"Paman Senopati, kedatangan saya ini mengemban tugas dari istana. Saya diutus Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga untuk menemui paman. Pertama-tama saya ingin bertanya kepada paman, apakah paman mempunyai seorang cucu bernama Nurseta yang tinggal di sini bersama paman?"
Diam-Diam Ki Sindukerta terkejut. Bagaimana Ki Patih atau Sang Prabu dapat mengetahui bahwa cucunya Nurseta berada disitu? Padahal semalam Nurseta telah gagal merampas Sang Megatantra dari tangan Pangeran Hendratama karena dia ketahuan dan mendapatkan perlawanan, dikeroyok banyak pengawal? Seperti kilat memasuki pikirannya bahwa tentu Pangeran Hendratama yang melaporkan ke istana tentang penyerangan yang dilakukan Nurseta ke rumah pangeran itu.
"Benar, Gusti Patih. Memang cucu saya Nurseta tinggal dirumah kami." jawabnya jujur karena diapun merasa tidak perlu untuk menyembunyikan kenyataan ini, mengingat bahwa Nurseta tidak melakukan kesalahan apa pun.
"Kuharap paman suka memanggil dia ke sini karena ada yang hendak kutanyakan padanya." kata pula Narotama dengan sikap yang masih sopan dan suaranya lembut.
Senopati Sindukerta masih bersikap tenang pula. Andaikata telah diketahui bahwa malam tadi Nurseta mendatangi rumah dan membikin ribut di sana, itu pun ada alasannya yang kuat dan cucunya itu tidak bermaksud jahat atau buruk. Dia lalu membuka pintu ruangan dan memanggil seorang pelayan dan disuruhnya pelayan itu mengundang Nurseta ke ruangan itu.
Nurseta mendapat keterangan dari pelayan bahwa dia dipanggil kakeknya yang sedang bercakap-cakap dengan Ki Patih Narotama di ruangan tamu. Diam diam dia merasa heran, lalu membereskan pakaiannya agar tampak sopan karena di sana ada seorang tamu agung, yaitu Ki Patih Narotama yang nama besarnya sudah dia dengar, bahkan dulu gurunya, Empu Dewamurti pernah menyatakan kekagumannya kepada Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga sebagai dua orang muda yang sakti mandraguna dan sekarang menjadi patih dan raja di Kahuripan yang terkenal bijaksana.
Ketika dia memasuki ruangan tamu itu, Nurseta melihat seorang laki-laki masih muda, sekitar dua puluh delapan tahun usianya, duduk di atas kursi berhadapan dengan kakeknya yang bersikap sopan kepada tamunya itu. Laki-laki itu bertubuh tinggi, berwajah tampan dan pakaiannya bersih dan bagus, akan tetapi tidak terlalu mewah. Sepasang matanya mencorong penuh kewibawaan ketika memandang kepadanya. Kalau orang ini Ki Patih Narotama, alangkah sederhananya bagi seorang patih besar yang terkenal, pikir Nurseta kagum. Demi menjaga kesopanan, diapun bersikap seolah olah belum mengenal tamu itu dan menghampiri kakeknya, bertanya dengan halus.
"Eyang memanggil saya, apakah gerangan yang dapat saya lakukan untuk eyang?"
"Nurseta cucuku, kita mendapat kehormatan menerima kunjungan seorang tamu dan beliau ini adalah Gusti Patih Narotama."
Nurseta lalu bersembah simpuh di depan Ki Patih Narotama. "Hamba Nurseta menghaturkan hormat kepada paduka, Gusti Patih."
Sejak tadi Narotama mengamati pemuda yang memasuki ruangan itu dengan sinar mata kagum. Pemuda itu bertubuh sedang, kulitnya agak gelap, wajah dan sikapnya amat sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, juga pakaiannya bersih namun sederhana. Akan tetapi sepasang mata itu mempunyai sinar yang amat tajam dan dari sinar matanya saja Narotama dapat melihat bahwa pemuda itu memiliki kekuatan batin yang hebat, juga mulutnya terhias senyum ramah dan penuh pengertian. Baru melihat sepintas saja sudah timbul perasaan suka dalam hati Narotama dan dia semakin ragu akan kebenaran cerita Pangeran Hendratama yang didengarnya dari Sang Prabu Erlangga.
Melihat pemuda itu memberi sembah sungkem, Ki Patih Narotama cepat berkata. "Cukup, duduklah di kursi, Nurseta. Aku datang sebagai tamu dan andika adalah tuan rumah, tidak perlu menggunakan segala upacara yang membuat percakapan kita tidak leluasa. Duduklah di kursi itu!" Narotama menunjuk kepada sebuah kursi kosong di dekat tempat duduk Ki Sindukerta.
"Duduklah, Nurseta. Gusti Patih sudah memberi perkenan." kata pula kakeknya. Nurseta lalu menyembah.
"Terima kasih, gusti patih." Dia lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu dengan sikap menunggu. Di dalam hatinya dia merasa bahwa kedatangan Ki Patih Narotama ini tentu membawa urusan penting dan kalau dia tidak keliru sangka, mungkin sekali ada hubungannya dengan peristiwa tadi malam di rumah gedung Pangeran Hendratama. Semenjak dia datang di kota raja, hanya peristiwa semalam itulah kiranya yang dapat menimbulkan urusan.
"Nurseta, aku mendengar bahwa andika adalah cucu Paman Senopati Sindukerta. Benarkah itu?" tanya sang patih.
"Benar, gusti patih. Eyang senopati adalah ayah dari ibu hamba"
"Cocok sekali kalau begitu. Sekarang sebuah pertanyaan lagi dan aku minta agar andika menjawab sejujurnya. Apakah keris pusaka Sang Megatantra ada padamu?" Setelah mengeluarkan pertanyaan ini sepasang mata Narotama menatap tajam penuh selidik sehingga Nurseta merasa seolah-olah sepasang mata itu menembus dan menjenguk isi hatinya. Akan tetapi dengan tenang dia menjawab.
"Tidak, gusti patih. Memang hamba pernah menemukan Sang Megatantra dan menaati perintah mendiang eyang guru, hamba hendak menghaturkan pusaka itu kepada Gusti Sinuwun yang berhak atas pusaka itu, akan tetapi dalam perjalanan hamba, Sang Megatantra dicuri orang."
Ki Patih Narotama mengerutkan alisnya. "Hemm, siapa yang mencuri Sang Megatantra?"
"Yang mencurinya adalah Pangeran Hendratama, gusti."
Ki Patih Narotama mengangguk-angguk, dalam hatinya merasa heran. Pangeran Hendratama melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa dia menemukan Sang Megatantra akan tetapi keris pusaka itu dicuri Nurseta. Sebaliknya Nurseta mengaku bahwa dialah penemunya dan pusaka itu dicuri Pangeran Hendratama!
"Nurseta, siapa gurumu?"
"Guru hamba mendiang Eyang Empu Dewamurti."
"Eyang Dewamurti? Mendiang? Jadi... beliau telah wafat?" Ki Patih Narotama bertanya. Dia mengenal sang empu sebagai seorang tokoh tua yang selain sakti mandraguna, juga setia kepada Mataram dan berbudi luhur.
"Benar, gusti. Eyang guru dikeroyok oleh para datuk dari Wengker, Wura wuri, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul. Para pengeroyok dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi eyang guru terluka parah dan meninggal dunia."
Kembali Narotama mengangguk-angguk. Pemuda sederhana ini murid Sang Empu Dewamurti, menurut perasaan hatinya pemuda ini lebih dapat dipercaya dari pada Pangeran Hendratama! Akan tetapi dia tidak berani mendahului keputusan Sang Prabu Erlangga, maka dia lalu berkata kepada Senopati Sindukerta.
"Paman senopati, seperti saya katakan tadi, kedatangan saya ini diutus Sang Prabu Erlangga. Saya ditugaskan untuk membawa paman dan Nurseta menghadap sang prabu sekarang juga."
Nurseta cepat berkata, "Maaf, gusti patih! Kalau penangkapan ini ada hubungannya dengan penyerangan ke rumah Pangeran Hendratama, maka hambalah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Hamba pelaku tunggalnya dan eyang senopati sama sekali tidak tersangkut. Tangkaplah hamba, hamba tidak akan melawan. Akan tetapi kalau paduka hendak menangkap eyang, maaf, terpaksa hamba mencegah paduka!"
Setelah berkata demikian, Nurseta bangkit berdiri dan menentang pandang mata Ki Patih Narotama dengan sepasang mata yang mencorong. Bibirnya tersenyum. Pemuda ini benar-benar memiliki watak ksatria, berani menentangnya untuk membela eyangnya yang memang tidak berdosa. Sikap yang mengagumkan dan gagah perkasa sehingga membuat dia ingin sekali mengukur sampai di mana kesaktian pemuda ini yang menjadi murid Sang Empu Dewamurti.
"Nurseta, sambutlah ini!" Ki Patih Narotama juga bangkit berdiri dan tiba-tiba tangan kanannya didorongkan ke arah pemuda itu. Dia mempergunakan pukulan jarah jauh dengan Aji Hasta Dibya yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat.
Nurseta maklum akan hebatnya serangan jarak jauh itu, maka diapun cepat mengerahkan tenaga saktinya, menyalurkan ke arah kedua tangannya yang didorongkan ke depan untuk menyambut serangan ki patih itu.
"Syuuuuttt... blaarrr..."
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu. Dahsyat dan menggetarkan seluruh ruangan. Nurseta terdorong mundur satu depa. Narotama memandang kagum dan dia mengangguk-angguk. Dia sendiri merasa dirinya terguncang keras ketika tenaga saktinya bertemu dengan tenaga Nurseta. Walau pun pemuda itu terdorong mundur satu depa, namun kedua kakinya tidak pernah terangkat dari lantai, hanya tergeser ke belakang dan meninggalkan bekas pijakan kaki yang dalam dan panjang pada lantai? Hal ini membuktikan betapa kokoh pasangan kuda-kuda Nurseta, dan dalam hal tenaga sakti, pemuda itu hanya kalah setingkat dibandingkan tenaganya.
"Nurseta, jangan menentang perintah Gusti Sinuwun! Aku dipanggil dan harus menghadap. Hentikan perlawananmu!" bentak Senopati Sindukerta.
"Maafkan hamba, gusti patih!" kata Nurseta sambil memberi hormat dengan sembah kepada Narotama.
Narotama tersenyum. "Nurseta, engkau tidak mengecewakan menjadi murid mendiang eyang Dewamurti. Marilah paman senopati dan engkau, Nurseta, kalian ikuti denganku menghadap gusti sinuwun."
Setelah berganti pakaian dan berpamit kepada keluarganya, Senopati Sindukerta dan Nurseta berangkat, ikut Ki Patih Narotama ke istana…..
********************
Puteri Mandari tentu saja ikut panik mendengar cerita Pangeran Hendratama yang terancam oleh Nurseta, cucu Senopati Sindukerta. Ia harus cepat membantu Pangeran Hendratama yang menjadi sekutunya. Setelah memperhitungkan dan mengatur siasat, selir yang cantik dan cerdik ini segera berkunjung kepada madunya, yaitu Permaisuri Pertama yang masih terhitung adik tiri dari Pangeran Hendratama, sama-sama anak dari mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa.
Sang permaisuri yang sebetulnya diam-diam merasa tidak suka kepada Mandari, menerimanya dengan sikap dingin. Di dalam hati permaisuri ini, ada perasaan curiga dan tidak percaya kepada Mandari, walau pun perasaan ini disimpannya saja di dalam hati karena iapun memaklumi bahwa suaminya, Sang Prabu Erlangga, amat sayang kepada selir yang cantik menggairahkan ini.
"Eh, diajeng Mandari, apa yang membawa andika berkunjung sepagi ini?" Sang permaisuri menyambut dengan senyum sambil memberi isyarat kepada biyung emban (inang pengasuh) untuk membawa Pangeran Samarawijaya yang kini berusia kurang lebih tiga tahun itu masuk ke dalam. Hati permaisuri ini masih tetap tidak merasa tenang kalau puteranya berdekatan dengan selir suaminya ini.
Mandari tersenyum manis. "Ayunda permaisuri, saya datang membawa kabar yang amat mengejutkan dan amat penting untuk paduka ketahui."
Karena merasa dirinya juga puteri raja, maka Mandari tidak mau menyebut permaisuri itu dengan sebutan gusti seperti para selir lainnya dan menyebut ayunda atau kakang-mbok.
Sang permaisuri mengerutkah alisnya, bersikap waspada karena memang dalam hatinya sudah mempunyai perasaan curiga dan tidak percaya. "Kabar apakah itu yang begitu penting dan mengejutkan?" tanyanya tenang.
"Apakah paduka sudah mendengar tentang peristiwa kemarin malam yang menimpa Rakanda Pangeran Hendratama dan hampir saja merenggut nyawanya?"
Sekali ini permaisuri itu benar-benar terkejut. Pangeran Hendratama adalah kakaknya, seayah berlainan ibu. Kalau ia beribu permaisuri dan menjadi puteri mahkota, Pangeran Hendratama lahir lebih dulu dari selir ayahnya. Maka, mendengar kakak tirinya terancam bahaya ia terkejut sekali.
"Apa yang terjadi dengan kakanda Pangeran Hendratama?"
"Ah, jadi paduka benar-benar belum mendengarnya? Rakanda Pangeran Hendratama nyaris tewas kemarin malam, gedungnya diserbu seorang yang bernama Nurseta."
"Siapa itu Nurseta?"
"Nurseta itu cucu Senopati Sindukerta yang dulu pernah memberontak dan dicopot kedudukannya oleh mendiang Ramanda Prabu Teguh Dharmawangsa, akan tetapi telah diangkat kembali menjadi senopati oleh Gusti Sinuwun. Agaknya Senopati Sindukerta yang mendalangi usaha pembunuhan itu karena dia rupanya hendak pemberontak lagi, didukung oleh cucunya yang kabarnya sakti mandraguna."
"Akan tetapi mengapa Paman Senopati Sindukerta berusaha membunuh Rakanda Pangeran Hendratama?"
"Begini ceritanya, ayunda. Semula Rakanda pangeran menemukan keris pusaka Megatantra dan dia hendak menyerahkan keris pusaka keturunan Mataram itu kepada Kanjeng Sinuwun. Akan tetapi dalam perjalanan ke sini, pusaka Megatantra itu dicuri oleh Nurseta. Karena keris pusaka itu mengandung wahyu mahkota, agaknya Senopati Sindukerta hendak mempergunakannya untuk mengangkat diri menjadi raja dan memberontak kepada Kanjeng Sinuwun. Dan oleh karena rahasia keris pusaka itu, yang dicuri oleh Nurseta, diketahui oleh Rakanda Pangeran Hendratama, maka Nurseta berusaha untuk membunuhnya! Kalau Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak cepat ditangkap dan dihukum, keselamatan Rakanda Pangeran Hendratama terancam, juga Kerajaan Kahuripan terancam pemberontakan."
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali!" Sang permaisuri berseru dengan wajah khawatir.
"Memang amat berbahaya, ayunda. Akan tetapi saya khawatir Sang Prabu tidak akan mengambil tindakan keras karena agaknya beliau percaya kepada senopati tua yang pandai bermuka manis dan menjilat itu. Karena saya khawatir sekali, maka pagi ini saya menghadap agar dapat berusaha supaya Nurseta dan Senopati Sindukerta ditangkap dan dihukum mati..!"
Sang permaisuri mengangguk-angguk. "Aku akan segera mengingatkan Sang Prabu!"
Setelah Mandari pamit dan mundur, Sang Permaisuri segera menemui Sang Prabu Erlangga. Dengan wajah gelisah Sang Permaisuri lalu mohon kepada suaminya agar melindungi Pangeran Hendratama dan menghukum Nurseta dan Senopati Sindukerta yang mengancam keselamatan Pangeran Hendratama dan mempunyai niat hendak memberontak. Sang Prabu Erlangga bersikap tenang dan tersenyum mendengar permintaan permaisurinya.
"Jangan khawatir, yayi. Aku sedang memanggil Paman Senopati Sindukerta dan cucunya yang bernama Nurseta itu. Akan ku selidiki dengan seksama dan kalau memang benar tuduhan Itu, pasti mereka akan menerima hukuman berat."
"Karena urusan ini menyangkut diri Rakanda Pangeran Hendratama maka dalam persidangan nanti hamba mohon hadir, Rakanda Prabu." permaisuri itu menuntut.
Sang Prabu Erlangga menyanggupi. Dia menyadari bahwa sesungguhnya, mahkota kerajaan Kahuripan yang menjadi keturunan kerajaan Mataram adalah hak permaisurinya ini sebagai putera pertama dari permaisuri Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Hanya karena dia menjadi suami sang puteri itu, maka kini dia diangkat menjadi raja Kahuripan. Karena itu, permintaan yang pantas dari permaisurinya ini tentu saja tak dapat ditolaknya.
Pada keesokan harinya, Ki Patih Narotama menghadapkan Senopati Sindukerta dan Nurseta ke persidangan istana. Persidangan itu dihadiri oleh para pejabat tinggi dan hal ini memang disengaja oleh Sang Prabu Erlangga. Dia menghendaki agar persidangan itu dilakukan secara terbuka dan seadil-adilnya, maka dia memberi kesempatan kepada para senopati dan pamong praja yang berkedudukan tinggi untuk turut menyaksikan.
Tentu saja Sang Permaisuri juga hadir, ditemani oleh Puteri Mandari. Permaisuri ke dua, yaitu puteri dari Sriwijaya dan selir pertama Dyah Untari, dan para selir lain, tidak menghadiri karena selain mereka tidak diperintahkan hadir, juga urusan itu tidak ada hubungannya dengan mereka.
Setelah memasuki persidangan, Senopati Sindukerta dan Nurseta duduk bersila di atas lantai dan menghaturkan sembah, ditonton oleh semua pejabat tinggi yang hadir. Sepasang mata Sang Prabu Erlangga yang tajam mencorong itu ditujukan kepada Nurseta dan seperti juga yang dirasakan Ki Patih Narotama pada pertemuan pertama, hati Sang Prabu Erlangga tertarik dan timbul rasa suka kepada pemuda sederhana yang tampan itu.
Di antara para pejabat tinggi yang hadir di persidangan itu, terdapat Pangeran Hendratama dan tiga orang selirnya yang cantik dan muda belia, yaitu Sukarti, Kenangasari, dan Widarti. Ketika melihat Nurseta menghadap, wajah Pangeran Hendratama berubah merah sekali dan sinar matanya berapi-api.
Juga Sukarti dan Kenangasari memandang dengan alis berkerut dan sinar mata membenci. Hanya Widarti yang menundukkan mukanya setelah memandang kepada Nurseta dan beberapa detik bertemu pandang dengan pemuda itu. Jantung dalam dada selir termuda dari Pangeran Hendratama ini berdebar dan la merasa bersalah terhadap Nurseta dan malu.
Tidak seperti para ponggawa yang duduk bersila di atas lantai, Pangeran Hendratama duduk di kursi. Bagaimana pun juga, dia adalah kakak tiri Sang Permaisuri, maka tentu saja mendapat penghargaan sebagai saudara tua. Setelah menerima penghormatan semua yang hadir, Ki Patih Narotama memberi laporan.
"Gusti Sinuwun, hamba telah memanggil dan menghadapkan Paman Senopati Sindukerta dan cucunya seperti yang paduka perintahkan."
Sang Prabu Erlangga mengangguk sambil tersenyum kepada patihnya.
"Terima kasih, kakang Patih Narotama." Lalu Sribaginda memandang kepada Senopati Sindukerta. "Paman Senopati Sindukerta, kami minta andika memperkenalkan cucu andika ini."
Senopati Sindukerta menghaturkan sembah lalu berkata, "Gusti Sinuwun, pemuda ini adalah cucu hamba bernama Nurseta. Dia baru beberapa hari datang berkunjung. Cucu hamba ini adalah anak dari puteri hamba Endang Sawitri yang pergi meninggalkan rumah hamba sejak dua puluh tahun yang lalu dan sampai sekarang tidak pernah pulang."
Sang Prabu Erlangga kini memandang kepada Nurseta.
"He, orang muda, benarkah namamu Nurseta?"
Nurseta menyembah dan menjawab, suaranya tenang dan tegas, sedikitpun tidak tampak takut atau gugup.
"Betul, kanjeng gusti sinuwun!"
"Nurseta, jawablah dengan sejujurnya. Benarkah pada tiga hari yang lalu, malam-malam engkau berkunjung ke rumah Kakang Pangeran Hendratama secara menggelap?"
Kembali Nurseta menjawab dengan mantap. "Sesungguhnya benar begitu, gusti!"
Semua orang tertegun mendengar pengakuan yang mantap itu dan suasana mulai tegang. Bukan main beraninya anak ini, pikir para pejabat tinggi yang sudah tua.
"Dan engkau datang dengan niat untuk membunuh Kakang Pangeran Hendratama?"
Sekali ini Nurseta menyembah lagi dan menjawab lantang. "Itu tidak benar, gusti!"
"Hemm, lalu mau apa engkau datang ke rumah orang malam-malam dengan cara menggelap kalau tidak berniat membunuh Kakang Pangeran Hendratama?"
"Hamba berkunjung malam-malam kesana dengan niat untuk merampas kembali keris pusaka Megatantra yang hamba temukan kemudian dicuri oleh Pangeran Hendratama, gusti."
"Bohong besar!" tiba-tiba Pangeran Hendratama berteriak.
"Dia malah yang mencuri keris pusaka Megatantra dari hamba, Yayi Prabu. Tiga orang selir hamba ini yang menjadi saksi. Betul tidak, Sukarti, Kenangasari, dan Widarti?"
Sukarti dan Kenangsari cepat menjawab, "Betul sekali, hamba menjadi saksinya bahwa pusaka itu dicuri oleh Nurseta!"
Sementara itu Widarti hanya ikut menyembah, akan tetapi tidak berkata apa-apa dan hal ini tidak kentara karena dua orang rekannya sudah menjawab berbareng.
"Nurseta, maling kecil kau! Kembalikan pusakaku itu!" teriak Pangeran Hendratama.
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dan memandang Pangeran Hendratama lalu berkata, suaranya tegas berwibawa.
"Kakang Pangeran! Ini merupakan persidangan di istana! Tak seorangpun boleh membuka suara sebelum ditanya..! Mengertikah andika?"
Pangeran Hendratama membungkuk dan duduk tegak kembali di kursinya.
"Mengerti, Yayi Prabu. Maaf!"
Sang Prabu Erlangga memandang kembali kepada Nurseta yang masih duduk bersila dengan tenang dan menundukkan muka dengan tertib dan sopan.
"Nurseta, ceritakan apa yang terjadi dengan keris pusaka Megatantra."
Nurseta menceritakan dengan suara tenang dan tegas, didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian.
"Gusti Sinuwun, penemuan keris itu terjadi kurang lebih enam tahun yang lalu. Ketika hamba mencangkul kebun di dusun Karang Tirta, dekat Pantai Laut Kidul, hamba menemukan sebatang keris dalam tanah. Hamba lalu membawa keris itu kepada Eyang Empu Dewamurti, seorang pertapa yang hamba kenal di pantai. Beliau yang menerangkan bahwa keris itu adalah Pusaka Sang Megatantra buatan Sang Empu Bramakendali di jaman Medang Kamulan, pusaka yang kemudian menjadi milik Kerajaan Mataram dan hilang puluhan tahun lalu."
Pada saat itu, dua orang yang pakaiannya paling sederhana di antara para ponggawa dan duduknya di sudut, saling berbisik. Mereka adalah dua orang ponokawan (hamba) yang dahulu selalu mengikuti Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sebelum keduanya menjadi raja dan patih, ketika masih berkelana dari Bali dwipa ke Jawa dwipa.
Dua orang hamba pengasuh yang amat setia dan amat dipercaya oleh sang prabu walau pun mereka tetap menjadi pamong pribadi sang raja. Mereka bernama Bancak, berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kecil, kurus dengan mata sipit, dan yang kedua, bernama Doyok, usianya lebih muda sedikit, bertubuh gendut pendek dengan suara besar parau seperti menangis, berbibir tebal.
Karena dua orang ini amat setia, juga dalam kesederhanaan dan kebodohan mereka seperti orang-orang dusun terkandung kebijaksanaan dan kejujuran, maka Sang Prabu Erlangga amat sayang dan percaya kepada mereka. Ketika Nurseta bercerita tentang keris pusaka Sang Megatantra, keduanya saling berbisik. Hal ini tampak oleh Sang Prabu Erlangga. Dia mengangkat tangan memberi isyarat kepada Nurseta untuk menunda ceritanya lalu berkata kepada dua orang hamba setia itu.
"Paman Bancak dan Doyok, agaknya andika berdua hendak mengatakan sesuatu! Nah, katakanlah sekarang juga!"
Bancak dan Doyok saling sikut seperti saling menyalahkan dan saling minta agar rekannya bicara. Akhirnya Doyok yang lebih muda menjawab, suaranya seperti katak buduk.
"Ampunkan hamba berdua, gusti. Hamba berdua ingin mengatakan bahwa Sang Empu Dewamurti dapat dihadirkan sebagai saksi, maka akan terbukti siapa benar siapa salah karena hamba berdua sudah mendengar bahwa Sang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang bijaksana dan tidak mungkin berdusta."
Semua orang mengangguk-angguk mendengar usul yang memang tepat sekali itu. Juga Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Nurseta.
"Nurseta, dapatkah engkau mengundang Eyang Empu Dewamurti sebagai saksi akan kebenaran keteranganmu tadi?"
"Ampun, gusti. Lebih setahun yang lalu, Eyang Empu Dewamurti didatangi Resi Bajrasakti dari Wengker, Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dan tiga orang Kalamuka dari Wura-wuri yang mendengar tentang Sang Megatantra dan bermaksud merebutnya mengeroyok Eyang Empu sehingga eyang yang sudah sepuh itu terluka dan meninggal dunia."
Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. Di mana-mana, orang dari kerajaan-kerajaan kecil itu memang selalu bertindak sesat dan jahat.
"Kalau begitu, lanjutkan ceritamu Nurseta."
"Hamba diambil murid mendiang Eyang Empu Dewamurti sampai lima tahun lamanya. Pada saat beliau akan wafat, beliau memesan kepada hamba agar hamba membawa pusaka Sang Megatantra ke Kahuripan dan menyerahkan kepada paduka yang berhak sebagai pemiliknya. Dalam perjalanan menuju ke sini, hamba bertemu dengan Pangeran Hendratama dan tiga orang selirnya yang saat ini hadir di sini. Hamba diterima dengan ramah dan disambut dengan pesta. Karena percaya, hamba menceritakan tentang Sang Megatantra. Pangeran Hendratama melihat keris pusaka itu dan berjanji akan membuatkan gagang dan warangka yang sesuai. Hamba percaya dan menyerahkannya. Akan tetapi ketika keris itu dikembalikan kepada hamba dengan gagang dan warangka baru, dia lalu pergi dengan tergesa-gesa. Setelah dia pergi, baru hamba ketahui bahwa keris pusaka Megatantra yang dikembalikan kepada hamba itu palsu. Yang asli tentu saja sudah dibawa lari."
"Bohong..!" kata Pangeran Hendratama.
"Kakang Pangeran!" Sang Prabu Erlangga membentak dan pangeran itu diam, tak berani melanjutkan kata-katanya.
"Belum tiba giliran andika untuk bicara!" Sang Prabu Erlangga lalu berkata kepada Nurseta. "Nurseta, lanjutkan ceritamu."
"Sendika (menaati), gusti. Untuk mencari keterangan tentang orang tua hamba, hamba mendapatkan jejak yang membawa hamba mengunjungi Eyang Senopati Sindukerta. Sungguh tidak hamba sangka sebelumnya bahwa beliau ini ternyata adalah eyang hamba sendiri. Pertemuan yang membahagiakan hati hamba. Dari eyang hamba mendengar bahwa Pangeran Hendratama telah pindah ke kota raja. Karena itu, kemarin malam hamba mencoba untuk memasuki gedungnya untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra yang akan hamba haturkan kepada paduka sesuai pesan mendiang Eyang Empu Dewamurti. Akan tetapi hamba tidak berhasil karena Pangeran Hendratama mempunyai banyak jagoan yang menjaga rumahnya. Demikianlah, hamba kembali ke rumah Eyang Senopati dan hari ini hamba dipanggil menghadap paduka oleh Gusti Patih Narotama."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. Tentu saja sebagai seorang raja yang bijaksana dia tidak mau menerima dan percaya begitu saja akan keterangan Nurseta itu. Dia lalu memandang Senopati Sindukerta.
"Paman senopati, benarkah keterangan yang diberikan cucumu Nurseta tadi?"
"Hamba berani bersumpah bahwa apa yang dia haturkan itu semua benar, gusti."
"Akan tetapi kami mendengar bahwa engkau, didukung cucumu ini, ingin memberontak dan merebut tahta kerajaan kami, mengandalkan wahyu mahkota dari Sang Megatantra. Benarkah itu?"
Sepasang mata Senopati Sindukerta terbelalak dan dia menggeleng kepala kuat-kuat. "Ampun beribu ampun, gusti! Tidak sekali-kali hamba berani memberontak terhadap paduka! Keris pusaka Sang Megatantra itu tidak ada pada hamba, juga tidak dibawa cucu hamba Nurseta, akan tetapi dicuri orang seperti yang diceritakan cucu hamba tadi. Hamba, berani bersumpah, demi para dewata yang agung, hamba berdua cucu hamba hanya bicara sebenarnya, gusti."
Kini Sang Prabu Erlangga memandang kepada Pangeran Hendratama, lalu berkata, "Nah, Kakang Pangeran Hendratama, sekarang tiba giliran andika untuk bicara. Keteranganmu tentang Sang Megatantra sungguh bertolak belakang dengan keterangan Nurseta dan Paman Senopati Sindukerta. Andika menceritakan bahwa Nurseta yang mencuri Sang Megatantra dari tanganmu, sebaliknya Nurseta menceritakan bahwa andika yang mencuri Sang Megatantra dari tangannya, Nah, bagaimana tanggapanmu tentang cerita mereka itu?"
Pangeran Hendratama bangkit berdiri dan melotot memandang ke arah Nurseta dan kakeknya, mukanya merah padam dan dia membentak marah.
"Senopati Sindukerta, dan engkau Nurseta. Jangan memutar-balikkan kenyataan Mana mungkin aku, seorang pangeran, mencuri? Engkau adalah bocah dusun, tidak heran kalau engkau mencuri pusaka! Dan aku adalah kakang ipar Sang Prabu, mana mungkin aku menyembunyikan pusaka Sang Megatantra? Aku hendak menyerahkan kepada Sang Prabu, akan tetapi kau curi. Kalau engkau, Ki Sindukerta, tentu mungkin saja hendak memberontak dan ingin menjadi raja, mengandalkan pusaka Sang Megatantra yang berada di tanganmu dan mengandalkan kesaktian cucumu ini! Pantas saja engkau menyuruh cucumu ini malam-malam untuk mencoba membunuhku karena hanya akulah yang mengetahui akan rahasiamu. Betul tidak? Mengaku sajalah, Sindukerta dan Nurseta, dari pada kalian disiksa -agar mengaku!"
"Cukup, Kakang Pangeran. Aku yang bertanya kepada andika dan belum andika jawab. Tidak perlu kakang marah-marah. Jawablah pertanyaanku, bagaimana pendapat atau tanggapanmu akan cerita Nurseta dan Paman Sindukerta tadi?"
"Mereka jelas bohong, Yayi Prabu! Mereka sengaja memutar balikkan fakta. Karena itu, keputusannya berada ditangan paduka, ataukah paduka lebih percaya kepada bocah dusun dan kakeknya yang dulu pernah dipecat mendiang Ramanda Prabu Teguh Dharmawangsa!"
Sang permaisuri yang duduk di sebelah kiri Sang Prabu Erlangga berkata lirih kepada suaminya. "Sungguh aneh kalau Rakanda Prabu tidak percaya kepada kakak hamba Pangeran Hendratama yang mempunyai tiga orang saksi dan lebih percaya kepada dua orang ini."
Sang Prabu Erlangga menjadi serba salah. Membenarkan Pangeran Hendratama dia meragu karena dalam lubuk hatinya, dia percaya bahwa Nurseta dan Senopati Sindukerta tidak berbohong. Akan tetapi untuk membenarkan mereka berarti dia menyalahkan Pangeran Hendratama dan hal ini akan membuat permaisurinya tak senang dan marah. Dengan alis berkerut Sang Prabu Erlangga lalu berkata lantang, didengarkan semua orang dengan penuh perhatian dan hati tegang.
"Oleh karena kedua pihak memberi keterangan yang saling bertentangan, dan kami belum melihat bukti siapa yang benar dan siapa salah, maka kami mengambil keputusan begini; Untuk sementara Paman Senopati Sindukerta dan cucunya, Nurseta ditahan dalam penjara dan kami menugaskan Kakang Patih Narotama untuk melakukan penyelidikan sehingga mendapatkan bukti siapa yang benar dan siapa yang salah diantara kedua pihak!"
Pangeran Hendratama beserta beberapa orang pamong yang menjadi sekutunya, merasa kecewa dengan keputusan yang hanya merupakan penundaan keputusan yang pasti itu. Juga sang permaisuri mengerutkan alisnya, akan tetapi dia diam saja karena bagaimana pun juga keputusan Sang Prabu Erlangga itu dirasa condong menguntungkan Pangeran Hendratama sebaliknya merugikan Senopati Sindukerta dan cucunya yang ditahan dalam penjara. Tetapi para pejabat tinggi lainnya mengangguk-angguk dan menganggap bahwa keputusan itu bijaksana dan adil.....