"Menarik sekali, paman. Lalu bagaimana?" desak Puspa Dewi ketika pangeran itu berhenti bercerita dan seperti orang berpikir. Apa lagi yang akan dikarangnya, pikir Puspa Dewi.
"Sialnya, agaknya kakek pengemis itu menceritakan penjualan keris pusaka itu kepada seorang maling, yaitu Nurseta. Pada suatu malam, dia mencuri Sang Megatantra dan sebagai gantinya, dia meninggalkan sebatang keris Megatantra palsu."
"Bagaimana paman tahu bahwa pencuri itu adalah orang yang bernama Nurseta itu?" Puspa Dewi mengejar.
"Tiga orang selirku sempat memergoki dan dia mengakui namanya. Tiga orang selirku lalu menyerangnya untuk merampas kembali keris pusaka, akan tetapi mereka bertiga kalah dan maling itu membawa lari Sang Megatantra."
"Akan tetapi kenapa sekarang dia yang mencari paman dan hendak membunuh paman? Bukankah itu terbalik. Semestinya paman yang mencari dia untuk merampas kembali keris pusaka itu!"
"Mengapa dia ingin membunuhku. Mudah saja diduga! Karena aku mengetahui rahasianya bahwa dia memiliki Sang Megatantra yang menjadi hak milik Kerajaan Kahuripan, maka dia ingin membunuhku agar jangan ada orang yang tahu bahwa dia memiliki pusaka itu, Jelas, bukan?"
Kini wajah Pangeran Hendratama berseri. Hatinya memang merasa girang karena kini dia mendapatkan cara untuk menjatuhkan Nurseta yang ditakutinya itu. Ceritanya tadi yang mendatangkan akal yang dianggapnya amat baik itu. Puspa Dewi tentu saja lebih percaya kepada Nurseta. la tahu bahwa pangeran itu mengarang cerita dan sengaja memutar balikkan kenyataan! Dia yang mencuri menjadi pemilik yang sah, sedangkan Nurseta yang kehilangan pusaka malah dicap sebagai pencurinya. Siasat apakah yang akan dilakukan pangeran ini? Ia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya.
"Gusti Pangeran, kalau paduka menyetujui dan mengizinkan, hamba dapat mengajukan permohonan bantuan kepada Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul." kata Lembara yang selain merasa gentar terhadap Nurseta dan ingin mendapatkan kawan yang dapat diandalkan, juga dia ingin membuat jasa.
"Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul? Kau maksudkan Ratu Mayang Gupita, Lembara?"
"Kasinggihan (betul), gusti..!"
"Akan tetapi, Ratu Mayang Gupita adalah seorang tokoh yang aneh dan sukar dihubungi. Selain sukar minta bantuannya, juga salah-salah akan membuat ia marah dan kalau raseksi (raksasa wanita) itu marah, siapa berani tanggung?"
Nama Ratu Mayang Gupita memang terkenal sebagai seorang raksasa wanita yang berwatak keras dan kejam sekali.
"Harap paduka tidak khawatir tentang hal itu, gusti. Pertama, hamba pernah bekerja kepada Sri Ratu Mayang Gupita sebagai seorang perwira pasukan pengawal dan hamba mengundurkah diri dengan baik-baik sehingga hamba berani menghadap beliau dan hamba yakin akan diterima baik. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa Ratu Mayang Gupita juga amat membenci dan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Oleh karena itu, hamba yakin beliau akan suka membantu, atau setidaknya mengirim orang yang dapat diandalkan untuk memperkuat penjagaan di sini."
Wajah pangeran itu berseri gembira mendengar ini. "Baik sekali..! Kalau begitu, cepat laksanakan usulmu itu dan sampaikan salam hormatku kepada Ratu Mayang Gupita. Nanti dulu, aku akan mengirimkan beberapa buah senjata pusaka untuk dihadiahkan kepada Sri Ratu!"
"Kalau begitu, saya mohon pamit, paman pangeran. Besok pagi-pagi saya akan kembali ke istana, melapor kepada Puteri Mandari."
"Baiklah, Puspa Dewi. Sampaikan terima kasihku kepada Puteri Mandari." Kemudian Pangeran Hendratama memerintahkan para jagoan lain untuk menambah jumlah perajurit sampai mendekati seratus orang untuk menjaga keamanan di situ karena Puspa Dewi dan Lembara akan meninggalkan gedungnya.
Pagi-pagi sekali Puspa Dewi kembali ke istana, menyelinap melalui taman sari dan langsung ke keputren. Ia diterima Puteri Mandari di kamar selir itu dan Puspa Dewi menceritakan apa yang telah terjadi di gedung Pangeran Hendratama tanpa mengatakan bahwa ia telah mengenal Nurseta…..
********************
Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang di waktu mudanya banyak bergaul dengan rakyat kecil dan terkenal sebagai seorang ksatria, seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Setelah menjadi raja, diapun bijaksana, adil dan memperhatikan kehidupan rakyat, bukan seperti kebanyakan penguasa yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, menumpuk harta benda untuk diri sendiri dan keluarganya, sanak dan handai tautannya, tanpa memperdulikan penderitaan rakyat miskin yang hidup sengsara. Diapun memiliki kewaspadaan dan kepekaan tinggi.
Namun semua perasaannya tidak pernah diperlihatkan pada sikap dan wajahnya. Tentu saja sebagai manusia, dia memiliki kelemahan karena tidak ada seorangpun manusia yang sempurna di dunia ini. Betapa pun baiknya seorang manusia, pasti mempunyai cacat. Ada pun kelemahan Sang Prabu Erlangga adalah kelemahan pria, pada umumnya, yaitu lemah terhadap rayuan wanita cantik.
Karena itu, tidaklah mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga terlena dalam rayuan Mandari yang memang cantik jelita dan pandai sekali merayu dan menyenangkan hati pria. Tentu saja kewaspadaannya membuat dia merasa bahwa Mandari bukanlah seorang wanita yang baik budi. Semua rayuan, kemanjaan, kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya itu hanya polesan atau indah diluar saja. Wanita ini tidak mempunyai perasaan cinta kasih murni terhadap dirinya.
Yang ada hanya cinta nafsu dan di balik semua bagian tubuhnya yang serba menggairahkan itu, tersembunyi pamrih untuk dirinya sendiri. Namun, dan inilah kelemahan pria pada umumnya, semua itu tertutup oleh gairah dan kenikmatan nafsu kedagingan. Apa lagi ditambah dengan alasan bahwa ditariknya Mandari sebagai selirnya berarti menanam perdamaian dengan Kerajaan Parang Siluman. Sang Prabu juga mempunyai perasaan bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang tidak baik bahkan berbahaya. Biarpun sikapnya ramah dan merendah, namun dari sinar matanya kadang dia menangkap getaran nafsu kebencian terhadap dirinya.
Namun raja yang bijaksana ini dapat memaafkannya, dalam hatinya dia memaklumi bahwa nafsu kebencian itu timbul dari perasaan iri hati karena pangeran Itu merasa sebagai putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa lebih berhak menjadi raja Kahuripan dari pada dia yang hanya seorang mantu. Biarpun Sang Prabu Erlangga telah memaafkan, namun dia juga tetap waspada!
Setelah peristiwa kunjungan Nurseta di tengah malam digedung Pangeran Hendratama, pada keesokan harinya, pagi-pagi Pangeran Hendratama telah naik kereta yang dikawal, menuju keistana raja. Dia mohon menghadap Sang Prabu Erlangga yang ketika itu sedang hendak makan pagi.
Mendengar laporan bahwa Pangeran Hendratama mohon menghadap dan laporan itu didengar pula oleh Permaisuri Pertama dan Permaisuri Ke Dua yang menemaninya makan pagi, sang Prabu Erlangga segera memerintahkan pengawal untuk mengundang kakak iparnya itu untuk makan pagi bersama dan ditunggu di ruangan makan. Hal ini dilakukan Sang Prabu Erlangga untuk menyenangkan hati Permaisuri Pertama dan memang benar, Permaisuri Pertama tampak gembira ketika mendengar bahwa kakak tirinya datang berkunjung dan diundang makan pagi bersama.
Akan tetapi Pangeran Hendratama memasuki ruangan makan dengan wajah muram dan lesu dan setelah memberi salam dan dipersilakan duduk menghadapi meja makan, dia hanya makan sedikit sekali dan selama makan tidak banyak bicara dan wajahnya dibayangi kegelisahan.
Sang Prabu Erlangga dapat menduga bahwa tentu ada urusan yang membuat kakak iparnya itu gelisah. Akan tetapi dia cukup bijaksana untuk tidak membicarakan atau menanyakan urusan itu kepada kakak iparnya di depan kedua orang permaisurinya. Setelah selesai makan pagi, Sang Prabu Erlangga mengajak Pangeran Hendratama ke ruangan tamu untuk bicara berdua saja. Para pengawal dan pelayan disuruh meninggalkan ruangan itu sehingga mereka dapat bicara berdua tanpa didengarkan orang lain.
"Nah, Kakang Pangeran, sekarang ceritakanlah urusan apa yang merisaukan hati andika dan yang membuat andika sepagi ini sudah datang berkunjung." kata Sang Prabu Erlangga dengan nada suara lembut.
"Ah, ketiwasan (celaka), Yayi (Adinda) Prabu..!" Sang pangeran mengeluh dimukanya tampak muram dan gelisah sekali. "Tadi malam hampir saja saya dibunuh orang..."
Sang Prabu Erlangga hanya merasa heran, namun tidak terkejut.
"Hemm, siapa yang hendak membunuh andika, dan kenapa?"
"Sesungguhnya, ceritanya panjang Yayi Prabu. Beberapa bulan yang lalu saya yang memang sejak dahulu suka sekali mengumpulkan pusaka kuno, seorang pengemis tua menawarkan sebuah pusaka kuno yang katanya didapatkannya di dekat pantai Laut Kidul. Saya membeli keris pusaka itu dengan murah dan setelah penjual itu pergi dan saya meneliti keris yang kotor itu, saya gosok-gosok bukan main kaget hati saya karena keris pusaka itu ternyata adalah Sang Megatantra."
"Jagad Dewa Bathara..!" Sekali ini Sang Prabu Erlangga terkejut. "Pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu, Kakang Pangeran?"
"Benar, Yayi Prabu. Karena benda keramat itu merupakan pusaka Mataram, maka saya bermaksud menghaturkan Sang Megatantra kepada paduka. Akan tetapi ternyata pengemis tua jahanam itu..."
"Kakang Pangeran, pengemis tua itu sudah berjasa besar menemukan Sang Megatantra!" Sang Prabu Erlangga memotong dengan suara mencela mendengar Pangeran Hendratama memaki pengemis tua itu.
"Maaf, Yayi Prabu, hati saya masih mendongkol. Dia ternyata menceritakan tentang Sang Megatantra kepada seorang maling muda yang sakti mandraguna. Maling itu mencuri Sang Megatantra dan meninggalkan keris palsu ini sebagai gantinya." Pangeran Hendratama mengeluarkan sebatang keris yang mirip Sang Megatantra dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu menerima keris itu dan sekali jari-jari tangannya menekuk, keris itu patah-patah menjadi tiga potong!
"Hemm, ini terbuat dari besi biasa, Kakang Pangeran."
"Memang demikianlah. Setelah Sang Megatantra tercuri, saya mengerahkan segala daya untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi selalu gagal dan saya lalu pindah ke kota raja setelah mendapat perkenan paduka."
"Kenapa selama ini andika tidak memberitahukan kepada kami, Kakang Pangeran?"
"Maaf, Yayi Prabu. Saya ingin mendapatkan kembali pusaka itu agar saya dapat menghaturkannya kepada paduka, Dan malam tadi, pencuri Sang Megatantra itu menyerbu rumah saya dan nyaris membunuh saya. Masih beruntung bahwa para pengawal dapat melindungi saya dan jahanam busuk itu dapat melarikan diri."
"Hemm, ceritamu aneh, kakang. Kenapa pencuri itu hendak membunuhmu setelah dia berhasil mencuri Sang Megatantra?"
"Hal itu sudah saya selidiki, Yayi Prabu. Setelah saya mengetahui kemana larinya pencuri itu yang diam-diam diikuti oleh para pembantu saya, dan tahu apa yang berdiri di belakangnya, maka tidak aneh kalau dia hendak membunuh saya. Ada yang hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja karena dikabarkan bahwa pusaka itu merupakan tanda turunnya wahyu kedaton (istana) sehingga berhak menjadi raja. Berarti, pemilik Sang Megatantra itu, si pencuri dan orang yang berada dibelakangnya, jelas merencanakan pemberontakan terhadap paduka, Yayi Prabu. Karena saya satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya, maka dia berusaha untuk membunuh saya."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya. "Kakang Pangeran, katakan, siapa pencuri itu dan siapa pula yang berdiri di belakangnya, yang merencanakan pemberontakan?"
"Pencuri muda yang sakti mandraguna itu bernama Nurseta, Yayi Prabu, dan paduka tidak akan merasa heran karena pemuda itu adalah cucu dari Senopati Sindukerta! Senopati Sindukerta itu memang sejak mendiang Rama Prabu Teguh Dharmawangsa memimpin kerajaan ini sudah memperlihatkan wataknya yang memberontak. Yayi Prabu tentu sudah mendengar betapa dahulu dia menghina saya dan mendiang Ramanda Prabu dengan menyembunyikan puterinya yang sudah kami pinang dan sudah diterima. Nah, maling muda Nurseta itu adalah anak dan puterinya yang disembunyikan dan diam-diam melarikan diri dengan seorang laki-laki sesat."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dengan hati panas. Berani benar senopati tua itu merencanakan pemberontakan, pikirnya. Dia lalu bertepuk tangan memberi isyarat dan dua orang perajurit pengawal yang berjaga di luar pintu ruangan segera berlari masuk dan berlutut menyembah.
"Cepat undang Kakang Patih Narotama ke sini, sekarang juga!" perintahnya.
Dua orang perajurit pengawal itu memberi hormat dan mereka berlari keluar. Melihat kemarahan Sang Prabu Erlangga, Pangeran Hendratama diam diam merasa girang. Muslihatnya berhasil. Mampuslah kau, Nurseta, begitu suara hatinya. Dia lalu berkata kepada Sang Prabu Erlangga.
"Saya merasa girang dan aman dari ancaman Nurseta dan Senopati Sindukerta setelah paduka hendak mengambil tindakan tegas. Sekarang perkenankan saya pulang untuk beristirahat karena semalam suntuk saya tidak dapat tidur, gelisah memikirkan ancaman terhadap nyawa saya."
"Baik, Kakang Pangeran. Terima kasih atas semua laporanmu, akan tetapi kalau pencuri dan kakeknya itu sudah kami tangkap, harap Kakang Pangeran bersedia untuk menjadi saksi bahwa dia mencuri sang Megatantra dan berusaha membunuh andika."
"Tentu saja, Yayi Prabu. Bahkan saksi-saksi mata yang paling mengetahui karena melihat sendiri maling itu, yaitu tiga orang selir saya yang juga bertugas bagai pengawal-pengawal pribadi, akan saya hadirkan sebagai saksi pula."
"Baik, terima kasih, Kakang Pangeran Hendratama."
"Mohon pamit, Yayi Prabu."
Pangeran Hendratama lalu keluar dari istana dan dengan pengawalan kuat dia kembali naik kereta pulang ke gedungnya. Di dalam kereta, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan tersenyum-senyum gembira. Orang yang dia takuti sebentar lagi akan dihukum! Kini tinggal memikirkan siasat pemberontakan yang akan dia lakukan dengan bantuan para sekutunya dari Kerajaan Wengker, Wura-wuri, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman, dibantu pula oleh para pembesar sipil dan militer yang sudah jatuh di bawah pengaruhnya…..
********************
Ki Patih Narotama menerima panggilan Sang Prabu Erlangga yang disampaikan oleh perajurit pengawal. Kalau Sang Prabu memanggilnya di luar waktu persidangan, itu berarti ada terjadi hal-hal yang luar biasa dan penting, maka diapun bergegas menunggang kuda menuju ke istana.
Seperti biasa, Ki Patih Narotama memasuki istana dengan leluasa. Semua perajurit pengawal mengenalnya dan tahu belaka bahwa Ki Patih Narotama dapat tiap saat memasuki istana menghadap Sang Prabu Erlangga, tidak usah dilaporkan lebih dulu seperti para pembesar lain kalau mohon menghadap sang prabu. Ki Patih Narotama membiarkan kudanya diurus oleh seorang perajurit dan dia hanya bertanya kepada perajurit pengawal dalam istana di mana adanya Sang Prabu Erlangga.
Setelah mendapat keterangan bahwa sang prabu menantinya di ruangan persidangan, Ki Patih bergegas menuju ke ruangan itu lalu memasuki pintu ruangan yang dibukakan oleh dua orang perajurit pengawal. Ketika dia memasuki ruangan persidangan, dia melihat Sang Prabu Erlangga telah duduk di atas singasana. Di sebelah kiri sang prabu duduk selir cantik jelita Mandari. Hanya puteri inilah yang menemani Sang Prabu Erlangga, tidak ada orang lain, bahkan para pengawal juga hanya menjaga di luar ruangan.
Ini merupakan pertanda bahwa, sang prabu hendak membicarakan urusan yang dirahasiakan sehingga tidak boleh terdengar orang lain. Akan tetapi mengapa Mandari, puteri Ratu Durgamala Kerajaan Parang Siluman itu berada di situ, berdua saja dengan sang prabu, tanpa dihadiri dua orang permaisuri yang kedudukannya lebih tinggi? Ki Patih Narotama menduga bahwa urusan ini tentu ada sangkut-pautnya dengan Puteri Mandari.
Lasmini dan Mandari memang selalu membuat ulah setelah menjadi selirnya dan selir sang prabu. Akan tetapi wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan tegang atau khawatir, bahkan senyumnya yang manis menunjukkan bahwa hatinya bergembira! Ki Patih Narotama memberi hormat dengan sembah dan hendak duduk bersila di atas lantai. Akan tetapi Sang Prabu Erlangga mencegahnya.
"Duduklah di kursi yang telah disediakan untukmu, Kakang Patih Narotama."
Narotama menurut. Memang biasanya kalau menghadap sang prabu secara pribadi, bukan dalam paseban, dia dipersilakan duduk di kursi. Akan tetapi saat itu, selir Mandari hadir di situ, maka tadinya dia hendak duduk bersila untuk menghormati sang prabu. Setelah melirik ke arah Mandari, dia menyembah lagi, lalu duduk.
"Terima kasih, gusti. Paduka memanggil hamba, perintah apakah yang harus hamba lakukan?"
"Ada urusan yang gawat sekali, kakang patih. Karena urusan ini amat penting, maka kami sengaja mengundangmu karena hanya andika saja yang akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Yayi Mandari kami hadirkan karena mengingat akan kemampuannya, ia dapat membantu pelaksanaan tugas ini, kakang."
Diam-diam Ki Patih Narotama merasa heran. Mengapa mendadak selir ini diajukan oleh sang prabu untuk membantunya? Tugas apakah gerangan yang harus dilaksanakan dengan bantuan Puteri Mandari? Ataukah, urusan ini mengenai diri puteri dari Kerajaan Parang Siluman itu?
"Hamba siap melaksanakan semua perintah paduka, Sinuwun."
Sang Prabu Erlangga memang sengaja membawa Mandari ke dalam persoalan ini karena dia hendak menguji sampai di mana kesetiaan selir tersayangnya yang terkadang menimbulkan rasa curiga dalam hatinya itu. Bagaimana selir itu akan menanggapi kalau terjadi pemberontakan terhadap kerajaannya? Maka, dia sengaja menghadirkan Puteri Mandari ketika dia memanggil patihnya.
"Kakang Patih Narotama, kerajaan kita sedang terancam pemberontakan!"
Baik Ki Patih Narotama maupun Mandari terkejut bukan main. Ki Patih Narotama tentu saja terkejut mendengar ada pemberontakan, sebaliknya Mandari terkejut juga, namun ia terkejut karena sesungguhnya ia dan sekutunya yang memusuhi kerajaan Kahuripan dan tentu saja merencanakan pemberontakan.
"Siapakah yang berani memberontak kepada paduka, gusti? Beritahukan kepada hamba. Hamba yang akan memberantasnya!" kata Narotama penuh semangat.
Puteri Mandari diam saja, hanya mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan hati tegang.
"Aku mendengar hal itu dari Kakang Pangeran Hendratama. Pemberontakan itu memang belum terjadi, akan tetapi kami dapat menduganya dengan munculnya pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun lalu, yaitu Sang Megatantra."
Kini Ki Patih Narotama yang meragu walau pun dia terkejut mendengar bahwa sang Megatantra yang dinyatakan hilang puluhan tahun itu, kini muncul. Dia meraba gagang kerisnya sendiri yang terselip di pinggangnya. Keris pusakanya itu adalah keris pusaka Sang Megantoro, yang merupakan pasangan keris pusaka Sang Megatantra. Dia mendapatkan keris itu dari Sang Resi Satyadharma di Nusa Bali.
Gurunya itu mengatakan bahwa keris Sang Megantoro adalah pasangan keris Sang Megatantra. Kalau Sang Megatantra mengandung wahyu bagi seorang raja, keris Megantoro mengandung wahyu bagi seorang pamongnya yang paling dekat dengan raja, yaitu patihnya. Kalau rajanya memegang Sang Megatantra dan patihnya memegang Sang Megantoro, maka kerajaan akan menjadi kuat sekali. Sayang, keris pusaka Sang Megatantra lenyap puluhan tahun yang lalu hingga Sang Prabu Erlangga tidak memilikinya. Akan tetapi kini keris itu muncul!
Inilah yang mengejutkan dan juga menggirangkan hati Narotama. Akan tetapi mendengar bahwa pembawa kabar tentang pemberontakan itu Pangeran Hendratama hatinya menjadi ragu dan bimbang. Dia merasa tidak senang dan tidak percaya kepada pangeran ini, bahkan dia mulai curiga mendengar betapa pangeran yang baru pindah ke kota raja itu sering kali kasak-kusuk dengan para pembesar dan mengobral banyak hadiah kepada mereka.
Sebaliknya, ketika mendengar bahwa pembawa berita itu adalah Pangeran Hendratama, hati Mandari menjadi girang sekali. Pangeran itu adalah sekutunya, Maka, ia cepat berkata penuh semangat, "Kakanda Prabu, siapakah keparat yang hendak memberontak itu? Dia harus di hancurkan!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum mendengar ucapan selirnya ini. "Kalian dengarlah dulu apa yang diceritakan Kakang Pangeran Hendratama kepadaku tadi. Beberapa bulan yang lalu dia membeli sebuah keris dari seorang pengemis tua. Setelah keris itu dibersihkan, dia mengenalnya sebagai Sang Megatantra. Pengemis itu mengatakan bahwa dia menemukan keris pusaka itu di dekat pantai Laut Kidul. Akan tetapi agaknya pengemis itu menceritakan tentang keris itu kepada seorang penjahat muda yang sakti mandraguna. Penjahat itu mencuri Sang Megatantra dari Kakang Pangeran Hendratama dan menggantinya dengan sebuah keris palsu. Kakang pangeran lalu berusaha untuk mencari dan merampasnya kembali, namun usahanya sia-sia. Maksudnya untuk mendapatkan kembali pusaka itu dan menghaturkannya kepadaku. Nah, malam tadi, rumahnya didatangi pencuri keris itu dan dia nyaris dibunuh penjahat itu. Agaknya penjahat itu ingin merahasiakan penemuannya dan karena yang mengetahui tentang Sang Megatantra hanya kakang pangeran, maka penjahat itu hendak membunuhnya. Dari kenyataan ini dapat diduga bahwa pencuri itu hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri sebagai raja. Setelah para pembantu Kakang Pangeran Hendratama membayangi ke mana larinya pencuri yang malam tadi hendak membunuhnya itu, maka jelaslah bahwa memang ada usaha pemberontakan di kerajaan ini."
"Hemm, si keparat!" Mandari berseru marah. "Kalau begitu, mohon penjelasan, Kakanda, siapakah pencuri itu? Biar hamba binasakan dia!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum. Hatinya merasa lega karena selirnya ini ternyata bersemangat membela kerajaan Kahuripan!
"Hamba menanti penjelasan paduka, gusti." kata Narotama yang juga ingin sekali mengetahui siapa gerangan mereka yang hendak mengadakan pemberontakan itu.
"Setelah dibayangi orang-orangnya Kakang Pangeran Hendratama, ternyata bahwa pencuri itu melarikan diri kerumah Paman Senopati Sindukerta dan pencuri Sang Megatantra yang sakti mandraguna itu adalah cucunya yang bernama Nurseta."
"Paman Senopati Sindukerta? Bukankah dia itu kabarnya dahulu menjadi calon mertua Pangeran Hendratama?" Tanya Narotama.
"Benar, Kakang Narotama. Paman Senopati Sindukerta memang pernah kesalahan terhadap mendiang Romo Prabu Teguh Dharmawangsa dan Kakang Pangeran Hendratama karena menyembunyikan puterinya yang akan dijodohkan dengan Kakang Pangeran Hendratama sehingga dia dicopot dari kedudukannya sebagai senopati. Akan tetapi karena dia banyak membantuku mengusir musuh-musuh dari Kahuripan seperti andika sendiri mengetahui, maka aku mengangkatnya kembali menjadi senopati. Sungguh tidak kusangka dia mempunyai niat untuk memberontak. Hal ini mungkin karena cucunya itu telah mendapatkan Sang Megatantra."
Mandari bangkit dari tempat duduknya dan berkata lantang. "Si keparat tak mengenal budi itu! Kakanda Prabu, biarlah hamba berangkat sekarang juga untuk membasmi keluarga Sindukerta! Hamba akan membawa pasukan pengawal untuk menghancurkan para pemberontak itu!"
"Tenanglah dan duduklah dulu, yayi. Kita rundingkan dulu bagaimana sebaiknya dan tindakan apa yang harus diambil." kata Sang Prabu Erlangga.
Mandari duduk kembali dan kedua pipinya masih kemerahan karena marah, bibirnya yang mungil itu cemberut.
"Hamba menanti perintah, apa yang harus hamba lakukan terhadap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu gusti." kata Narotama dengan tenang. Bagaimana pun juga, cerita itu berasal dari Pangeran Hendratama yang tentu saja mendendam kepada Senopati Sindukerta karena niatnya memperisteri puteri senopati itu tidak tercapai dan dia memang meragukan kepribadian pangeran yang pernah ngambek bertahun-tahun meninggalkan kota raja karena Erlangga yang diangkat atau dipilih oleh para bangsawan untuk menjadi raja.
"Sekarang pimpinlah pasukan pilihanmu dan pergilah ketempat tinggal Paman Senopati Sindukerta. Andika telah mengetahui persoalannya dan aku memberi purbawisesa (kekuasaan penuh) kepadamu untuk bertindak bagaimana baiknya terhadap mereka."
"Bunuh saja mereka! Basmi pemberontak itu sampai keakar-akarnya. Binasakan seluruh keluarganya!" kata Mandari sambil mengepal tangannya.
"Hamba akan menangkap Paman Senopati Sindukerta dan cucunya yang bernama Nurseta itu dan membawa mereka menghadap paduka, gusti." kata Narotama dengan tenang.
"Hamba akan menyertai Ki Patih Narotama dan pasukannya!" seru Mandari. Kalau pencuri pusaka itu sakti mandraguna, hamba yang akan menandinginya!"
Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Tidak, Yayi Mandari. Justeru karena kekerasanmu itu, aku tidak mengijinkan engkau ikut pergi. Kakang Patih Narotama benar. Paman Senopati Sindukerta dan cucunya itu harus ditangkap dan akan kami periksa di sini."
"Akan tetapi, Kakanda Prabu, mereka itu sudah jelas hendak memberontak! Mereka itu pantas dibinasakan, tunggu apa lagi?" kata Mandari.
"Bukan begitu sikap seorang penguasa yang bijaksana, yayi. Tidak benar menjatuhkan keputusan kepada seorang terdakwa tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Kalau sudah terbukti kesalahannya, barulah dijatuhi hukuman, itu pun harus sesuai dengan peraturan, bukan hantam kromo dibunuh dan dibasmi begitu saja."
"Akan tetapi buktinya sudah jelas kakanda! Buktinya Nurseta itu telah mencuri Sang Megatantra dan semalam berniat membunuh Pangeran Hendratama untuk menutupi rahasianya. Melihat kenyataan bahwa dia cucu Senopati Sindukerta, sudah jelas bahwa senopati itu yang menjadi dalangnya dan merencanakan pemberontakan terhadap paduka!"
Sang Prabu Erlangga menanggapinya dengan senyum. "Itu belum menjadi bukti, yayi. Baru kesaksian Kakang Pangeran Hendratama, berarti kesaksian satu pihak saja. Karena itu, Paman Senopati Sindukerta dan cucunya perlu ditangkap dan diperiksa di sini untuk didengar keterangan mereka. Sudahlah, yayi, jangan mencampuri urusan ini karena sudah kuserahkan kepada Kakang Narotama untuk menyelesaikannya. Kakang patih, sekarang siapkanlah pasukan dan tangkaplah Paman Senopati Sindukerta dan cucunya."
Mandari hanya cemberut dan diam saja. Wanita yang cerdik ini tahu kapan ia harus bersikap diam. Kalau ia berkelanjutan membantah, tentu akan menimbulkan kecurigaan Sang Prabu Erlangga dan terutama Ki Patih Narotama yang ia takuti itu.
"Hamba- akan pergi seorang diri dan mengajak Paman Senopati Sindukerta dan cucunya menghadap paduka, gusti"
"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" Mandari berseru, seolah ia mengkhawatirkan keselamatan Narotama. Tentu saja semua ini memang disengaja untuk mendatangkan kesan bahwa ia adalah seorang yang setia kepada Sribaginda dan membela patihnya.
"Ah, yayi. Bahaya adalah keadaan yang sudah biasa dihadapi Kakang Narotama. Karena purba-wisesa sudah kuserahkan kepadamu, kakang Narotama, maka terserah bagaimana sekehendakmu saja."
"Terima kasih, gusti. Hamba mohon doa restu."
"Berangkatlah, kakang patih dan laksanakan dengan baik."
Narotama lalu mengundurkan diri keluar dari istana. Dia tidak ingin membawa pasukan karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang dan menghebohkan. Dia masih tidak percaya sedikitpun bahwa Senopati Sindukerta hendak melakukan pemberontakan. Dia mengenal baik kepribadian senopati tua itu. Bahkan kalau diharuskan membuat perbandingan antara Senopati Sindukerta dan Pangeran Hendratama, dia akan lebih mempercayai senopati tua itu. Tidak ada alasan kuat untuk mendorong Senopati Sindukerta untuk memberontak dan merebut singasana.
Sebaliknya, amat kuat alasannya bagi Pangeran Hendratama untuk merebut kedudukan raja. Dia adalah putera mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa, walau pun terlahir dari seorang selir, bahkan dia putera tertua, kakak dari Puteri Sekar Kedaton yang kini menjadi permaisuri Sang Prabu Erlangga. Pangeran itu tentu merasa lebih berhak menjadi raja dari pada Senopati Sindukerta yang hanya orang biasa, bukan keturunan raja.
Kunjungan Ki Patih Narotama disambut dengan sikap hormat oleh Senopati Sindukerta. Senopati tua ini amat kagum kepada dua orang yang kini menjadi pucuk pimpinan Kerajaan Kahuripan, yaitu kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Dia merasa kagum dan hormat sekali karena tahu betul betapa sakti mandraguna dan bijaksana kedua orang pemimpin besar ini. Karena itu, kunjungan Ki Patih yang tidak terduga-duga itu segera disambutnya dengan penuh penghormatan.
Setelah saling memberi salam dan mempersilakan tamu agungnya duduk dalam ruangan tamu, berhadapan dengannya, Senopati Sindukerta lalu berkata dengan ramah.
"Selamat datang, Gusti Patih Narotama. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami bahwa paduka berkenan mengunjungi kami hari ini. Entah angin baik apakah yang bertiup dan membawa paduka datang kesini?"
Ki Patih Narotama merasa rikuh sekali mendengar ucapan yang demikian ramah dari Ki Sindukerta. Diapun bersikap tenang dan sopan menghadapi senopati tua itu.....