie Sam beserta keledainya sudah asyik menunggui ia, hingga segera ia kembaIi seprti terpengaruh iblis, lantas ia menghampiri tukang sewakan keledai itu, akan pasang omong tertawa- tawa, kemudian dengan tidak masuk pula ke rumahnya, melupai makan, tidak ingat salin pakaian, ia loncat naik atas keledai, pergi ke Selatan bersama si tukang keledai itu! Adalah sesudah sore baru ia pulang. Dengan isterinya ia tidak kata apa ia dahar, lantas ia masuk tidur.
Kelakuannya Kang Cie Seng ini berulang sampai, empat atau lima hari.
Pelahan-lahan kabar sampai di kupingnya Pauw Cin Hui. Pada suatu hari Cie Seng tidak dapat belajar silat, katanya ia sakit.
Itu han Pauw Cin Hui tunggu sampai Cie Hian berlima sudah seleai belajar dan bekerja, ia kumpulkan mereka.
“Kabarnya Cie Seng berkenalan kepada seorang perempuan di gunung Selatan, adakah itu benar?” guru ini tanya, dengan suara keras. “Aku larang kau dustakan aku!”
Pertanyaan ini bikin kaget lima murid itu, hingga mereka saling mengawasi, sedang Ma Cie Hian sudah lantas keluarkan keringat dingin, karena ia sangat berkuatir bagi iparnya atau ciehu misannya.
“Kau bicaralah!” akhirnya Cie Lim kata pada Lauw Cie Wan, tubuh siapa ia dorong. “Bukankah kau ketahui semua?”
Cie Wan ketakutan, mukanya sampai pucat. Tentu saja Ia tidak berani berdusta.
“Aku juga cuma dengar ceritera orang,” akhirnya ia menyahut, “Katanya Cie Seng bekenalan kepada satu nyonya Louw asal dari dalam kota, hal yang jelas aku tidak tahu. Nyonya itu beberapa hari yang lalu telah pulang ke rumah ibunya, belum sampai dua hari ia sudah pergi ke rumahnya satu nyonya Kwee yang tua yang tinggal di kakinya Lam San, bukit Selatan itu. Pihak ibunya suruh dia balik ke rumah mertuanya, dia tidak ladeni, sedang pihak mertuanya-pun tidak cari padanya. Kabarnya nyonya Kwee itu ada engkim dari Tie Sam, si tukang sewakan keledai. Tie Sam ini ada dibilang setiap hari bawa keledainya untuk papak Cie Seng yang ia hantar ke rumah nyona Kwee itu dimana Cie Seng bikin pertemuan dengan si nyonya Louw itu ... ” Mendengar itu mukanya Pauw Cin Hui jadi merah- padam, karena gusarnya.
“Apakab artinya ini?“ kata ia dengan nyaring. “Yang paling dipantang bagi murid-muridku adalah berjina dan merampok! Dia ke tahui ini, mengapa dia justeru sengaja melanggarnya? Dan kenapa dia begitu bernyali besar justeru ganggu orang perempuan dari keluarga baik-baik? Ini berarti dia hendak cemarkan nama baik dan Kun Lun Pay. Sekarang pergi kau gusur Kang Cie Seng kemari!”
Perintah itu membikin semua muridnya bersangsi, akan tetapi walau-pun demikian, tidak ada satu yang berani membantah, tidak ada satu yang berani bujuki guru itu buat bersabar.
Cie Lim ini adalah yang paling dahulu ambil goloknya, yang lain-lain-pun ambil masing-masing senjatanya kemudian mereka pergi menuju ke Utara.
Mereka berjumlah berlima Pauw Cie Lim jadi pemuka, Lauw Cie Wan, Tan Cie Cun dan Cin Cie Po ikuti dia. Dipaling belakang mengintil Ma Cie Hian. Ia sangat masgul dan berkuatir. Ia inyaf, Cie Seng itu ada sanaknya, dan saudara angkat juga.
“Sutee,” akhirnya Ia kata pada Cie Lim yang ia mendekati. “sekali-pun suhu ada gusar, baik kau tangkap saja Cie Seng untuk dihadapkan pada suhu, sekali-sekali jangan kau serang dan lukai dia ... ”
“Itu benar,” Lauw Cie Wan turut berkata. “Perkara itu ketahuan karena aku yang memberi keterangan pada suhu. Cie Seng tentu benci aku, sebab dia saya cupat pikirannya, dia tentu akan mendendam dan akan membalas sakit hati terhadap aku.”
Tetapi Cie Lim tertawa dingin. “Apakah yang kau takuti?” kata ia pada orang she Lauw itu. “Ayahku terima murid dengan ada aturannya, siapa lakukan perbuatan cabul atau jina, tak dapat tidak, dia mesti binasa! Bagaimana kematiannya Ouw Cie Khay? Kenapa Siang Cie Kho hilang sebelah tangannya, Kenapa Chio Cie Yauw dicungkil sebuah biji matanya?”
“Tetapi, sutee,” kata Ce Hian, “didalam perkara sekarang ini, aku minta bantuanmu. Aku minta kau mohon pada suhu supaya Cie Seng ditegur dan dihukum rangket saja, jangan dilukai. Kita harus ingat, Cie Seng masih muda dan belum tahu apa-apa ... ”
“Ah, jangan kau lindungi sanakmu!” kata Ci Lim seraya tertawa dingin. “Dalam perkara ini tidak ada daya lain! Umpama kata ayahku dapat diberi mengerti tetapi saudara- saudara kita dilain tempat mana sudi mengampuninya? Jikalau Cie Seng diberi ampun, ini artinya kita betbuat tidak adil! Jikalau Cie Khay mesti binasa, kenapa dia mesti diberi ampun?”
Selagi mereka bicara, mereka sudah sampai di rumahnya Cie Seng. Cie Hian sudah lantas keluarkan keringat dingin, apa pula ketika Cie Lim lantas saja menghampiri pintu dan mengetok-etok.
Tidak lama, pintu dibuka oleh Oei-sie. Nyonya ini terperanjat dan heran melihat orang datang ramai-ramai dan sambil membawa senjata juga, sedang romannya Cie Lim nampak dalam kegusaran.
“Ada apa?” tanya ia dengan tubuh gemetar. “Ada apa, ciong-wie koko?”
“Kita cari Cie Seng,” Cie Cun dan Cie Po mendahului menjawab. “Suhu panggil Cie Seng buat bicarakan satu urusan dengannya.” “Cie Seng keluar sejak tadi pagi-pagi,” terangkan Oei-sie, yang bingung dan kuatir, tubuhnya masih bergemetar. “Dia pergi ke rumah gurunya untuk belajar sampai begini hari dia masih belum kembali.”
“Ini hari dia tidak datang.” Cie Po beri tahu.
“Buat apa sia-siakan omongan!” kata Cie Lim. “Mari kila masuk dan periksa! Dia tentu umpatkan diri dan tidak berani menemui kita!”
Dan Cie Lim segera masuk terus kedalam untuk menggeledah, diturut oleh saudara-saudaranya, tetapi Cie Hian diam-diam mengasih tanda pada Oei-sie, hingga nyonya Cie Seng ini jadi semakin berkuatir.
Sia-sia saja Ce Lim mengeledah, itu menggeledah ini kolong-kolong pembaringan, Cie Seng tidak kedapatan.
“Dia tentu pergi ke Lam San akan ketemui itu nyonya manis,” kata orang she Pauw ini kemudian kepada Cie Wan. “Mari kita pergi kesana, lekas! Untuk tangkap orang berjina, kita mesti bekuk dua-duanya!”
Setelah kata begitu, Cie Lim ajak empat saudaranya keluar.
Justetu itu waktu, Siau Hoo berlari-lari dari luar dusun, ia ada bawa toyanya. Ia tidak tahu untuk apa orang datang ke rumahnya dengan bersenjata lengkap, ia anggap itu menarik hati maka sambil putar toyanya, ia menghampiri mereka.
“Hayo, siapa berani piebu keadaku?” ia berteriak dengan tantangannya.
Tentu saja Cie Lim semua tidak ladeni bocah itu, mereka lanjutkan perjalanan mereka. Perjalanan dari Pauw-kee-cun ke Lam San ada tujuh atau delapan lie, di sepanjang jalan adalah sawah-sawah yang ditanami gandum, ada juga sebuah kali kecil dengan jembatannya dari papan. Dari kali itu penduduk ambil air untuk dialirkan ke sawah
Lima orang itu berjalan dengan cepat, tidak lama mereka sudah sampai di kaki bukit. Itu ada dusun Lam san-cun dimana ada terdapat tiga atau empat puluh rumah penduduk desa.
Sampai disini, Cie Wan adalah yang maju di depan, akan tetapi Cie Lim beramai. Ia tidak segera menghampiri rumah keluarga Kwee, hanya ia pergi pada Thio Loo-toa sanaknya yang bekerja sebagal tukang cauwee, pembuat sepatu rumput, karena adalah dari dia ini yang Cie Wan ketahui lelakon percintaannya Cie Seng dengan Si nyonya Louw.
“Itu dia rumahnya nonya Kwee,” Thio Loo-toa menunjuki dengan diam-diam ketika Cie Wan minta pengunjukannya.
“Pergilah kau ketok pintu !“ Cie Lim terus perintah Cie Wan, yang ia joroki.
Cie Wan sedikit jerih, akan tetapi, ingat kawannya ada banyak, ia maju juga. Ia mendekati pintu dan mengetok sampai beberapa kali.
Sebentar kemudian pintu dibuka oleh seorang perempuan tua.
“Apakah Kang Cie Seng ada disini ?”
Cie Lim menanya dengan suara ketus. Akan tetapi dia berdiri dibelakangnya Cie Wan. Nyonya itu kaget melihat orang semua bersenjata, ia goyang-goyang tangan tetapi ia tidak bisa lantas buka mulutnya. Ia-pun kaget akan dengar bentakannya Cie Lim.
Cie Lim tidak sabaran, Ia tolak tubuhnya Cie Wan, ini ada tanda untuk menyerbu, maka berlima mereka lantas menerobos kedalam rumah.
Rumahnya nyonya Kwee, yang ada rumah gubuk, terdiri dari 2 kamar, kamar yang satu dia pakai sendiri bersama anaknya lelaki, yang satu pula dipakai oleh si nyonya Louw yang muda. Dan ketika itu Cie Seng justeru berada didalam kamar itu.
Cie Seng terkejut mendengar suara berisik dan banyak kaki, Ia tolak pintu akan melihat, sedang kekasihnya melongok dengan separuh tubuhnya.
“Ha-ha !“ Cie Lim tertawa seraya ia angkat goloknya. “Apakah sekarang kau masih mampu kelabui orang? Suhu perintah kita gusur kau! Hayo jalan, mari turut kita menghadap suhu !“
Mukanya Cie Seng menjadi pucat, ia takut, akan tetapi sekali-pun demikian, ia tidak mau unjukkan sikap pengecut di depan kekasihnya. Maka ia berdaya akan tabahkan hati.
“Ada urusan apa?” ia tanya, dengan tenang.
“Apakah kau masih belum ketahui perbuatanmu sendiri?” Cie Lim jawab dengan pertanyaannya, suaranya menyatakan kemurkaannya. “Kau sudah langgar aturan kita! Kau sudah culik dan sembunyikan seorang perempuan yang mempunyai suami. Tahukah kedosaanmu dan hukumannya? Potong kepala, korek biji mata !“
Nyonya Louw yang berada di belakang Cie Seng, kaget sampai ia menjerit, saking takutnya ia pegangi keras lengannya Cie Seng. Ia tidak mau beri pemuda itu pergi. Cie Seng tolak nyonya itu.
“Kau jangan takut, tidak apa-apa!“ kata ia sambil tertawa dengan dingin. Kemudian ia hadapi Cie Lim, ia kata sambil tertawa : “Benar, perempuan ini ada kekasihku! Dia bukan perempuan permainanku, keluarga ibuku dan keluarga mertuanya semua ketahui akan hal ini, malah aku sudah berdamai kepada pihak mertuanya. Lagi dua hari aku akan ganti kerugian buat lima puluh tail perak, untuk mereka resmikan perceraian mereka suami-isteri, setelah itu dia akan diantar ke rumahku secara sah! Urusanku ini, lain orang siapa juga tidak berhak mencampurinya, tidak sekali- pun tie-koan, apa pula suhu. Aku Kang Cie Seng tidak bawa minggat nyonya mantu dari kamu keluarga Pauw”
Cie Lim gusar bukan kepalang, hingga ia banting-banting kaki.
“Bagus, kau berani mengucap begini?” ia berseru. “Kau seperti juga damprat suhu dan mencaci aku ! Hanya jikalau kau berani, mari ikut kita !”
“Buat apa aku ikut kau ?” tanya Cie Seng sambil tertawa menghina.
Cie Lim angkat goloknya karena gusarnya, sedang Cie Cun, Cie Wan dan Cie Po-pun maju, karena guru mereka telah diupat-caci. Tapi Cie Hian segera lintangkan goloknya akan mencegah serangan mereka ini.
“Ingat, biar bagaimana dia adalah saudara kita,” kata ia dengan sabar. “Dia helajar silat sudah hampir tiga tahun, maka kalau dia caci suhu, cukup bila sekarang kita ajak dia menghadap suhu, tidak usah kita hertempur satu dengan lain ... Kemudian ia lanjutkan pada Cie Seng sikapnya seperti memohon: “Cie Seng, jangan bersikap keras. Mari turut kita kita temui suhu. Aku nanti berlutut pada suhu akan mememohon keampunan bagimu’ Cie Seng tidak jawab iparnya itu, hanya justeru orang lagi pada berdiam, sekonyong-konyong ia lompat maju pada Cie Hian, kedua tangannya diberi kerja, hingga dilain saat ia telah dapat rampas orang punya golok.
“Moayhu, minggir!“ ia berseru seraya Ia beraksi dengan golok rampasannya itu. Kemudian ia hadapi Cie Lim, ia tepuk-tepuk dada. Ia kata : “Aku si orang she Kang tidak membutuhkan orang memohonkan ampun bagiku. Suhu tidak berhak akan campur-tahu urusanku ini, oleh karena aku tidak langgar undang-undang negara. Siapa berniat melukai atau membunuh aku, aku akan tempur padanya!”
Cie Po gusar, ia maju dengan goloknya.
“Baiklah, ini tandanya kau sudah tidak akui suhu !” ia berseru. Ia lantas membacok.
Cie Seng tidak menangkis, ia hanya kelit kesamping.
Cie Lim gusar luar biasa, ia membacok sambil berseru : “Kau berani caci ayahku, baik, aku nanti mampusi kau !”
Cie Seng sudah mata gelap, ia tangkis bacokan itu, ia balas menyerang. Tapi sekarang ia kena dikepung berdua.
Si nyonya Louw jadi ketakutan.
“Kwee Toa-nio, Kwee Toa-nio!” ia menjerit berulang- ulang. “Lekas panggil kepala kampung, beberapa penjahat ini hendak membunuh Kang Toaya!”
Cie Lim dengar jeritan itu, Ia mendongkol bukan main, maka ia tinggalkan Cie Song untuk memburu ke dalam kamar, pada si nyonya manis.
“Aku nanti bunuh kau lebih dahulu, pesempuan jahat!” ia mengancam.
Cie Seng terkejut Ia lompat, Ia lompat memburu, goloknya diberi turun. Ia membacok dengan cepat, senjatanya itu mengenai pundak kirinya Cie Lim, hingga dia ini menjerit berbareng sama muncratnya darah, sedetik saja, tubuhnya rubuh.
Cie Hian kaget bukan main, ia kuatir ipar itu bacok pula Cie Lim untuk kedua kalinya, ia lompat memburu untuk mencegah.
Itu waktu Cie Wan bersama Cie Cun dan Cie Po-pun merangsek, maka Cie Seng putar tubuhnya akan melayaninya, ia loncat-loncat lari keluar rumah, hingga segera ia berada di tempat yang lega.
Cie Wan bertiga menyusul keluar karena Cie Seng tidak kabur, mereka jadi bisa menerjang, mengurung dan mengepung.
Disini Cie Seng bisa bersilat dengan leluasa. Tiga lawan itu yang belajar silat lebih lama dari pada ia, akan tetapi dalam hal main golok, ia ada terlebih lihay. Yang paling lemah adalab Cin Cie Po, dia yang paling kalut gerak- gerakan tangannya.
Cie Seng mendesak, baru beberapa jurus, lantas seorang menjerit keras. Itu ada suara hebat dan Cie Po yang lengannya terluka, hingga ia mesti lari ke pingir.
Melihat musuh berkurang Cie Seng desak Cie Hian, hingga dia ini lantas saja jadi repot.
Cie Hian muncul dengan goloknya Cie Lim, ia merangsak buat tangkis goloknya Cie Seng, sedang dengan tangan kirinya ia mengulap-ulap kepada Cie Wan dan Cie Cun.
“Tahan, tahan!” ia berseru berulang-ulang. “Kita ada murid-murid Kun Lun Pay, tidak seharusnya kita bertempur diantara saudara-saudara sendiri !” Kemudian ia tambahkan pada iparnya : “Cie Seng, jangan terlalu turuti adatmu! Urusan sebenarnya bisa didamaikan akan tetapi kau telah bikin rusak!”
Ce Seng sedang panas. Ia-pun insaf bugeenya ternyata sempurna, ia tidak mau dengar lagi nasihat.
“Inilah bukan urusan sukar !” ia berseru, ia tepuk-tepuk dada pula. “Jikalau Pauw Cin Hui tidak puas, suruh dia datang cari aku! Mulai hari ini aku Kang Cie Seng sudah putuskan perhubungan dengan dia! Dia tidak boleh campur pula urusanku !”
“Baik, baiklah,” kata Cie Wan dan Cie Cun, yang telah tarik pulang senjatanya masing-masing. “Dengan ucapanmu ini, kita tidak hendak ganggu kau terlebih jauh, sekarang juga kita hendak pulang untuk sampaikan itu pada suhu.”
Mereka lantas masuk kedalam buat pepayang Cie Lim yang terluka, kemudian dengan ajak Cie Po mereka berlalu.
Dengan mata merah dan mencorong, Cie Seng awasi empat orang itu, goloknya ia masih pegang, dari mulutnya Ia perdengarkan ketawa menghina.
“Cie Seng, inilah aku tidak nyana!” kata Cie Hian pada ciehunya itu seraya ia banting-banting kaki. “Kau telah lakukan perbuatanmu, aku tidak berdaya lagi untuk lindungi kau. Sekarang baik kau lekas angkat kaki meninggalkan Han-tiong, kau pergi ke Kwan-tiong untuk berdiam beberapa tahun disana. Jikalan kau tidak menyingkir, pastilah kau bakal celaka!”
Tidak saja Cie Seng tidak sudi dengar nasihat itu bahkan ia jadi sengit, ia angkat goloknya.
“Kau jangan perdulikan aku !“ kata ia dengan keras. “Aku akan tanggung perbuatanku! Pembesar negeri tidak kirim opas untuk tawan aku, kenapa aku mesti kabur? Syukur jikalau Pauw Cin Hui tidak datang cari aku, akan tetapi andaikata ia lupai perhuhungan kita sebaga guru dan murid, aku juga tidak akan berlaku sungkan lagi terhadap dia !“
Cie Hian mendongkol melihat akan sikap kepala balu itu, ia jadi sangat jengkel, hingga ia banting-banting kaki.
“Biar bagaimana aku telah lakukan kewajibanku terhadapmu!” ia kata. “Kita ada bersanak, aku tidak tega melihat kau menghadapi ancaman bencana, tetapi sekarang aku tidak berdaya. Nah, semua terserah kepadamu !“
Sehabis berkata begitu, dengan menghela napas berulang-ulang Cie Hian angkat kaki.
Cie Seng antap orang pergi, lantas ia hiburkan nyonya tua itu, yang ketakutan bukan main.
“Tidak apa-apa,” Ia-pun hiburkan kekasihnya ketika ia masuk kedalam kamar. “Aku telah usir mereka itu, mereka tentu tidak akan berani datang pula !“
Nyonya Louw menangis, agaknya ia manja sekali. “Sekarang pergi kau siapkan itu uang tigapuluh tail
perak,” kata ia. “Kau mesti lekas serahkan uang itu pada keluarga Louw agar dia segera menikah pula, supaya kita- pun bisa menjadi suami-isteri yang syah.”
“Kau jangan kuatir, dalam satu atau dua hari aku akan bereskan itu,” kata Cie Seng.
Akan tetapi sekali-pun mulutnya mengucap demikian, namun didalam hati ia sangsi, ia masgul. Dengan pelahan- lahan, lenyaplah amarahnya yang tadi dibangkitkan karena sikap garang dari Cie Lim bersama, hingga sekarang ia bisa berpikir dengan tenang “Benar aku telah belajar silat tiga tahun dan Cie Cun semua bukannya tandinganku,” demikian ia pikir. “Akan tetapi, kalau aku mesti layani Si tua-bangka she Pauw, itulah bukan main-main. Jangankan si tua-bangka sendiri, umpama kata Cie Tiong saja seorang yang datang, habislah aku ... ”
Cie Seng-pun lantas pikirkan itu uang tiga puluh tail perak untuk ganti kerugian pada keluarga Louw, sedang untuk beri persen pada Tie Sam dan Si nyonya Kwee, ia membutuhkan lagi sepuluh tail. Dari mana ia bisa garuk uang itu selagi ia bukan seorang hartawan? Ia ada punya belasan bahu sawah, namun semua itu ia hanya disewakan kepada orang lain, hasil mana ia pakai hidup bersama isteri dan anaknya.
Kadang-kadang ia masih alami ketekoran, tapi sekarang ia perlu empat-puluh tail uang kontan. “Apakah aku mesti jual sawahku itu?” ia berpikir. “Tapi hari masih panjang dan kalau isteriku ketahui perbuatanku ini, tidakkah dia akan gusar dan kalap?”
-ooo0dw0ooo-