Listyarini keluar dari pintu belakang gedung kepatihan. Ia sudah mandi dan berganti pakaian, la tampak segar dan ayu. Kehamilannya belum tampak benar, perutnya belum tampak menggendut, hanya pinggangnya tidak begitu ramping dan pinggulnya menjadi montok dan penuh. Namun, bagi orang yang biasa melihat ciri wanita hamil, cahaya berseri pada wajahnya itu sudah cukup menunjukkan bahwa Listyarini sedang menjadi seorang calon ibu, walau pun kandungannya masih muda, baru sekitar satu bulan lebih.
Dengan langkah perlahan Listyarini memasuki taman kepatihan. Taman itu terawat baik, dapat dilihat dari tumbuh-tumbuhan yang subur, kembang-kembang hampir semua berbunga. Ia paling suka menanam bunga mawar beraneka warna dan dengan teliti ia melihat apakah tanah di bawah semua tanaman bunga kesayangan itu basah, tanda mendapatkan siraman setiap hari.
Sama sekali Listyarini tidak pernah menduga bahwa sejak kakinya melangkah memasuki taman, ada dua pasang mata nengikuti setiap langkahnya dari tempat tersembunyi. Dengan penuh perhatian dan rasa sayang, Listyarini memperhatikan setiap pohon mawar, membuang daun yang mengering dan bunga yang sudah rontok agar kuncup-kuncup muda yang lain mendapat kesempatan dan rangsangan untuk mekar semerbak menggantikan kemegahan bunga-bunga yang sudah rontok dan layu.
Diam-diam Lasmini merasa girang sekali. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Cepat ia lalu memberi isarat kepada Nismara untuk bersiap-siap melaksanakan apa yang telah lama ia rencanakan. Sekali ini ia dan Nismara pasti berhasil, harus berhasil. Keberhasilan membunuh Listyarini mendatangkan banyak keuntungan baginya. Pertama, kebencian dan ke iri hatiannya terhadap wanita isteri ki patih itu terpuaskan, kedua hal itu akan menghancurkan perasaan hati Ki Patih Narotama dan ke tiga setelah Listyarini mati, maka akan mudah baginya untuk menjadi garwa padma sang patih sehingga ia akan lebih leluasa melaksanakan tugas dan kewajibannya yang telah direncanakan.
Kini Listyarini sudah bergerak melangkah semakin mendekati pondok kecil yang terletak di tengah taman, seolah seekor kelinci yang tanpa disadarinya semakin mendekati moncong harimau yang sudah lama menantinya di tempat persembunyiannya. Harimau dalam ujud seorang laki-laki, Nismara, yang mendekam dan menanti dengan sepasang mata mencorong penuh nafsu bagaikan seekor harimau yang sudah membayangkan betapa akan sedapnya daging lunak dan darah hangat kelinci yang akan dirobek-robeknya.
Melihat wajah ayu manis merak ati, tubuh yang sintal dan denok itu melenggang dengan langkah yang membuat tubuh itu bergoyang-goyang indah seperti menari, berulang kali Nismara menelan air liurnya. Dalam benaknya sudah dia bayangkan semua kenikmatan yang akan dapat direguknya. Mendekap tubuh seperti itu! Tidak, dia tidak akan segera membunuh Listyarini. Terlalu sayang kalau dibunuh begitu saja. Dia akan menangkapnya dan melarikannya keluar dari kepatihan dan akan bersenang-senang sepuas hatinya. Bahkan kalau perlu, perempuan ini tidak akan dibunuhnya, melainkan diambilnya sebagai teman hidup, sebagai penghibur dan pusat kesenangan!
Listyarini kini tiba di luar pondok, lalu membuka pintu pondok yang tidak terkunci, membiarkan daun pintu itu terbuka lalu memasuki pondok. Akan tetapi baru saja ia duduk diatas sebuah dipan untuk beristirahat karena taman itu cukup luas dan perjalanan dari gedung kepatihan sampai pondok di tengah taman itu cukup jauh.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat dan melompat memasuki pondok. Tahu-tahu Nismara telah berdiri didekat pembaringan, bertolak pinggang sambil menyeringai menyeramkan!
Listyarini yang tadinya terkejut sekali kini memandang heran ketika mengenal siapa orang yang menyelonong masuk seperti itu. la segera bangkit berdiri dan memandang kepada Nismara dengan alis berkerut.
"Nismara! Apa maksudmu masuk kesini dengan sikap seperti ini?"
Merasa aman dan yakin bahwa di situ tidak ada bahaya baginya, apa lagi dia merasa yakin pula bahwa diam-diam Lasmini tentu akan melindunginya, Nismara tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Listyarini wong denok ayu, Sudah lama aku merindukan dirimu dan sekarang engkau harus pergi bersamaku dan menjadi isteriku. Marilah, manis, mari kupondong!"
Listyarini semakin terkejut. Wajahnya berubah merah karena marah. "Nismara keparat! Berani engkau bersikap kurang ajar seperti ini? Kalau gustimu patih mengetahui, tentu engkau akan dihukum berat! Pergilah dan jangan mengganggu aku!"
"Ha-ha-ha, aku tidak takut. Tidak ada seorangpun dapat menghalangiku!" Nismara menghampiri dan siap untuk menubruk wanita itu.
Listyarini memang seorang wanita lemah yang tidak memiliki aji kanuragan. Akan tetapi ia adalah isteri seorang sakti dan iapun terpengaruh suaminya, memiliki ketabahan dan keberanian. Ketika tadi memasuki taman, ia membawa sebatang pisau yang tadi ia pergunakan untuk membersihkan tanaman bunga dan untuk memotong tangkai tangkai yang layu. Kini, ia mencabut pisau yang diselipkannya di ikat pinggang dan dengan pisau itu ia menyambut Nismara yang menubruknya.
Akan tetapi, apa artinya serangan seorang wanita lemah seperti Listyarini. hanya mempergunakan sebatang pisau dapur, terhadap perwira perajurit pengawal seperti Nismara? Dengan mudah dia menangkap pergelangan tangan kanan wanita itu dan sekali cengkeram, Listyarini menjerit dan pisaunya terlepas dari genggamannya. Sambil tertawa-tawa Nismara lalu menangkap kedua lengan wanita itu dan memondongnya. Listyarini meronta dan menjerit.
"Toloonggg..!"
Akan tetapi jeritnya terhenti seketika karena Nismara menekan tengkuknya dan wanita itu terkulai pingsan di atas pundak Nismara yang memanggulnya dan membawanya keluar dari pondok itu. Menurut gelora nafsu berahinya, ingin ia memperkosa wanita itu di tempat itu juga, akan tetapi dia merasa ngeri kalau-kalau akan muncul Ki Patih Narotama. Maka dia ingin membawa wanita itu cepat-cepat pergi jauh meninggalkan kepatihan menuju ke tempat aman.
Pada saat itu, tak jauh dari pondok itu Lasmini sedang mengintai dan hatinya merasa gembira sekali melihat betapa Nismara telah menyerbu masuk ke dalam pondok. Akan tetapi ia terkejut juga mendengar jerit suara Listyarini.
"Goblok..!" la memaki, marah karena menganggap Nismara bodoh sekali memberi kesempatan kepada Listyarini untuk mengeluarkan jeritan. Dengan hati khawatir ia melihat ke kanan kiri, kalau-kalau suara jeritan pendek yang cukup melengking itu menarik perhatian orang lain. Dan benar saja, ia melihat dua orang laki-laki datang berlarian kearah situ. Mereka adalah dua orang tukang kebun yang biasa mengurus taman. Diam-diam Lasmini mengutuk. Sialan pikirnya, padahal menurut perhitungannya, biasanya pada waktu sore seperti itu dua orang tukang kebun itu tidak pernah bekerja di taman. Kenapa begitu kebetulan mereka sekarang berada di situ dan agaknya mendengar jeritan suara Listyarini?
Yang sial adalah dua orang tukang kebun itu. Mereka mengadakan pemeriksaan ke dalam taman karena mengira akan turun hujan sehingga mereka hari mempersiapkan segalanya agar taman jangan menjadi rusak oleh membanjirnya air hujan. Ketika dengan lapat-lapat mereka mendengar jerit wanita, mereka lalu berlari menuju kepondok.
Akan tetapi, dalam perjalanan itu, tiba-tiba saja dua buah batu sebesar kepala mereka meluncur dan menghantam kepala mereka. Tanpa dapat mengeluarkan teriakan lagi dua orang tukang kebun itu tersungkur roboh dan tewas seketika dengan kepala pecah! Lasmini memang cerdik sekali. Ia tidak mau membunuh dua orang itu dengan menggunakan aji pukulannya yang ampuh, karena kalau hal itu ia lakukan, Ki Patih Narotama tentu akan mengenal aji itu dan rahasianya akan terbuka.
Akan tetapi, pada saat itu, kebetulan Lasmini menoleh ke belakang, ke arah gedung kepatihan dan wajahnya mendadak nenjadi pucat sekali. Dia melihat sesosok bayangan berkelebat seperti terbang dan segera, mengenal bahwa itu adalah bayangan Ki Patih Narotama sendiri.
"Celaka..!" Lasmini berbisik dalam hati. Akan tetapi dasar ia seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuang kegugupannya, bahkan kini ia berlagak menyambut suaminya itu.
"Kakangmas... celaka... sesuatu yang hebat telah terjadi..!" katanya setelah bertemu dengan Ki Patih Narotama yang menghentikan larinya.
Patih Narotama tadi berlari cepat memasuki taman setelah mendengar dari para dayang bahwa Listyarini seorang diri berjalan-jalan dalam taman. Hatinya merasa khawatir dan dia cepat berlari menyusul.
"Diajeng Lasmini! Apa yang terjadi..?
"Saya... saya tidak tahu, kakangmas Tadi saya memasuki taman dan melihat dua orang tukang kebun menggeletak dengan kepala pecah dan sudah tewas!"
"Di mana mereka?"
"Di sana, mari!" Mereka berdua berlompatan dan dengan cepat sudah tiba di tempat di mana dua orang tukang kebun itu menggeletak tak bernyawa lagi. Ki Patih Narotama memeriksa sebentar. Darah yang mengalir keluar dari kepala-kepala yang pecah itu masih segar.
"Hemm, baru saja dibunuh. Pembunuhnya tentu masih berada di taman. Tapi... Listyarini..! Di mana ia..?"
"Saya tidak tahu, kakangmas. Ketika memasuki taman, saya tidak melihatnya dan baru tiba di sini, saya melihat dua orang ini. Ketika melihat kakangmas berlari memasuki taman, saya cepat menyongsong dan memberitahukan. Mari kita mencari Kakangmbok Listyarini!"
Lasmini mendahului suaminya, melompat dan lari menuju pondok. Tentu saja ia tersenyum dalam hatinya karena tahu benar bahwa Nismara sudah lama membawa lari Listyarini dari dalam pondok itu. Keduanya memasuki pondok. Tidak ada siapa pun di sana. Juga tidak tampak adanya bekas-bekas kekerasan. Akan tetapi Ki Narotama membungkuk dan nengambil sebatang pisau yang menggeletak di atas lantai, dekat dipan.
"Hemm, pisau apakah ini? Milik siapa?" Dia bertanya sambil mengamati pisau itu. Lasmini mengambil pisau itu dari tangan suaminya dan memeriksanya.
"Ini seperti pisau yang biasa dipergunakan para dayang didalam dapur, kakangmas. Hemm, saya kira pisau ini tadi dibawa Kakangmbok Listyarini ke taman untuk memotong kembang dan ranting yang sudah layu, kemudian tertinggal disini. Mungkin sekali ia sudah kembali ke gedung kepatihan!"
"Hemm, mudah-mudahan begitu. Mari kita cari ia di sana!"
Ki Patih Narotama tidak merasa curiga karena tidak melihat ada tanda-tanda kekerasan terjadi di dalam pondok yang kesemuanya masih rapi. Mereka kembali keluar dari pondok dan dengan cepat berlari menuju ke gedung kepatihan. Tentu saja senyum dalam hati Lasmini makin melebar karena ia tahu bahwa kini Nismara tentu sudah dapat lari lebih jauh lagi sehingga takkan mungkin dapat disusul oleh Ki Patih Narotama.
Setelah tiba di gedung kepatihan, dengan selalu diikuti Lasmini, Narotama mencari isterinya. Akan tetapi sia-sia, Listyarini tidak dapat ditemukan dan tidak ada seorangpun dayang tahu kemana perginya garwa padmi ki patih itu. Setahu mereka hanyalah bahwa Listyarini seorang diri memasuki taman membawa sebatang pisau dapur. Narotama berlari lagi memasuki taman, diikuti Lasmini. Kini mereka mencari sambil berteriak-teriak memanggil, bergantian.
"Diajeng Listyarini..!"
"Kakangmbok Listyarini..."
Akan tetapi yang menjawab hanya suara gaung gema teriakan mereka. Mereka mencari keluar dan taman, akan tetapi karena tidak menemukan jejak, Narotama menjadi gelisah dan bingung, tidak tahu harus mengejar ke arah mana. Sementara itu, senja telah mulai gelap, malam mulai datang menguasai bumi. Setelah tiba jauh di luar daerah Kerajaan Kahuripan, Narotama mengajak Lasmini untuk mengambil jalan yang menuju ke selatan.
Jantung Lasmini berdebar tegang, karena menurut seperti yang telah direncanakan, Nismara yang melarikan Listyarini tentu juga mengambil jalan itu. Dan betapa pun cepat larinya Nismara, kalau Narotama melakukan pengejaran yang arahnya tepat, akhirnya Nismara tentu akan tersusul! Akan tetapi otaknya yang cerdik sudah membuat ia mengambil sikap yang amat tepat. Ia berlutut, menyembah dan merangkul kedua kaki Narotama sambil menangis!
Narotama cepat merangkul dan mengangkat bangun selirnya itu. "Adinda Lasmini, apa yang kaulakukan ini? Apa artinya ini?"
"Aduh kakangmas pujaan hamba... tidak tahukah paduka betapa remuk redam, betapa hancur luluh hati hamba biarkan paduka untuk mengejar penjahat yang menculik kakangmbok ke selatan? Aduh kakangmas sesembahan hamba, mengapa hati kakangmas begitu tega kepada hamba, menjatuhkan fitnah keji kepada hamba dan keluarga hamba?” Lasmini berkata di antara tangisnya.
"Diajeng Lasmini!" kata Narotama dengan alis berkerut dan memandang wajah selirnya di keremangan malam yang hanya diterangi bulan sepotong. "Aku mengajak engkau mengejar penculik Listyarini untuk menyelamatkannya dari marabahaya Aku sama sekali tidak pernah menduga atau mengatakan bahwa pelaku penculikan adalah keluargamu. Mungkin saja penjahat itu melarikan diri ke arah selatan sana! Jangan berkesimpulan yang bukan-bukan!"
Lasmini sudah tidak menangis, akan tetapi ia membiarkan dirinya didekap Narotama dan ia menyandarkan kepalanya yang semerbak harum melati itu didada suaminya.
"Akan tetapi, kakangmas. Semua orang tahu belaka bahwa di selatan sana termasuk wilayah Kerajaan Parang Siluman dimana ibu kandung hamba, Sang Ratu Durgakumala menjadi penguasanya. Penculik itu tentu mengetahui pula bahwa hamba, puteri Parang Siluman, telah menjadi garwa paduka. Bagaimana mungkin dia membawa lari Kakangmbok listyarini ke sana? Sama saja dengan ular menghampiri penggebuk. Kalau paduka melakukan pengejaran memasuki wilayah Kerajaan Parang Siluman, bukankah itu berarti bahwa paduka mencurigai kanjeng ibu ratu dan keluarganya? Tidak, kakangmas, paduka tidak boleh mengejar dalam wilayah Parang Siluman. Hamba malu, kakangmas, malu kepada kanjeng ibu, malu kepada kanjeng rama, malu kepada kanjeng paman yang juga guru hamba, malu kepada seluruh keluarga dan kawula Parang Siluman."
Narotama termenung sejenak. Ah..betulnya juga ucapan yang keluar mulut selirnya yang diseling isak tangis itu. "Hemm, diajeng Lasmini, semua tuturmu itu dapat kuterima dan memang benarnya. Akan tetapi, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa Listyarini diculik orang memasuki daerah Parang Siluman?"
"Kakangmas, kalau sampai terjadi seperti itu, kalau kemudian ternyata bahwa penjahat itu melarikan Kakang mbok Listyarini ke dalam daerah Parang Siluman dan menyembunyikannya di sana, hamba mempertaruhkan nyawa ini. Hamba siap dipenggal leher hamba sebagai pertanggunan jawab. Akan tetapi sebaliknya, kakangmas, kalau sekarang paduka bersikeras untuk mengejar sampai memasuki perbatasan Parang Siluman, hamba akan membunuh diri sekarang juga di depan kaki paduka. Tidak kuat hamba menderita aib dan malu karena tidak paduka percaya."
Narotama menghela napas panjang dan mengusap rambut kepala selirnya yang masin dipeluknya itu. "Baiklah, diAjeng. Kalau begitu janji dan tanggung jawabmu, aku tidak akan mengejar kedalam daerah Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi, lalu ke mana aku harus mencari Listyarini? Aku khawatir sekali akan keselamatannya."
"Harap kakangmas menenangkan hati dan jangan khawatir. Hamba dapat memastikan bahwa keselamatan nyawa kakangmbok Listyarini tidak akan terancam bahaya. Hamba yakin bahwa penculik itu tidak akan membunuhnya."
"Bagaimana andika dapat yakin begitu diajeng?"
"Menurut penalaran, kakangmas. Kalau penjahat itu memang berniat membunuh Kakangmbok Listyarini, tentu hal itu sudah dia lakukan dalam taman, seperti juga dia telah membunuh dua orang tukang kebun itu. Kenyataannya bahwa dia tidak membunuh melainkan menculik Kakangmbok Listyarini menunjukkan bahwa dia tidak ingin membunuhnya sehingga masih terdapat harapan bahwa kita akan dapat menemukannya. Hamba akan membantu dengan taruhan nyawa hamba agar kita dapat menemukan kembali Kakangmbok Listyarini."
Narotama merasa lega sekali. Kalau ada selirnya ini yang membantu, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat menemukan kembali garwa padminya yang hilang diculik orang itu.
"Aduh, diajeng Lasmini, terima kasih. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya. Hatiku sekarang ini merasa risau dan cemas sehingga aku tidak dapat berpikir dengan baik. Kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan sekarang, yayi?"
"Kalau menurut hamba, kakangmas, sebaiknya kita pulang saja dulu. Bagaimana pun juga, hamba yakin Kakangmbok Listyarini tidak akan dibunuh. Kakangmas pulang dulu untuk mencari jalan terbaik. Hamba kira, dengan mengerahkan pasukan yang kita sebar, akan lebih mudah menemukan penculik itu. Juga kita berdua dapat pula melanjutkan pencarian kita. Sekarang, untuk mengejarpun, kita belum tahu ke arah mana penjahat itu lari. Mungkin ke utara, ke timur, atau ke barat. Karena itu, mari kita pulang dulu, menenangkan hati dan merencanakan siasat terbaik untuk mencari Kakangmbok Listyarini."
Dengan hati agak lega Narotama mencium bibir yang mengucapkan kata-kata yang dianggapnya amat bijaksana itu. Mereka lalu bergandengan tangan, berlari cepat kembali ke gedung kepatihan di Kahuripan.
Betapa hebatnya sebuah rencana, betapa telitinyapun rencana itu diatur dan betapa canggihnyapun pelaksanaannya, semua itu belum dapat dipastikan berhasil. Ada Kekuasaan lain yang mutlak menentukan hasil tidaknya sebuah tindakan.
Manusia dengan segala akal budinya boleh merencanakan yang muluk-muluk, namun pada akhirnya manusia harus tunduk kepada Kekuasaan yang menentukan itu. Kekuasaan Ilahi, Kekuasaan Gusti Yang Maha Kuasa, Kekuasaan Sang Hyang Widhi wasa, Pengatur seluruh alam semesta dengan semua isinya!
Demikian pula dengan rencana pembunuhan atas diri Listyarini yang telah diatur dengan sempurna oleh Lasmini. Memang pada mulanya rencana itu tampaknya seperti berhasil baik menurut rencana. Listyarini telah dapat diculik Nismara seperti direncanakan, bahkan Lasmini telah berhasil membujuk Narotama agar tidak melakukan pengejaran ke selatan.
Akan tetapi, hasil kelanjutannya ternyata lain sama sekali seperti yang telah direncanakan. Nismara tidak melarikan diri ke selatan, tidak masuk ke wilayah Kerajaan Parang Siluman. Mengapa demikian? Ternyata Nismara sudah mengenal baik keadaan di Kerajaan Parang Siluman. Dia tahu bahwa kerajaan itu menjadi tempatnya orang-orang yang amat keji dan kejam, orang-orang yang licik dan curang. Kalau dia membawa Listyarini ke sana, jangan-jangan nasibnya menjadi celaka. Bukan tidak mungkin dia akan dicurangi dan dibunuh, sedangkan Listyarini akan dirampas darinya. Tidak, dia tidak akan pergi ke Kerajaan Parang Siluman itu.
Dia kini telah memondong puteri ayu, telah mengantungi banyak emas. Dia telah bebas, boleh pergi ke mana dia suka. Mengapa harus ke Parang Siluman? Kalau Narotama mengejar ke sana, mungkin saja untuk menyimpan rahasia, Ratu Parang Siluman yang cantik akan tetapi keji seperti iblis betina itu akan membunuhnya! Teringat akan kekejaman Lasmini saja dia sudah bergidik. Lebih baik dia membawa Listyarini pergi jauh sekali dari Kahuripan dan Parang Siluman, di tempat jauh dia akan hidup senang dengan sang puteri juwita, tanpa ada yang mengganggu!
Pemikiran inilah yang membuat Nismara tidak jadi lari ke selatan, melainkan lari ke arah barat! Dia memanggul tubuh Listyarini dan melarikan diri kebarat, melalui hutan-hutan dan gunung gunung. Dia tidak berani mengganggu Listyarini karena hatinya selalu dikejar rasa takut dan ngeri. Kini dia tidak hanya melarikan diri dari pengejaran Narotama, akan tetapi juga pengejaran Lasmini yang tentu akan membunuhnya kalau mengetahui bahwa ia lari ke barat, bukan masuk ke wilayah Parang Siluman seperti yang diperintahkan Lasmini. Dan dia malah lebih takut akan pengejaran Lasmini dari pada pengejaran Ki Patih Narotama. Dia tahu, Narotama adalah seorang bijaksana dan tidak kejam. Mungkin dia akan dibunuhnya begitu saja. Akan tetapi kalau dia sampai terjatuh ketangan Lasmini, dia tentu akan disiksanya setengah mati!
Karena setiap hari dikejar rasa ngeri dan ketakutan, seolah setiap saat dia mendengar langkah kaki orang-orang yang mengejarnya, Nismara tidak pernah mau mengganggu Listyarini. Apa lagi setelah Listyarini tampaknya tidak meronta lagi. Ketika itu dia menurunkan Listyarini dari pondongannya untuk sekadar beristirahat melepas lelah dan menenangkan hatinya yang terguncang rasa takut dan gelisah.
Listyarini kini tidak mau menjerit lagi. la maklum bahwa dirinya tidak berdaya dan ia hanya pasrah kepada Hyang Widhi, setiap saat berdoa semoga Sang Hyang Widhi melindunginya dari pada marabahaya. Melihat Nismara menyeka keringat dari leher dan mukanya, dan melihat wajah itu seperti orang ketakutan, matanya bergerak liar ke sana sini seolah takut melihat orang datang, Listyarini yang dilepas dari pondongan dan kini duduk di atas tanah itu menyapa dengan suara lembut.
"Nismara, katakan saja terus terang, mengapa engkau membawa aku pergi ke tempat ini? Mengapa engkau yang menjadi perwira pasukan pengawal tega menculik aku?"
Sudah beberapa kali pertanyaan diajukan oleh Listyarini selama beberapa hari ini, akan tetapi Nismara tidak pernah mau menjawab. Kini pun dia tidak menjawab, hanya memandang sejenak wajah elok itu lalu menggeleng kepala dan mengalihkan pandang matanya. Entah bagaimana, mungkin karena dihantui rasa takut dan ngeri kalau-kalau dia tertangkap, selama beberapa hari ini seolah semua nafsu berahinya terhadap wanita cantik ini menghilang begitu saja!
"Nismara," kata Listyarini dengan halus. "Aku tahu bahwa selama beberapa hari ini sejak engkau menculik aku engkau bersikap baik sekali padaku, engkau memondongku, memperhatikan keperluanku dan tidak pernah mengangguku. Sebaliknya aku selalu meronta dan melawan, sehingga engkau tentu lelah sekali. Aku berterima kasih kepadamu untuk itu. Akan tetapi, Nismara, aku melawanmu karena aku takut dan tidak tahu mengapa aku kau culik. Kalau engkau memberitahu, tentu aku akan merasa lega dan tidak akan melawan lagi. Aku akan menyerah sehingga perjalanan ini dapat dilakukan lebih lancar dan menyenangkan. Karena itu, katakanlah, Nismara, mengapa kau lakukan semua ini."
"Benar engkau akan menyerah dan tidak melawan atau meronta lagi kalau kuberitahu?" Nismara bertanya.
"Aku bukan orang yang suka berbohong. Apa yang kujanjikan pasti akan kutepati." kata Listyarini.
"Baiklah, akan kuberitahu. Sudah lama ku mengagumimu, Listyarini, bahkan aku tergila gila kepadamu. Aku cemburu kepada Ki Patih Narotama, yang telah memperisterimu, akan tetapi masih begitu murka untuk mempunyai seorang isteri lain, yaitu Lasmini. Puteri dari Parang Siluman itulah yang merencanakan ini semua, menyuruh aku untuk menculikmu dan membawamu pergi, agar ia dapat menjadi garwa padmi Ki Patih Narotama."
Listyarini terkejut, namun tidak merasa terlalu heran karena ia sudah dapat merasakan betapa selir suaminya itu diam-diam membencinya.
"Hemm, jadi ini biang keladinya? Lalu, kenapa engkau melarikan aku sampai sejauh ini dan tidak membunuhku?"
"Membunuhmu? Tidak, Listyarini, aku tidak tega membunuhmu. Aku... aku cinta padamu. Aku diperintah untu membawa engkau ke Parang Siluman, akan tetapi aku tidak mau karena setibanya di sana engkau pasti dibunuh mereka! Aku tidak ingin engkau dibunuh, maka engkau kularikan sampai di sini. Aku harus melarikan sejauh mungkin sehingga Ki Patih Narotama dan juga Lasmini dan pihak Parang Siluman tidak akan dapat mencari kita. Nah, kuharap mulai sekarang engkau suka menurut dan melarikan diri tanpa melakukan perlawanan."
Listyarini berpikir. Selama orang ini tidak menggangguku, sebaiknya aku menurut agar dia tidak bersikap kasar kepadaku. Akan tetapi, kalau dia hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh, aku akan membunuh diri. Sementara itu, hanya mengharapkan pertolongan dari Sang Hyang Widhi.Maka, lapun mengangguk.
Dengan girang Nismara mengajak ia melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melewati sebuah dusun yang cukup ramai, yaitu dusun Kerta, Nismara lalu membeli dua ekor kuda. Biarpun tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan, namun kalau menunggang kuda, Listyarini cukup mahir. Perjalanan dilanjutkan dengan berkuda sehingga lebih cepat dan lancar. Juga bagi Listyarini, tentu lebih leluasa dan enak melakukan perjalanan menunggang kuda dari pada dipondong oleh Nismara.
Mereka mendaki Gunung Lawu dari sisi timur. Pada suatu pagi tibalah mereka di lereng Gunung Lawu. Pemandangan alamnya amat indah dan tempat itu pun sunyi, penuh dengan hutan lebat dan hawanya sejuk, nyaman bukan main. Dari tempat mereka berhenti mengaso, tampak sebuah telaga yang airnya membiru dan pemandangan di situ teramat indahnya.
Timbul kegembiraan besar di dalam hati Nismara. Selama beberapa hari ini kekhawatirannya mulai menipis dan perjalanan berkuda yang menyenangkan itu, tanpa harus memondong tubuh Listyarini,membangkitkan kembali gairahnya. Mereka menambatkan kuda di batang pohon dan keduanya duduk di atas batu gunung. Di sekeliling mereka tampak padang rumput menghijau.
Nismara mulai memandang kepada Listyarini dengan penuh perhatian dan perlahan-lahan api gairah berahi mulai menyala dalam pandang matanya. Wanita itu tampak amat cantik menggairahkan. Rambutnya yang agak kusut itu bahkan menambah keelokannya, dengan sinom berjuntai dan bergantung! kacau di dahi dan pelipisnya, pakaian yang kusut itu mempertajam lekuk lengkung tubuhnya.
Muncul bayangan-bayangan penuh nafsu berahi dalam benak Nismara. Ah.. sebetulnya sudah lama wanita ini berada di tangannya akan tetapi dia tidak sempat memilikinya. Sekaranglah saatnya pikirnya. Jelas bahwa tidak akan ada yang mampu mengejarnya sampai di tempat sunyi ini. Dia harus memilikinya sekarang juga dan sekali menjadi miliknya, wanita ini tentu selanjutnya akan tunduk kepadanya dan akan menjadi isterinya.
Nismara turun dari atas batu dan menghampiri Listyarini. Listyarini menengok. Mereka bertemu pandang dan Listyarini terbelalak. Ia melihat kobaran nafsu berahi dalam mata laki-laki itu. Marabahaya yang hampir setiap hari dikhawatirkannya itu akhirnya muncul. Nalurinya mengatakan bahwa saat itu Nismara seperti kemasukan iblis dan ia memandang ngeri.
"Nismara, kau mau apa..?" tanyanya dan wajahnya sudah berubah pucat.
Nismara tersenyum, menyeringai seperti seekor srigala memperlihatkan taringnya.
"Mari kubantu engkau turun, Listyarini, kita melanjutkan perjalanan." katanya sambil menjulurkan tangannya.
Listyarini merasa agak lega dan ia menerima uluran tangan itu. Akan tetapi ketika ia sudah turun dari atas batu, tiba-tiba saja kedua lengan Nismara mendekapnya dengan kuat dan muka laki laki itu mendekati mukanya, berusaha untuk menciuminya.
"Jangan..! Tidaaak..!"
Listyarini menjerit dan mengelak dari ciuman dengan memalingkan mukanya kekanan kiri. Akan tetapi tentu saja ia kalah kuat dan pada saat hidung Nismara mendarat di pipi kirinya, dalam kenekatannya Listyarini mengangkat lututnya ke atas. Nismara berteriak mengaduh dan rangkulannya mengendur karena lutut kaki Listyarini tepat menghantam bawah pusarnya. Listyarini meronta sekuat tenaga sehingga terlepas dari rangkulan lalu membalik dan melarikan diri.
Akan tetapi hanya sebentar Nismara kesakitan. Dia melompat dan mengejar. Akhirnya dia dapat menubruk dari belakang dan memeluk Listyarini. Wanita itu terguling dan Nismara ikut pula terjatuh Mereka bergulingan di atas rumput. Lityarini mencoba untuk memukul, mencakar bahkan menggigit. Namun karena kalah kuat, akhirnya Nismara dapat menindihnya dan memegangi kedua pergelangan tangannya.
Pada saat yang teramat gawat bagi kehormatan Listyarini itu, tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram rambut kepala Nismara, menariknya ke belakang dengan sentakan yang demikian kuatnya sehingga Nismara berteriak kesakitan dan tubuhnya terseret ke belakang. Sebuah tendangan menyusul dan tubuh Nismara terpental bergulingan.
Akan tetapi yang paling nyeri adalah kepalanya. Rambutnya seolah tercabut copot semua, rasanya pedih dan panas. Dia meraba kepalanya dan merasa lega bahwa rambutnya masih ada. Dia melompat berdiri dan dengan mata merah dia memandang kedepan.
Dia melihat seorang laki-laki membantu Listyarini bangun dan berkata kepada wanita itu. "Ke sanalah, nona. Biar kuhajar orang jahat ini."
Laki-laki itu bicara dengan suara pelo. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya agak pucat kekuningan, matanya sipit dan rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pita biru. Dari raut wajahnya sampai bentuk baju dan celananya tahulah Nismara bahwa, pemuda itu adalah seorang berbangsa Cina.
Pernah dia melihat beberapa orang Cina berkunjung ke Kahuripan, sebagian sebagai pedagang dan ada pula yang menjadi tukang-tukang yang ahli dalam pembuatan perabot rumah tangga dari kayu dan rotan atau dari bambu. Sungguh mengherankan sekali di tempat sesunyi itu dia bertemu dengan seorang Cina.....