Karena dikawal oleh Narotama yang selain sakti mandraguna juga dikenal semua pejabat-pejabat di daerah, maka perjalanan itu lancar dan tidak ada halangan. Di sepanjang jalan mereka mendapat sambutan para demang dan lurah dan mendapat bantuan seperlunya. Akhirnya kereta memasuki kota raja Kahuripan dan Narotama langsung mengajak Lasmini dan Mandari menghadap Sang Prabu Erlangga setelah menyuruh pengawal melaporkan kedatangannya kepada Sang Prabu Erlangga.
Sang Prabu Erlangga sudah menanti duduk di singgasana, tempat duduk terbuat dari gading berlapis emas, hanya seorang diri karena dia ingin menyambut kedatangan Kipatih Narotama bersama dua gadis itu tanpa disaksikan para ponggawa. Bahkan para pengawal istanapun tidak diperkenankan hadir dalam ruangan itu.
Memang Sang Prabu Erlangga berbeda dengan para raja yang lain, yang selalu ingin dikawal ke mana pun dia berada untuk menjaga keselamatannya. Sang Prabu Erlangga merasa tidak enak dan tidak leluasa kalau ke mana pun pergi dijaga pengawal.
Hal ini adalah karena raja yakin akan kesaktian sendiri yang jauh lebih dapat diandalkan dari pada penjagaan ratusan orang pengwal pribadi! Apa lagi di dalam istana. bahkan kalau Sang Prabu melakukan perjalanan keluar istana, hanya dalam perjalanan resmi saja Sang Prabu Erlangga diiringkan sepasukan pengawal. Akan tetapi kalau melakukan perjalanan seorang diri, untuk urusan pribadi atau sengaja hendak memeriksa keadaan rakyat jelata, Sang Prabu Erlangga tidak pernah didampingi seorang pengawal pun.
Kipatih Narotama berlutut dan menyembah sebagai penghormatan ketika dia menghadap Sang Prabu Erlangga. "Sembah hormat hamba haturkan kepada paduka gusti sinuwun junjungan hamba."
"Aih, Kakang Patih Narotama, andika baru kembali? Bagaimana dengan perjalananmu? Semoga selamat dan berhasil baik." kata Sang Prabu Erlangga sambil memandang ke arah dua orang puteri yang sudah duduk bersimpuh dengan sikap hormat.
"Dengan bekal doa restu paduka, hamba telah selesai melaksanakan tugas dan berhasil baik, gusti. Mereka inilah Nini Lasmini dan Nini Mandari, dua orang puteri Kanjeng Ratu Durgamala dari Kerajaan Parang Siluman, keponakan dan murid Ki Nagakumala di Bukit Junggringslaka. Pinangan paduka telah diterima dengan baik dan kini kedua orang puteri sudah menghadap paduka menanti perintah."
Prabu Erlangga tersenyum dan mengangguk-angguk, memandang dua orang gadis yang masih duduk bersimpuh sambil menundukkan muka mereka itu. Walau pun mereka menunduk dan Sribaginda tidak dapat melihat wajah mereka dengan jelas namun diam-diam Sang Prabu Erlangga kagum dan harus mengakui bahwa dua orang dara itu memiliki bentuk tubuh yang amat indah menggairahkan.
"Siapa di antara andika berdua yang bernama Lasmini?" tanya Sang Prabu dengan suara ramah dan lembut.
Lasmini menggerakkan kedua tangannya menyembah, gerakannya luwes seperti sedang menari. "Hamba yang bernama Lasmini, gusti."
"Lasmini, coba angkat mukamu dan pandang kami." perintah sang prabu dengan suara ramah dan lembut.
Lasmini mengangkat mukanya. Sejenak mereka berdua saling pandang. Sepasang mata Sang Prabu Erlangga mengamati wajah gadis itu penuh selidik. Cantik jelita nian gadis ini, pikirnya, sungguh pun dia hanya melihat kecantikan kulit saja. Namun harus diakuinya bahwa jarang dia melihat wanita secantik itu. Di lain pihak, Lasmini juga mendapat kenyataan bahwa raja itu selain masih muda, juga tampan luar biasa. Hanya sinar mata Sang Prabu Erlangga membuat ia merasa gentar dan tidak berani ia menatap sepasang mata itu berlama-lama dan menunduk kembali.
Sang Prabu Erlangga mengalihkan pandang matanya kepada gadis ke dua yang lebih muda. Kalau Lasmini tampak berusia delapan belas tahun, Mandari ini tampak lebih muda seperti dara remaja berusia tujuh belas tahun saja.
"Andika yang bernama Mandari? Angkat mukamu dan pandang kami, Mandari." perintahnya.
Mandari mengangkat muka dan gadis ini memandang wajah Sang Prabu Erlangga dengan senyum manis, pandang mata kagum sekali. Ia merasa berbahagia telah memilih raja ini untuk menjadi suaminya. Ternyata Sang Prabu Erlangga amat ganteng, melebihi semua harapan dan dugaannya.
Sang Prabu juga kagum. Dara ini tidak kalah elok dibandingkan Lasmini sehingga sukarlah untuk menilai siapa antara mereka yang lebih menarik. Bahkan yang lebih muda ini memiliki kelebihan, yaitu pada rambutnya yang panjang dan indah sekali. Dia menduga kalau rambut itu diurai, tentu akan mencapai kaki!
"Mandari, berapakah usiamu?" tanya sang prabu dan Mandari tidak menundukan muka seperti mbakayunya yang tadi menundukkan muka bukan semata karena jerih, melainkan memang sesuai dengan siasat yang direncanakan.
"Usia hamba dua puluh satu tahun gusti."
"Ahh? Andika masih tampak seperti seorang gadis remaja! Dan berapa usia mbakayu mu, Lasmini ini?"
"Usianya dua puluh tiga tahun, gusti." jawab Mandari lancar.
Mendengar itu, sang Prabu Erlangga menjadi semakin heran dan kagum. Akan tetapi dia sudah maklum bahwa Kerajaan Parang Siluman merupakan pusat para ahli sihir. Tentu dua orang gadis ini mempergunakan ilmu atau jamu tertentu yang membuat mereka tampak begitu awet muda! Kembali sang prabu memandang kepada Lasmini yang masih menundukkan mukanya. Sungguh berbeda dengan sikap Mandari yang selalu berani memandangnya sambil tersenyum.
"Lasmini," kata sang prabu. "Benarkah seperti yang dilaporkan Kakang Patih Narotama bahwa engkau menerima pinanganku, suka menjadi garwa selirku?"
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba Lasmini menangis. Tidak menangis keras, hanya terisak dan beberapa butir air mata menetes diatas kedua pipinya. Melihat ini, Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya.
"Lasmini, kenapa andika menangis? Ceritakanlah, apa yang menyusahkan hatimu? Kalau andika tidak suka menjadi garwa selir kami, mengapa tidak andika tolak saja pinangan yang diajukan Kakang Patih Narotama? Setelah tiba di sini kenapa andika menangis!" Tentu saja sang prabu merasa tidak senang hatinya melihat gadis itu menangis di depannya seolah akan dipaksa menjadi garwa selir di luar kemauannya. Dia tidak akan pernah sudi melakukan paksaan terhadap wanita mana pun!
Lasmini menahan isaknya dan menyembah. "Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sudah lama mendengar akan kebijaksanaan paduka yang berlimpah budi, Mohon pertimbangkan paduka, gusti, Bagaimana seorang gadis seperti hamba dapat berserah diri kepada seorang prabu agung seperti paduka setelah ada pria lain yang tidak saja telah melihat pusar hamba, bahkan telah menyentuh dan merabanya? Hamba tidak mungkin dapat melayani pria lain..."
Bukan main kagetnya Sang Prabu Erlangga mendengar ini. Alisnya berkerut dan kulit wajahnya berubah merah. "Lasmini, siapa yang telah berani melakukan hal itu kepadamu?"
Lasmini menoleh ke arah Kipatih Narotama. "Harap paduka tanyakan kepada Kakangmas Narotama, gusti."
Sang Prabu Erlangga terbelalak heran dan terkejut sekali mendengar jawaban gadis itu. Dia segera memandang Narotama dan bertanya.
"Kakang Patih Narotama, apa artinya semua ini? Benarkah andika melakukan hal yang tidak patut itu terhadap diri Lasmini?"
Narotama menyembah dan menjawab dengan sikap tenang. "Sesungguhnya benarlah apa yang dikatakan Nimas Lasmini itu, gusti. Dalam perjalanan, di tengah hutan mendadak Nimas Lasmini mengeluh kesakitan. Setelah hamba periksa, ternyata ia terkena pukulan yang mengandung hawa dingin beracun. Menurut keterangan Nimas Lasmini, ia terluka dalam karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika ia berlatih Aji Ampak-ampak secara keliru. Ia terluka dalam di bagian sisi pusarnya. Melihat keadaannya yang amat berbahaya, maka terpaksa hamba lalu mengobatinya dengan menggunakan Aji Bojrodahono untuk mengusir hawa dingin beracun itu dan menempelkan telapak tangan hamba pada bagian perut yang terluka dalam."
Mendengar keterangan ini, Sang Prabu Erlangga tersenyum lega. "Lasmini, Kakang Patih Narotama melakukan hal itu adalah dalam rangka pengobatan hendak menyelamatkan nyawamu, bukan karena dia sengaja hendak bertindak melanggar susila!"
"Hamba mengakui akan hal itu, gusti. Akan tetapi, sejak remaja dahulu hamba dan Mandari sudah bersumpah bahwa hamba berdua hanya mau menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan hamba dalam adu kesaktian. Hamba telah bertanding melawan Kakangmas Narotama dan hamba sudah dia kalahkan. Itu merupakan kenyataan pertama. Kenyataan kedua adalah bahwa Kakangmas Narotama sudah menyelamatkan nyawa hamba dengan mengobati penyakit hamba sehingga hamba berhutang budi, berhutang nyawa kepadanya. Kenyataan ketiga adalah hal itu tadi, gusti, bahwa ialah satu-satunya pria yang pernah melihat dan meraba pusar dan perut hamba. Karena itu, bagaimana mungkin hamba dapat melayani pria lain?"
Mendengar ini, tiba-tiba Sang Prabu Erlangga tertawa geli karena tahulah dia bahwa gadis ini telah jatuh hati kepada Narotama!
"Ha-ha-ha! Lasmini, jawab saja terus terang. Andika ingin menjadi garwa selir Kakang Patih Narotama, bukan?"
Bagaimana pun juga, karena ia masih seorang perawan, Lasmini tersipu dan dengan muka berubah merah yang ditunjukkan, ia menjawab lirih. "Duh gusti sinuwun, keputusannya tentu hanya paduka dan Kakangmas Narotama yang dapat menentukan. Kalau kakangmas Narotama sudi menerima hamba, hamba... hamba... menurut saja..."
"Ha-ha-ha, bagus! Aku suka kejujuran itu. Kakang Patih Narotama, bagaimana pendapatmu setelah mendengar ucapan Lasmini? Maukah andika menerimanya sebagai garwa selirmu?"
Narotama menyembah dan mukanya juga berubah kemerahan. "Hamba hanya sendika dhawuh (menaati perintah) paduka, gusti."
"Kalau begitu, mulai detik ini juga kami menyerahkan Lasmini kepadamu agar ia menjadi garwa selirmu. Kalian mendapatkan restuku dan semoga kalian hidup berbahagia."
Narotama dan Lasmini menyembaah dan hampir berbareng mereka mengucapkan terima kasih. Sang Prabu Erlangga lalu memandang kepada Mandari yang masih mengangkat muka memandang semua itu dengan wajah berseri. Dia diam... Ia merasa gembira sekali karena siasat yang sudah mereka berdua rencanakan bersama Ki Nagakumala ternyata berhasil baik. Lasmini menjadi selir Narotama seperti yang mereka rencanakan.
"Sekarang, bagaimana dengan andika Mandari? Apakah andika juga berpendapat seperti Lasmini, ingin menjadi selir Kakang Patih Narotama?"
"Mohon beribu ampun, gusti." kata Mandari sambil menyembah. "Hamba sama sekali tidak mempunyai keinginan seperti itu! Hamba memang pernah bersumpah untuk menikah dengan pria yang mampu mengalahkan hamba, akan tetapi hamba tidak pernah bertanding dan tidak pernah dikalahkan Kipatih Narotama. Hamba tidak berhutang budi apa pun kepadanya. Selain itu, yang hamba terima adalah pinangan paduka."
Jawaban ini jelas sudah dan hati Sang Pabu Erlangga merasa lega. Bagaimana pun juga tadinya ada kekhawatiran dalam hatinya bahwa Mandari juga telah jatuh hati kepada patihnya yang ganteng dan gagah seperti halnya Lasmini.
"Akan tetapi andika belum pernah menguji kesaktianku, Mandari! Agar andika tidak melanggar sumpah sendiri, mari andika boleh menguji kedigdayaanku." Sang Prabu Erlangga berkata sambil tersenyum lebar.
"Wah, hamba... hamba tidak berani, gusti..."
"Mandari, jawablah sejujurnya. Ilmu apakah yang merupakan aji pamungkasmu, yang paling andika andalkan?"
"Ya hanya Aji Ampak-ampak itulah gusti, seperti yang dikuasai oleh Mbakayu Lasmini."
"Nah, sekarang kuperintahkan andika untuk bangkit dan seranglah aku dengan Aji Ampak-ampak mu itu. Akan tetapi kuperintahkan andika, pukullah dengan seluruh kekuatanmu. Bukan andika saja yang ingin menguji kemampuanku, sebaliknya akupun ingin sekali melihat sampai di mana kedigdayaan calon selirku yang dapat kujadikan pengawal pribadi. Lakukanlah dan taati perintah!"
Mandari adalah seorang gadis yang cerdik. Dari sikap dan ucapan sang prabu itu, mengertilah ia bahwa raja itu tidak main-main dan bahwa ia harus menaatinya karena raja itu agaknya bukan hanya hendak menguji kedigdayaannya, melainkan juga ketaatannya akan perintah raja. Tanpa ragu-ragu lagi Mandari bangkit berdiri, menyembah dan berkata, "Mohon beribu ampun, gusti."
Lalu ia menggosok kedua tangannya, memasang kuda-kuda dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya, ia menggunakan Aji Ampak-ampak mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Sang Prabu Erlangga yang masih duduk dengan tenang di atas kursi gading.
"Aji Ampak-ampak... hyaaaaaahhh..."
Seluruh ruangan itu terasa dingin ketika cahaya kebiruan menyambar keluar dari telapak tangan gadis itu, menyerang ke arah Sang Prabu Erlangga! Sang Prabu Erlangga tidak beranjak dari kursinya dan tiba-tiba ketika hawa pukulan dingin itu menerpa dengan dahsyat ke arahnya, raja yang sakti mandraguna itu menggerakkan tangan kirinya seperti menepis. Akan tetapi dari gerakan tangan kiri ini menyambar angin yang dahsyat sekali.
"Wuuuttt... blarrrrr..!"
Tubuh Mandari yang tadinya berdiri itu terpelanting dan gadis itu roboh dengan tubuh terkulai lemas, seolah-olah seluruh urat syarafnya dilolosi dari tubuhnya!
"Aduhhh... gusti sinuwun... hamba tobat... mohon ampun gusti..." Gadis itu merintih. Tubuhnya tidak terasa nyeri, akan tetapi ia merasa begitu lemah sehingga untuk bangkit dudukpun sukar sekali!
Sang Prabu Erlangga tertawa senang. "Bagus, tenaga pukulanmu cukup hebat Mandari!" Lalu Sang Prabu Erlangga turun dari kursinya, menghampiri Mandari dan dua kali dia menepuk pundak dan punggung gadis itu. Mandari dapat bergerak kembali dan dia dituntun sang prabu dan diajak duduk di sebelahnya.
Demikianlah, mulai hari itu, Lasmini menjadi selir Kipatih Narotama dan Mandari menjadi selir Sang Prabu Erlangga. Dalam waktu singkat saja dua orang gadis ini mampu memikat hati raja dan patihnya itu sehingga dua orang yang sakti mandraguna itu amat mengasihi dua orang puteri dari Parang Siluman itu.
Tidak ada manusia yang sempurna dunia ini. Bahkan tidak ada mahluk yang sempurna di dunia ini. Yang Maha Sempurna hanyalah Sang Hyang Widhi Wasa, Pencipta alam maya pada dengan seluruh isinya. Sebersih-bersih manusia, pasti ada nodanya walau pun setitik. Sekuat-kuatnya manusia pasti ada kelemahannya. Bahkan menurut dongeng, para dewata yang hidup di khayangan sekalipun tidak luput dari pada dosa dan kelemahan. Biasanya, ada tiga hal yang mampu melemahkan manusia, yaitu harta, kedudukan, dan wanita. Banyak sekali para ksatria yang batinnya kuat menahan godaan harta maupun kedudukan, namun jarang yang kuat menghadapi keindahan yang terdapat pada diri wanita.
Memang harus diakui bahwa adanya Mandari sebagai selir Sang Prabu Erlangga dan Lasmini sebagai selir Kipatih Narotama tidak mengurangi kebijaksanaan raja dan patihnya ini dalam pemerintahan. Juga tidak mengurangi kewaspadaan mereka dalam mengatur para menteri dan hulubalang menjaga ketentraman negara.
Akan tetapi kalau dalam pandangan manusia biasa seolah tidak ada perubahan apa pun yang merugikan kerajaan dan kawulanya, namun ada seseorang yang terkadang mengerutkan alisnya kalau dia melihat adanya pengaruh buruk seperti mendung meliputi kecerahan matahari di atas Kahuripan. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan itu, namun dia merasa perlu untuk memberi peringatan kepada Sang Prabu Erlangga.
Orang itu adalah Empu Bharada, orang pendeta yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Empu Bharada merupakan seorang sesepuh di Kerajaan Kahuripan. Bahkan selain dia menjadi penasihat Sribaginda, diapun dianggap sebagai gurunya.
Empu Bharada hidup menyendiri, tidak menikah, melakukan apa yang disebut bertapa di tempat ramai. Biarpun dia hidup di dalam sebuah gedung mungil pemberian sang prabu, namun dia hidup menyendiri seperti pertapa. Lebih banyak dia berada di sanggar pamujaan, melakukan puja-puji dan mengagungkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hanya sekali-kali dia keluar di ruangan pendopo untuk memberi wejangan kepada para cantrik. Atau terkadang dia muncul pula di dalam masyarakat untuk mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada mereka yang pantas dan perlu ditolong, misalnya mengobati orang sakit, memberi penerangan kepada mereka yang sedang menderita kegelapan batin, dan lain sebagainya.
Dasar pelajaran hidupnya adalah bahwa manusia hidup haruslah menjadi alat atau pembantu Sang Hyang Widhi yang selalu menjaga dan MANGAYU HAYUNING BHAWANA (mengusahakan ketentraman jagad). Caranya adalah mencintai sesama manusia dan membagi segala macam kemampuan untuk saling menolong antara manusia. Gusti Maha Suci atau Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan berkah kepada kita dengan berkelebihan, dengan maksud agar kita membagi kelebihan itu kepada orang yang membutuhkannya.
Kalau kita kelebihan harta, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kelebihan harta kita itu untuk mereka yang membutuhkannya. Kalau kita memiliki kelebihan kepintaran, haruslah menolong dan membagi sebagian dari kepintaran kita untuk mereka yang bodoh dan membutuhkan petunjuk agar dapat keluar dari jurang kebodohan. Demikian pula, yang kelebihan tenaga menolong mere ka yang lemah dan selanjutnya. Dengan demikian, kita tidak menyia-nyiakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang melimpah ruah itu sehingga Sang Hyang Widhi semakin banyak melimpahkan berkahNya kepada kita sebagai penyalur berkah kepada sesama manusia yang membutuhkannya.
Pada pagi hari itu, Sang Empu Bharada berjalan perlahan-lahan keluar pondoknya yang mungil indah, menuju istana Sang Prabu Erlangga. Sang Empu Bharada berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Wajah kurus itu memiliki sepasang mata cekung yang bersinar lembut penuh pengertian, berwibawa namun tidak menakutkan, membuat orang tidak takut melainkan segan dan tunduk kepadanya.
Pakaiannya sederhana dengan sehelai jubah yang lebar dan panjang. Dia dikenal, dihormati dan disegani rakyat karena suka memberi pertolongan. Mereka yang berwatak jahat pun segan, bahkan takut kepadanya karena mereka tahu betapa saktinya sang empu itu. Semua orang yang berjumpa dengannya di sepanjang jalan, cepat memberi hormat dengan ramah yang dibalasnya dengan senyumnya yang penuh pengertian.
Seperti lazimnya, tidaklah mudah bagi seseorang untuk dapat diperkenankan menghadap raja tanpa dipanggil. Namun, ada beberapa kekecualian. Orang-orang yang dihormati raja, yang dianggap sebagai keluarga sendiri yang dihormati, tentu saja dapat berkunjung sewaktu waktu dan diterima oleh raja sebagai tamu pribadi, misalnya Kipatih Narotama. Dia dapat saja sewaktu-waktu datang berkunjung, seperti seorang mengunjungi rumah sahabatnya. Yang mendapatkan perlakuan istimewa ini hanya beberapa orang, di antaranya tentu saja Sang empu Bharada yang dianggap sesepuh dan penasihat Sang Prabu Erlangga.
Kepala pengawal segera menyambut sang empu dan melaporkan kepada Sang Prabu bahwa Empu Bharada datang berkunjung. Pada saat menerima laporan akan kunjungan Sang Empu Bharada itu, Prabu Erlangga masih berada dalam kamarnya bersama selirnya yang baru, yaitu Mandari. Maklum, kedua orang ini sedang mesra-mesranya sebagai sepasang pengatin baru dan Sang Prabu Erlangga seperti mabok kepayang karena merasa betapa selama hidupnya baru sekarang dia mendapatkan seorang isteri yang luar biasa hebat dan memikatnya seperti Mandari. Dia menjadi lengket dan menyayangi Mandari dengan cinta berahi yang berkobar-kobar.
Akan tetapi begitu medengar laporan bahwa Sang Empu Bharada datang berkunjung, cepat-cepat sang prabu membereskan pakaiannya dan siap untuk menyambut kedatangan sang empu. Melihat ini, dengan suara yang khas manja dan merdu merayu bagaikan seorang waranggana yang ahli bertembang Mandari menegur lembut.
"Duhai Kakanda sinuwun, siapakah gerangan Sang Empu Bharada itu sehingga paduka tampak demikian tergesa-gesa hendak menyambutnya?"
Sang Prabu Erlangga tersenyum. "Beliau adalah Sang Empu Bharada, yayi Dewi Mandari. Paman Empu Bharada adalah seorang pendeta yang arif bijaksana dan beliau menjadi penasihat kerajaan, seorang pini sepuh."
Mandari merasa jantungnya berdebar tegang dan perasaan tidak enak menyerubungi hatinya. "Kakanda sinuwun, bolehkah hamba ikut menyambut sang empu agar hamba dapat berkenalan dengannya?"
Sang Prabu Erlangga menggeleng kepala sambil tersenyum menghibur. "Sayang tidak pada saat ini, yayi. Pada kesempatan lain engkau akan kuperkenalkan. Akan tetapi kalau paman empu datang berkunjung pada saat yang bukan pesewakan (persidangan), berarti beliau mempunyai urusan penting sekali yang hendak dibicarakan empat mata denganku. Karena itu, tunggulah di sini, aku akan menjumpainya sebentar, yayi.
Sang prabu lalu merangkul dan mencium selir barunya itu. Mandari cukup pandai untuk menyimpan kekecewaannya dan dengan patuh ia mengangguk. Sang Prabu Erlangga lalu keluar dari kamar dan memasuki ruang tamu di mana Sang Empu Bharada telah duduk menantinya. Empu Bharada segera bangkit berdiri memberi hormat dengan sembah di dada ketika sang prabu muncul.
"Ah, maafkan saya, paman. Apakah paman sudah lama menanti?" tegur sang prabu dengan ramah.
"Baru saja, anak prabu. Hamba yang mohon maaf kalau kunjungan hamba ini mengganggu."
"Ah, sama sekali tidak, paman. Silahkan duduk." Mereka lalu duduk berhadapan.
"Saya yakin bahwa kedatangan paman ini tentu membawa hal yang amat penting. Hal apakah itu, paman?"
"Terlebih dahulu hamba menghaturkan sembah hormat hamba kepada paduka anak prabu dan mohon maaf sebanyaknya. Sesungguhnya, hamba menghadap karena terdorong oleh perasaan tidak enak dan khawatir akan keselamatan kerajaan paduka."
Seketika Prabu Erlangga menjadi serius dan memandang pendeta itu penuh perhatian. "Paman Empu Bharada, apakah yang menyebabkan paman merasa tidak enak dan apa kiranya yang mengancam keselamatan kerajaan kita?"
"Maaf, sinuwun. Hamba tidak dapat menjelaskan apa yang mengancam keselamatan kerajaan ini. Akan tetapi hamba mendapat getaran perasaan bahwa saat ini terdapat mendung tebal menutupi kecerahan matahari di Kahuripan. Ada sesuatu yang tidak benar telah terjadi dan kiranya hanya paduka sendiri yang dapat mengetahui apa yang telah terjadi itu. Hamba hanya dapat menunjukkan adanya ancaman keselamatan itu agar paduka dapat berhati-hati."
Raja Erlangga mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Dia percaya akan semua ucapan sang empu dan timbul kekhawatiran dalam hatinya.
"Saya tahu bahwa apa yang akan terjadi itu merupakan rahasia bagi manusia dan tak seorangpun boleh membukanya. Akan tetapi, dapatkah paman menceritakan bahaya dalam bentuk apa yang akan menggelapkan suasana di kerajaan kita ini?"
Sang empu memejamkan kedua matanya, tunduk tepekur lalu berkata, suaranya lirih, bergetar, seolah suara itu datang dari jauh. "perang antara manusia...banjir darah... api kebencian dan dendam berkobar merajalela... iblis setan berpesta pora... para dewa berduka, langit bumi gonjang ganjing... alam pun menangis karena ulah manusia..." Kakek itu terdiam, lalu menghela napas panjang dan membaca doa puja-puji kepada Sang Hyang Widhi Wasa. "Ommm... swastiastu, oommm..."
Mendengar ini, Sang Prabu Erlangga ikut memuji Sang Hyang Widhi dan setelah itu menurunkan kedua tangannya yang menyembah kepada Sang Maha Kuasa dengan penuh penyerahan diri dan berkata sambil menghela napas panjang.
"Oh Jagad Dewa Bathara, ampunilah kiranya dosa-dosa hamba..." Kemudian dia bertanya kepada Empu Bharada. "Duh paman empu, apakah tidak ada cara untuk menolak ancaman bencana itu?"
"Oh, sinuwun! Kehendak Hyang Widhi terjadilah! Siapa yang mampu mengubahnya? Apa lagi manusia biasa, bahkan para dewa sekalipun tidak akan mampu mengubahnya dan harus menerima kenyataan bahwa apa pun yang dikehendaki Hyang Widhi, pasti akan terjadi. Soal baik atau buruk itu hanya pandangan manusia yang menerima kenyataan itu, akan tetapi yang sudah pasti dan kita harus yakin akan hal itu adalah bahwa kehendak Sang Hyang Widhi sudah pasti baik, benar dan sempurna dan seadil adilnya! Tidak ada akibat terjadi tanpa sebab, tidak ada buah tanpa pohon dan baik buruknya buah tergantung dari baik atau buruknya pohon. Orang bijaksana yakin bahwa akibat datang dari sebab maka dia akan mencari sebab pada dirinya sendiri, bukan di luar dirinya. Tidak menyalahkan yang di atas, tidak menyalahkan yang di bawah, melainkan menyalahkan diri sendiri karena di situlah terletak segala sumber yang menjadi sebab timbulnya persoalan sebagai akibatnya."
"Paman Empu Bharada, saya mengerti benar akan hal itu. Berarti, malapetaka mengerikan yang paman rasakan itu akan terjadi karena sebab yang terletak dalam diri saya sendiri. Paman, sudilah paman mengingatkan saya, kesalahan apakah yang telah saya lakukan? Kejahatan apakah yang menyeret saya ke dalam dosa?"
"Anak prabu, akibat dari sebab memang tidak dapat dihindarkan. Namun Hyang Widhi adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Murah dan Maha Pengampun. Satu-satunya sikap, yang terbaik bagi manusia hanyalah bertaubat, taubat yang sejati. Bertaubat sejati bukan berarti penyesalan karena perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Penyesalan karena memetik buah pahit perbuatan dosa belum tentu membuat orang bertaubat dengan sungguh-sungguh. Itu hanya apa yang disebut kapok lombok saja, bertaubatnya orang makan sambal pedas, kalau kepedasan dan kepanasan mengatakan bertaubat, akan tetapi di lain saat dia sudah makan sambal lagi karena enaknya! Bertaubat yang sejati hanya dapat terjadi kalau orang sadar sepenuhnya akan perbuatannya yang menyimpang dari kebenaran sehingga dia tidak akan mengulang lagi kesalahannya”.
"Duh kanjeng paman, tunjukkanlah kesalahan apa yang telah saya perbuat?"
"Maafkan hamba, sinuwun. Mencari sampai menemukan kesalahan sendiri haruslah dilakukan oleh dirinya sendiri. Kalau sudah ditemukan, itulah yang dinamakan kesadaran. Kalau ditunjukkan orang lain hanya akan menjadi bahan perbantahan, memperebutkan kebenaran karena nafsu selalu mendorong manusia untuk membenarkan karena diri sendiri. Kebenaran yang diperebutkan bukanlah kebenaran lagi namanya. Karena itu silakan paduka mencari dan menemukan sendiri, gusti."
Sang Prabu Erlangga menghela napas panjang. "Andika benar dan saya yang keliru telah mengajukan pertanyaan bodoh itu, paman. Baiklah, saya akan menelusuri diri sendiri dan semoga Sang Hyang Widhi Wasa akan memberi petunjuk sehingga saya akan dapat menemukan kesalahan saya sendiri."
"Semoga Hyang Widhi selalu melindungi paduka. Hamba mohon pamit, gusti, karena semua yang hendak hamba sampaikan telah paduka terima."
"Silakan, paman dan banyak terima kasih atas semua petunjuk dan peringatan yang telah paman berikan kepada saya. Selamat jalan."
Empu Bharada memberi hormat lalu mengundurkan diri, keluar dari istana, Setelah pertapa itu pergi, Sang Prabu Erlangga sampai lama tetap duduk termenung. Kemudian dia memasuki sanggar pamujan, sebuah ruangan yang khusus untuk berdoa dan semedhi. Di ruangan yang tidak boleh diganggu siapa pun juga, Sang Prabu Erlangga bersemedhi, mohon petunjuk dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam keadaan yang hening dan kosong itu, perlahan-lahan tampak oleh mata batinnya bayang-bayang yang suram, makin lama semakin jelas dan dia melihat wajah yang cantik jelita, ayu manis merak ati tak ubahnya seorang dewi dari kahyangan, wajah yang tersenyum manis dengan sepasang bibir merah indah merekah, kerlingan sepasang mata yang indah tajam penuh daya pikat. Wajah Mandari, selirnya yang tersayang. Sang Prabu Erlangga seperti tersentak kaget dan dia mengerutkan alisnya. Mandari? Itukah yang menjadi sebabnya Itukah kesalahannya? Mengambil Mandari sebagai selir?
"Tidak, bukan..!" Dia menggeleng kepalanya, membantah suara hatinya sendiri. "Bukan itu, mustahil kalau mengambil Mandari sebagai selir merupakan kesalahan. Hal itu kulakukan bahkan untuk mengadakan perdamaian dan menjauhkan permusuhan? Bukankah hal ini mendatangkan perdamaian antara Kahuripan dan Parang Siluman?"
Demikianlah pikiran raja itu membuat renungan penalaran sendiri yang tentu saja anggapannya benar, sama sekali dia tidak ingat bahwa pada hakekatnya bukan untuk perdamaian itu dia mengambil Mandari sebagai selir, melainkan karena dia tergila-gila dan terpikat oleh kecantikan dan rayuan Mandari.
Dan begitu membayangkan Mandari, yang tampak hanyalah segi yang menyenangkan saja dan gadis yang menjadi selirnya itu tampak baik sekali, terlalu baik, bahkan nyaris sempurna dalam pandangannya. Makin diingat, hati Sang Prabu Erlangga semakin terpikat dan timbul perasaan rindu kepada selirnya terkasih itu. Bahkan ada perasaan iba bahwa tadi hati atau akal pikirannya pernah meragukan kehadiran wanita jelita itu sebagai sumber malapetaka yang diramalkan Empu Bharada. Maka keluarlah dia dari sanggar pamujan, lalu bergegas menuju ke bagian istana yang menjadi tempat tinggal Mandari. Setibanya di situ, dia tidak melihat Mandari di luar kamar. Seorang abdi yang ditanyanya memberitahukan bahwa sang puteri juwita sejak tadi berada di dalam kamarnya.....