“Coba jelaskan dulu, sebab apa kau ingin membunuhku?” balas Kim-goan-sing bertanya.
Dengan suara bengis Yan Lam-thian berteriak, “Kang-jiteku telah....”
“Itulah dia,” kembali Kim-goan-sing memotong ucapannya, “kalau engkau membunuh diriku lantaran persoalan lain, maka aku takkan bicara apa-apa. Tapi kalau kau bunuh diriku karena urusan Kang Hong, maka itu berarti engkau tidak tahu antara budi dan benci dan tidak dapat membedakan yang salah dan yang benar.”
“Memangnya gerombolan Cap-ji-she-shio kalian menyangkal tidak pernah menewaskan Kang-jiteku?” bentak Yan Lam-thian dengan murka.
“Tidak. Pihak Cap-ji-she-shio adalah gerombolan bandit, bahwa bandit kerjanya merampok dan membunuh memang bukan rahasia lagi, maka apa yang terjadi bukanlah sesuatu dendam kesumat yang luar biasa. Yang lebih penting adalah peranan lain, yaitu orang yang menghubungi pihak Cap-ji-she-shio agar mengerjai Kang Hong, dia itulah sasaran sesungguhnya bagimu untuk menuntut balas. Dan apakah kau tahu siapa gerangan dia itu? Bukankah lucu, engkau tidak mencari musuh yang sesungguhnya, tapi malah mencari kami. Sekali pun engkau dapat membunuh habis seluruh anggota Cap-ji-she-shio juga tidak berarti engkau telah berhasil menuntut balas bagi kematian Kang Hong.”
Cara bicara Kim-goan-sing yang lancar, tegas serta berani itu membuat Yan Lam-thian yang murka itu jadi melenggong juga. Tiba-tiba terkilas suatu pikiran dalam benaknya, bentaknya mendadak, “Mungkinkah orang yang menghubungi Cap-ji-she-shio kalian adalah si binatang kecil Kang Khim? Ya, tentang perjalanan Kang-jite hanya binatang kecil itu saja yang diberitahu dan dia pula yang disuruh menyampaikan beritanya padaku.”
Air muka Kim-goan-sing tampak rada berubah, jawabnya, “Ya, memang tepat terkaanmu. Tampaknya tidak cuma badanmu saja yang gede, tapi otakmu juga berkembang dengan baik. Kang Hong memang telah dijual oleh kacung kepercayaannya, dijual dengan harga tiga ribu tahil perak, hanya tiga ribu tahil perak.”
“Binatang, bangsat keparat!” teriak Yan Lam-thian dengan suara serak dan beringas.
“Dan apakah kau tahu binatang itu berada di mana?” kata Kim-goan-sing pula dengan menyeringai.
“Sim Gin-hong,” cepat Yan Lam-thian berpaling kepada Congpiauthau itu, “apakah kau melihat ke mana perginya binatang kecil itu?”
Walau pun tahu sikap beringas Yan Lam-thian itu bukan ditujukan kepadanya, tidak urung Sim Gin-hong rada gemetar juga, dengan suara tergegap ia menjawab, “Cayhe... Cayhe tak memperhatikannya.”
Mendadak Yan Lam-thian angkat tubuh Kim-goan-sing yang kecil itu dan berteriak dengan suara parau, “Kau tahu ke mana perginya, bukan? Katakan, lekas!”
“Tahu, sudah tentu kutahu ke mana perginya, kalau tidak tentu aku takkan membicarakan soal ini,” jawab Kim-goan-sing tenang-tenang tanpa gentar.
“Ke mana dia? Lekas katakan!” bentak Yan Lam-thian pula.
Walau pun tubuh Kim-goan-sing diangkat ke atas, tapi sikapnya bahkan lebih tenang daripada berdiri di tanah, ia tersenyum saja dan menjawab, “Umpama tidak kukatakan, bagaimana pendapatmu?”
“Jika kau tidak mau bicara, sungguh aku kagum padamu,” ujar Yan Lam-thian sambil menatap tajam wajah orang.
Jika dia menyatakan akan membunuh, menyembelih, mencincangnya apa bila Kim-goan-sing tidak mengaku, maka jelas Kim-goan-sing tak gentar sedikit pun, sebab si binatang kera itu yakin sebelum Yan Lam-thian mengetahui di mana beradanya Kang Khim tidak mungkin membunuhnya. Tapi karena ucapan Yan Lam-thian juga luar biasa itu, mau-tak-mau Kim-goan-sing menjadi bergidik sendiri.
“Dan bagaimana jika kukatakan?” tanya Kim-goan-sing kemudian.
“Kalau kau mau mengaku terus terang, segera kucolok kedua biji matamu,” jawab Yam Lam-thian.
Hampir saja Sim Gin-hong menjerit heran, pikirnya, “Pendekar besar ini mengapa tidak bijaksana begini? Kalau orang mengaku dia malah membutakan matanya. Jika demikian jelas Kim-goan-sing tak mau bicara.”
Di luar dugaan, tiba-tiba Kim-goan-sing menghela napas panjang, katanya, “Meski kehilangan mata, mendingan masih bisa hidup.”
“Nah, katakan!” desak Yan Lam-thian.
“Tapi biar pun kukatakan juga belum tentu kau berani ke sana.”
Yan Lam-thian menjadi gusar, teriaknya, “Di dunia ini tiada tempat yang tak berani didatangi orang she Yan!”
Kedua mata Kim-goan-sing meram-melek, wajahnya senyum-tak-senyum seperti orang mengejek, katanya kemudian dengan perlahan, “Kang Khim itu bukan orang tolol, dia cukup kenal Cap-ji-she-shio bukanlah orang-orang yang mudah diajak berkomplot, ia pun tahu membunuh orang bagi kawanan Cap-ji-she-shio tiada ubahnya seperti memites seekor semut saja. Dan setelah dia terima tiga ribu tahil perak dari Cap-ji-she-shio, hah, masakah dia tidak takut kepalanya bakal berpisah dengan tubuhnya?”
“Coba lanjutkan,” kata Yan Lam-thian.
“Dia begitu berani, soalnya dia sudah mempunyai tempat tujuan untuk sembunyi, tiga ribu tahil perak itu justru akan digunakan sebagai sangu hidup, sedangkan tempat yang ditujunya itu, biar pun keduabelas orang kawanan Cap-ji-she-shio berkumpul sekaligus juga tidak berani mendekat ke sana.”
“Hahaha!” Yan Lam-thian bergelak tertawa, “Apa kau maksudkan Ih-hoa-kiong? Haha, orang she Yan ini justru hendak ke sana.”
“Di dunia ini kan bukan cuma Ih-hoa-kiong saja yang disegani orang persilatan?”
“Habis mana lagi selain Ih-hoa-kiong?” bentak Yan Lam-thian.
“Ok-jin-kok di Kun-lun-san....”
Begitu mendengar nama tempat itu, serentak air muka Sim Gin-hong berubah pucat dan badan gemetar, serunya, “Yan-tayhiap, engkau... engkau jangan ke sana!”
Tapi Yan Lam-thian tambah beringas, dengan tajam ia membentak pula, “Apakah betul ucapanmu ini?”
“Yang kukatakan ini apa adanya, percaya atau tidak terserah padamu,” jawab Kim-goan-sing.
“Yan-tayhiap, ‘Ok-jin-kok’ (lembah kaum penjahat) adalah tempat berkumpulnya kaum penjahat yang terdesak dan menghadapi jalan buntu, mereka sama mengungsi ke sana,” demikian tutur Sim Gin-hong dengan suara gemetar. “Penjahat yang berada di sana semuanya mahajahat dan kejam, tangan mereka rata-rata pernah berlumuran darah, semuanya adalah sampah masyarakat dunia persilatan, penjahat sebanyak itu berkumpul menjadi satu, sekali pun mereka dibenci dan banyak orang ingin membinasakan mereka, namun siapa yang berani mendekat ke sana? Malahan ‘Kun-lun-jit-kiam’ (tujuh pendekar Kun-lun), ‘Siau-lim-su-sin-ceng’ (empat paderi sakti Siau-lim-si) dan Kang-lam-kiam-khek (pendekar pedang daerah Kang-lam) Hong Siau-uh, semuanya juga tidak berani ke sana....”
“Demi kebenaran, demi persahabatan, biar pun terjun ke lautan api atau air mendidih juga aku tidak gentar,” teriak Yan Lam-thian.
“Tapi bisa jadi Ok-jin-kok hanya tipu muslihat Kim-goan-sing saja, dia sengaja menjebak engkau, karena dendamnya dia sengaja memancing engkau ke sana agar....” meski Gin-hong belum melanjutkan ucapannya yang terakhir “agar mengantar nyawa”, namun apa yang akan dikatakannya sudah cukup jelas bagi orang lain.
“Sekali pun Ok-jin-kok adalah gunung bergolok dan lautan api juga belum tentu dapat mencabut nyawaku,” teriak Yan Lam-thian sambil bergelak tertawa keras.
“Tapi... tapi....”
“Tekadku sudah bulat, tidak perlu lagi kau bicara,” bentak Yan Lam-thian sebelum lanjut ucapan Sim Gin-hong. Terpaksa pemimpin perusahaan pengawalan itu tutup mulut dan menghela napas belaka.
“Bagus!” Kim-goan-sing juga memuji dengan gegetun. “Yan Lam-thian ternyata seorang ksatria sejati, sampai Ok-jin-kok juga berani diterobosnya. Meski kepergianmu ke sana jelas tiada harapan buat pulang kembali lagi, tapi engkau pasti akan dikagumi setiap insan persilatan di dunia ini.”
“Dan apa lagi yang hendak kau katakan?” tanya Yan Lam-thian.
“Tidak ada lagi, ambillah biji mataku!” jawab Kim-goan-sing.
Di tengah suara jeritan ngeri, sepasang biji mata Kim-goan-sing si binatang kera dari kawanan Cap-ji-she-shio itu tahu-tahu sudah terkorek keluar, yang tertinggal hanya lubang mata yang berdarah.
Yan Lam-thian lemparkan tubuh Kim-goan-sing ke depan Sim Gin-hong dan berseru, “Kuserahkan orang ini padamu!” Habis berkata segera ia melayang pergi dengan cepat.
Lui Siau-hou masih menggeletak di tengah genangan darah menindihi anjing herder tadi, anjing dan manusianya sama kempas-kempis dan tak sanggup bergerak lagi.
Dengan pandangan haru Sim Gin-hong memandang sekejap pada Lui Siau-hou, lalu sorot matanya beralih kepada Kim-goan-sing, katanya dengan penuh benci, “Betapa pun cerdiknya kau kera ini, nyatanya kau pun dapat berbuat bodoh.”
Meski rasa sakitnya tadi membikin Kim-goan-sing setengah semaput, tapi sekarang ia sudah sadar kembali, seperti didorong oleh kekuatan gaib saja, kini ia dapat menahan penderitaannya dan mengeluarkan sebungkus obat untuk dibubuhkan pada lubang matanya sendiri. Bahkan mulutnya masih sanggup bicara walau pun dengan rada gemetar, “Kau bilang aku berbuat bodoh?”
“Ya, meski Yan-tayhiap tidak mencabut nyawamu tapi kau diserahkan padaku, memangnya aku dapat mengampuni jiwamu?” ujar Sim Gin-hong, “Biar pun lukamu diberi obat, lalu apa gunanya lagi?”
“Sudah tentu besar gunanya,” jawab Kim-goan-sing, “Aku takkan mati. Kau tidak mampu membunuh diriku.”
“Hahahaha!” Sim Gin-hong mengakak keras, “Siapa lagi yang dapat menolongmu sekarang?”
“Aku sendiri,” jawab Kim-goan-sing.
Sejenak Sim Gin-hong melengak, tapi segera ia membentak, “Baik, ingin kulihat cara bagaimana kau menolong jiwamu sendiri....” di tengah bentakannya itu telapak tangannya terus menabok batok kepala Kim-goan-sing.
Mendadak Kim-goan-sing berseru, “Apakah kau tidak lagi ingin menemukan kembali harta benda kawalanmu yang hilang itu?”
Seketika telapak tangan Sim Gin-hong terhenti di udara. Memang benar juga, kalau Kim-goan-sing dibunuh, lalu kepada siapa ia harus mencari keterangan?
“Nah, apa kataku? Memang sudah kuperhitungkan kau takkan berani membunuh diriku,” demikian Kim-goan-sing terkekek-kekek senang.
Beberapa kali Sim Gin-hong akan membinasakan musuh itu saking gemasnya karena ejekan itu, tapi akhirnya tak jadi, ia menghela napas dan menarik kembali tangannya dan berkata, “Baiklah kau yang menang. Sementara ini kau harus ikut padaku.”
Harta benda yang hilang di bawah pengawalannya itu memang menyangkut nasib hidup dan matinya Sam-wan-piaukiok, selamanya Sim Gin-hong tidak pernah mengingkari janji dan senantiasa bertugas dengan baik, kali ini ia pun tidak ingin mengingkari kewajiban atas kepercayaan para pemilik barang kepada Sam-wan-piaukiok itu.
Dengan terkekek-kekek Kim-goan-sing mengejek pula, “Nah, Sim Gin-hong, sekarang kau baru tahu bahwa aku tidak begitu mudah dibunuh oleh siapa pun juga, bukan…..?!”
********************
Malam sudah larut, pelita di rumah-rumah kota kecil itu pun banyak yang sudah dipadamkan. Di kedai minum “Thay-pek-ki” yang tinggal beberapa tukang mabuk itu pun berturut-turut pergi dengan langkahnya yang sempoyongan.
Ketika pelayan kedai itu kucek-kucek matanya yang sepat mengantuk dan hendak menutup pintu, tiba-tiba terdengar suara gemertaknya roda kereta, sebuah kereta besar tampak muncul dari ujung jalan sana.
Anehnya yang menarik kereta itu bukanlah kuda melainkan manusia, yaitu lelaki kekar yang siangnya baru menipu seribu tahil perak Lui-lotoa dan kawan-kawannya itu.
Setelah dekat, tertampaklah sekujur badan lelaki tegap itu berlumuran darah, wajahnya beringas penuh nafsu membunuh, kelihatan menyeramkan tapi juga kereng.
Setiba di depan pintu kedai, si pelayan rada keder melihat keadaan lelaki yang menakutkan itu. Yang aneh adalah kereta besar yang biasanya harus ditarik dua ekor kuda itu bagi lelaki itu kini hanya seperti benda enteng tanpa arti apa-apa.
Sesudah menyandarkan kereta itu, lelaki tegap itu, Yan Lam-thian, melangkah masuk kedai dengan memondong bayi yang tertidur nyenyak itu.
“Apakah... apakah Toaya ingin minum arak?” dengan tabahkan hati si pelayan bertanya dengan mengiring senyum.
Mendadak Yan Lam-thian membentak tertahan, “Siapa bilang aku ingin minum arak?”
Si pelayan melengak, tanyanya pula dengan gugup, “Bukan arak? Habis... Toaya ingin minum apa?”
“Tajin!” sahut Yan Lam-thian singkat.
Kembali si pelayan melengak, sungguh aneh, lelaki tegap begini bukannya minum arak, sebaliknya ingin minum tajin (kanji, air nasi). Tapi ketika ia melihat bayi di dalam pelukan lelaki itu, segera ia paham untuk apa lelaki itu menginginkan tajin. Dengan tergegap-gegap ia pun menjawab, “Tapi... tapi kami tidak... tidak menjual....”
“Persetan!” omel Yan Lam-thian sambil mendelik. “Masakkan dulu dua mangkuk tajin yang kental, habis itu baru sediakan arak bagiku.”
Dalam keadaan ketakutan, mana si pelayan berani membantah lagi dan cepat berlari pergi mengerjakan apa yang dipesan.
Sehabis kenyang minum tajin, tidur bayi itu semakin nyenyak. Yan Lam-thian sendiri pun mulai minum arak, sinar matanya yang tajam sungguh menakutkan, sekejap saja si pelayan tak berani menatapnya.
Walau tak berani memandangnya, tapi diam-diam pelayan itu menghitung... satu, dua, tiga, empat... hanya sejenak saja Yan Lam-thian sudah menenggak habis tujuh belas mangkuk besar arak keras. Keruan si pelayan melelet lidah dan hampir saja tak dapat mengkeret kembali.
Mendadak dilihatnya Yan Lam-thian mengeluarkan dua potong perak dan dilemparkan ke atas meja sambil berseru, “Pergi membelikan barang untukku.”
“Toaya ingin... ingin membeli apa?” tanya si pelayan.
“Peti mati! Dua buah peti dari kualitas yang paling bagus!”
Pelayan itu berjingkat saking kagetnya hingga hampir jatuh terjungkal, mulutnya ternganga hingga sekian lama tidak sanggup bersuara, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Tiba-tiba Yan Lam-thian menggebrak meja perlahan sehingga kedua potong perak tadi mencelat, tapi dengan tepat justru mencelat ke dalam saku si pelayan. Lalu bentaknya pula, “Peti mati, kau dengar tidak? Dua buah peti mati dari kualitas yang paling bagus”
“Ya... ya, dengar....” sahut si pelayan tergopoh-gopoh.
“Kalau sudah dengar, kenapa tidak lekas pergi?!” kata Yan Lam-thian.
Seperti melihat setan saja segera pelayan itu berlari pergi. Setelah Yan Lam-thian menghabiskan araknya yang ketiga puluh dua mangkuk, si pelayan tampak kembali dengan mengangkut dua buah peti mati yang dipesan tadi.
Cekatan dan pintar juga cara kerja si pelayan, ia pun tahu bilakah harus menurut perintah orang dan ke mana harus mengerjakan tugasnya dengan baik, dalam waktu sesingkat itu dia sudah mendatangi perusahaan peti mati yang terbagus.
Dengan mata merah Yan Lam-thian mengeluarkan jenazah Kang Hong dan Hot Goat-loh dari keretanya yang diseret datang tadi, kedua sosok mayat itu dimasukkannya ke dalam peti mati. Semuanya itu dikerjakannya dengan tangan sendiri. Maklumlah, ia tidak ingin orang lain menyentuh lagi seujung rambut saudara angkat bersama kekasihnya itu.
Habis itu, dengan tangan telanjang Yan Lam-thian mulai memantek tutup peti mati.
Pada umumnya paku pemantek peti mati cukup besar, tapi sebuah demi sebuah Yan Lam-thian memantekkan paku itu ke dalam papan peti mati yang tebal itu dengan jari tangannya tanpa susah payah, mirip lidi yang dicobloskan ke dalam tahu saja.
Keruan si pelayan tambah melongo, ia menjadi bingung apakah yang dilihatnya sekarang ini manusia, malaikat atau setan?
Menghadapi peti mati yang sudah selesai dipantek itu, kembali Yan Lam-thian menghabiskan tujuh-delapan mangkuk arak. Dia tidak meneteskan air mata, tapi wajahnya tampak jauh lebih sedih daripada seorang yang menangis.
Sambil memegangi arak mangkuk terakhir, Yan Lam-thian berdiri termangu-mangu hingga lama sekali, terpaksa si pelayan mengiringnya berdiri tanpa berani bersuara.
Akhirnya Yan Lam-thian berkata dengan perlahan, “Jite, kuingin engkau mendampingi aku agar engkau dapat menyaksikan sendiri kubinasakan musuhmu seorang demi seorang!”
********************
“Jian-li-hiang”, itulah tiga huruf emas yang tertatah pada sebuah papan merek di jalan raya kota Thay-goan di propinsi Soasay, cahaya sang surya pada waktu senja masih mencorong dengan gemilangnya sehingga tiga huruf emas merek dagang itu pun memantulkan sinarnya yang gemerlapan.
“Jian-li-hiang” atau harum seribu li, ini adalah benar-benar merek dagang emas, setiap penduduk propinsi Soasay kenal nama perusahaan dagang ini, bahwa bahan wewangian produksi Jian-li-hiang adalah barang tulen, murni, tiada kadar campuran sedikit pun.
Menjelang maghrib, belasan pegawai toko Jian-li-hiang sedang makan malam, orang berlalu lalang di jalan raya, itulah saatnya paling ramai bagi orang berbelanja, berjalan-jalan atau melihat-lihat.
Sekonyong-konyong sebuah kereta besar dilarikan dengan kencang melalui jalan raya paling ramai itu, sekali pengendara kereta itu membentak laksana bunyi guntur menggelegar, langsung kereta itu menerobos masuk ke dalam toko Jian-li-hiang.
Tentu saja pegawai toko wewangian itu kaget dan gusar pula, serentak mereka mengerubut maju. Tapi sekali pengendara kereta itu melompat turun, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu belasan pegawai toko itu merasa badan kaku kesemutan, lalu tak mampu bergerak lagi. Dengan melongo mereka menyaksikan lelaki kekar pengendara kereta itu mengambil rempah-rempah wewangian seguci demi seguci dan dijejalkan ke dalam kedua peti mati yang berada di atas kereta.
Sejenak kemudian lelaki kekar itu menghalau keretanya keluar dari toko dengan cepat sambil berteriak, “Setengah jam lagi kalian akan pulih seperti biasa, tentang harga wewangian yang kuambil ini, kelak pasti kubayar dengan harga lipat!”
Banyak juga orang ramai menyaksikan kejadian itu, tapi setiap orang sama terpengaruh oleh sikap garang dan kereng lelaki itu sehingga tiada seorang pun berani merintanginya....
Sore hari, ladang semangka di tepi jalan mengeluarkan bau sedap semangka yang sudah waktunya dipanen. Seorang wanita petani muda tampak duduk kemalas-malasan berteduh di bawah pohon di tepi ladang semangka.
Baju wanita petani muda itu setengah tersingkap sehingga jelas kelihatan buah dadanya yang lebih bernas daripada semangka di ladang. Wanita muda itu sedang menyusui bayi dalam pangkuannya dengan air teteknya yang terlebih manis daripada air semangka.
Angin meniup silir-silir membuat wanita muda itu mengantuk. Dalam keadaan setengah tertidur itu ia seperti merasakan ada sepasang mata yang sedang mengincar dadanya yang montok itu.
Di kampung petani itu juga tidak sedikit pemuda bajul buntung, sehari-harinya dia sudah biasa dipandangi orang. Maklum biar pun wanita petani, dia masih muda, montok, wajahnya juga tidak terlalu jelek. Tapi dia sudah punya anak, dia merasa tiada artinya soal pandang memandang itu. Akan tetapi kini ia merasakan sepasang mata itu lain daripada yang lain.
Tanpa terasa ia buka matanya, terlihatlah di samping pohon sana benar-benar ada seorang lelaki yang sedang melotot ke arah dadanya.
Lelaki itu tidak tampan, pakaiannya juga tidak perlente, wajahnya bahkan kekurus-kurusan, tapi entah mengapa, tampaknya kereng dan berwibawa. Yang aneh adalah lelaki kekar itu justru memondong seorang bayi.
Walau pun merasa heran, tapi wanita petani itu tidak ambil pusing, ia menunduk kembali memandang bayinya sendiri. Mendadak terdengar bayi dalam pondongan lelaki itu menangis, suara tangisnya juga nyaring.
Perempuan muda itu belum lama menjadi ibu, hatinya sedang penuh diliputi kasih sayang seorang ibu, mendengar tangisan bayi itu, tanpa terasa ia angkat kepalanya lagi. Sekali ini dia dapat membedakan bahwa sepasang mata lelaki kekar yang mengincar dadanya itu lain daripada mata pemuda bajul umumnya, tapi penuh mengandung perasaan memohon kasihan.
Tanpa terasa perempuan petani itu tersenyum dan bertanya, “Apakah ibu anak itu tidak berada di sini?”
“Ya, tidak ada,” lelaki itu menggeleng.
Wanita petani itu berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Tampaknya dia lapar.”
“Ya, lapar,” sahut lelaki itu sambil mengangguk.
Setelah memandang sekejap bayi dalam pangkuannya sendiri, mendadak wanita petani itu berkata dengan tertawa, “Coba berikan anakmu itu, biar kususui dia. Mendingan kemarin aku baru lalap dua ekor ayam tim, air tetekku lagi kelebihan, kukira takkan habis diminum anakku ini.”
Seketika wajah lelaki yang kereng itu mengunjuk rasa girang, cepat ia mengucapkan terima kasih dan menyodorkan bayinya.
Terlihat bulu halus bayi itu belum lagi rontok, kulitnya masih kemerah-merahan, jelas baru beberapa hari saja dilahirkan. Tapi mukanya yang berkulit lembut itu ternyata sudah ada segaris bekas luka.
Wanita petani itu berkerut kening, katanya, “Ai, kalau membawa anak perlu hati-hati sedikit. Ibu si bocah ini juga terlalu, masakah diserahkan padamu tanpa khawatir apa-apa.”
“Ibu anak ini sudah meninggal,” kata lelaki itu dengan sedih.
Wanita petani itu melengak, perlahan ia membelai wajah bayi yang halus itu, katanya dengan terharu, “Ai, sungguh kasihan, baru lahir sudah kehilangan ibu.”
Lelaki itu menengadah dan menghela napas panjang, dengan pandangan sayu dia menatap anak bayi itu dengan perasaan pedih dan duka yang tak terlukiskan serta kasih sayang yang tak terkatakan.
Anak itu seakan-akan memang dilahirkan dengan nasib malang. Baru dilahirkan sudah mengalami bunuh membunuh dan kematian, agaknya nasib kehidupannya nanti seakan-akan ditakdirkan penuh malapetaka. Sungguh kasihan, anak sekecil itu sudah tentu tidak tahu apa-apa, kini wajahnya yang kecil mungil itu malahan sedang tersenyum penuh bahagia…..
********************
Kun-lun-san, barisan pegunungan terpanjang dan terbesar di Tiongkok, terbagi tiga cabang: utara, tengah dan selatan. Tiga cabang bukit barisan ini berpangkal dari dataran tinggi Pamir di pegunungan Himalaya dan membentang ke timur hingga hampir meratai seluruh negeri Tiongkok.
Kun-lun-San atau pegunungan Kun-lun yang dimaksudkan di sini adalah pegunungan sumber aliran ilmu silat yang termasyhur yang terletak di hulu sungai Yalung, di propinsi Cinghay.
Di antara puncak gunung yang berderet-deret itu berdiri tegak Giok-liong-hong, puncak naga kemala. Meski sekarang masih musim panas, namun di kaki Giok-liong-hong sudah terasa seperti di musim dingin, angin meniup keras dan kabut tebal membungkus pegunungan yang lembab itu.
Akhirnya Yan Lam-thian tiba juga di kaki Giok-liong-hong itu, orangnya kelihatan pucat kurus, kudanya juga kelelahan, bahkan roda keretanya seakan-akan juga sukar menggelinding lagi. Bayangan raksasa pegunungan dengan berat menindihi kereta kuda itu.
Tangan kiri Yan Lam-thian memegang tali kendali dan tangan kanan memondong bayi, bau harum menusuk hidung yang tersiar dari dalam kereta membuatnya hampir muntah.
Tapi bayi itu sedang tidur dengan lelapnya, anak sekecil itu rupanya sudah terbiasa oleh siksa derita dalam pengembaraan.
Dengan penuh kasih sayang tak terbatas Yan Lam-thian memandangi wajah kecil itu, tiba-tiba ia mengulum senyum dan bergumam, “Nak, sepanjang jalan ini tidak sedikit kau meneteki susu orang. Dari Tionggoan sampai di sini kau disusui orang secara berganti-ganti, di dunia ini selain dirimu rasanya tiada anak lain yang....” sampai di sini mendadak ucapannya terhenti, tubuhnya juga mendadak mengapung ke atas.
Pada detik tubuhnya mengapung ke udara itulah segera terdengar pula suara “tek-tak-tok” belasan kali, belasan jenis senjata rahasia dari berbagai ukuran sama menancap di tempat yang didudukinya tadi.
Sungguh berbahaya. Apa bila dia terlambat mengapung sedetik saja, tentu tubuhnya sudah bertambah belasan lubang.
Setelah berjumpalitan di udara, tangan kirinya, meraih pelana kuda, segera orangnya menyusup ke bawah perut kuda, ia tidak takut dirinya sendiri terluka, tapi menguatirkan keselamatan bayi dalam pelukannya itu.
Gerakannya itu sungguh cepat dan gesit luar biasa, mau-tak-mau membuat si penyergap berseru memuji, “Kepandaian hebat!”
“Main sergap, terhitung jago macam apa itu?” bentak Yan Lam-thian.
Belum lenyap suaranya, kembali kuda tadi meringkik kaget dan berdiri menegak, badan kuda segera menyemburkan belasan pancuran darah segar.
Tanpa pikir lagi telapak tangan Yan Lam-thian lantas menghantam, “blang-blang”, kayu kereta yang mengapit kuda patah dan kuda yang terluka itu meloncat ke depan. Menyusul Yan Lam-thian menghantam pula sekerasnya, “blang”, dinding kereta berlubang besar, selagi kuda tadi meringkik panjang, bayi di tangan kirinya itu telah dimasukkan ke dalam kereta melalui lubang yang dibobolnya tadi. Sementara itu berpuluh bintik-bintik perak telah menghujani pula.
Secepat kilat Yan Lam-thian menjulang tinggi lagi ke atas, terdengar suara mendenging menyambar lewat di bawah kakinya. Dalam keadaan gawat begitu, kalau sedikit lena saja, sekali pun Yan-Lam-thian sendiri selamat, bayi dalam pondongannya pasti akan menjadi korban. Andaikan bayinya tidak tewas, tentu kereta itu juga akan ditarik kuda yang terluka itu dan menggilasnya.
Begitulah selagi tubuh Yan Lam-thian masih terapung di udara, tiba-tiba ia sudah dikerubut oleh beberapa jalur sinar pedang. Begitu ketat jaringan pedang itu mengurungnya, tampaknya sukar baginya untuk mengelakkan diri, andaikan dapat menghindarkan serangan pedang ini tentu juga tak terluput oleh tebasan pedang yang lain.
Siapa duga, selagi badan terapung di udara itulah, sekuatnya ia pentang kedua tangan, mendadak tubuhnya mengapung lebih tinggi lagi beberapa meter sehingga semua serangan pedang menyambar lewat di bawah kakinya.
Terdengar suara “trang-tring” yang ramai, serangan beberapa pedang itu tak sempat menahan diri sehingga saling bentur sendiri. Tapi sekali saling gebrak, lalu berhenti, tujuh atau delapan orang sama melompat mundur. Di bawah cuaca remang-remang tertampak si antara mereka itu ada empat orang berdandan sebagai Tojin (pendeta agama To).
Sementara itu Yan Lam-thian sempat menancapkan kakinya di atas kereta, habis itu secepat kilat ia meluncur ke depan, kedua telapak tangan terus menghantam batok kepala seorang Tojin berjubah biru paling depan.
Karena merasa dirinya diserang secara keji, maka serangan balasannya sekarang juga tanpa kenal ampun. Betapa hebat pukulan Yan Lam-thian ini sungguh luar biasa.
Tentu saja si jubah biru terkejut oleh sambaran angin pukulan yang mahadahsyat itu, ia tergetar mundur dan sebisanya pedang terus menabas.
Tojin ini bukan sembarangan Tojin, jurus pedangnya ini hasil latihan berpuluh tahun lamanya, ia yakin seumpama pedangnya tidak dapat melukai musuh, sedikitnya cukup untuk membela diri. Tak terduga, belum habis sama sekali pedangnya ditebaskan, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kencang, pedang sudah berpindah ke tangan lawan.
Sungguh Tojin yang hebat, menghadapi bahaya ia tidak menjadi bingung dan sempat menyelinap lewat di bawah angin pukulan Yan Lam-thian.
Melihat ketangkasan lawan, tanpa terasa Yan Lam-thian juga berseru memuji, “Bagus!” Berbareng dengan seruannya itu, pedang rampasannya lantas menyabet lawan yang berada di sampingnya.
Yan Lam-thian berjuluk “Si Pedang Sakti Nomor Satu di Dunia”, maka dapat dibayangkan betapa lihai serangannya. Di tengah guncangan angin senjata, sayup-sayup membawa serta suara gemuruh.
Orang itu bermaksud menangkis dengan pedang, tapi tiba-tiba pikirannya tergerak, air mukanya berubah pucat, cepat ia mendoyong ke belakang dan tak berani menangkis, sebisanya ia melompat mundur.
Namun sinar pedang Yan Lam-thian seakan-akan tidak terputus-putus dan terus membayangi lawannya. Keruan nyali orang itu serasa rontok, terpaksa ia menangkis sekuatnya dengan pedang.
“Trang”, kedua pedang beradu. Kedua batang pedang itu sebenarnya berasal dari gemblengan pandai besi yang sama ahli, tapi entah mengapa pedang orang itu ternyata kena ditebas menjadi dua.
Untuk menghindari renggutan maut, cepat orang itu menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana.
Tiba-tiba Yan Lam-thian bersuit panjang, laksana sinar kilat pedangnya menyambar pula. Betapa lihai serangan ini sungguh menggetar bumi dan mengguncang langit.
Di tengah bertebarnya sinar pedang, sekonyong-konyong terdengar suara, “creng” yang nyaring memekak telinga.
Tertampak tiga Tojin jubah biru dengan sebelah kaki bertekuk-lutut di tanah, pedang mereka bersilang menangkis ke atas untuk menahan serangan pedang Yan Lam-thian yang mahalihai itu. Sedangkan orang tadi hampir saja kelengar saking kagetnya.
Dengan berdiri tegak berwibawa menekan pedangnya ke bawah, Yan Lam-thian bertanya dengan kereng, “Yang menangkis pedangku ini Su-ciu (empat rajawali) atau Sam-eng (tiga elang)?”
“Su-ciu!” sahut salah seorang Tojin itu. “Dari mana kau tahu....”
“Di jaman ini, kecuali Kun-lun-jit-kiam (tujuh ahli pedang Kun-lun), siapa lagi yang mampu menangkis tebasan pedangku ini?” ujar Yan Lam-thian.