Di kala ikut paman Toh itulah Siau-hi-ji paling prihatin dan disiplin, paman Toh yang tangannya buntung sebelah itu selamanya bermuka cemberut, hampir tak pernah mengunjuk senyum. Waktu dia mengajarkan ilmu silat kepada Siau-hi-ji, sedikit saja anak itu lena dan malas, kontan pantatnya lantas dirotan, sebab itulah pantat Siau-hi-ji sering bengkak, namun lama-lama pantatnya menjadi kebal dan kapalan sehingga tidak begitu sering bengkak lagi.
Siau-hi-ji paling gembira kalau sedang hidup dengan paman tertawa, soalnya paman tertawa ini tidak cuma dirinya sendiri suka tertawa, Siau-hi-ji juga diharuskan ikut tertawa. Celakanya kalau pantat Siau-hi-ji sedang bengkak dan paman tertawa itu memaksanya ikut tertawa, maka runyam jadinya.
Di waktu ikut paman Im, hati Siau-hi-ji selalu kebat-kebit, takut. Pada tubuh paman Im itu seperti ada mesin pendingin, sekali pun bulan enam adalah musim panas, asalkan Siau-hi-ji berada di samping paman Im itu, maka akan terasalah hawa dingin yang menggigilkan. Tapi karena bulan sebelumnya ia diharuskan tertawa terus-menerus oleh paman tertawa sehingga kulit mukanya terasa kaku, maka waktu ikut paman Im jadi kebetulan bagi Siau-hi-ji untuk istirahat, untuk mengendurkan urat muka dan perutnya.
Paling risi bagi Siau-hi-ji adalah waktu tinggal bersama paman Li. Paman mulut besar itu selalu mengendus-endus, mencium-cium di sekujur badan anak itu sehingga menimbulkan rasa risi yang sukar dilukiskan.
Ketika ikut bibi To adalah paling aneh bagi Siau-hi-ji. Ia bingung karena sang bibi itu terkadang adalah lelaki, tapi mendadak berubah menjadi perempuan. Sungguh dia tidak jelas sesungguhnya orang ini “bibi” atau “paman”?
Paling istimewa adalah waktu ikut paman Ban. Wajah paman Ban ini pun kaku tiada senyum, tapi dibandingkan paman Toh itu tampaknya jauh lebih ramah, cara bicaranya juga wajar. Namun paman Ban ini selalu mencekoki obat pada Siau-hi-ji, bahkan merendamnya di dalam air obat. Inilah yang membuat Siau-hi-ji merasa tidak betah.
Di rumah paman Ban itu terdapat pula seorang paman “kaleng obat”.
Paman “kaleng obat” sangat aneh, kaku seperti patung, selalu duduk saja tanpa bergerak, setiap hari hanya minum obat dan minum obat melulu, minum obat tak terputus-putus. Jadi obat yang diminum paman “kaleng obat” berpuluh kali lebih banyak daripada Siau-hi-ji, hal inilah yang membuat Siau-hi-ji menaruh simpatik padanya, maklumlah, anak ini tahu benar pahitnya orang minum obat.
Namun paman “kaleng obat” ini selamanya tidak pernah mengeluh, malahan pada hakikatnya dia tak pernah bicara, bahkan matanya juga seakan-akan sukar terpentang.
Kecuali para paman yang akrab dengan dia itu, Siau-hi-ji juga dekat dengan seorang paman yang pintar membuatkan boneka baginya. Sebenarnya Siau-hi-ji sangat suka padanya, tapi aneh, pada suatu hari mendadak paman ahli membuat boneka itu menghilang.
Ke sana ke sini Siau-hi-ji mencarinya dan tidak menemukannya, ia coba tanya orang, namun orang lain juga tidak tahu. Ia coba tanya bibi To, serentak bibi To menunjuk perut paman Li dan berkata, “Dia sudah berada di dalam perut Li Toa-jui.”
Aneh, seorang mengapa bisa berada di dalam perut paman Li? Sungguh Siau-hi-ji tidak mengerti.
Padahal paman Li sendiri juga pernah hilang satu kali. Suatu hari paman Li berteriak-teriak, katanya dia tidak sabar lagi, tidak tahan lagi. Habis itu ia pun menghilang.
Tapi setengah bulan kemudian paman itu kembali dari luar lembah sana dengan sekujur badan penuh luka, melihat keadaannya yang parah itu, kacek sedikit saja jiwanya pasti melayang.
“Nah, baru tahu rasa kamu sekarang,” demikian bibi To lantas berolok-olok pada paman Li. “Sudah kukatakan jangan kau pergi, tapi kamu tidak percaya. Bila kita berdiam di sini, betapa pun orang lain tak dapat berbuat apa-apa dan siapa pun tak berani masuk ke sini. Tapi kalau kita keluar dari sini, maka sama saja seperti babi gemuk yang terlepas dari kandang dan pasti akan menjadi mangsa orang belaka.”
********************
Suatu hari, usia Siau-hi-ji belum lagi genap lima tahun, tiba-tiba Toh Sat, paman Toh, membawanya ke suatu rumah. Di dalam rumah itu sudah ada seekor anjing. Di situlah Toh Sat menyerahkan sebilah pisau kecil kepada Siau-hi-ji.
Tentu saja Siau-hi-ji heran, ia tanya, “Un... untuk apa pisau ini?”
“Pisau dapat digunakan membunuh manusia dan juga boleh digunakan membunuh anjing,” kata Toh Sat.
“Dan juga dapat digunakan memotong sayur dan mengiris Ang-sio-bak, betul tidak?” tukas Siau-hi-ji.
“Ini bukan pisau pemotong sayur,” ujar Toh Sat dengan dingin.
“Jika begitu, aku tidak mau pisau ini, kuingin pisau pemotong sayur saja....”
“Jangan banyak cincong, lekas bunuh anjing itu!” kata Toh Sat.
“Kalau anjing ini bandel, gebuk saja pantatnya kenapa mesti di bunuh?”
“Kubilang bunuh dia, maka kau harus membunuhnya!” bentak Toh Sat gusar.
“Tapi aku... aku... tidak....” Siau-hi-ji tersendat-sendat ingin menangis.
“Kau tak mau membunuhnya? Baik!” mendadak Toh Sat keluar rumah, “krek”, tahu-tahu pintu digemboknya dari luar.
Keruan Siau-hi-ji kelabakan dan berteriak-teriak, “Paman Toh buka, buka pintu, aku ingin keluar, biarkan kukeluar!”
“Tidak, habis bunuh anjing itu baru boleh keluar,” seru Toh Sat di luar pintu.
“Aku... aku tak sanggup membunuhnya, aku... aku....” ratap Siau-hi-ji
“Jika kau tidak sanggup membunuh anjing itu, biar kau yang dimakan olehnya!” ujar Toh Sat seenak perutnya.
Maka menangislah Siau-hi-ji di dalam rumah diseling berteriak-teriak pula, sampai bengkak matanya dan kering tenggorokannya, namun tiada orang yang menggubrisnya, bahkan Toh Sat seperti sudah pergi. Akhirnya Siau-hi-ji tidak menangis lagi.
Tanpa pendengar di sampingnya, pada umumnya anak kecil takkan menangis berlama-lama, teori ini sederhana dan jelas, cuma sayang tidak dipahami kebanyakan orang tua yang selalu memanjakan anaknya.
Di dalam rumah Siau-hi-ji hanya mendeliki anjing itu, anjing itu juga sedang melotot padanya. Meski tidak besar anjing itu, tapi moncongnya besar dan tampaknya rada buas, sesungguhnya Siau-hi-ji rada takut. Dia genggam pisaunya dan tidak berani sembarangan bergerak.
Selang lama dan lama sekali, perutnya mulai berkeruyuk, anjing itu pun menggonggong. Baru sekarang ia ingat belum makan malam. Ia lihat anjing itu pun kelaparan, malahan mungkin sudah dua-tiga hari anjing itu tidak makan.
“Anjing kecil sayang, diam, jangan berteriak, kita senasib, aku pun belum makan,” kata Siau-hi-ji.
Tapi anjing itu menggonggong terlebih keras, lidahnya yang merah terjulur, moncongnya sebentar-bentar mengendus-endus ke arah Siau-hi-ji.
Siau-hi-ji tambah takut, ia genggam kencang pisaunya dan berkata, “Anjing kecil, sahabat baik, aku kelaparan dan takkan makan dirimu, sebaliknya kalau kau lapar juga tidak boleh makan diriku.”
Tapi mendadak “haung”, sambil meraung anjing itu terus menubruk ke arahnya.
“Au, dagingku tidak enak dimakan, tidak enak....” Siau hi-ji berteriak-teriak.
Toh Sat berdiri di luar pintu sambil berpangku tangan, didengarnya suara gonggong anjing itu semakin keras dan semakin seram, tapi mendadak suara apa pun tak terdengar lagi.
Selang sekian lama, perlahan Toh Sat membuka pintu. Dilihatnya Siau-hi-ji tetap menggenggam pisau kecil dan sedang merangkak di lantai mirip seekor anjing kecil, sekujur badannya berlumuran darah, seluruh badan anjing tadi juga penuh darah, cuma Siau-hi-ji masih hidup dan anjing itu sudah menjadi bangkai.
Toh Sat berjongkok dan membangunkan Siau-hi-ji, tanyanya, “Berapa kali kau menikamnya?”
“Sepuluh... dua puluh kali, mungkin lebih, aku sendiri tidak tahu persis,” jawab Siau-hi-ji.
“Tadi kau tidak ingin membunuh dia bukan?”
“Ya, tapi dia... dia hendak makan diriku, terpaksa aku....”
“Terpaksa kau membunuhnya, sebab kalau tidak membunuh dia, kau yang akan dimakan olehnya. Dia tidak mati, kau yang mati. Sekarang kau paham tidak aturan ini?”
Siau-hi-ji mengangguk, jawabnya, “Ehm!”
“Bila mana tadi kau turun tangan lebih dulu, tentu kau takkan terluka separah ini,” ujar Toh Sat. “Nah, mana kala kau tidak boleh tidak harus turun tangan, mengapa kau menunggu dia menyerang lebih dulu? Memangnya kau lebih goblok daripada anjing?”
“Ya, lain kali... lain kali aku sudah tahu,” kata Siau-hi-ji.
“Asal tahu saja,” ucap Toh Sat. “Tapi kau perlu ingat pula, setiap manusia di dunia ini sama saja dengan anjing ini, kau mesti turun tangan lebih dulu, jangan sampai didahului orang lain. Nah, paham?”
“Ehm!” kembali Siau-hi-ji mengangguk.
“Kau takkan lupa?” Toh Sat menegas.
“Selamanya takkan lupa,” jawab Siau-hi-ji.
Toh Sat menatap tajam anak ini, tersembul senyuman puas pada ujung mulutnya.
Karena lukanya itu, hampir setengah bulan Siau-hi-ji berbaring di tempat Ban Jun-liu, setelah mendapat perawatan tabib itu, akhirnya ia pun dapat berjalan. Mukanya memang sudah ada codet, bekas luka, kini tubuhnya banyak bertambah lagi bekas luka.
Selang dua hari, kembali Toh Sat membawanya pergi dan mengurungnya di rumah itu. Di dalam rumah ada pula seekor anjing yang jauh lebih besar dari pada anjing sebelumnya.
“Kau membawa pisau itu?” tanya Toh Sat. Siau-hi-ji hanya mengangguk saja, mukanya pucat dan tak sanggup bicara.
“Baik, bunuh pula anjing ini!” kata Toh Sat.
“Tapi... tapi anjing ini ter... teramat besar.”
“Kau takut?” tanya Toh Sat.
“Ya, ta... takut,” berulang-ulang Siau-hi-ji manggut-manggut.
“Hm, percuma!” omel Toh Sat dengan gusar. “Krek”, mendadak ia keluar rumah dan menggembok pintu dari luar.
Beberapa lama kemudian, suara gonggong anjing di dalam rumah semakin keras, tapi selang tak lama suara itu lantas berhenti. Waktu Toh Sat membuka pintu, anjing itu sudah mati dan Siau-hi-ji masih hidup.
Sekali ini meski sekujur badan anak itu pun berlumuran darah, tapi tidak merangkak lagi melainkan sudah mampu berdiri tegak, walau pun matanya mengembeng air mata, namun bibir tergereget dan berseru dengan lantang, “Sudah kubunuh dia, tujuh belas kali tikaman.”
“Kau masih takut tidak?” tanya Toh Sat.
“Anjing sudah mati, sudah tentu aku tidak takut lagi, tapi tadi....”
“Apa gunanya takut? Kau takut, tetap kusuruh kau bunuh dia, kau takut, dia juga tetap akan mencaplok dirimu. Aturan ini kau paham tidak?”
“Ya, paham,” sahut Siau-hi-ji sambil mengangguk.
“Tahukah mengapa kau terluka?”
Siau-hi-ji menunduk, katanya, “Sebab aku takut, maka tak berani turun tangan lebih dulu.”
“Jika begitu, apakah lain kali kau tetap takut?”
“Tidak, takkan takut lagi,” jawab Siau-hi-ji tegas sambil mengepal.
Kembali tersembul senyuman Toh Sat sambil memandang anak didiknya itu.
Sekali ini luka Siau-hi-ji dapat sembuh dengan cepat, tapi begitu dia sudah sehat, segera pula Toh Sat memasukkannya ke rumah itu. Anjing yang berada di situ juga semakin buas, dan makin lama makin besar. Namun luka yang diderita Siau-hi-ji makin lama justru semakin ringan, sembuhnya juga semakin cepat.
Sampai keenam kalinya, waktu Toh Sat membuka pintu rumah itu, ternyata isinya bukan lagi anjing melainkan seekor serigala kecil.
Karena itu kembali Siau-hi-ji terbaring di rumah tabib Ban, makan obat, tiada hentinya makan obat.
Suatu hari datanglah Ha-ha-ji menengoknya, Siau-hi-ji ingin tertawa tapi tak bisa.
“Ternyata betul Siau-hi-ji berbaring di sini,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa, “Haha, rupanya serigala tidak doyan ikan kecil.”
“Paman tertawa, semoga engkau jangan marah ya?” kata Siau-hi-ji.
“Marah apa?” tanya Ha-ha-ji bingung.
“Sesungguhnya aku ingin tertawa, cuma... cuma bila tertawa badanku lantas terasa sakit, terpaksa aku tak dapat tertawa.”
“Hahaha, anak bodoh,” ucap Ha-ha-ji sambil bergelak. “Kuberitahu, pada waktu pamanmu ini tertawa, terkadang badanku juga terasa sakit, tapi semakin sakit rasa badanku, semakin ngakak pula tertawaku.”
Siau-hi-ji berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Sebab apa begitu?”
“Kau harus tahu bahwa tertawa bukan saja obat mujarab, tapi juga senjata... senjata yang paling ampuh, selamanya belum pernah kutemukan senjata lain yang lebih ampuh daripada tertawa.”
“Senjata?” Siau-hi-ji menegas dengan terbelalak. “Memangnya dengan tertawa saja dapat membunuh serigala?”
“Hahaha, bukan saja dapat membunuh serigala, bahkan juga dapat membunuh manusia!” seru Haha-ji.
Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian sambil menggeleng, “Aneh, aku tidak paham.”
“Coba katakan, apakah kau tahu sebab apa setiap kali kau mengalami luka?”
“Aku tidak tahu, padahal aku sudah ti... tidak takut lagi,” jawab Siau-hi-ji. “Mungkin disebabkan kungfuku masih rendah, tak dapat sekali tikam membinasakannya.”
“Sebab apa kau tidak dapat membinasakannya dengan sekali tikam?” tanya Ha-ha-ji pula.
“Yaitu karena kungfuku belum....”
“Bukan lantaran kungfumu, tapi karena kau tidak tertawa,” ujar Ha-ha-ji dengan bergelak. “Meski binatang itu, anjing maupun serigala, tidak dapat bicara, tapi mereka pun tahu urusan, begitu kau masuk rumah segera mereka tahu kau tak berniat baik pada mereka dan mulai waswas padamu, sebab itulah biar pun kau turun tangan lebih dulu juga tiada gunanya.”
Siau-hi-ji mendengarkan dengan penuh perhatian dan berulang-ulang mengangguk, katanya, “Ya, tepat sekali.”
“Hahaha! Makanya lain kali bila kau masuk ke rumah itu, tak peduli apa yang kau lihat, baik anjing, serigala maupun harimau juga tidak soal, yang penting wajahmu harus selalu tersenyum simpul agar mereka mengira kau tak bermaksud jahat kepada mereka....”
“Dan sekali tikam dapatlah kubunuh dia,” sambung Siau-hi-ji.
“Tepat!” seru Ha-ha-ji sambil keplok dan tertawa. “Asalkan dia tidak berjaga-jaga dan memandang kau sebagai kawan, maka sekali tikam kau akan dapat membunuhnya. Teori ini meski sederhana, tapi sangat manjur, tanggung ces-pleng!”
“Dan selanjutnya aku pun takkan terluka pula,” tambah Siau-hi-ji.
“Betul, pada umumnya anjing, serigala ataupun manusia, rata-rata takkan membikin susah orang yang tak bermaksud jahat pada mereka, cukup asalkan kau tertawa saja, tiada hentinya tertawa, sampai pisaumu sudah bersarang di tubuh mereka juga tetap tertawa, sehingga mendekat ajal juga mereka tidak waspada padamu, dengan demikian kau pun takkan mengalami cedera apa-apa.”
“Tapi... tapi cara demikian kan kurang ksatria?”
“Hahaha! Anak bodoh, kalau dia toh akan membunuhmu, maka kau harus membunuh dia lebih dulu. Jika toh kau harus membunuh dia, cara bagaimana kau membereskan dia kan sama saja?”
“Aha, benar, pahamlah aku sekarang!” seru Siau-hi-ji dengan tertawa riang.
“Anak baik, hahaha, anak pintar!” Ha-ha-ji tergelak-gelak senang.
********************
Benar juga, selanjutnya Siau-hi-ji tidak lagi terluka. Total jenderal dia sudah membunuh lima ekor anjing, empat ekor serigala, dua ekor kucing kuwuk dan seekor harimau kecil. Bekas luka di tubuhnya kalau dihitung sedikitnya ada tiga puluh garis.
Kini dia baru berumur enam tahun. Selama setahun terakhir ini Ok-jin-kok bertambah lagi empat penghuni. Tapi Siau-hi-ji sama sekali tidak tertarik pada mereka, ia merasa dirinya sekarang sudah jauh lebih kuat (dalam hal berbuat busuk dan jahat) daripada mereka.
Lewat agak lama pula.... Pada suatu hari mendadak ia tanya To Kiau-kiau, “Bibi To, orang lain sama bilang engkau adalah seorang mahapintar, sesungguhnya betul apa tidak?”
“Siapa yang bilang begitu?” To Kiau-kiau tertawa ngikik. “Tapi, apa yang dikatakan orang itu sungguh tepat.”
“Bukankah bibi mempunyai barang-barang yang beraneka macam dan aneh-aneh,” tanya Siau-hi-ji pula.
“Ai, kau setan kecil ini sedang merancang kejailan apa?” omel To Kiau-kiau dengan tertawa.
Mata Siau-hi-ji berkedip, katanya, “Jika kubantu melampiaskan rasa dongkolmu, apakah engkau sudi menghadiahkan sesuatu benda aneh-aneh itu padaku?”
“Melampiaskan rasa dongkolku apa maksudmu?”
“Kulihat engkau sering dibuat dongkol oleh paman Li dan engkau kelihatan tak berdaya padanya....”
“Hihi, apakah kau setan kecil ini sudah mempunyai cara baik untuk mengerjai dia?” tanya To Kiau-kiau dengan tercengang.
“Ehm!” Siau-hi-ji mengangguk.
“Cara apa yang telah kau reka? Kau minta hadiah apa?”
“Cukup asalkan bibi memberikanku semacam obat saja.”
“Obat? Untuk ini kau harus mencari Ban Jun-liu, mengapa malah minta padaku?”
“Obat demikian ini tidak dipunyai paman Ban, tapi bibi To punya.”
“Ai, setan kecil benar-benar membuat bingung padaku. Baik, obat apa, coba katakan.”
“Obat bau busuk, semakin busuk baunya makin baik,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sampai lama sekali To Kiau-kiau memandangi anak itu dengan heran, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, setan kecil, tahulah aku.”
“Engkau tahu?” Siau-hi-ji menegas dengan mata terbelalak lebar.
“Setan kecil,” omel To Kiau-kiau dengan tertawa, “Orang lain bisa dikelabui masakah kau mampu mengelabui aku? Kutahu kau jemu karena Li Toa-jui selalu mengendusi badanmu, maka kau sengaja hendak menyimpan sebungkus obat bau busuk di tubuhmu agar nanti dicium oleh Li Toa-jui. Tapi kau pun takut padanya, maka kau sengaja berkayun dan melibatkan diriku dalam karyamu ini, dengan begini kau akan mempunyai sandaran, berbareng kau pun ingin dipuji dan dimanjakan olehku.”
Wajah Siau-hi-ji menjadi merah, katanya dengan tertawa, “Bibi To memang pintar sekali.”
“Kau juga tidak bodoh,” ujar Kiau-kiau.
“Tapi kalau dibandingkan Bibi, wah....”
“Siau-hi,” kata Kiau-kiau dengan tertawa, “Coba bayangkan, saat ini berapa umurmu? Mana kala kau sudah mencapai seusia diriku, wah, tentu luar biasa... Ai, anak sayang, tidak percumalah rasa kasih sayangku padamu selama ini.”
Siau-hi-ji menunduk jengah, katanya kemudian, “Obat itu....”
“Sudah tentu tersedia obat yang kau inginkan,” kata Kiau-kiau dengan tertawa, “Baunya kutanggung bisa bikin semaput orang.”
********************
Dapat dipastikan selanjutnya Li Toa-jui tak berani lagi mengendus-endus seperti anjing pelacak di tubuh Siau-hi-ji. Sedikitnya ada dua jam dia muntah-muntah, paling tidak sehari semalam dia tak sanggup makan.
Besoknya dia pegang Siau-hi-ji dan ditanyai, “Siau-hi busuk, apakah obat itu pemberian To Kiau-kiau?”
Siau-hi-ji hanya tertawa saja tanpa menjawab.
“Kau tidak takut kumakan dirimu?” damprat Li Toa-jui dengan gemas.
“Daging ikan busuk tidak enak dimakan,” sahut Siau-hi-ji mengikik.
“Baiklah, setan cilik,” omel Li Toa-jui sambil menyengir, “kamu takkan kumakan dan juga takkan kugebuk, tapi kau harus juga mengerjai To Kiau-kiau satu kali, untuk itu akan kuberikan sesuatu benda bagus padamu.”
“Betul?” Siau-hi-ji menegas.
“Tentu saja betul,” jawab Li Toa-jui.
Petangnya, Siau-hi-ji makan malam bersama To Kiau-kiau, di antara lauk-pauk ada semangkuk Ang-sio-bak (daging dimasak Ang-sio atau digoreng dan diberi saus). Dengan bersemangat Siau-hi-ji menyumpitkan Ang-sio-bak itu ke mangkuk To Kiau-kiau dan membujuknya makan lebih banyak.
“Inilah santapan kegemaran Bibi, maka Bibi harus makan sebanyaknya,” kata anak itu dengan tertawa.
“Pintar menjilat juga, setan cilik,” omel To Kiau-kiau dengan tertawa gembira.
“Bibi sangat baik padaku, dengan sendirinya aku pun ingin membalas Bibi dengan kebaikan,” ujar Siau-hi-ji.
Sambil makan dengan bernafsu, To Kiau-kiau bertanya, “Kau sendiri kenapa tidak makan?”
“Sayang bila kumakan, biarlah untuk Bibi saja,” ujar Siau-hi.
“Anak bodoh, kenapa merasa sayang, ini kan bukan santapan istimewa segala,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.
Mata Siau-hi berkedip-kedip, katanya, “Tapi Ang-sio-bak ini makanan spesial.”
“Spesial bagaimana?” tanya Kiau-kiau.
“Ang-sio-bak ini khusus kuambil dari tempat paman Li, katanya....”
Belum selesai Siau-hi berucap, wajah To Kiau-kiau sudah pucat dan bertanya, “Apakah ini... kemarin yang disembelih itu....”
Riang gembira air muka Siau-hi-ji, jawabnya sambil mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Kau... setan cilik....” belum habis To Kiau-kiau mengomel, serentak isi perutnya lantas berontak, “Uwaaaak”, kontan ia tumpah-tumpah.
Sedikitnya dua jam To Kiau-kiau muntah-muntah dan seharian penuh tiada nafsu makan lagi…..
********************
Tempat tinggal Toh Sat terletak di ujung Ok-jin-kok, di belakang rumahnya adalah bukit tandus. Padahal rumahnya itu juga tiada ubahnya seperti bukit tandus, kosong blong, tiada terdapat sesuatu perlengkapan atau pajangan apa-apa, boleh dikatakan rumah yang paling jelek dan paling sederhana di seluruh Ok-jin-kok.
Setiap kali Siau-hi-ji pindah dari rumah To Kiau-kiau ke rumah Toh Sat tentu terasa tidak enak, apa lagi di rumah paman Toh itu sedang menunggu pula binatang yang mungkin akan mencaploknya. Namun tidak datang pun tidak boleh bagi Siau-hi-ji.
Hari itu Siau-hi-ji menuju ke rumah Toh Sat pula. Paman Toh itu duduk kaku di pojok rumah dengan jubahnya yang putih itu, dilihat dalam rumah yang gelap dan lembab itu terasa mirip seonggokan salju saja layaknya.
Asalkan datang Siau-hi-ji selalu melihat paman Toh itu duduk dalam posisi begitu, selamanya tak pernah berubah. Setiap kali Siau-hi-ji mendekati juga tidak berani membuka suara.
Dengan pandangan dingin Toh Sat menatap Siau-hi-ji hingga sekian lamanya, kemudian bertanya tiba-tiba, “Kabarnya kau mempunyai sebuah peti kecil.”
“Ya,” sahut Siau-hi-ji sambil menunduk.
“Konon banyak pula isi petimu itu?”
“Ehm!”
“Apa saja isinya, coba sebutkan!”
Siau-hi-ji tidak berani menengadah, katanya dengan tergagap-gagap, “Ada... ada satu bungkus obat bau busuk, sepotong tongkat yang bisa mulur mengkeret dan dapat menyemburkan paku sangat banyak, ada pula sepotong obat yang dapat mencairkan tulang dan daging manusia sehingga menjadi air, lalu ada juga....”
“Barang-barang itu apakah pemberian To Kiau-kiau dan Li Toa-jui?” sela Toh Sat dengan ketus.
“Emh!” kembali Siau-hi-ji menjawab singkat.
“Konon mereka berdua setelah beberapa kali tertipu olehmu. Dengan barang pemberian To Kiau-kiau kau gunakan untuk mengganggu Li Toa-jui dan barang pemberian Li Toa-jui kau gunakan untuk menggoda To Kiau-kiau, begitu bukan?”
“Ehm!”
“Kau tidak takut mereka marah dan membunuhmu?”
“Sebenarnya takut, tapi... tapi kemudian kudapati semakin aku berbuat busuk, semakin hebat menggoda mereka, maka mereka pun bertambah senang. Lebih-lebih bibi To, terkadang dia seperti sengaja membiarkan dirinya diganggu olehku.”
Kembali Toh Sat menatapnya sekian lama, habis itu mendadak ia berbangkit dan berkata, “Ikut padaku!”
Sebelum dekat dengan rumah yang menakutkan itu, dari jauh Siau-hi-ji sudah mendengar suara raungan keras dan membuat berdiri bulu romanya. “Seekor harimau besar?” tanpa terasa ia berseru.
“Hm!” Toh Sat hanya mendengus saja, lalu dia membuka pintu rumah itu sedikit dan membentak, “Masuk, lekas!”
Terpaksa Siau-hi-ji melolos belatinya dan melangkah masuk, pintu segera ditutup kembali oleh Toh Sat. Dia berdiri berpangku tangan di situ. Dia memang mempunyai semacam keahlian, yakni sanggup berdiri tegap hingga lima-enam jam lamanya tanpa bergerak.
Tapi sekali ini lain dari pada biasanya, tidak lama setelah Siau-hi-ji masuk, suara raungan harimau lantas lenyap.
Selang sejenak pula, terdengar Siau-hi-ji memanggil perlahan, “Paman Toh, buka pintu!”
“Begitu cepat?” tanya Toh Sat heran.
“Ini kan kepandaian ajaran paman Toh,” kata Siau-hi-ji.
“Hm!” Toh Sat mendengus sambil membuka pintu perlahan.
Sungguh mimpi pun Toh Sat tidak pernah menduga bahwa yang keluar itu bukannya Siau-hi-ji melainkan harimau buas itu. Keruan ia terkejut sehingga rada terlambat mengelak, pundaknya kena dicakar oleh kuku harimau hingga terluka dan mengucurkan darah.
Tercium bau anyirnya darah, harimau lapar itu tambah buas, sekali tubruk tidak kena sasaran, segera ia memotong balik, perubahan gerak serangannya itu sungguh lebih cepat dan lebih ganas daripada jago silat kelas wahid. Seketika ruangan itu penuh bayangan loreng harimau dan bau amis.
Namun Toh Sat bukan jagoan pinggiran, biar pun kaget tidak menjadi bingung. Mendadak ia melompat dan mencemplak ke punggung harimau, di tengah seribu kerepotannya itu ia tidak lupa berseru, “Apakah kau terluka, Siau-hi-ji?”
Menurut logika, kalau harimau itu masih hidup, maka yang mati tentunya Siau-hi-ji.
Tak tahunya segera terdengar suara tertawa ngikik anak itu dan jawabnya, “Tidak, Siau-hi-ji tidak terluka, Siau-hi-ji berada di sini.”
Waktu Toh Sat menoleh, dilihatnya di ambang pintu sana duduk seorang anak kecil berkuncir sedang memandangnya dengan tertawa. Bahkan anak itu lagi menggerogoti sebuah apel. Busyet!
Seketika Toh Sat tidak tahu dirinya ini kaget, gusar atau senang. Sedikit meleng, mendadak harimau itu berjingkrak dan melompat sehingga Toh Sat terlempar jatuh ke bawah.
“Awas, paman Toh!” seru Siau-hi-ji perlahan.
Sementara itu harimau loreng sudah membalik terus menubruk pula ke arah Toh Sat. Tubrukan ini sangat cepat lagi jitu, betapa pun Toh Sat sukar lolos dari cakar harimau itu.
Siapa tahu mendadak tubuh Toh Sat menyurut terus menerobos keluar dari bawah perut harimau, tangan kirinya berbareng terangkat ke atas.
Maka terdengarlah raungan seram harimau itu, isi perutnya tumpah berantakan, darah berhamburan bagai hujan. Harimau itu masih terjang sini dan tumbuk sana, lalu mendadak roboh dan tak bergerak lagi.
Dinding sekeliling berlepotan darah, waktu Toh Sat bangkit kembali, tubuh bagian kirinya juga sudah mandi darah.
Kiranya setelah tangan kirinya dipatahkan oleh Yan Lam-thian sebatas pergelangan tangan, sebagai gantinya Toh Sat telah memasang tangannya yang buntung itu dengan sebuah kaitan baja yang berujung tajam. Dengan kaitan tajam itulah tadi dia merobek perut harimau.
Menyaksikan pertarungan dahsyat tadi, buah apel yang dipegang Siau-hi-ji sampai terjatuh, ia raba-raba dada sendiri dan melelet lidah, katanya, “Wah hebat benar, sungguh menakutkan.”
Toh Sat berdiri tegak di situ sambil menatap tajam pada anak itu, tiada tanda-tanda marah atau dongkol, ia hanya berkata, dengan ketus, “Turun!”
Siau-hi-ji lantas berosot turun, katanya dengan tertawa, “Harimau lihai, tapi paman Toh terlebih lihai.”
“Suruh kau membunuh harimau, mengapa tidak kau lakukan?” tanya Toh Sat, sebagian mukanya berlepotan darah, sebagian lainnya pucat pasi seperti mayat, di tengah suasana yang masih bau amis dan berserakan itu, bentuknya menjadi seram tampaknya.
Tapi Siau-hi-ji seperti tidak takut sama sekali, sambil berkedip-kedip ia menjawab, “Paman Toh selalu suruh Siau-hi-ji bunuh harimau, tapi Siau-hi-ji justru ingin melihat kepandaian paman Toh membunuh macan.”
“Kau ingin bikin celaka padaku?” tanya Toh Sat.
“Mana kuberani membikin celaka paman Toh,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Paman yang membawa harimau itu ke sini, mana mungkin paman tidak mampu membunuhnya? Hal ini sudah lama kupahami.”
Toh Sat menatap anak itu dengan dingin, sampai lama sekali tetap tidak bicara. Ya, pada hakikatnya ia tidak dapat membuka suara lagi…..
********************
Musim panas, di tengah lembah Kun-lun-san yang kelam dan lembab itu hawa panas itu tidak sangat terasa, namun sinar sang surya yang menyorot terang membuat orang merasa kemalas-malasan.
Hanya di waktu lohor saja sinar matahari dapat menembus masuk ke Ok-jin-kok, untung penghuni lembah itu memang tidak suka kepada sinar matahari, semakin jarang munculnya matahari semakin baik bagi mereka.
Seekor kucing tampak kemalas-malasan sedang berjemur di atap rumah, seekor lalat terbang ogah-ogahan ke sebelah sana... itulah makhluk-makhluk yang masih mau bergerak di Ok-jin-kok pada tengah hari musim panas demikian.
Tapi pada saat itu juga, dari luar lembah sana ada seorang sedang berlari datang dengan cepat. Di belakangnya tiada nampak seorang pun, dia seperti dikejar setan saja, napasnya sudah terengah-engah dan hampir putus, tapi dia tidak berani berhenti sedikit pun dan tetap berlari-lari.