"Eyang guru tewas dikeroyok lima orang yang dating dari Kerajaan Wengger, Wirawari, dan Kerajaan Siluman pantai Laut Kidul. Ketika itu saya tidak ada di sana dan ketika saya datang, sang guru sudah berada dalam keadaan gawat dan beliau meninggal karena luka lukanya."
Raden Hendratama, bekas pangeran itu mengerutkan alisnya dan mengepal tangan kanannya. "Hemm, mereka memang orang-orang jahat! Kanjeng Rama juga wafat ketika kerajaan diserang oleh raja Wurawari! Akan tetapi, Anakmas Nurseta, mengapa Sang Empu Dewamurti mereka musuhi dan mereka bunuh"
Kembali Nurseta tak dapat merahasiakan hal itu. "Mereka agaknya menyerang eyang guru karena mereka ingin merebut keris pusaka ini dari tangan eyang guru, paman. Akan tetapi keris pusaka ini telah diserahkan kepada saya karena memang saya yang dulu menemukannya, sehingga eyang guru sampai tewas."
"Hemmm, keris pusaka apakah itu anakmas?" Tanya Raden Hendratama sambil memandang keris yang terselip dipinggang pemuda itu.
"Menurut keterangan eyang guru. keris ini adalah Keris Pusaka Megatantra. Menurut eyang, keris pusaka ini adalah keris pusaka Kerajaan Mataram yang dahulu lenyap dan kebetulan saya temukan ketika saya menggali tanah di dusun Karang Tirta dekat pantai Laut Kidul."
"Hemm, begitukah?" Sikap bekas pangeran itu agaknya tidak begitu acuh atau tertarik. Mungkin karena dia melihat gagang dan sarung keris yang buruk itu. Dia sendiri yang mengganti gagang keris yang sudah lapuk karena lama terpendam, juga dia yang menbuatkan warangkanya. Atau mungkin karena Raden Hendratama sudah memiliki pusaka yang demikian banyaknya, pikir Nurseta.
Pada saat itu, terdengar suara tawa lembut dan tiga orang gadis cantik yang kini diketahui oleh Nurseta sebagai puteri-puteri bangsawan tinggi, puteri-puteri seorang pangeran!
"Hidangan makan malam telah siap!" kata Kenangasari dengan senyum manis dan sinar matanya berseri.
"Tidak repot-repot akan tetapi semua telah dikeluarkan!" kata Widarti yang kini tampak lebih berani dan centil.
"Mari silakan, hidangan telah kami siapkan di ruangan makan!" kata pula Sukarti.
"Ha-ha-ha, hayo anak mas, kita makan didalam. Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita!" kata Raden Hendratama sambil bangkit berdiri.
Nurseta bangkit pula dan dia lalu mengikuti tuan rumah menuju keruangan sebelah dalam. Ketika Widarti melangkah dekat ayahnya, Raden Hendrarama merangkul gadis itu dan Widarti tampak manja sekali ketika sambil melangkah ayahnya merangkulnya. Tadinya tiga orang gadis itu berdiri dan melayani dua orang laki-laki yang mulai makan itu, akan tetapi Nurseta merasa tidak enak dilayani puteri-puteri bangsawan itu.
"Harap andika bertiga makan bersama agar aku tidak merasa sungkan." katanya.
Raden Hendratama tertawa. "Duduklah kalian bertiga dan mari makan bersama. Memang akan lebih lezat rasanya kalau kembul bnojana (makan bersama)!”
Tiga orang gadis itu pun duduk dan Nurseta melihat bahwa meja besar ini penuh dengan hidangan yang serba lezat. Heran dia melihat adanya hidangan dari bermacam daging. Ada daging ayam yang tentu saja mudah menyembelih ayam piaraan sendiri. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat adanya daging ikan seperti lele, baber dan lain-lain. Juga tersedia masakan daging kambing dan kerbau!
"Bukan main!" dia berseru. "Bagaimana andika sekalian bisa mendapatkan segala macam daging ini?"
"Hi-hik! Bukan sulap bukan sihir Kangmas Nurseta. Ayam dan ikan-ikan itu dipeliharaan kami sendiri, dan daging kerbau dan kambing itu kami dapatkan dari sebuah dusun tak jauh dari sini. Katanya semua dan seadanya harus dikeluarkan!" kata Kenangasari yang centil.
"Aduh, kalau begitu aku benar-benar membuat andika semua repot sekali!"
"Ayolah, anakmas. Jangan sungkan lagi. Makan saja seadanya, cicipi satu demi satu. Kalau ada hidangan yang tidak andika makan, pembuatnya tentu akan kecewa." Kata Raden Hendratama sambil tertawa.
"Kalau masakanku tidak dicicipi, aku akan menangis!" kata Kenangasari.
"Aku juga!" kata Widarti.
"Dan aku akan marah!" kata Sukarti.
Nurseta tersenyum dan karena dia tidak tahu mereka bertiga itu masing-masing masak yang mana, terpaksa dia mencicipi semua hidangan yang tersedia. Hal ini mudah saja dia lakukan karena memang perutnya sudah amat lapar. Sejak pagi tadi, sehari penuh, dia tidak makan. Kini dengan tubuh sehat perut lapar dan suasana menggembirakan, tentu saja dia dapat makan dengan lahapnya, membuat tiga orang gadis itu tampak gembira sekali.
Setelah selesai makan minum, Raden Hendratama mengajak Nurseta duduk kembali ke ruangan depan. Kepada tiga orang gadis itu dia berkata, "Bersihkan dan persiapkan kamar tamu itu untuk Anakmas Nurseta dan aku minta agar kalian bertiga beristirahat di dalam. Jangan mengganggu kami yang akan bercakap-cakap."
Tiga orang gadis itu terang-terangan memperlihatkan muka cemberut. Bibir-bibir yang manis itu diruncingkan, mata yang indah jeli itu mengerling manja dan marah, akan tetapi tidak ada yang berani membantah. Diam-diam Nurseta sendiri juga merasa kecewa karena akan lebih menggembirakan baginya kalau bercakap-cakap dengan dihadiri mereka bertiga yang lincah itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menanggapi perintah Raden Hendratama kepada para puterinya itu dan mengikuti tuan rumah menuju ke ruangan depan.
Setelah duduk di atas kursi, Raden Hendratama melihat betapa Nurseta memandang ke arah keris dan tombak yang tergantung di dinding, agaknya mengagumi warangka dan gagang yang terukir indah itu.
"Aku sejak dulu memang suka mengumpulkan keris dan tombak pusaka, anakmas. Biarpun aku bukan seorang empu pembuat keris, namun aku pandai mengukir gagang warangka. Lihat ini, keris ini kuberi gagang dan warangka yang terbuat dari kayu cendana." Dia mengambil sebatang keris dalam sarung keris yang mengkilap dan terukir indah, memperlihatkannya kepada pemuda Itu.
Nurseta menerima dan mengamati gagang dan warangka keris itu. Memang indah sekali dan mengeluarkan ganda harum cendana. Setelah Nurseta mengemballkannya, Raden Hendratama menyelipkan keris itu di ikat pinggangnya. Kemudian bekas pangeran itu memandang kearah keris yang terselip di pinggang Nurseta.
"Oya, apa namanya keris yang andika temukan itu, anakmas?" pertanyaan ini terdengar sambil lalu saja, seperti tak acuh.
Nurseta meraba gagang kerisnya. "Namanya menurut mendiang eyang guru adalah Megatantra, paman."
"Hemm, rasanya belum pernah aku mendengar nama itu. Bolehkah aku melihatnya sebentar, Anakmas Nurseta?"
"Ah, tentu saja boleh, paman!" kata Nurseta dan cepat dia mengambil keris itu berikut warangkanya yang amat sederhana dan menyerahkannya kepada Raden Hendratama.
Raden Hendratama lalu mencabut keris itu dari warangkanya yang sederhana, lalu mengamatinya. Agaknya dia sudah terbiasa melihat keris-keris pusaka ampuh karena melihat keris Megatantra dia tidak kelihatan kagum atau heran. Dia meneliti keris itu dan berkata lirih.
"Keris ini mempunyai ganja wuyung berbentuk Kalap Lintah, kudupnya (pucuknya) Kembang Gambir, berdapur Sagara Winotan luk (lekuk) tiga, racikannya Kembang Kacang, Jenggot, dengan Sogokan dua yang satu sampai ujung. Hemm, bukan keris pusaka sembarangan saja, anakmas! Lho, ehh..." Tiba-tiba tangan kanan bekas pangeran yang memegang gagang keris itu gemetar lalu menggigil. Cepat dia menggunakan tangan kirinya untuk mencabut keris bergagang dan berwarangka kayu cendana yang diselipkan di ikat pinggangnya tadi dan melemparkan keris itu ke atas meja. Seketika tangan kanannya yang memegang Keris Megatantra tidak menggigil lagi!
"Nah, andika melihat sendiri, anakmas! Kerismu ini memiliki daya yang ampuh sekali. Karena tadi aku memakai keris pusaka kayu cendana itu daya mereka bertanding dan kerisku kalah ampuh maka tanganku menggigil. Setelah kulepaskan kerisku, keadaanku pulih kembali. Keris pusakamu ini ampuh, sayang sekali diberi gagang dan warangka seburuk ini. Namanya itu kurang menghargai. Aku akan memberi hadiah kepada andika anak mas. Aku masih mempunyai cadangan warangka dan gagang ukiran yang indah. Biar kuhadiahkan kepadamu dan malam ini akan kupasangkan gagang dan warangka itu kepada kerismu. Besok pagi-pagi sudah selesai dan andika dapat menerimanya kembali dengan gagang dan warangka baru yang sepadan dengan kehebatan keris pusaka ini."
"Wah, saya hanya merepotkan paman saja!" kata Nurseta dengan sungkan sekali. Masa seorang pangeran harus memasangkan gagang kerisnya, bersusah payah untuknya?
"Sama sekali tidak. Aku memang suka sekali mendandani sebuah keris pusaka. Tentu saja kalau andika boleh dan percaya kepadaku, Anakmas Nurseta!"
"Tentu saja saya percaya dan juga merasa senang sekali kalau keris saya mendapatkan gagang dan warangka yang indah. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati paman."
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas. Aku malah merasa senang melakukannya. Nah, sekarang anakmas boleh beristirahat, dan aku akan segera mengerjakan pemasangan gagang keris ini." Dia menengok ke arah dalam dan berseru memanggil, "Sukarti! Kenangasari! Widarti! Di mana kalian?"
Tiba-tiba saja tiga orang gadis itu muncul dari ruangan dalam sambil tersenyum. "Kami berada di sini sejak tadi!" kata Kenangasari.
"Eh! Kalian sudah sejak tadi di balik pintu, ya? Bukankah tadi kusuruh kalian membereskan kamar tamu untuk tempat tamu kita menginap?"
"Sudah kami persiapkan dengan rapi untuk tamu agung kita." kata Sukarti.
"Nah, kamar andika sudah siap, anakmas. Silakan beristirahat." kata Raden Hendratama.
Nurseta bangkit berdiri. "Terima kasih, paman."
"Mari, kakangmas, kami antar andika ke kamar tamu." Kata Widarti.
Nurseta keluar dari ruangan itu dan mengikuti tiga orang gadis yang mengajaknya ke bagian belakang pondok itu. kamar tamu itu sederhana, namun bersih. Hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja dan empat kursi dalam kamar itu. Sebuah lampu duduk berada di atas meja. Nurseta memasuki kamar itu dan dia merasa rikuh sekali melihat betapa tiga orang dara itu ikut pula memasuki kamar!
"Nimas, kalian bertiga dan ayah kalian sungguh telah melimpahkan kebaikan kepadaku. Tiada habisnya aku merasa berterima kasih. Sekarang harap andika bertiga meninggalkan aku karena aku hendak mengaso. Perjalanan sehari tadi amat melelahkan."
"Aeh, kakangmas. Apakah kami tidak boleh duduk-duduk sebentar dalam kamarmu ini?" tanya Kenangasari sambil mengerling manis. Ia dan dua orang saudaranya lalu duduk di atas kursi-kursi itu, ketiganya memandang kepada Nurseta sambil tersenyum manis.
Tent u saja Nurseta merasa sungkan dan tidak enak sekali. Tiga orang gadis puteri pangeran yang cantik jelita duduk di dalam kamarnya! Mana dia berani merebahkan diri atas pembaringan kalau mereka bertiga duduk di situ? Maka diapun lalu duduk dikursi ke empat, menghadapi mereka.
"Katanya mau istirahat, kakangmas. Kalau hendak tidur, tidur sajalah. Kami akan menjagamu." kata Sukarti.
Nurseta tertawa. "Wah, kenapa harus dijaga? Seperti anak kecil saja, tidur pakai dijaga!"
"Habis, andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" kata Kenangasari.
"Akan tetapi... aku takut dan malu kepada ayah kalian! Beliau tentu akan marah sekali kalau melihat tiga orang puterinya berada di dalam kamar ini bersamaku." Nurseta membantah.
"Ayah? Dia tidak akan marah. Bukankah dia senang sekali kalau saja kakangmas mau menjadi... eh... suami kami?" kata Windarti dengan sikap malu-malu kucing. Dua orang kakaknya tertawa cekikikan.
Nurseta terkejut dan merasa heran bukan main. Bagaimana sikap tiga orang puteri pangeran itu seperti ini Genit centil dan agaknya kurang bersusila. Mulailah rasa kagum dalam hatinya terhadap mereka bertiga agak berkurang. Rasa bimbang dan curiga mulai menyelinap dalam hatinya.
Dia bangkit berdiri. "Kalau andika bertiga tidak mau keluar dari kamar ini, lebih baik aku yang keluar. Aku akan menanti lewatnya malam ini di ruangan depan saja!" Setelah berkata demikian Nurseta melangkah dan hendak keluar dari kamar itu.
Tiba-tiba ada tangan lembut memegang lengannya dari belakang. Ketika dia menengok, yang memegang lengannya itu adalah Sukarti. Dia merasa heran bagaimana gadis lembut itu begitu cepat dan tiba-tiba memegang lengannya.
"Kakangmas Nurseta, kenapa andika begini pemarah? Kurang baikkah pelayanan kami kepadamu? Kalau andika tidak suka kami temani, biarlah kami keluar dari kamar ini. Tidak perlu andika marah-marah kepada kami."
Mendengar ucapan yang lembut dan penuh teguran itu, Nurseta merasa malu sendiri. Bagaimana pun juga, sikap tiga orang gadis itu belum membuktikan perbuatan yang melanggar susila. Mungkin saja mereka bersikap seperti itu karena memang mereka itu terlalu baik hati dan tulus ingin bersahabat.
"Maafkan aku, nimas. Aku tidak marah, melainkan takut kalau kalau aku akan dianggap sebagai seorang tamu, seorang laki-laki kurang ajar. Ayah andika telah begitu baik kepadaku, aku tidak ingin kelihatan tidak sopan atau tidak menghargai andika bertiga. Maafkan aku."
Tiga orang gadis itu bangkit berdiri. “Sudahlah, mbak ayu Sukarti, mari kita tinggalkan kamar ini. Mungkin Kakang mas Nurseta ini menganggap dirinya terlalu baik dan kami tidak pantas untuk menemaninya." kata Kenangasari dan mereka bertiga melangkah keluar dari kamar itu.
"Maafkan aku... maafkan..!" kata Nurseta dan merasa menyesal bahwa dia telah membuat hati para gadis Itu menjadi tidak senang. Dia lalu menutupkan daun pintu, kemudian merebahkan diri terlentang di atas pembaringan. Akan tetapi dia tidak dapat tidur. Pikirannya masih dipenuhi tiga orang gadis itu dan mempertimbangkan sikap mereka yang dianggapnya aneh dan tidak lajim. Mereka itu terlalu baik, terlalu ramah, ataukah memang memiliki watak yang genit? Mereka itu puteri-puteri bangsawan yang bersusila tinggi, ataukah wanita-wanita yang tidak tahu...
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar suara gerakan orang di luar kamarnya. Nurseta cepat turun dengan mengerahkan kepandaiannya sehingga gerakannya tidak menimbulkan suara sedikitpun. Dia menghampiri pintu dan mengintai dari renggangan di dekat daun pintu. Dia melihat Sukarti duduk di atas sebuah bangku, di sudut kiri luar kamar itu. Ketika dia menoleh ke arah kanan dia melihat Kenangasari juga duduk di atas sebuah bangku. Dua orang gadis itu duduk diam dan Nurseta merasa heran bukan main. Benarkah mereka sengaja duduk berjaga di luar kamarnya? Menjaga apakah? Menjaga keselamatan dirinya? Rasanya tidak mungkin. Teringatlah dia akan ucapan Kenangasari tadi.
"Andika kan tamu agung kami, harus dijaga baik-baik, tentu saja!" Demikian kata gadis itu. Jadi mereka itu menjaganya? Dan dimana Widarti, gadis termuda? Dia menghampiri jendela dan mengintai keluar. Benar saja, gadis cantik jelita berlesung pipit itu juga duduk di atas sebuah bangku, tak jauh dari jendelanya. Semua jalan keluar, atau jalan masuk dari dan ke kamarnya telah terjaga! Apakah yang mereka jaga? Menjaga agar jangan ada yang masuk kamar atau menjaga agar jangan ada yang keluar kamar?
Kalau benar mereka itu berjaga, sungguh menggelikan. Apakah yang mampu dilakukan gadis-gadis manis itu kalau ada yang masuk atau keluar kamar? Tiba-tiba dia teringat betapa tadi, ketika dia hendak keluar kamar, Sukarti tahu-tahu telah memegang lengannya. Padahal tadinya gadis itu masih duduk di atas kursi. Betapa cepatnya dia bergerak!
Apakah tiga orang puteri pangeran yang cantik jelita itu ahli aji kanuragan, gadis-gadis yang digdaya? Betapa pun juga, dari sikap mereka dan sikap ayah mereka, sama sekali tidak ada yang mencurigakan, tidak ada kesan-kesan bahwa mereka memusuhinya.
Mungkin mereka itu agak berlebihan dan terlalu memanjakannya. Dia menjadi malu sendiri. Biarlah mereka berbuat sesuka mereka karena dia tidak terganggu. Dengan pikiran ini Nurseta kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian karena dia memang lelah sekali, diapun tertidur. Karena larut malam baru dapat pulas dan tubuhnya memang amat lelah, Nurseta tidur nyenyak sekali.
Pagi keesokan harinya dia tergugah oleh kicau burung di luar jendela. Begitu merdu dan indah kicau burung kutilang di luar rumah itu sehingga Nurseta tetap rebah sambil menikmati suara itu. Kemudian terdengar ringkik kuda. Suara ini membuat bangkit duduk keheranan. Ada ringkik kuda! Kemarin dia tidak melihat adanya kuda di sekitar rumah itu. Dan dari gerakan kaki kuda di atas tanah itu dia dapat mengetahui bahwa ada lebih dari dua ekor kuda di sana. Mungkin ada empat ekor.
Karena ingin tahu sekali, Nurseta lalu menghampiri jendela dan membuka daun jendela. Widarti yang semalam duduk 'berjaga" di situ tak tampak lagi. Dari jendela dia dapat melihat adanya empat ekor kuda tertambat pada batang pohon-pohon di kebun. Empat ekor kuda yang tinggi besar, indah dan kuat, lengkap dengan pelana dan kendalinya. Apakah ada tamu-tamu datang berkunjung? Mungkin, karena tiga orang gadis itu tidak tampak, tentu sedang menyambut para tamu itu. Dia merasa tidak enak karena masih belum keluar dari kamarnya. Dia segera membuka daun pintu. Tidak tampak ada orang.
Nurseta keluar rumah dan karena tidak melihat keluarga tuan rumah, dia langsung pergi ke anak sungai untuk membersihkan diri. Air anak sungai yang jernih dan dingin menyegarkan tubuhnya dan dia cepat kembali ke rumah. Setelah dia tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama dan tiga orang puterinya telah berada di situ. Nurseta yang berpemandangan tajam segera dapat merasakan bahwa ada terjadi sesuatu.
Hal ini dapat dia lihat dari sikap mereka. Wajah mereka, terutama sekali tiga orang gadis yang kemarin amat ramah kepadanya penuh senyum dan pandang mata berseri kini tampak dingin sekali, bahkan seolah tiga orang dara itu menghindari pertemuan pandang mata dengan dia. Apakah mereka kecewa dan marah atas sikapnya semalam..?
"Anakmas Nurseta, terimalah kerismu ini. Sudah kupasangkan gagang baru dan kumasukkan dalam warangka baru”. Raden Hendratama menyerahkan keris itu kepada Nurseta.
Nurseta menerimanya dan dia kagum melihat warangka yang terukir indah dan gagang kerisnya sudah terganti gagang berukir pula. Dia lalu menyelipkan keris itu pada ikat pinggangnya, tanpa memeriksa isinya karena hal itu akan menimbulkan kesan seolah dia tidak percaya kepada bekas pangeran itu. "Terima kasih banyak, paman." katanya.
"Anakmas Nurseta, terpaksa andika akan kami tinggalkan karena kami ada urusan penting sekali yang harus kami lakukan pagi ini. Maaf, kami tidak sempat mengajak andika makan pagi."
Nurseta tersenyum. "Ah, tidak mengapa, paman. Saya hanya membutuhkan tempat bermalam dan paman sekalian telah begitu baik untuk menerima saya. Biarlah saya pergi sekarang juga agar tidak mengganggu kesibukan paman sekalian." Setelah berkata demikian, Nurseta memasuki rumah, terus ke kamarmya, berkemas lalu keluar lagi menggendong buntalan pakaian di punggungnya. Dia mendengar derap kaki kuda dan setelah tiba di beranda, dia melihat Raden Hendratama telah melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu. Tentu saja Nurseta merasa heran sekali dan dia bertanya kepada Kenangasari yang biasanya paling ramah kepadanya.
"Nimas Kenangasari, ke manakah perginya Paman Hendratama? Aku ingin berpamit kepadanya."
"Tidak usah berpamit lagi. Dia sudah pergi." Jawab Kenangasari dengan pendek dan ketus.
Nurseta merasa tidak enak sekali. Dia merasa berhutang budi kepada mereka, maka meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan.
"Nimas bertiga, apakah sebetulnya yang terjadi? Kalian tampak berbeda sekali. Apakah ada kesulitan yang kalian semua hadapi? Kalau memerlukan bantuan, percayalah, aku akan membantu sekuat tenagaku."
"Sudah, pergilah! Kami tidak membutuhkan kamu!" kata Sukarti.
"Ya, cerewet benar sih, kamu!" kata pula Widarti dan tiga orang gadis itu lalu memasuki ruangan depan yang penuh dengan keris dan tombak itu, mengumpulkan semua senjata itu, agaknya mereka seperti berkemas hendak pindah dari pondok itu.
Menghadapi sikap tiga orang gadis itu, Nurseta mengangkat kedua pundaknya dan diapun melompat keluar dan pergi dari situ dengan cepat. Hatinya tertekan kekecewaan, perasaannya terpukul. Tak habis heran dia memikirkan perubahan yang terjadi dalam sikap keluarga pangeran itu terhadap dirinya. Sambil melangkah pergi, pikirannya terus bekerja. Dia mencari-cari, kesalahan apa yang telah dilakukannya sehingga membuat marah keluarga itu. Kalau sikapnya tidak mau menerima tiga orang gadis itu tinggal di kamarnya itu dianggap salah, maka merekalah yang bersalah. Dia sudah benar, menjaga kesusilaan. Kalau dianggap salah, maka merekalah gadis-gadis cantik yang sayangnya tidak dapat menjaga kesusilaan. Apakah dia telah lengah, melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya atau yang seharusnya?
Dia mcngingat-ingat kembali dan tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, mengerutkan alisnya. Raden Hendratama telah mengembalikan keris pusakanya akan tetapi kenapa dia tidak memeriksanya. Tidak memeriksa isi warangka itu untuk melihat kerisnya. Hal itu seharusnya dia lakukan mengingat bahwa keris itu adalah sebuah benda pusaka yang amat ampuh, yang diperebutkan banyak orang. Bahkan eyang gurunya tewas karena mempertahankan keris itu!
Cepat dia memegang gagang keris itu dan mencabutnya, memeriksanya dengan teliti. Nurseta mengerutkan alisnya. Ujud keris itu memang masih sama, baik luk (lekuk) tiga dan semua cirinya. Akan tetapi dia merasa kehilangan wibawa yang keluar dari keris itu, yang dirasakannya setiap kali keris itu dia cabut. Sinar aneh yang dimiliki keris itu tak tampak atau terasa lagi. Dia teringat akan petunjuk mendiang Empu Dewamurti bagaimana untuk mengenal keaslian Keris Megatantra. Dengan telunjuk kirinya Nurseta lalu menjentik ujung keris itu. Biasanya, kalau dia menjentik ujung keris pusaka itu dengan pengerahan tenaga sakti, maka akan terdengar bunyi melenting nyaring dan ujung keris Itu tergetar!
"Trikk..." Bukan main kaget rasa hati Nurseta ketika telunjuknya menjentik, ujung keris itu patah!
"Celaka..!" serunya, maklum sepenuhnya bahwa dia tertipu. Keris yang sama benar rupa dan bentuknya ini ternyata palsu! Cepat dia menyarungkan keris yang buntung ujungnya itu ke dalam warangka yang masih terselip diikat pinggangnya, lalu dia berlari cepat sekali ke arah pondok tempat tinggal keluarga bekas pangeran itu.
Akan tetapi ketika dia tiba di pekarangan rumah itu, hanya tinggal seekor kuda saja yang tertambat pada batang pohon dan seorang gadis jelita berdiri di luar beranda. Gadis yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek itu bukan lain adalah Kenangasari, gadis paling genit di antara tiga orang puteri bekas pangeran itu.
Nurseta tidak memperdulikannya, melainkan langsung memasuki ruangan tamu di mana tersimpan banyak senjata pusaka. Akan tetapi ruangan itu kini telah kosong, tidak tampak sepotongpun senjata! Juga dua orang gadis yang lain, Sukarti dan Widarti, tidak tampak. Cepat dia melompat keluar lagi dan pada saat itu dia mendengar derap kaki kuda dan melihat Kenangasari sudah menunggang seekor kuda dan membalapkan kuda itu ke arah barat. Nurseta hendak mengejar dan menghalangi gadis itu kabur, akan tetapi dia lalu teringat. Gadis itu adalah satu-satunya orang yang akan dapat membawa dia kepada Raden Hendratama yang telah menipu dan mencuri Keris Megatantra!
Gadis itu tentu akan melarikan diri menyusul ayahnya. Berpikir demikian, Nurseta tidak jadi mengejar untuk menangkap, melainkan membayangi saja. Biarpun kuda itu seekor kuda besar yang baik dan kuat, larinya cepat dan ternyata penunggangnya mahir sekali, namun dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, tubuh Nurseta meluncur seperti angin dan selalu dapat membayangi dan menjaga jarak sehingga tidak sampai tertinggal.
Akan tetapi, yang dibayangi itu membalap terus ke barat. Setelah matahari naik tinggi dan matahari terik sekali, Kenangasari menghentikan kudanya di tengah hutan lebat, la menjadi bingung dan agaknya tersesat, tidak tahu jalan. Melihat bahwa tidak ada orang mengejarnya, gadis itu melompat turun dan menanggalkan kendali, membiarkan kudanya minum air anak sungai yang terdapat di situ dan makan rumput, la sendiri lalu merebahkan diri bersandar pada batang pohon, mengusap keringatnya dan beristirahat, la tersenyum-senyurn manis seorang diri, mengira bahwa tidak mungkin pemuda tolol itu dapat mengejarnya.
"Nimas Kenangasari!"
Gadis itu terkejut sekali sampai tersentak dan melompat berdiri sambil memutar tubuhnya. Kiranya Nurseta telah berada di situ!
"Kau..?" gadis itu menggagap.
"Nimas, hentikan semua main-main ini. Aku hanya menginginkan keris pusakaku dikembalikan."
Tiba-tiba gadis itu sudah melompat Lompatannya amat ringan dan tahu-tahu ia telah berada di atas punggung kudanya yang berada dalam jarak empat lima meter dari tempat ia berdiri. Ia sudah menyambar kendali kuda dan hendak membalapkan kudanya. Akan tetapi Nurseta Tidak membiarkan gadis itu melarikan diri. Cepat dia melompat ke depan kuda dan menangkap kendali di depan mulut kuda itu.
Kuda meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan tinggi keatas. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat Kenangasari kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terlempar ke belakang kuda! Agaknya gadis itu tentu akan terbanting keras. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nurseta telah menyambut tubuh gadis itu dengan kedua lengannya dan Kenangasari terjatuh lunak ke dalam pondongannya!
Ketika merasa dirinya betapa dirinya berada dalam rangkulan dan pondongan Nurseta, Kenangasari lalu meraih dengan kedua lengannya ke atas, merangkul leher Nurseta dan merapatkan tubuhnya di dada pemuda itu, bahkan mengangkat mukanya mendekati muka Nurseta, Pemuda itu terkejut dan cepat cepat dia Melepaskan pondongannya sehingga tubuh Kenangasari terjatuh ke atas tanah.
Tiba-tiba sikap Kenangasari berubah. Ia menjadi marah sekali dan dengan trengginas (tangkas) ia melompat dan langsung menyerang Nurseta dengan tamparan yang cepat dan kuat. "Jahanam..." Ia memaki dan tamparannya menyambar ke arah muka Nurseta.
Nurseta cepat mengelak. Akan tetapi gerakan Kenangasari cepat bukan main. Ia telah menyusulkan serangan bertubi-tubi, menampar, mencengkeram, dan menendang. Gerakannya jelas menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang sama sekali tidak lemah, bahkan amat tangkas dan pandai bersilat! Nurseta mengalah, berulang kali mengelak dan menangkis. Ketika tangkisan tangannya bertemu dengan tangan gadis itu, diapun mendapat kenyataan bahwa tenaga gadis itu cukup kuat. Laki laki yang kedigdayaannya hanya sedang-sedang saja jangan harap akan mampu menandingi gadis yang ayu manis dan lincah jenaka ini.....!