Segera para anggota Padepokan Wilis mempersiapkan segala perbekalan pengantin baru ini, segala perbekalan untuk dipakai dalam perjalanan. Dua ekor kuda pilihan yang besar disediakan.
“Paman Pangeran dan Bibi yang baik, Kelak kalau aku sudah tamat belajar kepada Eyang Guru dan sudah dewasa, aku akan menyusul Paman dan Bibi. Aku ingin sekali melihat kerajaanl” kata Retna Wilis.
Setyaningsih memeluk dan menciumi muka keponakannya yang diasuhnya semenjak lahir itu. Ia menitikkan air mata, hal yang jarang sekali terjadi pada diri Setyaningsih.
“Iihhh, kenapa Bibi menangis? Apakah tidak girang pergi bersama Paman Pangeran?”
Pertanyaan ini memancing keluar leblh banyak air mata lagi. Melihat ini, Endang Patibroto yang tidak suka kalau puterinya kelak juga menjadi seorang yang cengeng cepat berkata,
“Bibimu menangis karena girang, Retna. Sudahlah, Ningsih, ada waktunya berkumpul tentu ada waktu untuk berpisah. Ada saat berpisah tentu disusul pula saat pertemuan kembali. Berangkatlah dengan hati lapang, adlkku sayang, karena engkau pergi mengikuti suamimu. Itulah kewajiban pertama bagi seorang isteri.”
Demikian Endang Patibroto berkata menghibur. Akan tetapi Setyaningsih yang sudah menganggap ayundanya ini seperti lbunya sendiri, yang dicintanya sepenuh hati, menjadi makin terharu dan menubruk ayundanya, berlutut merangkul kaki dan menangis.
“Ayunda Endang... selamat tinggal... semoga kita dapat cepat berkumpul kembali, Ayunda...”
Melihat keadaan isterinya ini, dengan penuh kasih sayang Pangeran Panji Sigit lalu merangkulnya, mengangkatnya bangun lalu menuntunnya ke tempat di mana dua ekor kuda mereka sudah menunggu.
Kemudian mereka lalu melompat ke atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, diikuti pandang mata sayu dari Endang Patibroto, sinar mata bersinar-sinar dari Retna Wilis, dan pandang mata melamun dari Ki Datujiwa.
Beberapa kali Setyaningsih menengok dan melambaikan tangan, dibalas oleh tiga orang ini yang terus berdiri memandang sampai bayangan kedua suami isteri itu lenyap di sebuah tikungan…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bagus Seta yang kelak akan menjadi tokoh terpenting di samping Retna Wilis dalam cerita ini. Seperti telah kita ketahui, ketika berusia sepuluh tahun, Bagus Seta dibawa oleh Ki Tunggaljiwa, atau lebih tepat, anak itu yang datang naik di punggung Sardulo pethak, menemui Ki Tunggaljiwa dan diangkat sebagai muridnya.
Telah dicerltakan pula betapa ramandanya, Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, menyusul ke Gunung Merapi di mana Bagus Seta yang berusia sepuluh tahun itu digembleng oleh KI Tunggaljiwa. Akan tetapi akhirnya Tejolaksono dan isterinya merelakan puteranya menjadi murid sang pertapa sakti untuk digembleng selama lima tahun!
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Bagus Seta yang berdarah satria perkasa itu berlatih dengan penuh ketekunan.
Memang hebat latihan yang diberikan oleh Ki Tunggaljiwa. Tidak hanya berendam air dingin dan kadang-kadang air panas sampai semalam suntuk, juga anak ini dilatih bersamadhi dan berpuasa sampai berhari-hari lamanya. Kadang-kadang disuruh mainkan jurus-jurus gerak sIlat yang telah ia pelajarl dari ayahnya. Ternyata Ki Tunggaljiwa mengenal belaka semua jurus ilmu itu dan mulaIlah memberi petunjuk-petunjuk sehingga cepat sekali ilmu silat Bagus Seta meningkat. Tubuh anak ini menjadi kuat sekali, dan gerakannya cepat ringan mengagumkan.
Temannya berlatih adalah harlmau putih yang sesungguhnya jauh berbeda dengan harimau-harimau biasa. Harimau ini terlatih melalui aji kesaktian Ki Tunggaljiwa sehingga memiliki kecerdikan luar biasa seperti manusia.
Sungguh pun akal budinya seperti manusia tidak ada, namun Sardulo pethak mempunyai kelebihan dari pada manusia, yaitu nalurinya yang amat kuat. Sampai tiga empat tahun kemudian, biar pun dalam latihan akhirnya Bagus Seta dapat menangkan harimau itu, namun ia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, dan setelah berkali-kali memukul mendorong dan membanting ia baru dapat menundukkannya. Akan tetapi ia sendiripun lecet-lecet dan napasnya terengah-engah, peluhnya membasahi seluruh tubuh.
Baru setelah genap lima tahun, ia benar-benar dapat menundukkan Sardulopethak tanpa banyak sukar lagi. Kini Bagus Seta telah berusia lima belas tahun, telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tegap, bahunya bidang, dadanya menonjol membayangkan tenaga dahsyat, wajahnya tampan dan pandang matanya seperti dapat menembus dada orang.
Namun sikapnya lemah lembut, bahkan gerak-geriknya kelihatan lamban, tidak tampak ketangkasannya di waktu biasa. Namun, kalau orang menyaksikan dia berlaga dalam latihan menghadapi Sardulo-pethak, orang akan kagum dibuatnya.
Pagi hati itu, terdengar suara Sardulo-pethak mengaum-aum, menggetarkan puncak Merapi. Beginilah kalau harimau itu sedang bersemangat dan bergembira dan biasanya hal itu terjadi kalau dia sedang bergurau atau berlatih dengan Bagus Seta. Pagi hari itu pun Bagus Seta mengajaknya bertanding dalam latihan.
Pemuda remaja dan harimau itu sudah berdiri berhadapan di lapangan rumput di bawah puncak.
“Paman Sardulo, kemarin dulu aku mengalahkanmu dalam sepuluh jurus. Kini aku telah menemukan akal yang baik sekali dan kurasa aku akan dapat membuatmu tidak berdaya kurang dari sepuluh jurus!”
Harimau Itu sudah biasa dlajak bercakap-cakap oleh Bagus Seta. Entah dia mengerti atau tidak, hal ini tak pernah dapat dibuktikan. Akan tetapi begItu mendengar ucapan Bagus Seta, ia lalu mengaum berkali-kali seperti menantang atau mentertawakan ucapan Bagus Seta yang hendak menundukkannya kurang dari sepuluh jurus!
Bagus Seta yang sudah hampir lima tahun setiap hari bergaul dengan harimau ini dapat membedakan auman marah, senang, atau bahkan mengejek mentertawakan. Maka ia lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, tubuhnya agak merendah dengan kedua lutut ditekuk, kedua lengannya dikembangkan dengan jari-jari tangan terbuka, lalu ia berkata,
“Kau mentertawakan dan tidak percaya, Paman Sardulo? Hayo kita mulai! Awas jurus pertama!”
Setelah berkata demikian, tubuh Bagus Seta menubruk ke depan. Sardulopethak itu adalah seekor harimau yang lain dari pada harimau biasa, memiliki kecerdikan dan mendekati kecerdikan manusia. Setelah lima tahun menjadi kawan berlatih Bagus Seta, apa lagi setelah akhir-akhir ini ia selalu dikalahkan, harimau putih inl maklum bahwa kalau dia yang menubruk dan menyerang, dia akan dapat dirobohkan dengan mudah.
Tentu saja ia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa bisa demikian. Dia tidak tahu bahwa dalam setiap penyerangan, berarti membuka kelemahan pertahanan sendiri. Dia hanya tahu karena pengalaman kalah berkali-kali dan kekalahan ini selalu terjadi karena dia terlalu bernafsu menyerang. Maka akhir-akhir ini ia tidak lagi mau menyerang, hanya menanti serangan dan memusatkan perhatian pada pertahanan.
Bagus Seta tentu saja tahu akan siasat harimau itu, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi untuk menerjang. Terjangannya dahsyat sekali. Melihat perawakannya, Bagus Seta yang berusia lima betas tahun itu tidaklah dapat disebut tinggi besar. Perawakannya sedang saja, bahkan kulit lengannya halus, kelihatannya lemah lembut. Namun di bawah kulit itu tersembunyi hawa sakti yang dapat menciptakan tenaga dahsyat dan mujijat akibat gemblengan Ki Tunggaljiwa yang sakti mandraguna.
Kulit yang halus itu memiliki kekebalan luar biasa, tidak dapat tergores kuku cakar harimau. Daging di bawah kulit dapat mengeras seperti baja, tidak mempan gigitan taring harimau. Biasanya, kalau menyerang Sardulo-pethak, Bagus Seta mempergunakan aji pukulan dan tendangan, namun tubuh harimau itu pun sudah kebal dan kuat sekali sehingga dalam latihan biasa, setelah sepuluh jurus baru ia membuat harimau putih itu roboh dan kalah.
Ketika Bagus Seta menerjang maju, Sardulo-pethak menggereng dan berdiri di atas kedua kaki belakang.
Cakarnya dengan kuku-kuku meruncing itu segera bergerak ke depan, tidak hanya untuk menangkis pukulan Bagus Seta, melainkan terutama sekali untuk mencengkeram ke arah dada. Kalau saja ia berhasil mencakar robek baju lawan, hal ini sudah merupakan sebagian kemenangan baginya. Mulutnya sudah dibuka lebar dan siap menggigit pundak atau leher. Kalau hal ini dapat dilakukan, ia dapat menekan tubuh lawan itu ke bawah, menindih dengan berat tubuhnya, mencengkeram dan menggigit sehingga Bagus Seta takkan dapat bangun kembali!
Terdengar Sardulo-pethak mengaum penuh kegirangan. Tidak seperti biasanya, menggunakan kecepatan gerak tubuh pemuda itu menghindar, kali ini malah Bagus Seta menerima tangkisan dan cakaran lawan, kemudian kakinya terpeleset dan tubuhnya roboh terlentang di depan Sardulo-pethak.
Harimau itu mengaum gembira dan cepat menubruk untuk menindih tubuh kawan yang menjadi lawan berlatih. Kalau saja ia dapat bicara, tentu ia bersorak karena kemenangan yang sudah membayang di depan mata ini. Akan tetapi, biar pun tubuhnya sedang rebah terlentang, gerakan Bagus Seta lebih cepat lagi.
Tiba-tiba si harimau kehilangan lawannya yang bagaikan seekor belut telah melesat melalui bawah perutnya. Ketika Sardulo Pethak yang kebingungan itu membalikkan tubuh, ia sudah terlambat. Bagus Seta kini sudah menubruk dari belakang, memiting leher-nya dengan kedua lengan dengan erat sekali, melekat seperti seekor lintah menempel di punggung kerbau.
Sardulo Pethak mengeluarkan gerengan yang menggetarkan lembah gunung. Gerengan ini hebat bukan main, sampai semua binatang di hutan-hutan daerah Merapi lari ketakutan, harimau-harimau menyembunyikan diri tak berani berkutik, burung-burung yang sedang berteduh di pohon-pohon terbang kacau-balau dan ketakutan.
Harimau putih ini berusaha menghempaskan tubuh yang menempel di punggungnya itu, menggerak-gerakkan kepala ke kanan kiri dalam usahanyamenggigit muka lawan. Akan tetapi Bagus Seta memiting kuat-kuat dan kepalanya sendiri menempel di belakang telinga Sardulo Pethak Kedua kakinya tergantung di kanan kiri perut harimau. Betapa pun harimau itu berusaha untuk melepaskan diri dari pitingan, Bagus Seta tak pernah mengendurkan kempitannya, bahkan memperhebat pitingan, memperkuat tenaga sampai harimau itu terengah-engah karena lehernya terjepit.
Akhirnya, setelah Bagus Seta mengerahkan aji kekuatannya, harimau itu tidak kuat bertahan lagi dan roboh miring, terus ditunggangi Bagus Seta, dipiting dan tidak dapat berkutik lagi.
“Nah, apa kataku, Paman Sardulo? Aku dapat menjatuhkanmu dalam satu dua jurus. Tidak percayakah Paman sekarang?” tanya Bagus Seta sambil melepaskan pitingan dan meloncat bangun dengan wajah berseri.
Harimau putih itu bangkit dan menengadahkan kepalanya, mengaum dengan suara panjang. Bagus Seta yang sudah dapat membedakan suara harimau itu lalu merangkulnya dan menempelkan pipinya di dekat telinga harimau yang disayangnya.
“Ah, Paman Sardulo, kau merasa sudah tua? Tidak, Paman. Aku dapat mengalahkanmu berkat latihan yang berkali-kali bersamamu, berkat bantuanmu! Kalau melawan lawan lain, ahhh, tidak banyak lawan akan dapat mengalahkan-mu, Paman Sardulo.”
Harimau itu menggereng dan Bagus Seta menjadi kaget. Inilah gerengan tanda marah! la mempererat rangkulannya dan berkata penuh sesal,
“Ah, engkau marah kepadaku karena kekalahan dalam dua jurus, Paman? Benarkah Paman bisa marah kepadaku...?”
Akan tetapi ketika ia memandang, ternyata harimau itu telah berdiri dan pandang mata ,harimau itu sama sekali tidak ditujukan kepadanya, melainkan ke arah kiri. Ia menoleh dan bulu tengkuknya berdiri karena ngeri.
Di situ,hanya tiga empat meter jauhnya, tahu-tahu telah berdiri tiga orang. Kedatangan mereka itu begitu tiba-tiba seperti setan saja sehingga telinganya yang terlatih sama sekali tidak dapat menangkap kedatangan mereka.
Apa lagi ketika ia mengenal dua orang di antara mereka bertiga itu adalah Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, ia menjadi khawatir sekali. Dua orang ini bukanlah sahabat, melainkan orang-orang yang pernah datang dan menantang gurunya, Ki Tunggaljiwa. Akan tetapi melihat yang ke tiga, ia makin ngeri.
Orang ini adalah seorang nenek yang hanya bentuk tubuhnya saja dapat dikenal sebagai seorang manusia, atau lebih tepat sebagai seorang wanita tua bertubuh tinggi kurus, masih tegak, pakaiannya serba hitam dan lengannya memakai gelang emas.
Kulitnya yang sudah keriputan itu masih berwarna putih bersih, pakaiannya bersih dan rapi. Akan tetapi mukanya sukar dikenal karena muka ini terlindung oleh sinar atau uap hitam, sehingga kepala dan muka itu hanya kelihatan bayangan saja, bayangan seorang wanita tua yang usianya sudah seratus tahun lebih, namun masih jelas tampak raut wajah yang cantik!
Dari pribadi wanita tua ini keluar getaran wibawa yang amat luar biasa, yang membuat harimau putih menggereng-gereng marah dan gentar, dan yang membuat bulu tengkuk Bagus Seta berdiri!
Tiba-tiba Sardulo Pethak mengeluarkan guman seperti orang menjerit dan tubuh yang besar dan kuat itu melompat maju menubruk ke arah nenek yang mengerikan itu,
“Paman Sardulo...! Jangan...!”
Bagus Seta berseru akan tetapi terlambat sudah. Terdengar suara terkekeh nyaring disusul gerengan Sardulo Pethak yang tiba-tiba saja terbanting dari tengah udara sebelum mampu menyentuh nenek itu. Bagus Seta hanya melihat nenek itu menudingkan telunjuk kiri ke arah
Sardulo Pethak dan harimau putih itu terbanting dari tengah udara, roboh di atas tanah dan tak dapat bangkit kembali!
“Paman Sardulo!”
Ia menubruk harimau itu dan alangkah kagetnya mendapat kenyataan bahwa harimau putih itu sudah tidak bernapas lagi, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah menghitam! Harimau itu telah tewas secara aneh.
Dengan hati penuh kedukaan dan kemarahan, Bagus Seta bangkit berdiri perlahan-lahan, memandang ke arah nenek itu. Ia cukup terlatih dan dapat menekan perasaannya, namun mengingat akan kematian harimau yang dianggapnya sebagai keluarga sendiri, hatinya terasa sakit sekali.
“Andika... kejam sekali... Apakah dosanya Paman Sardulo maka andika tega menurunkan tangan maut dan merenggut nyawanya?”
Akan tetapi nenek itu hanya memperdengarkan suara tertawa perlahan dan berdiri diam tak bergerak seperti patung.
Bagus Seta berusaha mengerahkan tenaga batinnya untuk menembus uap hitam yang menutupi wajah nenek itu, namun tak berhasil, bahkan jantungnya berdebar seperti terkena pengaruh mujijat yang amat berwibawa. Betapa pun juga, pemuda remaja ini adalah keturunan satria utama dan murid seorang sakti mandraguna, maka pengaruh mujijat itu tidak membuatnya menjadi gentar.
Sebaliknya, ia menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh yang jahat seperti iblis, lebih jahat dari pada dua orang kakek yang pernah memusuhi gurunya dan yang kini berdiri sambil tersenyum lebar. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring,
“Boleh jadi andika seorang tokoh yang ternama dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, namun perbuatan andika membunuh paman Sardulo yang tidak berdosa memaksa saya memberanikan diri untuk membalas. Jagalah seranganku!”
Setelah berkata demikian, Bagus Seta mengerahkan semua aji kekuatan tubuhnya, lalu mengayun tubuh ke depan dengan Aji Bayu Tantra.
Selama belajar kepada Ki Tunggaljiwa, dia hanya melatih semua ilmu yang ia pelajari dari ayahnya, dan gurunya ini hanya menyempurnakan latihan-latihannya di samping “mengisi” tubuhnya dengan gemblengan untuk mendapatkan hawa sakti yang kuat.
Karena itu, loncatannya ke depan amat cepatnya bagaikan gerakan seekor burung garuda, dan ketika kedua tangannya bergerak menampar dengan Aji Pethit Nogo, terdengar bersiutnya angin pukulan yang amat dahsyat.
Namun nenek itu sama sekali tidak bergerak, bahkan menangkispun tidak. Masih untung bagi Bagus Seta, karena kalau nenek itu menggerakkan tangannya sedikit saja, seperti halnya ketika menghadapi Sardulo-pethak tadi, tentu tubuh Bagus Seta akan roboh tak bernyawa pula! Klni nenek itu tidak menangkis, tidak mengelak dan terjangan Bagus Seta agaknya akan mengenai sasaran.
Melihat lawan tidak membela diri, sifat satria timbul dan pemuda remaja itu cepat-cepat merubah sasaran pukulannya. Kalau tadinya jari tangan kiri menampar pelipis dan jari tangan kanan menusuk leher, kini kedua tangannya hanya menampar ke arah kedua pundak lawan yang sama sekali tidak membela diri itu.
Sifat satria inilah yang sesungguhnya menolong nyawa Bagus Seta. Kalau ia teruskan serangan mautnya, tentu lawannya yang aneh itu akan membalas. Akan tetapi melihat pemuda remaja itu merubah sasaran, nenek itu mengeluarkan suara mendengus aneh dan tiba-tiba Bagus Seta mengeluh, tubuhnya seperti membentur dinding baja, kedua tangan yang menampar tadi bertemu dengan uap hitam, membalik dan membuatnya terpelanting roboh di samping mayat harimau putih!
Kepala terasa pening dan matanya berkunang. Bagus Seta menggoyang-goyang kepalanya dan hatinya girang ketika akhirnya peningnya hilang dan ia melihat Ki Tunggaljiwa telah berdiri di situ dengan sikapnya yang tenang! Ia bangkit berdiri dan mundur, tidak berani sembarangan mengeluarkan kata-kata karena maklum bahwa gurunya menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi dan yang menurut firasat hatinya datang bukan dengan maksud yang bersih.
Sejenak Ki Tunggaljiwa memandang ke arah muridnya dengan penuh perhatian, kemudian menunduk dan memandang mayat Sardulo Pethak, lalu menarik napas panjang dan berkata sambil memandang Biku Janapati dan Wasi Bagaspati,-
“Andika berdua, terutama Sang Wasi Bagaspati, telah menyebar malapetaka di antara rakyat jelata. Masih tidak puaskah nafsu itu? Kini andika datang ke tempat yang tenteram ini, menyebar maut kepada seekor harimau. Apakah sesungguhnya yang tersembunyi di balik perbuatan keji ini?”
“Ha-ha-ha-ha! Ki Tunggaljiwa, sampai sekarang engkau masih bersikap sombong! Kalau mau tahu tentang kematian harimau ini, kau tanyalah saja sendiri kepada dia yang melakukannya, kalau saja matamu masih saja buta untuk tidak mengenal siapa adanya tokoh yang kini berkenan hadir di hadapanmu!”
Wasi Bagaspati menuding dengan ibu jarinya ke arah nenek yang berselimutkan uap hitam di depan mukanya itu. Uap atau sinar hitam itu seolah-olah selalu keluar dari bagian atas tubuhnya dan hawa di sekitarnya menjadi panas, padahal hawa udara di puncak itu amatlah dinginnya.
Ki Tunggaljiwa bukan seorang yang sempit pandangan. Bahkan ia sudah dapat menduga siapa adanya tokoh ini, namun dia sekali-kali bukan seorang sombong seperti yang dikatakan Wasi Bagaspati.
Bahkan sebaliknya. Kalau dia tidak menyatakan kenal, hal ini sudah membuktikan kerendahan hatinya yang tidak hendak menonjolkan kewaspadaannya yang membuat ia seolah-olah dapat melihat segala peristiwa di dunia ini. Kini setelah Wasi Bagaspati mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu, ia lalu mengangkat kedua tangan, dirangkap seperti sembah depan dada, sambil membungkuk ia berkata,
“Sadhu-sadhu-sadhu, mohon maaf kiranya apa bila saya yang lebih muda tidak menyambut andika seorang yang lebih tua sebagaimana mestinya. Sebutan saya Ki Tunggaljiwa dan sudah seringkali saya mendengar nama besar Nini Bumigarba yang dulu terkenal sebagai Sang Dewi Sarilangking. Namun karena belum pernah mendapatkan kehormatan bertemu muka, maafkan kalau saya keliru menduga. Benarkah andika yang bernama Nini Bumigarba?”
Tubuh nenek itu bergerak sedikit dan terdengar suaranya, halus melengking dan aneh.
Bagus Seta yang menonton dengan mata terbelalak mendengar suara nenek Itu seolah-olah datang dari atas, dari mendung hitam di angkasa
“Tunggaljiwa, andika bukan anak kecil, dan kita sama-sama tahu akan rahasia perputaran segala peristiwa di dunia, yang lampau maupun yang akan datang. Akan tetapi berkali-kali andika menentang kehendak alam, mengandalkan sedikit kesaktian yang andika miliki. Apakah andika merasa lebih kuasa dan sakti dari pada alam?”
“Sadhu... Semua dewata menjadi saksi! Saya yang picik dan kecil ini, bagaimana berani menentang kehendak alam? Nini Bumigarba, harap andika jelaskan, bilamana, di mana, dan bagaimana saya menentang kehendak alam?”
Terdengar kekeh tawa nyaring dan merdu seperti suara ketawa wanita muda remaja, disambung kata-kata yang dingin suaranya namun panas isinya,
“Tunggaljiwa, andika berhadapan dengan aku yang tahu akan segala hal. Menyangkal dan berpura-pura tiada gunanya. Di jaman Mataram dan Kahuripan dahulu, engkau sudah berfihak, membela orang-orang Mataram. Kini, kau pun tidak buta dan tentu sudah dapat melihat masa depan bahwa keutuhan Kerajaan Panjalu dan Jenggala tidak dapat dipertahankan lagi. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati hanya membantu pelaksanaan kehendak alam, mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan itu, terutama Jenggala, akan tetapi kembali andika turun tangan menentang dan membela keturunan Mataram, padahal sudah tahu bahwa alam menghendaki runtuhnya kerajaan itu. Bukankah itu berarti menentang kehendak alam yang menjadi kehendak para dewara pula?”
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan mengelus jenggotnya. “Sadhu-sadhu-sadhu...”
“Maaf, Nini Bumigarba, kalau saya berani mengatakan bahwa andikalah orangnya yang menentang kehendak Sang Hyang Widhi! Kewaspadaan mata batin adalah anugerah Sang Hyang Widhi, dan sekalikali bukan dipergunakan untuk mendahului kehendak alam! Betapa pun pandainya manusia, takkan dapat merubah kehendak alam! Betapa pun pandainya manusia, dia tidak berhak untuk mencampuri rahasia Sang Hyang Widhi. Manusia mempunyai tugas kewajibannya sendiri, yaitu bertindak sesuai dengan kebajikan, menjauhkan kejahatan dan kemaksiatan. Adapun yang menjadi kehendak Hyang Widhi, baik maupun buruk bagi yang menerimanya, haruslah diterima dengan penuh kesadaran bahwa segala kehendak Hyang Widhi akan terjadi! Saya selalu bertindak menurutkan hukum-hukum peri-kemanusiaan, tidak mencampuri kehendak alam, tidak menentang tidak membantu. Orang-orang dari Sriwijaya dan Cola, bukan sekali-kali membantu pelaksanaan kehendak alam seperti yang andika katakan, melainkan bertindak untuk menurutkan dorongan nafsu duniawi, nafsu aluamah angkara murka, mengejar kesenangan pribadi. Namun semua itu termasuk kehendak Sang Hyang Widhi pula, juga kematian-kematian yang disebar orang-orang itu telah dikehendaki Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh orang lain, menyedot napas sendiripun tidak mungkin dapat dilakukan Sang Biku Janapati maupun Sang Wasi Bagaspati.”
“Ihhhh I Manusia sombong engkau, Ki Tunggaljiwa! Manusia adalah pembantu utama dari para dewata! Kalau aku menghendaki, bocah bagus ini tadi sudah kubikin mampus! Sebaliknya kalau aku tidak menghendaki, bagaimana harimau putih itu bisa mati?”
“Nini Bumigarba, sayang sekali bahwa terpaksa saya berlancang mulut. Yang sombong bukanlah saya. Andika hanya menjadi lantaran kematian Sardulo Pethak, akan tetapi, kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh Sardulo Pethak, menggerakka jari tanganmu saja andika tidak mampu. Kalau muridku Bagus Seta ini tadi tidak tewas di tanganmu, itu pun atas kehenda Hyang Widhi!”
“Babo-babo! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu, Ki Tunggaljiwa?” bentak Wanita tua yang luar biasa itu
Ki Tunggaljiwa tetap tersenyum tenang dan menggeleng-geleng kepalanya. Bagus Seta makin sayang dan kagum menyaksikan sikap gurunya dan mendengar ucapan-ucapannya yang ia anggap jauh lebih bijaksana dari pada ucapan Nini Bumigarba yang sombong itu.
Sepasang mata Ki Tunggaljiwa mengeluarkan sinar terang ketika ia memandang wajah Nini Bumigarba yang tertutup uap hitam, kemudian suaranya terdengar tegas,
“Saya sudah mendengar akan kesaktian andika yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur kepandaian manusia, dan saya mengerti bahwa saya bukanlah tandingan andika. Akan tetapi, jangan mengira bahwa saya takut akan ancaman andika, karena saya merasa yakin bahwa apa bila Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, andika pasti tidak akan dapat membunuhku, Nini Bumigarba. Andai kata saya terbunuh olehmu, hal ini hanya terjadi atas kehendak Sang Hyang Widhi!”
“Hi-hi-hik! Hendak kulihat sampal di mana kepandaianmu!” kata Nini Bumigarba dan tiba-tiba wanita tua itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka menampar ke bawah, ke arah tanah di depannya.
“Pyaarrr... I”
Terdengar suara nyaring dan... tanah di depannya itu seperti kayu terbakar, mengeluarkan asap menghitam. Sambil berdiri, Nini Bumigarba miringkan tangan di depan dada, melakukan gerakan mendorong. Asap hitam dari tanah itu seperti tertiup angin, bergerak ke arah Ki Tunggaljiwa!
“Sadhu-sadhu-sadhu...!”
Ki Tunggaljiwa maklum akan kehebatan dan kedahsyatan ilmu nenek tua ini, maka cepat la menjatuhkan diri bersila di atas tanah, lalu mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa saktinya, melakukan gerakan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Asap hItam yang tadinya bergerak ke arahnya itu kini tertahan dan berputaran.
Terjadilah adu tenaga sakti yang amat hebat, ditonton oleh Bagus Seta yang berusaha bersikap tenang sambil menekan guncangan perasaan hatinya karena ia maklum bahwa gurunya berjuang mati-matIan sekali ini.
Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati juga menonton dengan kening berkerut, diam-diam mereka mengharapkan kematIan Ki Tunggaljiwa yang merupakan penghalang bagi cita-cita mereka.
Akan tetapi betapa pun Ki Tunggaljiwa mengerahkan tenaga, kedahsyatan nenek itu sungguh jauh melampaui kekuatannya.
Nenek itu bukanlah manusia biasa, dan pada dewasa itu, kiranya sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu aji kepandaian. Biasanya, nenek ini tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai, dan munculnya nenek ini merupakan pertanda bahwa memang akan terjadi kegemparan. Asap hitam itu masih berputar-putar, di tengah-tengah antara kedua orang sakti itu, namun lambat laun, perlahan akan tetapi pasti, asap itu mulai bergerak mendorong ke arah Ki Tunggaljiwa.
Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak. Sungguh pun tingkat ilmu yang dipelajarinya belum sedemikian tingginya, namun dia yang tergembleng aji kesaktian sejak kecil, maklum atau dapat menduga apa artinya mendoyongnya asap hitam ke arah gurunya.
Tak terasa lagi kaklnya melangkah tIga kali, mendekat di belakang gurunya dan memandang dengan mata terbelalak, wajahnya pucat.
Kini asap itu sudah makin dekat dengan Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila, kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari tangan terbuka, matanya tajam memandang lawan, sedikitpun tidak tampak gentar, bibir yang tersembunyi di balik kumis dan jenggot masih tersenyum, seolah-olah kakek ini melihat datangnya cengkeraman maut sebagai satu hal yang wajar dan tidak aneh.
“Aiihhh...!”
Terdengar Nini Bumigarba berseru, tangan kanannya bergerak dan menggetar keras. Kini asap itu makin cepat bergerak, seperti mendung tertiup angin menghampiri Ki Tunggaljiwa.
Mula-mula asap hitam itu menyentuh ujung jari tangan Ki Tunggaljiwa dan seketika ujung jari-jari tangan kakek itu menjadi hitam! Makin dekat asap itu menghampiri Ki Tunggaljiwa, makin banyak pula bagian lengannya menjadi hitam.....