Dwipo mewakili rekan-rekannya berkata kepada dua orang tamu itu. "Harap andika berdua tidak berteriak-teriak seperti itu. Kalau andika hendak bertamu, beritahukanlah nama andika dan akan kami laporkan kepada Bapa Empu."
Ucapan itu walau pun nadanya halus namun mengandung teguran, seolah mengingatkan bahwa sikap yang diperlihatkan dua orang itu sebagai tamu adalah kurang pantas. Resi Bajrasakti yang berwatak brangasan (pemarah) mengerutkan alisnya yang tebal. Dia menggulung ujung cambuknya dengan tangan kiri dan dengan sikap angkuh dia bertanya kepada lima orang cantrik itu.
"Heh, kalian berlima ini siapa berani menyambut kami dengan lancang? Hayo suruh Empu Bharada keluar menemui kami!"
Dwipo menjawab dengan alis berkerut "Kami adalah para cantrik yang melayani Bapa Empu. Katakan siapa andika agar dapat kami laporkan ke dalam."
Mendengar ini, Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha! Hanya cantrik? Cantrik-cantrik kurus kelaparan jangan banyak tingkah. Hayo menari!" Setelah berkata demikian, cambuknya menyambar-nyambar ke depan, ke arah kaki lima orang cantrik itu, suaranya meledak-ledak nyaring. Para cantrik terkejut sekali, ujung cambuk yang mengenai kaki mendatangkan rasa panas dan nyeri sehingga mereka terpaksa berloncat-loncatan untuk menghindarkan cambukan. Karena mereka berloncat-loncatan, maka mereka seolah-olah menari-nari dan hal ini dianggap lucu sekali oleh Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala sehingga mereka tertawa-tawa.
"Tar-tar-tar-tar-tar... plakk!"
Tiba-tiba saja ujung cambuk itu mental karena bertemu dengan ujung lengan baju yang menangkisnya. Resi Bajrasakti terkejut dan segera menghentikan gerakan cambuknya, memandang kepada Empu Bharada yang tadinya menangkis cambuk itu dengan ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.
"Kalian masuklah dan obati kaki kalian." kata Empu Bharada kepada lima orang cantrik yang kakinya lecet-lecet terkena sengatan ujung cambuk.
Setelah lima orang cantrik itu memasuki rumah, Empu Bharada menghadapi dua orang itu, mengamati mereka penuh selidik. Dia mengangguk-angguk setelah mengenal siapa dua orang yang datang membikin kacau itu.
"Teja-teja sulaksana! Kalau aku tidak salah duga, andika tentu Resi Bajrasakti, datuk besar dari Kadipaten Wengker yang tersohor itu." Empu Bharada kini memandang kepada orang ke dua. "Dan bukankah andika ini Ki Nagakumala, pertapa di Junggringslaka itu?"
Resi Bajrasakti mendengus dengan sikap mengejek lalu berkata dengan lantang dan angkuh. "Ha, inikah Empu Bharada yang terkenal itu? Ternyata matamu masih tajam, dapat mengenal kami berdua!"
"Resi Bajrasakti, karena andika tadi berteriak memanggilku keluar, maka kini aku keluar menyambut kalian dan katakanlah, apa maksud kedatangan andika berdua ini?"
Sekarang Ki Nagakumala yang menjawab. Sikap kakek ini tidaklah sekasar sikap Resi Bajrasakti, bahkan sikapnya halus dan gagah, namun suaranya mengandung kebencian melihat orang yang menjadi penghalang bagi dua orang keponakannya itu.
"Empu Bharada, namamu tersohor sampai ke sepanjang pantai Laut Kidul, bergelora menyaingi Laut Kidul. Karena itu, kami sengaja datang untuk membuktikan sendiri sampai dimana kedigdayaan Empu Bharada yang terkenal sakti mandraguna itu!"
"Hemm, Ki Nagakumala, apakah gerangan yang tersembunyi di balik kata kata andika itu? Apa yang andika maksudkan?"
Resi Bajrasakti tertawa. "Ha-ha-ha! Masih kurang jelaskah, Empu Bharada? tentu saja maksud kami adalah untuk bertanding aji kesaktian denganmu, untuk menguji apakah benar-benar andika sakti mandraguna ataukah ketenaranmu itu hanya kosong belaka!"
"Jagad Dewa Bathara! jadi kalian berdua ini jauh-jauh datang berkunjung ke sini hanya untuk menantang aku bertanding? Sungguh tak masuk akal bila andika berdua menantang aku tanpa alasan apa pun. Secara pribadi, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun. Terus terang saja, Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala, katakan mengapa kalian hendak menantangku bertanding?"
"Ha-ha, apa anehnya itu, Empu Bharada? Di antara kerajaan Kahuripan dan kerajan kami berdua, Wengker dan Parang Siluman, sejak dulu memang sudah bermusuhan. Andika setia kepada Kahuripan dan kamipun setia kepada kerajaan kami masing-masing. Selain itu, kami sudah mendengar akan kesombongan yang selalu menganggap diri paling sakti. Maka kami sengaja datang untuk menantangmu dan menghentikan kesombonganmu!" kata Resi Bajrasakti.
"Hemm, andika berdua bukalah telinga kalian baik-baik dan dengar kata-kataku ini! Kalau kalian datang menantangku bertanding hanya karena perasaan pribadi untuk mengujiku, aku tidak bersedia melayani ulah nafsu kalian. Akan tetapi kalau kalian datang sebagai utusan Wengker dan Parang Siluman untuk mengacau Kahuripan, akulah yang akan menentang kalian!"
"Babo-babo, manusia sombong! Sambut ini! "Resi Bajrasakti mengeluarkan segenggam pasir yang semenjak tadi sudah dia persiapkan dan setelah berkemak-kemik membaca mantra dia melempar segenggam pasir itu ke atas dan berseru dengan suara nyaring berwibawa.
"Aji Bramara Sewu (Lebah Seribu)..."
Sungguh aneh! Segenggam pasir itu setelah dilontarkan keatas segera berubah menjadi serombongan lebah yang beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung. Rombongan lebah ini meluncur dan menyerang ke arah Empu Bharada.
Empu Bharada memandang serangan yang mengandung ilmu sihir ini sebagai permainan kanak-kanak. Dengan tenang dia menggerakkan lengan kirinya sehingga jubahnya yang panjang dan lebar itu mengebut ke atas. Angin yang sangat kuat langsung bertiup ke arah serombongan lebah yang datang menyerang.
"Kembalilah ke asalmu!" bentaknya dengan suara lembut namun amat berwibawa. Angin dari kebutan jubah itu menyambar serombongan lebah jadi-jadian dan runtuhlah semua lebah itu, jatuh ke atas tanah dan kembali menjadi pasir yang berserakan!
Resi Bajrasakti terkejut dan menjadi marah bukan main. Dia membaca mantra sambil mengerahkan Aji Panglimutan agar dirinya tidak tampak oleh Empu Bharada sehingga dia akan dapat menyerang dan membunuh sang empu. Lalu muncullah halimun tebal yang menutup tubuhnya sehingga lenyap dari pandang mata. Tetapi kembali Empu Bharada mengebutkan jubahnya beberapa kali dan... halimun tebal itu pun membuyar dan lenyap sehingga tubuh Resi Bajrasakti tampak lagi. Merah wajah sang resi datuk Wengker ini.
"Aji Sihung Naga... haaiiiikk!"
Resi Bajrasakti kini menggerakkan tubuh dan menerjang maju, kedua tangannya yang besar panjang itu melakukan serangan pukulan bertubi. Pukulan itu dahsyat sekali, ketika tangannya menyambar, terdengar suara angin bersiutan, tanda betapa kuatnya pukulan itu.
Dengan tenang namun gesit dan ringan, tubuh Empu Bharada menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Sampai belasan kali Resi Bajrasakti menyerang dengan pukulan bertubi-tubi, namun selalu pukulan dahsyat itu hanya mengenai angin karena tubuh sang empu berkelebat bagaikan bayangan yang tidak dapat terkena pukulan.
"Hyaaahhh!" kembali pukulan tangan kanan Resi Bajrasakti menyambar kearah perut sang empu. Empu Bharada miringkan tubuh dan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan lawan dan dengan sentakan kuat menarik lengan tangan lawan sehingga ketika dilepaskan, tubuh Resi Bajrasakti geloyoran (terhuyung) ke depan dan hampir terjungkal. Namun dia berhasil mematahkan daya dorongan yang kuat itu dengan cara melompat ke atas dan ketika turun lagi, tangannya sudah memegang gagang cambuk yang terbuat dari gading gajah itu. Kini dia marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang dengan senjata cambuk pusaka itu.
"Tar-tar-tarrr..!"
Cambuk itu meledak-ledak di atas lalu turun menyambar ke arah tubuh Empu Bharada. Namun, sekarang tubuh Empu Bharada bergerak lebih cepat lagi sehingga tubuhnya berkelebatan, sukar sekali diserang karena tubuh itu selalu berpindah-pindah sehingga membingungkan lawan. Sang empu yang sakti ini telah mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya ringan sekali dan dapat bergerak cepat sekali.
Kini, melihat ancaman cambuk yang ampuh itu, Empu Bharada mulai membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya. Tamparan itu tampaknya perlahan saja, namun tamparan tangan yang dibarengi dengan menyambarnya ujung lengan baju yang longgar itu membawa tenaga sakti yang amat kuat. Bahkan kedua tangan yang sudah dipenuhi tenaga sakti itu berani menyambut dan menangkis sambaran cambuk dan beberapa kali tangan empu berusaha untuk menangkap ujung cambuk!
Tentu saja Resi Bajrasakti tidak membiarkan ujung cambuknya ditangkap karena kalau hal itu terjadi cambuknya dapat rusak, putus atau bahkan terampas lawan! Perkelahian menjadi seimbang, bahkan Resi Bajrasakti tampak terdesak karena dia mulai merasa gentar melawan empu yang sakti mandraguna ini.
Melihat betapa temannya tidak mampu mengalahkan Empu Bharada, Ki Nagakumala yang tadinya hanya menonton, tidak dapat tinggal diam. Rencana mereka berdua datang ke Lemah Citra adalah untuk membunuh Empu Bharada. Kalau tadi dia diam saja adalah karena dia percaya bahwa Resi Bajrasakti yang angkuh itu akan mampu merobohkan sang empu. Dia tidak ingin menyinggung perasaan datuk Wengker itu dengan membantunya. Akan tetapi kini melihat kenyataan bahwa sang resi malah terdesak, terpaksa dia lalu melompat maju dan menyerang Empu Bharada dengan pukulan tangan kanannya.
"Sambut Aji Ampak-ampak..!" bentaknya dan ketika tangan kanan itu menyambar dengan telapak tangan terbuka ada hawa yang amat dingin terasa oleh Empu Bharada. Sang empu terkejut karena dia mengenal ilmu pukulan yang ampuh, pukulan yang mengandung tenaga sakti berhawa dingin. Pukulan seperti ini kalau mengenai sasaran amat berbahaya. Darah dalam tubuh dapat membeku terpengaruh hawa dingin itu!
Menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang sakti itu, Empu Bharada mulai terdesak hebat. Dia masih mampu menghindarkan semua serangan kedua orang lawannya dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk membalas dengan dua aji pukulannya yang ampuh, yaitu Aji Sihung Warak dan Aji Tapak Saloko. Dia terdesak terus, hanya mampu mengelak dan kadang menangkis, tidak sempat membalas serangan.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun muncul. Pria ini bertubuh sedang, penampilannya sederhana, pakaiannya juga pakaian longgar seperti yang biasa dipakai seorang petani dusun. Akan tetapi sepasang matanya mencorong pertanda bahwa dia adalah seorang yang "berisi".
"Hemm, sungguh licik dan curang..! Dua orang mengeroyok seorang lawan! Kakang Empu... maafkan kalau aku membantu andika tanpa diperintah..!" Setelah berkata demikian, pria itu cepat menerjang ke arah Ki Nagakumala dengan tamparan tangan kiri yang mendatangkan angin dahsyat.
"Sambut Aji Gelap Musti..!" bentaknya ketika tangannya menyambar dan menampar ke arah dada Ki Nagakumala.
Pertapa Jonggringslaka ini terkejut bukan main dan maklum bahwa lawan barunya ini memiliki aji pukulan yang dahsyat. Maka dia pun cepat mengangkat tangan untuk menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
"Desss..!"
Dua lengan bertemu dan akibatnya Ki Nagakumalaka terdorong kebelakang sampai terhuyung sedangkan lawannya hanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa Ki Nagakumala masih kalah kuat dalam adu tenaga sakti. Hatinya menjadi gentar. Demikian pula Resi Bajrasakti, melihat Ki Nagakumala tidak lagi dapat membantunya karena diserang pendatang baru itu, menjadi gentar karena merasa bahwa seorang diri saja dia tidak akan mampu menandingi kedigdayaan Empu Bharada. Tiba-tiba Resi Bajrasakti mengerahkan Aji Panglimutan lagi. Halimun putih tebal menyelubungi tempat itu.
"Kita pergi!" katanya kepada Ki Nagakumala yang maklum akan isyarat ini. Maka kedua orang itu lalu melompat jauh dan menggunakan ilmu mereka untuk melarikan diri secepatnya.
Setelah Empu Bharada mengusir halimun dengan kebutan jubahnya, ternyata kedua orang penyerbu itu telah lenyap. Dia menghela napas dan memandang kepada orang yang membantunya tadi.
"Adi Bargowo, Sang Hyang Widhi telah mengirim andika datang membantu ku sehingga aku terbebas dari ancaman dua orang sakti tadi. Selamat datang, adi!"
Pria itu melangkah maju menghampiri Empu Bharada dan mereka saling rangkul. Pria itu adalah Ki Bargowo yang merupakan adik seperguruan yang kemudian menjadi adik angkat Empu Bharada.
"Kakang Bharada, aku sungguh merasa terkejut dan heran. Sudah tiga tahun kita tidak saling berjumpa, dan aku tahu bahwa andika telah menjadi pembantu yang amat dikasihi Gusti Sinuwun, mendapat anugerah dan hidup dengan tenteram di tanah perdikan Lemah Citra ini. Akan tetapi apa yang ku lihat tadi? Andika bertanding melawan dua orang sakti yang berbahaya... Bagaimana andika dapat hidup terancam bahaya seperti itu, kakang?"
Empu Bharada tersenyum dan menarik tangan Ki Bargowo diajak masuk ke ruangan dalam. "Kita bicara di dalam saja, Adi Bargowo, dan di dalam masih ada seorang sahabat baik ku, yaitu Empu Kanwa, seorang sastrawan yang bijaksana. Mari ku perkenalkan dan nanti ku jelaskan semua."
Sambil bergandengan tangan mereka berdua memasuki ruangan di mana Empu Kanwa masih duduk sambil makan ubi rebus dengan enaknya. Empu Bharada tidak merasa heran melihat sikap sahabatnya ini, yang masih duduk enak-enak dan tenang-tenang saja walau pun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang orang yang memaksanya bertanding. Padahal Empu Kanwa adalah seorang yang lemah jasmaninya.
Tapi dia adalah seorang yang sudah sepenuhnya percaya dan pasrah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi, maklum bahwa kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang selamat, biarpun dikeroyok selaksa bahayapun akan dapat lolos, namun sebaliknya kalau Hyang Widhi menghendaki seseorang mati, walau pun seribu orang dewa tidak akan mampu menghindarkannya dari kematian!
Karena kepasrahannya itu, juga karena merasa tidak berdaya, dia tenang tenang saja. Kalau sahabatnya itu masuk lagi dengan selamat, hal itu tidak aneh baginya, juga kalau sahabatnya itu digotong masuk menjadi jenazah, diapun tidak akan merasa aneh!
Betapa pun juga, ketika dia melihat Empu Bharada memasuki ruangan itu, bergandengan tangan dengan seorang pria sederhana yang tidak dia kenal, senyumnya semakin cerah dan pandang matanya bersinar-sinar, lalu memandang kepada Ki Bargowo dengan sinar mata penuh selidik.
"Kakang Kanwa, perkenalkan. Ini adalah adik seperguruan, juga adik angkatku bernama Ki Bargowo yang tinggal di Sungapan, muara Kali Progo. Dialah yang tadi datang secara kebetulan dan dapat membantuku sehingga kami dapat mengusir Resi Bajrasakti dan Ki Nagakumala yang dating dengan niat menantang yang berarti mereka hendak membunuhku." Kemudian Empu Bharada menoleh kepada adiknya. "Adi Bargowo, sahabat baikku ini adalah Kakang Kanwa, sastrawan paling terkenal di Kahuripan."
"Kakang Empu Kanwa, saya Bargowo menghaturkan salam hormat." kata Ki Bargowo. Empu Kanwa mengangkat tangan sebagai tanda salam dan berkata.
"Adi Bargowo, karena andika ini adik Adi Bharada, maka seperti adikku juga. Mari kita duduk dan bicara dengan enak."
Setelah mereka duduk bersila mengelilingi meja pendek, Ki Bargowo yang tidak sabar lagi lalu bertanya kepada Empu Bharada.
"Kakang Bharada, apakah yang andika maksudkan tadi Resi Bajrasakti datuk dari Kadipaten Wengker, dan Ki Nagakumala itu kakak dari Sang Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman?"
"Benar, adi. Serbuan mereka ke sini itu memperkuat dugaanku bahwa Wengker dan Parang Siluman telah bersekutu dan mulai melakukan aksi pengacauan keKahuripan. Tidak mungkin aku yang menjadi sasaran, karena aku tidak mempunyai permusuhan atau permasalahan pribadi dengan mereka. Mereka tentu menyerang dan hendak membunuhku sebagai penasihat Gusti Sinuwun Erlangga."
"Perang, perang, perang..! Selama manusia masih dikuasai dan diperbudak nafsu daya rendah yang berada dalam dirinya sendiri, maka permusuhan, perang dan bunuh membunuh antara manusia masih akan terus terjadi. Bumi akan menjadi neraka dan manusia hanya akan menderita kesengsaraan." kata Empu Kanwa seperti orang bertembang.
Mendengar ini, Empu Bharada tersenyum saja, akan tetapi Ki Bargowo mendengarkan dengan hati tertarik, "Maaf, Kakang Empu Kanwa, apa yang kakang ucapkan itu sungguh tepat dan kenyataannya memang demikian. Apakah dengan demikian kakang hendak mengemukakan pendapat bahwa orang yang mempelajari aji kanuragan dan olah gegaman (senjata) itu tidak benar?"
Empu Kanwa juga tersenyum dan setelah mengamati wajah Ki Bargowo sejenak, dia lalu menembang dengan tembang Sekar Pangkur.
"Kawaca raras kawuryan
Miwah mundi saradibya umingis
Ing mangka punika tuhu Aling-Jinging anggo
Ananangi hardaning kang hawa napsu
Manawi sampun angrcdha
Dadya rubeda ngribedi."
Miwah mundi saradibya umingis
Ing mangka punika tuhu Aling-Jinging anggo
Ananangi hardaning kang hawa napsu
Manawi sampun angrcdha
Dadya rubeda ngribedi."
(Suka akan baju perang dan membawa senjata terhunus padahal semua itu sebenarnya menutupi kebersihan hati membangkitkan gelora hawa nafsu kalau sudah merajalela menjadi halangan yang mengganggu.)
Empu Bharada dan Ki Bargowo saling pandang dan merasa penasaran karena dalam tembang itu Empu Kanwa jelas mencela orang yang. mempelajari kedigdayaan dan olah senjata. Empu Bharada yang sudah tanggap akan pandangan Empu Kanwa hanya tersenyum, akan tetapi Ki Bargowo yang merasa penasaran bertanya lagi, dan nada suaranya membantah.
"Akan tetapi. Kakang Empu Kanwa, terkadang, bahkan sering terjadi, perbuatan baik yang membela kebenaran dan keadilan, harus dilengkapi dengan aji kanuragan, baru dapat terlaksana dengan baik. Bagi perorangan, kepandaian itu penting untuk membela diri dan bagi negara, kekuatan balatentara amat penting untuk menegakkan kedaulatan negara. Apakah setiap orang yang mempelajari kanuragan lalu menjadi hamba nafsu dan jahat?"
Kembali Empu Kanwa bertembang, masih dengan tembang Sekar Pangkur.
"Datan pisah menggegaman karsanira kinarya ngreksa mung
raharjaning bawana gung sarana anumpesa sagung ingkang
dadya memala satuhu pra manungsa ingkang sasar marang
anggering durnadi."
raharjaning bawana gung sarana anumpesa sagung ingkang
dadya memala satuhu pra manungsa ingkang sasar marang
anggering durnadi."
(Tidak pisah dari senjata agar dapat menjaga ketentraman dunia dengan membinasakan segala yang menjadi penyakit para manusia yang menyimpang dari kebenaran hidup.)
"Ha-ha-ha!" Empu Bharada tertawa. "Kakang Kanwa semula mencela, kemudian membela orang yang mempelajari kanuragan."
Empu Kanwa juga tersenyum. "Sesungguhnya, aji kanuragan dan senjata hanyalah alat dan seperti segala macam alat di dunia ini, tidak mempunyai sifat baik maupun buruk. Baik dan buruknya suatu alat tergantung dari manusianya sendiri yang menggunakannya. Para satria mempergunakan aji kanuragan dan senjata untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang penindasan dan kejahatan, membela mereka yang tertindas, dengan demikian maka kanuragan dan senjata itu menjadi alat yang baik. Akan tetapi banyak orang sesat yang menggunakan kanuragan dan senjata untuk memaksakan keinginan mereka, sewenang-wenang, melakukan hukum rimba sehingga dengan demikian maka kanuragan dan senjata itu menjadi alat yang amat buruk. Akan tetapi, Adi Bargowo, kanuragan dan senjata itu mendatangkan kekuatan yang memberi kekuasaan kepada manusia. Kekuasaan inilah yang condong untuk mendorong manusia melakukan tindakan sewenang-wenang, mengandalkan kekuatannya dan kekuasaannya. Bukan berarti bahwa orang seperti aku, yang lemah dan bisanya hanya termenung mengkhayal, menerawang dan menulis tidak akan dapat melakukan kejahatan mencelakai orang lain. Tentu saja dapat, walau tidak dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Tapi kecondongannya tidak sekuat orang yang menjadi ahli kanuragan. Karena itu, yang terpenting adalah jangan sampai nafsu daya rendah yang semestinya menjadi pembantu itu berubah menjadi majikan."
Kembali terdengar Empu Bharada tertawa. "Wah, wah! Andika beruntung sekali, Adi Bargowo. Begitu datang bertemu dengan seorang guru yang memberi wejangan yang amat berharga. Akan tetapi, setelah lama tidak berjumpa denganmu, aku ingin sekali mendengar keterangan tentang keadaanmu sekarang, adi. Yang terakhir kita bertemu adalah ketika andika melaksanakan pernikahanmu tiga tahun yang lalu. Bagaimana kabarnya dengan isterimu?"
"Keadaan kami baik saja, kakang. Kami telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini berusia satu tahun."
"Ah, aku ikut berbahagia mendengarnya, Adi Bargowo. Mudah-mudahan anakmu kelak menjadi seorang manusia yang berbakti kepada Sang Hyang Widhi, kepada orang tuanya, dan kepada bangsa dan negara."
"Terima kasih, Kakang Bharada. Semoga doa restu kakang menyertai kami dan harapan kakang itu akan terjadi."
"Sekarang katakan, kepentingan apakah yang membawamu datang ke sini?"
"Sesungguhnya tidak ada persoalan apa pun, kakang. Aku hanya merasa kangen dan ingin bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Kebetulan sekali kedatanganku tepat pada saat andika dikeroyok dua orang datuk itu. Sebetulnya, apakah yang menyebabkan mereka berdua itu menyerangmu?"
"Sudah kukatakan tadi, Adi Bargowo. Mereka datang mencari gara-gara, memusuhi aku hanya karena aku menjadi penasihat Sang Prabu Erlangga. Jelas mereka itu bermaksud mendatangkan kekacauan di Kahuripan. Aku harus melaporkan hal ini kepada Gusti Sinuwun agar beliau berhati-hati dan kalau perlu mengirim para petugas untuk melakukan pemantauan gerak-gerik dan kegiatan di Kadipaten Wengker dan Parang Siluman."
"Kakang Bharada orang-orang dari daerah-daerah yang dikuasai orang-orang sesat itu memang kejam sekali. Dalam perjalananku menuju ke sini, akupun mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Empu Dewamurti yang bertapa di tepi Laut Kidul dekat dengan dusun Karang Tirta, juga menjadi korban keganasan mereka. Kabar yang kudengar mengatakan bahwa Empu Dewamurti tewas. Memang tidak ada penduduk sekitar Karang Tirta melihat kejadian itu, akan tetapi mereka melihat munculnya lima orang di dusun itu sebelum Empu Dewamurti tewas. Dan menurut penggambaran penduduk mengenai lima orang itu, aku menduga bahwa mereka itu adalah Resi Bajrasakti yang tadi, Ratu Mayang Gupita, ratu kerajaan kecil liar Siluman Laut Kidul, dan tiga orang yang terkenal dengan sebutan Tri Kala, para jagoan dari Wura-wuri."
"Jagad Dewa Bathara..! Mulai berjatuhan korban keganasan mereka..! Empu Dewamurti adalah seorang ahli membuat keris pusaka yang pandai dan dia juga seorang yang sakti mandraguna. Kahuripan kehilangan seorang empu pembuat pusaka yang pandai." kata Empu Bharada.
"Ketika aku berada di Karang Tirta, aku mendengar pula kabar dari penduduk di sana bahwa mendiang Empu Dewamurti meninggalkan seorang murid bernama Nurseta dan kabarnya pemuda itu telah menemukan sebatang keris pusaka bernama Kyai Megatantra. Pemuda itu telah pergi dan tak seorangpun mengetahui ke mana dia pergi."
"Sang Megatantra..?" Empu Bharada dan Empu Kanwa berseru hampir berbareng.
"Wah, Megatantra adalah sebuah keris pusaka di jaman Kerajaan Medang Kamulan yang terkenal ampuh sekali dan kabarnya pusaka itu hilang puluhan tahun yang lalu!" kata Empu Kanwa.
Empu Bharada mengangguk-angguk. "Benar, Kakang Kanwa. Megatantra merupakan satu di antara pusaka-pusaka istana Mataram, bahkan dianggap sebagai satu di antara wahyu mahkota kerajaan Mataram. Pusaka itu lenyap sekitar tujuh puluh tahun yang lalu. Kalau benar Sang Megatantra kini telah muncul kembali, Gusti Sinuwun harus mengetahuinya. Harus diusahakan agar pusaka itu kembali ke istana Kahuripan sebagai keturunan Mataram. Kalau sampai pusaka itu terjatuh ke tangan orang jahat, hal itu berbahaya sekali dan dapat menimbulkan bencana."
Tiga orang itu bercakap-cakap sampai malam. Pada keesokan harinya, baik Empu Kanwa maupun Ki Bargowo berpamit dan meninggalkan Lemah Citra, pulang ke tempat tinggal masing-masing…..
********************
Lembah hijau subur yang terletak di antara Gunung Arjuna dan Gunung Bromo itu termasuk dalam wilayah Kerajaan Wura-wuri yang pusat kerajaannya berada di Lwarang (Loarang atau Lawang). Di sana terdapat beberapa buah dusun yang penduduknya menjadi petani yang cukup makmur karena tanah di daerah itu amat loh jinawi (subur).
Di atas sebuah bukit kecil yang agak terpencil terdapat sebuah rumah mungil, tidak mempunyai tetangga, seolah bukit itu seluruhnya dikuasai oleh si pemilik rumah. Sebatang sungai kecil yang airnya jernih sekali mengalir gemercik di belakang rumah. Sungai kecil itu terbentuk oleh sumber air yang memancar dari sebuah sumber air di puncak bukit dan menjadi sebatang sungai kecil yang mengalir turun melalui belakang rumah.
Suatu pagi yang indah. Sinar matahari yang keemasan dan gemilang baru saja menyelesaikan tugasnya sejak fajar mengusir halimun pagi, menggugah ayam dan burung-burung dari tidur lelap dan memberi kehangatan yang menyehatkan dan menyegarkan. Lembah itu memiliki hawa udara yang amat nyaman, tidak terlalu dingin seperti di kedua gunung yang terletak di barat dan timur itu? Ayam dan burung menyambut pagi dengan kokok dan kicau mereka sebagai tanda bersukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi yang telah menganugerahkan segala keindahan dan kenikmatan hidup itu.
Di belakang rumah itu terdapat sebuah kebun yang dipenuhi tanaman bunga beraneka macam, terutama yang terbanyak bunga melati dan bunga mawar, berbagai warna, pohon-pohon buah mangga, jeruk, jambu, rambutan dan, sawo. Di tengah-tengah kebun itulah anak sungai berair jernih itu mengalir, bermain-main dengan batu-batu hitam sambil bercanda, gemerciknya seperti tawa ria yang tiada hentinya.
Angin pagi itu sepoi-sepoi, berbisik-bisik di antara daun-daun pohon seolah ikut berdendang tentang keindahan alam pagi hari, diseling kicau burung kutilang, eniprit dan gereja. Seorang gadis duduk di atas batu hitam sebesar perut kerbau yang terletak di tepi anak sungai itu. Batu itu licin bersih mengkilap dan gadis itu duduk dengan kedua kaki berjuntai ke bawah, termenung melamun sambil memandang ke arah air yang tiada hentinya bergerak menari dan berdendang. Semangatnya seolah hanyut bersama air sungai itu menuju ke hilir, ke bawah bukit.
Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, bertubuh sedang dan bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, tubuh itu padat dengan lekuk lengkung yang indah sempurna. Kulit yang tampak pada muka, leher, lengan dan sebagian kakinya itu putih mulus kekuningan. Rambutnya panjang dan saat itu terurai sampai ke bawah pinggul yang membusung, agak berombak. Sinom (anak rambut) melingkar-lingkar di pelipis dan dahinya. Agaknya ia hendak mandi maka rambutnya diurai dan ada sebuah keranjang terisi pakaian yang hendak dicuci terletak di tepi anak sungai.
Wajahnya ayu manis merak ati dengan sepasang alis hitam kecil melengkung seperti dilukis. Sepasang matanya mencorong seperti bintang, jeli dan tajam walau sinarnya mengandung kekerasan hati. Hidungnya kecil mancung dan yang amat menarik adalah mulutnya! Bibir itu tipis, basah kemerahan, dengan lekuk yang menantang dan menggairahkan, manis sekali. Tahi lalat kecil hitam di dagu menambah kemanisan wajahnya.
Agaknya kini ia sadar dari lamunannya, lalu kedua tangannya mengatur rambutnya untuk disanggul. Gerakan menyanggul rambut dengan kedua lengan ditekuk ke belakang kepala ini merupakan gerakan khas wanita yang selalu amat indah, manis dan menarik hati kaum pria. Seperti gerakan tarian yang manis. Setelah rambutnya disanggul, tiba-tiba gadis itu membuat gerakan melompat dari atas batu. Gerakan ini mengejutkan karena berlawanan dengan gerakan tadi ketika menyanggul rambutnya, tadi gerakannya begitu luwes dan lembut.
Kini ia melompat dengan gerakan tangkas, kemudian mulailah ia bersilat dan orang yang dapat melihatnya tentu akan ternganga keheranan. Gerakannya selain amat cepat juga mengandung tenaga kuat sehingga setiap tangannya bergerak, terdengar desir angin bersiutan dan tanaman-tanaman yang tumbuh di arah ia melakukan pukulan, seperti tertiup angin yang kuat! Kemudian ia melompat ke atas, ke arah pohon jambu yang tumbuh di tepi anak sungai.
"Krekk..!"
Ia sudah menyambar dan mematahkan sebatang ranting pohon jambu. Kemudian ia menggunakan ranting itu untuk bersilat, memainkan ranting itu seolah benda itu merupakan sebatang pedang. Dan tampaklah daun-daun jambu yang terendah jatuh berhamburan seperti dibabat senjata tajam!
Ranting itu berubah menjadi gulungan sinar dan tubuhnya sendiri lenyap terbungkus gulungan sinar, hanya tampak sebagai bayangan yang berkelebat ke sana-sini dengan amat cepatnya. Lama juga ia berlatih silat. Setelah, puas ia berhenti, membuang ranting dan mengusap leher jenjang itu yang berkeringat, lalu melepaskan lagi gelungan rambutnya sehingga rambut itu terurai, kembali.
Kini ia tidak melamun lagi melainkan mengambil keranjang pakaiannya dan mulai mencuci pakaian di atas batu-batu hitam yang menonjol dari permukaan air sungai yang dalamnya hanya sampai ke pinggangnya. Karena sudah terbiasa dan merasa yakin bahwa tempat itu tidak mungkin didatangi orang lain, ia lalu menanggalkan seluruh pakaiannya untuk sekalian dicuci. Sungguh merupakan pemandangan dialam bebas yang amat indah dan gadis yang bertelanjang bulat itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh alam yang mempesona.....