"Kalau saudara keluarga Li tidak sesuai mengincar barangmu, bagaimana kalau saudara keluarga Mo?" demikian tiba-tiba seorang menanggapi dengan suara dingin, ketus suara itu, perlahan seperti mengambang terbawa angin dan membuat telinga si pendengarnya merasa risi.
Seketika air muka Thi Sim-lam berubah pucat, tanpa terasa ia bergumam, "Tiga utas bulu dari Gobi-san...."
"Hehe, kiranya kau pun kenal nama kami!" kembali suara seorang menanggapi, suaranya tajam seperti ayam berkotek yang lehernya tercekik.
Perlahan Thi Sim-lam membalik tubuh, terlihatlah seekor kuda tinggi besar berdiri di belakangnya, di atas pelana ukuran besar yang di buat secara khusus duduk berjajar tiga orang.
Orang pertama sekilas pandang mirip anak kecil berumur lima-enam tahun, tapi kalau diteliti barulah jelas kelihatan bahwa "bocah" ini sudah berjenggot. Jenggotnya yang putih halus itu mirip bulu kera.
Bukan saja bagian mulutnya berbulu, bahkan di atas matanya, bagian dahi, kuduknya, telapak tangan.... setiap bagian tubuh yang dapat terlihat, semuanya berbulu.
Anggota badannya tidak cacat atau kurang, cuma tempatnya yang keliru, mata kiri lebih tinggi daripada mata kanan, mulut merot hingga ujung bawah dekat dengan tenggorokan, hidungnya hampir terbalik menjungkit ke atas. Bentuknya itu pada hakikatnya tidak memper manusia, atau manusia yang kurang sempurna karena salah cetak.
Merinding rasanya Thi Sim-lam menyaksikan wajah buruk itu meski di tengah hari bolong.
Orang aneh itu pun sedang memandang Thi Sim-lam, katanya sambil mengekek, "Pernahkah kau dengar nama 'makan hati kunyah jantung' Mo Mo-diong? Nah, itulah diriku sendiri. Paling baik jangan kau pandang padaku, jika pandang agak lama mungkin perutmu bisa sakit."
Memang memuakkan juga orang ini, Thi Sim-lam tidak ingin mendengar ucapannya, tapi justru tak bisa tidak harus mendengarnya, habis mendengar rasanya ingin muntah. Maka cepat ia pandang orang kedua.
Bentuk orang kedua pun tidak lebih "cakap" daripada Mo Mo-diong atau si ulat berbulu, tubuhnya paling tidak lebih besar satu kali lipat, malahan lehernya paling sedikit tiga kali lipat lebih panjang, leher yang kecil panjang itu justru menyangga sebuah kepala yang kecil dan meruncing ke atas, kepala dan leher hampir sama besarnya, rambutnya kaku berdiri laksana landak, tapi mulutnya merongos, dagu bawah menonjol keluar dan hampir dapat dibuat gantungan botol.
Sebisanya Thi Sim-lam menahan perasaannya, tegurnya, "Dan kau inikah Mo Kong-keh (si ayam jantan she Mo)?"
Orang itu tertawa lebar sehingga kelihatan barisan giginya yang mirip gergaji, jawabnya, "Kau jangan menggreget, sudah biasa, barang siapa melihat aku pasti geregetan."
Sungguh Thi Sim-lam ingin mendekap telinganya, sebab suara orang ini pada hakikatnya bukanlah manusia sedang bicara melainkan lebih mirip ayam berkotek pada waktu akan disembelih.
Kalau bentuk tampang kedua orang ini sedemikian jelek, maka Thi Sim-lam benar-benar tidak ingin memandang lagi orang ketiga. Namun mau tak mau dia memandang juga. Ia pikir orang ketiga ini mungkin lebih enak dipandang, ia tidak percaya ada manusia lain yang lebih buruk rupa daripada kedua orang tadi.
Mendingan jika tidak dilihatnya, sekali pandang, ya Allah! Kalau kedua orang tadi masih ada sedikit bentuk manusia, orang ketiga ini sungguh sedikit pun tiada berbentuk manusia, tapi lebih tepat disebut Kingkong, itu raksasanya orang hutan.
Jika tubuh Mo Kong-keh lebih besar satu kali lipat daripada Mo Mo-diong, maka tubuh si "Kingkong" ini paling sedikit empat kali lipat lebih gede daripada Mo Mo-diong.
Kalau leher Mo Kong-keh panjang dan kecil, si "Kingkong" ini ternyata sama sekali tidak punya leher, buah kepalanya itu pada hakikatnya tumbuh langsung dari pundaknya.
Mo Mo-diong berbulu putih dan halus, adapun bulu si "Kingkong" ini tebal, kasar dan hitam, bahkan mulut dan hidung pun tak kelihatan, hanya sepasang matanya yang bersinar buas.
Di tempat sembunyinya, Siau-hi-ji juga dapat melihat dengan jelas bentuk ketiga orang ini, sungguh ia ingin tertawa geli. Ia tidak habis pikir cara bagaimana ketiga orang itu dicetak dan dilahirkan oleh ibunya. Jika anak-anaknya berbentuk demikian, maka wajah bapak biangnya sungguh sukar untuk dibayangkan.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa ketiga bersaudara she Mo ini adalah tokoh kalangan hitam yang terkenal kejam dan keji selama belasan tahun terakhir ini. Siapa yang kepergok mereka, jangankan tertawa, ingin menangis saja tak dapat menangis.
Sudah sejak tadi Siau-hi-ji mengikuti jejak mereka secara diam-diam, ia lihat beberapa Li bersaudara mengejar Thi Sim-lam, dilihatnya pula Mo bersaudara ini pun mengintil di belakang Li bersaudara. Kuda tunggangan bersama ketiga Mo bersaudara itu sungguh tinggi besar, tapi langkahnya enteng dan cepat sehingga sepanjang jalan tak diketahui oleh Li bersaudara.
Tentu saja sekarang Li bersaudara itu sudah tahu, lelaki kekar yang tadi kelihatan kereng itu kini jadi mengkeret demi nampak ketiga makhluk aneh ini, tanpa terasa tubuh mereka gemetar.
Diam-diam Siau-hi-ji heran. Jelas sasaran ketiga makhluk aneh itu bukankah pihak Li bersaudara, mengapa mereka jadi ketakutan? Apakah ketiga makhluk aneh itu mungkin keji dan suka membunuh siapa pun tanpa kenal ampun.
Dilihatnya badan Li bersaudara itu gemetar dan bermaksud mengeluyur pergi. Belasan saudara keluarga Li itu memang cekatan dalam hal menunggang kuda, tanpa tanda apa pun kuda mereka tampak mundur perlahan.
Tiba-tiba Mo Mo-diong bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha! Sungguh aneh, bocah she Thi ini belum lagi kabur, tapi orang she Li sudah ingin mengeluyur pergi lebih dulu."
Satu di antara belasan Li bersaudara itu cepat memberi hormat dan menyeringai, "Kami bersaudara tidak berani berebut jasa dengan para Cianpwe, benda yang berada pada orang she Thi ini kami pun tidak ingin menerima bagiannya, sebab itu biarlah kami berangkat lebih dulu."
Mo Kong-keh tertawa terkekeh, katanya, "Baru melihat kami segera kalian hendak pergi, apakah barangkali kalian merasa jijik melihat rupa kami ini?"
Orang she Li tadi menjadi pucat dan tambah gemetar, jawabnya, "Ah, mana... mana kami... be... berani."
"Jika tidak berani, mengapa mau mengeluyur pergi?" tanya Mo Kong-keh.
"Ah, inilah engkau yang keliru, saudaraku," ujar Mo Mo-diong tertawa. "Kaki kuda bukan tumbuh di tubuh mereka, kaki mereka sendiri kan tak bergerak, yang bergerak adalah kaki kuda."
"O, jika begitu bukanlah salah mereka melainkan kuda mereka yang tidak tahu aturan," kata Mo Kong-keh.
Cepat orang she Li tadi menyambung, "Ben... benar, ku... kuda kami...."
"Pantas mampus kuda-kuda itu," ujar Mo Kong-keh.
Baru habis ucapannya, mendadak Mo Sing-sing, si Kingkong, melompat turun dari kudanya. Meski tubuhnya besar, namun kedua lengannya terlebih panjang dan besar sehingga hampir menyentuh tanah. Tubuh segede itu ternyata tidak mengurangi kegesitan gerak-geriknya. Sekali lompat tahu-tahu sudah berada di depan kuda pertama para Li bersaudara, sekali menjotos, tanpa bersaudara sedikit pun kontan kuda itu roboh terkulai, kepalanya hancur luluh kena jotosan itu.
Mau tak mau Siau-hi-ji terperanjat menyaksikan itu, diam-diam ia mengakui betapa hebat tenaga orang.
Dalam pada itu tiga ekor kuda lain sudah roboh pula, semua kepala terpukul hancur. Kuda lain sama meringkik takut, tapi Mo Sing-sing terus memburu maju, setiap ekor diberi tonjokan satu kali laksana menggepuk semangka saja, dalam sekejap belasan ekor kuda itu sudah roboh binasa tanpa kepala.
Para Li bersaudara itu sama terperosot jatuh, semuanya pucat lesi bagai mayat. Seorang di antaranya mendadak menjerit terus berlari ke sana, tampaknya ia menjadi gila karena ketakutan.
"Eh, ada lagi yang tidak menurut," kata Mo Kong-keh. Sekonyong-konyong ia melayang ke sana dengan kepala di depan dan kaki di belakang laksana anak panah pesatnya. "Blang" kepalanya yang menyerupai kepala jago itu tepat menumbuk punggung orang yang lari itu.
Orang itu tidak sempat menoleh, tahu-tahu tertumbuk dan tulang punggungnya patah terus terkulai. Tapi sebelum roboh Mo Kong-keh keburu menangkap bahunya terus dilemparkan ke belakang sambil berseru, "Untukmu saudaraku, inilah, santapan kegemaranmu!"
"Haha, ada bakpau masih hangat-hangat," seru Mo Mo-diong sambil tertawa. Sementara itu tubuh lelaki yang dilemparkan Mo Kong-keh itu telah melayang lewat di atas kepala orang banyak, ketika tepat di atas kepala Mo Mo-diong, mendadak tangannya yang kecil terus merogoh ke dada lelaki itu, ia hanya merogoh secara perlahan saja, tubuh orang itu masih terus melayang ke sana, darah tampak memancur keluar, lalu terbanting jatuh di tanah dengan berlumuran darah, dadanya ternyata sudah berlubang.
Dalam pada itu tangan Mo Mo-diong sudah memegang satu buah hati manusia yang merah berdarah, bahkan jelas kelihatan masih berdenyut.
"Hehe, apakah di antara hadirin ada yang pingin makan bakpau? Masih hangat-hangat, harum dan sedap," demikian kata Mo Mo-diong dengan tertawa.
Keruan wajah Li bersaudara pucat sebagai mayat. Air muka Thi Sim-lam juga berubah.
"Tampaknya kalian tak berminat makan enak, untung bagiku," kata Mo Mo-diong pula dengan tertawa. Menyusul hati manusia yang dipegangnya terus digigitnya separo, lalu dikunyahnya dengan berkeriat-keriut seperti orang makan kacang goreng, darah pun merembes keluar dari mulutnya.
Badan para Li bersaudara serasa lemas lunglai dan tak sanggup berdiri lagi, tanpa terasa Thi Sim-lam menutupi mulut sendiri, hampir saja ia muntah. Bahkan Siau-hi-ji juga merasa muak menyaksikan adegan luar biasa itu.
Sudah sering Siau-hi-ji menyaksikan Li Toa-jui makan daging manusia, tapi cara makannya terasa jauh lebih "beradab", bahkan mengutamakan cara mengolahnya apakah lebih enak dimasak tim kuah, diang-sio atau digoreng, waktu makan juga sopan santun dan tidak menakutkan orang.
Tapi cara makan Mo Mo-diong sekarang ini sungguh tak pernah dilihat Siau-hi-ji, pada hakikatnya menjijikkan, terasa biadab dan rakus, tidak paham cara orang menikmati santapan enak. Seumpama ingin makan manusia, minimal juga harus belajar cara makan seperti Li Toa-jui itu.
Namun besarnya tenaga Mo Sing-sing, kegesitan Mo Kong-keh serta kecepatan tangan Mo Mo-diong ini, semuanya membuat orang terkejut pula. Untuk hal ini Siau-hi-ji harus mengakui kelihaian mereka. Lebih Mo Mo-diong hanya sekali merogoh saja dapat mengorek keluar hati manusia yang menjadi sasarannya, baik kecepatannya, terutama ketepatan tempatnya yang harus dirogoh ternyata tidak meleset sedikit pun, apa pun juga Siau-hi-ji merasa kagum sekali.
Karena itu ia sengaja berdiam diri dan ingin menonton lebih lanjut. Dilihatnya dalam sekejap Mo Mo-diong sudah makan habis hati manusia tadi, bahkan darah yang meleleh di ujung mulutnya juga terjilat bersih, lalu ia menepuk perut sendiri dan berkata dengan tertawa, "Sudah dekat musim rontok, obat kuat harus dimakan tepat pada waktunya. Lihatlah kalian, baru habis makan kan semangatku lantas bertambah!"
Benar juga, seketika Mo Mo-diong tampak bersemangat, bukan saja suaranya tambah lantang, bahkan sorot matanya juga tambah terang, mukanya juga bersemu merah.
"Hm, apakah kalian sengaja pamer kekuatan padaku?" Sim-lam menjengek.
"Eh, jangan lupa, dalam tubuhmu juga terdapat sebuah begini," ujar Mo Mo-diong dengan tertawa.
"Jika kau sayang bakpaumu kumakan, hendaklah lekas serahkan barang itu agar aku tidak perlu membuang tenaga untuk bergebrak, kalau mengeluarkan tenaga aku lantas kepingin makan bakpau lagi."
"Hm, jangan kau harap!" bentak Thi Sim-lam, mendadak ia melompat mundur. Rupanya ia pikir jalan paling selamat adalah kabur.
Di luar dugaan, tahu-tahu Mo Sing-sing sudah mengadang di depannya, kedua lengannya yang panjang itu terpentang, betapa pun Thi Sim-lam hendak menerobos pasti akan kena bekuk.
"Haha, kepala yang indah begitu, sayang kalau kuhancurkan," kata Mo Sing-sing dengan tertawa.
Hanya dua kalimat saja Mo Sing-sing berbicara, lambat lagi ucapannya, tapi sekaligus Thi Sim-lam sudah memberondong lawannya belasan kali pukulan dan tepat mengenai sasarannya, terdengar suara "blak-bluk" berulang-ulang, dada, perut dan bahu Mo Sing-sing benar-benar tergenjot dengan keras.
Tapi Mo Sing-sing menganggapnya seperti tidak kena saja, tubuhnya bergeming, bahkan mulutnya tetap mengeluarkan ucapannya tadi, pukulan itu malah seperti menambahkan semangatnya.
Habis memukul 14 kali muka Thi Sim-lam sampai pucat dan musuh tetap diam saja, ia tidak mampu melontarkan pukulan ke-15 lagi, ia berdiri terkesima.
"Sudah habis?" tanya Mo Sing-sing sambil melonggarkan napas.
"Habis," jawab Thi Sim-lam dengan menggereget.
"Baik, sekarang giliranku!" kata Mo Sing-sing. "Wuuutt!" mendadak sebelah tangannya menghantam.
Mana bisa Thi Sim-lam menahan pukulan dahsyat itu, cepat ia mendak ke bawah dan menerobos lewat di bawah ketiak orang, berbareng sebelah kakinya menjegal dan ditambahi pula dengan sedikit pukulan.
Thi Sim-lam tidak berani memandang cara jatuh orang yang serba konyol itu, tapi ia terus melompat ke depan. Mendadak di depan menyembul keluar sebuah benda, ternyata sebuah kepala yang menyerupai kepala ayam jantan. Waktu ia menoleh, dilihatnya Mo Sing-sing sudah melejit bangun dan sedang tertawa lebar. Sedangkan dari sebelah kiri tiba-tiba terjulur sebuah tangan kecil berbulu seperti tangan kera dan berkata, "Serahkan barangnya!"
Dari gerakan ketiga orang itu, sejak tadi Siau-hi-ji sudah tahu Thi Sim-lam pasti tidak mampu lolos, berkelahi jelas juga bukan tandingan mereka. Diam ia menghela napas dan membatin, "Tampaknya aku harus ikut campur tangan, walau pun sang guru juga belum tentu mampu menyelamatkan si murid, tapi barang yang dibawa muridnya sekali-kali tidak boleh direbut orang."
Dilihatnya Thi Sim-lam sudah terkepung di tengah. Sambil menggosok-gosok kepalan segera Siau-hi-ji hendak menerjang keluar. Tapi pada saat itulah tiba-tiba terdengar kumandang suara keleningan kuda dari kejauhan. Menyusul lantas terlihat sesosok bayangan merah, seperti gumpalan api.
Gumpala api itu ternyata terdiri dari seorang bersama kudanya, pakaiannya merah, kudanya juga merah. Semula hanya kelihatan titik merah, tapi dalam sekejap saja sudah dekat.
Waktu terdengar kumandang suara keleningan, hati Li dan Mo bersaudara serta Thi Sim-lam sama terkesiap, ketika nampak munculnya orang bersama kudanya yang merah membara itu, belasan orang seketika terkesima seperti patung.
Terdengar suara nyaring merdu membentak, "Seluruhnya ada 19, siapa pun dilarang bergerak!"
Menyusul cambuk yang juga berwarna merah berputar dan menyabet secepat kilat, dalam sekejap saja para Li bersaudara sama terguling dan meringis kesakitan, cambuk orang menyambar tiba, tapi para Li bersaudara itu tidak berani lari dan juga tidak berani menangkis, ingin menjerit saja tampaknya juga tidak berani, terpaksa mereka hanya menggereget menahan rasa sakit.
Penunggang dan kudanya yang berwarna merah itu terus mengitar satu kali, para Li bersaudara seluruhnya terkapar. Diam-diam Siau-hi-ji bersorak memuji permainan cambuk orang, ia pun bersyukur bahwa Thi Sim-lam mempunyai seorang kawan selihai itu sehingga dirinya tidak perlu lagi turun tangan menolongnya.
Siau-hi-ji tidak tahu bahwa air muka yang berubah paling pucat bukan lain daripada Thi Sim-lam sendiri. Maklumlah, Siau-hi-ji benar-benar terpesona oleh pendatang yang hebat sehingga tidak sempat mengamati orang lain.
Kalau ketiga Mo bersaudara terlalu buruk rupa, maka pendatang ini sungguh teramat cantik, pada hakikatnya serupa bidadari yang baru turun dari kayangan. Bajunya merah laksana bara, wajahnya juga bergincu merah bercahaya, kalau cambuknya serupa ular berbisa dari neraka, maka matanya bersinar laksana bintang di langit. Cambuknya berputar, matanya mengerling.
Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, batinnya, "Asalkan dapat memandang sekejap dua saja olehnya, biar pun dicambuk dua-tiga kali juga bukan soal. Namun... namun sabetan cambuknya sungguh teramat keji. Rupanya pemeo yang mengatakan wanita yang kelewat cantik, hatinya juga semakin keji, tampaknya memang tidak salah."
Sementara itu para Li bersaudara yang terguling dan merangkak di tanah karena cambukan nona baju merah, tadi mereka masih mampu merintih, tapi kemudian merintih saja tidak sanggup, apa lagi bergerak. Namun cambuk si nona baju merah tidak pernah berhenti menyabet, matanya mendelik, wajahnya bersungut, dinginnya sungguh menakutkan orang yang berani memandangnya.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lam berteriak, "Ada permusuhan apa antara mereka denganmu, mengapa kau menghajar mereka sekeji itu?"
"Hm, setiap orang jahat di dunia ini adalah musuhku yang tak dapat kuampuni," jengek si nona baju merah.
"Kau ber... berhenti!" seru Thi Sim-lam pula dengan serak.
"Kau minta aku berhenti, aku justru ingin menghajar terus!" jawab si nona baju merah. Berturut-turut ia menyabet lagi belasan kali, habis itu mendadak berhenti. Ia memutar kudanya, dihadapinya ketiga Mo bersaudara, matanya menatap tajam, jengeknya, "Bagus, kalian tidak angkat kaki, cukup cerdik, tapi aku pun tidak melupakan kalian."
"Nona suruh kami jangan pergi, dengan sendirinya kami menurut," jawab Mo Mo-diong sambil tertawa.
"Tahukah kau mengapa cambukku belum kugunakan terhadap kalian?" tanya pula si nona baju merah.
"Tidak tahu," sahut Mo Mo-diong.
"Orang yang merasakan cambukanku boleh hidup, yang tidak merasakan cambukanku harus mati," kata si nona pula.
"Tapi apakah nona tahu sebab apa kami tidak pergi?" Mo Mo-diong balas tanya.
"Memangnya kau berani pergi?" ujar si nona.
"Hah, sebabnya kami tidak pergi adalah karena orang lain takut padamu, tapi kami bersaudara tidak takut," kata Mo Mo-diong dengan tertawa aneh.
Seperti sudah janji sebelumnya, ketiga Mo bersaudara itu serentak menubruk maju. Kepala Mo Kong-keh yang runcing itu menumbuk ke pinggang si nona, kepalan Mo Sing-sing juga lantas menjotos kepala kuda, sepasang cakar kera Mo Mo-diong terus mencolok mata lawan secepat kilat.
Melihat serangan cepat lagi berbahaya itu sungguh Siau-hi-ji tidak berani membayangkan cara bagaimana si nona akan menangkisnya. Serangan ketiga orang itu mengarah bagian atas, tengah dan bawah, andaikan si nona dapat menyelamatkan kedua matanya tentu juga tak dapat mengelakkan serangan yang menuju pinggangnya, umpama pinggang juga dapat terhindar, tentu kepala kudanya akan remuk.
Tak tahunya hanya terdengar si nona membentak, "Cari mampus ya!" Berbareng itu ia bersiul perlahan, mendadak kuda merah tunggangannya itu berdiri menegak, kedua kaki depan kuda itu terus menggepruk kepala si Kingkong.
Sekali pun Mo Sing-sing tahan pukul kepalan manusia, ternyata tidak sanggup menahan injakan kaki kuda, sebisanya ia berusaha mengelak, namun tidak urung pundaknya tetap terinjak sehingga jatuh terguling.
Saking kagumnya hampir saja Siau-hi-ji bersorak gembira, walau pun sudah diduganya bahwa ilmu silat si nona baju merah pasti sangat lihai, tapi tak terpikir olehnya bahwa kuda tunggangannya juga lain daripada yang lain.
Waktu ia berpaling ke sana, terlihat Mo Mo-diong dan Mo Kong-keh juga menggeletak semua, kedua tangan Mo Mo-diong patah sebatas pergelangan tangan, sedang kepala Mo Kong-keh pecah terpisah menjadi dua.
Biar pun tajam pandangan Siau-hi-ji, namun ia cuma mempunyai sepasang mata, sempat melihat sebelah sini, sukar lagi memandang sebelah sana pada saat yang sama, sama sekali ia tidak tahu cara bagaimana si nona baju merah membereskan kedua lawan yang lain. Tanpa turun dari kudanya, hanya sekejap saja nona cantik itu sudah membereskan ketiga makhluk aneh itu, sungguh sukar dibayangkan betapa tinggi kepandaiannya.
Namun Thi Sim-lam cukup kenal kepandaian si nona baju merah, rupanya ia pun sudah tahu apa yang bakal menimpa diri ketiga orang aneh itu, makanya sama sekali ia tidak mengunjuk rasa kaget, ia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak.
Si nona baju merah tidak menggubris Thi Sim-lam, dia mengendarai kudanya memutar satu lingkaran, cambuknya tetap menyabet ke sana ke sini, setiap tubuh yang sudah menggeletak itu dicambuknya untuk mengetahui apakah orang masih dapat bergerak atau tidak. Tapi tiada seorang pun dapat bergerak lagi, 19 sosok mayat sudah menggeletak dengan babak belur, ada yang kehilangan kaki atau tangan, ada pula yang kepalanya pecah.
Sementara itu sang surya sudah mulai terbenam di ufuk barat, senja telah tiba, si nona baju merah yang cantik itu perlahan mengelilingi mayat yang bergelimpangan itu. Thi Sim-lam tetap berdiri di sana tanpa ada maksud ingin melarikan diri, ia hanya melotot memandang si nona baju merah, namun air mukanya yang pucat tidak berbeda banyak dengan tubuh-tubuh yang menggeletak di tanah itu.
Akhirnya si nona baju merah memutar kudanya ke depan Thi Sim-lam. Walau pun tempat sembunyi Siau-hi-ji berada di belakang si nona sehingga tidak dapat melihat mukanya, tapi ia menduga si nona tentu sedang tertawa. Tanpa tertawa saja sudah demikian cantiknya, waktu tertawa entah berapa kali terlebih menggiurkan. Diam-diam Siau-hi-ji menyesal tak dapat melihat wajah si nona. Ia menduga si nona mungkin menaruh hati kepada Thi Sim-lam, makanya dia membereskan semua orang yang memusuhi Thi Sim-lam.
Tak terduga lantas terdengar nona cilik itu mendengus, "Hm, bagus Thi Sim-lam, kau memang hebat sehingga mampu lari sampai di sini. Orang yang dapat kabur sejauh ini dari tanganku, selain dirimu tiada keduanya lagi."
Thi Sim-lam tetap mendelik saja tanpa menanggapi.
Si nona baju merah berkata pula, "Tapi sekarang kau tak mungkin dapat kabur lagi."
"Sebab itulah aku tidak kabur," jawab Thi Sim lam tiba-tiba.
"Ehm, sangat cerdik, jauh lebih pintar daripada orang ini," kata si nona baju merah. "Tapi kalau kau benar cerdik, maka lekas serahkan barangmu itu agar aku tidak perlu buang tenaga lagi."
Mendengar percakapan mereka itu semakin kaku, baru sekarang Siau-hi-ji tahu bahwa maksud tujuan kedatangan si nona baju merah tenyata tidak untuk menolong Thi Sim-lam melainkan serupa dengan orang yang dibinasakannya itu. Tiba-tiba tergerak hati Siau-hi-ji, ia merogoh keluar semacam benda, lalu merunduk ke sana. Angin meniup santer sehingga rumput panjang berkeresekan oleh desiran angin dan kebetulan dapat menutupi suara gerak-gerik Siau-hi-ji.
"Kau mau menyerahkan atau tidak?" demikian terdengar si nona baju merah mendesak.
"Barang apa? Pada hakikatnya aku tidak tahu apa kehendakmu?" jawab Thi Sim-lam.
Si nona baju merah menjadi gusar, bentaknya, "Selamanya belum pernah kubicara sehalus ini dengan orang, tapi kau malah... malah berlagak pilon." Mendadak cambuknya berputar, "tarrr", kontan ia menyabet.
Walau pun tubuh Thi Sim-lam terkena sabetan cambuk, namun sabetan itu tidak terlalu keras, Thi Sim-lam tetap berdiri tegak, katanya dengan hambar, "Biar pun kau bunuh aku juga tidak tahu barang apa yang kau maksud."
"Baik, kau yang memaksa aku bertindak, kau tentu sudah kenal sifatku," si nona baju merah mengumbar marahnya dan cambuknya terus menyabet.
Dalam keadaan gusar, nona itu tidak tahu Siau-hi-ji telah merunduk ke belakang kudanya, mendadak tampak lelatu api meletik, ekor kuda lantas tersulut api dan membakar pantat.
Betapa pun tangkas dan pintarnya kuda merah itu tetap binatang juga, mana ada binatang di dunia ini yang tidak takut pada api. Keruan kuda itu meringkik kaget dan membedal ke depan. Belum lagi habis ucapan si nona baju merah tadi, tahu-tahu ia sudah dilarikan kudanya hingga belasan meter jauhnya. Andaikan dia mau melompat turun, betapa pun Siau-hi-ji dan Thi Sim-lam tetap sukar lolos.
Namun si nona teramat sayang pada kudanya, ia merasa berat untuk meninggalkannya dan sedapatnya ingin menjinakkan kuda itu. Hal ini rupanya sudah dalam perhitungan Siau-hi-ji, kalau tidak tentu perbuatan itu tak dilakukannya. Nyatanya api yang membakar ekor dan pantat kuda itu tambah ganas sehingga kuda itu ketakutan dan membedal sejadi-jadinya seperti gila.
"Berhenti! Delima, berhenti, jangan takut! Ber... berhenti, Delima!" demikian si nona baju merah berteriak kaget dan berusaha menjinakkan kudanya yang bernama "Delima" itu.
Namun si Delima ternyata sukar lagi dikendalikan, bahkan kabur secepat terbang ke depan sana, hanya sekejap saja sudah menghilang dari pandangan.
Kesempatan itu dengan sendirinya digunakan Siau-hi-ji untuk menarik Thi Sim-lam dan lari ke jurusan berlawanan. Kuda putih ternyata masih mengenal Siau-hi-ji, ia pun ikut lari dari jauh.
Entah sudah berapa jauhnya mereka berlari tanpa berhenti, wajah kedua anak muda itu sudah lesu dan bermandi keringat.
Cuaca mulai gelap, agaknya cukup jauh mereka berlari. Jangankan Siau-hi-ji, mungkin selama hidup Thi Sim-lam juga tidak pernah lari sejauh itu sekaligus tanpa berhenti.
Lari punya lari, akhirnya tertampak di depan sana ada sebuah rumah gubuk bobrok, tanpa pedulikan rumah itu ada penghuninya atau tidak, terus saja mereka menerjang ke dalam. Dan begitu berada di dalam gubuk itu, kedua orang terus berbaring dengan napas ngos-ngosan seperti kerbau, kepala Siau-hi-ji berbantalkan perut Thi Sim-lam dan terdengar jantungnya berdetak keras seakan-akan meloncat keluar.
Untung gubuk itu tiada penghuninya, terlihat sawang di sana-sini, jelas gubuk ini sudah lama ditinggalkan penghuninya. Maka waktu mereka menerobos ke dalam, dengan sendirinya kepala mereka pun berlepotan sawang labah-labah.
Baru saja Siau-hi-ji bermaksud membersihkan kotoran sawang itu, mendadak Thi Sim-lam mendorongnya dengan keras sehingga dia terguling jauh ke sana.
Keruan Siau-hi-ji melotot, katanya, "Sudah kuselamatkan jiwamu, apakah begini caramu berterima kasih padaku?"
"O, ma... maaf! Ya, terima kasih!" kata Thi Sim-lam dengan tergegap dan wajah merah.
"Terima kasih, minta maaf, kentut, bau...." belum habis Siau-hi-ji berseloroh, tiba-tiba Sim-lam benar-benar mengentut, keruan Siau-hi-ji geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.
Muka Thi Sim-lam bertambah merah hingga mirip kepiting rebus, saking malunya sungguh ia ingin menyusup ke dalam bumi apa bila ada lubang.
"Apa salahnya orang kentut?" ujar Siau-hi-ji sambil berbangkit. "Selagi ketakutan setiap orang bisa terkencing-kencing dan terberak-berak, kentut kan kejadian biasa, mengapa kau jadi seperti anak perempuan, sedikit-sedikit muka berubah merah"
"Aku... aku...." Thi Sim-lam gelagapan.
"Jangankan kau ketakutan, bahkan aku pun rada takut," ujar Siau-hi-ji. "Nona cilik itu sungguh lihai, nona secantik itu ternyata begitu keji caranya, sungguh mimpi pun sukar dibayangkan."
"Mungkin cuma beberapa orang saja yang tidak takut padanya di dunia Kangouw ini," ujar Thi Sim-lam.
"Aku percaya," kata Siau-hi-ji. "Orang yang tidak gentar pada langit dan tidak takut pada bumi seperti diriku ini juga jeri padanya, siapa pula yang tidak takut padanya.... Eh, apakah kau tahu siapa namanya?"
"Dia she Thio, orang menjuluki dia Siau-sian-li Thio Cing," tutur Thi Sim-lam.
"Siau-sian-li Thio Cing?"Siau-hi-ji mengulang nama itu. "He, pernah kudengar nama ini...." Segera teringat olehnya sebelum meninggalkan Ok-jin-kok tempo hari, di lembah sarang penjahat itu telah datang seorang pelarian yang mengaku bernama "Sat-hou-thayswe" Pah Siok-tong. Orang ini lah pernah menyebut nona cantik yang ditakutinya itu bernama Siau-sian-li Thio Cing. Waktu itu tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa nona yang berjuluk "bidadari cilik" dan ditakuti orang Kangouw itu ternyata benar-benar seorang nona cilik yang cantik bagai bidadari.....