Seorang lagi baru saja hendak melompat ke sini, kontan Su-lothau memapak dengan ujung galanya sehingga perut orang itu tertusuk tembus, di tengah jerit ngeri, Su-lothau angkat galanya dengan musuh yang berlumuran darah. Seketika belasan musuh yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menerjang maju lagi.
Su-lothau yang tampaknya loyo itu ternyata sedemikian perkasa, bukan saja Siau-hi-ji terkejut, Kang Giok-long juga terkesiap dan berkeringat dingin.
Terdengar suara suitan Su-lothau mendenging tajam, perahunya terus menerjang ke tengah-tengah perahu musuh, belasan lawan berteriak-teriak untuk menabahkan hati dan segera mengadang, ada beberapa orang yang terjun ke dalam sungai, agaknya bermaksud membobol perahu Su-lothau.
"Celaka!" diam-diam Siau-hi-ji mengeluh. Kalau perahu tenggelam, pasti jiwa akan melayang.
Syukurlah pada saat itu juga, seorang lelaki godek tinggi besar dengan baju kuning dan ikat kepala kuning mendadak muncul dari balik batu karang di tepi sungai sana, dengan suara bengis ia membentak, "Berhenti, berhenti semua!"
Mendengar suara bentakan itu, serentak berpuluh lelaki tadi lantas mengundurkan diri.
Terunjuk rasa heran wajah Kang Giok-long, seperti tidak mengerti sebab apa orang berbaju kuning itu menghentikan serbuan sengit itu. Bahkan Siau-hi-ji juga tidak jelas mengapa bisa terjadi begini.
Terlihat si baju kuning berdiri di atas batu karang, dari dalam sungai ia meraih seorang yang mencelat tersabet oleh gala di kakek she Su tadi, berulang-ulang ia tampar muka orang itu sambil mendamprat, "Kalian goblok dan buta semuanya?
"Kenapa kalian tidak lihat dulu siapa beliau yang berada di perahu itu dan berani sembarangan turun tangan?"
Mendadak Su-lothau menancapkan galanya ke dasar sungai dan seketika perahunya berhenti di tengah arus yang deras itu. Si nona Siok-hun lantas menjengek, "Hm, kalau tiada perintah kau keparat ini, masa begundalmu berani turun tangan?"
Cepat lelaki baju kuning membungkuk tubuh, katanya dengan menyengir, "Cayhe sungguh tidak tahu Su-locianpwe dan nona berada di perahu ini kalau tahu, biar pun mempunyai nyali sebesar gentong juga tidak berani sembarangan bertindak. Sepanjang Tiangkang (sungai panjang, Yangcekiang) siapakah yang tidak tahu akan Su-locianpwe."
"Ah, saudara terlalu rendah hati," ucap Su-lothau dengan dingin. "Padahal apa gunanya tubuh yang sudah rongsokan ini, Tiangkang ini adalah dunia kalian, bila kalian menghendaki jiwaku, terpaksa juga kuserahkan."
Keringat dingin tampak berketes-ketes dari dahi lelaki baju kuning itu, berulang-ulang ia minta maaf, "Wanpwe benar-benar pantas mampus, mata Wanpwe juga buta, sama sekali Wanpwe tidak menyangka Su-locianpwe akan muncul pula di Tiangkang, kalau tahu masa Wanpwe berani cari makan di sini."
"Terlalu rendah hati kata-kata cari makan yang kau ucapkan ini," jengek Su-lothau. "Memangnya siapa orang Kangouw yang tidak tahu gerombolan Kumbang Kuning di Tiangkang yang biasa berusaha partai besar dan tidak suka beli eceran." Sampai di sini, mendadak matanya mendelik dan membentak bengis, "Tapi perahuku ini hanya memuat beberapa penumpang rudin, kenapa juga kena diincar kalian, sungguh aneh, jangan-jangan kau mendapat pesanan dari seseorang lain?"
Seketika dahi Ui-hoa-hong, si Kumbang Kuning, penuh berkeringat dingin. Di atas perahu sini dahi Kang Giok-long juga penuh butiran keringat.
"Mohon Su-locianpwe memberi maaf, Wanpwe benar-benar tidak tahu," demikian Ui-hoa-hong.
"Kutahu kau tidak mau mengaku terus terang, nyata kau cukup setia kawan, untuk ini saja betapa pun aku takkan membikin sulit padamu," kata Su-lothau. Dan sekali galanya menutul, seketika perahunya meluncur pesat pula ke hilir.
Dengan cepat perahunya meninggalkan selat Bu yang berbahaya itu, sambil memegang kemudinya, berulang-ulang Su-lothau batuk-batuk pula.
Sambil memandangi jenggot si kakek yang putih tertiup angin itu, akhirnya Kang Giok-long bertanya dengan ragu-ragu, "Apakah... apakah Locianpwe ialah...."
"Dapatkah kau tutup mulut atau tidak?" dengus Su-lothau.
Seketika Kang Giok-long mengiakan dan menunduk.
Tiba-tiba Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, "Su-lothau, meski aku tidak tahu siapa engkau ini, tapi kukira engkau pasti seorang tokoh luar biasa. Engkau sudi menjadi tukang perahuku, bukan saja aku berterima kasih padamu, malahan aku pun merasa heran."
Kang Giok-long kebat-kebit mendengar ucapan Siau-hi-ji itu. Terdengar Su-lothau menjawab dengan tersenyum, "Jangan engkau berterima kasih padaku, engkau memang juga tidak perlu berterima kasih padaku."
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya pula, "Habis aku harus berterima kasih kepada siapa? Apa barangkali ada orang meminta engkau mengantar perjalananku ini dan meminta engkau melindungi diriku? Engkau orang tua yang berhati mulia, jika tepat terkaanku, janganlah engkau berdusta padaku."
Tiba-tiba Su-lothau terbatuk-batuk pula hingga berjongkok.
"Kau tidak menjawab berarti mengaku benar pertanyaanku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Mendadak Su-lothau menarik muka, katanya dengan mendelik, "Usiamu semuda ini, tapi mulutmu sudah setajam ini, kelak kalau sudah dewasa lantas bagaimana jadinya?"
Siau-hi-ji balas mendelik dan menjawab, "Bagaimana jadinya setelah dewasa kelak adalah urusanku sendiri dan bukan urusanmu. Jangan kau kira karena engkau telah menolong aku, untuk itu aku harus segan padamu. Padahal tanpa diantar, olehmu juga aku takkan mati, apa lagi aku pun tidak minta engkau mengantar diriku."
Untuk sejenak pula Su-lothau melotot padanya, tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, "Anak seperti dirimu sungguh belum pernah kulihat."
"Orang macamku ini, di dunia memang cuma ada diriku satu-satunya," jawab Siau-hi-ji. Dengan lagak keki, dia lantas berpaling ke arah lain, tapi di dalam hati ia berpikir, "Kakek ini pasti bukan sembarangan orang. Tapi dia sudi menurunkan derajatnya untuk menjadi tukang perahuku, maka dapat dibayangkan orang yang minta pertolongannya untuk mengantarku itu pasti lebih tinggi pula derajatnya. Orang itu selalu memikirkan kepentingan diriku, sebenarnya apa maksud dan tujuannya? Kalau dia mampu menyuruh seorang tokoh lihai macam Su-lothau ini, rasanya dia toh tidak perlu mengharapkan sesuatu bantuanku?"
Siau-hi-ji benar-benar tidak dapat menerka siapakah gerangan orang di balik layar itu. Waktu menoleh untuk memandang Kang Giok-long, anak muda itu tampak takut-takut dan tidak berani berhadapan muka dengan dia. Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas menegurnya, "He, kawanmu si Singa Muka Ungu itu kemarin bilang akan mendarat setiba di Hun-han, begitu bukan?"
"Ka... kalau tidak salah memang... memang begitu katanya," jawab Giok-long dengan tergagap.
"Apakah dia tidak berani lewat selat Bu dengan perahunya lantaran dia sudah tahu di situ ada kawanan bajak? Bukan mustahil pula dia telah bersekongkol dengan kawanan bajak, kan biasa tukang kawal juga suka bersekongkol dengan kaum bandit?"
Kang Giok-long mengusap keringatnya, jawabnya dengan menyengir, "Si... Siaute kurang jelas."
"Tukang kawal bersekongkol dengan kawanan bandit, sedangkan kau bersekongkol dengan tukang kawal dan suruh dia memberitahukan kepada kawanan bandit untuk mencegat perahu ini, kalau tidak mengapa perahu-perahu lain sama memakai pita kuning dan hanya menunggu kedatangan perahu kita ini saja. Kalau tidak, mengapa kawanan bandit itu hanya mengincar jiwaku dan bukan harta benda, sebab jelas tiada sesuatu harta benda di perahu ini."
Keringat dingin membasahi sekujur badan Kang Giok-long, sedapatnya dia tersenyum-senyum dan menjawab, "Ah, Toako hanya bergurau saja."
"Benar, aku cuma bergurau saja, kau merasa geli bukan? Hahaha, sungguh menggelikan!" Siau-hi-ji terbahak-bahak sambil merebahkan diri. Lalu bergumam pula, "Ya, sungguh aneh dan menggelikan, hawa segar begini ada orang mandi keringat."
Di samping sana Siok-hun, si nona genit itu senantiasa memandang Siau-hi-ji dengan tersenyum simpul, dilihatnya rambut anak muda itu semrawut tertiup angin, mukanya yang penuh codet itu tampak kemerah-merahan tersorot sinar matahari.
Sesungguhnya Siau-hi-ji tidak terhitung cakap, tapi entah mengapa orang merasa tertarik dan ingin memandangnya?
Karena mengikuti arus dan mendapat angin, sebelum magrib perahu mereka sudah sampai di Ijiang.
Ijiang adalah kota muara pertemuan tiga sungai, kota yang harus disinggahi untuk menambah perbekalan bagi setiap kendaraan air dalam pelayaran antara Sujwan dan Ohpak, karena itulah tiang layar tampak bersungsang timbul memenuhi muara sungai, suasana juga hiruk-pikuk.
Setelah masuk wilayah Ohpak, mata Kang Giok-long tampak bercahaya pula, seperti ingin bicara apa-apa, tapi merasa ragu-ragu.
Dengan tersenyum Siau-hi-ji memandangi seterunya, mendadak ia berbangkit dan berseru, "Ayolah kita mendarat saja di sini, terlalu lama naik perahu, kepala rasanya pusing." Sekilas ia lihat Kang Giok-long mengunjuk rasa girang demi mendengar ajakannya itu.
"Kau... engkau benar-benar hendak pergi?" Siok-hun bertanya. Matanya tidak mengerling gembira lagi, tapi seperti rada sedih dan juga dongkol.
Tapi Siau-hi-ji tidak menghiraukannya, serunya pula, "Su-lothau, terima kasih banyak-banyak atas bantuanmu yang sudi mengantar kami sampai di sini. Harap engkau merapatkan perahu ke tepi. Walau pun engkau rada takabur dan sok berlagak tua, tapi apa pun juga engkau adalah orang baik, takkan kulupakan engkau."
"Apakah sudah kau pertimbangkan dengan baik-baik? Kau benar-benar ingin mendarat di sini?" tanya Su-lothau.
Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, "Ada sementara orang segera lari terbirit-birit bila melihat bahaya, tapi ada sebagian orang hidupnya justru suka menyerempet bahaya, kalau sehari-hari dilewatkannya dengan aman dan tenteram justru terasa kurang menarik baginya."
Su-lothau memandangi anak muda itu dengan tajam, sejenak kemudian mendadak ia tertawa, katanya, "Bagus sekali, silakan pergilah, apa bila kau tidak mati, bolehlah kau datang ke...."
"Tak perlu kau katakan tempat tinggalmu dan juga jangan beritahukan namamu padaku," seru Siau-hi-ji sambil goyang-goyang tangannya. "Sebab aku toh takkan pergi mencarimu, aku pun tidak ingin menggunakan namamu untuk menakut-nakuti orang."
Si nona Siok-hun tampak geregetan, dengan menggigit bibir ia berkata, "Manusia yang paling tak berbudi dan tak tahu diri di dunia ini mungkin adalah kau ini!"
"Apa betul? Jika begitu, sungguh aku terlalu bahagia," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kau... kau...." mendadak Siok-hun membanting kaki terus menerobos ke dalam kabin perahunya.
Perahu mulai mendekat ke tepi sungai, belum lagi merapat Kang Giok-long sudah longak-longok kian kemari.
"Baiklah, kalau ingin menyerempet bahaya silakan lekas mendarat saja, kuyakin kau pasti tidak bakal kecewa," terdengar Su-lothau bergumam.
Di tepi sungai kota tambangan ini suasana ramai riuh, orang berlalu lalang tak terputus-putus, ada orang berbaju perlente dan mentereng, ada pula kaum jembel dan kuli berpakaian compang-camping. Ada yang bermuka berseri-seri dan ada juga yang bermuram durja. Ada yang hendak naik perahu, ada pula yang baru turun dari perahu. Di sini terdengar makian "nenekmu", di sana ada orang mencaci "diamput". Terkadang juga terdengar makian "Tiu-na-ma" orang Konghu (Kanton). Kota pelabuhan di mana-mana memang sama, bercampur-baur, suku bangsa dari negeri mana pun juga.
Sudah tentu hawa udara juga bercampur-baur antara bau busuk kotoran ayam dan kambing, ada pula bau lembap kayu membusuk serta bau minyak pelitur, ada bau harum daun teh, ada pula bau sengak obat-obatan, ditambah bau arak orang mabuk serta bau wangi bunga cempaka di sanggul perempuan udik. Begitulah suasana dan hawa khas yang hanya terdapat di kota pelabuhan.
Dasar memang anak gunung, Siau-hi-ji rada-rada bingung dan celingukan di tengah-tengah orang-orang berlalu-lalang itu, dipandangnya tontonan sini, dilongoknya keramaian sana, hatinya menjadi riang tak terperikan.
Kang Giok-long juga tidak tinggal diam, lehernya tampak menegak dan berjinjit melongok jauh ke sana-sini seperti ada seseorang yang dicarinya.
"Siapakah yang kau cari?" tanya Siau-hi-ji.
"O, ti... tidak, Siaute melihat keramaian orang saja," jawab Giok-long tergagap.
Sekonyong-konyong di tengah kerumunan orang sana ada suara teriakan orang, "Kang-heng, Kang Giok-long...."
"Ya, di sini... di sini...." jawab Giok-long kegirangan. Segera ia menyiak kerumunan orang dan menyongsong ke sana, terpaksa Siau-hi-ji juga terseret mengikutinya.
Terlihat di jalan besar sana, di bawah pohon berparkir tiga buah kereta besar yang mewah, beberapa ekor kuda dengan hiasan pelana yang gemilapan, beberapa pemuda berdandan perlente menggapai tangan ke arah Kang Giok-long.
Dengan gembira Giok-long berlari ke sana, beberapa pemuda itu pun menyongsongnya dengan tertawa, pedang yang tergantung di pinggang mereka sampai berbunyi gemerencing.
Mereka lantas bicara dan berkelakar dengan asyiknya, tapi tidak ada seorang pun yang menggubris Siau-hi-ji. Namun Siau-hi-ji juga tidak ambil pusing, ia tunggu setelah kelakar mereka mereda barulah berkata kepada Kang Giok-long, "Aneh, dari mana sahabatmu tahu akan kedatanganmu?"
Mendadak Kang Giok-long menarik muka, jengeknya, "Ini bukan urusanmu."
Sikapnya ternyata berubah seratus delapan puluh derajat. Tadinya ia menyebut Toako dan mengaku Siaute segala, tapi sekarang cara bicaranya seperti majikan terhadap kaum hamba.
Salah seorang pemuda berbaju hijau dan bermuka pucat memandang Siau-hi-ji dengan mengernyitkan dahi laksana orang yang muak melihat seekor anjing kudisan, dengan sikap menghina ia tanya Giok-long, "Siapakah dia, Kang-heng?"
Giok-long menjawab, "Dia ini orang yang paling pintar di dunia, pemuda yang paling cakap, setiap anak perempuan akan tergila-gila bila melihatnya. Sesuai tidak kalau menurut pendapatmu?"
Para pemuda itu serentak terbahak-bahak seakan-akan di dunia ini tiada sesuatu yang paling lucu dari pada cerita Kang Giok-long barusan.
Namun Siau-hi-ji tetap tenang saja, katanya dengan tertawa, "Sahabatmu kan sepantasnya juga harus diperkenalkan padaku."
Sejenak Giok-long berpikir, segera ia berkata, "Baik juga kuperkenalkan mereka padamu." Lalu ia tunjuk pemuda baju hijau tadi, "Inilah putra Congtin-ciangkun (komandan militer) kota Hengciu, Pek Leng-siau, Pek-siauhiap, orang memberi julukan 'Lik-bau-kiam-khek' (si pendekar pedang jubah hijau), tiga puluh enam jurus ilmu pedang Hwe-hong-kiamnya sungguh mahasakti."
"Aha, benar-benar sesuai dengan namanya, orangnya memang cakap," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Pek Leng-siau tertawa senang, tak tahunya Siau-hi-ji lantas menyambung pula, "Entah Pek-kongcu sudikah mengerik sedikit pupur pada mukamu itu untukku agar aku pun bisa tambah cakap."
Seketika Pek Leng-siau berhenti tertawa, jadinya meringis, mukanya yang pucat itu menjadi hijau.
Siau-hi-ji menunjuk pula pemuda hitam berbaju tipis warna jambon, bertubuh tinggi besar sehingga mirip tonggak besi karatan, tanyanya dengan tertawa, "Dan siapa pula yang ini?"
"Inilah Li Beng-sing, putra pertama Congpiauthau Kim say-piaukiok, itu perusahaan pengawal nomor satu di daerah Kang-lam, orang Kangouw memberi julukan 'Ang-sah-kim-to' (baju merah golok emas) padanya, dengan golok di tangan, biar pun seribu orang juga tak dapat menandinginya," demikian Kang Giok-long menjelaskan.
"Wah, sungguh gagah dan perwira!" ucap Siau-hi-ji sambil keplok dan memuji.
Tampaknya Li Beng-sing merasa senang dan hendak tertawa. Tapi Siau-hi-ji lantas menambahkan lagi, "Untung kau memberi penjelasan secara lengkap, kalau tidak bisa kusangka Li-kongcu ini adalah jagal babi."
Keruan kedua mata Li Beng-sing melotot seketika sehingga mirip mata banteng mengamuk.
Pemuda ketiga berbaju kembang dan bertopi hias, mukanya putih dan alisnya lentik, pupur di mukanya tebal sehingga mirip tembok dilabur, kalau bicara lebih genit dari anak perempuan, dengan terkikik-kikik ia memperkenalkan diri sebelum ditanya, "Aku bernama Hoa Sik-hiang, ayahku terkenal dengan julukan 'Giok-bin-boan-koan' (si jaksa bermuka kemala), kalau ada orang Kangouw yang tidak kenal nama ayahku, pasti telinganya yang kurang beres."
Dengan tertawa segera Kang Giok-long menambahkan, "Giok-bin-boan-koan Song-tayhiap termasyhur karena ilmu silatnya yang tiada bandingannya. Saudara Sik-hiang ini pakai she ibunya, bibi Hoa sendiri adalah pendekar wanita yang termasyhur di masa dahulu."
"Hihi, rasanya aku pun tidak perlu merendah hati bagi ibunda, beliau memang benar seorang tokoh wanita luar biasa," ucap Hoa Sik-hiang sambil menggoyang pinggul. Mungkin ia merasa dirinya cakap lagi terhormat, tentu orang tak dapat menemukan ciri-cirinya sebagai sasaran olok-olok.
Tak tersangka Siau-hi-ji memandangnya sejenak, habis itu tiba-tiba ia menggeleng-geleng dan berkata, "Sayang, sungguh sayang!"
"Apa yang kau sayangkan?" tanya Hoa Sik-hiang dengan tertawa seperti gadis pingitan.
Dengan gegetun Siau-hi-ji menjawab, "Sayang Hoa-kongcu tidak mau naik panggung dan main sandiwara, sungguh suatu kerugian besar bagi dunia seni."
Ho Sik-hiang jadi melenggong sehingga tidak dapat tertawa,
Selanjutnya Kang Giok-long lantas memperkenalkan pula dua pemuda, yang satu tinggi kurus sebagai tiang, namanya Ho Koan-kun, putra Kui-eng-cu (bayangan setan) Ho Bu-siang yang terkenal Ginkangnya nomor satu di daerah Kang-lam. Seorang lagi pendek gemuk berwajah tertawa, sorot matanya tajam, tampaknya ilmu silatnya paling tinggi di antara kelima anak muda ini.
Siau-hi-ji menyapu pandang secara acuh, ia tahu beberapa pemuda putra dari ayah terkenal ini sesungguhnya cuma sok aksi belaka dan menyebalkan. Tapi ia pun menduga jika tiga di antara mereka berlima itu mengerubutnya, rasanya dirinya sukar melawannya. Padahal mereka itu memandangi Siau-hi-ji dengan rasa mendongkol.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara genit, "Ai, dasar Giok-long yang tidak berperasaan, sudah tahu aku berada di sini, tapi aku tak digubrisnya." Menyusul dari salah sebuah kereta itu melangkah turun seorang nona belasan tahun, usianya masih belia, tapi dandanannya seperti siluman tertawa sambil main mata.
Bicara sejujurnya muka anak perempuan ini sebenarnya tidak jelek, cuma Siau-hi-ji merasa mual melihat tingkah lakunya, sebaliknya Kang Giok-long lantas menyambutnya dengan gembira, serunya, "Sun Siau-moay, jika kutahu kau juga datang, sejak tadi tentu sudah kusambut ke situ."
Seperti penari di panggung saja Sun Siau-moay itu terus pentang kedua tangannya dan menubruk ke dalam pelukan Kang Giok-long sambil mengomel genit, "Ai, kau setan cilik ini ke mana saja selama ini, sungguh aku sangat merindukanmu."
Pek Leng-siau lantas berseloroh, "Lihatlah, betapa pun Kang-heng kita memang lebih romantis...."
Sun Siau-moay berpaling, ucapnya dengan suara kenes, "Coba lihat, bukankah kau jadi jauh lebih kurus?" Sepasang matanya lantas berkedip-kedip dan berlagak mewek-mewek, tapi betapa pun juga tiada setitik pun air mata yang menetes.
Kang Giok-long meraba pipi Sun Siau-moay, katanya dengan tertawa merayu, "Jangan sedih, sayang, aku sudah pulang, bisa jadi kau akan tambah kurus pula."
"Ai, dasar kau ini...." demikian Sun Siau-moay mengomel sambil meliuk pinggang.
Serentak tertawalah para pemuda. Hanya Siau-hi-ji saja yang merasa muak, kalau saja dia habis makan, bukan mustahil isi perutnya akan tertumpah keluar.
Sun Siau-moay lantas mendelik, dengan bertolak pinggang ia membentak, "He, siapa kau? Sungguh memuakkan, lekas pergi sana."
"Kalau aku dapat pergi sungguh aku harus berterima kasih kepada langit dan bumi," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas…..
********************
Sambil berdekap di jendela kereta kepala Siau-hi-ji hampir seluruhnya menongol keluar, soalnya 'Sun Siau-moay' itu sedang meringkal dalam pelukan Kang Giok-long, Siau-hi-ji tidak tahan oleh bau harum yang memabukkannya itu.
Hoa Sik-hiang dan Pek Leng-siau sebenarnya juga membawa kereta masing-masing, tapi sekarang mereka pun berjubel dalam satu kereta. Mereka asyik bersenda-gurau dan main cubit segala, pada hakikatnya Siau-hi-ji tak dipedulikan oleh mereka.
Diam-diam Siau-hi-ji heran mengapa Kang Giok-long juga berubah serendah ini, ia coba meliriknya, dilihatnya wajah anak muda itu juga tertawa gembira, tapi sorot matanya tetap gemerdap seperti mata alap-alap sedang mengincar mangsanya. Jelas dia tidak serendah kawan-kawannya itu, dia cuma pura-pura saja mengikuti tingkah mereka. Kalau tidak pura-pura begitu tidak mungkin putra-putra keluarga ternama itu menganggapnya sebagai sahabat karib.
Siau-hi-ji tersenyum, kembali ia menjulurkan kepalanya keluar kereta, dilihatnya Li Beng-sing yang berjuluk "baju merah golok emas" itu menunggang kuda mengiring di belakang, cambuknya menggeletar di udara menakutkan orang yang berlalu lalang dan cepat menyingkir jauh ke tepi jalan.
Terdengar suara tertawa cekikikan Sun Siau-moay di dalam kereta laksana kotekan ayam betina yang sedang berahi. Diam-diam Siau-hi-ji menghela napas gegetun, beginikah angkatan penerus dunia persilatan yang akan datang?
"Ai, hari ini aku benar-benar senang sekali," demikian terdengar Sun Siau-moay lagi berkata dengan cekikikan. "Cuma sayang...."
"Cuma sayang di sini kelebihan satu orang, begitu bukan?" tukas Hoa Sik-hiang.
Sun Siau-moay berkedip-kedip, ucapnya, "Ya, pernahkah kau melihat orang menjemukan begini?"
"Sudah tentu pernah," jawab Hoa Sik-hiang, "Bukankah di Jun-hoa-ih tempo hari kita juga bertemu seorang nona Po, begitu gembrot dia sehingga Pek-heng hampir tak dapat bernapas tertindih olehnya. Bukankah nona Po itu tidak banyak berbeda dengan saudara ini?"
Belum habis ucapannya, semua orang lantas terpingkal-pingkal. Tapi demi melihat Siau-hi-ji juga tertawa, bahkan tertawanya lebih gembira daripada siapa pun juga, maka seketika mereka tak dapat tertawa lagi.
Sambil melototi Siau-hi-ji, Sun Siau-moay berkata dengan mendongkol, "Sungguh heran, mengapa saudara ini masih kerasan duduk di sini. Kalau aku menjadi dia, lebih baik kukutungi sebelah tanganku daripada duduk lagi di sini."
Dengan tertawa Siau-hi-ji menanggapi, "Ya, saudara kita ini tiada ciri lain kecuali kulit mukanya teramat tebal, dia lebih suka duduk tiga tahun di sini daripada dia membuntungi tangannya sendiri."
Semua mata melotot, semua orang murka, tapi Siau-hi-ji sedikit pun tidak peduli, ia tahu mereka paling-paling hanya dapat membuatnya marah saja dan tiada cara lain, soalnya Kang Giok-long duduk di sebelahnya dengan tangan terbelenggu menjadi satu, dalam keadaan demikian, jelas mereka tidak berani sembarangan turun tangan padanya. Lebih-lebih Kang Giok-long yang cukup tahu kepandaian Siau-hi-ji, mana ia berani menyerempet bahaya dengan taruhan jiwanya sendiri…..
********************
Bak mandi itu tampaknya sebuah tong kayu yang dibuat khusus, hampir setinggi orang, di bagian bak bahkan ada tempat perapian, air dalam bak tampak mengepul.
Seluruh tubuh Kang Giok-long terendam di dalam bak air itu, dengan menyipitkan mata saking enaknya, berulang-ulang ia mengeluarkan rintihan kenikmatan.
Tapi bagaimana dengan Siau-hi-ji?
Sungguh sial, dia cuma berdiri saja di luar bak dan menyaksikan orang mandi dengan nikmatnya. Malahan sebelah tangannya harus terangkat di tepi bak, dengan sendirinya dia seperti disiksa.
Pek Leng-siau, itu putra panglima yang cakap duduk di depan sana, kedua kakinya terangkat tinggi di atas meja, sambil meraba jenggotnya yang belum tumbuh merata itu ia berkata dengan tertawa, "Saudara Giok-long, bagaimana rasanya bak mandiku ini?"
"Wah, nikmat sekali," jawab Giok-long sambil menyipitkan mata.
"Jangan kau menyepelekan bak mandi ini," kata Pek Leng-siau pula. "Tidaklah kecil arti asal usul bak mandi ini, bahkan datangnya dari jauh di timur sana (negeri Jepang). Konon orang di kepulauan timur sana sangat mengutamakan mandi, mandi merupakan kenikmatan hidup terbesar dalam kehidupan mereka. Maka sekali mandi terkadang hingga berjam-jam lamanya."
"Mandiku ini juga lebih satu jam," ucap Giok-long dengan tertawa.
Akhirnya ia bangkit, di tengah tertawa genit, dua pelayan cantik yang menggiurkan dan telanjang kaki membawakan handuk untuk mengeringkan tubuhnya, tangan mereka yang putih halus itu menggosok perlahan badan Kang Giok-long yang kemerah-merahan itu.
"Cara menggosok badan begitu juga adat kebiasaan di kepulauan timur sana, konon kalau tiada perempuan cantik yang menghanduki badanmu, maka belum dapat dianggap sebagai mandi," kata Pek Leng-siau dengan tertawa.
"Wah, jika tiap mandi begini, rasanya aku tidak tahan," ucap Kang Giok-long.
Kedua pelayan cantik tadi tertawa ngikik dan mengenakan baju bagi Kang Giok-long. Sudah tentu segar rasanya seluruh badan sehabis mandi, ia mengulet kemalas-malasan, katanya pula dengan tertawa, "Ruas tulang sekujur badan serasa lepas semua, rasanya tubuhku menjadi lebih enteng sepuluh kati."
"Tapi aku merasa bertambah berat sepuluh kati," kata Siau-hi-ji.
"Sungguh menyesal, tuan rumah di sini tidak berhasrat melayani kau mandi, bila kau juga ingin mandi, boleh silakan mandi keluar sana, tapi Cayhe tidak sanggup mengiringimu," kata Giok-long dengan ketus.
"Sudah tentu, sudah tentu," kata Siau-hi-ji. "Apa bila aku ingin mandi, maka tanganku harus dikutungi supaya dapat keluar, begitu bukan?"
"Asal kau tahu saja," jawab Giok-long.
"Tapi biar pun aku tidak mandi juga jauh lebih bersih daripada sementara manusia yang kotor dan tidak tahu malu," ujar Siau-hi-ji.
Pek Leng-siau menjadi marah, "Siapa yang kau maksudkan?"
"Memangnya kau ini manusia kotor dan tidak tahu malu?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kentutmu busuk!" damprat Pek Leng-siau.
"Jika bukan, maka yang kumaki tentunya orang lain, kenapa kau marah-marah?" kata Siau-hi-ji.
Terdengar Sun Siau-moay lagi berseru dengan tertawa genit di luar pintu, "He, Kang Giok-long, apakah kau mati tenggelam di dalam bak? Kenapa tidak lekas keluar, ayolah makan bersama, hari ini Hoa Sik-hiang akan menjamu engkau di Giok-lau-tang."
"Giok-lau-tang? Apakah cabang restoran terkenal dari Tiangsah itu?" tanya Giok-long.
"Ya, benar," jawab Sun Siau-moay.
"Wah, teringat kepada 'Bit-ciap-hwe-tui' (ham masak saus manis), rasanya air liurku akan menetes," seru Kang Giok-long gembira.
********************
Ham masak saus manis restoran Giok-lau-tang memang termasyhur, dipandang di bawah cahaya lampu tampaknya mirip satu porsi batu manikam yang gemerlap menyenangkan.
Akan tetapi ternyata tidak menyenangkan sama sekali bagi Siau-hi-ji, baru saja ia menjulurkan sumpit hendak mencomot, kontan ia disampuk balik oleh sumpit Pek Leng-siau.
"Hihi, aku kan tidak kenal kau, memangnya kami menjamu dirimu," dengan ngikik Hoa Sik-hiang mengejek.
"O, ya, betul, jika aku ingin makan, tanganku harus kubuntungi dan keluar sana untuk makan sendiri," tukas Siau-hi-ji.
"Haha, tampaknya kau semakin pintar," Pek Leng-siau tertawa.
Maka Siau-hi-ji hanya bertugas sebagai penonton saja, menyaksikan mereka makan minum sesukanya, malahan wajahnya terpaksa harus tersenyum simpul, tapi perutnya yang menjerit-jerit minta tolong.
Sambil melirik Siau-hi-ji, Hoa Sik-hiang berolok-olok dengan tertawa, "Jika aku menjadi, dia, rasanya lebih baik aku menyusup ke kolong meja saja, bisa jadi di kolong ada dua-tiga kerat bakkut (tulang iga), daripada cuma duduk menelan air liur."
Kontan Siau-hi-ji balas berolok-olok dengan tertawa, "Jika aku dilahirkan jadi lelaki tidak perempuan bukan, lebih baik kumati terjun ke sumur saja daripada bikin malu orang tua belaka."
Seketika Hoa Sik-hiang menggebrak meja dan mendamprat, "Keparat, kau memaki siapa?"
"Memangnya kau ini bukan lelaki dan tidak perempuan. Makanya marah?" jawab Siau-hi-ji.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tangga berdetak riuh, beberapa orang muncul dengan langkah cepat. Usia beberapa orang ini rata-rata sudah lebih lima puluhan, dandanan sangat mentereng, begitu sampai di atas loteng, mereka sama memandang kian kemari dengan sikap kereng, jelas mereka bukan sembarangan orang.
Hoa Sik-hiang, Li Beng-sing, Ho Koan-kun yang sok garang itu seketika kuncup dan berdiri demi nampak beberapa orang tua itu. Sikap mereka menjadi alim dan munduk-munduk, ada yang menyebut "Suhu" dan ada yang memanggil "Ayah".
Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening, pikirnya, "Kiranya orang-orang ini adalah ayah dan guru kawanan pemuda ini. Wah, tampaknya aku bisa celaka."
Tak tersangka beberapa orang tua itu sama sekali tidak menghiraukan anak murid mereka, tapi malah langsung mendekati Siau-hi-ji dan memberi hormat sambil menyapa dengan tertawa, "Apakah ini Kang Hi, Kang-siauhiap adanya?"