"Setiap aliran ilmu silat terkemuka di daerah Tionggoan boleh dikatakan kukenal seluruhnya, tapi tiada satu pun yang mirip dengan gaya ilmu silatmu, kukira kelima gurumu itu adalah sebangsa penjual obat kelilingan dan tukang ngamen di pasar?"
"Penjual obat dan pengamen? Hehe, kalau nama mereka kusebut, mustahil kau takkan berjingkat kaget. Mungkin waktu mereka mengasingkan diri kau sendiri masih menetek, tentu saja kau tidak tahu mereka."
"Hm, beberapa jurus silat kembangan begitu mana dapat dibandingkan pula dengan ilmu silatku?" seru pemuda itu dengan gusar.
"Ilmu silatmu.... Ehm, boleh juga," kata Siau-hi-ji. "Tapi kalau melihat potonganmu yang lemah lembut, sungguh sukar dibayangkan bahwa kau mau belajar jurus serangan yang menyerupai orang gila itu."
"Hm, kau tahu apa?" jengek pemuda baju putih. "Ilmu silatku 108 jurus pukulan gila ini andaikan tidak dapat dikatakan nomor satu, sedikitnya juga terhitung nomor dua daripada berbagai ilmu pukulan di dunia persilatan pada jaman ini."
"Hahaha, namanya 108 jurus pukulan gila, ternyata benar ilmu silat permainan orang gila," Siau-hi-ji berkeplok dan tertawa. "Cuma sayang, orang cakap macam dirimu kenapa mesti belajar ilmu silat orang gila begini. Sungguh membikin tidak enak hati orang yang melihatnya."
"Tidak enak hati dilihat, kalau dimainkan lebih-lebih membikin tidak enak hati orang yang melihatnya," tukas pemuda itu.
"Tapi aku sendiri tidak merasakan sesuatu, aku pun tidak mau belajar...." baru saja sampai di sini sekonyong-konyong ia menubruk maju dan menghantam dua kali.
Sekali ini si pemuda baju putih sudah berpengalaman, sebelumnya dia sudah waspada, maka ketika serangan Siau-hi-ji tiba, berbareng ia pun melancarkan serangan untuk membendung pukulan Siau-hi-ji itu.
Siau-hi-ji juga sudah kapok dan tidak berani lagi menghadapinya dengan keras lawan keras, segera ia bergerak memutar ke sana kemari sambil menonjok dan menghantam.
Namun daya tekanan "108 jurus pukulan gila" itu pun sangat mengejutkan, ilmu silat "gila" jenis ini sungguh jauh lebih lihai daripada ilmu silat Toh Sat, Im Kiu-yu dan lain-lain, Siau-hi-ji benar-benar tidak enak menghadapinya.
Setelah melayani belasan jurus pula, mendadak Siau-hi-ji berseru, "Berhenti dulu! Ilmu pukulanmu ini memang lumayan, aku ingin belajar."
Dengan enteng pemuda baju putih melompat mundur, dadanya berjumbul-jumbul, napasnya rada terengah-engah. Diam-diam ia pun mengakui lawannya bukan lawan empuk.
Siau-hi-ji lantas berkata pula dengan tertawa, "Pantas orang bilang bahwa orang waras jangan sekali-kali berkelahi dengan orang gila, sebab pasti bukan tandingannya. Sekarang aku baru percaya ucapan itu memang tidak salah."
"Jadi sudah tahu kelihaianku sekarang?" tanya pemuda baju putih.
"Cuma sayang kau bukan orang gila, kalau tidak ilmu pukulan yang kau mainkan itu pasti terlebih lihai," kata Siau-hi-ji. "Tapi lama-lama jika terlalu sering memainkan ilmu pukulanmu ini, jangan-jangan kau akan menjadi gila sungguhan."
Pemuda baju putih berkerut kening, katanya, "Jika kau ingin mengangkat guru padaku, kenapa kau bicara secara kurang ajar begini?"
"Aku cuma mengatakan ingin belajar ilmu pukulanmu dan tidak menyatakan hendak mengangkat guru padamu," ujar Siau-hi-ji. "Padahal guru juga boleh belajar ilmu pukulan pada muridnya, betul tidak?"
"Memangnya kau ingin berkelahi pula?" jengek pemuda itu dengan gusar.
"Tidak, jangan berkelahi lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sekali kau keluarkan tenaga lagi segera kau akan mati dengan tujuh lubang (hidung, mata, telinga, dan mulut = tujuh lubang) keluar darah. Nah, kuberitahukan dengan maksud baik, janganlah kau tidak percaya lagi."
Saking gusarnya pemuda itu berbalik tertawa, katanya, "Kau setan cilik ini membual seperti setan, kau kira dapat menggertak diriku."
"Menggertak kau? Tidak, sama sekali aku tidak main gertak, tapi bicara sungguh-sungguh. Apakah kau tahu di dunia persilatan ada semacam ilmu gaib yang disebut 'pukulan angin berbisa tujuh langkah'. Artinya, barang siapa terkena pukulan ini, kecuali berdiri tak bergerak, bila bergerak, maka tidak lebih jauh dari tujuh langkah orangnya pasti akan roboh dan tamat riwayatnya."
"Omong kosong, di dunia ini mana ada ilmu pukulan begitu," jengek si pemuda baju putih. Walau pun di mulut ia tidak percaya, tapi diam-diam ia pun merasa seram, kaki terasa lemas dan tidak berani bergerak lagi.
Sambil menatap orang dengan tajam, Siau-hi-ji berkata lirih, "Ilmu pukulanku ini sudah ratusan tahun kehilangan turunan, dengan sendirinya kau tidak tahu, dan tentu juga tidak percaya. Namun tanpa sengaja kudapatkan ajaran orang sakti dan berhasil meyakinkan ilmu pukulan ini, maka...."
"Kau telah berhasil memukul aku satu kali, begitu bukan?" sambung pemuda itu dengan mendengus. Walau pun ia sengaja berlagak tak mengacuhkan ucapan Siau-hi-ji tadi, tapi dalam keadaan demikian, siapa pun pasti waswas dan tidak berani sembarangan melangkah. Maklumlah nama ilmu pukulan "tujuh langkah" itu cukup menakutkan.
"Hah, sekali ini ucapanmu memang tepat," demikian Siau-hi-ji menanggapi, "cuma aku hanya memukul satu kali, bahkan memukul dengan perlahan. Asalkan kau mau mengangkat guru padaku, maka dapatlah kutolongmu."
"Jika kau kira dengan beberapa patah katamu ini dapat menggertak diriku, maka keliru besar dan salah alamat," jengek si pemuda baju putih.
"O, jadi kau tidak percaya?" Siau-hi-ji menegas. "Baik, sekarang kau boleh meraba tulang igamu yang nomor tiga di sebelah kiri, coba apakah di situ terasa kemeng atau tidak? Itulah gejalanya kalau terkena pukulan berbisa 'tujuh langkah' yang kukatakan tadi."
"Hm...." kembali pemuda baju putih mendengus, tanpa kuasa tangannya terus meraba tulang iga yang disebut Siau-hi-ji, tanpa terasa air mukanya lantas berubah juga.
Siau-hi-ji tampak menunduk memandang bayangan sendiri yang membayang di sebelah kaki, katanya, "Bagaimana, terasa sakit dan kemeng bukan?"
Walau pun jarinya rada gemetar, tapi di mulut pemuda itu tetap berteriak, "Sudah tentu sakit, setiap orang pasti mudah merasakan sakit di bagian ini."
"Tapi itu bukan rasa sakit biasa melainkan rasa sakit khusus, rasanya seperti tertusuk jarum, bagai terbakar, sakit bercampur panas, betul tidak?" sembari bicara sorot mata Siau-hi-ji beralih ke muka lawannya, lalu menyambung pula dengan perlahan, "Sekarang coba raba lagi... bukan, bukan di situ. Ya, ke kiri sedikit, ya di situ...."
Begitulah tanpa terasa jari pemuda baju putih bergerak mengikuti komando Siau-hi-ji, mendadak Siau-hi-ji berseru, "Ya, betul di situ tempatnya, tekan jarimu sekuatnya!"
Benar juga, tanpa terasa jari pemuda baju putih menekan bagian tubuh sendiri dengan kuat. Tapi segera tubuhnya terasa kaku kesemutan, "bluk", ia terguling dan tak dapat bergerak lagi.
"Hahaha!" Siau-hi-ji tertawa gembira, "betapa pun cerdikmu akhirnya kena kukerjai juga. Nah, apakah kau tahu cara bagaimana kau tertipu olehku?"
Walau pun takdapat bergerak, tapi mata pemuda baju putih melotot dengan geregetan, matanya merah membara, tapi mulut sukar berucap.
"Nah, dengarkan, di dunia ini pada hakikatnya tidak ada pukulan berbisa 'tujuh langkah' segala dan dengan sendirinya aku pun tidak menguasai ilmu demikian itu. Namun di dunia ini memang benar ada semacam ilmu gaib yang disebut 'Tiam-hiat-cat-meh' (menutuk simpul darah memotong nadi)."
Bicara sampai di sini, Siau-hi-ji berlari ke sana dan menyeret kembali si kuda putih yang menyingkir pergi karena ketakutan tadi. Mata si pemuda baju putih terpentang lebih lebar seperti tidak sabar lagi, ingin mendengar lebih lanjut keterangan Siau-hi-ji.
Dengan perlahan baru Siau-hi-ji berkata pula, "Tiam-hiat yang kumaksudkan lain daripada Tiam-hiat yang dikenal umum. 'Hiat' yang kumaksud adalah darah dan bukan Hiat titik urat nadi. Tiam-hiat yang satu itu gayanya mati, sedangkan Tiam-hiat (tutuk darah) yang kumaksud adalah hidup."
Sembari bicara ia terus tutuk pula dua Hiat-to di tubuh pemuda itu, lalu menyambung, "Dan inilah Tiam-hiat menurut pengertianmu. Hiat-to yang kututuk selalu berada di sini dan takkan berubah dan tak bisa bergeser, makanya kubilang Tiam-hiat adalah mati."
Habis itu Siau-hi-ji menepuk dua kali pula di bawah iga pemuda itu dan berkata lagi, "Sedangkan menutuk darah adalah memotong nadi darahmu, kalau aliran darah tidak lancar, dengan sendirinya tubuhmu tak dapat bergerak. Karena darahmu senantiasa mengalir tanpa berhenti, maka tutuk darah harus tepat menutuk sedetik sebelum aliran darahmu tiba, dengan demikian barulah bisa tepat memotong jalan darahmu. Lantaran darah senantiasa mengalir, sebab itu Tiam-hiat yang kumaksudkan adalah hidup, sekarang kau paham tidak?"
Pemuda baju putih seperti terkesima mendengarkan kuliah Siau-hi-ji dan tanpa terasa menjawab, "Ya, paham."
"Tapi Tiam-hiat untuk memotong jalan darah ini tidak boleh berlangsung terlalu lama, kalau lama orang yang tertutuk bisa mati," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sebab itu barusan sudah kubuka jalan darahmu yang terhenti tadi, makanya sekarang kau dapat bicara lagi."
Walau pun marah, tapi ingin tahu juga pemuda itu, ia bertanya, "Jadi tadi kau memandangi bayangan di tanah adalah untuk menghitung waktu yang tepat mengenai aliran darahku? Lalu kau suruh aku menekan bagian tubuhku dengan sekuatnya."
"Bagus!" Siau-hi-ji berkeplok. "Diberitahu satu segera paham tiga, kau memang anak cerdik."
Pemuda itu mendongkol, tapi katanya, "Meski kau mahir sedikit ilmu Tiam-hiat segala, tapi yang kau pahami tidaklah banyak, pada hakikatnya kau tidak mampu menutuk diriku, makanya kau sengaja menipu aku agar menutuk diriku sendiri."
"Betul, sedikit pun tidak salah," sahut Siau-hi-ji dengan tertawa. "Soalnya orang yang mengajarkan ilmu Tiam-hiat padaku itu silatnya juga sangat rendah, tapi ilmu pertabibannya sangat tinggi, pengertiannya terhadap setiap bagian tubuh manusia boleh dikatakan sejelas dia memandang telapak tangan sendiri, dia dapat menghitung waktu-waktu tertentu serta garis aliran darah di tubuh manusia, tapi tidak tahu cara bagaimana menutuknya. Makanya aku pun terpaksa minta pertolonganmu."
"Huh, akal bulus, terhitung apa?" jengek si pemuda baju putih dengan gemas.
"Akal bulus, katamu? Hm, apakah kau tahu untuk bisa menggunakan akal bulus begitu diperlukan betapa besar ilmu pengetahuan? Pertama aku membikin kau selalu waspada terhadap diriku, dengan demikian selalu mengumpulkan tenaga murni pada tangan dan jarimu. Kedua, aku sengaja mengarang nama 'pukulan berbisa tujuh langkah' yang menakutkan itu agar kau menjadi bimbang."
Mau tak mau si pemuda baju putih menghela napas gegetun, katanya, "Cukuplah dengan kedua akalmu itu."
"Tidak cukup," seru Siau-hi-ji. "Paling sedikit aku pun harus paham dasar ilmu Tiam-hiat dan harus dapat menghitung dengan tepat saat aliran darahmu berdekatan dengan Hiat-to yang bersangkutan sehingga kau sama sekali tidak berjaga-jaga."
Sampai di sini Siau-hi-ji lantas membusungkan dada dan berseru, "Nah, kepandaianku ini pada hakikatnya adalah paduan antara ilmu silat dan kecerdasan. Kalau ilmu silatku tidak tinggi, cara bagaimana dapat membuat kau waswas, bila kecerdasanku tidak cukup, mana lagi dapat membuat kau bimbang. Dari semua ini jelas dalam segala hal kau tidak dapat mengungguli aku, kalau kau mengangkat guru padaku rasanya juga tidak penasaran bagimu."
"Mengangkat guru padamu? Hm, kau... kau mimpi!" bentak pemuda itu dengan gusar.
"Lho, sebelum bergebrak tadi kan sudah ada janji, mengapa kau menjilat ludah sendiri?" tanya Siau-hi-ji.
Wajah pemuda itu menjadi merah, jawabnya, "Kau bunuh aku saja!"
"Untuk apa kubunuh kau? Jika kau sengaja mungkir janji, biarlah kupotong hidungmu, kucungkil biji matamu, kuiris lidahmu dan...."
"Mati saja aku tidak takut, masakah kutakut hal-hal begitu?" teriak pemuda itu.
"Benar kau tidak takut?" tanya Siau-hi-ji.
"Hm," jengek pemuda baju putih.
Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat akal, katanya dengan tertawa, "Baik, karena kau tidak takut, biarlah kuganti cara lain."
"Cara apa pun tetap aku tidak takut!" teriak si pemuda baju putih.
"Kalau kugantung kau di atas pohon, kucopot celanamu dan kupukul pantatmu, kau takut tidak?" tanya Siau-hi-ji. Ia tahu ada sementara orang yang tidak takut mati, tapi kalau dibilang akan dilepas celana dan memukul pantatnya, maka hal ini akan membuatnya mati kutu.
Benar juga, air muka pemuda baju putih mendadak berubah, sebentar merah sebentar pucat. Kalau merah sampai merah padam, kalau pucat sampai pucat menghijau.
"Haha, akhirnya kau takut juga bukan? Nah, lekas panggil Suhu padaku," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sampai gemetar tubuh pemuda itu karena menahan perasaannya yang bergolak, teriaknya dengan serak, "Kau... kau iblis...."
"He, kau tidak panggil Suhu malah panggil iblis padaku.... Baik," mendadak Siau-hi-ji berjongkok dan segera hendak menarik celana orang.
Tanpa disuruh lagi mendadak pemuda itu berteriak, "Suhu! Suhu...."
Baru panggil dua kali, air matanya sudah lantas bercucuran.
Siau-hi-ji mengusapkan air mata orang, lalu berkata dengan suara halus, "Menangisi apa? Mempunyai guru macam aku apakah kurang baik? Apa lagi kau sudah memanggil Suhu, menangis juga tidak ada gunanya.... He, kau menangis lagi, apa kau minta dipukul pantatmu?"
Sedapatnya pemuda itu menggigit bibir dan menahan air matanya.
"Nah, mesti begitu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Oya, kau harus memberitahukan padaku, siapa namamu?"
"Thi... Thi Sim-lam!" jawab pemuda itu.
"Lam (lelaki) atau Lan (anggrek)?" tanya Siau-hi-ji sambil memicingkan mata.
"Sudah tentu Lam lelaki."
"Thi Sim-lam, lelaki berhati baja, bagus, nama yang bagus, hati kaum lelaki seharusnya keras seperti baja, tapi bentukmu serupa anak perempuan, sebaliknya namamu sedemikian keras."
"Dan engkau?" tiba-tiba pemuda baju putih atau Thi Sim-lam, menatap Siau-hi-ji dan bertanya.
"Meski aku terlebih keras daripadamu, tapi namaku tidak sekeras dirimu, namaku Kang Hi... apakah kau tahu ikan, ikan di sungai itu. Nah, orang bilang ikan sungai sangat enak dimakan, pernahkah kau memakannya?"
"Aku... aku sangat ingin memakannya?" jawab Thi Sim-lam dengan menggereget.
Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, mendadak ia mengulur sebelah tangannya ke depan mulut Thi Sim-lam dan berkata, "Kau ingin memakannya, nah, silakan!"
"Kau... kau...." Thi Sim-lam melengak malah.
"Bukankah kau sangat ingin memakan dagingku?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Terus terang, apa pun yang terpikir dalam benakmu tak nanti bisa mengelabui aku, sekali kuterka saja lantas kena."
Thi Sim-lam menghela napas panjang. Memang, selain menghela napas, apa yang dapat diperbuatnya atas Siau-hi-ji?
"Berapa umurmu tahun ini?" tanya Siau-hi-ji.
"Sedikitnya lebih dua tahun daripadamu."
"Seumpamanya benar kau lebih tua dua tahun, tapi ilmu tidak membedakan tua atau muda, yang lebih mahir adalah guru, ini...."
Sampai di sini, tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan orang, "Siau-hi-ji! Kang Hi! Kau jangan pergi! Tidak boleh pergi!"
Seekor kuda secepat terbang berlari tiba, pakaian penunggangnya masih gemerlap, kuncirnya yang kecil-kecil bergoyang-goyang, sesudah dekat penunggangnya terus memberosot turun dan tidak main jumpalitan lagi. Mukanya kini tidak menyerupai bunga Tho pula, tapi pucat seperti mayat, matanya masih bersinar, namun sinar yang penuh rasa khawatir dan takut. Siapa lagi dia kalau bukan si Tho-hoa.
Begitu berhadapan Tho-hoa terus merangkul Siau-hi-ji dan berkata dengan tersendat, "Syukurlah Alhamdulillah.... Dia... dia masih berada di sini."
"Ada apa lagi kau menguber diriku?" tanya Siau-hi-ji.
"Tolong, kumohon, janganlah engkau marah," ucap Tho-hoa. "Engkau boleh memaki dan memukul diriku, tapi engkau harus... harus ikut kembali ke sana bersamaku." Habis berkata air matanya pun bercucuran.
"Ai, tambah lagi seorang tukang menangis, sialan!" ucap Siau-hi-ji sambil mengusapkan air mata Tho-hoa dengan lengan bajunya. "Sudahlah, jangan menangis, kalau matamu bendul lantaran menangis jangan-jangan nanti kau harus ganti nama menjadi bunga jambu dan bukan bunga Tho lagi."
Mendadak Tho-hoa mengikik tawa geli.
"Ya menangis ya tertawa, anak kucing meang-meong...." Siau hi-ji berseloroh.
Tapi Tho-hoa lantas menangis lagi, lengan baju Siau-hi-ji ditariknya untuk mengusap ingusnya, lalu berkata, "Tadi setelah kutinggalkan pulang, dari tempat kejauhan kulihat perkemahan kami banyak dikerumuni orang, terdengar suara cambuk yang menggelegar disertai suara orang sedang membentak, 'Ayo, dilarang bergerak, berbaris di sana, awas kusembelih kalian....' Aku tidak jadi mendekat dan cepat melompat turun dari kuda, aku merunduk ke dekat kemah di semak rumput yang lebat. Sesudah dekat, kulihat perkemahan kami telah dikelilingi satu gerombolan orang, semuanya bersenjata golok dan cambuk, garang dan buas sekali orang-orang itu seperti kawanan bandit."
"Aha, ada bandit menarik juga," kata Siau-hi-ji.
"Kawanan bandit itu telah mengurung saudagar-saudagar Han dan suku bangsa kami, kulihat mereka mencambuki suku bangsaku, sungguh ngeri, dan hancur hatiku menyaksikan kekejaman mereka."
"O, kiranya bandit di padang rumput sedemikian buas," kata Siau-hi-ji.
"Meski di padang rumput ini juga ada bandit, tapi bukan orang-orang macam begitu," tutur Tho-hoa.
"Dari mana kau tahu? Apakah kau kenal kawanan bandit di padang rumput sini?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Walau pun bandit padang rumput juga bangsa Han, tapi supaya leluasa beraksi, mereka suka mengenakan pakaian kaum penggembala, sedangkan dandanan kawanan bandit tadi sekali pandang saja kutahu mereka datang dari Kwanlwe (dalam benteng tembok besar), kuda tunggangan mereka juga bukan kuda Tibet melainkan kuda Sujwan, kaki kuda Tibet panjang, kaki kuda Sujwan pendek, sekali lihat saja dapat membedakannya."
Siau-hi-ji tak berolok-olok pula, ia mengernyitkan dahi dan berkata, "Jadi orang-orang itu jauh-jauh datang dari Kwanlwe, dengan sendirinya tujuan mereka bukan untuk merampas harta benda kalian, tapi...."
"Benar, mereka tidak merampas harta benda melainkan mencari orang," sela Tho-hoa.
"Mencari orang? Mereka hendak menculik? Kau akan diculik?" tanya Siau-hi-ji dengan terbelalak.
"Mereka mencari seorang lelaki bangsa Han, konon orang itu telah diuber hingga lari ke tempat kami ini, ada seorang pengintai mereka menyaksikan orang itu berada di perkemahan kami, sebab itulah mereka memaksa kawan-kawan kami menyerahkan orang yang dicari mereka itu."
"Dan sudahkah orang itu diserahkan?" tanya Siau-hi-ji.
"Pada hakikatnya kami tidak tahu siapa yang mereka cari, seluruh perkemahan juga sudah mereka obrak-abrik dan tidak menemukannya, mereka menuduh kami menyembunyikan dia dan memberi batas waktu satu jam untuk menyerahkan orangnya, kalau tidak... mereka mengancam akan membunuh dan menodai saudara-saudara perempuan kami," berkata sampai di sini Tho-hoa lantas menangis sedih. Dia mendekap di tubuh Siau-hi-ji dan berkata pula, "Makanya kususul kemari untuk memohon pertolonganmu, kutahu engkau serba pandai, harimau saja pernah kau bunuh beberapa ekor, betapa pun buasnya orang-orang itu tetap manusia dan tak dapat dibandingkan dengan kebuasan harimau...."
"Kau salah," kata Siau-hi-ji, "manusia terkadang lebih buas daripada harimau."
"Tapi engkau harus kembali ke sana untuk menolong mereka, harus... harus...."
Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu bertanya, "Tahukah kau siapa yang dicari mereka?"
"Tadinya kukira yang dicari mereka adalah dirimu, tapi dari percakapan mereka kemudian kutahu yang dicari adalah seorang 'bocah she Thi'. Apakah... apakah kau tahu siapa dia?"
"She Thi?" Siau-hi-ji menegas sambil mengerling binal, "O, aku... aku tidak tahu...."
Sejak tadi Thi Sim-lam mengikuti pembicaraan mereka dengan melotot, kini mendadak ia berteriak, "Aku inilah she Thi, aku inilah yang mereka cari!"
Tho-hoa terkejut, ia menatap Thi Sim-lam dengan terbelalak heran.
"Tolol, mengapa kau mengaku," ujar Siau-hi-ji sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Tapi Thi Sim-lam tidak menggubrisnya, teriaknya pula, "Adakah orang perempuan di antara kawanan bandit itu?"
"Ti... tidak ada," sahut Tho-hoa ragu-ragu. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa orang yang dicari kawanan bandit itu adalah anak muda yang cakap dan lembut ini. Seketika ia melenggong dan tidak menangis lagi.
Segera Thi Sim-lam berteriak pula, "Baik, mereka mencari diriku, biarlah kuikut ke sana!"
"Kau akan ke sana? Ah, jangan, jangan!" kata Tho-hoa.
"Hanya dengan kepergianku ke sana baru dapat menyelamatkan suku bangsamu, mengapa jangan?" kata Thi Sim-lam.
Tho-hoa menunduk, katanya dengan perlahan, "Orang seperti engkau, kalau ke sana kan sama saja seperti domba masuk mulut harimau? Mana kutega membiarkan kau mati konyol? Kukira lebih baik... lebih baik kau lari saja."
"Hm, memangnya kau kira aku takut pada mereka?" jengek Thi Sim-lam. "Huh, orang-orang geblek macam mereka itu biar pun seratus orang bergabung menjadi satu juga tak dapat menandingi sebuah jariku."
"Jika kau tidak takut pada mereka, mengapa jauh-jauh kau kabur ke sini?" ujar Tho-hoa.
"Aku... aku...." Thi Sim-lam jadi gelagapan dan tak dapat menjawab.
"Ah, jangan-jangan yang kau takutkan hanya seorang perempuan, sebab itulah demi mendengar mereka itu lelaki semua, lalu kau tidak takut lagi," kata Tho-hoa tiba-tiba.
Muka Thi Sim-lam menjadi merah, serunya, "Kau tidak perlu urus!"
"Aha, kiranya kau tidak takut pada lelaki melainkan cuma takut pada perempuan," seru Siau-hi-ji sambil berkeplok. "Hah, penyakitmu ini ternyata hampir sama dengan diriku, sungguh aku pun kepala pusing bila melihat perempuan."
"Biarlah aku ke... ke sana!" teriak Thi Sim-lam.
"Eh, kalau kau mati nanti, kan aku pun kehilangan murid," kata Siau-hi-ji.
"Kutanggung pasti kembali ke sini," seru Thi Sim-lam.
Dengan memiringkan kepala Siau-hi-ji berlagak berpikir, lalu berkata dengan tertawa, "Coba lihat, ksatria sejati bukan muridku ini, Tho-hoa?"
Tapi Tho-hoa memandang Thi Sim-lam dengan terkesima, katanya kemudian dengan berdoa, "Semoga Allah memberkati engkau."
"Haha, ksatria menolong si cantik, kisah indah harus kusambut dengan baik. Baiklah, berangkatlah engkau!" habis berkata, Siau-hi-ji menepuk perlahan dua kali di punggung Thi Sim-lam dan segera pemuda itu melompat bangun.
"Dan engkau...?." tanya Tho-hoa.
"Sudah ada seorang ksatria masakah belum cukup?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Biarlah kutunggu saja di sini."
"Orang yang tidak suka menolong sesamanya, kelak tentu juga tiada orang yang menolong engkau," omel Tho-hoa. Tanpa memandang lagi pada Siau-hi-ji, segera ia mencemplak ke atas kuda dan berseru, "Thi... ayolah engkau juga naik kudaku!"
Thi Sim-lam memandang sekejap ke arah Siau-hi-ji dengan ragu, tapi akhirnya ia mencemplak juga terus dilarikan secepat terbang.
Sambil mengikuti kabut debu yang mengepul makin jauh itu, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa, "Nona yang suka pacaran, cintanya pasti tidak teguh. Sekali Thi Sim-lam tergoda olehnya, entah kapan baru dia dapat melepaskan diri." Perlahan ia tepuk leher kuda putihnya, lalu berkata pula, "Kudaku sayang, marilah kita pun pergi menonton keramaian. Tapi bila melihat kuda betina cantik janganlah kau mendekatinya, usia kita masih kecil, bila tergoda oleh perempuan, maka tenggelamlah selama hidupmu."
Dalam pada itu Tho-hoa sedang melarikan kudanya secepat terbang, rambutnya yang panjang melambai tertiup angin dan mengusap muka Thi Sim-lam, tapi Thi Sim-lam seperti tidak merasakan sesuatu dan tanpa bergerak.
Tho-hoa merasakan hawa hangat napas Thi Sim-lam mengembus ke kuduknya hingga membuatnya kerih, namun sedapatnya dia pegang tali kendali dengan kencang, katanya sambil melirik ke belakang, "Apakah dudukmu cukup kukuh?"
"Ehm," sahut Thi Sim-lam.
"Jika dudukmu tidak enak, sebaiknya kau rangkul aku agar tidak terperosot," kata Tho-hoa pula.
"Ehm," kembali Thi Sim-lam menjawab singkat dan tanpa rikuh ia benar lantas merangkulnya.
Seluruh badan Tho-hoa merasa lemas semua, mendadak ia berkata, "Asalkan kau dapat menyelamatkan suku bangsaku, apa pun... apa pun akan kuberikan padamu."
"Ehm," lagi-lagi Thi Sim-lam hanya mendengus saja.
Tho-hoa mencambuk kudanya lebih keras. Perjalanan ini sebenarnya tidak dekat, tapi Tho-hoa merasa hanya sebentar saja sudah sampai. Mereka sudah dapat melihat tanda warna kuning di kejauhan dan dapat mendengar suara jerit takut orang banyak.
"Apakah kita terjang masuk begini saja?" tanya Tho-hoa sesudah dekat.
Mendadak sesosok bayangan putih melayang dari belakang, Thi Sim-lam yang duduk di belakangnya itu tahu-tahu sudah berdiri di depan sana. Tho-hoa terkejut dan bergirang, cepat ia menahan kudanya.
Segera Thi Sim-lam membentak ke arah perkemahan, "Ini Thi Sim-lam berada di sini! Siapa yang mencari aku?"
Jerit takut dan mencaci maki di dalam kemah seketika sirap. Terdengar suara angin mendesir, baju Thi Sim-lam berkibar terembus angin. Mendadak seorang bergelak tertawa di dalam kemah dan berteriak, "Bagus, bocah she Thi, kau memang pemberani, tidak sia-sia juga saudara keluarga Li kami menunggu di sini."
"Hm, memang sudah kuduga pasti kalian," jengek Thi Sim-lam. "Jika yang kalian kehendaki adalah diriku, nah, tunggu apa lagi? Ayolah keluar ikut padaku!" Berbareng ia terus putar tubuh dan melangkah ke sana dengan perlahan.
Serentak suara ramai berjangkit dari dalam kemah, belasan ekor kuda menerobos keluar sekaligus, di tengah teriakan seram tercampur gemuruh lari kuda, sungguh membuat hati orang berdebar.
Namun Thi Sim-lam masih tetap berjalan dengan perlahan, bahkan berkedip saja tidak.
Menyaksikan itu dari jauh diam-diam Tho-hoa khawatir dan girang. Girangnya karena pemuda she Thi memang ksatria sejati dan gagah berani. Khawatirnya karena bentuk Thi Sim-lam yang lemah lembut itu mungkin bukan tandingan kawanan bandit itu.
Begitulah belasan penunggang kuda dalam sekejap saja telah mengepung Thi Sim-lam di tengah. Tapi Thi Sim-lam tetap tidak menggubris, walau pun kawanan bandit itu sama bersenjata, namun tiada seorang pun berani turun tangan.
Setelah berjalan agak jauh barulah Thi Sim-lam berhenti, lalu menjengek, "Baiklah, sekarang katakan, untuk apa kalian mencari diriku?"
Seorang lelaki berewok dan bermata satu paling depan segera berteriak dengan bengis, "Kami ingin tanya kau dulu, benda itu berada padamu bukan?"
"Betul, berada padaku," jengek Thi Sim-lam. "Tapi melulu beberapa orang macam kalian ini tidak sesuai untuk mengincarnya. Jika kalian mengira kedatanganku ke sini adalah untuk menghindari pencarian kalian, maka salahlah kalian."
"Keparat?" teriak si mata satu dengan murka, mendadak ia tarik tali kendalinya, kudanya berjingkrak, lalu menerjang maju, cambuknya menggeletar terus menyabet laksana lilitan ular.
"Turun!" bentak Thi Sim-lam nyaring, sekali tangannya bergerak, entah cara bagaimana tahu-tahu ujung cambuk sudah dipegangnya terus disendal, kontan tubuh si mata satu yang besar itu mencelat dan jatuh terguling jauh di sana.
Ketika Thi Sim-lam memutar cambuknya, kuda lawan sama meringkik kaget dan berjingkrak mundur. Mendadak sinar golok berkelebat, dua penunggang kuda menyergap dari belakang, golok besar terus menabas kuduk Thi Sim-lam.
Tanpa menoleh Thi Sim-lam sedikit mendak ke bawah, kedua golok musuh menyambar lewat di atas kepalanya, sebelum lawan sempat berbuat lain, cambuk Thi Sim-lam sudah menyambar, ujung cambuk menutul perlahan bagian iga kedua musuh itu dan kontan terguling dari kuda mereka. Seorang bahkan ketambahan disepak oleh kaki kuda sendiri sehingga terpental, golok yang dipegang pun menabas sebagian pipi sendiri sehingga darah bercucuran. Seorang lagi sebelah kakinya masih tersangkut pada injakan pelana dan sukar terlepas, akibatnya dia terseret oleh kudanya yang lari ketakutan.
Begitulah dalam sekejap saja Thi Sim-lam berhasil membereskan tiga lawan dengan mudah, keruan sisa musuhnya menjadi takut.
"Hehe, kiranya cuma begini saja kepandaian keluarga Li, tapi berani mengincar barangku?" jengek Thi Sim-lam.