Suara seorang yang lantang segera menanggapi lebih dulu, “Sudah lama kudengar Yan-tayhiap memiliki otot kawat tulang besi, kukira dagingnya pasti sama enak dengan dendeng sapi, nanti harus kukunyah dan kutelan dengan pelan-pelan agar dapat menikmati rasanya yang sejati.”
“Haha, dasar, setiap membuka mulut Li Toa-jui tidak pernah lupa pada kegemarannya,” kata Haha ji. “Kuperkenalkan Yan-tayhiap padamu, sepantasnya kau bicara secara ramah-tamah, mengapa sekali pentang mulut lantas menyatakan ingin makan dagingnya?”
“Kukatakan daging Yan-tayhiap pasti lezat, ini kan juga ucapan sanjung pujiku. Kalian yang hanya suka makan daging babi mana tahu artinya?” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.
“Bicara makanan, babi adalah binatang kotor dan busuk, memang tidak sebersih daging manusia,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa. “Aku menjadi tertarik pada propagandamu dan ingin mencicipi daging Yan-tayhiap ini bagaimana rasanya. Haha, tapi kukuatir daging Yan-tayhiap ini terlalu kasar, jangan-jangan nanti... Hahaha....”
“Kamu bukan ahli makan, maka tidak paham,” sela Li Toa-jui. “Daging yang seratnya kasar ada rasa kasar tersendiri, daging halus juga ada rasa halus tersendiri pula. Daging Hwesio (biksu) ada rasa daging Hwesio, daging Nikoh (biksuni) juga ada rasa daging Nikoh, satu dan lain tidak sama, masing-masing mempunyai keunggulannya sendiri-sendiri.”
“Apakah daging Hwesio juga pernah kau makan?” tiba-tiba sebuah suara genit bertanya.
“Hah, tidak cuma pernah, bahkan sering,” sahut Li Toa-jui. “Yang paling terkenal adalah Thi-koh Hwesio dari Ngo-tay-san, hampir tiga hari suntuk kumakan dia.... Daging orang terkenal rasanya memang lebih lezat dan sedap.”
“Sudah berapa orang yang kau makan seluruhnya?” tanya suara merdu tadi dengan tertawa genit.
“Wah, sukar dihitung,” jawab Li Toa-jui.
“Daging siapa yang paling lezat?” tanya pula suara genit itu.
“Kalau bicara halusnya dan lezatnya harus diakui daging biniku dahulu itu,” tutur Li Toa-jui. “Dagingnya yang putih halus itu, wah, kalau terkenang sekarang sungguh air liurku bisa menetes.”
“Haha, sudahlah, sudahlah, jangan bicara tentang daging manusia lagi,” seru Ha-ha-ji. “Coba lihat, betapa gusarnya Yan-tayhiap....”
“Benar, kita jangan membuat marah Yan-tayhiap lagi, orang marah dagingnya akan kecut, ini adalah hasil penelitianku selama ini, kalian perlu tahu,” ujar Li Toa-jui.
Lalu Ha-ha-ji menuding lagi kawannya yang lain dan memperkenalkannya pada Yan Lam-thian, “Dan yang ini adalah ‘Bukan lelaki bukan perempuan’ To Kiau-kiau....”
“Kan tadi aku yang membawakan arak dan santapan bagi Yan-tayhiap,” sela suara genit tadi. “Jadi Yan-tayhiap sudah kenal diriku, tidak perlu lagi kau perkenalkan.”
Terkesiap juga hati Yan Lam-thian, pikirnya, “Jadi gadis baju hijau tadi adalah samaran ‘si bukan lelaki bukan perempuan’ (alias banci) To Kiau-kiau. Padahal iblis ini sudah terkenal lebih dua puluh tahun yang lalu, namun menyamar gadis berusia enam belas-tujuh belas tahun ternyata juga begitu persis.”
Tangan berdarah Toh Sat, kegemaran Li Toa-jui memakan daging manusia, semua ini belum membuat terkejut pendekar besar ini, tapi kepandaian menyamar To Kiau-kiau yang dapat mengelabui siapa pun juga ini sungguh membuatnya terkesiap.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru, “Ha-ha-ji, kenapa cerewet saja sejak tadi, memangnya kamu ingin memperkenalkan segenap penghuni lembah ini padanya? Ada lebih baik lekas kau tanya dia, habis mendapatkan keterangan selekasnya mengirim dia untuk menemani aku di akhirat.”
Suara orang itu seperti mengambang di udara dan terputus-putus, kalimat pertama kedengaran berada di sebelah kiri, kalimat berikutnya terasa di sisi kanan. Cara bicara orang biasa betapa pun anehnya tentu juga bertenaga, cara bicara orang ini ternyata tiada tenaga sama sekali, mirip orang yang sekarat dan seperti orang bersuara dari dalam peti mati.
Tanpa terasa mengkirik juga bulu roma Yan Lam-thian, pikirnya, “Benar-benar cocok dengan julukannya sebagai ‘setengah manusia setengah setan’ Im Kiu-yu ini, bahkan cara bicaranya juga ‘tujuh bagian berbau setan.”
“Hahaha!” demikian terdengar Ha-ha-ji lagi berkata dengan tertawa, “Jadi setan saja Im-lokiu juga tidak mau kesepian. Kalau Yan-tayhiap sudah datang kemari, masakah kau khawatir takkan mendapat teman di akhirat?”
“Aku tidak sabar menunggu lagi!” sahut suara aneh tadi, suara Im Kiu-yu yang berjuluk “setengah manusia setengah setan” itu.
Belum lenyap suara itu, tiba-tiba Yan Lam-thian merasa sebuah tangan meraba kuduknya dari belakang, tangan itu terasa lebih dingin daripada es, seketika Yan Lam-thian juga menggigil karena rabaan itu.
“Im-lokiu, singkirkan tanganmu!” bentak Li-Toa-jui. “Sekali kena diraba tangan setanmu, mana daging itu dapat dimakan lagi?”
Im Kiu-yu terkekeh, katanya, “Kamu yang turun tangan juga boleh, cuma lekasan sedikit.”
“Nanti dulu, aku ingin menanyai dia lagi!” seru Toh Sat mendadak.
“Tanyalah, kan tiada yang merintangimu,” ujar To Kiau-kiau dengan mengikik genit.
“Yan Lam-thian,” segera Toh Sat mulai bertanya, “apakah kedatanganmu ke sini hendak mencari diriku?”
“Kamu belum sesuai bagiku,” jawab Yan Lam-thian.
Toh Sat tidak marah, dengan nada dingin ia bertanya pula, “Aku tidak sesuai bagimu, habis siapa yang sesuai?”
“Kang Khim,” jawab Yan Lam-thian singkat.
“Kang Khim?” Toh Sat mengulang nama itu. “Siapa dia? Pernahkah para kawan mendengar nama itu?”
“Haha, di Ok-jin-kok tiada terdapat Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama, artinya kaum keroco) begitu!” kata Ha-ha-ji.
“Meski bangsat itu tak terkenal, tapi busuknya berpuluh kali lipat daripada kalian,” ujar Yan Lam-thian dengan geregetan. “Asalkan kalian mau menyerahkan keparat itu padaku, maka aku berjanji takkan membikin susah kalian.”
“Haha bagus, bagus! Kalian dengar tidak apa yang dikatakan Yan-tayhiap, beliau takkan membikin susah kita. Ayolah kita lekas mengucapkan terima kasih banyak-banyak.”
Belum habis ucapannya, bergemuruhlah “hahahihi-kikik-kekek”, berbagai macam suara tertawa bergelak serentak.
“Memangnya kalian merasa geli?” tawa Yan Lam-thian dengan geram.
To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, “Saat ini kamu terikat oleh tiga belas utas tali, empat Hiat-tomu ditutuk pula oleh Toh-lotoa, mestinya kamu harus minta ampun pada kami, tapi kamu malah bilang takkan membikin susah kami, masakah di dunia ini ada kejadian yang lebih menggelikan daripada ini?”
“Hm, “ Yan Lam-thian hanya menjengek.
“Baiklah, biar kukatakan juga padamu bahwa di Ok jin-kok ini benar-benar tiada terdapat orang bernama Kang Khim,” kata Kiau-kiau. “Pasti kamu telah dikibuli orang, agaknya orang itu sengaja mendorongmu untuk mengantarkan nyawa ke sini.”
“Hahaha! Dan ternyata kau percaya begitu saja pada perkataan orang itu,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa. “Haha, sungguh lucu, sudah tua bangka Yan Lam-thian ternyata dapat ditipu seperti anak kecil saja.”
“Bangsat!” sekonyong-konyong Yan Lam-thian membentak, suaranya keras laksana guntur menggelegar dan memekak telinga.
“Celaka!” seru To Kiau-kiau kaget. “Tenaga orang ini tampak kuat, jangan-jangan ilmu Tiam-hiat Toh-lotoa telah dibobolnya secara diam-diam tadi.”
“Hehe, terkaanmu memang tidak salah!” bentak Yan Lam-thian sambil tertawa. Mendadak ia melompat bangun, sekali kedua tangannya terpentang, serentak tiga belas tali kulit yang meringkus badannya itu putus semua.
“Wah, celaka, mayat hidup lagi!” seru Im Kiu-yu. Belum lenyap ucapannya, tahu-tahu orangnya sudah berada belasan meter jauhnya. Orang she Im ini suka membanggakan Ginkangnya nomor satu, ternyata cara larinya memang cepat luar biasa, tentu saja yang konyol adalah kawan-kawannya.
Terdengarlah suara “brak”, sebuah meja ditumbuk roboh oleh Ha-ha-ji, orangnya berguling-guling beberapa kali dan mendadak menghilang. Kiranya telah menyusup ke dalam liang di bawah tanah.
“Ai, perempuan baik-baik takkan berkelahi dengan lelaki,” seru To Kiau-kiau. “Awas, aku akan buka baju!”
Benar saja, mendadak ia menanggalkan pakaiannya terus dilemparkan ke arah Yan Lam-thian. Ketika Yan Lam-thian menyampuk jatuh baju itu, ternyata si banci juga sudah menghilang.
Li Toa-jui tidak sempat kabur, terpaksa ia berdiri di situ, katanya dengan tertawa, “Bagus, Yan Lam-thian, biar orang she Li yang coba-coba mengukur kepandaianmu.”
Sembari bicara, mendadak ia menyelinap ke belakang Toh Sat dan berkata pula, “Namun apa pun juga kepandaian Toh-lotoa lebih hebat daripadaku, adik tak berani bersaing dengan sang kakak. Silakan maju dulu, Toh-lotoa!”
Padahal meski Yan Lam-thian sudah berdiri, namun tenaga murninya belum terhimpun, kalau saja beberapa orang itu mengerubutnya sekaligus, betapa pun dia sukar terhindar dari maut. Tapi Yan Lam-thian memperhitungkan dengan tepat jiwa licik orang-orang ini, berani pada yang lemah, takut pada yang kuat. Mementingkan diri sendiri dan lebih suka merugikan orang lain. Jika mereka disuruh bagi rezeki tentu akan maju sekaligus, sebaliknya jika mereka disuruh mengadu jiwa, jangan harap!
Begitulah maka Im Kiu-yu, To Kiau-kiau, Ha-ha-ji, Li Toa-jui, dalam sekejap saja sama menghilang, hanya tertinggal Toh Sat yang masih berdiri mematung di situ.
Sementara itu tenaga murni Yan Lam-thian sudah terkumpul, sorot matanya memancar tajam, cuma ia belum segera turun tangan, dengan suara bengis ia membentak, “Kenapa kamu tidak lari seperti kawan-kawanmu?”
“Menghadapi lawan, selamanya orang she Toh tak pernah lari!” jawab Toh Sat tegas.
“Jadi kau berani bergebrak dengan aku?” tanya Yan Lam-thian.
“Benar!” belum lenyap suara Toh Sat, serentak ia melompat maju, di tengah berkibarnya pakaian putih laksana gumpalan salju terseling dua buah tangan merah berdarah. Tui-hun-hiat-jiu, tangan berdarah pemburu sukma, ilmu pukulan berbisa andalan Toh Sat.
“Bagus!” sambut Yan Lam-thian dengan tertawa keras. Ia pun angkat kedua tangan dan balas menghantam kedua telapak tangan lawan yang merah itu.
Diam-diam Toh Sat bergirang. Maklumlah, ia disegani karena tangan berbisanya yang merah berdarah itu, sebab dia memakai sarung tangan berduri yang telah direndam dengan cairan beratus macam racun. Asalkan badan kulit orang tergores sedikit saja, maka tidak sampai setengah jam kemudian orang itu pasti akan binasa. Racun itu boleh dikatakan “kena darah lantas tutup napas”, ganasnya luar biasa.
Tapi sekarang Yan Lam-thian berani memapak tangannya yang berbisa itu dengan tangan telanjang, bukankah ini sama dengan mengantarkan nyawa?
Maka terdengarlah suara gertakan berbaur dengan suara jeritan, menyusul lantas berbunyi “krek” satu kali.
Sudah jelas Yan Lam-thian memapak serangan tangan berdarah lawan dengan pukulan pula, tapi sampai di tengah jalan, entah bagaimana mendadak gerak serangannya itu berubah. Sekonyong-konyong Toh Sat merasakan serangannya tak mencapai sasarannya, perasaannya mirip orang berjalan yang mendadak sebelah kaki menginjak tempat kosong. Keruan ia terkejut, gugup dan bingung pula.
Pada saat itulah kedua pergelangan tangannya sudah kena dipegang Yan Lam-thian, baru saja dia menjerit kaget dan cemas, “krek”, pergelangan tangan kanannya telah dipatahkan mentah-mentah oleh lawan.
Sebelum tubuh lawan roboh, Yan Lam-thian sempat mencengkeram pula baju dadanya dan membentak dengan bengis, “Di sini ada orang bernama Kang Khim tidak?”
Rasa sakit Toh Sat tak terkatakan, namun ia mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sahutnya dengan parau, “Kalau memang tidak ada ya tetap tidak ada!”
“Dan di mana anak bayi itu?” bentak Yan Lam-thian pula.
“Ti... tidak tahu! Kau bunuh saja diriku!”
“Mengingat keperkasaanmu, jiwamu kuampuni!” kata Yan Lam-thian, mendadak tangannya mengebas, Toh Sat terlempar jauh.
Hebat juga Toh Sat dan tidak malu sebagai tokoh Bu-lim yang disegani, dalam keadaan demikian dia masih sanggup menguasai diri, dia berjumpalitan satu kali di udara, lalu tancapkan kakinya dengan enteng di atas tanah tanpa sempoyongan dan terjatuh. Jubahnya yang putih mulus sudah berlepotan darah, dengan tangan kiri memegangi tangan kanan sendiri, ia berseru dengan suara serak, “Sekarang kamu mengampuni aku, sebentar lagi kamu takkan kuampuni!”
“Hahaha! Bilakah Yan Lam-thian pernah minta diampuni orang?” jawab Yan Lam-thian sambil tertawa.
“Baik!” kata Toh Sat sambil melangkah pergi.
“Kembalikan anak itu, kalau tidak, lembah ini pasti kuhancurleburkan!” bentak Yan Lam-thian dengan kereng. Suaranya menggelegar, namun segalanya sunyi senyap.
Yan Lam-thian menjadi gusar, “blang”, sebuah meja ditendangnya hingga mencelat. “Brek”, sekali hantam dinding lantas berlubang.
Begitulah ia terus mengamuk, segala isi rumah itu diobrak-abriknya hingga berantakan. Namun penghuni Ok jin-kok seakan-akan sudah mampus seluruhnya, tiada seorang pun berani menongol.
“Baik, ingin kulihat kalian akan sembunyi sampai kapan!” bentak Yan Lam-thian dengan murka sambil mengamuk sepanjang jalan.
Tiba-tiba ia menerjang masuk sebuah rumah, “blang”, ia depak daun pintu rumah itu hingga sempal sebelah, di dalam rumah ada dua orang, mereka menjadi kaget melihat Yan Lam-thian menerjang masuk bagai orang gila, segera mereka hendak kabur.
“Lari ke mana?” bentak Yan Lam-thian.
Seperti kucing menerkam tikus, dengan cepat ia melompat maju, sekali meraih, punggung salah seorang itu kena dicengkeramnya.
Kepandaian orang itu sebenarnya tidak lemah, tapi entah mengapa kini ia tak dapat berkutik sama sekali dan kena diangkat begitu saja seperti elang mencengkeram anak ayam.
Di tengah gertakan Yan Lam-thian, sekali dorong, kontan kepala orang itu pecah berantakan menumbuk dinding.
Keruan orang yang lain ketakutan setengah mati, kaki pun terasa lemas dan tidak sanggup lari lagi. “Bluk”, ia jatuh mendeprok di tanah.
Segera Yan Lam-thian mencomot kuduk orang itu sambil membentak, “Bangsat! Pergilah menyusul kawanmu!”
“Nanti dulu, dengarkan perkataanku!” mendadak orang itu berteriak.
“Apa yang hendak kau katakan?” tanya Yan Lam-thian, ia mengira orang akan memberitahukan di mana beradanya bayi yang hilang, sebab itulah ia menghentikan aksinya.
Tak tahunya orang itu lantas bertanya malah, “Ada permusuhan dan dendam apa antara engkau dan aku, mengapa engkau berbuat sekeji ini?”
“Penghuni Ok jin-kok adalah kawanan bangsat yang mahajahat, biar pun kubunuh habis juga takkan keliru!” bentak Lam-thian gusar.
“Benar!” seru orang itu. “Aku Ban Jun-liu dahulu memang betul orang jahat, tapi sudah lama aku memperbaiki diriku, mengapa kau ingin membunuhku pula? Ber... berdasarkan apa engkau membunuh aku?”
Sejenak Yan Lam-thian melengak, gumamnya kemudian, berdasar apa aku membunuhnya? Mengapa aku tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk memperbaiki kelakuannya dan memperbaharui hidupnya?”
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia lepaskan pegangannya dan membentak perlahan, “Pergilah!”
Cepat orang itu meronta bangun, tanpa menoleh lagi terus berlari pergi dengan langkah terhuyung.
Sambil menyaksikan kepergian orang itu, Yan Lam-thian menghela napas panjang dan bergumam pula, “Apa gunanya membunuh orang yang tak bersalah? Wahai, Yan Lam-thian, Kang-jitemu hanya meninggalkan yatim piatu ini, jika kamu tidak bertindak dengan tenang dan menggunakan akal sehat, bisa jadi keturunan saudara angkatmu itu akan lenyap, biar pun kau bunuh habis segenap penghuni Ok-jin-kok ini juga tiada gunanya lagi....”
Berpikir demikian, seketika api amarahnya padam. Segera ia pun menemukan berbagai keanehan di tempat ini.
Ia lihat rumah ini sangat besar, sebuah ruangan yang penuh tertimbun macam-macam bahan obat-obatan. Selain itu ada belasan anglo dengan apinya yang sedang membara, setiap anglo itu ada perkakas masak sebangsa wajan, ceret serta alat lain yang berbentuk aneh dan tak diketahui namanya. Di dalam setiap perkakas masak itu teruar bau harum obat yang menusuk hidung.
Yan Lam-thian sudah kenyang asam garam dunia Kangouw, pengalamannya banyak, pengetahuannya luas, terhadap ilmu pertabiban dan pengobatan juga tidak asing, pada waktu menganggur dia sering mencari bahan obat-obatan di lereng gunung dan pernah pula membuat beberapa macam obat luka menurut resepnya sendiri.
Tapi sekarang bahan obat-obatan yang tertimbun di rumah ini, baik yang tertumpuk di pojok ruangan maupun yang sedang dimasak, paling-paling Yan Lam-thian hanya kenal dua-tiga jenis di antaranya, selebihnya hampir tak pernah dilihatnya.
Baru sekarang ia terkejut, pikirnya, “Kiranya begini tinggi ilmu pertabiban Ban Jun-liu tadi, syukur aku tidak jadi membunuhnya. Jika dia tidak pernah menyesal pada kejahatannya yang dahulu dan tidak ingin memperbaikinya, tentu dia takkan susah payah mempelajari ilmu pengobatan yang bermanfaat bagi orang lain ini.”
Bau harum obat yang dimasak itu semakin keras hingga akhirnya rumah itu penuh kabut asap dan menambah gaibnya rumah itu.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam tampak melangkah datang menembus kabut asap itu. Langkah orang itu sedemikian ringan, begitu gesit, sepasang matanya juga mengerling lincah dan terang.
Yan Lam-thian menahan perasaannya dan menatap orang tanpa bicara. Orang berbaju hitam itu langsung mendekati Yan Lam-thian dan berdiri di depannya. Di antara sorot matanya yang licik itu terkulum juga senyuman licin pada mulutnya.
“Selamat, Yan-tayhiap!” tiba-tiba orang itu menyapa dengan tertawa sambil angkat tangan memberi hormat.
“Hm,” Yan Lam-thian hanya mendengus saja.
“Cayhe ‘Joan-jong-kiam’ Suma Yan,” kata pula si baju hitam.
Meski Yan Lam-thian sudah mengambil keputusan akan bersabar dan bersikap tenang, kini tidak urung terguncang juga perasaannya dan berseru tanpa kuasa, “Kiranya kau! Jadi kamu sudah di sini?!”
Suma Yan terkekek licik, katanya, “Sebelum Yan-tayhiap tiba, lebih dulu Cayhe sudah sampai di sini. Pengalaman Yan-tayhiap akhir-akhir ini sudah kudengar, sebab itulah, begitu Yan-tayhiap datang, orang-orang di sini juga lantas tahu.”
Mendelik mata Yan Lam-thian, tapi tetap diam saja.
“Yan-tayhiap tidak perlu melotot padaku, kukira engkau takkan membunuh aku,” ujar Suma Yan, dengan tertawa licik.
“Berdasar apa kau kira aku tak berani membunuhmu? Sungguh aneh, coba katakan!” bentak Yan Lam-thian bengis.
“Sederhana, di antara dua negeri yang berperang, tidak mungkin membunuh duta dari salah satu pihak,” kata Suma Yan dengan tertawa.
“Duta? Kamu ini duta? Duta dari mana?” Yan Lam-thian menegas.
“Cayhe datang atas perintah untuk menanyai sesuatu pada Yan-tayhiap,” jawab Suma Yan.
“Apakah urusan mengenai anak itu?” tergerak juga hati Yan Lam-thian.
“Benar!” jawab Suma Yan dengan tertawa.
Segera Yan Lam-thian mencengkeram baju orang itu, bentaknya dengan suara parau, “Di mana anak itu?”
Suma Yan tidak menjawab, dengan mengulum senyum ia pandang tangan Yan Lam-thian.
Yan Lam-thian menggreget, tapi akhirnya ia kendurkan tangannya.
Dengan tertawa-barulah Suma Yan menjelaskan, “Cayhe disuruh menanyai Yan-tayhiap, apa bila mereka menyerahkan kembali anak itu padamu, lalu bagaimana urusannya?”
Tergetar hati Yan Lam-thian, sahutnya, “Untuk ini....”
“Apakah Yan-tayhiap akan terus berangkat pergi dan untuk selamanya takkan datang lagi ke sini?” Suma Yan menegas.
Kembali Yan Lam-thian menggreget, jawabnya dengan parau, “Demi anak itu, baik kuterima.”
“Sekali sudah berjanji....”
“Apa yang pernah kukatakan selamanya takkan berubah!” bentak Yan Lam-thian dengan gusar.
“Baik, silakan Yan-tayhiap ikut padaku!” kata Suma Yan dengan tertawa. Berturut-turut mereka lantas keluar dari rumah itu.
Suasana malam yang tenang meliputi Ok-jin-kok, di bawah cahaya bulan yang remang-remang Ok-jin-kok tampaknya bertambah aman dan tenteram.
Suma Yan melangkah di jalanan batu yang licin itu, tindakannya enteng tanpa bersuara sedikit pun, tanpa berhenti ia terus menuju ke sebuah rumah dengan pintu setengah tertutup dan kelihatan cahaya terang menembus keluar.
“Di dalam rumah inilah anak itu berada,” kata Suma Yan setiba di depan pintu. “Diharap setelah Yan-tayhiap memondong anak itu keluar, hendaklah segera mundur kembali ke jalan engkau datang semula. Kereta yang dibawa Yan-tayhiap itu pun sudah siap di mulut lembah sana.”
Yan Lam-thian tidak sabar lagi, tanpa menunggu habis ucapan orang itu, segera ia menerobos ke dalam rumah.
Di tengah rumah kelihatan ada sebuah meja bulat, anak itu memang betul tertaruh di atas meja. Darah Yan Lam-thian bergolak, sekali lompat maju segera ia pondong anak itu sambil berkata dengan pilu, “O, anak yang malang!”
Tapi belum habis ucapannya, mendadak anak itu dibantingnya ke lantai sambil mengerang murka, “Bangsat keparat!”
Anak itu ternyata bukan anak bayi yang diharapkan itu melainkan sebuah boneka belaka. Namun sudah terlambat, seluruh rumah berjangkit suara mendenging, beratus-ratus bintik perak memancar ke arahnya bagai hujan.
Suara mendesing senjata rahasia itu tajam lagi cepat serta kuat pula, jelas beratus-ratus senjata rahasia itu seluruhnya tersambit dari tangan kaum ahli dan bertekad harus membinasakan Yan Lam-thian. Segenap pelosok rumah itu adalah sasaran berbagai macam senjata rahasia sehingga Yan Lam-thian benar-benar tidak diberi peluang untuk berkelit dan menghindar.
Mana tahu mendadak Yan Lam-thian bersuit nyaring, tubuh terus mengapung ke atas, terdengarlah suara gemuruh, ia telah membobol wuwungan rumah dan melayang keluar. Di bawah terdengar suara nyaring riuh ramai, beratus-ratus senjata rahasia berserakan memenuhi lantai.
Di balik bayang-bayang gelap sekeliling rumah segera terdengar jerit kaget berulang-ulang, belasan bayangan orang segera berlari simpang siur.
Kembali Yan Lam-thian bersuit panjang, laksana naga turun dari langit, mendadak ia menubruk dari atas. Terdengarlah suara gedebak-gedebuk disertai jeritan beberapa kali, seorang ditumbuknya hingga mencelat ke tepi jalan, seorang dilemparkannya jauh ke tengah jalan, seorang lagi disodok hingga menerobos genting rumah. Semuanya kepala pecah dan otak berantakan. Namun sisanya masih sempat kabur, hanya sekejap saja lantas lenyap.
Berdiri di tengah jalan raya itu Yan Lam-thian berteriak dengan suara murka, “Main sergap, tapi bisakah kalian menjatuhkan diriku? Kalau ingin jiwa orang she Yan, ayolah keluar bertanding!”
Suara raungan murka Yan Lam-thian itu menggema angkasa dan tak hentinya menimbulkan kumandang dari jauh suara tantangan itu.
Dengan langkahnya yang tegap kuat Yan Lam-thian menyusuri jalan sambil mencaci-maki dan menantang. Namun Ok-jin-kok itu seakan-akan tak berpenghuni lagi, tiada seorang pun yang berani menongol.
Meski seorang diri, namun Yan Lam-thian telah membuat seluruh penjahat yang menghuni Ok-jin-kok itu mengkeret semua, sungguh gagah perkasa dan berwibawa.
Namun sedikit pun hati Yan Lam-thian tidak merasa bangga dan puas, sebaliknya ia merasa cemas, pedih dan murka. Meski langkahnya enteng gesit, namun perasaannya amat berat.
Sekonyong-konyong, entah sejak kapan, seluruh sinar lampu di Ok jin-kok itu padam semua. Walau pun ada cahaya rembulan dan bintang, namun lembah maut itu tetap gelap gulita dan menggetar sukma.
Mendadak selarik sinar mengkilat menyambar dari balik pintu rumah sebelah, sebuah golok membacok sekuatnya. Serangan itu jelas berasal dari seorang jago silat terkenal, baik waktunya yang tepat, arahnya yang jitu, semuanya dilakukan dengan kena benar dan berkeyakinan kepala Yan Lam-thian pasti akan terbelah menjadi dua.
Di luar dugaan, Yan Lam-thian yang tampaknya sama sekali tidak tahu akan serangan itu, entah cara bagaimana, sekonyong-konyong tubuhnya dapat menyurut mundur sehingga golok itu menyambar lewat di depan hidungnya tanpa melukai seujung rambut pun.
“Trang”, saking kerasnya tenaga serangan itu hingga golok membacok tanah dan memercikkan lelatu api.
Secepat kilat tangan Yan Lam-thian terus membalik dan tepat mencengkeram pergelangan tangan penyergap itu sambil membentak bengis, “Keluar! Ingin kutanya padamu.”
Di luar dugaan. mendadak pegangan Yan Lam-thian terasa enteng, meski tangan orang itu kena ditariknya keluar, tapi melulu sebuah tangan berlumuran darah tanpa pemiliknya. Kiranya orang itu telah menabas mentah-mentah lengan kanan sendiri.
Keji amat dan tega benar hati orang itu. Bahkan suara mendengus saja tak terdengar sama sekali.
Kejut, cemas, gusar dan gemas pula Yan Lam-thian, ia ambil goloknya dan buang lengan buntung itu, menyusul golok itu terus membacok, sebuah daun pintu kontan jebol. Namun di balik pintu tiada nampak bayangan seorang pun.
Yan Lam-thian seperti orang gila, ia menerobos setiap rumah, namun tetap tiada seorang pun yang ditemukan. Ia gelisah dan mengamuk, tapi semua itu tiada gunanya. Gigi gemertukan, mata merah membara, ia berteriak dengan suara serak, “Baiklah, kalian boleh sembunyi, ingin kulihat sampai kapan kalian sanggup sembunyi!”
Dia ambil sebuah kursi dan sengaja duduk di tengah-tengah jalan raya itu, cahaya rembulan menyinari tubuhnya yang berlumuran darah itu dan menambah seramnya. Jika yang berada di Ok-jin-kok itu adalah kawanan setan iblis, maka Yan Lam-thian laksana malaikat maut penindas setan.
Sekonyong-konyong terdengar seorang bergelak tertawa dan berkata, “Apa gunanya anak busuk ini, kalau kau mau, ini kukembalikan!”
Yan Lam-thian meraung murka terus menubruk ke sana. Dalam kegelapan tampak bayangan orang berkelebat, sepotong benda terlempar keluar. Tampaknya memang anak terbungkus kain popok, tanpa pikir Yan Lam-thian menangkapnya.
Tapi baru saja jarinya menyentuh benda itu, mendadak ia membentak dengan suara bengis, “Bangsat, ambil kembali ini!” Berbareng benda itu terus di lemparkan ke arah datangnya tadi dan menumbuk dinding, “blang”, terdengar suara letusan keras, rumah itu meledak dan hampir hancur seluruhnya. Ternyata yang terbungkus di dalam popok ini bukanlah bayi melainkan bahan peledak.
Setelah suara gemuruh itu berkumandang jauh, kemudian suasana kembali menjadi sunyi lagi. Yan Lam-thian merasa ngeri membayangkan kejadian tadi, kalau saja dia kurang gesit dan cerdik daya reaksinya ketika merasakan isi bungkusan popok itu mencurigakan, tentu saat ini sudah hancur lebur terledak oleh mesiu itu. Matinya tidak cukup dibuat sayang, tapi anak itu.... Yan Lam-thian mengepal kencang-kencang dan mengeluarkan keringat dingin.
Tipu muslihat keji ternyata tidak kunjung habis di tengah Ok-jin-kok ini. Betapa pun gagah perkasanya, sedikit meleng saja pasti akan binasa di tempat ini.
Meski Yan Lam-thian berhasil lolos dari renggutan maut, tapi dia mampu lolos berapa kali? Betapa pun tenaganya terbatas, mana dia sanggup menghadapi musuh-musuh yang tak kelihatan itu tanpa tidur dan tanpa mengaso?
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa Yan Lam-thian ngeri sendiri. Tapi apa daya, Ok-jin-kok seluas ini dan sedemikian gelap, apa yang harus dilakukannya sekarang?
Tiba-tiba terkilas sesuatu pikiran dalam benaknya, “Jika mereka dapat memperalat kegelapan ini untuk menyergap diriku, kenapa aku tidak menggunakan keadaan gelap ini untuk menyelidiki dan mencari mereka?”
Berpikir sampai di sini, terbangkit semangat Yan Lam-thian, tanpa ayal lagi ia terus menyelinap ke tempat gelap dan menghilang.
Caranya ini memang resep yang paling jitu, meski seketika belum dapat menemukan anak itu, tapi kawanan durjana itu pun tak dapat menyergapnya lagi dengan seenaknya.
Yan Lam-thian merayap dan merunduk di tengah kegelapan seperti ular, seperti kucing. Seumpama orang lain memiliki telinga setajam kucing juga takkan mendengar suaranya, sekali pun lawan memiliki mata sebagai kucing juga jangan harap akan melihat bayangannya. Terdapat musuh yang setiap saat dapat muncul di sisi mereka, mustahil kawanan durjana takkan gemetar dan ketakutan?
Tapi Yan Lam-thian justru tak dapat menemukan mereka. Setiap rumah itu seakan-akan kosong melompong, penghuninya entah kabur ke mana?
Dengan sabar Yan Lam-thian terus menelusuri rumah-rumah itu sebuah demi sebuah. Baru sekarang ia merasakan-rumah-rumah di Ok-jin-kok ini ternyata tidak sedikit jumlahnya.
Sudah larut malam, suasana sunyi senyap, Ok-jin-kok seolah-olah berubah menjadi sebuah kuburan.
Angin silir semilir sejuk. Tiba-tiba di antara embusan angin malam itu seperti membawa semacam suara yang aneh dan lirih. Berdetak jantung Yan Lam-thian, dengan menahan napas ia merunduk ke sana.
Benarlah, ada suara orang yang lirih tersiar dari sebuah rumah. Terdengar seorang berkata, “Boleh juga To molek kita, anak ini dapat ditimangnya hingga tertidur.”