Tidak lemah juga Ginkangnya, cuma tenaganya yang kurang, seperti kelelahan lantaran sudah berlari-lari sekian hari tanpa berhenti dan seperti juga sudah beberapa hari tidak makan.
Tidak jelek pula wajahnya, hanya hidungnya yang besar membetet itu saja yang membuat orang jemu bila melihatnya.
Pakaiannya sebenarnya sangat perlente, bahkan jelas dibuat oleh ahli jahit terkemuka, tapi kini kain bajunya sudah compang-camping, kotor dan bau.
Karena hawa panas, butiran keringat tampak berketes-ketes dari dahinya menurun melalui hidungnya yang membetet itu terus masuk mulutnya. Tapi dia sama sekali tidak ambil pusing.
Baru setelah melihat tulisan “Ok-jin-kok” di tugu perbatasan itulah orang itu tampak menghela napas lega. Namun larinya bertambah cepat dan langsung menelusuri jalan berbatu licin itu.
Genting rumah gemerlapan karena cahaya matahari yang benderang, pintu dan jendela setiap rumah sama tertutup, tidak nampak seorang pun dan tidak terdengar sesuatu suara.
Agaknya orang itu pun merasa heran, dia celingukan ke sana dan ke sini, dengan waswas dan kebat-kebit ia melangkah ke depan, ia tidak lari lagi seperti tadi. Mungkin dia ingin berseru memanggil, tapi tidak berani.
Pada saat itulah, tiba-tiba di bawah emper rumah sebelah kiri sana ada orang menegurnya dengan perlahan, “Hei!”
Meski suara itu tidak keras, tapi cukup membuat orang itu berjingkat kaget, mukanya yang memang pucat menjadi semakin pucat. Ibarat burung yang sudah kapok mendengar suara jepretan, biar pun suara keresek perlahan saja akan membuatnya takut.
Ketika ia berpaling ke sana, terlihatlah di bawah emper yang teduh sana ada sebuah bangku bambu, seorang anak muda berusia tiga belas-empat belas tampak berbaring miring dengan mata setengah terpejam.
Badan bagian atas anak muda itu telanjang, jelas kelihatan tubuhnya penuh bekas luka, goresan bekas luka itu malang melintang entah betapa banyaknya. Sebuah codet yang paling berkesan adalah di mukanya, codet itu menyilang dari ujung mata hingga hampir mencapai ujung mulut.
Rambut anak muda itu pun tidak tersisir, hanya diikat begitu saja bagian atas. Dengan kemalas-malasan dia selonjor di bangku bambu itu seakan-akan dunia ini ambruk juga bukan urusannya.
Anak muda itu seakan-akan loyo bagai kakek-kakek, tapi sorot matanya memancarkan sinar yang bersifat binal, nakal, sehingga tampaknya juga seperti anak kecil saja. Tapi entah mengapa anak muda yang tubuhnya penuh bekas luka, binal dan kemalas-malasan ini ternyata mempunyai daya tarik yang sangat kuat. Lebih-lebih wajahnya, meski ada codet, tapi codet yang tidak membuatnya kelihatan jelek, sebaliknya malah membuat wajahnya itu menimbulkan daya tarik yang sukar dilukiskan.
Anak muda yang tubuhnya penuh bekas luka, binal kemalas-malasan ini ternyata memberi kesan pertama bagi siapa pun yang melihatnya, yaitu pemuda cakap, kalau tidak mau dikatakan sangat cakap.
Hanya sekejap saja lelaki hidung betet itu memandangnya dan ia pun terkesima. Kalau lelaki saja demikian bila melihatnya, apa lagi perempuan, mustahil takkan kesengsem?
Anak muda itu seperti ingin menggapai, tapi tangan pun malas diangkatnya, dia cuma menegur pula dengan tertawa, “Kenapa kau melenggong? Kemarilah sini!”
Tanpa terasa si lelaki hidung betet mendekatinya, ia berdehem perlahan, lalu menyapa dengan mengiring tawa, “Engkau baik-baik, Engkoh cilik?”
“Kau kenal aku?” tanya anak muda itu.
“Ti... tidak,” jawab si hidung betet.
“Kau tidak kenal diriku, mengapa tanya kebaikanku?”
Si hidung betet melengak, jawabnya dengan gelagapan, “Ini... ini....”
Biasanya ia pun suka bangga pada mulutnya sendiri yang pandai bicara, tapi sekarang ia benar-benar mati kutu dan tidak sanggup menjawab.
“Kuberitahu, namaku Siau-hi-ji,” anak muda tadi bergelak tertawa. “Dan kau siapa?”
Untuk menyebut namanya sendiri, mendadak si hidung betet membusungkan dada, lalu menjawab, “Pah Siok-tong, berjuluk ‘Sat-hou-thayswe’ (si datuk pembunuh harimau).”
“Hihihi, Sat-hou-thayswe.... Ehm, boleh juga sebutan ini,” Siau-hi-ji mengikik geli. “Eh, berapa ekor harimau pernah kau bunuh?”
Kembali si hidung betet alias Pah Siok-tong itu melengak, jawaban dengan tergagap, “Ini... ini....”
“Hahahaha!” Siau-hi-ji tertawa. “Kupernah membunuh beberapa ekor harimau dan tidak pernah pakai sebutan Sat-hou-thayswe segala. Kau tidak pernah membunuh barang seekor harimau, tapi pakai nama Sat-hou-thayswe, ini kan lucu dan tidak adil?”
Pah Siok-tong melenggong tak bisa bicara, ia benar-benar serba konyol, ya gemas, ya dongkol. Coba kalau tidak berada di Ok-jin-kok, tentu kepala anak muda itu sudah dipenggalnya sejak tadi.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, “Melihat caramu berlari seperti diuber setan tadi, orang yang kau salahi tentu bukan sembarangan dan ilmu silatnya pasti sangat tinggi. Siapakah gerangan dia? Coba ceritakan!”
Sejenak si hidung betet itu termenung, akhirnya berkata, “Orang yang kusalahi tidaklah cuma satu, di antaranya ada ‘Kanglam-siang-kiam’ (sepasang pedang dari Kanglam), yaitu kedua saudara keluarga Ting, lalu ‘Peng-hou’ (harimau sakti) Siang Hong, ‘Kang-pak-it-liong’ (naga tunggal di utara Sungai) Dian Pat dan....”
“Hahaha, kiranya mereka ini....” Siau-hi-ji tertawa. “Nama orang-orang ini pun pernah kudengar, rasanya juga tiada sesuatu yang luar biasa....”
“Kedengarannya nada Engkoh cilik ini tidak kecil,” jengek Pah Siok-tong.
“Dan nada Toako ini ternyata tidak besar,” balas Siau-hi-ji dengan tertawa.
Amat mendongkol hati Pah Siok-tong, dia menyambung pula, “Meski beberapa orang itu tidak terlalu luar biasa, tapi di antaranya ada seorang yang benar-benar membuat setiap orang kepala pusing bila melihatnya.”
“Wah, apakah dia setan kepala besar?” tanya Siau-hi-ji.
Pah Siok-tong tidak menggubrisnya dan melanjutkan, “Bicara tentang orang ini, namanya sungguh terkenal di dunia Kangouw saat ini.”
“Siapa namanya?” tanya Siau-hi-ji.
“Siau-sian-li Thio Cing,” jawab Pah Siok-tong.
“Siau-sian-li?” Siau-hi-ji menegas dengan tertawa. “Wah, dari namanya ini dapat dibayangkan dia tentu seorang cantik. Setiap orang yang melihatnya tentu akan suka, mengapa kau katakan setiap orang akan kepala pusing bila melihatnya?”
Dengan menggreget Pah Siok-tong menjawab, “Budak itu memang cantik, tapi kejinya, ganasnya, biar pun si tangan darah Toh Sat di masa lampau juga belum tentu dapat melebihi dia.”
“Oya, begitu hebat dia?” tanya Siau-hi-ji.
Pah Siok-tong semakin geregetan, katanya, “Enam saudaraku telah dibunuh olehnya dalam waktu semalam saja. ‘Hou-lim-jit-thayswe’ (tujuh datuk dari rimba harimau) kini tersisa aku sendiri.”
“Wah, orang macam begitu sungguh kuingin melihatnya,” ujar Siau-hi-ji sambil tertawa.
“Tapi bila kau melihat dia, tentu kau akan menyesal,” kata Pah Siok-tong.
“Coba ceritakan pula, cara bagaimana kau menyalahi mereka?”
“Mengapa kau tanya sebanyak ini?” jawab Pah Siok-tong mendongkol.
“Ini aturan,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sampai sekian lama Pah Siok-tong mendelik, tapi akhirnya ia tertawa dan berkata, “Baik, akan kuceritakan. Soalnya kami bersaudara telah memperkosa janda dan adik perempuan Sim Gin-hong, Congpiauthau dari Sam-wan-piaukiok yang termasyhur itu.”
“Apakah perbuatan itu terhitung busuk?” tanya Siau-hi-ji sambil memandang sekejap pada si hidung betet. “Huh, kebusukan begitu pada hakikatnya cuma dilakukan oleh orang kasar sebangsa kusir dan kuli saja.”
Pah Siok-tong menjadi gusar, katanya, “Ya, hal itu memang belum seberapa, tapi Sim Gin-hong telah lenyap sejak kehilangan barang kawalannya, maka kawan Kangouw cukup menghormati janda dan adik perempuannya, sebab itu....”
“Apa katamu, yang pasti kalau cuma berbuat hal busuk semacam itu saja, kau masih belum memenuhi syarat untuk masuk ‘Ok-jin-kok’, kecuali....”
“Seb... sebab apa?” tanya Pah Siok-tong.
“Ini adalah aturan,” kata Siau-hi-ji.
Sungguh mati, betapa pun Pah Siok-tong tidak berani melanggar aturan “Ok-jin-kok”, terpaksa ia menyambung dengan tertawa, “Kecuali apa?”
“Kecuali kau mengaturkan satu-dua macam benda aneh kepadaku.”
“Kudatang ke sini dengan tergesa-gesa, mana sempat membawa barang aneh atau berharga segala.”
“Kalau tidak punya barang, kau harus memperlihatkan sejurus-dua kepandaianmu.”
Merah padam muka Pah Siok-tong saking dongkolnya, setelah melenggong sejenak, akhirnya ia berkata, “Baik!” waktu tangannya meraih, tahu-tahu dari pinggangnya terlolos sebilah golok lemas. “Sret-sret-sret,” sekaligus ia menyabet tiga kali dengan cara yang menakjubkan. Ini termasuk kepandaian andalannya yang disebut “tiga jurus pembunuh harimau”. Gerakannya ganas, cepat dan tepat pula.
Tapi Siau-hi-ji menggeleng, katanya dengan tertawa, “Masakah permainan begini juga termasuk kepandaian khas? Huh, pada hakikatnya serupa perbuatanmu, sama-sama tidak boleh diperlihatkan pada orang. Kukira kau harus mencari jalan lain jika ingin masuk Ok-jin-kok.”
“Adakah... adakah jalan lain?” tanya Pah Siok-tong.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Ada, asalkan kau menyembah dan memanggil tiga kali ‘Siau-coh-cong’ (kakek cilik) padaku, habis itu dengan hormat kau persembahkan golokmu itu untukku.”
“Apakah ini pun termasuk aturan?”
“Benar, ini pun aturan!”
“Belum... belum pernah kudengar ada aturan demikian di Ok-jin-kok,” teriak Pah Siok-tong dengan suara parau.
“Siapa bilang ini aturan Ok-jin-kok?” ucap Siau-hi-ji.
Kembali Pah Siok-tong melenggong, katanya, “Habis, atu... aturan....”
“Ini aturanku sendiri!” sambung Siau-hi-ji dengan mengikik.
Saking gemasnya tubuh Pah-Siok-tong sampai gemetar, mendadak ia berteriak, “Baik, terimalah!” Berbareng goloknya terus membacok.
Sungguh sukar dibayangkan, anak muda yang kelihatan malas bergerak tadi, kini licinnya seperti ikan, hanya sedikit bergerak tahu-tahu orangnya sudah memberosot pergi.
Bacokan Pah Siok-tong itu sungguh secepat kilat, tapi tetap mengenai tempat kosong. “Krak”, bangku bambu itu menjadi korban dan terpotong menjadi dua. Keruan si hidung betet terkejut.
Pada saat itulah di belakangnya ada orang tertawa dan berkata, “Hihi, aku berada di sini, apakah kau tidak melihat?”
Mendadak Pah Siok-tong membalik, golok terus menabas. Tapi di belakangnya kosong melompong tiada sesuatu bayangan, sedangkan suara tertawa tadi tahu-tahu berkumandang dari atas emper rumah, katanya dengan haha-hihi, “Jangan tergesa-gesa, kalem saja, aku berada di sini!”
Hampir gila Pah Siok-tong saking gusarnya. Selagi dia hendak menubruk maju pula, tiba-tiba terdengar seorang berseru, “He, apakah di sana itu Pah-jite?!”
Tertampaklah seorang berlari tiba dengan langkah lebar, usia pendatang ini sebaya dengan Pah Siok-tong, empat puluh lebih, lima puluh kurang, tapi gerak tubuhnya jauh lebih lincah dan gesit daripada Pah Siok-tong.
Perawakan orang ini tinggi kurus, ujung mulutnya melengkung ke bawah, wajahnya kelihatan bengis, jahat, tapi lengan baju sebelah kanan tampak kosong dan terselip di ikat pinggang, lengan kanannya ternyata buntung.
Setelah mengawasi sekejap, dengan girang Pah Siok-tong lantas berseru, “He, Bun-lui-to (si golok geledek mejan) Song-samko! Engkau ternyata benar berada di sini, kedatanganku ini justru ingin... ingin mengendon padamu.”
“He, kiranya kalian adalah teman,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Pah Siok-tong memandang Siau-hi-ji sekejap, katanya dengan gemas, “Song-samko, setan cilik ini....”
Belum habis ucapannya dia lantas diseret Song Sam ke samping sana, kata Song Sam, “Pah-jite sudah datang, marilah kubawamu menemui....”
“Nanti dulu, nanti dulu!” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Boleh juga jika kau hendak membawanya pergi, tapi suruh dia ganti rugi dulu bangkuku ini.”
Pah Siok-tong menjadi marah, jawabnya, “Kau....”
Tapi belum lanjut ucapannya kembali ia dicegah Song Sam sambil berkata, “Tentu, kerusakan bangkumu tentu akan diganti, cuma entah bagaimana caranya memberi ganti rugi?”
“Mengingat jasa baikmu, boleh suruh dia berikan goloknya saja,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Kembali Pah Siok-tong gusar, bentaknya, “Bangku bambu rongsokan begini juga minta ganti rugi dengan golok pusakaku....”
Belum habis perkataannya, tahu-tahu golok yang dipegangnya sudah dirampas oleh Song Sam terus diserahkan kepada Siau-hi-ji. Pah Siok-tong bermaksud bicara lagi, tapi segera Song Sam menyeretnya lari ke sana.
Sesudah jauh meninggalkan Siau-hi-ji barulah Song Sam menghela napas lega dan berkata, “Ai, mengapa baru datang Pah-jite lantas menyalahi iblis kecil itu?”
“He, mengapa Song-samko sedemikian takut padanya?” tanya Pah Siok-tong heran dan kejut.
“Bukan cuma aku saja yang takut padanya, setiap penghuni lembah ini siapa yang tidak gentar padanya?” ujar Song Sam sambil menyeringai. “Selama beberapa tahun si iblis kecil ini benar-benar telah membuat kepala pusing setiap orang di sini, siapa yang menyalahi dia, tidak sampai tiga hari pasti akan celaka.”
“He, masakah setan cilik itu begitu lihai?” Pah Siok-tong menegas dengan melenggong.
“Pah-jite, kukatakan bahwa sedikit pun kau tidak perlu penasaran karena kena dikerjai setan cilik ini. Coba kau pikir, adakah sesuatu yang baik di Ok-jin-kok ini? Bocah seusia dia mampu malang-melintang di sarang penjahat, maka dapat dibayangkan orang macam apa dan betapa lihainya?”
“Sungguh sukar dipercaya... sukar dipercaya....” gumam Pah Siok-tong. Mendadak ia menyentuh lengan baju Song Sam yang kosong tak berisi, segera ia tanya, “Samko, apakah ini... ini juga
“Walau pun bukan perbuatannya, tapi juga ada sangkut-pautnya dengan dia,” jawab Song Sam sambil menyengir. Ia menghela napas panjang dan memandang lengannya yang buntung itu, lalu menyambung, “Buntungnya tepat pada hari kedatangannya, empat belas tahun yang lalu. Sungguh lihai amat Yan Lam-thian itu, kalau aku tidak bertindak tegas pada saat itu mungkin jiwaku sudah melayang sejak dahulu.”
“Yan Lam-thian?” Pah Siok-tong menegas dengan kaget. “Jadi setan cilik itu....” belum selesai ucapannya, mendadak ia menjerit ngeri dan roboh terjungkal, punggungnya sudah bertambah suatu lubang dan darah segar mengucur seperti mata air.
Dengan kaget Song Sam berpaling, terlihat seorang sudah berdiri di belakangnya seperti setan iblis, pakaiannya kelabu pucat melambai-lambai tertiup angin, matanya celong dan mukanya kaku menyeramkan. Dengan suara gemetar Song Sam berseru, “Engkau Im... Im....”
“Hm, barangkali kau lupa bahwa di lembah ini siapa pun dilarang menyinggung urusan Siau-hi-ji dengan orang she Yan itu,” kata Im Kiu-yu dengan menyeringai.
“Ya, belum... belum sempat kukatakan padanya,” jawab Song Sam takut.
“Belum sempat kau katakan, namun dia sudah kubinasakan, kau tidak terima?” tanya Im Kiu-yu.
“Aku... aku....” Song Sam gelagapan sambil menyurut mundur. Mendadak ia melompat tinggi ke atas, lalu terbanting dengan keras, tubuhnya tiada tanda terluka, namun tak bisa bergerak lagi.
Di tempat berdiri mereka tadi kini sudah bertambah pula seorang nenek bertongkat dan bertubuh rada bungkuk.
“Hihi, mengapa Im-lokiu menjadi berhati welas asih?” kata nenek itu dengan terkikik-kikik. “Ketika keparat ini mengucapkan kalimat pertama tadi seharusnya sudah kau binasakan dia, mengapa sampai saat ini masih dibiarkan saja?”
“Justru kutahan untukmu,” kata Im Kiu-yu.
“Untukku?” nenek itu tertawa. “Sudah lama aku tidak membunuh orang, memangnya kau kira tanganku sudah gatal?”
“Ingin kulihat apakah kau punya Siau-hun-ciang (pukulan penggetar sukma) ada kemajuan atau tidak?”
“Kalau ada kemajuan memangnya kau mau apa? Sukmamu juga ingin tergetar?” kata nenek itu, suaranya yang serak tua itu mendadak berubah menjadi lembut menggiurkan. Jelas itulah suara To Kiau-kiau.
“Kalau kau ingin menggetar sukmaku mestinya kau bersolek lebih cantik,” ujar Im Kiu-yu dengan tersenyum dingin.
“Ah, sudah lanjut usia, betapa pun menyamar juga tak dapat menyerupai lagi nona cilik yang cantik,” kata Kiau-kiau dengan tertawa. “Eh, di mana setan cilik itu, apakah tadi dia mendengar percakapan kedua orang ini?”
“Kau tidak tahu, dari mana kutahu?” jawab Im Kiu-yu.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara Siau-hi-ji sedang berseru di kejauhan, “Hai, guci cuka, hidung kerut, berbini muda, beranak....”
“Hihi, si guci cuka Lo Say bisa konyol disatroni setan cilik lagi,” ucap Kiau-kiau dengan tertawa.
“Kalau setan cilik berada di sana, tentu percakapan kedua orang tadi tak didengarnya,” ujar Im Kiu-yu.
“Weh, ada dua orang bicara di sini, ada lelaki ada perempuan, ada manusia ada setan, total jenderal menjadi ada empat. Sungguh aneh bin lucu!” demikian tiba-tiba seorang berolok-olok.
Tanpa menoleh juga To Kiau-kiau tahu siapa yang bicara, dengan tertawa ia menanggapi, “Li Toa-jui, di sini ada dua orang mati, apakah tidak cukup untuk menyumbat mulutmu?”
“Orang yang mati di tangan kalian berdua tidak cocok dengan seleraku,” kata Li Toa-jui sambil tertawa.
“Apakah kau pun hendak pergi ke tempat Toh-lotoa?” tanya Im Kiu-yu.
“Ya, mendadak Ha-ha-ji mengumpulkan kita, entah mau apa?”
Begitulah mereka bertiga lantas menuju ke tempat tinggal Toh Sat. Tapi mereka berjalan terpisah agak jauh, satu sama lain tidak mau berdekatan.
Toh Sat tetap duduk di sudut rumahnya tanpa bergerak seperti biasa. Semua orang sudah hadir komplet.
Ha-ha-ji lantas berkata, “Haha, sudah lama kita tidak ramai-ramai berkumpul begini.”
“Aku paling benci keramaian,” ucap Im Kiu-yu. “Kau mengundang aku ke sini, kalau tiada yang perlu dibicarakan, aku....”
Cepat Ha-ha-ji memotong, “Eh, jangan menakuti aku, nyaliku kecil.”
“Kau mengumpulkan kami, apakah karena Siau-hi-ji?” tanya To Kiau-kiau.
“Haha, betapa pun memang To kecil kita lebih pintar,” seru Ha-ha-ji.
“Karena setan cilik itu?” tukas Im Kiu-yu. “Memangnya mau bicara apa tentang setan cilik itu? Kalian sudah cukup mendidiknya, yang satu mengajar dia mengganggu orang, yang lain mengajar dia menangis dan yang lain lagi mengajar dia tertawa.... Nah, bukankah sekarang dia mahir seluruhnya, makanya kuundang kalian ke sini,” kata Ha-ha-ji.
“Sebab apa?” tanya Li Toa-jui.
“Soalnya aku tidak tahan lagi,” tutur Ha-ha-ji sambil menghela napas.
“Sampai Ha-ha-ji juga menghela napas, tampaknya dia benar-benar tidak tahan lagi,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.
“Tuan muda kita ini sekarang pergi datang dengan sesukanya, ingin makan lantas makan, mau minum lantas minum, siapa saja tak berani merecoki dia, jika merecoki dia, maka pasti celaka. Ok-jin-kok benar-benar sudah kenyang merasakan gangguannya, selama beberapa bulan ini setidaknya ada tiga puluh orang yang mengeluh, setiap orang itu sedikitnya mengeluh padaku delapan kali,” demikian tutur Ha-ha-ji.
“Ya, setan cilik itu sungguh makin lama semakin lihai, kalau dia bicara dengan aku sekarang sedikitnya aku harus berpikir setengah jam baru berani menjawabnya, kalau tidak pasti akan terjebak,” Suma Yan ikut bicara.
“Mendingan cuma begitu, pada hakikatnya aku menjadi takut melihat dia,” sambung Li Toa-jui sambil menyengir. “Apa bila suatu hari dia tidak mencari aku, maka hari itu adalah hari mujur bagiku, aku dapat tidur nyenyak sepanjang hari, kalau tidak, wah, tidur saja aku mesti waspada terhadap tingkah polahnya.”
“Kita mengganggu orang, sedikit banyak tentu ada tujuan, tapi setan cilik itu mengganggu orang hanya untuk main-main saja, demi hobi,” kata Haha-ji.
“Bukankah kita memang berharap dia berbuat begitu?” ujar Kiau-kiau.
“Tapi yang kita harapkan supaya dia mengganggu orang lain, celakanya setan cilik itu tidak mau tahu kawan atau lawan, keluarga atau bukan, siapa yang dijumpai lantas diganggu olehnya,” ucap Ha-ha-ji. “Dalam hal ini kukira To cilik kita yang paling enak.”
“Aku enak? Enak kentut!” jawab Kiau-kiau. “Beberapa jurus permainanku itu pada hakikatnya sudah dikuras seluruhnya olehnya, malahan dia sudah jauh melebihi aku dan kini aku sendiri pun kepala pusing”.
“Dan bagaimana dengan Toh-lotoa?” tanya Haha-ji.
“Ehm!” dengus Toh Sat.
“Apa artinya ‘ehm’?” tanya Kiau-kiau dengan tertawa.
Toh Sat terdiam sejenak, akhirnya berkata dengan perlahan, “Saat ini kalau aku dikurung di dalam sebuah rumah bersama dia, maka yang bakal keluar dengan hidup pastilah dia.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Kiau-kiau. “Jika Ok-jin-kok juga tidak tahan direcoki dia, apa lagi orang lain. Maka kini mungkin sudah saatnya kita suruh dia keluar....”
“Betul, tepat!” cepat Li Toa-jui menyambung. “Sudah cukup dia mengganggu kita, tiba waktunya dia harus mengganggu orang lain. Untuk sekarang kita bergabung masih sanggup mengatasi dia, kalau tidak pada suatu hari kelak bila kita tidak mampu mengendalikan dia, maka bangkrutlah kita.”
“Bila ingin mengantar kepergiannya, makin cepat makin baik,” ujar Im Kiu-yu.
“Betul, hari ini juga!” tukas Toh Sat.
“Aha, kawan-kawan di dunia Kangouw, teman-teman di dunia persilatan, sahabat kalangan mana saja, sudah tiba kini hari-hari naas bagi kalian!” seru Ha-ha-ji.
“Begitu si setan cilik itu pergi, selama sebulan aku puasa tidak makan daging manusia,” kata Li Toa-jui sambil mendekap dahi.
Menjelang maghrib, perlahan-lahan suasana Ok-jin-kok baru mulai hidup.
Pada saat itulah si binal, Siau-hi-ji, mulai beraksi, dia keliling ke sana dan putar kayun ke sini, akhirnya ia mampir ke tempat Ban Jun-liu.
Tabib itu sedang asyik meneliti ramuan obat-obatan, dia sedang memasukkan beberapa macam obat-obatan ke dalam kuali dan sedang digodok, melihat datangnya Siau-hi-ji, ia memandangnya sekejap lalu menunduk mengikuti perubahan cairan obat di dalam kuali, katanya kemudian, “Apa yang kau peroleh hari ini?”
“Sebuah golok, lumayan,” sahut Siau-hi-ji tertawa.
“Mana goloknya?” tanya Ban Jun-liu.
“Sudah kuberikan pada si guci cuka Lo Say,” kata Siau-hi-ji.
Ban Jun-liu mengaduk cairan obatnya dengan sumpit sehingga uap tebal mengepul, wajah tabib itu tampak mengulum senyuman misterius.
“Di manakah petimu itu?” tanya pula si tabib.
“Ah, sudah lama kubuang, isinya sudah kuberikan semua pada orang”.
“Kau dapat dengan susah payah, mengapa diberikan pada orang?”
“Barang-barang itu untuk main-main sih boleh juga, tapi kalau mau menyimpannya, kukira akan banyak makan pikiran, mana khawatir hilang lagi!” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Nah, kalau khawatir hilang dan takut dicuri orang, bukankah repot jadinya.”
“Bagus!” puji Ban Jun-liu.
“Tapi kalau kuberikan barang-barang itu kepada orang lain, maka semua kerepotan itu akan menjadi bagian orang itu,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Konon di dunia ini tidak sedikit orang yang gemar mengumpulkan harta benda dan barang pusaka, tapi sayang pula tidak digunakan secara wajar. Hah, kukira orang-orang ini tentulah orang tolol.”
“Bila tiada orang-orang tolol begitu, tentu takkan kelihatan kegembiraan kita,” kata Ban Jun-liu. Mendadak ia berbangkit dan berkata, “Bawa kuali obat ini dan ikut padaku.”
Mereka menuju ke belakang rumah besar yang penuh bau obat-obatan itu, di situ ada tiga buah kamar yang tertutup rapat. Inilah “klinik” dan juga “laboratorium” tabib itu.
Selama Ban Jun-liu berada di dalam kliniknya, siapa pun takkan menganggunya, sebab setiap orang di antara mereka itu senantiasa ada kemungkinan akan masuk ke klinik ini.
Di dalam klinik tiada sinar lampu sehingga kelam seperti wajah sang tabib, tampaknya menjadi sangat misterius. Pada sebuah dipan di pojok sana duduk bersimpuh seorang, tanpa bergerak, seperti patung, dia inilah si “kaleng obat” yang dikenal orang itu.
Begitu masuk ke dalam kliniknya, segera Ban Jun-liu menutup kembali pintunya dengan rapat, sehingga klinik itu seketika berpisah dengan dunia luar, seakan-akan tiada sangkut-paut lagi dengan segala persoalan Ok-jin-kok.
Sikap Siau-hi-ji pun segera berubah, ia pegang tangan Ban Jun-liu dan bertanya dengan suara tertahan, “Apakah penyakit paman Yan ada kemajuan?”
Wajah Ban Jun-liu yang tampaknya dingin dan misterius itu tiba-tiba juga mengunjuk rasa khawatir dan prihatin. Dia menghela napas, lalu menjawab dengan menggeleng murung, “Selama lima tahun ini sedikit pun tiada kemajuan. Sudah kucoba dengan segenap ramuan obat yang kubuat, tapi sia-sia saja. Aku... aku pun menjadi lelah.” Lalu dia duduk di kursinya dengan perasaan berat, seakan-akan tidak ingin berdiri lagi.
Siau-hi-ji termangu-mangu lama, tiba-tiba ia berkata, “Tadi kudengar orang menyebut nama paman Yan.”
“O, siapa?” tergerak hati Ban Jun-liu.
“Orang mati, yang omong itu sudah mati,” kata Siau-hi-ji.
Serentak Ban Jun-liu pegang pundak Siau-hi-ji dan bertanya dengan suara tertahan, “Apakah ada orang mengetahui kau mendengar percakapan mereka?”
“Mana bisa,” ujar Siau-hi-ji. “Setelah kudengar ucapannya segera aku mengeluyur ke tempat si guci cuka, di sana aku sengaja menggoda si guci cuka dan memaki dia dengan suara keras, kemudian golok itu kuberikan padanya.”
Perlahan Bun Jun-liu melepaskan pegangannya lalu menunduk diam, gumamnya kemudian, “Tidak mudah, sungguh tidak mudah, meski kecil usiamu, tapi selama lima tahun ini kau dapat menjaga rapat rahasia ini secara ketat, sungguh tidak mudah.” Dia memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu berkata pula dengan tertawa getir, “Apa bila rahasia ini sampai bocor, maka kita bertiga jangan harap bisa hidup lebih lama dalam satu jam, karena itu kau... kau harus hati-hati, jangan menganggap tolol orang lain.”
“Kutahu,” sahut Siau-hi-ji. “Dengan menanggung bahaya paman Ban telah berusaha menolong paman Yan, untuk ini masakah aku tidak... tidak berterima kasih padamu. Andaikan kepalaku dipenggal juga takkan kubocorkan rahasia ini.” Habis berkata, tiba-tiba matanya menjadi merah basah.
“Bicara sejujurnya, tadinya aku tidak percaya padamu,” kata Ban Jun-liu sambil menghela napas. “Tak tersangka, meski kau hidup di lingkungan demikian ini ternyata tidak kehilangan hati nuranimu, kau tetap anak yang baik.”
“Tapi bila Siau-hi-ji berbuat busuk, maka busuknya tidak kepalang tanggung,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa riang. “Cuma, semua perbuatanku juga bergantung kepada siapa sasarannya, pula sejak kutahu hubunganku dengan paman Yan, aku menjadi banyak lebih... lebih alim.”
Ban Jun-liu tersenyum puas, katanya, “Sungguh kagetku setengah mati ketika pada malam itu mendadak kau datang memberitahukan padaku bahwa kau sudah tahu rahasia siapakah gerangan paman si ‘kaleng obat’. Hah, kejadian itu pun sudah lima tahun yang lalu.”
“O, maaf paman,” kata Siau-hi-ji sambil menunduk.
Setelah termenung sejenak, kemudian Ban Jun-liu berkata pula dengan berkerut kening, “Coba ingat-ingat kembali, siapakah gerangan orang yang memberitahukan rahasia ini padamu itu?”
Siau-hi-ji termenung, katanya kemudian, “Sungguh aku tidak ingat lagi.”
“Coba ceritakan bagaimana wajah dan perawakannya?”
“Aku pun tidak melihat jelas, sungguh!” Setelah berpikir pula sejenak, lalu ia menyambung, “Malam itu kutidur di luar rumah Toh Sat, tengah malam tiba-tiba aku merasakan tubuhku dipondong orang.”
“Kau tidak menjerit waktu itu?”
“Aku tidak mampu menjerit, apa lagi waktu itu kukira Toh Sat hendak berbuat sesuatu lagi padaku, pada hakikatnya tak terpikir olehku ada orang lain.”
“Ehm, betul juga,” ujar Ban Jun-liu.
“Di dalam pondongan orang itu, aku merasa seperti terapung di udara, gerak tubuh orang itu cepat luar biasa, hanya sekejap saja sudah jauh meninggalkan lembah ini.”
“Waktu itu kau tidak takut?”
“Harimau saja aku tidak takut, kenapa takut pada manusia?”
Ban Jun-liu bergumam, “Tapi selanjutnya kau akan tahu bahwa manusia terkadang jauh lebih menakutkan daripada harimau.”
“Kemudian orang itu menurunkan aku ke tanah dan tanya aku ini she apa?” tutur Siau-hi-ji lebih lanjut. “Kujawab tidak tahu, orang itu menjadi marah dan memaki aku, katanya aku ini sama seperti binatang, masa she sendiri tidak tahu.”
“Habis itu dia lantas memberitahukan bahwa kau she Kang, begitu?” Ban Jun-liu menegas.
“Ya, malahan dia juga memberitahukan bahwa ayahku bernama Kang Hong, terbinasakan oleh orang ‘Ih-hoa-kiong’, dia berpesan agar aku jangan melupakan dendam kesumat ini, kalau sudah dewasa harus mencari orang Ih-hoa-kiong untuk menuntut balas.”
“Aneh juga,” ujar Ban Jun-liu. “Kedatangan Yan-pepekmu ke Ok-jin-kok ini justru ingin mencari orang yang bernama Kang Khim, tujuannya juga hendak menuntut balas bagi ayahmu.”