Hampir ngakak geli Siau-hi-ji mendengar ucapan si nona, tapi terasa sukar juga untuk tertawa, bahkan tak dapat tertawa, sebaliknya malah hampir menangis. Ya, Allah, si nona ternyata percaya penuh bualannya tadi.
Ai, dasar perempuan! O, perempuan.... Sebenarnya kau pintar atau bodoh?
Kemudian Siau-hi-ji berkata dengan menyengir, "Kuharap engkau suka kawin lagi dengan orang lain, siapa yang kau sukai boleh kau kawini dan tidak soal bagiku, asalkan tidak mengawini aku saja."
"Ini .. inikah perkataanmu yang terakhir? Baik...." ucap Thi Sim-lam dengan suara serak, segera ia angkat belatinya terus menikam ke hulu hati Siau-hi-ji.
"He, nanti dulu, nanti dulu!" teriak Siau-hi-ji."Masih ada sesuatu ingin kukatakan."
"Lekas, lekas bicara!" desak Thi Sim-lam.
"Inilah pesanku agar kau sampaikan kepada segenap kaum lelaki di dunia ini agar mereka jangan suka menolong jiwa orang lain, lebih-lebih jangan menolong jiwa orang perempuan," kata Siau-hi-ji dengan rasa menyesal. "Apa bila dia melihat orang hendak membunuh orang perempuan, janganlah sekali-kali membakar pantat kuda orang itu, tapi lebih baik bakar saja pantat kuda sendiri dan menyingkir pergi, makin jauh makin baik, makin cepat makin baik."
Thi Sim-lam melenggong sejenak, katanya kemudian, "Benar, memang kau yang menyelamatkan jiwaku, tapi... tapi kau...." mendadak ia duduk mendeprok di atas tanah dan menangis sedih, katanya pula sambil terguguk, "Tapi bagaimana... bagaimana dengan diriku yang malang ini?"
"Supaya kau tidak suara, lebih baik kau bunuh saja diriku," kata Siau-hi-ji dengan suara halus. "Daripada kau menderita, biarkan aku mati saja. Betapa pun aku akan merasa senang dapat mati di tanganmu."
Sembari bicara, diam-diam ia melirik si nona. Benar juga, tangis Thi Sim-lam semakin sedih, sebaliknya hati Siau-hi-ji semakin gembira. Pikirnya, "Akhirnya kau tahu juga resep cara menghadapi perempuan. Asalkan kau mampu mengetuk lubuk hatinya, maka dia akan tunduk padamu dan jinak ditunggangi seperti kuda."
Di luar dugaan, selagi Siau-hi-ji merasa gembira sekonyong-konyong Thi Sim-lam yang sedang menangis sedih itu melompat bangun terus berlari pergi seperti kesetanan, entah ke mana dia pergi.
Baru sekarang Siau-hi-ji terkejut, cepat ia berteriak, "He jangan kau tinggalkan aku! jika nanti ada serigala atau harimau, lalu bagaimana? Bila Siau-sian-li datang, lantas bagaimana? Hei, hei, apakah kau tahu tadi telah kuselamatkan pula...?."
Meski dia berteriak sekeras-kerasnya, namun Thi Sim-lam sudah menghilang di kejauhan dan tidak mendengarnya lagi.
Angin tetap mendesir dengan lembut, bintang juga masih berkelip-kelip di langit nan luas, namun Siau-hi-ji yang menggeletak di bawah udara terbuka itu sedikit pun tidak merasa enak.
Saking mendongkol ia menyesali diri sendiri, gumamnya, "Wahai, Kang Hi, memangnya salah siapa? Kan lebih baik menyalahkan dirimu sendiri, siapa yang suruh kau berkumpul dengan perempuan? Kalau kau dimakan serigala atau datang Siau-sian-li membunuhmu juga setimpal bagimu."
Tiba-tiba si kuda putih mendekat dan meringkik perlahan di sampingnya.
"O, Sawi Putih, apa yang kukatakan tidak salah bukan?" kata Siau-hi-ji. "Lain kali bila kau melihat orang hendak menjirat leher seekor kuda betina, maka sebaiknya kau bantu dia menarik ganjel kakinya. Jika melihat orang hendak membacok perempuan dengan golok, maka cepat kau bantu dia mengasah golok yang akan dipakainya."
Kuda putih itu meringkik perlahan pula, habis itu terus berlari menyingkir lagi.
"Ai, Sawi Putih, kiranya kau pun tidak dapat dipercaya dan hendak meninggalkan diriku," ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. "Ai, agaknya kau pun seekor kuda betina...." mendadak ia melihat di mana arah lari kuda putih itu, di situ telah berdiri seorang. Di bawah remang cahaya bintang jelas kelihatan pakaian orang yang putih mulus, bahkan lebih putih daripada bulu kuda itu.
Ternyata Thi Sim-lam sudah datang kembali.
Kejut dan girang pula Siau-hi-ji, tapi dia sengaja tidak membuka suara, dilihatnya si kuda putih mendekati si nona dan meringkik perlahan, akhirnya si nona tampak bergeser, selangkah demi selangkah menuju ke tempat Siau-hi-ji.
Pakaian si nona melambai tertiup angin, perawakannya yang ramping dan gaya jalannya yang berlenggak itu sungguh menggiurkan.
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, batinnya, "Aku benar-benar sudah buta, masakah baru sekarang kutahu dia ini perempuan, padahal... padahal ketika pandangan pertama saja seharusnya kutahu bahwa dia ini perempuan, gaya jalan lelaki mana ada yang demikian?"
Sementara itu Thi Sim-lam sudah berada di sampingnya. Tapi Siau-hi-ji sengaja memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.
Terdengar Thi Sim-lam berkata dengan suara lembut, "Ternyata kau tidak benar berbuat nakal terhadapku."
Siau-hi-ji tidak tahan lagi, jawabnya dengan tertawa, "Jadi baru sekarang kau tahu?"
"Tapi... tapi kau tetap nakal padaku, maka... maka kau...."
"Demi Tuhan, sudilah lekas kau ucapkan apa yang hendak kau katakan," kata Siau-hi-ji.
Thi Sim-lam menunduk, katanya kemudian, "Apakah kau suka mengiringi diriku ke suatu tempat"
"Tentu saja mau, tapi kau harus membuka Hiat-to yang kau tutuk agar aku bisa berjalan," ucap Siau-hi-ji. "Memangnya kau akan menggendong aku saja?"
Muka Thi Sim-lam menjadi merah dan tidak dapat menahan gelinya, ia lantas berjongkok dan menepuk perlahan bagian Hiat-to yang tertutuk. Ia seperti tidak tega menepuk dengan keras.
"Tadi kau memukul aku dengan keras, kini caramu membuka Hiat-to justru seringan ini. O, Tuhan, O, perempuan...." habis berucap demikian Siau-hi-ji lantas melompat bangun.
Thi Sim-lam berpaling ke sana, katanya dengan lirih. "Tadinya aku tidak ingin kau mengikuti aku, tapi sekarang kuminta kau mengiringi aku, soalnya setelah kutimbang, kutahu... kutahu engkau sangat baik terhadapku."
"Sebelumnya kau tidak tahu?"
"Semula aku tidak ingin mengajakmu sebab... sebab tempat itu sangat dirahasiakan...."
"O, sebenarnya di mana letak tempat yang akan kau tuju itu?" tanya Siau-hi-ji.
"Tempat itu terletak di pegunungan Kun-lun, yaitu...."
"He, Ok-jin-kok?" seru Siau-hi-ji. "Apakah Ok-jin-kok yang kau maksudkan?"
Serentak Thi Sim-lam menoleh ke sini dengan mata terbelalak, tanyanya heran, "Dari... dari mana kau tahu?"
Siau-hi-ji ketok-ketok kepalanya sendiri dan bergumam, "O, Tuhan... nona ini sedang menanyai aku dari mana mendapat tahu nama Ok-jin-kok, jika aku tidak tahu Ok-jin-kok, maka di dunia ini mungkin tiada orang lain lagi yang tahu."
"Sebab apa?" tanya Sim-lam dengan mata terbelalak lebih lebar.
"Jangan kau tanya dulu sebab apa, demi Allah beritahukan lebih dulu untuk apakah kau hendak ke Ok-jin-kok? Melihat bentukmu, tampaknya kau tidak mirip manusia yang sudah kepepet dan terpaksa harus menyingkir ke Ok-jin-kok."
"Aku... aku cuma ingin mencari... mencari seorang!"
"Siapa yang kau cari?"
"Kukatakan juga engkau tidak tahu."
"Aku pasti tahu.... Hahaha, segenap penghuni Ok-jin-kok, dari yang tua sampai yang muda, dari yang kecil sampai yang besar, semuanya kukenal."
Thi Sim-lam tekejut, serunya, "Kau...."
"Aku ini justru dibesarkan di Ok-jin-kok sana," teriak Siau-hi-ji.
Berubah air muka Thi Sim-lam, katanya, "Tidak... tidak percaya, sungguh tidak percaya."
"Kau tidak percaya? Coba jawab, kecuali tempat Ok-jin-kok itu, di mana lagi yang dapat membesarkan manusia macam diriku ini?"
Sampai sekian lama Thi Sim-lam tertegun, akhirnya tersenyum manis dan berkata, "Ya, memang tiada tempat lain lagi yang cocok bagimu, seharusnya sudah kupikirkan sejak tadi."
"Dan sekarang bolehlah kau beritahukan padaku siapa gerangan yang kau cari?"
Kembali Thi Sim-lam menunduk, setelah terdiam sejenak barulah menjawab dengan suara lirih, "Orang yang kucari itu pun she Thi, seorang yang sangat terkenal."
"Aha, jangan-jangan yang kau cari adalah salah satu tokoh dari ke-10 top penjahat, yaitu 'Ong-say' (si singa gila) Thi Cian?" tanya Siau-hi-ji.
"He, kau kenal dia?" mendadak Thi Sim-lam mengangkat kepalanya. "Jadi betul dia berada di sana?"
"Untung kau bertemu dengan aku, kalau tidak, maka sia-sia belaka perjalananmu ini," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Siapakah yang memberitahukan padamu bahwa Ong-say Thi Cian berada di Ok-jin-kok? Kau perlu merangket pantat si pembual itu."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba tubuh Thi Sim-lam menjadi lemas dan roboh…..
********************
Thi Sim-lam menunggang kuda, Siau-hi-ji yang menuntun kuda sambil berjalan. Thi Sim-lam tidak bicara, anak muda itu pun diam saja, si kuda putih tentu saja tak dapat bicara segala.
Malam sudah larut, suasana sunyi senyap, hawa cukup dingin, menoleh ke belakang masih tampak padang rumput raksasa yang luasnya tak kelihatan ujungnya itu lambat laun ditelan kegelapan.
Akhirnya mereka meninggalkan padang rumput, namun padang rumput yang banyak memberi pengalaman bagi Siau-hi-ji itu cukup berkesan dalam benaknya dan takkan terlupakan untuk selamanya.
Namun Siau-hi-ji tidak menoleh lagi, tidak memandang pula ke sana. Yang sudah lalu biarkan berlalu. Terkenang? Tidak, pasti tidak!
Wajah Thi Sim-lam tertampak lebih pucat di bawah cahaya bintang yang remang-remang, dia sesungguhnya sangat cantik daripada perempuan yang lain, malahan juga diketahui bahwa Thi Sim-lam sesungguhnya jauh lebih lemah daripada apa yang pernah terbayang olehnya. Semenjak mendengar berita tentang tiadanya Thi Cian di Ok-jin-kok, sejak itu dia tidak lagi suka bicara, bahkan bergerak pun sungkan, apa bila tiada kuda putih ini, pada hakikatnya selangkah pun dia tidak dapat berjalan lagi.
Diam-diam Siau-hi-ji menggeleng dan gegetun, "O, perempuan! Betapa pun perempuan memang tidak tahan pukulan, batin, baik perempuan cantik maupun perempuan buruk rupa tiada berbeda dalam hal demikian."
Dia menggeleng secara diam-diam dan tidak membuka suara lagi, sungguh ia pun malas untuk bicara lagi. Tapi mendadak Thi Sim-lam mulai membuka mulut. Bulu matanya yang panjang itu mengerling, kerlingan mata yang sayu, tapi tidak tahan memandang Siau-hi-ji melainkan berucap perlahan seperti orang mengigau, "Sudah cukup lama kau tidak berbicara."
"Kau tidak bicara, untuk apa aku bicara?" jawab Siau-hi-ji.
"Tapi... apakah tiada sesuatu yang hendak kau tanya padaku?"
"Untuk apa kutanya padamu? Tiada sesuatu yang aku tidak tahu."
"Kau tahu apa?" tanya Sim-lam.
Siau-hi-ji tertawa kemalas-malasan, jawabnya kemudian, "Misalnya karena kepepet, lalu timbul keinginan bernaung pada ayahmu, walau pun sebenarnya kau tidak suka padanya, bahkan sejak kecil kau sudah meninggalkan dia. Malahan sudah sejak kecil kau dibuang olehnya. Tapi dia, betapa pun dia tetap ayahmu."
"Ayahku? Siapa ayahku?" mendadak Thi Sim-lam melotot.
"Ong-say Thi Cian!" jawab Siau-hi-ji.
"Sia... siapa bilang?" seru Thi Sim-lam.
"Aku!" jawab Siau-hi-ji sambil menguap ngantuk, "O, perempuan! Kutahu watak perempuan, biar pun isi hatinya dengan tepat kena kau katai, namun dia tetap tidak mau mengaku. Sebab itu, tidaklah menjadi soal bagiku apakah kau mau mengaku atau tidak."
Terbelalak Thi Sim-lam memandangi Siau-hi-ji seolah-olah orang yang baru dikenalnya. Ia merasa anak muda ini pada hakikatnya bukan manusia tapi siluman, atau silumannya manusia.
Setelah termangu-mangu kemudian ia berkata pula, "Apa... apa lagi yang kau ketahui?"
"Kutahu pula bahwa namamu bukan Lam lelaki melainkan Lan anggrek, Thi Sim-lan... inilah nama yang sesuai bagimu, betul tidak?"
"Ti... tidak. Ai, memang begitulah, Lan anggrek," akhirnya mengaku juga si nona yang nama aslinya ialah Thi Sim-lan.
"Kutahu pikiranmu sekarang sedang bingung, entah harus ke mana dan entah harus berbuat apa? Sebab itulah aku sengaja tidak berbicara agar kau dapat berpikir secara tenang."
"Sebenarnya berapa umurmu?" tanya Thi Sim-lan dengan tertawa getir. "Sungguh terkadang aku merasa takut, entah engkau ini sebenarnya seorang anak atau... atau...."
"Siluman?" sambung Siau-hi-ji.
Thi Sim-lan menghela napas perlahan, katanya, "Terkadang aku memang benar mengira engkau ini makhluk jadi jadian. Kalau tidak, mengapa engkau selalu dapat menerka isi hati orang lain?"
"Soalnya aku jauh terlebih pintar daripada setiap manusia di dunia ini," kata Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh.
"Bisa jadi memang begitu...." ucap Thi Sim-lan dengan lembut.
"Baiklah, sekarang kau dapat ambil keputusan bukan?"
"Ambil keputusan apa?" tanya si nona.
"Ambil keputusan tentang apa yang harus kau lakukan dan harus pergi ke mana?"
"Aku... aku...." kembali Thi Sim-lan menunduk.
"Kau harus cepat ambil keputusan, aku kan tidak dapat selalu mengiringimu!"
Seketika Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, mukanya tampak pucat bagai kertas, serunya tergagap, "Kau... kau tidak dapat...."
"Ya, dengan sendirinya tidak dapat...."
"Tapi... tapi engkau...."
"Betul, tadinya kuingin berkawan denganmu dan mengembara ke mana saja, tapi sekarang diketahui kau adalah anak perempuan, maka rencana terpaksa harus berubah, aku tidak lagi menerima kau sebagai murid."
"Tapi... tapi engkau... engkau...."
"Kita bukan sanak kadang, bagaimana jadinya kalau kita lari ke sana kemari? Apa lagi masih banyak urusan yang harus kukerjakan, mana boleh kuteralang oleh seorang perempuan."
Thi Sim-lan merasa seperti kena dicambuk, seketika ia melengak dan gemetar. Entah selang berapa lama, akhirnya ia tersenyum pedih, "Ya, benar, kita bukan sanak bukan saudara, si... silakan kau pergi saja."
"Dan kau...."
"Sudah tentu aku mempunyai tempat sendiri, kau tidak perlu tanya," jengek Thi Sim-lan ketus.
"Baiklah, mungkin saat ini kau belum dapat berjalan, kuda ini kuberikan padamu saja."
"Terima kasih," kata Sim-lan sambil menggigit bibir. "Tapi aku pun tidak... tidak memerlukan kuda, aku tidak perlu bantuan apa pun, engkau...."
Segera ia melompat turun dari kuda dan berpaling ke sana. Maklumlah, betapa pun ia tidak ingin Siau-hi-ji melihat air matanya yang sudah bercucuran.
Siau-hi-ji berlagak tidak tahu, ia menuntun kuda putih itu dan berkata pula dengan tertawa, "Baik juga kalau kuda ini tidak kau perlukan, aku sendiri juga merasa berat berpisah dengan kuda ini, sungguh aku rada sedih jika harus meninggalkan kuda ini."
"Jadi... jadi aku...." dengan suara gemetar sebenarnya Sim-lan hendak berkata apakah dirinya tidak lebih berharga daripada kuda itu sehingga anak muda itu tidak merasa berat sedikit pun untuk berpisah dengan dia? Tapi dia tidak jadi mengeluarkan isi hatinya itu walau pun hatinya remuk redam.
"Baiklah, kuberangkat sekarang, semoga engkau menjaga diri baik-baik," pesan Siau-hi-ji.
Thi Sim-lan berpaling lagi, ia dengar anak muda itu telah mencemplak ke atas kuda serta mulai melarikan kudanya ke sana. Anak muda itu benar-benar pergi begitu saja, akhirnya Thi Sim-lan tidak tahan lagi dan menjerit, "Sudah tentu aku akan menjaga diriku dengan baik, aku tidak memerlukan perhatianmu yang palsu itu, aku lebih suka mati daripada melihat kau lagi." Akhirnya ia menjatuhkan diri ke tanah dan menangis tergerung-gerung.
Siau-hi-ji tidak mendengar suara tangisan Thi Sim-lan, sedikitnya ia pura-pura tidak mendengar, dia tepuk-tepuk leher si kuda putih dan bergumam, "Sawi Putih, coba lihat aku ini pintar bukan? Semudah inilah kuenyahkan seorang perempuan. Kau harus tahu bahwa umumnya perempuan tidaklah mudah dienyahkan."
Ia terus melarikan kudanya ke depan. Selang sekian lama, tiba-tiba ia bergumam pula, "Ah, Sawi Putih, coba terka dia akan pergi ke mana? Kau pasti tidak dapat menerkanya. Ketahuilah, aku pun tidak sanggup menerka. Eh, biarlah kita tunggu saja di sini, kita mengawasinya secara diam-diam."
Dengan sendirinya si Sawi Putih tak dapat menjawab, dia juga belum tentu setuju. Namun Siau-hi-ji sudah lantas melompat turun dan bergumam, "Kalau dapat mengintip rahasia anak perempuan, kukira perbuatan ini pun tidak terhitung busuk. Apa lagi... kita juga tiada urusan penting yang harus segera dikerjakan, tak jadi soal bukan jika kita menunggu sebentar di sini?"
Sudah tentu si kuda putih tak dapat mendebatnya bahwa ucapannya itu pada hakikatnya cuma alasan untuk menutupi isi hatinya yang sesungguhnya.
Terkadang kuda bisa lebih menyenangkan daripada manusia, paling sedikit kuda takkan membongkar rahasia orang lain dan tak dapat mengkhianatinya.
Bintang sudah mulai guram dan jarang-jarang, subuh hampir tiba, tapi Thi Sim-lan masih belum juga muncul. Jangan-jangan tidak mengambil arah jalan ini? Namun jalan ini adalah satu-satunya jalan, apakah mungkin nona itu kesasar? Jangan-jangan dia....
Mendadak Siau-hi-ji mencemplak ke atas kuda putih dan berseru, "Ayo berangkat, Sawi Putih, kita coba melongok lagi ke sana, ingin kulihat apa yang dia lakukan di sana? Ketahuilah bukan karena aku memperhatikan dia, sebab terhadap siapa pun aku tidak pernah menaruh perhatian."
Belum habis gumamnya si Sawi Putih sudah lantas membedal ke depan, larinya jauh lebih cepat daripada datangnya tadi. Maka hanya sejenak saja mereka sudah sampai di tempat semula. Dari jauh Siau-hi-ji melihat Thi Sim-lan berbaring di atas tanah.
Sesudah dekat, nona itu ternyata tidak menangis lagi dan juga tidak bergerak.
Segera Siau-hi-ji melayang ke sana dari atas kuda sambil berseru, "He, di sini bukan tempatnya untuk tidur!"
Tergetar tubuh Thi Sim-lan, sekuatnya ia meronta bangun dan berteriak, "Pergilah kau, enyah sana! Siapa minta kau kembali, untuk apa kau kembali ke sini?"
Di bawah cuaca subuh yang remang-remang terlihat wajah si nona yang pucat itu bersemu hijau, bibir yang tipis itu tampak gemetar, setiap kata diucapkannya dengan susah payah.
"He, kau sakit?!" seru Siau-hi-ji.
"Sakit juga bukan urusanmu," jengek Thi Sim-lan. "Kau... kau dan aku bukan sanak bukan kadang, untuk apa kau mengurus diriku?"
Walau ia sudah merangkak bangun, namun berdiri pun sempoyongan.
"Tapi kini aku justru ingin mengurus dirimu!" kata Siau-hi-ji, dengan cepat ia raba dahi si nona dan rasa tangannya seperti dipanggang.
Sekuatnya Thi Sim-lan menyampuk tangan anak muda itu sambil berteriak dengan gemetar, "Kau tidak perlu menyentuh diriku."
"Aku justru ingin menyentuhmu," ucap Siau-hi-ji pula dan cepat sekali tubuh si nona dipondongnya.
"Jangan... jangan menyentuh diriku! Lep... lepaskan, lepas! Enyahlah kau!" Sim-lan berteriak-teriak.
Berbareng ia terus meronta-ronta tapi tetap tak dapat melepaskan diri, tenaga untuk berteriak pun tiada lagi. Ia pukul tubuh Siau-hi-ji, namun kepalan pun terasa lemas.
"Sakitmu sudah parah, jika kau tidak menurut, nanti... nanti kucopot celanamu dan kupukul pantatmu, kau percaya tidak?" ancam Siau-hi-ji.
"Kau... kau...." suara Thi Sim-lan menjadi parau dan tak sanggup melanjutkan pula. Mendadak ia membenamkan kepalanya dalam pelukan Siau-hi-ji dan menangis dengan sedih.
Thi Sim-lan benar-benar jatuh sakit, bahkan sangat berat sakitnya.
Sampai di kota Hay-an, Siau-hi-ji mendapatkan hotel yang paling baik di kota itu. Sebenarnya kamar hotel sudah penuh, namun ia pilih suatu kamar kelas satu, ia keluarkan sepotong emas dan dilemparkan kepada tamu yang menyewa kamar itu dan katanya, "Kau pindah, dan emas ini untukmu?"
Hanya dua kalimat saja ia berucap dan orang itu pun pindah kamar secepat kuda lari. Meski emas tak dapat bicara, tapi jauh lebih berguna daripada orang berputar lidah dua hari.
Cemas, kecewa, derita lahir dan batin yang dialami Thi Sim-lan telah mengakibatkan dia jatuh sakit, padahal biasanya jarang dia sakit, sehari suntuk dia tak sadarkan diri karena suhu panas badannya.
Waktu dia siuman, dilihatnya Siau-hi-ji sedang memasak obat. Ia meronta ingin bangun, tapi segera Siau-hi-ji menahannya berbaring pula, ia hanya dapat merintih, "Kau... kenapa kau...."
"Dilarang bicara!" seru Siau-hi-ji.
Dilihatnya anak muda itu agak celong, tampaknya sudah sekian malam kurang tidur karena harus merawat dirinya. Thi Sim-lan menjadi terharu dan meneteskan air mata pula.
Sementara itu Siau-hi-ji telah membawakan semangkuk cairan obat yang dimasaknya itu dan berkata, "Dilarang menangis, tapi minum obat saja. Ini adalah obat paling bagus dari resep yang paling jitu. Sesudah minum tentu akan sembuh. Kalau kamu menangis lagi seperti anak kecil, sebentar kupukul lagi pantatmu."
"Re... resep buatan siapakah itu?" tanya Thi Sim-lan.
"Aku!" jawab Siau-hi-ji singkat.
"Kiranya kau pun mahir mengobati orang sakit, memangnya kau serba bisa?!"
"Dilarang buka mulut dan minumlah obat!"
Thi Sim-lan tersenyum, walau pun dalam keadaan sakit, namun senyumnya tetap menggiurkan. Katanya kemudian, "Kau melarang aku buka mulut, lalu cara bagaimana aku harus minum obat?"
Siau-hi-ji ikut tertawa juga. Tiba-tiba ia merasa anak perempuan terkadang sangat menyenangkan, lebih-lebih pada waktu dia tertawa lembut padamu.
Menjelang magrib, Thi Sim-lan tertidur pula. Siau-hi-ji berdiri iseng di emper kamar, gumamnya sendiri, "Wahai Kang Hi, Kang Siau-hi! Janganlah kau lupa bahwa senyuman perempuan demikian ini juga mungkin bermaksud mencelakaimu, bisa jadi senyuman berbisa, makin ramah sikapnya, semakin berbahaya pula bagimu. Jika kurang waspada, akan tamatlah riwayatmu ini."
Kuda putih itu tampak sedang makan rumput di kandang sana. Siau-hi-ji mendekatinya, sambil membelai bulu surinya Siau-hi-ji berkata, "Hai, Sawi Putih, kau jangan khawatir, biar pun orang lain mudah terperangkap, namun aku pasti tidak. Setelah dia sembuh dari sakitnya segera aku akan pergi...."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derapan kuda berhenti di luar hotel. Walau pun kecil hotel ini, namun perlengkapannya cukup komplet, di bagian depan di buka pula sebuah restoran.
Karena suara ramai itu, Siau-hi-ji jadi ingin tahu siapakah pendatang itu. Waktu ia melongok keluar, dilihatnya empat-lima orang lelaki kekar beramai-ramai sudah masuk ke restoran, tanpa bicara mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Tanpa banyak cincong pelayan lantas membawakan arak.
Namun orang-orang itu hanya duduk termangu saja tanpa bergerak.
Pakaian mereka cukup mentereng, membawa pedang pula, perbawa mereka tampaknya tidak kecil, namun wajah mereka sama merah bengkak seperti habis ditempeleng orang belasan kali paling sedikit.
Selang tak lama, kembali masuk lagi dua orang. Keadaan kedua orang ini lebih konyol, bukan saja muka mereka bengkak bahkan salah satu daun kuping hilang, kelihatan kain pembalutnya yang berlepotan darah.
Waktu melihat kedua orang ini, kelima orang yang datang lebih dulu sama melotot. Sedang kedua pendatang belakang itu bermaksud mengkeret keluar lagi demi melihat rombongan yang duluan, namun terlambat karena sudah telanjur dilihat orang.
Siau-hi-ji merasa tertarik, ia sengaja mengintip dari luar untuk mengetahui apa yang bakal. terjadi. Ia pikir kedua rombongan ini mungkin adalah musuh dan bukan mustahil segera terjadi pertarungan.
Tak terduga kedua rombongan orang itu ternyata tiada niat saling labrak, mereka hanya saling melotot saja seperti jago aduan.
Di antara kelima orang yang datang duluan itu adalah seorang yang bopeng mukanya, mukanya bengkak hingga lubang-lubang burik di mukanya hampir tak jelas lagi. Mendadak orang ini tertawa dan mengejek "Hehehe, para Piausu besar dari An-se Piaukiok biasanya tidak pernah kehilangan barang, mengapa sekarang daun telinga sendiri juga hilang, sungguh kejadian mahaaneh."
Karena tertawa, mukanya yang bengkak itu menjadi kesakitan sehingga lucu tampaknya, entah sedang tertawa atau lagi menangis, mungkin lebih tepat dikatakan sedang meringis.
Kedua orang yang datang belakangan itu jadi gusar karena diolok-olok, seorang yang mukanya ada bekas luka lantas balas menyindir, "Huh, kalau muka sudah bengkak ditempeleng orang, sebaiknya jangan tertawa, kalau tertawa kan bisa kesakitan."
"Kau bilang apa?" bentak si burik tadi sambil gebrak meja.
"Hahaha, kutu busuk tidak perlu mengejek walang sangit, kan sama-sama bau?" jawab si muka codet.
Si burik lantas melompat bangun dan bermaksud ke sana, si muka codet juga siap tempur dengan menyeringai. Diam-diam Siau-hi-ji merasa senang karena kedua orang itu bakal saling labrak.
Tak tahunya sebelum kedua orang itu berbaku hantam, mereka cepat dicegah lebih dulu oleh kawannya masing-masing.
Yang menarik tangan si burik adalah seorang tua berjenggot, usianya mungkin paling tua, namun mukanya paling ringan bengkaknya dibandingkan keempat kawannya. Dengan tertawa ia berusaha melerai, katanya dengan tertawa meringis, "An-se Piaukiok dan Ting-wan Piaukiok sama-sama usaha pengawalan, adalah wajar jika biasanya suka bersaing dan berebut langganan, soalnya kan dagang, layak. Tapi apa pun juga kita sesama orang dari daerah Tionggoan, sebisanya jangan sampai kita bergebrak di sini sehingga mengurangi persaudaraan kita sebagai sesama bangsa."
Lelaki jangkung yang mencegah kawannya si codet itu juga meringis dan menjawab, "Ucapan Auyang-toako memang tidak salah, kita dikirim oleh kantor pusat ke tempat miskin begini, betapa pun kita sudah sial dan sama-sama kecewa, mengapa kita harus saling ejek dan bertengkar?"
"Apa lagi sekarang kita sama-sama terjungkal di tangan orang yang sama pula, seharusnya kita bersatu menghadapi musuh, mana boleh saling sindir, kan dijadikan buah tertawaan orang lain saja?" kata orang she Auyang itu.
"O, jadi kalian juga kena dikerjai dia...." seru si jangkung melengak.
"Siapa lagi kalau bukan dia (perempuan)?" ucap si tua sambil menyengir. "Selain dia, siapa lagi yang mampu mengerjai kita secara membingungkan ini? Ai, hari ini kita benar-benar terjungkal habis-habisan."
Setelah berkata demikian, ketujuh orang itu sama menghela napas, lalu duduk semua.
Karena mukanya bengkak sehingga tidak jelas lagi terlihat bagaimanakah perasaan orang-orang itu, namun mata mereka yang melotot itu penuh mengandung rasa benci dan dendam.
Tiba-tiba si muka burik menggebrak meja pula dan berseru dengan gemas, "Jika ada sebabnya kita rela dianiaya oleh budak itu, konyolnya tanpa sebab musabab budak itu terus melabrak kita."
"Ai, sudahlah," ujar si tua she Auyang, "di dunia Kangouw ini memang biasa terjadi kakap makan teri, yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Bukanlah kusengaja memuji orang lain dan merendahkan kita sendiri, sesungguhnya kepandaian kita memang tiada sepersepuluh bagian orang, biar pun teraniaya, terpaksa kita terima nasib."
"Hehe, melihat bentuk budak itu, tampaknya dia sendiri juga mengalami gangguan orang di tempat lain," kata si jangkung tiba-tiba dengan tertawa. "Kelihatan matanya merah seperti habis menangis, bahkan kuda kesayangannya pun tidak kelihatan. Ya, kita sendirilah yang sial sehingga kebetulan kepergok dia selagi dia sendiri sedang gusar, maka kita yang dijadikan pelampiasan dongkolnya."
"Betul juga ucapan Ji-lotoa," ucap si burik sambil tertawa. "Mungkin budak itu pun kepergok seorang yang lebih lihai daripada dia, boleh jadi ketemukan seorang pemuda cakap, selain kudanya tertipu, mungkin budak itu sendiri termakan."
Beberapa orang itu lantas terbahak-bahak walau pun tertawanya meringis, karena muka sakit, namun mereka benar-benar tertawa gembira seakan dengan begitu sudah terlampias rasa dendam mereka.
Sampai di sini Siau-hi-ji sudah dapat menebak bahwa "budak" yang dimaksud mereka itu pastilah Siau-sian-li Thio Cing. Keahlian Siau-sian-li dalam hal menempeleng sudah dirasakan sendiri oleh Siau-hi-ji. Akan tetapi caranya Siau-sian-li menghajar orang-orang ini jelas terlebih keras daripada waktu menampar Siau-hi-ji tempo hari. Dapat diduganya si nona pasti menderita semalam suntuk di pinggir sumur itu, maka rasa dongkolnya lantas dilampiaskan seluruhnya terhadap beberapa orang yang sial ini.
Makin dipikir makin geli Siau-hi-ji. Akan tetapi mendadak suara tertawa ketujuh orang itu sama berhenti, yang meringis tetap meringis, yang pentang mulut tetap terpentang, bentuk wajah mereka yang aneh itu seketika membeku seperti terkena ilmu sihir. Sorot mata mereka sama menatap keluar pintu, bahkan butiran keringat lantas timbul di dahi mereka.....