“Di dunia ini, selain Yan Lam-thian, Yan-tayhiap, mungkin tiada orang lain lagi mampu membuat kami bertiga terpaksa harus menangkis suatu serangan bersama!” kata Tojin itu.
“Tapi mengapa Kun-lun-jit-kiam melakukan sergapan keji ini kepadaku, sungguh aku tidak mengerti?” bentak Yan Lam-thian.
“Kami sengaja menunggu di sini, sebenarnya yang ingin kami cegat adalah seorang pelarian yang hendak memasuki ‘Ok-jin-kok’,” tutur Tojin itu dengan tersenyum getir. “Sungguh kami tak pernah menduga bahwa Yan-tayhiap juga bisa mendatangi Ok-jin-kok ini.”
“O, apakah kalian menyangka diriku ini orang yang kalian incar itu?” tanya Yan Lam-thian.
“Ya, jika bukan begitu, masakah kami sampai mencari perkara kepada Yan-tayhiap?” kata si Tojin dengan menyesal.
Yan Lam-thian menarik kembali pedangnya, dan baru saja pedangnya diangkat, “trang”, serentak pedang ketiga Tojin itu jatuh ke tanah, tangan mereka serasa tak sanggup diangkat lagi.
“Siapakah orang yang hendak kalian cegat itu?” tanya Yan Lam-thian.
“Suma Yan,” jawab Kun-lun Tojin.
“Apakah Suma Yan yang berjuluk ‘Coan-jong-kiam’ (pedang penembus usus) itu?” tertarik juga Yan Lam-thian oleh nama itu.
“Benar, memang bangsat keparat itulah,” kata Kun-lun Tojin dengan gemas.
“Dari mana kalian mengetahui bangsat itu akan datang kemari?”
“Joan-tiong-pat-gi (delapan pendekar dari Joan-tiong) mengejarnya sepanjang jalan hingga di sini,” tutur Kun-lun Tojin. “Ketiga saudara inilah Nyo Peng, tertua dari Joan-tiong-pat-gi, Hay Tiang-po, pendekar ketiga dan Hay Kim-po, pendekar ketujuh....”
Nama Joan-tiong-pat-gi cukup tenar juga di dunia Kangouw, ketiga orang yang diperkenalkan itu memang gagah dan berwibawa.
Nyo Peng, tertua Joan-tiong-pat-gi itu lantas memberi hormat dan berkata, “Sudah cukup jauh kami memburu bangsat Suma itu, sampai di lembah sungai Hwang barulah kehilangan jejaknya. Kalau dia sempat memasuki Ok-jin-kok, sungguh Wanpwe merasa penasaran, sebab itulah kami mengundang keempat Totiang untuk membantu berjaga di sini, siapa tahu... siapa tahu bertemu dengan Yan-tayhiap.”
“Pantas cara turun tangan kalian sangat keji,” ujar Yan Lam-thian. “Ya, terhadap kaum penjahat begitu memang perlu tindakan tegas, semakin keji semakin baik, tidak perlu kenal ampun.”
Cong-ek-cu, Tojin yang mengepalai keempat Kun-lun Tojin itu, bertanya, “Dan entah sebab apakah Yan-tayhiap juga datang ke sini?”
“Tempat tujuanku memang Ok-jin-kok!” jawab Yan Lam-thian.
Kun-lun-si-cu (keempat Cu (gelar Tojin) dari Kun-lun) dan Joan-tiong-pat-gi sama melengak, tanya mereka berbareng, “Jadi Yan-tayhiap sengaja hendak pergi ke Ok-jin-kok?”
“Ya,” jawab Yan Lam-thian dengan tertawa. “Tapi kepergianku ke sana bukanlah untuk menghindari pencarian musuh atau mengasingkan diri melainkan justru hendak mencari musuh yang sembunyi di sana.”
“Namun... namun Ok-jin-kok adalah....”
Belum habis Cong-ek-cu bicara, dengan suara bengis Yan Lam-thian memotong, “Biar pun Ok-jin-kok itu adalah sarang harimau atau kubangan naga juga akan kuterjang!”
“Keperwiraan dan keluhuran budi Yan-tayhiap sudah cukup kami kenal,” ujar Cong-ek-cu. “Cuma... cuma Ok-jin-kok adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat, mungkin dalam sejarah belum pernah ada tempat yang dihuni oleh penjahat sebanyak itu, bahkan juga belum pernah terjadi seorang berani menghadapi penjahat sebanyak itu dengan sendirian. Maka sebaiknya Yan Lam-thian suka... suka menimbang kembali maksud tujuanmu.”
Sinar mata Yan Lam-thian menyala bagai obor dan memandang jauh ke lembah yang diselimuti kabut tebal itu, katanya dengan suara mantap, “Seorang lelaki sejati, asalkan dapat berbuat beberapa hal yang tak berani dilakukan orang lain, sekali pun mati juga takkan menyesal.”
Kun-lun-si-cu saling pandang sekejap dengan rasa malu diri.
Nyo Peng berkata pula, “Tapi setahu Cayhe, selama dua puluh tahun ini, di antara kesepuluh gembong iblis yang paling jahat di dunia Kangouw, sedikitnya ada empat orang yang telah memasuki Ok-jin-kok itu.”
“Mungkin lebih daripada empat orang,” ujar Hay Tiang-po. “Yang jelas sudah berada di sana adalah ‘Hiat-jiu’ (si tangan berdarah) Toh Sat, lalu ‘Siau-li-cong-to’ (di balik tertawa tersembunyi sembilu) Ha-ha-ji, ‘Put-lam-put-li’ (bukan lelaki bukan perempuan alias si banci) To Kiau-kiau serta ‘Put-sip-jin-thau’ (tidak makan kepala manusia) Li Toa-jui....”
“Li Toa-jui?” Yan Lam-thian menegas. “Apakah si iblis yang terkenal gemar makan manusia itu?”
“Ya,” jawab Hay Tiang-po. “Orang memoyoki dia tidak memakan kepala manusia untuk menggambarkan bahwa kecuali kepala manusia, semuanya dimakan olehnya.Dia malah bergelak tertawa mendengar nama poyokan itu, dia bilang sebenarnya kepala manusia juga dimakan olehnya.”
“Bangsat sejahat itu, mana boleh dibiarkan hidup terus,” kata Yan Lam-thian dengan gusar.
“Konon Li Toa-jui ini rada memiliki sifat kejantanan, baik ilmu silatnya maupun ilmu sastranya boleh dikatakan cukup lumayan, selain gemar makan manusia, urusan lain-lain terhitung baik.”
“Hm, masakah makan manusia saja belum cukup jahat?” teriak Yan Lam-thian dengan gusar.
“Sungguh pun begitu, tapi Ketua Perserikatan Bu-lim di daerah tiga propinsi utara, yaitu Thi Bu-siang, Thi-tayhiap, entah sebab apa ternyata menaruh simpatik padanya,” tutur Hay Tiang-po, “dengan tulus hati Thi-tayhiap ingin menarik Li Toa-jui ke jalan yang baik, untuk itu beliau rela menjodohkan putri tunggal kesayangannya kepada orang she Li itu, maksudnya agar putrinya dapat mengawasi tindak-tanduk Li Toa-jui demi memperbaiki perbuatannya yang jahat itu.”
“Thi Bu-siang berjuluk ‘Ay-cay-ji-heng’ (sayang pada orang berbakat melebihi jiwa sendiri), ternyata memang tidak bernama kosong,” ujar Yan Lam-thian dengan gegetun.
“Tapi dasar jahat ya tetap jahat, betapa pun anjing tetap makan najis,” tutur Hay Tiang-po. “Siapa tahu, belum ada tiga hari dinikahkan, kegemaran Li Toa-jui sudah timbul kembali, pengantin perempuan telah disembelihnya dan dimakan mentah-mentah olehnya.”
“Sungguh bangsat keparat!” teriak Yan Lam-thian saking murka.
“Karena itu juga Thi-tayhiap menjadi gusar, bersama belasan anak muridnya ia bersumpah akan mencabut nyawa Li Toa-jui. Namun orang she Li itu cukup cerdik, sebelumnya dia sudah kabur masuk ke Ok-jin-kok.”
Dengan menyesal Nyo Peng lantas menyambung, “Sudah tentu Thi-tayhiap sangat menyesalkan keputusannya yang salah memungut menantu Li Toa-jui, tapi ia pun tidak tega menyiarkan kematian putrinya yang mengerikan itu, dia hanya memberi keterangan bahwa putrinya meninggal karena sakit keras. Kalau saja hubungan kami dengan Thi-tayhiap tidak cukup erat, mungkin urusan ini takkan diketahui sejelas ini oleh orang lain.”
“Pantas orang Kangouw tidak banyak yang mengetahui kejadian ini,” kata Yan Lam-thian dengan gemas.” Tapi... Thi Bu-siang terhitung juga ksatria yang tak gentar terhadap siapa pun juga, masakah dia tinggal diam saja menyaksikan bangsat she Li itu hidup bebas tenteram di Ok-jin-kok?”
“Thi-tayhiap memang bermaksud memburunya ke Ok-jin-kok, namun anak muridnya sama menahannya dengan sangat, Thi-hujin (nyonya Thi) juga berlutut dan mohon sang suami agar jangan pergi ke sarang penjahat itu, mau-tak-mau Thi-tayhiap menjadi ragu untuk bertindak.”
“Baru kehilangan putri kesayangan, pantas kalau Thi-hujin tidak mau membiarkan sang suami menyerempet bahaya pula,” kata Yan Lam-thian sambil menghela napas. “Ai, seorang lelaki sejati tidak perlu harus beristri, rasanya tindakan demikian juga bukan sesuatu yang bodoh.”
“Kecuali keempat iblis tadi,” sambung Hay Tiang-po, “kabarnya Im Kiu-yu, itu iblis yang membanggakan Ginkangnya tiada bandingannya di dunia ini serta suka meracun orang secara diam-diam, katanya juga kabur ke Ok-jin-kok.”
“O, jadi ‘Poan-jin-poan-kui’ (setengah manusia setengah setan) Im Kiu-yu juga berada di sana?” Yan Lam-thian menegas dengan waswas.
“Konon dia berhasil mengerjai murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, yaitu Li Tay-goan, tapi kabarnya dia juga sudah dibereskan oleh para tertua Siau-lim-si.”
“Ya, di dunia Kangouw memang tersiar berita demikian,” ujar Hay Tiang-po, “tapi menurut sumber yang mengetahui kejadian di balik layar, katanya para tertua Siau-lim-pay memang sudah berhasil membekuk dan mengurung iblis ‘setengah manusia setengah setan’ itu, namun akhirnya dia berhasil lolos pula. Karena kejadian ini menyangkut kehormatan Siau-lim-pay, maka anak murid Siau-lim-pay sama sekali tidak ada yang mau bercerita.”
“Itulah kelemahan manusia umumnya yang suka menjaga muka,” ujar Yan Lam-thian dengan gegetun. “Sebabnya Siau-lim-pay yang terkenal itu makin hari makin merosot, soalnya karena setiap murid Siau-lim-pay terlalu suka menjaga muka.”
“Ya, memang bukanlah pekerjaan mudah untuk tetap mempertahankan wibawa dan nama baik sesuatu aliran agar tidak merosot,” kata Cong-ek-cu. Sudah tentu ucapannya ini timbul karena ada sebabnya. Bukankah Kun-lun-pay mereka pun kian hari kian lemah?
“Kaum penjahat itu rada-rata adalah orang yang sukar dilayani,” tutur Nyo Peng, “lebih-lebih To Kiau-kiau, si tidak lelaki bukan perempuan itu, bukan saja banyak tipu akalnya, bahkan kepandaiannya menyamar boleh dikatakan tiada bandingannya. Sekali pun orang yang paling karib dengan engkau, bisa jadi mendadak berubah menjadi iblis itu yang menyamarnya. Konon sebabnya orang ini kabur ke Ok-jin-kok bukan karena menghindari pencarian musuh, tapi ada sebab lain.”
“Benar, dengan kepandaiannya menyamar, pada hakikatnya dia tidak perlu kabur ke Ok-jin-kok, sebab orang lain toh tidak tahu persis bentuknya yang asli,” ujar Hay Tiang-po.
“Tak peduli kaburnya ke Ok-jin-kok itu disebabkan apa, tak peduli betapa pintarnya dia mengubah wajahnya, yang pasti kumasuk ke sana sendirian, biar pun dia menyamar menjadi siapa pun juga takkan mengelabui aku,” kata Yan Lam-thian. “Haha, memangnya dia mampu menyamar menjadi bayi yang baru setengah bulan dilahirkan?”
“Benar juga,” kata Nyo Peng dengan tertawa, “sekali ini Yan-tayhiap masuk ke sana dengan sendirian, biar pun dia memiliki kepandaian setinggi langit mungkin juga tiada gunanya lagi. Cuma... cuma....”
Tanpa menunggu selesai ucapan orang, segera Yan Lam-thian memberi salam perpisahan terus melangkah pergi.
“Yan-tayhiap, engkau....” serentak semua orang berseru.
Namun Yan Lam-thian tidak menoleh lagi, sambil menyeret keretanya ia terus melangkah ke depan. Dia menarik keretanya dengan sebelah tangan saja, tapi ternyata jauh lebih kuat dan cepat daripada kereta itu dihela kuda.
Semua orang saling pandang dengan melongo dan terdiam sekian lamanya, akhirnya Cong-ek-cu menghela napas dan berkata, “Sering kudengar orang mengatakan ilmu silat Yan-tayhiap mahatinggi dan tiada bandingannya, setelah menyaksikan tadi... Ai....”
“Tinggi ilmu silatnya memang sangat membuat kagum orang, yang lebih kukagumi adalah jiwa ksatrianya, budi luhurnya, semua ini membuat kaum kita harus malu diri,” ujar Nyo Peng.
Sambil memandangi bayangan Yan Lam-thian yang semakin menjauh dan akhirnya lenyap, Hay Tiang-po bergumam, “Semoga kepergiannya ke Ok-jin-kok ini masih dapat keluar lagi untuk bertemu dengan kita....”
Jalan pegunungan semakin berliku dan terjal, tapi Yan Lam-thian tetap melangkah dengan biasa sambil menarik kereta, tampaknya sama sekali tidak makan tenaga.
Di tengah remang maghrib diliputi kabut itu, tiba-tiba timbul setitik sinar pelita di depan sana.
Itulah lampu minyak sejenis sentir yang disebut “Khong-beng-teng”, lampu yang asalnya diciptakan Khong Beng, itu ahli siasat di jaman Sam-kok. Secara tepat dan mengagumkan diselipkan di celah-celah batu cadas yang teraling dari tiupan angin, sinar lampu yang kelap-kelip di lembah pegunungan yang menyeramkan ini tampaknya mirip “api setan” saja di waktu malam.
Di bawah cahaya lampu itu, terlihat dua baris huruf yang terukir pada batu gunung itu berbunyi “Laksana naik ke langit untuk masuk ke lembah ini. Pendatang disilakan jalan di sebelah sini”.
Bagian bawah kedua baris huruf itu ada ukiran ujung panah yang menunjukkan arah yang harus diturut. Sepanjang mata memandang ke sana terlihat lembah yang dikelilingi oleh gunung-gemunung.
“Kurang ajar! Sungguh kaum penjahat yang terlalu berani, secara terang-terangan ternyata berani memberi petunjuk jalan bagi orang yang hendak masuk ke sarang mereka,” demikian omel Yan Lam-thian dengan gemas. “Ya, mungkin kalian mengira di dunia ini tidak ada orang baik yang berani masuk ke lembah maksiat kalian ini.”
Padahal, orang baik-baik yang masuk ke Ok-jin-kok memang Yan Lam-thian sendirilah terhitung orang pertama.
Meski lereng pegunungan Kun-lun-san sangat curam, tapi jalan yang menuju ke Ok-jin-kok itu ternyata teratur dengan baik menembus ke balik gunung sana dan Ok-jin-kok itu justru terletak di dasar lembah yang diapit gunung-gunung itu. Sebab itulah jalan yang masuk Ok-jin-kok bukan menanjak ke atas, tapi justru semakin menurun, sampai akhirnya Yan Lam-thian tidak perlu lagi menghela keretanya, sebaliknya dia malah seperti didorong oleh keretanya. Hanya jalan pegunungan itu semakin melingkar, cuaca juga tambah gelap sehingga pandangan sukar mencapai jauh.
Sekonyong-konyong pandangan Yan Lam-thian terbeliak, di tengah-tengah lembah yang dilingkari gunung-gemunung itu mendadak timbul lapangan pelita secara aneh dan menakjubkan, begitu banyak titik-titik lampu hingga seperti bintang-bintang bertaburan di langit.
Yan Lam-thian tahu di mana terletak sinar lampu yang tak terhitung jumlahnya itu adalah “Ok-jin-kok”, sarang berkumpulnya penjahat pelarian dari seluruh jagat ini.
Biar pun hatinya sekeras baja, nyalinya sekuat besi, tapi menghadapi Ok-jin-kok, tempat yang paling misterius dan paling berbahaya di dunia ini, mau-tak-mau timbul juga semacam perasaan aneh, serasa darahnya jadi mendidih dan mata berapi. Tanpa ragu kakinya tetap tegap melangkah ke depan sana.
Dalam bayangan Yan Lam-thian tadinya, Ok-jin-kok itu tentunya gelap gulita, seram dan menakutkan, tapi kini, sarang penjahat itu ternyata terang benderang oleh cahaya lampu. Namun cahaya lampu itu sama sekali tidak mengurangi keadaan misterius Ok jin-kok itu, sebaliknya malah menambah kegaibannya yang sukar dilukiskan.
Lantas, bagaimanakah sesungguhnya keadaan di Ok jin-kok?
Yan Lam-thian merasa denyut jantung sendiri pun bertambah keras, teka-teki akan segera terbongkar jawabannya.
Di bawah cahaya lampu terlihat sebuah tugu batu berdiri tegak di tepi jalan dengan tulisan yang bersemboyan: “Masuk dan masuklah lembah ini, selamanya engkau takkan jadi budak”.
Selewatnya tugu itu, jalanan mendadak menjadi datar, halus, di bawah cahaya lampu tampaknya licin laksana cermin. Namun Yan Lam-thian juga menyadari bahwa jalan yang halus licin ini juga jalan yang paling berbahaya di dunia ini. Setiap melangkah satu tindak terasa semakin dekat dengan bahaya dan kematian.
Bukan hutan bukan gunung, Ok jin-kok itu tampaknya lebih mirip sebuah kota kecil pegunungan. Deretan rumah berdiri di kedua sisi jalan, semua rumah dibangun secara indah, di balik pintu dan jendela tampak cahaya lampu sehingga suasana terasa aman tenteram.
Tapi di tengah kota pegunungan yang aman tenteram itu sebenarnya tersembunyi betapa banyak perangkap yang telah mencelakai orang, betapa banyak tangan yang berlumuran darah manusia? Semua ini sukar diterka.
Tangan Yan Lam-thian yang menarik kereta sudah berkeringat, kini ia sudah memasuki Ok-jin-kok, setiap saat mungkin diserang secara keji dan mendatangkan maut baginya.
Tiba-tiba dari depan sana ada orang datang. Seketika Yan Lam-thian waswas, ia tahu dalam sekejap ini mungkin akan terjadi pertarungan maut. Siapa duga kedua orang yang berpapasan dengan dia itu sama sekali tidak memandangnya, pakaian kedua orang itu sangat perlente, namun mereka lewat begitu saja di sebelah Yan Lam-thian.
Dilihatnya orang di jalanan semakin banyak, akan tetapi tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Keruan Yan Lam-.thian menjadi ragu, heran dan sangsi. Sebab ia tahu pasti orang yang berlalu-lalang itu semuanya adalah penjahat yang tangannya berlumuran darah. Kalau orang-orang itu serentak melancarkan serangan padanya takkan membuatnya heran, tapi kini gerak-gerik orang-orang itu tiada sesuatu pun yang mencurigakan, inilah yang membuatnya ragu dan tak dapat meraba apa sebenarnya yang akan terjadi. Ok-jin-kok yang dipandang sebagai lembah maut bagi setiap insan persilatan, kini baginya ternyata seperti memasuki sebuah kota yang makmur, aman dan tenteram.
Pikiran Yan Lam-thian menjadi bingung malah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selama hidupnya entah betapa banyak persoalan pelik dan berbahaya yang telah dihadapinya, tapi belum ada sesuatu yang membuatnya bimbang seperti sekarang.
Dalam kereta yang diseretnya itu terdengar suara tangisan bayi. Yan Lam-thian menghela napas, ia coba tenangkan diri. Dilihatnya di depan sana ada sebuah pintu yang terbuka. Dari dalam rumah itu terasa ada bau sedap makanan.
Tanpa pikir panjang Yan Lam-thian menarik keretanya ke sana. Dengan langkah lebar ia masuk ke rumah itu.
Ruangan yang indah dengan beberapa meja yang indah pula, dua meja di antaranya terdapat beberapa orang sedang minum arak sambil bersenda-gurau. Rumah ini seperti sebuah rumah makan, tapi jelas jauh lebih indah dan mewah daripada rumah makan umumnya.
Dengan membopong bayi Yan Lam-thian memilih salah sebuah meja dan duduk, dilihatnya rumah makan itu tiada sesuatu yang aneh, beberapa orang yang sedang minum arak itu berpakaian perlente dan bicara sewajarnya, sedikit pun tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah penjahat yang pernah menghadapi jalan buntu dan terpaksa merat ke lembah terpencil ini, sungguh aneh dan mengherankan Yan Lam-thian.
Ia lupa bahwa manusia yang paling jahat, orang yang paling culas, pada lahirnya justru sukar ditemukan tanda-tanda khas itu. Kalau wajah mereka kelihatan bengis menakutkan sehingga orang yang melihatnya segera waswas akan segala kemungkinan, lalu kejahatan apa yang akan dapat mereka lakukan? Tentu akan gagal bukan? Hal ini sebenarnya sangat sederhana, namun jarang direnungkan oleh manusia dan tidak banyak yang paham.
Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah seorang. Orang ini pendek gemuk, mukanya berseri-seri, senyum selalu dikulum, itulah tipe seorang pemilik rumah makan yang selalu harus ramah tamah terhadap tamunya.
Sedapatnya Yan Lam-thian bersabar dan duduk di tempatnya. Tapi si gemuk berwajah bulat itu lantas mendekatinya serta menegur dengan memberi salam, “Selamat datang Saudara!”
“Ehm,” Yan Lam-thian hanya mendengus perlahan.
Si gemuk berkata pula dengan tertawa, “Tiga tahun yang lalu sudah tersiar berita bahwa Hengtay (saudara) mengikat permusuhan dengan Joan-tiong-pat-gi, sejak itu kami sudah berharap-harap akan kedatanganmu ke sini. Siapa duga Saudara tidak segera muncul sehingga kami lama menunggu sampai sekarang.”
“O,” Yan Lam-thian bersuara singkat pula. Diam-diam baru ia tahu bahwa orang-orang ini telah salah menyangkanya sebagai “Joan-jong-kiam” Suma Yan sebagaimana para Tosu Kun-lun-pay serta Joan-tiong-sam-gi itu menyangkanya. Namun sedapatnya ia tetap tenang saja tanpa mengunjuk sesuatu.
Ketika si gemuk bermuka bulat itu menggapai, segera datang seorang dengan langkah gemulai, seorang gadis berbaju hijau, cantik dan genit. Matanya jeli dan giginya putih bak biji mentimun. Dengan lirikan yang genit gadis cantik itu mengucapkan salam hormat juga kepada Yan Lam-thian dan dijawab dengan dengusan singkat pula.
Melihat sikap Yan Lam-thian yang kaku dan acuh itu, si gemuk berkata dengan tertawa, “Rupanya baru tiba dari tempat jauh, Suma-siansing tiada hasrat bercengkerama denganmu. Lekas mengambilkan arak saja bagi Suma-siansing, lalu membuatkan tajin kental bagi kawan kecil kita ini.”
“Sungguh anak yang mungil dan manis,” kata gadis itu dengan tertawa genit sambil melirik sekejap kepada Yan Lam-thian, lalu melangkah pergi dengan gaya yang menggiurkan.
Sorot mata Yan Lam-thian menatap si gemuk berwajah bulat itu, diam-diam ia pikir, “Mungkin orang inilah ‘Siau-li-cong-to’, si Budha tertawa kecil, Ha-ha-ji. Kalau melihat wajahnya yang selalu tertawa, terhadap anak kecil juga begini simpatik, lalu siapa yang menyangka bahwa di dalam semalam saja dia telah membunuh seluruh anggota keluarga gurunya. Soalnya cuma lantaran Siausumoay-nya memaki dia dengan istilah ‘babi’ saja.”
Tengah termenung, si gadis genit tadi sudah kembali dengan langkahnya yang meliak-liuk dan membawa satu nampan daharan dan arak. Terendus bau arak yang harum, warna masakannya juga sangat menarik dan membuat orang meneteskan air liur.
“Suma-siansing datang dari jauh, tentu sudah lapar,” kata si gemuk dengan tertawa. “Silakan dahar saja, habis itu baru kita bicara lagi.”
Kembali Yan Lam-thian cuma mendengus saja, tapi tidak menyentuh daharan yang disuguhkan itu.
“Umumnya menyangka kami yang berada di sini pasti hidup susah dan menderita,” kata pula si pendek gemuk dengan tertawa, “mereka tidak tahu bahwa dengan berkumpulnya kaum cerdik pandai sebanyak ini di sini mana bisa kami menderita. Seumpama arak dan masakan ini, sekali pun raja juga sukar menikmatinya, supaya terbukti, silakan Sum-siansing mencicipinya.”
“O,” lagi-lagi Yan Lam-thian bersuara singkat saja.
“Siapakah gerangan koki yang memasak daharan ini, kuyakin sama sekali takkan pernah terpikir oleh Suma-siansing,” ujar si buntak dengan tertawa.
“Siapa?” tanya Yan Lam ;thian.
“Pernahkah Saudara dengar di dalam Kay-pang dahulu ada seorang tokohnya yang berjuluk ‘Thian-sip-sing’ (si tukang gegares)? Hanya di dalam setengah jam saja dia telah meracun mati tujuh tertua dari Pang mereka....” sampai di sini, mendadak “brak”, si buntak menggebrak meja, lalu menyambung dengan bergelak, “Sungguh seorang ksatria sejati, seorang tokoh besar. Nah, yang membuat daharan ini adalah dia.”
Diam-diam Yan Lam-thian terkejut, tapi tetap berlagak acuh-tak-acuh dan menanggapi dengan suara, “O!” begitu saja.
Mendadak si gemuk buntak itu tertawa pula dan berseru, “Suma-siansing benar-benar adalah tokoh pilihan kaum kita, sebelum persoalan menjadi jelas, sama sekali engkau tidak sudi makan. Padahal sebelum kedatangan Suma-heng ini sebenarnya kami sudah pandang dirimu sebagai saudara sekaum...” sampai di sini, segera ia angkat sumpit, setiap macam daharan dicicipinya dulu satu kali. Lalu menambahkan dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang Suma-heng masih sangsi?”
“Jika mereka telah salah sangka diriku sebagai Suma Yan, inilah kesempatan baik bagiku untuk menyelidiki jejak bangsat Kang Khim itu,” demikian pikir Yan Lam-thian. “Kalau sekarang aku berkeras tidak mau makan, tentu akan menimbulkan curiga mereka. Apa lagi mereka sudah mengira aku ini Suma Yan, rasanya mereka takkan mencelakai aku dengan racun.”
Maklumlah sekali pun Yan Lam-thian adalah lelaki berdarah panas, tapi kecerdikannya tidak di bawah orang lain, kalau tidak masakah kawanan Piausu itu dapat diakali hingga kelabakan. Kini setelah dia pikir dan timbang lagi, ia merasa lebih baik makan daripada tidak, maka ia lantas angkat sumpit dan berkata, “Baiklah, mari makan!”
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia terus makan dan minum.
Beberapa macam santapan itu memang punya cita rasa yang lezat dan sukar dicari bandingannya. Dalam waktu singkat daharan itu sudah disikat bersih oleh Yan Lam-thian. Apa lagi kalau mengingat sebentar lagi harus banyak mengeluarkan tenaga, jika perut kenyang tentu akan lebih kuat, maka dia makan dengan lebih cepat.
“Nah, bagaimana kepandaian masak Thian-sip-sing itu?” tanya si gemuk dengan bergelak tertawa.
“Lezat!” sahut Yan Lam-thian sambil mengusap mulutnya dengan lengan baju.
“Sebentar lagi tajin untuk kawan kecil itu tentu juga akan dibawa kemari,” ujar si gemuk pula.
“Ya, makin cepat makin baik,” kata Yan Lam-thian.
“Haha, setelah kawan kecil ini minum tajin, maka Yan-tayhiap juga boleh mulai turun tangan,” demikian ucap si gemuk tiba-tiba.
Keruan air muka Yan Lam-thian berubah seketika, katanya, “Apa... apa yang kau katakan?”
Kembali si gemuk tertawa terbahak-bahak, katanya, “Nama Yan-tayhiap termasyhur di seluruh jagat, tampangmu juga lain daripada yang lain, sekali pun aku Ha-ha-ji bermata buta juga dapat mengenal Yan-tayhiap. Haha, tadi aku pura-pura salah sangka engkau sebagai Suma Yan, tujuanku adalah untuk mengelabui Yan-tayhiap, kalau tidak masakah engkau sudi dahar makanan yang dibuat oleh Thian-sip-sing dengan campuran obat biusnya yang khas itu. Hahaha....”
“Bangsat keparat!” bentak Yan Lam-thian murka, sebelah kakinya terus mendepak, kontan meja dengan mangkuk piring di atasnya mencelat dan berantakan.
Si pendek itu memang betul “Si Budha Tertawa” Ha-ha-ji alias “Siau-li-cong-to” atau di balik tertawanya tersembunyi pisau. Julukannya ini melukiskan hatinya yang berbisa, tapi lahirnya suka tertawa, setiap ucapan pasti disertai tertawa ngakak, makanya dia bernama Ha-ha-ji atau si tukang Ha-ha.
Ketika meja didepak Yan Lam-thian, dengan gesit ia sudah melompat ke samping, lalu berolok-olok dengan tertawa, “Sebaiknya Yan-tayhiap jangan banyak mengeluarkan tenaga, kalau tidak, obat bius di dalam tubuhmu tentu akan bekerja terlebih cepat dan... Haha... Haha....”
Yan Lam-thian merasa badannya tiada sesuatu tanda yang mencurigakan, ia pikir mungkin orang sengaja menggertak dan menakut-nakuti. Tapi ketika diam-diam ia coba mengerahkan tenaga dalamnya, benar saja, terasa sukar dikeluarkan. Keruan ia cemas dan gusar pula, segera ia menubruk maju terus menghantam.
Tapi Ha-ha-ji tetap berdiri tegak di tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak dan tidak menyerang.
Ternyata sebelum pukulan Yan Lam-thian itu dilontarkan, lebih dulu tubuhnya sudah jatuh terjungkal. Anggota badannya terasa lemas lunglai, tenaga saktinya yang beribu-ribu kati itu entah hilang ke mana?
Lamat-lamat didengarnya suara tertawa senang Ha-ha-ji serta suara tangis anak bayi... suara tertawa dan menangis itu terasa semakin menjauh dan akhirnya... segalanya tak terdengar lagi....
Entah berselang berapa lama, Yan Lam-thian merasa ada lampu sedang memancarkan sinarnya di depan wajahnya. Perlahan ia membuka mata, terasa lampu itu seperti berputar-putar di depan matanya, ia ingin mendekap matanya tapi kaki dan tangan sedikit pun tak dapat bergerak.
Kepalanya terasa sakit seakan-akan pecah, tenggorokan juga panas seperti terbakar. Sekuatnya ia mengertak gigi dan mendelik untuk memandang lentera itu. Mana ada lampu yang berputar? Segera ia dapat melihat jelas wajah tertawa di belakang lentera itu.
“Bagus, Yan-tayhiap sudah siuman,” terdengar Ha-ha-ji berseru dengan tertawanya yang khas. “Di sini ada beberapa kawan yang sedang menunggu dan ingin menyaksikan betapa gagahnya si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia.”
Segera Yan Lam-thian juga dapat melihat beberapa bayangan orang, ada yang tinggi, ada yang pendek, tapi sinar lentera menusuk pandangannya sehingga bagaimana macam orang-orang itu tidak jelas terlihat.
Terdengar Ha-ha-ji berkata pula dengan tertawa, “Apakah Yan-tayhiap kenal beberapa kawan ini? Haha, biarlah kuperkenalkan mereka padamu, Nah, inilah ‘Hiat-jiu’ Toh Sat.”
Lalu terdengar seorang membuka suara dengan nada dingin, “Dua puluh tahun yang lalu pernah kuberjumpa satu kali dengan Yan-tayhiap, cuma sayang waktu itu Cayhe ada urusan penting sehingga tidak sempat belajar kenal dengan kungfu sakti Yan-tayhiap.”
Yang bicara ini berperawakan tinggi kurus, memakai jubah panjang putih mulus, kedua tangan tersembunyi di dalam lengan bajunya yang panjang dan longgar. Wajahnya tampak pucat pasi, begitu pucat sehingga mirip es batu yang tembus cahaya.
Dengan menahan rasa sakit kepalanya, Yan Lam-thian bergelak tertawa keras dan menjawab, “Ya, dua puluh tahun yang lalu, jika tidak mengingat kamu habis dilukai oleh ‘Lam-thian-tayhiap’ (pendekar di langit selatan) Loh Tiong-to dan aku merasa tidak sudi melabrak seorang yang sudah terluka, kalau tidak, masakah kamu mampu hidup sampai sekarang?”
Air muka Toh Sat sama sekali tidak berubah, dengan dingin ia menjawab, “Nyatanya Cayhe masih hidup sampai sekarang, bahkan akan terus hidup, sebaliknya Yan-tayhiap sendiri selekasnya akan mati.”
“Namun sebelum ajal Yan-tayhiap masih sanggup tertawa, hal ini rada-rada mirip dengan aku si Ha-ha-ji ini,” seru Ha-ha-ji dengan mengakak. “Dan kawan yang ini adalah ‘Put-sip-jin-thau’ Li Toa-jui, apakah Yan-tayhiap pernah kenal atau mendengar namanya?”