Dalam sekejap saja terdengar suara mendering beradunya pedang, lalu berpuluh pedang sama jatuh ke lantai. Orang lain sama sekali tidak tahu cara bagaimana pedang sebanyak itu terlepas dari pegangan yang empunya, hanya anak murid Go-bi-pay sendiri yang tahu bagaimana terjadinya, mereka merasa sekonyong-konyong suatu arus tenaga mahabesar membetot pedangnya untuk dibenturkan kepada kawannya, karena tenaga benturan yang kuat luar biasa itu, tangan mereka terasa linu dan pedang terlepas dari cekalan. Semuanya menjerit kaget sambil memegangi pergelangan tangan masing-masing, pikiran mereka pun sama bingung karena tidak tahu persis bagaimana bisa terjadi begitu.
Pedang Sin-sik Totiang sendiri tidak sampai terlepas, tapi ia pun kaget dan cepat melompat mundur, ia coba mengawasi sekelilingnya, kecuali kedua nona baju putih tadi, mana ada bayangan orang lain? Namun di bawah cahaya lampu yang terang, berpuluh pedang jelas berserakan di lantai.
Sin-sik Totiang menengadah dan menghela napas panjang, serunya penuh penyesalan, "Sudahlah!" Mendadak pedang terus menggorok leher sendiri.
Rupanya ia menjadi putus asa, Go-bi-pay yang termasyhur dan malang melintang di dunia Kangouw kini ternyata tidak mampu melawan ilmu silat seorang yang tak dikenal, jelas runtuhlah nama baik Go-bi-pay, untuk itu ia merasa hanya dapat menembusnya dengan kematian selaku seorang pimpinan.
Tak terduga pada detik yang menentukan itulah, sebuah tangan tiba-tiba terulur dari belakangnya dan perlahan menarik tangannya, sedang tangan yang lain lantas merampas pedangnya. Padahal pedang Sin-sik Totiang ini boleh dikatakan sehidup semati dengan dia dan entah sudah mengalami betapa banyak pertempuran besar, pedang itu belum pernah berpisah dengan dia. Tapi entah mengapa kini pedang dapat dirampas orang dengan mudah saja.
Keruan Sin-sik Totiang terkejut dan gusar pula. Tertampak seorang pemuda baju putih melangkah keluar dari belakangnya, kedua tangan mendukung pedang rampasan dan memberi hormat dengan tersenyum, katanya, "Harap Totiang suka memaafkan kelancanganku, apa bila para Totiang kalian tidak mulai menyerang kaum wanita, betapa pun Tecu tidak berani sembarangan turun tangan."
Di bawah cahaya lampu tertampak dengan jelas pemuda ini paling-paling baru berumur 14-15 tahun, tapi ilmu silatnya, gayanya, sama sekali tak pernah terbayang oleh tokoh-tokoh persilatan yang hadir ini. Baju putih yang dipakai juga kain yang sederhana, tapi sikapnya yang agung berwibawa itu sungguh sukar dibandingi oleh pemuda lain atau pangeran sekali pun.
Sebegitu jauh anak itu baru bicara beberapa patah kata saja, tapi gayanya, santunnya, sampai Swat-hoa-to Liu Giok-ju yang sudah banyak berpengalaman juga terpesona dan mabuk kepayang. Seketika suasana menjadi sunyi, semua orang terkesima.
Sin-sik Totiang seolah-olah terpengaruh juga oleh gaya memikat anak muda itu sehingga mau tak mau harus bersikap ramah pula walau pun dia sangat murka. Dengan membalas hormat ia menjawab, "Apakah saudara ini datang dari Ih-hoa-kiong?"
"Benar, tecu Hoa Bu-koat, datang dari Ih-hoa-kiong," jawab pemuda baju putih. "Orang Ih-hoa-kiong sudah lama tak berkecimpung di dunia Kangouw sehingga sudah lupa pada adat istiadat, apa bila ada sesuatu kesalahan, diharap para sahabat sudi memaafkan."
Cara bicaranya sedemikian sopan, begitu rendah hati, sikapnya itu mirip seorang majikan yang pada dasarnya memang ramah tamah sedang bicara kepada kaum hambanya, meski sikap pihak majikan begitu memang pembawaan, tapi bagi kaum hambanya terasa tidak tenteram di hati. Walau pun wajahnya senantiasa tersenyum simpul dan bersikap ramah, tapi orang lain tetap mengagungkan dia.
Padahal Sin-sik Totiang, Ui-keh Taysu, Ong It-jiau, Khu Jing-po dan lain-lain hampir semuanya adalah tokoh dari suatu aliran tersendiri, kedudukan cukup terhormat, tapi entah mengapa di hadapan anak muda ini terasa serba salah dan kikuk, ingin bicara, tapi sukar keluar dari mulut.
Dengan suara nyaring Ho-loh lantas berseru, "Nah, Kongcu kami sudah datang, sekarang peti mati ini boleh dibuka tidak?"
Air muka Sin-sik Toating berubah pula. Tapi sebelum menjawab, tiba-tiba si anak muda yang bernama Hoa Bu-koat itu menyela, "Kukira tentang harta karun ini pasti omong kosong belaka, Cayhe berharap hadirin jangan mau tertipu oleh muslihat keji orang jahat, marilah kita berkawan saja daripada menjadi lawan, urusan ini mulai sekarang jangan kita ungkit-ungkit lagi."
"Omitohud! Pikiran Kongcu yang mulia sungguh harus dipuji," ucap Ui-keh Taysu.
"Benar," seru Ong It-jiau, "bila ada yang ingin saling labrak lagi sehingga dijadikan buah tertawaan jahanam yang mengatur tipu muslihat ini, maka dia itu pasti orang tolol."
Serentak Khu Jing-po, Pang Thian-ih dan lain-lain juga menyatakan setuju dan ingin mohon diri.
Sin-sik Totiang memberi hormat kepada Hoa Bu-koat dan mengucapkan terima kasih.
Suasana pertempuran yang tadinya tegang itu hanya berdasarkan beberapa patah-kata Bu-koat Kongcu tadi segera berubah menjadi aman tenteram dan damai.
Kerlingan genit Liu Giok-ju sejak tadi terus melengket pada diri Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan juga memandangi anak muda itu dan tanpa terasa tersembul juga senyuman kagum.
"Hmk!" mendadak Siau-hi-ji mendengus, lalu berlari keluar lorong bawah tanah itu.
Thi Sim-lan melenggong, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun ikut berlari keluar.
Sementara itu terdengar Tio Coan-hay sedang berseru, "Giok-tayhiap, Giok-locianpwe...."
Ho-loh juga berseru, "He, nona itu, mengapa engkau juga pergi?"
Sin-sik Totiang memanggil juga, "Eh, Siausicu itu, tadi banyak menerima petunjukmu, sudilah engkau mampir ke tempat kami."
Pada hakikatnya Siau-hi-ji tidak pedulikan seruan mereka, tanpa menoleh langsung ia lari keluar gua. Di luar gua masih ada kabut tipis, tapi rembulan sedang memancarkan cahayanya yang indah.
Siau-hi-ji hanya memandang ke depan saja dan berjalan terus tanpa berhenti diikuti Thi Sim-lan. Kira-kira seminuman teh, akhirnya anak muda itu menemukan sepotong batu besar dan duduklah dia di situ.
Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, "Urusan harta karun ternyata berakhir begini, sungguh tak pernah terpikir olehku."
"Memangnya apa yang pernah kau pikir?" tanya Siau-hi-ji dengan ketus.
Thi Sim-lan melengak, ia menunduk, katanya pula dengan perasaan sedih, "Aku banyak mengalami siksa derita lantaran peta harta karun yang ternyata tidak bernilai sepeser pun, bahkan jiwaku hampir melayang. Kalau kupikir sekarang sungguh sangat penasaran."
"Adalah pantas penderitaanmu itu," kata Siau-hi-ji.
Dengan menggigit bibir dan menunduk Sim-lan berkata, "Kutahu engkau pasti banyak mengalami kesusahan di Buyung-san-ceng itu, makanya engkau meninggalkan diriku begitu saja, aku tidak menyalahkanmu, cuma engkau...."
"Cuma apa? Umpama kau menyalahkan aku, lalu mau apa?" kata Siau-hi-ji dengan ketus.
Mendadak Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, "Meng... mengapa kau bicara demikian?"
"Cara kubicara memang begini, jika tidak suka janganlah kau mendengarkan. Hm, cara bicara orang lain lebih enak didengar, boleh kau mendengarkan ocehannya saja."
Mata si nona menjadi merah dan berkaca-kaca, setelah terdiam sejenak, kemudian ia memaksakan tertawa dan bertanya, "Bilakah engkau datang ke Go-bi-san sini?"
"Hmk!" dengus Siau-hi-ji.
"Mengapa tubuhmu terdapat ular sebanyak ini?" tanya Sim-lan dengan suara lembut.
"Hmk!" kembali Siau-hi-ji menjengek.
Thi Sim-lan menjadi dongkol, ia membanting kaki dan duduk di atas batu itu. Maka kedua orang kini duduk menempel punggung dan sama-sama tidak bicara.
Entah berapa lamanya, akhirnya Siau-hi-ji tidak tahan, tiba-tiba ia mengomel, "Huh, lagaknya bocah itu!"
Tapi Thi Sim-lan seperti tidak mendengar sama sekali dan tidak menanggapinya.
Siau-hi-ji menjadi kikuk, akhirnya tidak tahan pula, ia senggol si nona dengan punggungnya dan berseru, "He, orang tuli, kau dengar tidak perkataanku?"
"Hmk!" Thi Sim-lan mendengus menirukan suara Siau-hi-ji, "Orang tuli mana bisa mendengar perkataan orang."
Siau-hi-ji melenggong, tapi segera ia berseru, "Tapi... tapi bukankah kau sudah mendengar? Kalau tidak mendengar, kenapa kau dapat menjawab? Kau... kau...." bicara ke sana ke sini, akhirnya ia sendiri menjadi geli dan bergelak tertawa.
Diam-diam Thi Sim-lan memang sedang tertawa geli, kini tanpa terasa ia pun terkikik-kikik.
Di tengah suara tertawa mereka, tanpa terasa kedua muda-mudi itu telah duduk berjajar, entah Thi Sim-lan yang menggeser kemari lebih dulu atau Siau-hi-ji yang menggeser duluan.
Sesudah sama-sama tertawa sejenak, mendadak Siau-hi-ji berkata, "Hm, bocah itu benar-benar banyak lagaknya!"
"Sebenarnya juga bukannya dia berlagak, tapi orang lain yang menjunjung tinggi lagaknya," ujar Thi Sim-lan dengan lembut.
"Hm, jangan kau mengira dia tidak berlagak, sikapnya itu hanya bikinan belaka agar orang memuji dia sopan santun, padahal.... Hm, kentut anjing!" jengek Siau-hi-ji pula.
"Maklumlah, Ih-hoa-kiong boleh dikatakan tempat suci yang diagungkan dunia persilatan sekarang, sebagai satu-satunya ahli waris Ih-hoa-kiong, adalah pantas juga jika dia sok berlagak," ujar Sim-lan dengan tertawa.
"Hmk... Hmk-hmk... hmk-hmk-hmk," demikian berulang-ulang Siau-hi-ji mendengus.
Thi Sim-lan tertawa geli, perlahan ia meraba tangan anak muda itu, tapi cepat dia tarik kembali tangannya demi nampak ular yang melilit di pergelangan tangan Siau-hi-ji. Katanya kemudian dengan tertawa, "Eh, apakah kau tahu bahwa alis matanya sungguh sangat mirip dirimu, pada hakikatnya dia serupa denganmu, orang yang tidak kenal tentu mengira kalian adalah saudara sekandung."
"Jika aku pun berbentuk banci seperti dia, rasanya lebih baik kumati saja," kata Siau-hi-ji.
Thi Sim-lan hanya meliriknya dengan mengulum senyum dan tidak menanggapi lagi.
Tiba-tiba Siau-hi-ji mendengus pula, "Anehnya, manusia yang suka berlagak dan bicara seperti banci justru ada orang menyukainya."
"O... siapakah yang menyukai dia?" tanya Sim-lan.
"Kau!" jawab Siau-hi-ji.
"Aku?" Sim-lan melengak, akhirnya ia tertawa geli, "Kau bilang aku menyukai dia? Hah, gila!"
"Jika kau tidak menyukai dia, mengapa kau memandang dia hingga terkesima? Dan bila kau tidak suka padanya, mengapa dalam segala hal kau suka bicara membelanya?"
Muka Thi Sim-lan menjadi merah saking gemasnya, katanya kemudian dengan gregetan, "Baik, anggaplah aku menyukai dia. Ya, aku menyukai dia setengah mati. Toh kau bukan sanak kadangku, kau tidak perlu urus." Mendadak ia membanting kaki dan duduk membalik tubuh pula.
Siau-hi-ji sengaja memberosot duduk di tanah sambil mengomel, "Hm, lagaknya seperti kakek kecil, manusia demikian paling menjemukan."
Tanpa menoleh Thi Sim-lan menanggapi, "Tadi kau bilang dia seperti banci, mengapa sekarang kau katakan dia seperti kakek-kakek."
"Kumaksudkan dia seperti... seperti nenek cilik," jawab Siau-hi-ji dengan mengada-ada.
Mendadak Thi Sim-lan mengikik tawa.
Siau-hi-ji mendelik, semprotnya, "Apa yang kau tertawai?"
"Hihi," Sim-lan mengikik pula, lalu menjawab dengan sekata demi sekata, "Tahulah aku sekarang, kiranya kau cemburu!"
"Aku cemburu?" Siau-hi-ji melonjak bangun. "Hm, mustahil!" Mendadak ia duduk dan bergumam dengan gegetun, "Ya, rasanya sekarang aku memang rada-rada cemburu."
Sambil tertawa menggiurkan Thi Sim-lan menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu. Tapi segera ia melompat bangun pula dan berseru dengan suara terputus-putus, "He, ular... ular-ular ini mengapa tidak kau enyahkan saja."
"Jika kudapat mengenyahkan mereka, maka bahagialah aku!" ucap Siau-hi-ji dengan bersungut.
"Kau... kau tidak sanggup mengenyahkan mereka?" kaget juga Thi Sim-lan.
Siau-hi-ji menghela napas, jawabnya, "Setelah Pek-coa-sin-kun mati, kini mungkin tiada yang sanggup mengenyahkan mereka, siapa saja bila ingin menyentuh mereka, maka akulah yang akan dipagut paling dulu."
"Wah, lantas bagaimana... bagaimana baiknya? Memangnya selamanya kau akan membawa serta mereka?"
Dengan murung Siau-hi-ji termangu-mangu, sejenak kemudian tiba-tiba ia berseru dengan lagak jenaka, "Begini juga ada baiknya, tubuhku penuh ular, tentu tiada anak perempuan yang berani mendekati aku."
"Orang bicara dengan sungguh, kau justru sengaja bercanda," omel Thi Sim-lan dengan mendongkol sambil berpaling pula ke arah lain. Tapi segera ia menoleh dan berkata dengan tertawa, "He, aku ada akal."
"Bagus, bagaimana akalmu?" tanya Siau-hi-ji dengan girang.
"Ular-ular ini jangan kau beri makan, bila mereka mati kelaparan, dengan sendirinya mereka akan rontok semuanya."
Siau-hi-ji seperti lagi berpikir, jawabnya sambil manggut-manggut, "Benar, benar, akalmu ini sungguh amat bagus!"
"Terima kasih," ucap Thi Sim-lan dengan tertawa manis.
"Tapi kau melupakan sesuatu," tiba-tiba Siau-hi-ji menambahkan pula.
"Sesuatu apa?"
"Ular-ular ini meski gundul, tapi mereka bukan Hwesio."
"Artinya?" Thi Sim-lan melengak bingung.
"Kalau bukan Hwesio, tentu tidak pantang makan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Thi Sim-lan melenggong bingung, mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "He, maksudmu jika... jika mereka lapar, maka dagingmu dan darahmu juga akan dimakannya?"
"Hah, kau ternyata anak jenius, baru sekarang kutahu," ucap Siau-hi-ji dengan tak acuh.
"Wah, lantas bagaimana ini?" Thi Sim-lan menjadi gelisah dan hampir menangis. "Kukira harus... harus...."
"Harus" apa ternyata sukar diucapkannya, saking kelabakan ia hanya berputar-putar saja di situ.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berkata, "Mengapa budak itu bisa menghilang mendadak, sungguh aneh."
Lalu seorang lagi menanggapi dengan nada dingin, "Hari ini dia kabur, besok juga kita akan membekuk dia."
Begitu mendengar suara kedua orang itu, seketika air muka Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan berubah hebat.
"Siau-sian-li!" seru Sim-lan dengan saura tertahan.
"Dan Buyung Kiu!" sambung Siau-hi-ji.
"Mari lekas... lekas kita lari!"
Akan tetapi baru sekarang mereka tahu bahwa jalan yang mereka tempuh ini adalah jalan buntu, tiga sisinya dinding tebing menjulang tinggi, jalan satu-satunya adalah arah yang dilalui Siau-sian-li itu.
Tangan dan kaki Thi Sim-lan menjadi dingin, katanya, "Wah, ini... ini...."
"Sembunyi dulu!" seru Siau-hi-ji. Dan baru saja mereka sempat sembunyi, sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah muncul.
"Aneh juga Go-bi-san ini, gunung seluas ini ternyata tiada tempat berteduh yang layak, hanya di sini mending dapat digunakan istirahat, marilah kita mengaso sejenak daripada mencari kian kemari," demikian terdengar Siau-sian-li mengomel. Lalu dia mendahului duduk di atas batu, yaitu tempat yang diduduki Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan tadi.
Diam-diam Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan mengeluh, kalau kedua nona itu tetap berada di situ, sukar diketahui sampai kapan baru mereka bisa lolos dengan selamat.
Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Siau-sian-li bersuara pula, "Kau kedinginan tidak?"
"Huh, seperti putri pingitan, begini saja kedinginan," jengek Buyung Kiu. "Sekali pun di tanah bersalju juga aku takkan mengeluh kedinginan."
Siau-sian-li mengangkat pundak dan tidak menanggapi, lalu memejamkan mata untuk istirahat.
Diam-diam Siau-hi-ji mencibir dan membatin, "Sudah tentu kau tidak takut dingin, dengan telanjang bulat saja kau sanggup tiduran di atas balok es, memangnya siapa ingin berlatih ilmu setan seperti kau?"
Selang sejenak pula, tiba-tiba Siau-sian-li berdiri dan berkata, "Kau tidak takut dingin, kau memang hebat, tapi aku tidak tahan."
"Tidak tahan juga harus bertahan," ucap Buyung Kiu.
"O, nona Kiu, Cici yang baik, marilah kita mencari kayu bakar untuk membuat api unggun!" Siau-sian-li memohon dengan tertawa.
Akhirnya Buyung Kiu berbangkit juga dengan kemalas-malasan. Kedua nona melihat ke sana dan ke sini, akhirnya mereka menuju ke tempat sembunyi Thi Sim-lan dan Siau-hi-ji.
Keruan anak muda itu kebat-kebit, pikirnya, "Sialan, mengapa kupilih tempat sembunyi yang terdapat ranting kayu bakar dan rumput kering ini, sungguh sial."
Maklumlah, mereka sembunyi di balik semak-semak yang banyak terdapat daun dan rumput kering serta akar-akar kering yang paling bagus untuk api unggun. Tentu saja Thi Sim-lan terlebih cemas, tangan sampai berkeringat dingin dan tubuh pun rada gemetar. Sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah mendekat, karena gemetarnya Thi Sim-lan sehingga akar dan rumput kering ikut bergetar dan menerbitkan suara kresak-kresek.
Cepat Siau-sian-li menghentikan langkahnya dan berkata, "He, dengarkan, suara apakah itu?"
"Jangan khawatir, memangnya ada setan?" ujar Buyung Kiu.
Tiba-tiba timbul akal Siau-hi-ji, cepat ia melepaskan ikat rambut sendiri sehingga semrawut, diam-diam ia tertawa geli sendiri, entah apa yang ditertawai. Keruan hampir meledak perut Thi Sim-lan saking dongkolnya, dalam keadaan demikian anak muda itu masih sempat tertawa.
Sementara itu Siau-sian-li berjalan ke depan sambil mengomel, "Andaikan tiada setan, mendadak keluar ular juga bisa celaka!"
"Ada aku, apa pun tidak perlu takut," belum habis ucapan Buyung Kiu, sekonyong-konyong dari tempat gelap melompat keluar suatu makhluk aneh.
Siau-sian-li melonjak kaget, keringat dingin seketika membasahi tubuhnya. Tapi Buyung Kiu lantas membentak, "Siapa itu yang main gila di situ?"
Segera makhluk aneh menjerit, "Buyung Kiu, wahai Buyung Kiu, betapa keji kau bikin celaka diriku, aku mati kelelap menjadi setan rendaman... Buyung Kiu, ayo bayar jiwaku, Buyung Kiu!"
Di bawah cahaya rembulan Buyung Kiu dapat melihat jelas "makhluk aneh" ini sudah dikenalnya, siapa lagi kalau bukan Siau-hi-ji? Anak muda yang sudah binasa terkurung di gudang es bawah tanah itu.
Betapa besar nyali Buyung Kiu juga tidak tahan, ia menuding Siau-hi-ji sambil berkata dengan suara gemetar, "Kau... kau...." belum lanjut ucapannya, tanpa ampun ia jatuh pingsan.
Walau pun tidak tahu seluk-beluk terkurungnya Siau-hi-ji di gudang es oleh Buyung Kiu itu, tapi melihat tubuh Siau-hi-ji penuh ular dan Buyung Kiu semaput saking ketakutan, mau tak mau Siau-sian-li pun ngeri, ia menjerit satu kali, lalu putar tubuh dan lari tanpa menoleh lagi.
Hanya sekejap saja bayangan Siau-sian-li sudah menghilang, bukan lantaran nyalinya kecil, soalnya kejadian ini teramat luar biasa dan sukar dipercaya, siapa pun pasti akan pecah nyalinya.
Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "O, ularku sayang, selanjutnya tak peduli akan membikin celaka diriku atau tidak, yang jelas aku harus berterima kasih padamu. Sedikitnya sudah dua kali kalian telah menyelamatkan jiwaku."
Yang paling bingung dengan sendirinya Thi Sim-lan, seperti orang linglung ia keluar dari tempat sembunyinya, ia pandang Siau-hi-ji dengan terbelalak heran, akhirnya ia tanya, "Apa yang terjadi?"
"Apa yang terjadi, kau sendiri kan sudah menyaksikan," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tapi... tapi bilakah engkau dicelakai Buyung Kiu? Katanya kau mati kelelap dan menjadi setan rendaman segala, sungguh aku... aku tidak mengerti."
"Anak perempuan memang lebih baik tidak mengerti, semakin banyak mengerti, semakin banyak pula kesukaranmu, cukup asalkan kau tahu aku masih mempunyai satu-dua jurus simpanan saja."
Thi Sim-lan termenung sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, "Kau memang mempunyai kepandaian simpanan, Buyung Kiu ternyata dapat kau gertak hingga kelengar, Siau-sian-li kena ditakuti olehmu hingga lari terbirit-birit. Kejadian ini kalau diceritakan kepada orang lain, mustahil orang mau percaya."
Siau-hi-ji memandang Buyung Kiu yang menggeletak tak sadarkan diri itu, katanya kemudian, "Menurut pendapatmu, cara bagaimana harus kukerjai dia?"
Thi Sim-lan berpikir sejenak, lalu menjawab, "Biarkan dia terbaring pingsan di sini, kita tinggal pergi saja." Tapi setelah melihat air muka Siau-hi-ji tiada tanda-tanda setuju, segera ia menyambung pula, "Atau... atau kau ringkus dia dengan rotan, bila dia siuman, pukul dia beberapa kali untuk melampiaskan dendammu."
"Hm, kebijaksanaan perempuan, pikiran perempuan," jengek Siau-hi-ji.
"Memangnya hukuman sekeras ini belum cukup?"
"Sudah tentu tidak cukup."
"Masakah akan... akan kau bunuh dia?"
"Jika tidak kubunuh dia, memangnya harus kutunggu dia yang membunuh aku?"
"Tapi kalau engkau membunuhnya sekarang, bukankah kurang gemilang?"
"Gemilang? Hm, waktu dia hendak membunuh aku juga tak pernah terpikir olehnya cara gemilang segala," jengek Siau-hi-ji.
"Tapi... tapi apa pun dia adalah perempuan!"
"Memangnya kalau perempuan bukan manusia? Perempuan harus diberi hak istimewa?"
Thi Sim-lan membanting-banting kaki dan berkata, "Sungguh tak kuduga engkau sedemikian... sedemikian kejam. Aku... aku...."
"Kalau kau tidak ingin menyaksikannya, silakan menyingkir pergi," kata Siau-hi-ji.
Dengan mendongkol Thi Sim-lan membanting kaki pula, lalu berlari pergi.
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya lagi, ia melototi Buyung Kiu dan bergumam, "Kau perempuan yang berhati keji ini, kalau tidak kubunuhmu berarti aku berdosa kepada diriku sendiri."
Setelah merandek sejenak, lalu ia menjengek pula, "Hm, kebetulan dapat kugunakan ular berbisa, ingin kulihat ular berbisa lebih jahat atau dirimu yang lebih beracun."
Habis itu ia lantas pegang tangan Buyung Kiu dan disodorkan kepada ular yang melilit di lengannya.
Saat itu rembulan sedang memancarkan sinarnya yang terang, wajah Buyung Kiu tertampak jelas, raut mukanya yang kekurus-kurusan potongan daun sirih tampak sangat pucat, bulu matanya yang panjang melengkung, kelopak matanya yang terpejam, walau pun dalam keadaan pingsan, tapi kelihatan sangat mempesona dan menimbulkan rasa kasihan.
Tangannya juga sangat halus dan lemas, tangan sebagus ini hendak disodorkan agar dipagut ular, siapa pula yang berhati setega itu?
Tangan Siau-hi-ji terasa sangat lemas, tapi bila teringat nona itu pernah mengurungnya di kamar batu hingga dirinya hampir mati kelaparan dan kedinginan, tanpa terasa api amarahnya berkobar pula. Segera ia menjengek, "Hm, apa pun juga kau tak dapat menyesali diriku, kalau kau tidak bermaksud membunuhku, tentu aku pun takkan membunuhmu...."
Tiba-tiba seorang menanggapinya dengan suara kalem, "Membunuh seorang anak perempuan dengan cara begitu, apakah tidak mengurangi nilai dirimu sebagai seorang lelaki?"
Siau-hi-ji melonjak kaget dan membentak, "Siapa itu?"
Baru saja ia bersuara, tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang, yaitu Bu-koat Kongcu yang sopan santun itu, di belakangnya berdiri pula tiga orang, yang dua berpakaian putih mulus, seorang lagi adalah Thi Sim-lan. Ketiga nona itu sedang memandang Siau-hi-ji dengan melotot seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat.
Dalam hati Siau-hi-ji entah betapa rasa gusarnya, tapi lahirnya dia tetap tertawa saja, ia masih memegangi tangan Buyung Kiu dan berkata dengan tersenyum, "Maksudmu aku tidak boleh membunuhnya?"
Dengan suara ramah Hoa Bu-koat menjawab, "Seorang lelaki adalah layak rada ramah-tamah terhadap anak perempuan, seumpama dia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik padamu juga kau harus mengalah mengingat dia adalah perempuan."
"Hahaha, sungguh Hoa-kongcu yang berbudi halus dan pintar menyelami perasaan orang," seru Siau-hi-ji sambil terbahak-bahak. "Di dunia ini terdapat lelaki seperti engkau, sungguh bahagialah kaum wanita. Seharusnya perempuan di seluruh dunia ini harus bersatu dan memberikan medali emas kepadamu."
"Ah, masakah begitu?" sahut Hoa Bu-koat dengan tersenyum.
Tapi Siau-hi-ji lantas menambahkan pula, "Dan kalau kau hendak dibunuh orang perempuan, lalu bagaimana sikapmu, apakah kau akan memejamkan mata membiarkan dirimu terbunuh? Masakah kau tidak melawannya sama sekali?"
"Jika aku berbuat sesuatu yang salah padanya, andaikan dibunuhnya juga aku tidak menyesal," jawab Hoa Bu-koat dengan kalem.
"Tapi bila si perempuan yang berbuat sesuatu kesalahan padamu, kau membunuhnya tidak?"
"Betapa pun lelaki harus mengalah sedikit kepada orang perempuan."
"Hah, jalan pikiranmu ini entah kau belajar dari mana? Kalau menurut dirimu, jadi semua lelaki di dunia pantas mampus, semuanya harus terjun ke laut."
"Juga tidak perlu begitu," ucap Hoa Bu-koat dengan tertawa.
Siau-hi-ji melotot dongkol, ia menjadi bingung apakah Hoa Bu-koat ini orang pintar atau bodoh atau pura-pura bodoh.
Dengan tersenyum simpul Hoa Bu-koat memandang Siau-hi-ji, tidak mengunjuk gusar dan juga tidak cemas, kalau saja dia memang lemah lembut begitu tentu sejak tadi Siau-hi-ji sudah ayun tangan mengamparnya. Celakanya Siau-hi-ji tidak berani bertindak demikian, soalnya ilmu silat Hoa Bu-koat benar-benar teramat tinggi baginya.
Terpaksa Siau-hi-ji hanya menghela napas dan berkata pula, "Jadi maksudmu supaya aku membebaskan dia?"
"Ya, jika saudara membebaskan dia baru sesuai dengan perbuatan seorang ksatria sejati," ucap Hoa Bu-koat.
"Sekarang kubebaskan dia, kalau kelak dia membunuh diriku, lalu bagaimana?"
"Urusan yang belum terjadi kan sukar diramal oleh siapa pun, betul tidak?"
"Baik, kalau kubunuh dia berarti bukan perbuatan seorang lelaki atau ksatria sejati, sebaliknya kalau dia hendak membunuhku adalah tindakan yang jamak, perbuatan yang adil, jika kuterbunuh juga pantas, begitu bukan?"
"Bukan begitulah maksudku," jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum, "hanya saja...."
"Aku tidak pedulikan apa maksudmu, yang jelas sekarang aku tidak mampu menandingimu, andaikan kau kentut juga harus kudengarkan. Tapi bila kelak kau tak dapat menandingi aku, di hadapanmu nanti akan sengaja kubunuh beberapa perempuan." Habis itu Siau-hi-ji lantas mencampakkan tangan Buyung Kiu dan menambahkan pula, "Nah, anggaplah kau lebih lihai, bawalah dia pergi!"
Hoa Bu-koat juga tidak gusar oleh ejekan itu, dia tetap tersenyum dan berkata, "Terima kasihlah kalau begitu."
Dalam pada itu si nona muka bulat berbaju putih tadi lantas memburu maju dan memondong Buyung Kiu. Jengeknya dengan melotot kepada Siau-hi-ji, "Kalau saja Kongcu tidak hadir di sini, tentu sejak tadi sudah kubunuhmu agar kau tahu lihainya kaum perempuan."
"Hm, silakan saja sesukamu," dengus Siau-hi-ji, "Mau membunuh atau ingin memaki boleh silakan saja sebab kau adalah perempuan dan perempuan memang dilahirkan untuk memaki lelaki. Betul tidak, Hoa-kongcu?"
Hoa Bu-koat tertawa, jawabnya, "Lelaki yang dimaki perempuan terhitung orang yang bahagia. Ada sementara lelaki, jangankan didekati anak perempuan, memakinya saja si perempuan tidak sudi."
"Hahaha, jika begitu, jadi aku ini sungguh berbahagia, kelak aku pun perlu mencari beberapa orang perempuan untuk membikin bahagia padamu."
"Jika betul, kelak Cayhe akan pasang telinga dan mendengarkan dengan hormat," ujar Hoa Bu-koat dengan tersenyum.
Mata Siau-hi-ji jadi mendelik, hampir saja dadanya meledak saking dongkolnya.
Maklumlah, kedua anak muda ini sejak kecil hidup di dunianya sendiri-sendiri. Yang satu dibesarkan di Ih-hoa-kiong, suatu tempat yang tiada terdapat orang lelaki, seluruh penghuni Ih-hoa-kiong seratus persen adalah perempuan, sejak kecil di bawah pengaruh orang perempuan, setiap saat hanya perempuan yang dilihatnya dan dididik pula oleh orang perempuan.
Sebaliknya yang seorang dibesarkan di suatu lembah yang terdiri dari lelaki melulu, total jenderal cuma ada seorang "setengah perempuan" saja. Kalau kaum lelaki berkumpul, maka dapatlah dibayangkan bagaimana pandangan mereka terhadap orang perempuan.
Sebab itulah jalan pikiran kedua anak muda ini sama sekali berbeda, watak dan tabiatnya dengan sendirinya juga tidak sama. Jadinya kedua anak muda itu memang pasangan yang berlawanan.
Dalam pada itu Ho-loh juga telah menarik tangan Thi Sim-lan dan berkata, "Marilah nona, kau pun ikut pergi bersama kami."
"Aku... aku...." Thi Sim-lan menunduk ragu, berulang-ulang ia melirik ke arah Siau-hi-ji.
"Lelaki begitu, untuk apa menggubrisnya, marilah ikut kami pergi saja," kata si muka bulat dengan gemas.
"Kongcu kami juga ingin bercakap-cakap dengan engkau," ujar Ho-loh dengan tersenyum.
"Ya, pergi, lekas pergi bersama mereka," teriak Siau-hi-ji, "Walau pun sekarang aku sial, tapi masih mendingan, bila kau tetap mengintil diriku, mungkin aku akan tambah sial."
Thi Sim-lan semakin menunduk, air matanya tampak berlinang-linang.
Segera si nona muka bulat menarik Sim-lan dan berkata, "Jangan gubris dia, ayolah kita pergi!"