Bulan sabit sudah menongol di cakrawala dengan cahayanya yang setengah remang. Lian-sing Kiongcu berlutut mematung, hanya angin meniup mengembus rambutnya yang halus itu, lama dan lama sekali barulah ia bergumam, “Dia... dia sudah mati... akhirnya cita-citanya terkabul juga, tapi... tapi bagaimana dengan engkau...?.” Mendadak ia bangkit dan menghadapi sang kakak, yaitu Kiau-goat Kiongcu dan berteriak, “Ya, bagaimana dengan kita?”
“Tutup mulutmu!” jawab Kiau-goat Kiongcu tak acuh.
“Aku justru ingin bicara!” seru Lian-sing Kiongcu “Apa yang telah kau peroleh dengan tindakanmu ini...? engkau hanya membuat mereka semakin cinta-mencintai, membuat mereka semakin benci padamu!”
“Plak”, belum habis ucapannya pipinya telah ditampar sekali oleh sang kakak.
Lian-sing Kiongcu tergetar mundur dua tindak. “Kau... kau....” Ia tergegap sambil meraba pipinya.
“Kau hanya tahu mereka benci padaku, tapi apakah kau pun tahu betapa benciku padanya? Kubenci dia hingga darah menetes dari tubuhku....” Mendadak ia menyingsing lengan bajunya dan berteriak pula, “Lihatlah ini!”
Di bawah sinar bulan yang remang, lengannya yang putih mulus itu ternyata penuh bintik-bintik merah. Lian-sing Kiongcu melengak, tanyanya, “Ini... ini... sebab apa ini?”
Inilah bekas tusukan jarum yang kulakukan sendiri,” teriak Kiau-goat Kiongcu dengan penuh emosi. “Sejak mereka kabur, aku menjadi benci, aku dendam dan menyakiti diriku sendiri dengan tusukan jarum, setiap hari aku menyiksa diriku sendiri untuk mengurangi rasa derita batin. Semuanya ini apakah kau tidak tahu... apakah kau tidak tahu...?.” Sampai akhirnya suaranya menjadi gemetar dan setengah terguguk.
Melihat lengan kakaknya yang penuh bintik merah berdarah itu, semula Lian-sing Kiongcu melenggong, tapi mendadak ia menubruk ke dalam pelukan Kiau-goat Kiongcu dengan air mata bercucuran, katanya dengan suara tersedu, “O, tak kuduga bahwa... bahwa Cici juga menahan penderitaan batin sehebat ini.”
Sambil merangkul pundak adiknya, Kiau-goat menengadah dan berucap dengan rasa hampa, “Ya, betapa pun aku juga manusia, juga perempuan, aku pun berperasaan seperti perempuan lain, aku pun mendambakan cinta, tapi aku pun bisa iri, cemburu, dendam dan benci....”
Cahaya sang dewi malam yang lembut menyinari rangkulan dua bayangan tubuh menggiurkan. Kini mereka bukan lagi kedua putri agung dari Ih-hoa-kiong yang disegani dan dihormati melainkan dua gadis biasa yang bernasib malang seperti orang kebanyakan yang harus dikasihani.
“O, Cici, baru sekarang... baru sekarang kutahu engkau....” Lian-sing Kiongcu bergumam pula. Tapi Kiau-goat lantas mendorongnya dan membentak, “Diam!”
Setelah tenangkan diri, Lian-sing Kiongcu berkata pula dengan rasa pedih, “Cici, sudah lebih dua puluh tahun baru sekarang engkau merangkul diriku, biar pun Cici tetap benci padaku, namun... namun hatiku sudah puas.”
Kiau-goat tidak memandangnya lagi barang sekejap, dengusnya, “Lekas turun tangan!”
“Turun... turun tangan? Terhadap... terhadap siapa?”
“Siapa lagi? Kedua orok itu!” kata Kiau-goat dengan nada kaku dingin.
“Kedua anak itu?” Lian-sing menegas dengan tergegap. “Tapi mereka baru... baru saja dilahirkan, masakah Cici....”
“Pokoknya anak mereka tak boleh ditinggalkan!” ujar Kiau-goat. “Jika anak mereka tidak mati, asal teringat olehku mereka ini adalah anak Kang Hong dan budak hina itu, tentu aku akan menderita, aku akan menderita selama hidup. Nah, lekas turun tangan!”
“Aku... aku tidak tega, Cici, tidak tega turun tangan!”
“Baiklah, biar aku sendiri yang melakukannya!” dengan gesit Kiau-goat jemput golok di tanah, sekali sinar golok berkelebat, secepat kilat lantas menyambar ke arah kedua jabang bayi yang tidur nyenyak di dalam kereta.
Mendadak Lian-sing Kiongcu merangkul tangan sang kakak sekuatnya sehingga ujung golok cuma sempat menggores sejalur luka pada wajah salah satu anak itu. Seketika orok itu terjaga bangun dan menangis.
“Kau berani merintangi aku?” bentak Kiau-goat gusar.
“Cici, kupikir... kupikir....” suara Lian-sing setengah meratap.
“Lepaskan tanganmu! Kau berani merintangi aku? Memangnya kau sendiri ingin mampus?”
“Maksudku bukan merintangi tindakanmu, Cici,” tiba-tiba nada Lian-sing berubah. “Justru mendadak aku mendapatkan suatu gagasan bagus yang jauh lebih bagus daripada kita membunuh kedua anak ini.”
Kiau-goat merandek ragu, akhirnya ia bertanya, “Apa gagasanmu?”
“Bukankah merasuk tulang benci Cici terhadap budak hina itu? Juga benci Cici kepada bocah she Kang itu kukira tidaklah berkurang. Nah, apa faedahnya jika kita membunuh kedua anak yang tidak tahu apa-apa ini? Pada hakikatnya sekarang pun mereka tidak kenal apa artinya menderita.”
“Habis bagaimana jika kita tidak membunuh mereka?”
“Agar benar-benar dapat melampiaskan dendam kita, kedua anak ini harus dibuat menderita dan sengsara selama hidup, dengan demikian, walau pun bocah she Kang dan budak hina itu sudah mampus juga takkan tenteram di akhirat.”
Sorot mata Kiau-goat menatap dingin kepada adiknya, “Mengapa sikapmu berubah terhadap mereka?”
“Tidak, aku tidak berubah, benciku kepada mereka pun merasuk tulang, bahkan... bahkan jauh lebih mendalam daripada Cici.”
“Baik, coba jelaskan cara bagaimana membuat kedua anak ini sengsara dan menderita selama hidup?”
“Sesudah kawanan ayam dan babi dari Cap-ji-she-shio tadi mampus semua, kini di dunia ini tiada seorang lagi yang mengetahui bahwa Kang Hong dan si budak hina itu mempunyai anak kembar, bukan?”
Seketika Kiau-goat belum dapat meraba jalan pikiran adiknya itu, ia hanya mengangguk dan membenarkan.
“Nah, dengan sendirinya kedua bayi ini juga tidak tahu apa-apa, bukan?”
“Hm, tidak perlu bicara bertele-tele,” jengek Kiau-goat Kiongcu.
“Tapi masih ada seorang Yan Lam-thian yang mengaku sebagai jago pedang nomor satu di jagat ini, dia adalah sahabat karib Kang Hong, ia sudah berjanji akan memapak Kang Hong di jalan ini, kalau tidak, tentu Kang Hong takkan mengambil jalan sepi ini....”
“Tampaknya luas juga sumber beritamu!”
“Tapi yang penting kedatangan Yan Lam-thian ke sini ternyata terlambat.”
“Memangnya bagaimana kalau dia terlambat?” jengek Kiau-goat.
“Jika begitu, akhirnya dia kan pasti akan datang ke sini, bukan?”
Kiau-goat menjadi gusar, teriaknya, “Mengapa bicaramu selalu putar kayun dan bertele-tele, kau kenal watakku tidak?”
“Sabar sejenak, Cici,” ujar Lian-sing dengan tersenyum. “Sekarang kalau kita membawa pergi salah satu anak kembar ini dan tinggalkan satu di sini, bila Yan Lam-thian datang, tentu dia akan membawa pergi anak yang kita tinggalkan ini dan merawat serta membesarkannya, malahan bukan mustahil akan mengajarkan anak itu dengan segenap ilmu silatnya demi untuk menuntut balas sakit hati atas kematian ayah-bunda anak itu, betul tidak?”
“Ehm, anggap saja betul,” dengus Kiau-goat.
“Nah, kalau kita meninggalkan suatu bekas pukulan di tubuh Kang Hong, tentu mereka akan kenal bahwa apa yang terjadi ini adalah perbuatan Ih-hoa-kiongcu dan kelak setelah anak itu dewasa, pasti juga Ih-hoa-kiongcu yang akan menjadi sasarannya untuk menuntut balas, bukan?”
“Ya, betul juga,” jawab Kiau-goat Kiongcu. Sorot matanya gemerlap, tampaknya hatinya mulai goyang.
“Sementara itu anak yang kita bawa tentu juga sudah besar, dan sebagai ahli waris Ih-hoa-kiong, tentunya ia pun menguasai segenap ilmu silat ajaran kita. Sebagai lelaki satu-satunya di Ih-hoa-kiong, apa bila kita kedatangan musuh, dengan sendirinya dia akan tampil ke muka untuk menghadapi segala tantangan. Sudah tentu dia takkan mengetahui bahwa musuh yang datang adalah saudara sekandungnya, bahkan saudara kembarnya, di dunia ini juga tiada orang lain yang tahu hubungan sedarah sedaging mereka dan dengan demikian....”
“Mereka akan berubah menjadi musuh dan akan duel satu sama yang lain, begitu bukan maksudmu?” sela Kiau-goat Kiongcu.
“Tepat,” seru Lian-sing-Kiongcu dengan tertawa. “Tatkala mana si adik bertekad membunuh kakak dan sang kakak juga berkeras ingin membinasakan si adik. Mereka adalah saudara kembar, kepintaran dan kecerdasan mereka tentu seimbang, dengan begitu cara mereka mengadu akal dan tenaga tentu akan berlangsung dengan sangat dahsyat dan entah akan berlangsung berapa lama baru dapat membinasakan pihak lawan.”
“Ehm, rasanya menarik juga peristiwa demikian,” ujar Kiau-goat dengan tersenyum.
“Tentu saja sangat menarik, bukankah jauh lebih menyenangkan daripada kita membunuh mereka sekarang?”
“Benar, kita tidak perlu urus siapa di antara mereka yang akan terbunuh, cukup bagi kita untuk memberitahukan rahasia pribadi mereka ini kepada yang hidup itu, tatkala mana, hehe, air mukanya tentu sangat lucu dan menarik sekali, akan tetapi, kalau... kalau ada orang memberitahukan lebih dulu rahasia ini kepada mereka, maka apa yang bakal terjadi tentunya takkan menarik lagi.”
“Di dunia ini pada hakikatnya tiada orang lain lagi yang tahu persoalan ini selain Cici....”
“Dan kau !” sambung Kiau-goat dengan dingin.
“Aku? Ya, hanya Cici dan aku. Tapi usul ini datangnya dariku, masakah akan kukatakan kepada orang lain? Apa lagi Cici kan kenal watakku, kejadian yang bakal sangat menarik masakah takkan kuikuti dengan seksama?”
Kiau-goat termenung sejenak, katanya kemudian sambil mengangguk, “Ya, benar juga. Di dunia ini mungkin hanya kau yang mempunyai jalan pikiran seaneh ini. Dengan gagasanmu ini, kukira kau pun takkan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.”
“Gagasan ini selain aneh juga pasti sangat berguna,” ujar Lian-sing Kiongcu dengan tertawa. “Yang paling lucu adalah mereka sebenarnya saudara kembar, tapi kini satu sudah terluka mukanya, kalau sudah besar kelak bentuk wajahnya pasti akan berbeda. Tatkala mana di dunia ini siapa yang menyangka bahwa kedua musuh yang tak terleraikan ini sebenarnya adalah sekandung, bahkan saudara kembar.”
Sementara itu anak yang terluka tadi sudah berhenti menangis, agaknya orok itu pun ketakutan dan ngeri oleh muslihat keji yang timbul dari dendam kesumat dua orang perempuan cantik ini. Kedua matanya yang kecil itu terbelalak cemas seakan-akan sudah dapat membayangkan macam-macam siksa derita yang akan dialaminya pada masa mendatang nanti.
Kiau-goat memandang kedua orok itu sambil bergumam, “Belasan tahun lagi, ya mungkin harus dua puluh tahun lagi, kita harus menunggu... menunggu sekian lamanya....”
“Walau pun cukup lama harus kita tunggu, tapi untuk balas dendam selain cara ini kiranya tiada jalan lain lagi. Asalkan kita berhasil melampiaskan sakit hati, apalah artinya belasan atau dua puluh tahun?”
Kiau-goat Kiongcu menghela napas panjang penuh menyesal, katanya, “Ya, kecuali dendam kesumat yang merasuk tulang ini, di dunia ini rasanya tiada persoalan lain yang dapat membuatku menunggu sekian lamanya.”
********************
Sebuah jalan batu yang tersapu bersih dengan beberapa rumah yang resik dan sederhana, wajah penghuni rumah-rumah itu pada umumnya tampak ramah dan baik-baik. Inilah sebuah kota kecil, sangat kecil.
Sinar sang surya memancari jalan satu-satunya di kota kecil ini, sebuah panji kain hijau lusuh tampak terpancang pada satu-satunya kedai arak dengan tulisan “Thay-pek-ki” atau kedai Li Thay-pek (penyair termasyhur pada jaman Tang dan terkenal gemar minum arak).
Sudah biasa kedai kecil ini sepi melulu, si pelayan malahan sedang mengantuk dengan mendekap di atas meja. Memang ada juga tamunya, di meja sebelah sana duduk sendirian seorang tamu.
Tapi si pelayan malas melayani tamu demikian ini. Sudah beberapa hari tamu ini selalu datang minum arak, tapi selain minta satu poci arak murahan, nyamikan atau makanan kecil saja tidak mau keluarkan sepeser lebih, apa lagi daharan yang lezat-lezat.
Maklumlah, tamu ini sesungguhnya terlalu miskin, begitu miskin sehingga sepatu rumput butut yang dipakainya itu sudah hampir bolong seluruhnya. Namun dia sama sekali tidak merasa rendah harga diri, dia duduk bersandar dinding sambil berlipat kaki dan menikmati araknya, tubuhnya yang kekar itu laksana harimau kumbang yang kemalas-malasan.
Poci arak di depannya sementara itu sudah kosong, tampaknya orang itu pun sudah mabuk, cahaya matahari yang menyorot dari luar jendela itu menyinari wajahnya yang kelihatan kepucat-pucatan dengan jenggot yang pendek, kedua alisnya yang tebal dengan tulang pipinya yang menonjol itu tampak menambah angkernya. Dengan sebelah telapak tangannya yang kurus tapi lebar itu dia menutupi mukanya, tangan yang lain memegang sebatang pedang karatan, akhirnya dia mendengkur, tertidur.
Waktu itu baru lewat lohor, kota kecil yang sunyi itu tiba-tiba menjadi riuh oleh berdetaknya kaki kuda lari, beberapa penunggang kuda tampak datang dan berhenti di depan kedai arak itu. Beberapa lelaki kekar dengan baju sutera serentak melompat turun dan masuk kedai arak itu sehingga kedai sekecil itu seketika seakan-akan menjadi penuh sesak.
Pinggang laki-laki paling depan bergantung pedang, sikapnya berseri-seri seperti orang baru mendapat rezeki sehingga lubang-lubang pada mukanya yang burik pun seakan-akan bercahaya. Begitu dia melangkah masuk kedai, serentak dia bergelak tertawa dan berolok-olok, “Hahaha, kedai butut begini juga pakai nama Thay-pek-ki.”
Lelaki di belakangnya bermuka bulat dengan perut buncit, juga membawa pedang, potongannya lebih mirip saudagar dari pada jago silat. Dengan tertawa ia menanggapi ucapan kawannya tadi, “Lui-lotoa, engkau salah. Meski syair Li Thay-pek bernilai tinggi, tapi dia tetap rudin dan cocok bertempat tinggal di kedai buruk begini.” Lalu ia berteriak-teriak memanggil pelayan, “Hai, pelayan, bawakan arak dan daharan paling lezat, cepat!”
Setelah menenggak arak, senda-gurau beberapa orang itu semakin riuh seakan-akan anggap dunia ini mereka punya dan menyepelekan orang lain. Keruan lelaki kekar yang mengantuk di pojok sana berkerut kening, mendadak ia duduk menegak sambil mengulet kemalas-malasan dan bergumam, “Wah, bau busuk, dari mana datangnya bau busuk ini....” sekonyong-konyong ia pun menggebrak meja dan berteriak, “Pelayan, tambahkan araknya!”
Suaranya yang menggelegar itu membikin beberapa orang yang baru datang itu berjingkat kaget. Orang yang dipanggil Lui-lotoa tadi tampak aseran dan berdiri hendak mencari perkara, tapi seorang kawannya yang kurus kecil cepat mencegahnya dan membisikkannya, “Sabar dulu, Congpiauthau sudah hampir tiba, buat apa kita mencari gara-gara.”
Lui-lotoa mendengus dan duduk kembali, setelah menenggak araknya, lalu berkata pula, “He, Sun-losam, apakah betul tempat ini yang dimaksud oleh Congpiauthau, kau tidak salah dengar?”
“Tanggung tidak salah, “jawab Sun-losam, si kurus kecil tadi. “Kan Ci-jiko sendiri juga dengar.”
Si lelaki muka bulat menukas, “Ya, benar, memang tempat ini yang dimaksudkan. Konon beliau ingin menemui seorang ksatria besar, maka kita disuruh membawa kadonya menunggu di sini.”
“Apakah kau tahu siapa yang hendak ditemui Congpiauthau kita?” tanya Lui-lotoa.
“Sudah tentu kutahu, “ujar orang yang disebut Ci-jiko tadi, lalu dengan suara tertahan ia menyebut nama seseorang.
“Hah! Jadi dia yang dimaksudkan? Masakah beliau sudi datang ke tempat kecil ini?”
“Jika beliau tidak sudi datang, buat apa Congpiauthau datang ke sini.”
Sikap beberapa orang itu lantas prihatin demi mengetahui siapa yang hendak ditemui pemimpin mereka, walau pun masih tetap berkelakar, tapi suaranya tidak berani lagi keras. Lalu mereka pun bicara mengenai ksatria besar yang dimaksudkan itu, konon pedang sakti ksatria besar itu dapat memotong besi seperti merajang sayur, di malam hari bercahaya seperti sinar lampu.
“Memang, kalau saja tiada pedang sehebat itu mana mungkin hanya sekejap saja kepala kawanan Setan Im-san itu terpenggal seluruhnya?”
“Ya, bukan saja ilmu pedangnya maha sakti, bahkan Ginkangnya juga mahahebat. Nah, bayangkan, betapa tingginya tembok benteng kota Pakkhia, dengan sekali loncat beliau sanggup melintasinya.”
“Masakah benar?” si Lui-lotoa melelet-lelet lidah.
“Mengapa tidak benar?” ujar Ci-loji. “Konon petangnya dia habis minum di kota Pakkhia, tapi sebelum fajar dia sudah berada di Im-san, kawanan Setan Im-san baru melihat berkelebatnya sinar pedang dan kepala mereka pun terpenggal satu per satu.... He, konon sinar pedangnya terlihat hingga ratusan li jauhnya, sungguh luar biasa!”
Lelaki miskin yang duduk di pojok sana juga sedang menggosok-gosok pedangnya yang karatan itu, lalu menenggak araknya, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, “Hahaha! Di dunia ini mana ada orang macam begitu! Mana ada lagi pedang begitu?”
Kembali si Lui-lotoa naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak, “Siapa itu yang bicara? Lekas kemari jika ingin kutonjok kepalamu?”
Lelaki rudin itu seperti tidak memperhatikan ancaman Lui-lotoa, ia masih menggosok pedangnya yang karatan dan menenggak araknya seakan-akan ucapan tadi bukan keluar dari mulutnya.
Lui-lotoa tidak tahan lagi, segera ia hendak memburu ke sana, tapi lagi-lagi ia dicegah Ci-loji. Ia mengedipi Lui-lotoa agar duduk kembali, lalu ia sendiri mendekati lelaki rudin itu dan menyapa, “He, kawan, tampaknya kau pun berlatih pedang, makanya merasa penasaran ketika mendengar kelihaian ilmu pedang orang lain. Tapi apakah engkau tahu siapakah gerangan tokoh yang kami bicarakan itu?”
Dengan kemalas-malasan lelaki rudin itu menengadah, tanyanya sambil menyeringai, “Siapa?”
“Yan Lam-thian, Yan-tayhiap!Si Pedang Sakti,” jawab Ci-loji.
“Haha, jika kawan benar-benar berlatih pedang, tentu kau akan tunduk mendengar nama ini.”
Tak terduga lelaki rudin itu hanya berkedip-kedip saja seperti orang tidak tahu apa-apa, tanyanya dengan menyengir, “Yan Lam-thian?”
“Hahahaha!” Ci-loji tertawa terpingkal-pingkal. “Nama Yan-tayhiap saja tak pernah kau dengar, masakan kau mengaku mahir ilmu pedang?”
“Jika demikian, agaknya kau kenal orang she Yan itu?” tanya si lelaki miskin dengan tertawa.
Ci-loji berbalik melengak, tertawanya pun berhenti, jawabnya, “Ini, hehe, ini... hahaha....”
“Bagaimana macamnya orang she Yan itu?” tanya pula lelaki itu dengan tertawa, “dan bagaimana dengan pedangnya itu....”
Agaknya Lui-lotoa tidak tahan lagi, ia memburu maju dan menggebrak meja sambil berteriak, “Biar pun kami tidak kenal dia, tapi kami yakin dia pasti lebih gagah dan tampan daripada macammu ini. Apa lagi pedangnya, tentu beribu kali lebih bagus daripada pedang rongsokan milikmu ini.”
“Hahaha!” lelaki itu tertawa, “tampaknya kau ini orang cerdik pandai, mengapa pandanganmu begini picik. Biar pun diriku tidak cakap, namun pedangku ini justru....”
“Hah, memangnya pedangmu ini juga pedang sakti?” sela Lui-lotoa sambil mengakak geli.
“Pedangku ini justru senjata mahatajam, sanggup memotong besi seperti merajang sayur.”
Belum habis lelaki itu bicara, serentak orang banyak sudah tertawa gemuruh, malahan Lui-lotoa sampai terpingkal-pingkal memegangi perutnya yang mules, katanya, “Jika pedangmu ini betul dapat memotong besi seperti merajang sayur, maka kami akan traktir kau makan minum sepuasmu, bahkan....”
“Baik,” tiba-tiba lelaki rudin itu berdiri, “Coba lolos pedangmu!”
Selagi duduk tidaklah menarik perhatian, begitu lelaki itu berdiri, perawakannya yang tinggi besar sungguh mengejutkan. Tubuh Lui-lotoa sudah terhitung tegap, badan Ci-loji juga terhitung gemuk, tapi kalau dibandingkan perawakan orang yang kekar itu rasanya menjadi tak berarti sama sekali.
Dalam pada itu diam-diam kedai arak itu kedatangan seorang pemuda berwajah pucat berbaju hijau dan berkopiah, sambil bersandar di depan meja kasir, ia mengikuti apa yang terjadi dengan tertawa.
Sementara itu Lui-lotoa telah melolos pedangnya, katanya sambil membusungkan dada, “Baik, ayo boleh kita coba!”
“Nah, silakan kau bacok sekuatnya,” kata lelaki miskin itu.
“Baik, awas ya, kalau terluka jangan salahkan aku!” ujar Lui-lotoa sambil menyeringai. Sekali angkat, kontan pedangnya yang terbuat dari baja itu terus menabas dari atas ke bawah.
Tapi lelaki rudin itu tenang-tenang saja, tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan angkat pedang karatannya menangkis ke atas. Terdengar “trang” sekali, Lui-lotoa tergetar mundur dan pedang sendiri tahu-tahu patah menjadi dua.
Seketika semua orang melenggong kaget dan hampir-hampir tidak percaya pada matanya sendiri.
“Hahahaha! Apa abamu sekarang?” Lelaki rudin itu terbahak-bahak sambil mengelus, pedangnya yang karatan itu.
Tentu saja Lui-lotoa ternganga, katanya dengan tergegap, “Hebat, sungguh... sungguh pedang hebat!”
“Tapi sayang pedang sehebat ini berada di tangan orang rudin macam diriku ini,” ujar lelaki miskin itu dengan gegetun.
Mendadak sorot mata Lui-lotoa menjadi terang, katanya, “He, apakah sahabat mau menjual pedangmu ini?”
“Sebenarnya juga ada maksudku untuk menjualnya, namun belum mendapatkan pembelinya.”
“Eh, bagaimana kalau... kalau dijual padaku saja?” tanya Lui-lotoa dengan bersemangat.
Lelaki itu mengamat-amati sejenak orang she Lui itu, lalu menjawab, “Tampaknya kalian ini juga orang gagah dan cocok memiliki pedangku ini. Cuma... cuma pandanganmu kurang tajam, belum lagi tentang harganya, kira-kira kau berani bayar berapa?”
“Ah, ini mudah... mudah dirundingkan....” Lui-lotoa kegirangan dan segera mengumpulkan kawan-kawannya untuk berunding, mereka berempat tampak merogoh saku dan coba menghitung-hitung bekal masing-masing.
Lelaki miskin tadi tetap duduk di tempatnya dan minum arak tanpa ambil pusing akan tingkah laku Lui-lotoa dan kawan-kawannya itu.
Selang sejenak barulah Lui-lotoa mendekati lelaki itu dan berkata dengan ragu-ragu, “Sobat, bagai... bagaimana kalau lima ratus tahil....”
“Berapa?!” orang itu menegas dengan setengah mendelik.
Lekas-lekas Lui-lotoa berganti haluan, jawabnya, “O, bagaimana kalau... kalau seribu tahil perak. Bicara terus terang, kami berempat sudah... sudah menguras seluruh isi saku kami dan cuma dapat terkumpul sekian.”
Lelaki itu tampak termenung sejenak, katanya kemudian, “Sebenarnya pedangku ini adalah pusaka yang sukar dinilai. Cuma kata peribahasa, bedak halus dihadiahkan kepada si cantik dan pedang kudu diberikan kepada ksatria.... Baiklah, jadi, seribu tahil perak kujual padamu.”
Khawatir orang menarik kembali keputusannya, cepat Lui-lotoa mengumpulkan seluruh isi saku teman-temannya, lalu disodorkan ke depan lelaki rudin itu sambil berkata, “Ini, seribu tahil kontan, silakan hitung.”
Tanpa hitung-hitung lelaki itu terus mengemasi seribu tahil perak itu dengan sebuah kantong butut, katanya dengan tertawa, “Sudahlah, tak perlu dihitung, kupercaya penuh padamu. Nah, inilah pedangnya, silakan diterima. Senjata mestika hanya cocok bagi pemiliknya yang bijaksana, selanjutnya kau harus hati-hati menggunakannya, kalau tidak senjata mestika juga akan berubah menjadi besi tua yang tak berguna....”
Berulang-ulang Lui-lotoa mengiakan sambil menerima penyerahan pedang tadi, girangnya tidak kepalang seperti orang putus lotre.
“Trang”, lelaki itu menjatuhkan sepotong perak di atas meja dan berseru kepada pelayan, “Ini rekening para sahabat ini semuanya diperhitungkan padaku, sisanya buat kau!” Lalu tanpa menoleh lagi ia terus meninggalkan kedai arak itu.
Hanya si pemuda berwajah pucat tadi senantiasa mengikuti gerak-gerik lelaki rudin itu, ia tertawa memandangi Lui-lotoa dan kawan-kawannya, lalu ikut meninggalkan kedai itu.
Tampaknya Lui-lotoa kegirangan hingga lupa daratan karena menganggap berhasil membeli benda pusaka dengan harga murah. Kawannya, yaitu Ci-loji, dengan tertawa mengumpaknya. “Wah, dengan pedang pusaka, selanjutnya Lui-lotoa benar-benar seperti harimau tumbuh sayap dan dapat malang melintang di dunia Kangouw.”
“Haha, Ci-loji memang suka memuji,” ujar Lui-lotoa sambil mengakak senang. “Kukira ini pun berkat doa restu saudara-saudara.... Haha, mungkin ini sudah saatnya bintangku mulai terang, kalau tidak masakah secara kebetulan begini aku mendapatkan benda pusaka ini.”
“Dengan pedang pusaka ini, mungkin Yan Lam-thian juga akan keder terhadap Lui-lotoa kita, bahkan Congpiauthau kita juga pasti akan memberi penghargaan lain,” ujar Ci-loji.
Muka Lui-lotoa yang berseri-seri membuat lubang buriknya seakan-akan tambah mekar. Sambil memegang “pedang pusaka” yang baru dibelinya itu dia mondar-mandir kian kemari, duduk tidak tenang, berdiri pun tidak tenteram.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang menegur, “He, urusan apa yang membuat kalian bergembira ria begini?”
Tertampak seorang pendek kecil dengan jubah bersulam melangkah masuk kedai arak itu. Meski tubuhnya kecil, tapi sorot matanya tajam, gerak-geriknya tangkas dan berwibawa sehingga sekali pandang orang akan segera merasakan bahwa orang itu sehari-harinya pasti biasa memimpin dan memberi perintah.
“Congpiauthau....” demikian beramai-ramai Ci-loji dan lain-lain memberi hormat kepada orang pendek kecil itu, lalu mereka pun menceritakan apa yang baru saja terjadi tentang jual beli pedang pusaka itu.
“Hah! Betulkah terjadi begitu?” ujar Congpiauthau itu dengan tertawa, “Wah, jika begitu Lui-lotoa harus diberi selamat!”
Dengan tertawa bangga Lui-lotoa menjawab, “O, terima kasih Cong... Sim-heng, ini hanya kejadian secara kebetulan saja,” Dasar manusia rendah, baru sedikit mendapat “angin” lantas kepala besar, sebutan “Congpiauthau” kepada pemimpinnya mendadak berganti jadi sebutan “Sim-heng” (saudara Sim) saja.
Namun Sim-congpiauthau itu agaknya tidak menaruh perhatian atas perubahan sikap Lui-lotoa itu, dengan tertawa dia berkata pula, “Terus terang senjata pusaka setajam itu aku pun belum pernah melihatnya. Kalau tidak keberatan, apakah boleh Lui-heng mendemonstrasikannya untuk menambah pengalamanku.”
“Haha, boleh saja,” Lui-lotoa bergelak tertawa. “Boleh saja Sim-heng mencobanya dan segera akan terbukti.”
“Coba pinjam pedangmu, Ci-heng,” kata Sim-congpiauthau kepada Ci-loji dan setelah menyingsing lengan baju, dengan tersenyum ia berkata, “Awas Lui-heng!” Habis itu pedang pinjamannya terus menabas.
Agaknya Lui-lotoa sengaja berlagak menirukan lelaki miskin tadi, dengan tangan kiri memegang cawan arak dan tangan kanan memegang “pedang pusaka” untuk menangkis secara acuh.
Maka terdengarlah suara “trang, krek, trang, bluk”, benar juga kutungan pedang telah jatuh ke lantai, tapi bukan pedang Sim-congpiauthau yang patah melainkan “pedang pusaka” Lui-lotoa.
Suara-suara “trang-krek-trang-bluk” yang terjadi dimulai dengan beradunya kedua pedang, lalu jatuhnya kutungan pedang, suara ketiga karena pecah berantakannya cawan arak Lui-lotoa dan suara gedebukan terakhir itu adalah karena Lui-lotoa jatuh terduduk saking kagetnya.
Keruan muka Lui-lotoa pucat pasi seperti mayat, bahkan kawan-kawannya juga melongo kesima seperti patung.
“Hm, masakah begini macamnya pedang pusaka?” dengus Sim-congpiauthau sambil melemparkan pedangnya kepada Ci-loji.
“Tapi... tapi tadi jelas... jelas....” demikian dengan menyengir Lui-lotoa berusaha menerangkan.
“Yang jelas kau telah tertipu,” jengek pula Sim-congpiauthau.
Mendadak Lui-lotoa sadar, serentak ia melompat bangun dan mengumpat, “Maknya dirodok! Mana orang tadi? Kurang ajar....”
“Hus! Jangan sembrono!” cepat Sim-congpiauthau membentaknya.
Karena itu Lui-lotoa tidak jadi mengumpat lebih lanjut, jawabnya dengan sikap kikuk, “Ada... ada pesan apa, Congpiauthau.”
Kini dia telah menyebut Congpiauthau lagi kepada pimpinannya, namun Sim-congpiauthau tetap anggap tidak tahu saja, ia bertanya dengan dingin, “Bagaimana macamnya orang tadi?”
“Seorang lelaki rudin, mungkin orang gelandangan, cuma perawakannya tinggi besar,” tutur Lui-lotoa.
Sim-congpiauthau termenung sejenak, mendadak air mukanya berubah dan bertanya pula, “Apakah kedua alis orang itu sangat tebal dan tulang pipinya menonjol, matanya setengah terpejam seperti orang selalu mengantuk saja.”
“Ha, betul. Congpiauthau kenal dia?”
Sim-congpiauthau memandang sekejap kepada Lui-lotoa, lalu memandang Ci-loji pula, tiba-tiba ia menengadah dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Sungguh sayang, kalian sudah sekian lama ikut padaku, kalian ternyata bermata tapi tidak bisa melihat alias buta melek.”
Lui-lotoa hanya munduk-munduk saja, sekarang dia tidak berani membantah sepatah kata pun.
“Memangnya apakah kalian tahu siapa gerangan lelaki tadi?” tanya Sim-congpiauthau pula.
Semua terdiam dan saling pandang dengan bingung. Akhirnya mereka tanya berbareng, “Siapa dia?”
Dengan sekata demi sekata Sim-congpiauthau menjawab, “Dia tak lain tak bukan ialah si pedang sakti Yan Lam-thian, Yan-tayhiap! Yaitu orang yang khusus ingin kutemui di sini sekarang.”
Belum habis sang Congpiauthau menjelaskan, “bluk”, kembali Lui-lotoa jatuh terduduk dengan mulut ternganga…..
********************