Sang Prabu Erlangga cepat membuka daun pintu kamar yang luas dan indah itu dan pertama kali yang menyambutnya adalah keharuman lembut yang amat menyenangkan hidung dan menyejukkan hati. Dia melihat selir terkasih itu rebah melungkup di atas pembaringan dengan posisi yang amat indah menawan. Pakaiannya dari sutera halus itu menempel ketat di tubuhnya, memperlihatkan lekak lengkung tubuh yang menggairahkan, agaknya tersingkap di bagian kaki sehingga tampak betis yang kuning memadi bunting paha yang putih dan halus mulus. Akan tetapi wanita cantik itu membenamkan mukanya pada bantal dan pundaknya bergoyang-goyang sedikit seperti orang sedang menahan isak tangis.
"Adinda Mandari, engkau kenapa!..?"
Sang Prabu Erlangga menegur lembut. Mendengar teguran ini, Mandari mengangkat mukanya memandang dan jelas tampak bahwa ia tengah menangis. Begitu melihat raja yang menjadi suaminya itu, bergegas ia turun dari atas pembaringan, lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut, merangkul kedua kaki sang prabu sambil menangis.
"Duh gusti sinuwun pujaan hamba mengapa paduka begitu tega kepada hamba..?"
Sang Prabu Erlangga tertegun, heran lalu tersenyum geli karena menganggap sikap selirnya itu terlalu manja, sikap manja yang bahkan menambah daya tariknya. Dia merangkul dan membangunkan wanita itu, lalu diajaknya duduk berjajar di tepi pembaringan. Dengan sentuhan mesra penuh kasih sayang dihapusnya kedua pipi yang agak basah air mata itu lalu diciuminya kedua pipi yang kemerahan, licin halus dan sedap harum mawar itu.
"Apa maksudmu, yayi? Aku tega kepadamu? Aneh-aneh saja engkau ini. Aku selalu cinta dan sayang padamu, mana mungkin aku tega?"
"Buktinya, sinuwun, paduka tega meninggalkan hamba sejak tadi, meninggalkan hamba kesepian dan menanggung rindu..."
Sang Prabu Erlangga tertawa dan merangkul kekasihnya. "Ha-ha-ha, diajeng Mandari. Hanya sebentar aku meninggalkanmu karena aku harus menyambut datangnya tamu yang kuhormati, dan engkau mengatakan sudah kesepian dan rindu?"
"Duh sinuwun, kalau paduka tidak berada dekat hamba, hamba merasa seolah kehilangan matahari, gelap gulita kehidupan hamba dan... dan... hamba khawatir sekali..."
"Eh? Khawatir? Apa yang kaukhawatirkan, sayangku, Engkau hidup di sini aman, tidak akan ada yang berani mengganggumu, kecuali orang takut kepadaku juga engkau bukan sembarang wanita yang mudah diganggu orang! Apa lagi yang kau takutkan?"
"Ampunkan hamba, sinuwun..., pertapa itu... baru satu kali hamba bertemu dengannya akan tetapi... pandang matanya sungguh membuat hamba meriding (meremang), hamba takut padanya gusti. Karena itu, ketika paduka menerima kunjungan Empu Bharada itu... hamba takut..!"
"Ah, rasa takutmu tidak beralasan diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sejak dulu beliau menjadi penasehatku yang setia. Sama sekali tidak ada alasannya untuk ditakuti."
"Ampun, sinuwun. Mungkin paduka benar, hamba hanya takut bayang-bayang sendiri. Akan tetapi agar hati hamba dapat menjadi tenang, sudilah kiranya paduka memberitahu kepada hamba, berita apakah gerangan yang dibawa sang Empu itu kepada paduka."
Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Wahai, adinda sayang, agaknya perasaanmu sudah sedemikian pekanya sehingga kerisauan hatiku menembusmu dan membuat engkau menjadi gelisah juga. Akan tetapi apa perlunya aku menceritakan hal yang buruk kepadamu dan yang hanya akan membuat engkau merasa khawatir sehingga akan mengurangi sinar kejelitaan mu?"
"Duh sinuwun pujaan hamba, mengapa paduka berkata demikian? Bukankah hamba ini garwa (isteri) paduka, dan bukankah garwo itu berarti sigaraning nyowo (belahan nyawa) suami dan isteri Itu selalu sehidup semati dengan suaminya, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung, swargo nunut neroko katut (Ke surga ikut ke neraka terbawa)?"
Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga melupakan kerisauan hatinya. "Heh-heh..heh, yayi Mandari! Ucapanmu itu hanya merupakan pendapat umum yang salah kaprah! Memang benar bahwa garwa adalah sigaraning nyowo, selagi hidup suami isteri sudah selayaknya membagi rasa, suka sama dinikmati dan duka sama ditanggung. Akan tetapi kalau sudah memasuki alam baka, masing-masing mempunyai tangung jawab dan tempat sendiri-sendiri yang sepadan dengan keadaan masing-masing selama hidup didunia. Seorang isteri tidak hanya swarga nunut neroko katut! Betapa pun bijaksana sang suami, kalau sang isteri jahat, tidak mungkin ia akan nunut ke surga dengan suaminya. Sebaliknya, betapa pun jahatnya sang suami, kalau isterinya baik budi dan bijak, ia pun tidak akan ikut ke neraka bersama sang suami."
Dengan manja Mandari lalu menjatuhkan diri menelungkup dan meletakkan mukanya di atas pangkuan Sang Prabu Erlangga yang menggunakan kedua tangan mengelus-elus rambut kepala selir terkasih itu. Satu di antara daya tarik yang sangat kuat dari wanita ini adalah rambutnya. Rambut itu halus lemas hitam berikal dan panjangnya sampai ke lutut!
Ketika itu, gelungan rambutnya yang sejak tadi memang longgar itu terlepas dan rambutnya terurai seperti selendang dari benang sutera hitam melibat tubuhnya. Indah sekali.
"Kalau paduka tidak berkenan dan tidak percaya kepada hamba, paduka tidak menceritakan kepada hamba juga tidak mengapa, sinuwun. Hamba dapat menerimanya, hamba juga rumangsa (tahu diri) bahwa hamba hanyalah seorang selir..." kata Mandari manja.
Sang Prabu Erlangga merangkulnya. "Tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, yayi. Nah, dengarlah berita yang tidak menyenangkan itu. Paman Empu bharada dating memberi peringatan kepadaku bahwa dia merasakan adanya ancaman malapetaka yang akan melanda Mataram, yaitu akan datangnya perang besar, banjir darah dan bunuh membunuh antara manusia."
"Aduh, sinuwun. Bagaimana mungkin pertapa itu dapat menggambarkan keadaan yang akan datang?" tanya Mandari dengan hati terkejut dan cemas.
"Engkau tidak tahu, diajeng. Paman Empu Bharada adalah seorang yang bijaksana dan sidda paningal (sempurna penglihatan batinnya) sehingga dia seolah dapat mengetahui atau merasakan hal-hal yang belum terjadi."
"Sinuwun, kalau begitu, paduka harap tenang dan jangan khawatir. Hambamu ini yang siap untuk membantu, kalau perlu berkorban nyawa, untuk menjaga keselamatan paduka."
"Hemm, aku senang mendengar ucapanmu yang menunjukkan kesetiaanmu Mandari. Akan tetapi aku tidak mengkhawatirkan keselamatan sendiri, yang kuprihatinkan adalah kemelut yang mengorbankan nyawa banyak kawulak itu. Yah, kalau Sang Hyang Widhi sudah menghendaki demikian, apa yang dapat kita lakukan? Menurut Paman Empu Bharada, semua itu merupakan akibat dari pada sebab, akan tetapi aku belum dapat menemukan apa yang menjadi sebab datangnya ancaman marabahaya ini."
"Ah, paduka pujaan hamba, harap jangan berduka. Hamba sanggup untuk membantu paduka mencari apa yang menjadi penyebabnya."
Dengan gaya yang amat menarik dan memikat, Mandari mempergunakan semua kecantikan dan kepandaiannya untuk menghibur hati Sang Prabu Erlangga. Harus diakui bahwa Mandari, seperti juga kakaknya, Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama, biarpun ketika diboyong ke Kahuripan masih gadis dan belum pernah berhubungan dengan pria, namun dalam hal memikat hati pria memiliki bakat dan kepandaian istimewa. Semua ini mereka dapatkan dari lingkungan pergaulan di istana Kerajaan Parang siluman.
Sang Prabu Erlangga yang memang sedang terpesona oleh kecantikan Mandari, segera dapat terhibur dan tenggelam dalam lautan madu asmara dengan buih-buih nafsu berahinya yang memabokkan, lupa akan segala.
Betapa pun pandai dan kuatnya seorang manusia, tetap saja dia merupakan mahluk lemah yang terkadang menjadi bodoh dan lemah tak berdaya, ringkih dan menjadi permainan dari nafsunya sendiri. Nafsu yang telah diikut sertakan kepada manusia sejak dia lahir, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan manusia agar manusia dapat bertahan hidup dan dapat menikmati kehidupan di dunia ini sering kali berubah menjadi majikan yang menyesatkan.
Kita ditungganginya, dipermainkannya, hati akal pikiran kita dikuasainya sehingga kita menuruti segala kehendaknya, kehendak iblis yang bersenjatakan nafsu, kita ditundukkan dengan pancingan-pancingan kesenangan dan kenikmatan duniawi, dengan umpan pancingan yang serba enak-kepenak.
Oleh karena itulah, seorang yang bijaksana akan selalu eling (ingat) dan waspada, ingat setiap saat kepada Sang Hyang Widhi, mohon kekuatan dan bimbinganNya dan waspada terhadap gejolaknya nafsu daya rendah yang selalu siap menerkam dan menguasai kita…
********************
Pemuda itu duduk diam bagaikan arca di atas batu karang besar itu. Batu karang yang cukup tinggi sehingga pecahan air laut bergelombang yang membentur karang itu tidak sampai mencapai pemuda itu. Dia memegang sebatang walesan (tangkai pancing), duduk diam tak bergerak sedikitpun, sepasang matanya menatap tali pancing yang sebagian tenggelam dalam air, yang bergoyang-goyang terbawa air berombak, hampir tak pernah berkedip. Perasaannya berpusat pada jari tangan yang memegang tangkai pancing karena dari situlah dia akan dapat mengetahui apabila umpannya disambar ikan.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, bentuknya gagah dan kokoh seperti Sang gatot kaca. Kedua lengannya tampak berisi kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tertutup sebuah caping lebar itu tampan dan gagah. Matanya lebar dan mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya terhias senyum mengejek yang membayangkan keangkuhan. Pakaiannya terbuat dari kain halus, potongannya seperti bangsawan! kain pengikat kepalanya juga baru, dilibatkan di kepalanya dengan bentuk yang khas, ujungnya berdiri meruncing di bagian belakang. Kain pengikat kepala ini tersembunyi di bawah caping lebar yang dipakainya untuk melindungi wajahnya yang tampan halus dari sengatan panas matahari siang itu.
Sudah berjam-jam dia duduk memancing di atas batu karang itu, namun belum sekalipun juga umpan pancingnya disentuh ikan. Alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya mulai tak sabar. Tangan kirinya meraih ujung batu karang dan sekali dia mengerahkan tenaga, ujung batu karang itu sempal (terpotong patah) Kemudian pandang matanya mencari cari ke atas permukaan air yang bergerak-gerak di bawah batu karang. Pandang mata yang tajam itu dapat menangkap berkelebatnya bayang-bayang dalam air dan tiba-tiba tangan kiri yang memegang potongan batu karang sebesar kepalan itu bergerak cepat. Batu karang itu meluncur ke arah air.
"Syuuuuutt... cupp..!"
Batu karang itu masuk ke air dan tampak air bergerak keras, memercik-mercik ke atas dan seekor ikan meloncat ke atas permukaan air, lalu mengambang dengan perutnya yang putih di atas. Ikan sebesar paha manusia itu mati dengan kepala pecah! Bukan main hebatnya sambitan batu karang itu, dapat mengenai kepala ikan yang berenang di bawah permukaan air dengan tepat dan sekaligus membuat kepala yang keras itu pecah! Wajah tampan itu tersenyum dan tangan kirinya menepuk caping di kepalanya.
"Tolol kau! Datang ke sini bukan untuk mencari ikan, melainkan untuk berlatih kesabaran!"
Siapakah pemuda yang tangkas ini? Dia adalah Lingga Jaya, pemuda putera kepala dusun Suramenggala dusun Karang Tirta yang lima tahun lalu diculik kemudian menjadi murid Resi Bajrasakti dan dibawa ke Kerajaan Wengker. Selama lima tahun, dia telah digembleng oleh gurunya, kini dia telah menguasai berbagai aji kesaktian yang dahsyat.
Resi Bajrasakti senang dan puas hatinya melihat muridnya ini karena pemuda ini benar-benar berbakat baik sehingga dalam waktu lima tahun saja telah mampu menerima semua ajiannya. Hanya sedikit yang dianggapnya masih kurang pada diri Linggajaya, yaitu kesabaran. Karena itu selama beberapa hari dia menyuruh muridnya itu melatih kesabaran dengan memancing ikan di Laut Kidul.
Sejak pagi tadi Linggajaya melatih kesabaran dan memancing, akan tetapi karena sampai siang belum juga ada ikan menyentuh umpan pada pancingnya, ia menjadi kesal dan membunuh seekor ikan besar dengan sambitan batu karang. Akan tetapi dia mencela diri sendiri dan teringat bahwa pekerjaannya memancing ikan hanya merupakan latihan kesabaran dan ketenangan dan dia merasa bahwa latihannya gagal karena dia merasa kesal dan tidak sabar.
Linggajaya lalu membuang tangkai pancingnya ke laut dan dia segera bangkit dan melompat dari batu karang itu ke batu karang yang lain. Dengan tubuh ringan dia berloncatan sampai akhirnya ia tiba di tepi pantai. Kemudian dia berlari cepat menuju ke utara, ke Kerajaan Wengker. Larinya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya bayangannya berkelebat.
Inilah merupakan satu di antara aji kesaktian yang sudah dikuasai Linggajaya. Tubuhnya menjadi ringan dan tenaga yang mendorongnya meluncur ke depan amat kuatnya. Di samping aji kanuragan yang membuat pemuda ini menjadi seorang yang digdaya, dia juga mewarisi ilmu-ilmu sihir yang diajarkan gurunya. Bukan hanya kesaktian yang diperolehnya, namun lingkungan hidup di Kerajaan Wengker yang penuh kemaksiatan itu pun mempengaruhi watak Linggajaya.
Pada dasarnya, ketika masih menjadi pemuda putera lurah di Karang Tirta, dia sudah merupakan seorang pemuda yang tinggi hati, manja, mengandalkan kedudukan ayahnya sebagai orang "nomor satu" di dusun Karang Tirta dan suka bertindak sewenang-wenang melindas siapa saja yang berani menentangnya. Setelah menjadi murid Resi Bajrasakti dan hidup di Kerajaan Wengker selama lima tahun, tabiatnya tidak berubah bahkan dipengaruhi lingkungan yang lebih bejat lagi!
Akan tetapi, dia kini berubah menjadi seorang pemuda yang ganteng, pesolek, pandai membawa menutupi watak buruknya dengan penampilan yang menyenangkan. Wataknya yang mata keranjang sejak remaja menjadi lebih matang dan dia terkenal sekali di antara para gadis di kota raja Wengker, baik para puteri di lingkungan istana maupun para gadis yang tinggal di luar istana. Dia terkenal sebagai seorang pemuda perayu yang membuat banyak gadis tergila-gila.
Resi Bajrasakti sendiri adalah seorang yang suka memperdalam ilmu sesatnya dengan cara yang cabul dan kotor, lihat ulah muridnya, dia tidak menegur, tidak marah, bahkan merasa bangga dan sering memuji Linggajaya sebagai seorang pria yang JANTAN seperti Sang Arjuna. Tentu saja pujian gurunya ini membuat Linggajaya menjadi semakin berkepala besar dan semakin nekat. Bukan saja para gadis yang cantik menarik dirayunya, bahkan dia berani merayu isteri orang yang menarik hatinya. Tidak ada wanita yang tidak jatuh oleh rayuannya karena dia menggunakan aji pameletan yang ampuh! Hanya sayang, Linggajaya menganggap para wanita di Kerajaan Wengker kurang menarik, gerak geriknya kasar sehingga jarang ada wanita yang benar-benar menarik perhatiannya.
Di kerajaan tetangga, yaitu Kerajaan parang Siluman yang berada di pantai Laut Kidul, di sanalah tempatnya para Wanita yang cantik jelita dan menarik. Menurut dongeng, daerah itu dahulu menjadi tempat para pangeran dan bangsawan tinggi Mataram bertamasya dan para bangsawan itu banyak yang memadu kasih dengan para wanita daerah itu sehingga keturunan mereka berwajah elok. Prianya ganteng-ganteng, wanitanya cantik-cantik dan berkulit kuning mulus.
Akan tetapi Linggajaya tidak berani bermain gila di daerah Kerajaan Parang siluman yang diperintah oleh Ratu Durgakala yang terkenal cantik jelita. Daerah ini merupakan daerah larangan. Gurunya, Resi Bajrasakti berulang kali memperingatkan agar dia tidak mengganggu para wanita daerah kerajaan kecil itu karena Kerajaan Parang Siluman itu biarpun kecil memiliki banyak orang sakti dan kerajaan itu pun menjadi sahabat Kerajaan Wengker dalam menghadapi Mataram atau yang kini disebut Kerajaan Kahuripan.
Pernah pasukan Mataram dahulu menyerang Kerajaan Wengker, namun berkat perlawanan Raja Wengker, yaitu Raja Adhamapanuda, dibantu oleh pasukan Kerajaan Parang Siluman, maka serangan Mataram yang berkali-kali itu gagal. Sampai sekarang masih berlangsung semacam "perang dingin" antara Kahuripan dengan Wengker dan Parang Siluman.
Ketika Linggajaya tiba di perbatasan antara daerah Parang Siluman dan daerah Wengker, di sebuah dusun, matahari telah condong ke barat, bunyi gamelan menarik perhatiannya dan ia pun memasuki dusun itu, selain untuk melihat ada perayaan apa di dusun Sumber itu, juga karena perutnya terasa lapar dan dia ingin mendapatkan makanan.
Setelah tiba di tempat keramaian, ternyata ada pesta perayaan pernikahan di rumah kepala dusun Sumber itu. Putera kepala dusun itu sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis dari daerah Parang Siluman. Linggajaya tersenyum girang. Kebetulan sekali, pikirnya tersedia hidangan yang enak untuknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun memasuki tempat perayaan itu.
Karena seorang pemuda ganteng yang berpakaian seperti seorang bangsawan, maka lurah Sumber yang bernama Kartodikun itu menyambutnya dengan hormat dan Linggajaya malah mendapat tempat terhormat, di jajaran para tamu yang dihormati, dekat tempat duduk kedua mempelai!
Ketika hidangan disuguhkan, Linggajaya makan sampai kenyang dan setelah makan barulah dia memperhatikan sekitarnya. Baru dia melihat dengan hati terguncang betapa ayu manisnya mempelai wanita itu! Kulitnya yang kuning mulus, wajahnya yang manis, segera menarik hatinya. Di daerah Wengker jarang dia melihat gadis secantik itu!
Dia mengerling ke arah mempelai pria. Seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, ciri khas orang-orang Kerajaan Wengker. Sayang sekali, pikirnya, gadis yang begitu ayu manis, bertubuh mulus menggairahkan, akan menjadi isteri seorang laki-laki yang buruk rupa dan kasar!
Dari tempat duduknya, Linggajaya lalu mengerahkan tenaga batinnya melalui pandang mata yang tertuju kepada mempelai wanita yang sejak tadi menundukkan mukanya itu. Sebentar saja mempelai wanita itu terpaksa mengangkat muka karena ada suatu dorongan yang amat kuat memaksanya untuk mengangkat muka dan menoleh ke kanan.
Pandang mata gadis itu bertemu dengan wajah Linggajaya dan seketika gadis itu terpesona. Di antara para tamu, apa lagi dibandingkan pria yang duduk di sampingnya sebagai calon suaminya, maka Linggajaya tampak seperti Arjuna di antara para raksasa! Linggajaya juga memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sejenak. Linggajaya tersenyum kepada mempelai wanita itu. Gadis itu pun tersipu, menundukkan mukanya lagi dengan senyum tersungging di bibirnya yang manis.
Kenyataan ini merupakan tanda yang cukup jelas bagi Linggajaya dan dia pun sudah mengambil keputusan untuk menggunakan kesempatan itu dan bersenang-senang malam ini di rumah Ki Lurah Kartodikun! Ketika para tamu bubar, diapun ikut keluar.
Malam itu, rumah ki lurah masih meriah dengan bunyi gamelan. Tamunya tidak banyak karena yang datang hanya yang siang tadi tak sempat datang dari perayaannya siang tadi. Akan tetapi gamelan masih terus dimainkan, mengiringi suara tiga orang pesinden. Banyak orang yang menonton di luar pagar pekarangan. Akan tetapi, sepasang mempelai tidak tampak di luar.
Mereka sudah lelah mengikuti upacara dan pesta sehari tadi dan kini mereka berdua sudah berada di kamar pengantin yang dijaga beberapa orang di luar pintu kamar untuk melindungi mereka dari gangguan. Tampaknya semua aman saja dan semua orang, sambil tersenyum penuh pengertian, saling berbisik dan mengira bahwa sepasang mempelai tentu sedang berasyik masyuk sendiri.
Akan tetapi, tidak ada seorangpun menduga apa lagi mengetahui, bahwa begitu sepasang mempelai tadi memasuk kamar dan memasang palang pada daun pintu dari dalam, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Ketika putera Lurah dusun Sumber itu selesai memasang palang pintu dan hendak menggandeng tangan isterinya menuju ke pembaringan, tiba-tiba dia melihat halimun atau asap putih turun dari atap memasuki kamar itu.
Sarju, mempelai pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu adalah seorang pemuda Wengker yang rata-rata memiliki kegagahan dan keberanian. Dia pun tidak asing dengan keanehan yang terjadi sebagai hasil Ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa ada sesuatu yang tidak beres memasuki kamarnya. Mungkin sebangsa siluman atau orang yang mempergunakan ilmu setan.
Sementara itu, Sarikem, mempelai wanita yang berusia delapan belas tahun, juga melihat halimun atau asap putih yang turun dari atas itu. Ia menjadi ketakutan dan cepat berlari dan naik ke atas pembaringan, mepet di dinding sambil memandang kearah Sarju yang sudah mencabut kerisnya.
"Setan! Kalau berani, perlihatkan mukamu!" bentak Sarju.
Halimun atau asap putih itu membuyar dan tampaklah seorang pemuda tampan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi Sarju, lalu pemuda itu menoleh ke arah Sarikem dan tersenyum. Sarikem melihat dengan mata terbelalak bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda ganteng yang dilihatnya menjadi tamu dalam pesta siang tadi. Pemuda itu adalah Linggajaya yang mempergunakan Aji Panglimunan.
Melihat pemuda ini, Sarju terkejut dan heran karena dia belum pernah melihatnya. Siang tadi dia tidak memperhatikan para tamunya dan tidak melihat Linggajaya.
"Heh! Siapa kamu? Berani mati memasuki kamar tanpa ijin!" bentak Sarju. Suaranya cukup lantang dan hal ini memang dia sengaja untuk menarik perhatian para penjaga di luar kamarnya.
Akan tetapi tanpa dia sadari, Linggajaya telah mengerahkan kekuatan sihirnya sehingga pada saat itu suara Sarju yang dirasakannya lantang itu hanya terdengar lirih saja sehingga tidak mungkin terdengar dari luar kamar.
"Aku adalah Dewa Asmara. Aku lebih berhak atas diri gadis ini dari pada engkau!"
Sarju marah sekali dan sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka dia sudah menerjang dengan kerisnya. Dengan pengerahan tenaganya dia menusukkan keris itu ke arah perut Linggajaya. Linggajaya sudah dapat menduga bahwa laki-laki tinggi besar itu hanya mengandalkan tenaga kasar saja dan kerisnya pun bukan pusaka ampuh, maka sambil tersenyum saja membiarkan perutnya ditusuk.
"Singg..."
Keris itu berdesing dan dengan kuatnya menghujam ke arah perut LinggaJaya. Melihat ini, Sarikem memejamkan matanya karena ngeri membayangkan perut pemuda tampan itu akan mengucurkan darah.
"Tuk-tuk..!"
Dua kali keris itu menusuk perut, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sarju ketika merasa seolah kerisnya bertemu dengan baja! Dia menjadi penasaran sekali melihat bahwa yang tertusuk robek hanya baju pemuda itu. Maka dia mengerahkan seluruh tenaganya, kini menusuk ke arah dada.
"Wuuuttt... krekkk..!"
Kerisnya patah menjadi dua dan sebelum dia dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Linggajaya menampar ke arah leher Sarju.
"Wuutt... plak..."
Sarju terkulai roboh dan tak dapat bergerak lagi karena tamparan itu membuat dia pingsan Dengan kakinya Linggajaya mendorong tubuh Sarju yang pingsan itu ke kolong pembaringan sehingga tidak tampak. Sarikem yang tadi memejamkan mata setelah tidak mendengar adanya gerakan lagi, lalu memberanikan diri membuka matanya dengan hati merasa ngeri. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat pemuda ganteng itu berdiri di dekat pembaringan sambil tersenyum kepadanya sedangkan calon suaminya tidak tampak lagi.
Biarpun Sarikem amat kagum dan tertarik kepada pemuda yang ganteng itu, berbeda jauh dari calon suaminya yang hilang, namun karena pemuda itu asing baginya, ia merasa khawatir juga.
Kalau saja ia menjadi hamba manusia. Tetapi kalau sampai nafsu berahi memperhamba manusia, maka seperti juga nafsu-nafsu lainnya, ia akan menyeret manusia ke dalam perbuatan-perbuatan jahat dan tidak bersusila. Kalau nafsu berahi memperhambakan manusia maka muncullah perjinaan, pelacuran, bahkan perkosaan!
Linggajaya juga menjadi hamba nafsu berahi sehingga dia melakukan perbuatan yang hina dan keji. Gamelan di ruangan depan rumah Ki Lurah Kartodikun yang semalam suntuk dibunyikan itu akhirnya berhenti setelah fajar menyingsing dan terdengar ayam jantan berkokok menyambut munculnya cahaya lembut yang menandakan bahwa matahari akan segera tersembul di balik bukit.
Sarju yang tadinya rebah pingsan di kolong pembaringan, kini membuka mata dan siuman dari pingsannya, seperti orang yang baru saja bangun tidur. Dia merasa bingung karena mendapatkan dirinya rebah di kolong pembaringan. Ketika pandang matanya bertemu dengan keris patah yang menggeletak di sudut kamar, teringatlah dia akan perkelahiannya semalam melawan pemuda asing itu. Dia segera menggulingkan dirinya keluar dari bawah pembaringan lalu bangkit berdiri. Matanya terbelalak dan mukanya merah sekali ketika dia melihat Sarikem tidur pulas berangkulan dengan pemuda yang semalam memasuki kamar itu.
"Jahanam busuk!" bentaknya dan dia melupakan pengalaman semalam betapa dia sama sekali bukan tandingan pemuda yang sakti mandraguna itu. Setelah membentak dengan suara lantang, dia lalu menangkap lengan Linggajaya dan menyeretnya turun dari atas pembaringan!
Sarikem terbangun dari pulasnya oleh gerakan dan suara ini, dan ia membuka matanya, terkejut melihat Sarju menyeret Linggajaya turun dari pembaringan. Ia bangkit duduk dan menjerit karena kaget dan takut.
Linggajaya segera sadar dan dia melihat Sarju sudah mengayun kepalan tangannya untuk memukul mukanya. Linggajaya menggerakkan tangan kanan, miringkan tubuh dan menangkap lengan yang bergerak memukulnya.
Sekali mengerahkan tenaga dan jari-jari tangannya mencengkeram, tulang lengan Sarju menjadi patah-patah. Sarju berteriak mengaduh, akan tetapi kaki Linggajaya langsung menendangnya dan tubuhnya terlempar menabrak pintu kamar. Begitu kuatnya tubuhnya menabrak daun pintu sehingga daun pintu itu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar.
Empat orang yang bertugas jaga di luar kamar pengantin adalah jagoan-jagoan yang menjadi jagabaya (penjaga keamanan) di dusun Sumber. Tadipun mereka sudah merasa sangat heran mendengar suara Sarju memaki di dalam kamar itu. Kini terdengar suara gedubrakan dan tiba-tiba daun pintu jebol dan tubuh Sarju menggelinding keluar. Tentu saja mereka terkejut sekali.
Mereka cepat melongokkan kepala ke dalam kamar dan melihat seorang pemuda tampan sedang membereskan pakaian yang tadinya awut-awutan, sedang mempelai wanita mendekam di atas pembaringan sambil menangis ketakutan. Tanpa dikomando lagi empat orang jagoan itu segera berlompatan masuk dalam kamar, mengepung Linggajaya yang membereskan pakaiannya sambil tersenyum dengan sikap tenang sekali.
"Hei, siapakah engkau? Menyerahlah untuk kami tangkap!" bentak seorang diantara mereka yang kumisnya tebal dan panjang melintang.
Linggajaya membereskan kain pengikat kepala sambil tersenyum dan tidak tergesa-gesa, setelah semua pakaiannya beres dan rapi kembali, baru dia berkata "Kalian hendak menangkap aku? Nah tangkaplah kalau kalian bisa!"
Si kumis tebal memerintahkan temannya yang bertubuh gempal pendek, "Suro, tangkap dan belenggu kedua tangannya Kita hadapkan kepada Ki Lurah!"
Suro yang bertubuh pendek gempal dan tampaknya kokoh kuat itu segera maju dan dia sudah membawa segulung tali. Dengan cepat dia menangkap lengan kiri Linggajaya, menelikungnya ke belakang, disatukan dengan lengan kanan kemudian mengikat kedua pergelangan tangan pemuda itu dengan kuat. Linggajaya tersenyum geli seolah melihat pertunjukan yang lucu. Sesudah kedua lengan itu diikat kuat-kuat, si kumis tebal lalu membentak pemuda tampan itu.
"Hayo ikut kami menghadap Ki Lurah!"
Akan tetapi Linggajaya menggerakkan dua tangannya dan tali yang membelenggunya itu putus, kedua lengannya sudah bebas lagi.
"Hemm, kalian anjing-anjing buduk pergilah dan jangan mengganggu aku!" kata Linggajaya.
Empat orang itu terkejut dan marah sekali. Mereka mencabut klewang (golok) yang terselip di pinggang lalu menyerang pemuda itu dari depan, belakang, kanan dan kiri. Akan tetapi Linggajaya dengan gerakan cepat memutar tubuhnya seperti gasing, kedua tangannya bergerak cepat empat kali dan empat orang itu berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali! Linggajaya lalu menghampiri pembaringan, mengelus rambut yang terurai itu dan mencubit dagu Sarikem, lalu berkata, "Manis, aku pergi sekarang."
Sarikem yang kebingungan dan ketakutan, menjerit, "Kakangmas, bawalah aku pergi! Aku ikut..!"
Akan tetapi Linggajaya sudah melompat ke atas dan menjebol atap yang semalam dia tutup kembali ketika memasuki kamar itu. Mana dia mau perduli kepada Sarikem. Setelah apa yang terjadi semalam nafsunya telah terlampiaskan dan dia tidak mau mengacuhkan lagi gadis itu, tidak mau tahu nasib apa yang akan menimpa dirinya. Tentu saja dia tidak sudi membawa pergi Sarikem yang hanya akan menjadi beban saja baginya Setelah keinginannya tercapai, diapun tidak menginginkan lagi wanita itu.....!