Setelah tujuh orang pemanah itu mencari tempat yang cocok, mereka mempersiapkan gendewa dan anak panah untuk menyerang apabila Narotama keluar dari pondok itu. Ki Patih Narotama memiliki kepekaan perasaan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Dia dan Sang Prabu Erlangga adalah orang-orang sakti mandraguna dan ahli tapa yang hidupnya bersih dan selalu menjaga agar mereka melangkah di sepanjang jalan kebenaran.
Semua ini mendatangkan kepekaan yang tak dapat dilatih manusia, melainkan yang datang sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang senantiasa melaksanakan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan mereka.
Selagi tenggelam ke dalam semedhi yang tenang dan kosong, tiba-tiba Narotama merasa betapa nadinya berdenyut cepat. Denyut jantung itu tidak normal, terasa di seluruh tubuh dan tahulah Narotama bahwa ada hal yang tidak wajar, tidak beres dan mengancam keselamatannya. Akan tetapi dia tetap tenang saja, sama sekali tidak menjadi gugup, bahkan tetap duduk bersila, namun seluruh urat syarafnya siap untuk menghadapi segala sesuatu yang mengancamnya, siap untuk melindungi dirinya dari ancaman marabahaya.
Tiba-tiba dia merasa ada angin berhembus perlahan dan lampu penerangan yang berada di kamar itu apinya bergoyang. Ini menandakan bahwa ada angin masuk ke kamar itu, walau pun angin itu sedikit saja. Mungkin ada sesuatu yang terbuka, terbuka sedikit sehingga ada angin menerobos masuk. Narotama tetap duduk bersila dengan tenang, seolah tidak merasakan atau melihat apa-apa. Akan tetapi pendengarannya yang amat peka menangkap gerakan lembut di luar jendela pondok itu, lebih dari seorang. Seluruh urat syarafnya menegang karena siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Tiba-tiba pendengarannya dapat menangkap suara mendesir, suara benda kecil menyambar ke arahnya. Dengan tubuh masih duduk bersila, Narotama mencelat ke atas dan sinar hitam menyambar ke arah punggungnya. Narotama tentu saja tidak melihat ini karena serangan itu datang dari arah belakang. Namun pendengaran dan perasaannya dapat menangkap bahkan mungkin lebih jelas dari pada kalau dia melihatnya karena cuaca dalam kamar itu hanya remang-remang saking kecilnya lampu penerangan di dalam ruangan itu.
Sinar hitam itu meluncur lewat di bawah tubuhnya dan ketika mengenai dinding di depannya, tampak bara api berpijar dan suara pasir runtuh ke atas lantai. Diam-diam Narotama mengenal senjata rahasia yang ditimpukkan ke arahnya itu. Dia pernah mengenal senjata rahasia seperti itu, yakni pasir yang mengandung racun dan melihat bara api berpijar ketika pasir-pasir mengenai dinding dia tahu bahwa penyerangnya memiliki tenaga sakti yang cukup hebat.
"Pengecut!" bentaknya dan tubuhnya yang tadinya mencelat ke atas kini meluncur ke arah jendela.
"Braaakkkk..!"
Jendela itu telah diterjangnya dan jebol. Sinar lampu dan kamar kini menyorot keluar melalui jendela dan Narotama melihat dua orang yang berpakaian serba hitam dan kepala berikut mukanya ditutupi kerudung hitam yang ada dua lubang kecil di bagian mata. Tampak mata kedua itu berkilau terkena sinar lampu dari dalam.
Dua orang itu. Lasmini dan Linggajaya. tidak merasa heran melihat Narotama dapat menghindarkan diri dari serangan sambitan Pasir Sakti yang dilontarkan Linggajaya tadi karena mereka memang maklum akan kedigdayaan sang patih dan tidak terlalu mengharapkan Narotama dapat dirobohkan sedemikian mudahnya dengan serangan senjata gelap. Mereka berdua tidak memberi kesempatan lagi. Begitu Narotama turun keatas tanah. Lasmini sudah menerjang dengan pedangnya dan Linggajaya juga menyerang dengan keris pusakanya.
Melihat datangnya serangan yang demikian dahsyat, secepat kilat dan saking kuatnya mendatangkan angin berdesing, Narotama diam-diam terkejut. Dua orang penyerangnya adalah orang orang sakti!
Dengan mengerahkan tenaga saktinya tubuh Narotama berkelebatan mengelak dari dua serangan itu. Sambil mengelak dia mengirim tamparan dan tendangan yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Dua orang itu terkejut bukan main karena biarpun tamparan dan tendangan Itu tidak mengenai tubuh mereka, akan tetapi angin pukulannya menyambar dahsyat membuat mereka terhuyung!
Lasmini terkejut bukan main. Ia tahu bahwa orang yang menjadi suaminya ini sakti mandraguna, akan tetapi ia belum pernah mengalami diserang dengan tenaga sakti yang sedemikian dahsyat, panas dan mendatangkan angin pukulan yang dapat membuat dia dan Linggajaya terhuyung!
Mereka berdua masih mencoba untuk mengeroyok dan mendesak Narotama. Ki Patih Narotama sejenak terdesak saking hebatnya pedang dan keris itu menyerang secara bertubi-tubi. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah sebatang pohon sawo yang tumbuh di dekat sanggar pamujan yang berada di taman itu. Sekali tangannya meraih, ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah memegang potongan ranting pohon sebesar lengannya, sepanjang satu depa. Masih ada berapa helai daun menempel pada ranting itu.
Kini dengan ranting di tangan Narotama mengamuk. Rantingnya digerakkan sedemikian hebatnya sehingga terdengar angin menderu dan tubuh ki patih dilindungi gulungan sinar yang menimbulkan angin kuat. Ketika dua orang itu mendesak, ranting itu menangkis pedang dan keris hampir berbareng.
"Trang-tranggg..!"
Lasmini dan Linggajaya kaget setengah mati karena tangkisan ranting pada senjata mereka itu mengandung tenaga yang demikian dahsyatnya sehingga mereka terpental kebelakang dan nyaris terjengkang. Cepat mereka berjungkir balik ke belakang sampai tiga kali lalu seperti dikomando saja mereka berdua menghilang dalam kegelapan malam.
Pada saat itu, tujuh orang pemanah yang sudah mendapat tugas meluncurkan anak panah mereka ke arah tubuh Narotama. Ki Patih Narotama marah melihat serangan gelap dengan anak panah ini. Bagaikan seekor burung garuda terbang, tubuhnya bergerak cepat dan begitu tubuhnya berputar, kedua tangannya sudah berhasil menangkap tujuh batang anak panah itu dan kedua tangannya bergantian menyambitkan tujuh batang anak panah Itu ke arah dari mana senjata gelap itu datang menyerangnya. Terdengar jeritan susul menyusul dan tujuh orang pemanah itu tewas dengan dada tertembus anak panah mereka sendiri! Peristiwa itu terjadi amat cepat sehingga mereka tidak sempat meluncurkan anak panah kedua.
Narotama hendak mengejar dua orang penyerangnya tadi, akan tetapi mereka sudah tidak tampak lagi. Pada saat itu, terdengar suara Lasmini.
"Kakangmas Narotama..! Paduka berada di mana?"
Narotama kembali mendekati jendela sehingga tersorot sinar lampu dari dalam.
"Aku di sini, yayi Lasmini!"
Lasmini melompat dekat dan memegang kedua tangan suaminya, wajahnya tampak pucat ketika ia memandang kearah jendela yang jebol.
"Kakangmas, apa yang terjadi? Hamba tadi merasa gelisah dan tidak enak sekali hati ini... hamba khawatir terjadi sesuatu. Dan kakangmas berada luar pondok dan jendela itu... ah, tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Apakah yang telah terjadi, kakangmas?"
"Hemm, ada dua orang bertopeng berusaha membunuhku dan ada beberapa orang lain yang menyerangku dengan panah secara menggelap. Akan tetapi agaknya aku telah dapat merobohkan penyerang-penyerang gelap itu."
Lasmini berkata, "Mari kita periksa kakangmas. Aku akan mengambil obor!"
Ia berlari ke arah belakang gedung dan tak lama kemudian sudah datang kembali obor di tangan kiri dan Cambuk Sarpokenoko di tangan kanan! Ia tampak marah sekali. Narotama dan Lasmini lalu memeriksa di tempat-tempat dari mana tadi datang sambaran anak panah yang dia kembalikan dengan lontaran kuat. Mereka menemukan tujuh orang berpakaian hitam hitam yang memakai kerudung di kepalanya, sudah menggeletak tewas dengan anak panah menembus dada. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang hanya terkena anak panah di pundak sehingga semestinya mereka tidak tewas, akan tetapi ternyata mereka berdua juga sudah tewas dengan luka tikaman keris pada dada mereka! Narotama mengerutkan alisnya, jelas bahwa ada tangan lain yang membunuh dua orang yang tidak mati oleh anak panah ini!
Melihat betapa tujuh orang itu sudah tewas, lega hati Lasmini. Tadi ia sudah khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang belum mati, maka ia sengaja membawa Cambuk Sarpokenoko untuk membunuh mereka yang belum mati. Akan tetapi ternyata hal itu tidak perlu ia lakukan dan hal ini membuktikan bahwa Linggajaya telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Setelah tadi ia dan Linggajaya gagal membunuh Narotama, Mereka cepat melarikan diri dan ia memerintahkan Linggajaya untuk membunuh pemanah gelap kalau mereka juga gagal membunuh Narotama agar jangan ada yang dapat membuka rahasia.
"Aduh, sayang sekali, kakangmas! Kenapa mereka dibunuh semua? Kalau ada yang dapat tertangkap hidup kan dapat ditanya siapa yang menyuruh mereka mencoba membunuh paduka?" kata Lasmini dengan suara menyesal.
Narotama hendak menjawab, akan tetapi entah bagaimana, ada suatu perasaan tidak enak yang membuat dia tidak jadi bicara dan menyinggung soal dua orang pemanah yang bukan tewas oleh sambitan anak panah yang dilakukannya, melainkan tewas oleh tikaman keris.
"Sudahlah, mari kita masuk ke dalam." katanya dan mereka berdua meninggalkan taman itu memasuki gedung.
Setelah masuk gedung baru Narotama tahu apa perasaan tidak enak itu. Dia merasa curiga kepada Lasmini! Akan tetapi karena tidak ada bukti, diapun tidak dapat sembarangan menuduhnya. Akan tetapi jauh lewat tengah malam, ketika Lasmini sudah tidur pulas, Narotama keluar dari kamarnya dan berkelebat tanpa suara menuju ke bagian belakang gedung kepatihan.
Dia sudah tahu dimana kamar orang yang hendak dicarinya, yaitu Sarti, pelayan pribadi Lasmini. Dia harus bertindak sekarang juga, sebelum keadaan menjadi semakin berbahaya. Sarti itulah satu-satunya orang yang mengetahui segalanya tentang Lasmini. Tanpa mengeluarkan suara, Narotama dapat membuka jendela kamar itu dari luar, lalu dia melompat masuk. Sebuah lampu kecil yang tergantung di situ cukup terang baginya untuk dapat melihat tubuh yang rebah miring di atas pembaringan dalam keadaan tidur nyenyak dan mendengkur. Tubuh seorang wanita yang tinggi besar. Itulah Sarti.
Narotama mendekati pembaringan dan mengguncang pundak wanita itu. Sarti terbangun dan melihat sesosok bayangan berdiri di dekat pembaringannya, wanita ini trengginas (dengan sigap) bangkit dan menyerang dengan tamparan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi Narotama menangkap pergelangan tangan itu dan sekali jari-jari tangannya bergerak, dia menyodok leher Sarti dan tubuh tinggi besar itu terkulai pingsan.
Narotama lalu mengempit tubuh Sarti, dibawanya keluar memasuki taman yang sepi, membawanya ke pondok di tengah taman. Setelah melepaskan tubuh Sarti ke atas bangku yang berada di pondok itu, Narotama lalu memijat tengkuk wanita itu dan siumanlah Sarti. la terbelalak melihat dirinya di dalam pondok yang sudah diterangi lampu gantung dan menahan jeritnya ketika mengenal siapa yang berdiri kamar itu.
"Gusti patih..!" ia cepat turun dari atas bangku dan menyembah.
"Sarti, engkau tahu siapa aku?"
"paduka... gusti patih yang hamba hormati..."
"Hemm, engkau adalah pelayan pribadi yayi Lasmini, tentu tahu segala hal mengenai diri Lasmini. Hayo sekarang ceritakan kepadaku apa yang direncanakannya, apa yang dilakukannya! Bicara terus terang, jangan membohong!"
"Hamba... hamba tidak tahu apa-apa, gusti. Yang hamba ketahui adalah bahwa Gusti Puteri Lasmini adalah garwa Paduka yang setia dan amat mencinta Paduka..."
"Sarti, sekarang katakan, apa yang kau ketahui tentang Linggajaya, juru taman yang baru itu. Hayo katakan!"
Karena merasa ketakutan, Sarti menjadi gugup. "Hamba... hamba tidak tahu apa-apa tentang denmas Linggajaya, gusti..."
Narotama mengerutkan alisnya. Bau busuk yang ditutupi itu mulai tercium!
"Denmas Linggajaya? Engkau menyebutnya denmas? Bukankah Linggajaya itu adik misan mu?"
"Bukan..." Tiba-tiba Sarti teringat akan pesan Lasmini. "...oh, ya, gusti. Dia itu adik misan hamba..."
"Lalu kenapa engkau menyebutnya denmas? Jangan bohong kau!"
"Hamba... hamba... tidak tahu apa-apa, gusti... ampun, gusti..."
"Sarti, jelas engkau berbohong kepada ku! Sekarang katakan terus terang, ada hubungan apa antara Lasmini dan Linggajaya? Hayo jawab!"
Wajah Sarti menjadi pucat. Biar pun ia seorang yang pemberani, akan tetapi sekali ini ia ketakutan bukan main.
>"Hamba... hamba tidak tahu, gusti... hamba tidak berani..."
Narotama maklum bahwa wanita ini amat setia kepada Lasmini, selain setia juga takut dihukum oleh selirnya itu. Maklum bahwa Lasmini adalah puteri Kerajaan Parang Siluman, sedangkan Sarti adalah seorang abdi di kerajaan itu, tentu saja setia dan juga takut. Setelah berpikir-pikir sejenak, Narotama menggerakkan tangannya menampar pundak Sarti.
"Plakk!"
Sarti terguling dan ia merintih-rintih dan bergulingan. Tamparan itu mengandung Aji Hasta Dibya yang dibatasi. Sarti menderita rasa nyeri yang amat hebat, seluruh isi dada dan perutnya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, seperti disayat-sayat, panas, pedih perih hampir tak tertahankan, la mengaduh-aduh dan menangis, padahal wanita ini sudah hampir lupa bagaimana menangis itu.
Narotama menjulurkan tangan menekan pundak Sarti dan rasa nyeri luar biasa itu pun lenyap. Sarti masih mendekam di atas lantai sambil terengah-engah, akan tetapi tidak merintih lagi. Ia merasa napasnya sesak dan seluruh tubuhnya lemas dan gemetaran.
"Nah, sekarang akuilah terus terang atau aku akan membiarkan engkau tersiksa seperti tadi, mati tidak hidup pun tidak!" Narotama membentak.
"Mohon ampun, gusti..."
"Hayo katakan, jangan takut!"
"Gusti puteri...beliau... memadu asmara dengan...dengan denmas Linggajaya..."
Narotama tersenyum pahit. Hal ini sedikit banyak sudah diduganya. Ketika dia kembali dari Karang Tirta dan dilayani Lasmini sebagai selirnya, dia sudah menaruh curiga, merasakan ada sesuatu yang tidak wajar pada diri Lasmini. Tentu selirnya itu telah melakukan kesalahan besar yang dia tidak tahu apa. Kemudian, ketika terjadi penyerangan atas dirinya, dia menjadi semakin curiga. Kiranya Lasmini bertindak menyeleweng, berjina dengan Linggajaya itu.
Kini dia benar-benar hampir yakin bahwa Linggajaya pasti bukan juru taman biasa saja. Tentu dia itulah putera Ki Suramenggala, mantan lurah Karang Tirta, yang kabarnya sakti. Dan mengingat bahwa Lasmini yang memasukkan Linggajaya sebagai juru taman dan membohonginya, mengatakan bahwa Linggajaya adalah saudara misan Sarti, tentu kedua orang sesat ini telah mengadakan persekutuan yang busuk.
Besar sekali kemungkinannya Lasmini dan Linggajaya yang mengatur percobaan pembunuhan atas dirinya itu dan dia tidak akan heran kalau dua orang yang menyerangnya tadi adalah Lasmini dan Linggajaya!
"Bagus, engkau mau berterus terang Sekarang coba ceritakan, apa saja yang direncanakan Lasmini dan Linggajaya". Melihat Sarti tampak ketakutan, Narotama berkata, "Jangan takut, kalau engkau mau berterus terang, aku akan mengampunimu karena engkau hanya seorang pelayan."
"Hamba sungguh tidak tahu, gusti, Yang hamba tahu adalah bahwa gusti puteri melakukan hubungan dengan Linggajaya sejak paduka meninggalkan kepatihan..."
Narotama termenung dan berulang-ulang menarik napas panjang. Sebetulnya, sejak pertama kalinya, ketika dia melaksanakan perintah Sang Prabu Erlangga untuk meminang Lasmini dan Mandari, dia sudah merasa agak khawatir. Kemudian cara yang digunakan Lasmini untuk dapat menjadi selirnya, memberi peluang kepadanya untuk meraba perut wanita itu karena hendak mengobati dan menyelamatkan nyawanya lalu hal itu dijadikan alasan mengapa Lasmini ingin menjadi selirnya, hal itu sudah membuat curiga.
Dia tidak mencinta Lasmini, akan tetapi karena pandainya Lasmini merayunya dan menyenangkan hatinya, diapun tunduk kepada nafsunya sendiri. Dia hanya mencinta Lasmini karena nafsu, karena gairah berahi. Lalu dia teringat akan cerita Sang Prabu Erlangga tentang peringatan Sang Empu Bharada. Kini peringatan itu agaknya akan terjadi, dimulai dengan penyelewengan Lasmini yang agaknya merencanakan pembunuhan terhadap dirinya.
Karena melamun, Narotama kurang memperhatikan Sarti, maka dia terkejut sekali ketika mendengar desir angin dan ada sinar hitam menyambar. Dia cepat melompat ke samping, akan tetapi sinar itu menyambar ke arah Sarti dan perempuan itu terpelanting roboh! Narotama terkejut akan tetapi dia segera melompat keluar dari pondok untuk mengejar orang yang telah melakukan penyerangan itu.
Akan tetapi setelah tiba di pondok, kegelapan malam menghalanginya untuk dapat melakukan penangkapan. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana dan penyerang itu tentu memiliki kepandaian tinggi sehingga tentu saja dapat mempergunakan kegelapan malam itu untuk melarikan diri.
Karena merasa percuma melakukan pengejaran tanpa mengetahui siapa penyerangnya dan ke mana arah larinya, Narotama kembali ke dalam pondok dan memeriksa keadaan Sarti. Wanita itu telah tewas dan pada lehernya terdapat totol-totol hitam yang membuat seluruh leher itu berubah menghitam.
Narotama tahu bahwa Sarti tewas terkena serangan senjata rahasia beracun, berupa pasir. Kecurigaannya terhadap Lasmini semakin kuat. Lasmini telah berjina dengan Linggajaya, tentu ada persekutuan jahat di antara mereka yang memiliki maksud lebih hebat dari pada sekedar hubungan kotor itu. Dia tidak akan bersikap lemah lagi. Lasmini dan Linggajaya harus dia tangkap dan dia akan memaksa mereka mengaku apa yang tersembunyi di balik hubungan mereka. Siapa tahu, bukan dia saja yang menjadi sasaran pembunuhan, melainkan ada maksud lain yang lebih besar, misalnya dengan mencoba untuk meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Erlangga! Narotama cepat berkelebat kembali ke gedung kepatihan untuk menangkap Lasmini, kemudian baru menangkap Linggajaya.
Ki Patih Narotama tidak merasa heran ketika mendapatkan bahwa Lasmini tidak berada di kamarnya, juga tidak ada dimana pun juga dalam gedung kepatihan. Lasmini telah minggat. Tentu ia tahu bahwa rahasia busuknya, berjina dengan Linggajaya, telah dibuka oleh Sarti kepada Narotama. Karena itu pula, dan agar jangan sampai Sarti membuka mulut lebih lebar, maka Sarti dibunuh!
Mungkin pembunuhnya adalah Linggajaya dan pasir beracun itu sama dengan yang dipergunakan untuk menyerangnya ketika dia bersemedhi dalam sanggar pamujan! Juga Narotama sama sekali tidak heran ketika mendengar laporan bahwa Linggajaya juru taman baru itu, telah minggat dari perumahan untuk para pekerja di kepatihan. Dia sudah menduganya demikian!
Narotama lalu menemui Listyarini, isterinya, dan perlahan-lahan menceritakan tentang Lasmini. Wajahnya tampak muram, bukan karena merasa sedih kehilangan selirnya yang pandai merayu dan menyenangkan hatinya itu, melainkan menyesal bahwa dulu dia tidak percaya kepada Listyarini yang sudah menyangka buruk kepada selir itu.
"Maafkan aku, yayi Listyarini. Engkau benar sekali ketika dulu mencurigai Lasmini. Kini akupun yakin bahwa Lasmini yang mengatur penculikan dan usaha pembunuhan atas dirimu dahulu itu. Aku menyesal sekali tidak menanggapi kecurigaanmu terhadap wanita yang rendah budi itu."
"Sudahlah, kakangmas. Hal yang sudah lalu tidak perlu kita sesali. Masih beruntung kakangmas terhindar dari malapetaka dan untuk berkah dan perlindungan Hyang Widhi ini, sudah sepatutnya kalau kita menghaturkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas kasih karunianya ini."
"Aduh, yayi. Engkau adalah seorang wanita yang halus budi dan bijaksana. sekarang persiapkan pakaian pengganti untukku. Setelah pagi nanti, aku akan pergi menghadap Sang Prabu untuk melaporkan segala peristiwa ini agar beliau dapat berhati-hati terhadap Puteri Mandari, karena kalau Lasmini mempunyai niat busuk terhadap diriku, tentu Mandari juga mempunyai rencana busuk yang mungkin akan membahayakan Gusti Sinuwun dan kedudukannya."
Suami isteri itu lalu memuja Yang Maha Kasih untuk menghaturkan rasa syukur dan terima kasih mereka dan Narotama menanti datangnya pagi untuk membuat persiapan menghadapi Sang Prabu Erlangga…..
********************
Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga juga terjadi hal-hal yang menggegerkan, walau pun Sang Prabu Erlangga merahasiakan peristiwa itu dan dengan bijaksana sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi keadaan. Terjadinya dua hari yang lalu. Pada hari itu, pada waktu siang, Dyah Untari selir pertama Sang Prabu Erlangga, mencari angin di taman karena hari itu panas bukan main.
Dengan ditemani dua orang pelayan, yaitu dua orang gadis dayang Dyah Untari duduk di dekat kolam ikan yang ada air mancurnya sehingga terlindung pohon rindang, hawa udara disitu sejuk dan nyaman. Selagi ia duduk diatas bangku panjang dan menikmati semilirnya angin, tiba-tiba datang Puspa Dewi menghampirinya. Karena di situ terdapat dua orang dayang pelayan selir pertama Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berjongkok dan menyembah sebagaimana layaknya seorang dayang terhadap majikannya.
"Gusti Puteri Dyah Untari, perkenankan hamba menghadap dan menyampaikan seuatu yang amat penting kepada paduka." kata Puspa Dewi.
Dyah Untari memandang dan ia tersenyum. Sejak gadis ini menjadi dayang melayani Mandari, selir sang prabu yang paling baru, ia memperhatikannya dan ternyata sikap dayang ini baik, hormat dan ramah, terutama kepadanya sehingga sudah beberapa kali Dyah Untari bertemu dan mengajaknya bercakap-cakap. Ia menilai sikap Puspa Dewi baik sekali dan ia merasa suka kepada dayang ini, walau pun semula ia curiga karena Puspa Dewi adalah dayang pelayan Puteri Mandari.
"Ah, engkaukah itu, Puspa Dewi? Apakah engkau diutus Puteri Mandari kemari?"
"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba mempunyai urusan teramat penting yang hanya dapat hamba sampaikan kepada paduka seorang, tanpa didengar oleh orang lain." kata Puspa Dewi sambil mengerling ke arah dua orang dayang pelayan yang duduk bersimpuh tak jauh dari situ.
Dyah Untari mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dayang pelayannya "Kalian pergilah ke pintu taman di sana dan jangan sekali-kali mendengarkan percakapanku dengan Puspa Dewi, juga jangan sekali-kali mengatakan kepada siapa pun juga bahwa Puspa Dewi menghadap padaku."
Dua orang dayang itu menyembah lalu pergi. Puspa Dewi merasa kagum kepada Dyah Untari karena sebelum ia bicara puteri itu agaknya sudah tahu bahwa ia akan membicarakan hal penting sekali dan juga dapat menduga bahwa ia tidak ingin diketahui, terutama oleh Puteri Mandari bahwa siang hari itu ia menghadap Puteri Dyah Untari di dalam taman.
"Nah, bicaralah, Puspa Dewi." kata Dyah Untari. "Duduk sajalah di sini." Ia menunjuk ke sisi bangku di sebelahnya.
"Biar hamba di sini saja, gusti puteri. Kalau terlihat orang lain hamba duduk sejajar dengan paduka, sungguh akan menimbulkan kecurigaan dan keheranan orang."
"Hem , pada hakekatnya, kalau bicara dengan orang yang kurasa cocok, aku lebih suka bicara seperti sahabat, bukan seperti pelayan dengan majikannya. Akan tetapi sudahlah, mungkin engkau benar. Nah, apa yang hendak kau katakan?"
"Perkara yang besar sekali, gusti puteri, yang juga mengancam keselamatan kerajaan paduka."
Dyah Untari terbelalak dan kini duduk tegak, alisnya berkerut dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata menyelidik.
"Puspa Dewi, perkara sepenting itu sebaiknya kau laporkan langsung kepada Gusti Sinuwun!"
"Tidak, gusti. Hamba tahu bahwa ada bahayanya laporan hamba tidak akan dipercaya dan hanya menimbulkan kegemparan. Hamba merasa bahwa di dalam istana ini, hanya paduka yang percaya kepada hamba, karena itu hamba memberanikan diri memberitahukan kepada paduka, dengan bahaya ketahuan."
"Cepat katakan, perkara apakah itu?" tanya sang puteri cemas mendengar bahwa ada perkara yang mengancam keselamatan kerajaan Kahuripan.
Puspa Dewi menoleh ke arah pintu ruangan itu. "Maaf, gusti puteri, hamba harus menutupkan daun pintu dan jendela itu dulu." Lalu ia bangkit dan menutupkan daun pintu jendela.
Dyah Untari memandang heran melihat kelakuan dayang yang muda dan cantik jelita itu.
"Ada apakah sebenarnya, Puspa Dewi, Engkau begitu penuh rahasia!" tanyanya.
Puspa Dewi sudah duduk kembali diatas lantai, bersimpuh dan dekat sekali dengan Dyah Untari sehingga dengan berbisik saja ia sudah dapat didengar oleh puteri itu. Dengan suara berbisik Puspa Dewi menceritakan akan terjadinya persekutuan untuk membunuh Ki Patih Narotama, Nurseta, Senopati Sindukerta, dan pemberontakan yang direncanakan Pangeran Hendratama yang dibantu oleh empat kerajaan kecil. Mendengar ini, wajah Dyah Untari menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Puspa Dewi. Ada keraguan dalam pandangan matanya seolah ia kurang percaya akan laporan itu.
"Puspa Dewi, laporanmu ini merupakan perkara yang amat gawat! Akan tetapi sukar dapat dipercaya! Bagaimanakah engkau dapat mengetahui semua itu?" Mata yang lembut itu kini menatap wajah Puspa Dewi penuh selidik.
"Gusti puteri, sebaiknya hamba mengaku terus terang saja. Sesungguhnya, Hamba bukanlah dayang biasa. Hamba diselundupkan ke istana oleh Puteri Mandari."
"Ahh? Aku sudah menduga bahwa Engkau bukan gadis biasa seperti para dayang lainnya. Puspa Dewi, siapakah engkau sesungguhnya?"
"Hamba mempunyai seorang guru yang juga menjadi ibu angkat hamba dan ibu angkat itu kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri sehingga hamba diangkat menjadi sekar kedaton (kembang istana Kerajaan Wura-wuri.)"
"Ohh..!" Dyah Untari terkejut bukan main. Wura-wuri adalah sebuah diantara kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan. Jadi, gadis ini adalah puteri kerajaan yang memusuhi kerajaan suaminya! "Lalu... apa maksudmu... eh, apakah engkau hendak membunuh aku?"
Puspa Dewi tersenyum. "Mengapa paduka mempunyai kekhawatiran seperti itu? Kalau hamba hendak membantu persekutuan itu, pasti hamba tidak akan bercerita seperti ini kepada paduka. Memang hamba ikut dalam rapat pertemuan sebagai wakil Wura-wuri karena hamba ditugaskan oleh Raja Wura-wuri yang menjadi ayah angkat hamba. Akan tetapi hamba sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka yang amat curang ini. Sekarang hamba mohon paduka cepat melapor kepada Gusti Sinuwun bahwa Pangeran Hendratama hendak memberontak dengan mengandalkan keris pusaka Sang Megatantra yang berada di tangannya agar wahyu keraton dan dia bersekutu dengan Kerajaan Parang Siluman yang diwakili oleh Puteri Mandari dan Puteri Lasmini, Kerajaan Siluman Laut Kidul yang diwakili oleh ratunya sendiri yaitu Ratu Mayang Gupita, Kerajaan Wengker yang diwakili oleh Linggajaya yang kini menjadi juru taman di kepatihan, dan Kerajaan Wura-wuri yang diwakili oleh hamba sendiri. Ada pun rencana mereka adalah membunuh Ki Patih Narotama yang akan dilakukan oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya, membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta yang akan dilakukan oleh Ratu Mayang Gupita yang dibantu oleh orang-orang sakti lain, kemudian empat kerajaan hendak mengirim pasukan ke dalam hutan selatan, bergabung dengan pasukan yang akan di kerahkan Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya untuk menyerbu Istana."
"Aduh, bagaimana, ya? Kalau aku sendiri yang melapor tentu akan menimbulkan kecurigaan dan aku khawatir akan diketahui Mandari yang selalu mengamati kalau aku dekat dengan Sinuwun. Padahal urusan ini harus segera dilaporkan! Dan cara melaporkan harus dirahasiakan agar jangan bocor dan diketahui oleh orang-orangnya persekongkolan jahat itu!"
"Terserah kepada paduka karena paduka tentu lebih mengetahui bagaimana sebaiknya hal ini dapat dilaporkan kepada Gusti Sinuwun. Akan tetapi hamba mohon dapat dilaporkan dengan secepatnya agar tidak terlambat. Sekarang hamba hendak mencari jalan untuk menghubungi Nurseta dan Senopati Sindukerta di rumah tahanan. Hamba pamit undur, gusti."
Dyah Untari mengangguk. "Terima kasih, Puspa Dewi. Engkau telah berjasa besar terhadap Kerajaan Kahuripan. Jasamu tidak akan kami lupakan. Hanya sebuah pertanyaanku yang akan selalu mengusik hatiku kalau belum kau jawab yaitu; Kenapa engkau yang sudah menjadi sekar kedaton Wura-wuri membela Kahuripan?"
Puspa Dewi tersenyum. "Alasannya banyak, gusti puteri. Pertama, hamba adalah penduduk Karang Tirta dan ibu kandung hamba juga berasal dari sana, dan mengingat bahwa Karang Tirta termasuk wilayah Kahuripan, maka berarti hamba juga kawula Kahuripan. Kedua, guru yang juga ibu angkat hamba itu biarpun sudah melepas banyak budi kepada hamba, namun ia adalah seorang datuk sesat dan raja Wura-wuri juga bukan orang yang berbudi luhur, maka hamba tidak suka membantunya dan lebih condong membela Kahuripan. Ketiga, persekutuan itu adalah persekutuan yang jahat dan curang dan hamba selamanya tidak suka akan kejahatan dan kecurangan. Apa lagi hamba sudah banyak mendengar akan kebajikan yang diucapkan Ki Patih Narotama dan Nurseta."
Sesudah Puspa Dewi keluar dari ruangan itu, Dyah Untari segera menyuruh dayangnya untuk memanggil Bancak dan Doyok, dua orang hamba sahaya yang menjadi kiangenan (kesukaan) Sang Prabu Erlangga. Dua orang abdi yang telah menjadi pengasuh Erlangga semenjak dia masih kecil itu merupakan dua orang abdi yang selain terkasih juga paling dipercayai oleh Sang Prabu Erlangga. Hanya dua orang abdi inilah yang dapat mendekati Sang Prabu tanpa ada yang mencurigai mereka. Meski sedang berada dalam kamarnya, kalau dua orang abdi ini yang datang menghadap, tentu akan diterima oleh Sang Prabu Erlangga.....