"Orang tua menyuguh jangan ditolak," kata si kambing, segera ia mendahului menyumpit sepotong Loh-se-bak terus dilalap sembari tiada hentinya memuji kelezatannya. Setelah dia habis makan sepotong, dalam pada itu si sapi sudah melalap lima potong.
Siau-hi-ji juga habis meneguk dua cawan arak sehingga semakin menambah rasa gembiranya. Katanya kemudian, "Tampaknya ilmu pedang Go-bi-pay memang hebat, setiap kawan Kangouw yang datang ke sini ternyata bicara sedikit keras saja tidak berani, haha, lambat atau cepat aku harus belajar kenal dengan ilmu pedang mereka."
"Bila engkau orang tua sudah turun tangan, pasti kawanan Tosu Go-bi-pay itu akan lari kalang kabut," demikian si sapi mengumpak.
Si kambing menatap kantongan Hiosoa yang dibawa Siau-hi-ji itu, tanyanya, "Apakah engkau orang tua akan naik ke Go-bi-san?"
"Sebenarnya aku ingin pergi bersama kalian agar kalian bertambah pengalaman, tapi kalian ternyata tidak berani perlihatkan diri di depan umum, terpaksa aku pergi sendirian."
"Bilakah engkau akan berangkat?" tanya si sapi.
"Besok pagi-pagi," jawab Siau-hi-ji.
Tiba-tiba si sapi menghela napas dan berkata, "Cuma sayang rencanamu perlu diubah lagi."
"Mengapa harus diubah?" tanya Siau-hi-ji sambil mengernyitkan kening.
Si sapi tidak menjawab melainkan tertawa saja, tertawa yang sangat aneh.
Dengan tertawa terkekeh si kambing lantas menukas, "Hah, masakah kau anak jadah ini belum lagi mengetahui?"
Bahwa dari sebutan "engkau orang tua" mendadak berubah menjadi "anak jadah", betapa pun Siau-hi-ji terkejut juga. "Brak", anak muda itu lantas menggebrak meja dan berbangkit mendadak sambil mendamprat, "Kau bandot tua, berani kau...." belum habis ucapannya, dengan lemas ia lantas roboh terkulai.
"Hehe, anak jadah, sekarang tentunya kau tahu persoalan bukan?" kata si kambing.
"A... arak itu beracun!" ucap Siau-hi-ji dengan suara lemah.
"Nah, kau baru nyaho sekarang," jengek si sapi. "Karena khawatir sukar mengakali kau, kami minum bersamamu dari poci arak yang sama, namun sebelumnya kami sudah minum obat penawar."
"Meng... mengapa kalian berbuat begini?" tanya Siau-hi-ji.
"Memangnya kau kira kedatangan kami ke Buyung-san-ceng itu lantaran kami mengincar obat mujarab Buyung? Huh, kalau cuma obat buatan budak-budak keluarga Buyung itu kiranya belum perlu bikin repot Cap-ji-she-shio."
"Bicara terus terang, kedatangan kami ke sana adalah untuk mencari kau," demikian si sapi menyambung.
"Soalnya di dunia ini mungkin hanya kau saja yang mengetahui tempat penyimpanan harta karun Yan Lam-thian itu," kata si kambing pula. "Demi berhasil membekuk dirimu, Coa-lolak (si ular nomor enam, maksudnya Pek-coa-sin-kun) kita telah memasang mata-mata di sekeliling Buyung-san-ceng di samping mengirimkan berita merpati kepada kami. Siapa tahu baru saja kami menyusul ke sana, si budak Buyung Kiu itu ternyata sudah kabur tanpa bekas."
"Tapi jelas kau masih ditinggalkan di dalam perkampungannya," sambung si sapi pula. "Kami lantas masuk ke situ untuk mencarimu, tapi meski kami sudah mencari ubek-ubekan, bayanganmu sama sekali tak ditemukan. Saking mendongkol kami lantas menyalakan api dan membakar perkampungan Buyung itu."
"Setelah rumah-rumah itu menjadi puing barulah kami melihat gudang batu itu," si kambing menyambung pula. "Rupanya kau anak jadah ini berbuat sesuatu sehingga kau dikurung di penjara berair itu."
"Sebenarnya tidak perlu heran," ujar si sapi, "Si budak Buyung Kiu memang suka girang dan marah tidak menentu...."
"Tapi mengapa kemudian tertinggal kalian berdua saja?" tanya Siau-hi-ji.
"Sebelumnya kami sudah tahu kau anak jadah ini banyak tipu muslihat," jawab si sapi dengan tertawa. "Kalau kami paksa kau mengaku di mana tempat penyimpanan harta karun itu, bukan mustahil kau akan menjebak kami dengan akal setanmu. Selain itu kalau kau sembarangan menunjukkan sesuatu tempat, bukankah kami akan berputar sia-sia bersamamu, belum lagi kalau di tengah jalan kau sempat lolos, bukankah tambah penasaran?"
"Tapi saudara sapi kita sudah memperhitungkan dengan tepat, apa bila kau dapat bergerak, maka tempat yang pertama-tama yang kau tuju pasti tempat penyimpanan harta karun Yan Lam-thian itu," ujar si kambing. "Makanya dia lantas memasang jeratan ini agar kau masuk perangkap."
"He, jadi kau yang mengatur perangkap ini?" tanya Siau-hi-ji sambil menatap tajam kepada si sapi.
"Tak terduga olehmu bukan?" jawab si sapi.
Karena terkena obat bius yang dicampur di dalam arak, tubuh Siau-hi-ji tak dapat bergerak, terpaksa dia menghela napas dan berkata sambil meringis, "Sungguh orang tidak boleh dinilai berdasarkan bentuknya, sapi goblok sebagai kau ternyata juga mempunyai akal setan, sungguh mimpi pun tak pernah kuduga."
"Hah, orang Kangouw yang pernah terjebak oleh akal saudara sapi kita jumlahnya sukar dihitung, kau anak jadah ini juga bukan orang pertama, kenapa kau mesti menyesal dan gegetun?" ujar si kambing dengan terkekeh.
"Tapi dari mana kau kenal diriku?" tanya Siau-hi-ji.
"Kau berada bersama putri Ong-say Thi Cian, dengan sendirinya kau ada hubungan erat dengan Cap-toa-ok-jin," tutur si sapi. "Makanya aku sengaja mengucap salah seorang di antara kesepuluh top penjahat itu dan kau terus percaya penuh dan masuk perangkap sendiri."
"Ini namanya salah pukul tapi kena dengan tepat, anggaplah kalian lagi mujur," kata Siau-hi-ji.
"Memangnya aku pun lagi heran Cap-ji-she-shio yang terkenal mahabusuk, mengapa bisa berubah sedemikian penurut. Hah, tak tahunya bagiku juga ada kalanya terjadi 'kapal terbalik di selokan'."
"Huh, memangnya kau anak jadah kecil ini menganggap dirimu paling pintar?" jengek si sapi sambil tertawa. "Terus terang kukatakan, untuk dapat berkecimpung di dunia Kangouw, kau masih terlalu jauh dan perlu belajar sepuluh tahun lagi."
"Kami Cap-ji-she-shio ini tokoh macam apa, kalau saja kami tidak sengaja hendak menipu kau, mana bisa kami bersikap begini padamu?" kata si kambing. "Hm, biar pun Li Toa-jui datang sendiri juga kami menganggapnya sebagai kentut belaka, apa lagi cuma anak jadah kecil macam dirimu ini."
"Sekarang kalau kau mau mengaku di mana letak tempat penyimpanan harta karun itu bisa jadi kami akan mengampunimu," ucap si sapi dengan menyeringai. "Kau bukan anak bodoh, tentu tahu bagaimana akibatnya jika tetap bandel."
Dengan mata terbelalak Siau-hi-ji mendengarkan ocehan mereka, setelah ocehan mereka agak kendur, mendadak ia bergelak tertawa dengan gaya sangat gembira.
Si kambing menjadi gusar, dampratnya, "Haram jadah kecil, memangnya kau kira kami tidak mampu membuat kau mengaku terus terang?"
"Haram jadah tua, memangnya kau kira aku benar-benar terjebak oleh perangkap kalian?" Siau-hi-ji balas berolok-olok dengan tertawa.
"Hah, kau masih ada permainan apa, coba katakan," ucap si sapi.
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, jawabnya, "Ai, untuk berkata sih tidak sulit, yang kukhawatirkan adalah sebelum habis kubicara mungkin jiwa kalian sudah melayang."
"Apa betul?" kata si sapi tetap dengan tertawa.
Siau-hi-ji juga tertawa, jawabnya, "Tidak betul! Soalnya Loh-se-bak yang kalian makan itu tidak beracun, sedikit pun tiada racunnya."
Belum habis ucapannya, si sapi dan si kambing sama-sama tidak dapat tertawa lagi. Segera si kambing mencengkeram leher baju Siau-hi-ji dan membentak, "Haram jadah kecil, apa katamu?"
"Kataku kalian jadah tua ini sangat pintar dan aku ini orang tolol," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sebab besok juga aku akan berangkat dan mulai mencari harta karun, meski kalian tidak diperbolehkan ikut, aku tidak sampai hati meracuni kalian, makanya tidak kutaruh racun dalam Loh-se-bak yang kalian makan itu."
Semakin dia bilang tidak menaruh racun, semakin ketakutanlah si kambing, air mukanya bertambah pucat, dengan suara parau ia membentak pula, "Le... lekas keluarkan obat penawarnya!"
"Ya, ya jangan khawatir, pasti akan kuserahkan obat penawarnya agar nanti kalian dapat membunuhku dengan bebas," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Hahaha, jangan lupa, selama kalian memerlukan diriku untuk menemukan harta karun, selama itu pula takkan meracuni aku. Sebaliknya aku tidak memerlukan kalian, memangnya aku tidak berani meracuni kalian? Haha, jangan lupa pula bahwa obat bius takkan membinasakan orang, sedangkan racun dapat membuat jiwa kalian melayang."
Tiba-tiba si sapi tertawa, ia menarik tangan si kambing dan berkata, "Benar, memang benar, kita ini tolol dan tidak tahu urusan. Kita dikatakan kena racunnya, maka kita benar-benar menganggap diri kita sudah keracunan."
"Ya, hendaklah kalian jangan mau percaya," tukas Siau-hi-ji. "Tapi kalau saat ini kalian mau meraba tulang iga kelima di sisi kiri, yakni di bagian Ling-kin-hiat, kutanggung takkan terdapat sesuatu tanda penyakit apa pun, maka sebaiknya kalian tidak usah merabanya."
Belum habis dia bilang "tidak usah meraba", tanpa kuasa tangan si sapi dan si kambing sudah lantas meraba Ling-kin-hiat di bagian iga masing-masing. Celakanya, begitu tempat itu teraba, seketika wajah berubah menjadi pucat, kedua orang saling pandang memandang dengan melongo.
"O, tidak menjadi soal kalau di situ terasa kemeng," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kujamin dalam waktu sejam-dua jam kalian takkan mati, jika perlu kalian masih sempat membunuhku lebih dulu."
Meski dia suruh mereka membunuhnya, tapi biar pun nyali kedua orang itu ditambah satu kali lipat juga mereka tidak berani turun tangan. Maklumlah, kalau Siau-hi-ji mati, lalu siapa yang akan memberikan obat penawar?
Akhirnya si kambing bertanya, "Kau... kau sesungguhnya mau apa?"
"Apa bila kujadi kalian, saat ini aku akan tunduk dan menawarkan dulu obat bius yang diminum olehku, habis itu berusaha menjilat dan mengambil hatiku agar rasa dongkolku terlampiaskan, kemudian bersumpah berat bahwa kalian akan senantiasa tunduk kepada perintahku, sedikit pun tidak berani membangkang...."
"Tapi kalau sudah kutawarkan obat bius yang kau minum, lalu kau tidak menawarkan racun kami, lantas bagaimana?" ucap si sapi dengan napas tersengal.
"Ya, ya, benar juga, jika kau tidak menawarkan obat biusku, masakah aku mesti menawarkan racunmu?"
Si kambing dan si sapi saling pandang sekejap, habis itu mendadak mereka mendekati Siau-hi-ji.
Namun dengan adem ayem anak muda itu berkata pula, "Racun di dunia ini terkadang tak dapat ditawar dengan obat, apa lagi selain yang menaruh racun, orang lain sukar mengetahui sampai di mana kadar racunnya. Tapi kalau kalian tidak percaya, boleh juga silakan kalian mencobanya."
Serentak si sapi dan si kambing tidak jadi melangkah maju, suruh mereka mencoba dengan barang lain tentu jadi, tapi suruh mereka mencoba dengan jiwa mereka sendiri, betapa pun mereka harus pikir-pikir dulu. Di dalam hati mereka serentak pula timbul pikiran yang sama, "Biar pun kami bersumpah dan setelah minum obat penawar, memangnya kami tidak dapat membinasakan dia? Sumpah bagi kami adalah seperti omong kosong belaka."
Maka mereka tidak bicara lagi, berbareng mereka berlutut dan mengucapkan sumpah yang paling keras, lalu dengan sangat hormat mereka mengeluarkan obat penawar dan dilolohkan ke mulut Siau-hi-ji.
Selang tak lama, dapatlah Siau-hi-ji berdiri, ia tepuk-tepuk debu di bajunya, lalu berkata dengan tertawa, "Obat bius dan obat penawar Cap ji-she-shio ternyata sama manjur."
"Hehe, obat penawar engkau orang tua tentu terlebih manjur," ucap si sapi dengan menyengir.
"Obat penawar apa?" tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.
Seketika perut si sapi dan si kambing seakan-akan ditendang orang, serentak mereka berteriak, "He, kau... kau...."
"Jangan khawatir, hahaha, aku hanya menggoda kalian saja," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa sambil mengeluarkan sebuah botol kecil, lalu menambahkan, "Sebenarnya obat penawar berada di bajuku, mengapa kalian tadi tidak mau menggeledah badanku? Ai, manusia terkadang memang tidak boleh terlalu percaya kepada ucapan orang lain."
Sungguh gusar dan geregetan si sapi dan si kambing, kalau bisa mereka ingin mencekik mampus anak muda itu. Tapi menyelamatkan jiwa sendiri lebih penting, tanpa pikir si sapi lantas mendahului menyerobot botol kecil yang dipegang Siau-hi-ji itu dan sebagian besar isi botol itu dituang sekaligus ke dalam mulutnya.
"He, mengapa kau minum se... sebanyak itu?!" bentak si kambing cemas.
Dengan tertawa si sapi menjawab, "Tubuhku lebih gede, adalah pantas kalau mendapat bagian lebih banyak."
Dengan mendongkol si kambing merampas botol kecil itu dari tangan si sapi, sisa obat lantas diminumnya semua, habis itu mereka memandang Siau-hi-ji, dalam hati mereka berpikir, "Haram jadah kecil, sekarang coba kau akan lari ke mana."
Siau-hi-ji juga sedang memandang mereka, katanya, "Sekarang coba kalian meraba tempat tadi, apakah masih kemeng atau tidak."
Tanpa terasa kedua orang lantas meraba iga masing-masing dan benar juga rasa sakit kemeng tadi sudah lenyap.
"Mujarab benar obat penawarmu ini," ujar si kambing dengan tertawa.
"Dan sekarang coba kau...."
Belum habis ucapan si sapi, tiba-tiba Siau-hi-ji bergelak tertawa dan berkata pula, "Tadi waktu meraba bagian iga, di situ kebetulan adalah tempat pertemuan aliran darah di tubuh kalian, biar pun diraba perlahan juga akan terasa sakit dan kemeng, kini aliran darah itu sudah lewat ke tempat lain, dengan sendirinya tidak terasa sakit lagi"
Keterangan ini membuat pula si sapi dan si kambing gemas setengah mati sehingga dada mereka seakan-akan meledak.
"Haram jadah kecil, kiranya kau menipu kami," teriak si kambing dengan suara serak.
"Benar, aku memang sengaja menipu kau si haram jadah tua ini," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Mengapa kalian tidak berpikir, kan Loh-se-bak itu bukan buatanku, cara bagaimana aku dapat menaruh racun di situ? Apa lagi kalau kutaruh racun, mengapa kalian tidak mampus keracunan?"
"Hahahaha!" mendadak si sapi bergelak tertawa. "Ya, anggaplah kau memang pintar dan cerdik, tapi kami juga tidak goblok. Ketahuilah bahwa bius itu meski sudah punah, tapi dalam setengah jam kau tetap belum mampu mengerahkan tenaga dan dengan mudah saja dapat kucabut nyawamu."
"O, betul begitukah?" ucap Siau-hi-ji.
"Tidak betul, masakah kusampai hati menyembelih kau, aku cuma mau memotong hidungmu, sebelah telingamu, sebelah tanganmu, dan sebelah kakimu," kata si sapi dengan menyeringai.
"Aduh, celaka, aku menjadi ketakutan!" ujar Siau-hi-ji sambil berlagak ngeri.
"Jangan takut, aku bukan Li Toa-jui, takkan makan kau, hanya akan memotong dagingmu untuk umpan anjing," kata si sapi sembari mendekati anak muda itu.
Akan tetapi Siau-hi-ji tidak ambil pusing padanya, bahkan memandangnya saja tidak, mulutnya bergumam perlahan, "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh...." Baru saja menghitung sampai tujuh, saat itu tangan si sapi pun menghantam tiba.
Namun Siau-hi-ji tetap diam saja dan sama sekali tidak menggubrisnya.
Aneh juga, entah mengapa, baru saja pukulan si sapi dilontarkan, belum lagi mencapai sasarannya, tahu-tahu tubuh sendiri jadi gemetar, air mukanya berubah, mendadak ia jatuh terjungkal. Tertampak kedua matanya mendelik dan mulut berbusa laksana orang sakit ayan.
"He, ken... kenapa jadi begini?" teriak si kambing kaget.
"Ah, tidak apa-apa, Loh-se-bak yang dimakannya tak beracun, tapi obat penawarnya yang beracun," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Lantaran dia suka main serobot dan ingin makan lebih banyak, dengan sendirinya ia pun roboh terlebih-dahulu dan lebih cepat."
Si kambing menggerung gusar terus menubruk maju, tapi baru saja badan terapung ke atas, laksana balok saja terus terjungkal ke bawah sehingga batok kepalanya membentur lantai dan benjut.
"Hahaha, sekali ini kau benar-benar jadi kambing bertanduk...." Siau-hi-ji berkeplok tertawa.
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong seorang membentak di luar, "Huh, sudah tua begitu kena dipermainkan anak kecil, kalian si kambing dan si sapi ini masakah ada muka buat berkecimpung pula di dunia Kangouw?"
"Siapa itu?!" bentak Siau-hi-ji kaget.
Tertampak jendela terbuka sedikit, seorang manusia ular terus memberosot masuk, tubuhnya menghijau gilap dan licin. Siapa lagi dia kalau bukan Pek-coa-sin-kun, si ular dari Cap-ji-she-shio.
Berputar biji mata Siau-hi-ji, segera ia menegur dengan tertawa, "Eh, sudah lama tak bersua, baik-baikkah engkau? Silakan duduk dan minum-minum dulu."
Pek-coa-sin-kun menyeringai, katanya dengan dingin, "Supaya kau tahu, obat bius yang mereka taruh di dalam arak itu adalah buatanku yang khas, terhadap khasiat obat bius itu rasanya akulah yang paling tahu, biar pun kau membual untuk mengulur waktu juga tiada gunanya, seumpama kau mengoceh lagi setengah hari juga tetap sukar bagimu untuk mengerahkan tenaga."
"Wah, jika begitu tampaknya hari ini aku memang lagi apes dan sukar lolos dari maut," ucap Siau-hi-ji.
"Betul, memang begitulah?" ujar Pek-coa-sin-kun.
Dalam pada itu terdengar si kambing dan si sapi sedang merintih, mata mereka masih dapat memandang, sekujur badan terasa kaku, kaki dan tangan tak bisa bergerak, ingin bicara juga sukar, obat bius ini ternyata berpuluh kali lebih lihai daripada obat bius buatan Pek-coa-sin-kun.
Keruan mau tak mau Pek-coa-sin-kun terkesiap juga melihat kedua temannya itu, tanpa terasa ia berseru, "He, 'Kiang-si-san' (puyer mayat hidup) si setengah manusia separo setan Im Kiu-yu!"
"Hah, tampaknya pandanganmu juga cukup tajam," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, "tadi mereka berebut minum obat, kukira setengah jam lagi mereka akan berubah menjadi mumi (mayat yang kaku). Meski tidak lantas mampus, tapi selanjutnya mereka hanya dapat berjalan jalan dengan berlompat-lompat. Haha, bakal ada kambing dan sapi berkeluyuran sepanjang jalan, kukira pasti sangat menarik."
Mendengar ucapan anak muda itu, keringat dingin sama merembes keluar sebesar kedelai di jidat si kambing dan si sapi, suara rintihan mereka pun bertambah keras.
Pek-coa-sin-kun memandang mereka sekejap, katanya, "Apakah kedua saudara ingin kutolong kalian lebih dulu?"
Sekuatnya si sapi dan si kambing berusaha mengangguk, namun kepala mereka hanya dapat bergerak sedikit saja.
"Hehehe!" Pek-coa-sin-kun menyeringai. "Rezeki kalau terbagi menjadi tiga, rasanya terlalu sedikit jumlahnya, apa lagi kalian sudah berjanji akan meninggalkan tanda sepanjang jalan agar aku dapat menyusul kemari, tapi mana itu tanda-tanda? Untung sebelumnya Siaute sudah tahu kepribadian kalian dan diam-diam menugaskan orang bercampur baur di antara anak cucu yang membuntuti kalian, kalau tidak mungkin saat ini sukar bagiku untuk menemukan kalian di sini."
Keringat dingin semakin menderas di dahi si sapi dan si kambing, sorot mata mereka mengunjuk rasa takut.
Berkedip-kedip sinar mata Pek-coa-sin-kun, katanya pula dengan terkekeh, "Biasanya kalian memang suka bermain setan-setanan, kalau sekarang kalian benar-benar berubah menjadi mumi, bukankah sangat menarik juga." Habis itu mendadak tertawanya berhenti terus melangkah ke arah Siau-hi-ji.
"Eh, kalau kau hendak menutuk Hiat-toku, kuharap jangan terlalu keras," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Soalnya saat ini aku tak dapat mengerahkan tenaga, jika kumati tertutuk, tamatlah segalanya."
"Jika begitu aku takkan menutuk Hiat-tomu," kata Pek-coa-sin-kun dengan menyeringai, "Cukup kusuruh 'Pek-si' menggigit perlahan sekali, kau takkan merasa sakit, bahkan terasa rada-rada gatal dan nikmat, rasanya jauh lebih enak daripada memeluk perempuan."
Di tengah ucapannya itu, tiba-tiba tertampak seekor ular kecil warna hijau gilap menyusup keluar dari lengan bajunya, ular itu hanya sebesar cacing, tapi lidahnya yang merah itu tampak mulur mengkeret dan merayap dengan gesit sekali, sungguh mengerikan dan menakutkan.
Betapa pun tabahnya Siau-hi-ji, tidak urung berubah juga air mukanya sekarang.
Anehnya lengan baju Pek-coa-sin-kun itu seolah-olah ada sarang ularnya, hanya sekejap saja belasan ular hijau sebesar cacing dan sepanjang sumpit sama merayap ke kuduknya, ada pula yang menyusup ke leher bajunya. Belasan ekor ular kecil yang dingin dan licin itu merayap-rayap di seantero tubuh, rasanya dapatlah dibayangkan.
Sekujur badan Siau-hi-ji serasa kaku, biar pun bertenaga juga tidak berani sembarangan bergerak.
Pek-coa-sin-kun mengacungkan jari tengah dan ibu jarinya serta berkata, "Asalkan jariku menjentik perlahan, segera kau akan tenggelam ke surga impian, hehe, seakan-akan belasan perempuan merangkul kau sekaligus, rasa nikmat itu sungguh menggetar kalbu, selain kau kiranya tiada orang lain yang mampu merasakannya."
"Jika begitu rasanya merangkul perempuan, pantaslah kalau orang cerdik pandai lebih suka menjadi Hwesio," ucap Siau-hi-ji.
"Huh, kau sendiri belum merasakan, dari mana tahu...."
"Ahah, terima kasih banyak-banyak, rasa nikmat ini lebih baik tak kurasakan," seru Siau-hi-ji.
"Maksudmu kau minta ampun?"
"Sudahlah," ucap Siau-hi-ji dengan menyengir, "Kau ingin ke mana, biarlah kubawa kau ke sana."
Bercahaya sinar mata Pek-coa-sin-kun, saking girangnya suaranya sampai serak, katanya, "Apakah memang betul tempat penyimpanan harta karun itu terletak di atas Go-bi-san sini?"
"Ya, sedikit pun tidak salah," sahut Siau-hi-ji.
Pek-coa-sin-kun menelan air liur, katanya pula, "Jika demikian, malam nanti dapatlah kutemukan harta karun itu."
"Bukan saja dapat kau temukan, bahkan boleh kau bawa pergi."
"Jika begitu, ayolah berangkat!" serentak Pek-coa-sin-kun melompat bangun.
"Berangkat? Tapi... tapi... ular-ular ini?"
"Kubiarkan tubuhmu dirangkul kawanan ular betina cantik ini, boleh dikatakan kau mendapat rezeki besar."
"Dirangkul si cantik sebanyak ini, mana aku sanggup berjalan pula?"
"Soalnya aku merasa tidak mampu mengawasi dirimu terpaksa kuminta bantuan mereka. Asalkan kau menurut, mereka pasti lemah lembut padamu, tapi kalau kau sembarangan bergerak, bila mulut mereka yang mungil itu mencium tubuhmu, hehehe, hahaha...." mendadak Pek-coa-sin-kun terkekeh-kekeh.
Tiada jalan lain, terpaksa Siau-hi-ji menurut perintah, ia berdiri terus berangkat, sama sekali tidak sembarangan bergerak, bahkan batuk saja tidak berani. Selama hidupnya belum pernah sealim ini.
Sekeluarnya dia masih terdengar suara rintihan si kambing dan si sapi yang masih tergeletak di lantai kamar itu, suaranya memelas, seperti mohon ampun dan seperti juga sedang mencaci maki, biar pun orang berhati baja juga pasti terharu bila mendengar. Tapi hati Pek-coa-sin-kun ternyata jauh lebih keras daripada baja, pada hakikatnya dia tidak ambil peduli, apa lagi Siau-hi-ji, keselamatannya sendiri saja tak terjamin, bagaimana dia dapat mengurusi kepentingan orang lain?
Tiba-tiba dari depan datang seorang pelayan, melihat Siau-hi-ji, pelayan itu memberi hormat dan menyapa, "Siauya, engkau...." tapi belum habis ucapannya, demi nampak muka Siau-hi-ji, seketika ia menjerit dan jatuh kelengar saking kagetnya seperti melihat hantu.
Dengan meringis Siau-hi-ji berucap, "Saat ini bentukku sangat menarik, telingaku berhias dua ekor ular, leherku juga berkalung ular, pergelangan tangan memakai gelang ular, jadi komplet perhiasan yang kupakai, kelak kalau ada kesempatan, perhiasan ini harus kuhadiahkan kepada Buyung Kiu."
Dia bergumam sendiri, Pek-coa-sin-kun sama sekali tidak menggubrisnya.
"Sebenarnya peta harta karun itu tidak begitu jelas lukisannya, aku memerlukan dua malam suntuk barulah dapat meraba letak tempatnya, siapa tahu kau yang mendapatkan untungnya," demikian Siau-hi-ji berkata pula.
"Di mana tempatnya? Bagian depan atau belakang gunung?"
"Belakang gunung...." belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong kepalanya telah dikerudungi sepotong kain hitam.
"Dari sini ke belakang gunung tidak memerlukan petunjukmu," kata Pek-coa-sin-kun dengan dingin. "Jika kau cerdik, kau harus menurut saja dan jangan coba-coba bertingkah untuk menarik perhatian orang lain."
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, tapi di mulut ia berkata dengan tertawa, "Untuk apa kutarik perhatian orang lain? Di dunia ini aku hanya punya musuh, mana ada kawan?"
"Tutup mulut!" bentak Pek-coa-sin-kun mendadak.
"Ai, bicara saja tidak boleh?" omel Siau-hi-ji. Dia benar-benar seperti orang buta dan dituntun orang, tapi kini dia terpaksa berubah pula menjadi bisu.
Kalau Pek-coa-sin-kun berjalan cepat, terpaksa, ia ikut cepat, bila orang berjalan lambat, mau tak mau ia pun melangkah perlahan, mengenai tempat mana yang dilaluinya sama sekali ia tidak tahu.
Tidak lama, suasana terasa mulai sepi, angin meniup sejuk, sekonyong-konyong Siau-hi-ji merasa ditarik orang ke tengah semak-semak. Seketika terpikir olehnya, "Apa barangkali keparat ini melihat seseorang yang ditakutinya...."
Segera terdengar Pek-coa-sin-kun mengancam di tepi telinganya, "Awas, jangan bersuara jika sayang akan jiwamu."
Baru saja habis ucapannya, kira-kira belasan meter di sebelah sana berjangkit suara orang berkata, "Budak she Thi itu mengapa mendadak menghilang di sekitar sini?"
Mendengar suara nyaring itu, setiap katanya selalu membuat jantung Siau-hi-ji berdegup. Kiranya itulah suara Siau-sian-li Thio Cing. Mengapa nona itu bisa muncul di sini?
Menyusul lantas terdengar suara seorang lagi berkata, "Bisa jadi dia mengetahui penguntitan kita." Suara orang ini dingin ketus, jelas suara Buyung Kiu-moay.
Seketika jantung Siau-hi-ji berdetak-detak keras, biasanya dia sudah kabur secepatnya apa bila tahu kedua nona itu berada di dekatnya. Tapi kini dia berbalik berharap semoga kedua nona itu lekas kemari, makin cepat makin baik. Tiba-tiba ia merasakan kedua nona ini meski musuhnya, tapi juga dapat dianggap sebagai anggota keluarganya.
Terdengar Siau-sian-li sedang berkata pula, "Kita menguntit dia sepanjang jalan dan dia tidak tahu sedikit pun, masakah sampai di sini mendadak dia menyadari jejaknya dikuntit? Melihat tingkah lakunya yang linglung, yang dipikirnya jelas cuma si setan cilik itu melulu, seumpama di belakangnya mengintil satu barisan orang juga dia tidak merasakannya."
"Jika begitu masakah kau khawatir takkan menemukan dia?" ucap Buyung Kiu dengan hambar.
"Yang kukhawatirkan adalah... adalah...."
"Tak dapat menemukan setan cilik itu, maksudmu?" jengek Buyung Kiu.
"Benar," jawab Siau-sian-li. "Aku benar-benar khawatir tak dapat menemukan setan cilik itu dan khawatir tak dapat mengorek hatinya untuk dilihat bagaimana bentuk dan warnanya."
"Tidak perlu dilihat juga kau harus tahu... pasti hitam!" kata Buyung Kiu.
Suara mereka ternyata tidak mendekat, sebaliknya malah semakin menjauh. Sungguh Siau-hi-ji ingin berteriak memanggil mereka, tapi ia menyadari bila dirinya bersuara, maka kawanan ular "cantik" akan menggigitnya sekaligus dan urusan pasti runyam. Terpaksa ia bersabar, asalkan jiwa selamat, segala urusan masih dapat dipikirkan.
Dari percakapan kedua nona tadi Siau-hi-ji dapat menerka Buyung Kiu-moay dan Siau-sian-li pasti sengaja membebaskan Thi Sim-lan, habis itu mereka lantas menguntitnya secara diam-diam. Ini adalah akal kuno dan sederhana, tapi akal ini justru paling mudah dilaksanakan. Lantas ke manakah Thi Sim-lan saat ini?
Beradanya Thi Sim-lan di sini sudah tentu bukan harta karun itu, dia hanya ingin menunggu Siau-hi-ji di sini, ia tahu harta karun tersebut tersimpan di Go-bi-san, ia pun tahu Siau-hi-ji pasti akan datang kemari. Tapi Buyung Kiu-moay sendiri telah mengurung Siau-hi-ji di ruangan batu itu, dengan sendirinya ia yakin anak muda itu tak mungkin akan datang ke sini. Lalu, untuk apakah dia juga ikut kemari? Masakah perempuan yang berhati dingin ini pun menaruh perhatian terhadap harta karun?
Dalam pada itu Pek-coa-sin-kun telah membisiki Siau-hi-ji dengan nada bengis, "Jangan-jangan kau juga memberitahukan tempat harta karun ini kepada orang lain?"
"Kau kira aku akan berbuat begitu atau tidak?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Adakah orang lain yang mengetahui tempat itu selain dirimu?"
"Kukira Yan Lam-thian sendiri pasti tahu."