Pendekar Binal Jilid 01

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Kang Hong, setiap orang yang bertelinga di dunia kangouw (sungai telaga) niscaya pernah mendengar nama ‘si mahacakap’ ini, demikian pula nama Yan Lam-thian, si jago pedang nomor satu di dunia persilatan.

Setiap insan persilatan yang bermata tentu juga berhasrat melihat wajah Kang Hong yang mahacakap serta ingin menyaksikan ilmu pedang Yan Lam-thian yang tiada bandingannya di kolong langit ini.

Setiap orang pun tahu bahwa tiada seorang pun gadis di dunia ini yang sanggup menahan senyuman Kang Hong dan juga tiada jago silat yang mampu melawan pedang sakti Yan Lam-thian. Semua orang percaya bahwa pedang Yan Lam-thian mampu mencabut nyawa seorang panglima di tengah-tengah pasukannya dan sanggup membelah seutas rambut menjadi dua, sedangkan senyuman Kang Hong mampu menghancur-luluhkan hati setiap orang perempuan.

Akan tetapi pada saat itulah lelaki yang paling cakap di dunia ini justru sedang lari terbirit-birit demi seorang perempuan. Dengan pakaian yang sederhana dan kumal Kang Hong sedang mengendarai sebuah kereta kuda rongsokan dan menyusuri sebuah jalan yang sudah lama telantar dan tidak terinjak kaki manusia. Dalam keadaan demikian, siapa pun takkan percaya bahwa dia inilah Kang Hong, si mahacakap, si rupawan yang romantis dan menggiurkan hati setiap gadis itu.

Panas terik sinar sang surya dalam bulan tujuh menyengat kulit. Waktu itu sudah dekat senja, namun manusia dan kudanya masih kegerahan oleh hawa yang panas itu. Kang Hong ternyata tidak menghiraukan badannya yang sudah basah kuyup air keringat, ia masih terus mencambuki kudanya agar berlari terlebih kencang.

Suasana sunyi senyap, hanya terdengar berdetaknya kuda lari dan gemertuk roda kereta diseling menggeletarnya cambuk. Tiba-tiba suara ayam berkokok memecah kesepian.

Sungguh aneh, dari mana datangnya ayam berkokok di jalan telantar menjelang senja ini?

Berubah air muka Kang Hong, sorot matanya yang tajam memancar jauh ke depan sana, terlihat seekor ayam jantan besar menongkrong di atas dahan pohon reyot di tepi jalan tanpa bergerak sedikit pun.

Jenggernya yang merah indah kereng serta bulunya yang beraneka warna itu tampak berkilau-kilau. Mata ayam jantan itu pun seakan-akan memancarkan sinar yang jahat dan mengerikan.

Muka Kang Hong bertambah pucat, mendadak ia menarik tali kendalinya. Kuda itu meringkik panjang dan kereta pun berhenti.

“Ada apa?” tanya sebuah suara lembut dan manis dari dalam kereta.

Kang Hong ragu-ragu sejenak, jawabnya kemudian dengan menyeringai, “Ah, tidak apa-apa, tampaknya kita kesasar.” Segera ia memutar balik keretanya dan dikaburkan ke arah datangnya tadi. Terdengar ayam jantan berkokok pula seakan-akan lagi mengejeknya.

Dengan gelisah Kang Hong mencambuk kudanya sehingga berlari lebih cepat. Akan tetapi, belum lagi seberapa jauh, sekonyong-konyong ia menghentikan keretanya, sebab di tengah jalan melintang sesosok tubuh gemuk besar. Bukan tubuh manusia melainkan tubuh babi raksasa. Sungguh aneh, dari mana datangnya babi sebesar ini di jalan telantar dan lama tak terinjak manusia ini? Padahal baru saja keretanya lalu di sini tanpa kelihatan secuil daging babi, tapi sekarang seekor babi besar, benar-benar seekor bulat, melintang di situ.

“Engkau kesasar lagi bukan?” terdengar pula suara lembut tadi dari dalam kereta yang jendelanya dan pintunya tertutup rapat itu.

“Aku... aku....” Kang Hong tergegap dengan butiran keringat memenuhi dahinya.

“Untuk apa kau dustaiku?” ujar suara lembut manis itu dengan menghela napas perlahan. “Sudah sejak tadi kutahu.”

“Kau tahu?” Kang Hong menegas dengan tersipu-sipu.

“Ketika mendengar kokok ayam tadi, sudah kuduga pasti orang ‘Cap-ji-she-shio’ hendak merecoki kita. Supaya aku tidak khawatir, maka kau dustai aku, betul tidak?”

“Sungguh aneh,” kata Kang Hong dengan nada suara gegetun. “Padahal perjalanan kita ini sedemikian rahasia, mengapa mereka bisa tahu? Tapi... tapi engkau jangan khawatir, urusan apa pun akan kuhadapi.”

“Kau salah lagi,” kata orang di dalam kereta dengan suaranya yang halus, “sejak hari itu aku sudah... sudah bertekad untuk sehidup semati denganmu, bahaya apa pun yang akan terjadi juga harus kita hadapi bersama.”

“Tapi keadaanmu sekarang....”

“Tidak menjadi soal, aku merasa baik-baik saja.”

“Baiklah, dapatkah engkau turun dan berjalan? Kedua arah jalan ini sudah diberi tanda peringatan, tampaknya terpaksa kita harus meninggalkan kereta dan menyusuri ladang belukar....”

“Mengapa kita harus meninggalkan kereta ini?” ujar orang dalam kereta. “Kalau mereka sudah berhasil membayangi kita dan sulit meloloskan diri, biarlah kita tunggu saja di sini. Meski nama Cap-ji-she-shio terkenal kejam, kita juga tidak perlu gentar terhadap mereka.”

“Aku hanya khawatir... khawatirkan engkau....” Kang Hong ragu-ragu. Ia tahu kemampuan sang kekasih, tapi ia pun tahu siapa “Cap-ji-she-shio”, yakni ke-12 lambang kelahiran yang digunakan sebagai nama julukan oleh 12 gembong penjahat yang akhir-akhir ini terkenal sangat kejam dan ganas di dunia Kangouw.

Dari ke-12 lambang kelahiran itu (tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam jago, anjing dan babi) tampaknya yang baru muncul adalah si ayam jago dan babi.

Begitulah orang dalam kereta berkata pula dengan tertawa, “Jangan khawatir, tidak menjadi soal bagiku.”

Tiba-tiba wajah Kang Hong juga menampilkan senyuman mesra, katanya perlahan, “Dapat bertemu dengan dirimu, sungguh sangat beruntung bagiku.”

“Yang benar-benar beruntung adalah diriku,” ujar orang dalam kereta dengan tertawa merdu. “Kutahu, di dunia Kangouw ini entah betapa banyak anak perempuan yang mengagumi diriku bahkan iri padaku, sebab mereka....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kuda meringkik dan berjingkrak. Angin senja meniup silir-semilir, tapi binatang ini merasakan sesuatu alamat yang tidak enak. Babi yang menggeletak di tengah jalan tadi mendadak membalik tubuh, kokok ayam terdengar pula di kejauhan, cuaca senja berubah menjadi suram seakan-akan tercekam oleh suasana yang sunyi dan rawan.

Air muka Kang Hong berubah pula, katanya, “Tampaknya mereka sudah datang!”

“Hahahaha! Memang benar, kami sudah datang!” mendadak terdengar orang bergelak tertawa di balik kereta sana.

Suara tertawa itu pun seperti ayam berkotek, tajam, bising, menusuk telinga. Selama hidup Kang Hong belum pernah mendengar suara tertawa yang begitu aneh. Dengan terkejut ia berpaling dan membentak tertahan, “Siapa itu?”

Begitu lenyap suara tertawa bagai ayam berkotek itu, dari belakang kereta lantas muncul enam-tujuh orang.

Orang pertama bertubuh kurus kering, tingginya lebih lima kaki, bajunya berwarna merah membara sehingga tampak sangat mencolok, tidak serasi dan agak gaib.

Orang kedua bertubuh jangkung, tingginya lebih dua meter, baju kuning dan kopiah kuning, muka penuh benjolan daging lebih dan tanpa emosi.

Menyusul adalah empat orang dengan dandanan yang lebih aneh, pakaian mereka terbuat dari potongan-potongan kain yang berwarna-warni sehingga mirip baju pengemis kaya di panggung sandiwara. Wajah dan perawakan keempat orang ini tidak sama, tapi tampak bengis dan tangkas, gerak-gerik pun seragam mirip orang berbaris.

Rada jauh di belakang sana mengikut pula seorang gemuk, begitu gemuk sehingga kulit daging bagian pipi dan perut seakan-akan kedodoran bergelantungan, berat badan keenam orang di depannya digabung seluruhnya mungkin juga tidak lebih berat daripada bobot si gemuk. Saking gemuknya sehingga jalannya kepayahan, kakinya seperti tidak sanggup menahan tubuh sendiri yang gede dan tambun itu, setiap langkah membuatnya terengah-engah.

“Wah, panasnya, bisa mampus aku!” demikian tiada hentinya si gemuk mengeluh dengan megap-megap dan bermandi keringat.

Kang Hong melompat turun dari keretanya, sebisanya ia bersikap tenang dan menegur, “Apakah yang datang ini Su-sin-khek (si tamu penjaga subuh) dan Hek-bian-kun (tuan muka hitam) dari Cap-ji-she-shio adanya?”

Si baju merah tadi terkekeh-kekeh, jawabnya, “Tajam juga pandangan Kang-kongcu. Cuma kami ini sesungguhnya hanya seekor ayam dan seekor babi saja, sebutan Su-sin-khek dan Hek-bian-kun yang sedap ini adalah hadiah teman-teman Kangouw, kami sendiri mana berani menerimanya.”

Dengan sorot mata tajam Kang Hong berkata, “O, tentunya saudara ini ialah....”

“Yang merah adalah jengger, yang kuning adalah dada dan yang belorok adalah ekor,” potong si baju merah dengan tertawa. “Mengenai kawan paling belakang itu, silakan kau menilai sendiri. Bentuknya mirip apa, maka itulah dia.”

“Entah ada petunjuk apakah dari kalian?” tanya Kang Hong.

“Konon Kang-kongcu mendapatkan pacar baru, kami bersaudara jadi ingin tahu macam apakah si dara cantik yang dapat memikat hati pangeran kita mahacakap ini,” jawab si baju merah alias jengger jago. “Selain itu kami bersaudara juga ingin memohon sesuatu benda padamu.”

“Benda apakah yang kalian kehendaki?” tanya Kang Hong.

Si jengger ayam bergelak tertawa, lalu jawabnya, “Benda yang mampu menarik perhatian saudara gemuk kami sehingga dia mau memburu ke sini tanpa menghiraukan panas terik matahari, kukira pastilah bukan benda sembarang benda.”

Tepat pada saat itu si gemuk tadi alias Hek-bian-kun sudah mendekat dengan napas yang terengah-engah kemudian menyambung sambil cengar-cengir, “Benar, kalau bukan benda bagus, kan lebih enak kucari angin dan tidur di rumah saja.”

Diam-diam hati Kang Hong tergetar, tetapi sikapnya tetap tenang, katanya dengan suara berat, “Cuma sayang perjalananku ini tergesa-gesa sehingga tidak membawa suatu benda berharga apa pun yang dapat menarik minat para ahli seperti kalian ini.”

“Hehehe!” si jengger terkekeh-kekeh. “Kabarnya tiba-tiba saja Kang-kongcu telah menjual seluruh harta benda dan meringkaskannya menjadi sekantong mutiara mestika dan batu manikam... hehehe, rasanya Kang-kongcu juga tahu kami Cap-ji-she-shio biasanya tidak pernah pulang dengan tangan hampa, maka demi persahabatan, sudilah Kang-kongcu menghadiahkan kami sekantong ratna mutu manikam itu.”

“Haha, bagus, bagus!” Kang Hong juga tertawa. “Ternyata kalian tahu sejelas itu. Ya, aku pun tahu Cap-ji-she-shio biasanya tidak suka sembarangan turun tangan, dan sekali turun tangan tidak pernah pulang dengan tangan hampa, akan tetapi....”

“Akan tetapi apa?” tukas si jengger merah. “Kau menolak?”

“Hehehe, aku sih tidak menolak, hanya....” belum habis Kang Hong menjengek, tahu-tahu bayangan berkelebat, ia sudah menubruk maju.

Jengger ayam itu pun tak kalah gesitnya, dalam sekejap itu tangannya sudah memegang semacam senjata berbentuk aneh, mirip paruh ayam dan serupa ganco. Secepat kilat ia menyerang, hanya sekejap saja ia melancarkan tujuh-delapan kali serangan dengan gaya yang aneh seperti ayam jantan mematuk dan menyerang dengan jalu atau taji, semuanya mengincar Hiat-to (titik urat darah) mematikan di tubuh Kang Hong.

Rada repot juga Kang Hong, mendadak ia loncat ke atas sehingga serangan maut itu bisa dielakkan. Tapi pada saat itu empat pasang ‘taji’ ayam sudah menanti pula di bawah.

Nyata, sekali jengger ayam bergerak, serentak keempat orang berbaju warna-warni yang merupakan ekor ayam juga menubruk maju, empat pasang taji ayam juga merupakan senjata yang jarang terlihat di dunia Kangouw, sekali paruh ayam mematuk, serentak taji ayam juga menyerang, kerja sama mereka sangat rapat sehingga mirip seorang dengan bertangan banyak.

Memangnya Kang Hong sudah kewalahan, apa lagi menghadapi serangan yang aneh ini, belum lagi si baju kuning yang merupakan dada mentok ayam itu masih mengawasi di samping dan sedang menunggu peluang untuk ikut menyerang.

“Hehehe!” Hek-bian-kun, si babi hitam, terkekeh-kekeh. “Ayolah saudara-saudara, tambah gas sedikit, supaya lebih kencang. Kita bukan perempuan, tidak perlu mendambakan kasih sayang anak cakap ini, Eh, permisi sebentar saudara-saudara, biar kutengok dulu si cantik di dalam kereta itu.”

“Berhenti!” bentak Kang Hong dengan murka. Maksudnya ingin mencegah, akan tetapi tak berdaya sebab ia direpotkan oleh berbagai macam senjata aneh lawan-lawannya.

Sementara itu Hek-bian-kun telah melangkah ke sana dengan gedebak-gedebuk dan segera hendak menarik pintu kereta. Pada saat itulah mendadak jendela kereta terbuka sedikit dan terjulurlah sebuah tangan yang putih halus, di antara jari jemari yang putih mulus tanpa cacat itu terjepit setangkai bunga Bwe (sakura).

Bukan bunga Bwe sembarang bunga Bwe tapi bunga Bwe hitam. Sungguh aneh bin ajaib ada bunga Bwe mekar di musim panas, apa lagi bunga Bwe warna hitam.

Tangan yang putih, bunga Bwe yang hitam, sungguh perbedaan yang mencolok dan keindahan yang gaib dan sukar dilukiskan.

Berbareng dengan terulurnya tangan dengan bunga Bwe hitam itu, terdengar pula ucapan dengan nada yang manis, “Coba kalian lihat, apakah ini?”

Serentak muka Hek-bian-kun berkerut-kerut mengejang, tangannya yang hendak menarik daun pintu kereta itu pun mendadak tak bergerak lagi. Senjata paruh ayam dan taji ayam juga berhenti di tengah udara. Keenam bandit yang terkenal ganas itu mendadak seperti kena sihir, semuanya melongo kaku tak berani bergerak.

“Siu-giok-kok, Ih-hoa-kiong!” hanya kedua kalimat ini tercetus dari mulut Hek-bian-kun dengan tergegap-gegap.

“Eh, tajam juga pandanganmu,” ujar orang di dalam kereta.

“Cayhe... hamba....” gigi Hek-bian-kun gemertuk sehingga tak sanggup melanjutkan ucapannya.

“Kalian ingin mampus atau tidak?” tanya orang di dalam kereta dengan suara halus.

Dengan gemetar Hek-bian-kun menjawab, “Hamba... hamba tidak....”

“Kalau tidak ingin mampus, kenapa tidak lekas pergi!”

Baru habis ucapan ini, tanpa pamit lagi si merah, si kuning, si belorok dan si hitam, semuanya kabur secepat terbang. Langkah Hek-bian-kun sekarang tidak lamban lagi, napasnya juga tidak kempas-kempis, meski gemuk luar biasa tubuhnya, tapi kecepatan langkahnya kini melebihi siapa pun. Kalau tidak menyaksikan sendiri tentu tiada yang percaya orang segemuk itu mempunyai gerak langkah sedemikian cepat dan gesit.

Kang Hong lantas mendekati jendela kereta dan bertanya dengan nada khawatir, “Engkau tidak... tidak apa-apa bukan?”

“Ah tidak, aku hanya memberi salam saja kepada mereka,” ujar perempuan di dalam kereta dengan tertawa.

Kang Hong menghela napas lega, katanya pula, “Sungguh tak terduga engkau telah membawa setangkai Hek-giok-bwe-hoa (bunga Bwe kemala hitam) dari istana sana, tidak nyana bandit yang jahat seperti Cap-ji-she-shio juga begitu takut pada mereka.”

“Ya, dari itu dapatlah kau bayangkan betapa lihainya mereka,” kata orang dalam kereta “Maka lekas kita berangkat saja, kalau....”

Tiba-tiba terdengar angin berkesiur, orang-orang yang kabur tadi kini sudah datang kembali, bahkan datangnya terlebih cepat daripada perginya tadi.

“Hehehe, hampir saja kami tertipu,” demikianlah Hek-bian-kun terkekeh-kekeh.

“Apakah kalian tidak takut mati?” gertak Kang Hong, tapi dalam hati, sebenarnya sangat khawatir.

“Hehehe, jika yang berada di dalam kereta benar-benar orang dari Ih-hoa-kiong, mustahil tadi kami dapat kabur dengan hidup!” kata Hek-bian-kun, “Memangnya pernah kau dengar bahwa Ih-hoa-kiongcu suka mengampuni jiwa orang?”

Tiba-tiba orang di dalam kereta menukas, “Sudah kuampuni kalian, mengapa kalian malah....”

“Barang tiruan, ayolah keluar sini!” bentak Hek-bian-kun, mendadak ia melompat maju, sekali hantam, pintu kereta ditonjoknya hingga ambrol.

Yang duduk dalam kereta memang seorang perempuan, perempuan muda dengan rambut kusut dan wajah pucat seperti orang sakit, walau pun demikian sama sekali tidak mengurangi cantiknya yang mempesona.

Sebenarnya sepasang mata perempuan ini juga tidak begitu jeli, hidungnya juga tidak terlalu mancung, mulutnya juga tidak sangat mungil, namun gabungan dari mata hidung mulut dengan raut mukanya itu sedemikian serasinya sehingga setiap orang yang memandangnya pasti ingin memandang untuk seterusnya, terutama sorot matanya yang penuh mengandung perasaan, pengertian dan kecerdasan yang sukar diukur.

Di luar dari semua itu, ternyata perut perempuan itu membuncit besar, kiranya sedang hamil tua.

Melihat itu, melengak juga Hek-bian-kun, tapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Hahaha! Kiranya seorang perempuan bunting, berani lagi mengaku orang Ih-hoa-kiong....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan bunting itu melayang keluar, belum lagi Hek-bian-kun menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ia sudah kena ditempeleng beberapa kali.

Setelah melayang kembali ke tempat duduknya, perempuan muda itu bertanya dengan tersenyum, “Memangnya kenapa kalau perempuan bunting?”

“Hm, main sergap, terhitung apa?” teriak Hek-bian-kun dengan geram dan penasaran, segera ia menghantam pula. Meski tubuhnya gemuk seperti gajah bengkak, tapi pukulannya ini sungguh cepat, keras lagi ganas.

Namun perempuan muda itu tetap mengulum senyum, tangannya yang halus itu menyampuk perlahan, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu pukulan Hek-bian-kun itu tertolak kembali dan “blang”, dengan tepat menghantam pada pundak sendiri.

Dengan jelas Hek-bian-kun melihat kepalan sendiri menghantam pundak sendiri, tapi ia justru tidak mampu mengerem dan juga tidak dapat menghindar. Betapa hebat tenaga Hek-bian-kun dapat dibayangkan ketika sekali tonjok menghancurkan pintu kereta tadi, maka pukulan yang mengenai pundak sendiri ini membuatnya mengerang kesakitan dan jatuh terkapar.

Kawan-kawannya, yaitu si jengger dan si ekor ayam sebenarnya juga sudah bersiap-siap ingin menerjang maju, tapi mereka jadi melongo menyaksikan kawan gemuk mereka itu terjungkal dan karena itu mereka pun tidak berani bergerak lagi.

“Nah, apakah kalian kenal gerak tangan yang kugunakan ini?” tanya perempuan muda itu dengan tertawa sambil mengerling lawan-lawannya.

Dengan suara gemetar Hek-bian-kun berseru, “Ih-hoa-ciap-giok (mencangkok bunga menyambung kemala), setan malaikat sukar menandinginya....”

“Jika sudah tahu, tentunya sekarang kalian percaya aku ini bukan barang tiruan,” ucap perempuan muda itu.

“Ya, hamba... hamba pantas mam... mampus... sungguh pantas mampus” segera Hek-bian-kun menampar muka sendiri hingga belasan kali, mukanya yang hitam mirip moncong babi seketika bertambah bengkak.

“Ai, betapa pun aku harus berbuat bajik demi anakku,” kata perempuan muda itu dengan menghela napas. “Baiklah, kalian... kalian boleh pergi.”

Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, lari Hek-bian-kun dan begundalnya itu sekali ini terlebih cepat daripada tadi, hanya sekejap saja bayangan mereka pun sudah menghilang. Tapi di tengah remang-remang cuaca itu bagai setan iblis saja sesosok bayangan orang juga berkelebat di kejauhan, mengejar ke arah rombongan Hek-bian-kun.

Melihat musuh sudah menghilang, legalah hati Kang Hong, ia berpaling dan dengan gegetun berkata, “Untung kau turun tangan dan membuat jera mereka, kalau tidak....” mendadak ia melihat air muka perempuan itu berubah, seperti menahan rasa sakit, tubuh gemetar dan dahi penuh keringat dingin. Cepat ia bertanya dengan khawatir, “Hei, kenapakah engkau?”

“Pe... perutku sakit, agaknya jabang bayi di dalam perutku bergerak, mungkin... mungkin akan....”

Kang Hong menjadi kelabakan. “Wah, bagaimana baiknya ini?” katanya dengan gelisah.

“Lekas bawa keretamu ke tepi jalan, lekas... lekas!” desis si perempuan dengan suara serak.

Dengan tergopoh-gopoh Kang Hong menghalau keretanya ke tengah semak rumput di tepi jalan, kuda meringkik, Kang Hong tiada hentinya mengusap keringat, akhirnya ia pun menyusup ke dalam kereta.

Sejenak kemudian, pintu kereta yang sudah hancur itu tertutup oleh kain baju. Terdengar suara keluhan terputus-putus di dalam kereta. “Kakak Hong, sungguh aku takut... takut sekali.”

“Tidak perlu takut, tabahkan hatimu... sebentar lagi semuanya akan beres.”

“Tapi aku... aku takut, kakak Hong, peganglah... peganglah tanganku, peganglah yang erat.... “

“Ya, ya... tanganku terasa lemas juga. Tabahlah, sabar... sabar....”

Suara keluhan yang menahan rasa sakit itu berlangsung sekian lama, tiba-tiba dari dalam kereta tersiar suara tangis jabang bayi yang keras lantang.

Selang sejenak pula, terdengar seruan Kang Hong yang kegirangan, “Hei, anak kembar... kembar dua....”

Lewat agak lama, dengan mandi keringat dan penuh rasa gembira Kang Hong menerobos keluar kereta. Tetapi ke mana tatapnya sampai, seketika ia melengak kaget.

Ternyata rombongan Hek-bian-kun yang lari sipat kuping tadi kini sudah berdiri pula di depan kereta, dengan sorot mata yang dingin mereka mengawasi Kang Hong tanpa berkedip.

Sebisanya Kang Hong bersikap tenang, tapi tidak urung air mukanya berubah pucat, tanpa terasa ia berucap, “Ka... kalian kembali lagi?!”

“Hehe, Kang-kongcu terkejut ya?” si jengger ayam menyeringai ejek.

“Apakah kalian ingin mampus?!” gertak Kang Hong.

“Hahahaha! Ingin mampus...?.” Hek-bian-kun terbahak-bahak.

“Memangnya kalian belum kapok terhadap kelihaian ilmu Siu-giok-kok, Ih-hoa-kiong?” bentak Kang Hong pula.

“Hehe, orang she Kang, kukira kau tidak perlu berlagak pilon,” jengek Hek-bian-kun. “Kita tahu sama tahu, yang dikehendaki kedua Kiongcu dari Ih-hoa-kiong saat ini justru adalah jiwa kalian berdua dan bukanlah kami.”

Keringat meleleh melalui hidung Kang Hong yang mancung itu terus merembes ke mulutnya, namun bibirnya terasa kering, ia menjilat bibir, lalu berkata dengan tertawa, “Haha, kukira kalian sudah gila, masakah kedua Kiongcu Ih-hoa-kiong menginginkan jiwaku...?. aha, apakah kau tahu siapa yang berada di dalam kereta ini?”

“Huh, siapa yang berada di dalam kereta? Memangnya kau sangka aku tidak tahu? Dia tidak lebih adalah budak pelarian dari Ih-hoa-kiong, memangnya kau ingin menggertak kami?” demikian jengek si jengger ayam.

Tergetar hati Kang Hong, walau pun ia berusaha tetap tertawa, namun lebih tepat dikatakan menyengir.

Hek-bian-kun terkekeh-kekeh, katanya, “Kang-kongcu terkejut lagi bukan? Mungkin kau ingin tanya dari mana kami tahu urusan ini? Hehe, inilah rahasia besar, betapa pun kau tak dapat menerka dan juga tidak pernah membayangkannya.”

Ya, memang betul inilah rahasia, rahasia besar. Bahwasanya Kang Hong sengaja kabur meninggalkan rumahnya justru disebabkan ingin menghindari pengejaran kedua Kiongcu dari Ih-hoa-kiong.

Rahasia ini boleh dikatakan tidak diketahui oleh siapa pun kecuali dia sendiri dan istrinya, tapi sekarang orang-orang dari Cap-ji-she-shio ini justru mengetahui juga. Dari manakah mereka mendapat tahu?

Sungguh Kang Hong tidak habis mengerti, tapi ia pun tidak mau memikirkannya lagi, wanita yang baru melahirkan itu sedang merintih, si jabang bayi sedang menangis, tapi di sekitar kereta ini berjajar kawanan bandit yang sudah biasa membunuh orang tanpa berkedip.

Secepat kilat Kang Hong menerjang maju, namun sinar golok lantas berkelebat, ia sudah diadang oleh si baju kuning, si dada ayam.

Sepasang golok menyerupai sayap ayam tipis laksana kertas, tapi buatan dari baja murni, tajamnya tidak kepalang, dalam sekejap saja tubuh Kang Hong sudah terkurung di tengah cahaya golok.

Kang Hong tidak gentar, sebaliknya malah menerjang, ia menyelinap kian kemari di tengah jaringan sinar golok lawan, secepat kilat ia samber pergelangan tangan si baju kuning, sekali tarik dan puntir, sebuah golok musuh sudah dirampasnya. Menyusul sebelah kakinya menendang perut si baju kuning, sedangkan golok rampasan menebas ke belakang untuk menangkis serangan si jengger ayam, menyusul mana tubuhnya menerobos ke sana di bawah cakar ayam, sekaligus goloknya terus membacok Hek-bian-kun.

Beberapa gerak serangan itu dilakukannya dengan cepat, ganas, tepat dan berbahaya pula, senjata-senjata musuh hampir semuanya menyerempet lewat bajunya.

Meski Hek-bian-kun sempat mengelakkan bacokan Kang Hong, tidak urung ia pun kaget hingga berkeringat dingin, cepat ia balas menyerang sambil memperingatkan kawan-kawannya, “Awas, bocah ini sudah nekat!”

Apa bila seseorang sudah nekat, sepuluh orang pun repot menghadapinya. Hal ini cukup diketahui kawanan bandit itu. Maka mereka tidak berani menghadapi Kang Hong secara berhadapan, mereka terus menggeser kian kemari untuk mengulur waktu.

Serangan Kang Hong semakin kalap, tapi selalu mengenai tempat kosong. Hek-bian-kun terus menerus tertawa mengejek. Si baju kuning meski sudah kehilangan sebuah goloknya, tapi golok yang masih ada itu terkadang juga melancarkan serangan maut. Empat pasang taji ayam juga bekerja sama dengan rapat, serangannya gencar sukar diduga dan membuat Kang Hong mati kutu. Belum lagi si baju merah, si jengger ayam, ia menyelinap kian kemari dan mematuk dengan paruh baja yang lihai.

Rambut Kang Hong sudah semrawut, suaranya serak, demi membela jiwa kekasihnya, si mahacakap ini kini tampaknya sudah menyerupai binatang gila. Percuma dia bertempur mati-matian, singa yang sudah masuk perangkap, sekali pun mengadu jiwa juga sudah tiada gunanya.

Senja semakin remang, suasana semakin tegang. Pertarungan sengit ini sungguh menggetar sukma, juga mengerikan.

Kang Hong sudah mandi darah bercampur keringat, imbalannya adalah tertawa ejek yang menggila dari pihak musuh.

“Kakak Hong, hati-hatilah....” demikian terdengar rintihan dari dalam kereta. “Asalkan engkau sabar, mereka pasti bukan tandinganmu!”

Mendadak Hek-bian-kun melompat ke sana, sekaligus ia tarik tirai kereta. Untuk sejenak ia melengak, tapi segera ia tertawa menyeringai, “Aha, besar juga rezeki anak keparat ini. Ternyata melahirkan kembar dua!”

“Minggir, bangsat!” teriak Kang Hong dengan suara parau.

Dengan kalap ia menerjang maju, tapi sekali sampuk ia tertolak mundur. Dengan nekat ia menubruk maju pula, kembali didesak mundur dan begitulah hingga terjadi beberapa kali dan tetap tidak berhasil tercapai maksudnya. Mata Kang Hong sudah merah beringas.

Dalam pada itu sebelah kaki Hek-bian-kun sudah naik ke undakan kereta sambil cengar-cengir.

“Bangsat!” teriak si wanita dengan suara serak sambil merangkul kencang kedua anak bayinya. “Kau... kau berani....”

“Hehehe!” Hek-bian-kun terkekeh-kekeh. “Manisku, jangan khawatir, takkan kuganggu kau. Hehe, nanti kalau kau sudah sehat, malahan aku ingin... ingin... hahaha....”

“Bangsat,” teriak Kang Hong murka. “Jika kau berani menyentuhnya....”

Mendadak Hek-bian-kun mencolek pipi perempuan cantik yang baru melahirkan itu dan mendengus, “Hm, ini, sudah kusentuh dia, kau mau apa?”

Kang Hong menggerung kalap dan menerjang pula, tapi karena cemasnya, permainan goloknya menjadi kacau, serentak senjata musuh yang beraneka ragam itu menghujani tubuhnya, pundak, dada, punggung, seketika terluka dan mengucurkan darah.

“Hati-hati, kakak Hong!” Dengan suara gemetar si perempuan berpesan pula.

“Hehe, kakak Hong-mu segera akan berubah menjadi setan?” ejek Hek-bian-kun dengan tertawa.

Dengan berlumuran darah Kang Hong berteriak kalap, “Biar pun menjadi setan takkan kuampuni kalian !”

Suara teriakan kalap bercampur dengan suara gembira dan jeritan ngeri diseling pula tangisan bayi. Suasana yang menyayat hati itu sekali pun manusia berhati baja juga pasti akan luluh.

Darah sudah memenuhi muka dan tubuh Kang Hong, keadaannya sudah payah. Mendadak perempuan dalam kereta berteriak histeris, “Biar kuadu jiwa denganmu!” Mendadak ia meninggalkan bayinya terus menubruk ke arah Hek-bian-kun, sepuluh jarinya terus mencengkeram leher lawan.

Akan tetapi sekali tangkis segera perempuan itu ditolak balik ke dalam kereta. Dengan terkekeh Hek-bian-kun berkata, “Hehehe, manisku, ke mana perginya kelihaianmu tadi...? Hehehe, perempuan, perempuan yang harus dikasihani, sebab apakah kalian harus melahirkan anak....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong perempuan itu telah merangkulnya dengan nekat, mulutnya terus menggigit tenggorokan lawan.

Keruan Hek-bian-kun mengerang kesakitan dan darah pun mengucur. Itulah darah yang jahat, darah berbau busuk, tapi darah yang berbau anyir itu membuat si perempuan merasa puas, puas karena berhasil membalas sakit hatinya.

Saking sakitnya Hek-bian-kun terus menonjok dengan kepalan dan kontan tubuh perempuan itu mencelat, menumbuk kereta dan jatuh terkapar tak sanggup bangun lagi. Walau pun begitu bagaimana rasa darah musuhnya sudah berhasil dicicipinya.

“Kakak Hong,” dengan suara lemah ia berseru dengan terputus-putus, “Lekas larilah... lekas, jangan... jangan menghiraukan kami. Asalkan aku sudah mati, kedua kakak beradik Kiongcu tentu takkan... takkan membuat susah padamu....”

“Tidak, engkau takkan mati, adindaku!” teriak Kang Hong.

Ia berusaha menerjang maju lagi, ia tidak ambil pusing akan beraneka macam senjata musuh yang menghujani tubuhnya itu. Tubuhnya telah terkoyak-koyak, darah daging berhamburan. Tapi dia masih terus berusaha menerjang maju. Namun sebelum tiba di depan sang istri ia sudah jatuh terguling…..

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar