-------------------------------
----------------------------
Wanita itu menjerit, goloknya terlepas dan ia merintih karena lengannya telah bertembus sebuah patrem yang dilemparkan Puspa Dewi.
Di lain saat Puspa Dewi sudah melompat dekat wanita itu, mencabut patremnya dan wanita itu jatuh terduduk di lantai, memegangi lengan kanan yang bercucuran darah sambil menangis. Puspa Dewi tidak membunuh wanita itu karena mengingat bahwa ia bukanlah seorang prajurit dan tidak jahat. Kalau tadi ia mengancam akan membunuh Joko Pekik, hal itu dilakukan karena setianya terhadap keluarga Ratu Parang Siluman. Akan tetapi Joko Pekik menangis ketika Puspa Dewi mendekatinya.
Di lain saat Puspa Dewi sudah melompat dekat wanita itu, mencabut patremnya dan wanita itu jatuh terduduk di lantai, memegangi lengan kanan yang bercucuran darah sambil menangis. Puspa Dewi tidak membunuh wanita itu karena mengingat bahwa ia bukanlah seorang prajurit dan tidak jahat. Kalau tadi ia mengancam akan membunuh Joko Pekik, hal itu dilakukan karena setianya terhadap keluarga Ratu Parang Siluman. Akan tetapi Joko Pekik menangis ketika Puspa Dewi mendekatinya.
"Engkau nakal... engkau jahat...!" Anak itu berkata dengan suara pelo dan menangis.
Sikap anak ini saja menunjukkan bahwa tentu biasanya wanita yang bekerja sebagai biyung emban (inang pengasuh) itu bersikap baik kepada Joko Pekik sehingga tentu saja anak itu berpihak kepadanya dan menganggap ia yang jahat. Karena tidak ada gunanya menerangkan kepada anak kecil, ia lalu mengangkat dan memondong anak itu dan membawanya keluar guha. Anak itu meronta dan menangis. Setibanya di luar, Puspa Dewi melihat bahwa Nurseta telah berhasil menyembuhkan lima orang telik sandi yang keracunan. Dewi menceritakan mengapa Joko Pekik menangis.
"Semua orang keracunan termasuk aku. Akan tetapi mengapa engkau tidak keracunan dan juga orang-orang Parang Siluman ini tidak keracunan padahal mereka juga melintasi lapangan rumput?" tanya Puspa Dewi kepada Nurseta.
"Aku menjadi kebal racun karena membawa Pusaka Tunggul Manik. Sedangkan orang-orang Parang Siluman itu, lihat saja kakinya. Mereka melindungi telapak kaki mereka dengan alas kaki dari kulit kerbau. Tentu mereka sudah menyebar racun di lapangan rumput sehingga tidak tampak dan meracuni mereka yang melewati lapangan rumput melalui telapak kaki yang menginjak racun."
"Lalu bagaimana kita dapat meninggalkan tempat ini? Jalan keluar hanya lapangan rumput!" kata Puspa Dewi.
"Mudah saja, Den Roro! Kita naik egrang (jangkungan) untuk melintasi lapangan rumput ini!" kata Witarto yang cerdik.
Mereka lalu membuat egrang sebanyak enam pasang untuk lima orang telik sandi dan untuk Puspa Dewi. Ketika Joko Pekik Satyabudhi melihat Witarto yang sudah sering dilihatnya ketika perwira muda itu datang ke kepatihan, dia mau dipondong Witarto dan tidak menangis lagi. Pula, Witarto lebih trampil (cekatan) menggunakan egrang dibandingkan Puspa Dewi, maka dalam gendongannya, Joko Pekik lebih aman. Setelah enam orang itu naik egrang, menyeberanglah mereka, melintasi lapangan rumput yang mengandung racun itu. Nurseta berjalan aman dilindungi pusaka Tunggul Manik.
"Kita perlu menyelamatkan dulu Joko Pekik keluar dari daerah Parang Siluman!" kata Nurseta.
Witarto dan empat orang rekannya yang lebih mengenal jalan lalu menjadi petunjuk jalan, diikuti oleh Nurseta dan Puspa Dewi. Mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke perbatasan. Akan tetapi lewat tengah hari, mereka mendengar bunyi derap kaki banyak kuda mengejar dari belakang!
"Hemm, agaknya musuh yang melakukan pengejaran sudah dekat. Kita harus berlari lebih cepat!" kata Nurseta.
Namun sayang, tingkat kepandaian lima orang telik sandi itu tidaklah begitu tinggi. Andaikata Nurseta dan Puspa Dewi berdua saja yang dikejar, walau pun pengejarnya berkuda, mereka tentu akan mampu menghindarkan dan tidak akan tersusul. Maka, derap kaki kuda itu semakin jelas terdengar, menunjukkan bahwa para pengejar itu sudah semakin dekat.
"Dewi, engkau cepat bawa Joko Pekik lari lebih dulu keluar dari daerah Parang Siluman. Witarto dan empat rekannya agar melarikan diri berpencar, menyelamatkan diri masing-masing. Aku sendiri akan lari paling akhir dan kalau mereka datang, aku akan menahan mereka. Dengan demikian, mereka akan menjadi bingung dan Joko Pekik akan dapat lebih dulu diselamatkan."
Tidak ada yang membantah siasat ini. Joko Pekik lalu dipondong oleh Puspa Dewi dan agaknya anak itu pun sudah hilang rasa takutnya terhadap serombongan orang ini karena di situ terdapat Witarto yang dikenalnya. Ketika dipondong Puspa Dewi, dia tidak menangis dan Puspa Dewi segera mengerahkan ilmunya berlari cepat sehingga tubuhnya melesat seperti terbang. Lima orang telik sandi itu pun lari berpencar namun semua menuju ke perbatasan agar dapat keluar dari daerah musuh. Tak lama kemudian muncullah Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala, diikuti ratusan orang prajurit!
"Kejar!" teriak Ki Nagakumala kepada para perwira yang memimpin pasukan, "mereka lari berpencar, kejar mereka semua!"
"Terutama sekali rampas kembali anak itu!" teriak Lasmini sambil menahan kudanya.
"Paman Nagakumala, Mbakayu Lasmini, mari kita kejar kesana! Anak itu dilarikan seorang pemuda ke arah sana. Kita harus dapat merebutnya kembali!" kata Mandari sambil menunjuk ke arah larinya Puspa Dewi.
Ada pun para perwira membawa pasukan masing-masing berpencar melakukan pengejaran kepada lima orang telik sandi Kahuripan. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda tiga orang sakti yang memimpin pengejaran itu telah berdiri Nurseta!
"Nurseta...!" Seru Lasmini dan Mandari, marah dan juga heran bagaimana Nurseta yang telah keracunan berat itu telah pulih kembali kesehatannya. Akan tetapi ketika mereka melihat tongkat pusaka Tunggul Manik terselip di ikat pinggang pemuda itu, mereka mengerti walau pun mereka juga heran bagaimana mungkin pusaka itu telah berada di tangan pemuda itu.
"Jahanam!" bentak Ki Nagakumala, marah karena dengan terampasnya Joko Pekik Satyabudhi dari tangan mereka, berarti Parang Siluman kini terancam bahaya besar diserbu pasukan Kahuripan. Pemuda Ini yang menggagalkan semua siasat Parang Siluman dalam usahanya mencegah penyerbuan Kahuripan. Dengan marah dia lalu melompat turun dari atas punggung kudanya. Lasmini dan Mandari juga melompat turun.
"Bunuh dia!" Ki Nagakumala berseru dan dia sudah mengeluarkan gerengan seperti harimau lalu menerjang ke depan, kedua tangannya dikembangkan dengan jari-jari tangan membentuk cakar dan warnanya berubah membiru serta mengeluarkan hawa dingin sekali.
Lasmini menyusulkan serangan dengan Cambuk Sarpokenoko. Cambuk itu diputar di atas kepala, membentuk gulungan sinar keemasan dan mengeluarkan bunyi ledakan ledakan ketika menyambar ke arah kepala Nurseta. Mandari juga tidak tinggal diam. Ia sudah menyerang dengan mengerahkan hawa sakti beracun berupa uap hitam yang keluar dari kedua telapak tangannya. Ia memukul kearah dada Nurseta.
Pemuda ini bersikap tenang dan waspada. Dia maklum bahwa dia menghadapi tiga orang lawan yang amat tangguh dan memiliki serangan yang amat keji, serangan yang mengandung hawa beracun. Cepat dia mengerahkan Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya seringan angin dan berkelebatan cepat mengelak serangan tiga orang itu. Dia lalu menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan Ilmu Silat Baka Denta.
Tiga orang itu memang merupakan lawan yang amat tangguh, bahkan terlalu kuat bagi Nurseta sekalipun. Kalau melawan mereka satu lawan satu, atau bahkan dua orang mengeroyoknya, mungkin Nurseta masih akan mampu mengatasi mereka. Akan tetapi sekali ini mereka bertiga mengeroyoknya! Dan karena dua orang wanita cantik itu memang merupakan murid-murid dari paman mereka sendiri, maka tiga orang itu dapat bergerak dengan kompak sekali saling bantu, saling melindungi, dan saling mengisi.
Nurseta sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Dia dihujani serangan dan dia hanya dapat mengandalkan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri, atau terkadang menangkis dengan tongkat pusaka Tunggul Manik. Apa lagi di situ masih terdapat sedikitnya seratus orang prajurit yang mengepung, sisa dari ratusan orang prajurit yang melakukan pengejaran dengan berpencar. Nurseta maklum bahwa tidak mungkin dia melanjutkan perkelahian dengan hanya bertahan saja tanpa dapat balas menyerang. Kalau dilanjutkan apa lagi kalau seratus orang prajurit itu ikut mengeroyok, akhirnya dia tentu akan terluka.
Maka dia mempertahankan sedapat mungkin untuk mengulur waktu agar memberi kesempatan kepada teman-temannya, terutama Puspa Dewi, agar gadis itu dapat melarikan Joko Pekik keluar tapal batas wilayah Parang Siluman. Benar saja apa yang dikhawatirkan terjadi. Lasmini meneriaki pasukannya untuk membantu dan puluhan batang senjata tajam kini menghujani tubuh Nurseta dari segala jurusan. Nurseta menggerakkan tangan ke belakang dan angin pukulan dahsyat menyambar, merobohkan empat orang sekaligus, akan tetapi pada saat dia memutar tongkat menangkis sambaran cambuk di tangan Lasmini dan pukulan telapak tangan hitam Mandari, tiba-tiba pundaknya tergores cengkeraman tangan Ki Nagakumala.!
"Bretttt...!"
Bajunya terobek. Kulit pundaknya terlindung kekebalan dan racun yang keluar dari jari-jari tangan Ki Nagakumala itu punah oleh pengaruh Pusaka Tunggul Manik, akan tetapi karena serangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat, tidak urung Nurseta merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Tulang pundaknya tidak sampai patah, akan tetapi rasa ngilu membuat lengannya untuk sementara tidak dapat menyalurkan tenaga sakti. Dia maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk melarikan diri. Cepat tubuhnya berkelebat menyelinap di antara para prajurit yang mengepung bagaikan semut banyaknya. Hal ini malah menguntungkan baginya karena mudah baginya untuk menyelinap dan berlindung di antara banyak prajurit itu.
"Tar-tar-tarrr...!"
Ujung sabuk atau Cambuk Sarpokenoko meledak-ledak, luput mengenai Nurseta malah merobohkan tiga orang prajurit yang pecah kepala terkena sambaran ujung cambuk! Ketika Mandari menyusulkan pukulan beracun, juga yang menjadi korban malah dua orang prajurit Parang Siluman. Lasmini, Mandari, dan Ki Nagakumala menjadi penasaran. Akan tetapi kini amat Sukar mengejar Nurseta yang melarikan diri menyusup-nyusup di antara para prajurit, merobohkan mereka yang berani menghalanginya.
Akhirnya setelah Nurseta berhasil keluar dari kepungan, barulah tiga orang sakti Parang Siluman itu dapat mengejarnya lagi, diikuti oleh pasukan. Akan tetapi cuaca mulai gelap dan mereka tidak mampu mengejar Nurseta yang larinya cepat bagaikan angin dan setelah cuaca menjadi gelap, terpaksa Ki Nagakumala dan dua orang keponakannya itu menghentikan pengejaran.
Mereka menjadi penasaran dan kecewa sekali mendengar bahwa pasukan mereka tidak berhasil menyusul dan tidak berhasil merampas kembali Joko Pekik. Pasukan itu hanya berhasil menyusul lima orang telik sandi. Akan tetapi Witarto dan empat orang rekannya melakukan perlawanan sampai mati. Mereka tidak membiarkan diri ditangkap karena kalau mereka tertangkap, tidak urung mereka akan dibunuh juga, bahkan melalui penyiksaan. Maka, mereka melawan sampai mati dan menjadi pahlawan-pahlawan Kahuripan yang berkorban nyawa demi membela Kahuripan.
Ki Nagakumala dan dua orang keponakannya lalu terpaksa kembali ke kota raja untuk melapor kepada Ratu Durgamala. Mereka lalu menyusun kekuatan karena dapat menduga bahwa setelah kini Joko Pekik terlepas dari tangan mereka, Ki Patih Narotama pasti akan memimpin pasukan datang menyerang!
Semalam suntuk Puspa Dewi membawa Joko Pekik Satyabudhi berlari. Anak itu akhirnya tertidur dalam pondongannya. Pada keesokan harinya, ia berhasil keluar dari daerah Parang Siluman dan bertemu dengan pasukan Kahuripan yang dipimpin Ki Patih Narotama. Biarpun Ki Patih Narotama belum berani menyerbu Parang Siluman, namun setelah membiarkan pasukan yang baru saja menaklukkan Wengker beristirahat beberapa hari lamanya, lalu memimpin pasukannya mendekati Parang Siluman. Dia belum memasuki wilayah Parang Siluman, melainkan memerintahkan pasukan untuk berkemah di dekat perbatasan.
Ki Patih Narotama hendak menanti berita dari Nurseta dan Puspa Dewi tentang puteranya. Sebelum mendapat berita itu dia tidak akan berani menyerang Parang Siluman. Hal ini bukan hanya untuk menjaga keselamatan nyawa puteranya, melainkan terutama sekali karena dia sudah berjanji kepada Lasmini bahwa dia tidak akan menyerang Parang Siluman selama Joko Pekik Satyabudhi masih berada di Parang Siluman! Bagi seorang satria dan pendekar seperti Ki Patih Narotama, janji merupakan kehormatan dan dia lebih menghargai kehormatan daripada nyawa sendiri sekalipun. Dia tidak akan melanggar janji yang sudah dia ucapkan. Sang Prabu Erlangga maklum akan sikap ini, maka raja yang arif bijaksana ini pun memberi ijin kepada Ki Patih Narotama untuk menunda penyerangannya terhadap Parang Siluman.
Dapat dibayangkan betapa bahagia dan lega rasa hati Ki Patih Narotama ketika pagi hari itu Puspa Dewi yang menyamar pria itu muncul sambil memondong Joko Pekik Satyabudhi! Anak itu berada dalam keadaan selamat dan sehat! Puspa Dewi lalu menceritakan tentang Nurseta dan pengalaman mereka dalam usaha merampas kembali Joko Pekik Satyabudhi. Juga ia menceritakan tentang sepuluh orang telik sandi pimpinan Witarto yang ia perkirakan tewas semua dalam usaha mereka membantu Nurseta dan Puspa Dewi menyelamatkan Joko Pekik Satyabudhi.
Ki Patih Narotama prihatin sekali mendengar ini dan dia pun mengambil kebijaksanaan untuk menjamin kesejahteraan keluarga sepuluh orang itu secukupnya, sesuai dengan para prajurit telik sandi yang telah mengorbankan nyawa demi menolong Joko Pekik. Pada siang harinya, muncul Nurseta. Ki Patih Narotama mengucapkan terima kasih kepada Nurseta dan Puspa Dewi, kemudian dia mengerahkan pasukan dan mulai menyerbu ke daerah Parang Siluman!
Nurseta dan Puspa Dewi tentu saja menjadi pembantu-pembantu utamanya. Seperti dalam penyerbuan kepada tiga kerajaan lain, sekali ini pun Ki Patih Narotama melarang keras pasukannya untuk melakukan kekejaman terhadap rakyat daerah Parang Siluman. Mereka yang tidak melakukan perlawanan, tidak boleh diganggu. Bahkan musuh yang telah menyerah tidak boleh dibunuh, melainkan menjadi tawanan. Segala bentuk penyelewengan seperti penyiksaan, perampokan, perkosaan dan sebagainya dilarang keras dan pelanggarnya akan menerima hukuman berat!
Sikap pasukan Kahuripan ini tentu saja mendapat sambutan baik rakyat daerah Parang Siluman yang mereka lewati. Melihat pasukan Kahuripan sama sekali tidak melakukan kekejaman kepada mereka seperti yang semula mereka takuti, membuat mereka lega dan bahkan mereka menyambut masuknya pasukan itu dengan senyum ramah! Sikap pasukan Kahuripan itu sungguh berbeda seperti bumi dengan langit dibandingkan sikap para prajurit Parang Siluman kalau sedang melewati pedusunan.
Mereka itu suka mempergunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat kerajaannya sendiri. Merampas harta, mengganggu wanita, bukan hal aneh dilakukan para prajurit Parang Siluma Karena rakyat Parang Siluman pada umumnya mendukung pasukan Kahuripan karena sikap baik mereka, maka pasukan besar pimpinan Ki Patih Narotama itu tanpa banyak hambatan dan kesulitan dapat maju terus sampai mereka berada di depan pintu gerbang kota raja Parang Siluman!
Para pimpinan Parang Siluman kini sudah tidak memiliki pegangan untuk mempengaruhi Ki Patih Narotama. Tentu saja mereka tidak mau menyerah dan mereka pun bertekad untuk melakukan perlawanan mati-matian terhadap musuh bebuyutan yang mereka benci itu. Seperti kebiasaan yang lazim dilakukan dalam perang, sebelum perang campuh antara dua pasukan dimulai, terlebih dulu para senopati (panglima) kedua belah pihak bertanding mengadu kesaktian. Ratu Durgamala sendiri, wanita berusia empat puluh dua tahun yang masih cantik seperti seorang gadis berusia dua puluh tahun, dengan segala kebesaran dan kemewahan pakaiannya, maju ke medan laga. Dari pihak Kahuripan segera maju Puspa Dewi untuk menandinginya!
Puspa Dewi kini tidak lagi menyamar sebagai pria, melainkan merupakan seorang gadis yang selain tampak cantik manis, juga tampak gagah perkasa dalam pakaian keprajuritan yang ringkas, bajunya berlengan pendek di atas siku sehingga tampak lengannya yang berkulit putih halus, juga celananya sampai ke lutut sehingga betis putih mulus memadi bunting itu tampak indah menarik. Begitu Puspa Dewi maju menghadapinya, tanpa banyak cakap lagi Ratu Durgamala sudah menerjang amat cepatnya, menggunakan sebatang keris kecil panjang berbentuk ular. Puspa Dewi menangkis dengan Patrem Cundrik Arum pemberian Sang Prabu Erlangga.
"Cringgg...!"
Bunga api berpijar biru ketika dua batang senjata itu bertemu dan keduanya menarik senjata masing-masing. Setelah melihat kerisnya tidak rusak, Ratu Durgamala menyerang lagi dengan dahysat. Puspa Dewi mengelak dan balas menyerang sehingga kedua orang wanita itu sudah saling serang dengan sengitnya. Terkadang keris mereka saling bertemu sehingga terdengar bunyi berkencringan disusul meletiknya bunga api.
Melihat adiknya sudah maju bertanding, Ki Nagakumala juga melompat maju memegang sebatang pedang. Melihat ini, atas persetujuan Ki Patih Narotama, Nurseta lalu maju menghadapi laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang berwajah tampan gagah dengan kumis melintang seperti Raden Gatutkaca itu. Melihat Nurseta maju menghadapinya, Ki Nagakumala marah sekali. Dia membenci pemuda ini karena Nurseta ini yang membuat siasat Parang Siluman gagal total dengan terlepasnya Joko Pekik Satyabudhi.
"Keparat, mampus kau!" bentaknya dan pedangnya menyambar-nyambar dahsyat. Namun dengan cekatan namun tenang sekali Nurseta mengelak lalu membalas dengan tamparan tangannya yang juga dapat dielakkan lawan. Mereka lalu bertanding, saling serang dengan seru. Kini Lasmini dan Mandari maju bersama dan Ki Patih Narotama lalu maju menghadapi mereka.
"Huh, Narotama! Andika curang, mencuri Joko Pekik dari tangan kami!" Mandari mencela dengan suara mengandung kemarahan dan kebencian.
Dengan tenang tanpa emosi Narotama menjawab. "Mandari, puteraku berada di tangan kalian karena kalian curi, kalau sekarang aku mencurinya kembali, hal itu sudah sepantasnya."
"Narotama, tegakah engkau melukai dan membunuh tubuhku ini yang dulu sering kau belai dengan penuh kasih sayang?" Lasmini bertanya dengan suaranya yang merdu merayu, senyum dan kerlingnya yang dulu pernah membuat Ki Patih Narotama seolah-olah mabuk kepayang.
"Lasmini, kalau engkau terluka atau tewas, hal itu hanya terjadi sebagai akibat dari ulahmu sendiri. Tidak ada gunanya menyalahkan orang lain karena semua sebab berada dalam dirimu sendiri."
Baru saja Ki Patih Narotama berhenti bicara, dua orang wanita cantik itu sudah menyerangnya dengan dahsyat. Lasmini menyerang dengan cambuknya yang ampuh. Cambuk Sarpokenoko adalah sebatang cambuk yang ampuh bukan main karena selain kuat sekali, cambuk itu pun sudah diisi dengan kekuatan sihir dan juga telah direndam racun yang mematikan.
Adapun Mandari menggunakan kerisnya untuk menyerang. Walau pun keris itu hanya merupakan senjata yang kecil dan pendek, namun yang berada di tangan Mandari juga bukan keris biasa, melainkan sebuah benda pusaka ampuh yang telah diisi ilmu hitam dan direndam racun. Sekali saja tergores keris itu sudah cukup untuk membuat nyawa lawan melayang!
Ki Patih Narotama tentu saja mengenal ketangguhan bekas selirnya dan juga Mandari. Dia tidak memandang rendah walau pun tentu saja tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi. Juga, bagaimana pun dia tidak tega untuk melukai atau membunuh Lasmini. Kecantikan dan kepribadian bekas selirnya yang menarik itu masih saja memiliki daya pesona yang kuat kepada kejantanannya. Juga dia ingat bahwa Mandari dulu pernah menjadi selir tercinta Sang Prabu Erlangga, maka dia pun merasa segan untuk melukai atau membunuhnya. Karena itu, dia menghadapi serangan mereka dengan tenaga lunak. Dia mengelak dan terkadang menangkis senjata mereka dengan tiupan hawa pukulan kedua tangannya. Biarpun tangannya tidak sampai menyentuh kedua senjata itu, akan tetapi angin pukulannya saja cukup membuat senjata-senjata itu terpental.
Lasmini dan Mandari juga memaklumi akan kesaktian patih itu. Mereka berdua maklum bahwa bagaimana pun mereka berusaha dan mengeluarkan semua aji kesaktian mereka, mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja mereka tidak akan mampu mengalahkan Ki Patih Narotama. Mereka merasa serba salah. Tidak melawan salah karena sebagai puteri-puteri istana, tentu saja mereka berdua harus mempertahankan kerajaan ibu mereka. Melawan pun salah karena sudah pasti mereka tidak akan menang. Di samping itu, mereka memang benci sekali kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Hal inilah yang membuat dua orang puteri cantik jelita itu menjadi nekat dan mereka menyerang Ki Patih Narotama secara mati-matian.
Sementara itu, Ki Nagakumala makin terdesak oleh Nurseta. Dia sudah mengeluarkan semua ilmu yang dikuasai, mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua serangannya dapat dipatahkan Nurseta. Bahkan ketika Ki Nagakumala mengeluarkan semua ilmu sihirnya, tidak ada satu pun yang mampu mempengaruhi pemuda itu. Tiba-tiba, saking penasaran dan marahnya, Ki Nagakumala mengeluarkan aji pamungkasnya (ilmu terakhir menentukan).
Dia berkemak-kemik menggigit lidah sendiri sehingga berdarah dan dia menyemburkan darah itu ke arah Nurseta. Itulah Aji Wisa Ludira, darah yang mengandung hawa beracun, ilmu yang didasari sihir dan juga tenaga sakti. Darah yang disemburkan itu berubah menjadi sinar merah. Nurseta terkejut juga karena ada hawa yang dahsyat menyambar, mendahului sinar merah itu dan tercium bau yang amis sekali. Dia pun mengerahkan tenaga saktinya dan mendorongkan kedua tangannya ke arah sinar merah yang meluncur ke arah dadanya itu.
"Wuuuuttt... bresss...!"
Sinar itu membalik dan tubuh Ki Nagakumala terjengkang dan dia tewas seketika karena tenaga dahsyat yang menyerang ke arah Nurseta tadi membalik dan menghantam dirinya sendiri! Melihat betapa kakaknya roboh oleh Nurseta, Ratu Durgamala terkejut dan marah sekali. Dengan seluruh tenaga dan kesaktiannya, ia lalu menyerang Puspa Dewi. Kerisnya menyambar-nyambar bagaikan cakar maut. Puspa Dewi menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak, namun Ratu Durgamala yang sudah amat bernafsu untuk membunuh lawan ini terus mendesaknya. Karena desakan itu berbahaya, Puspa Dewi mengesampingkan keraguannya untuk melakukan serangan balasan yang dahsyat. Ketika ia melihat ada lowongan, begitu keris lawan menusuk ke arah ulu hatinya, Puspa Dewi menangkis dengan pengerahan tenaga dari samping. Sang Cundrik Arum berkelebat menjadi sinar putih, menangkis keris Ratu Durgamala.
"Trangggg...!"
Tangkisan itu demikian kuatnya sehingga tubuh Ratu Durgamala terdorong miring. Sebelum ia dapat menegakkan kembali tubuhnya, tangan kiri Puspa Dewi menyambar dengan dahsyatnya. Tamparan tangan kiri itu tampaknya perlahan saja, namun, mengandung hawa sakti yang kuat.
"Plakk...!"
Sisi kanan kepala Ratu Durgamala terkena tamparan tangan kiri Puspa Dewi. Ratu Parang Siluman itu mengeluh, tubuhnya terkulai dan ia roboh tak bergerak lagi. Kepalanya sama sekali tidak terluka, namun tamparan yang mengandung tenaga dalam amat kuatnya itu telah mengguncang dan merusak isi kepala sehingga Ratu Durgamala tewas seketika!
Lasmini dan Mandari terkejut dan air mata bercucuran di atas pipi mereka ketika mereka melihat betapa ibu mereka, Ratu Durgamala, dan paman mereka, Ki Nagakumala telah tewas. Mereka lalu menyerang Ki Patih Narotama seperti gila, mengamuk dan membabi-buta.
"Tar-tar r...!"
Cambuk Sarpokenoko di tangan Lasmini menyambar ke arah kepala Ki Patih Narotama dan Mandari juga menusukkan kerisnya ke dada Sang Patih.
"Plakk...! Tukk!"
Ujung cambuk dapat ditangkap Ki Patih Narotama dan keris di tangan Mandari mengenai dadanya, namun keris itu seolah menusuk baja sehingga terpental.
"Kalian pergilah...!"
Ki Patih Narotama menggunakan kedua telapak tangannya mendorong ke arah dua orang wanita itu. Dorongan ini mendatangkan angin yang kuat sekali seperti badai mengamuk dan dua orang wanita cantik itu terdorong jauh ke belakang dan roboh bergulingan! Akan tetapi mereka tidak terluka karena memang Ki Patih Narotama tidak tega untuk melukai mereka, apa lagi membunuh. Lasmini melompat ke dekat jenazah ibunya dan mengangkat jenazah itu ke dalam pondongannya. Mandari yang sayang kepada paman atau juga gurunya itu pun memondong jenazah Ki Nagakumala, kemudian keduanya melarikan diri sambil memondong jenazah ibu dan paman mereka itu.
Ki Patih Narotama memberi isyarat dan para perwira memimpin pasukan mereka untuk menyerbu. Sambil bersorak-sorai pasukan Kahuripan menyerbu, disambut pasukan Parang Siluman sehingga terjadilah perang campuh yang hebat di depan pintu gerbang Kota Raja Parang Siluman. Akan tetapi melihat para pimpinannya sudah kalah, bahkan Sang Ratu telah tewas, demikian pula Ki Nagakumala yang mereka andalkan, juga kedua orang puteri telah melarikan diri, maka para prajurit Parang Siluman melawan dengan semangat menurun. Hal ini ditambah lagi dengan jumlah mereka yang hanya setengahnya dari jumlah pasukan Kahuripan, maka perang campuh itu pun tidak berlangsung terlalu lama. Sebagian mundur ke dalam kota raja dan sebagian lagi sudah roboh atau melarikan diri.
Pasukan Kahuripan terus maju mendesak dan menjebol pintu gerbang dan pertempuran di dalam kota raja hanya berlangsung sebentar. Pasukan Parang Siluman yang sudah kocar-kacir itu, sebagian membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda menyerah, sebagian lagi berserabutan melarikan diri keluar kota raja. Kerajaan Parang Siluman ditaklukkan. Seperti yang terjadi pada tiga kerajaan lain yang sudah lebih dulu ditaklukkan, Narotama melarang pembunuhan terhadap mereka yang menyerah. Keluarga istana tidak diganggu dan untuk sementara Ki Patih Narotama mengangkat para perwira pembantunya untuk mengurus roda pemerintahan di Parang Siluman. Seperti juga Kadipaten Wengker, Wura-wuri, dan Siluman Laut Kidul, kini Parang Siluman menjadi wilayah Kahuripan.
Ki Patih Narotama, Nurseta, Puspa Dewi, membawa pasukan kembali ke Kahuripan dengan gembira karena tugas menaklukkan para kadipaten yang selalu memusuhi dan merongrong Kahuripan telah selesai dengan baik dan pasukan pulang membawa kemenangan. Terutama sekali Ki Patih Narotama bergembira karena puteranya, Joko Pekik Satyabudhi, telah pulang ke pangkuan ibunya dengan selamat.
Nurseta pulang ke gedung mendiang Senopati Sindukerta, kakeknya. Dia disambut oleh ayah ibunya dan neneknya. Kedukaan karena gugurnya Senopati Sindukerta dalam perang terobati dengan berita kemenangan pasukan Kahuripan. Keluarga ini lalu mengadakan pesta keluarga untuk menyambut dan merayakan kemenangan itu.
Demikian pula Puspa Dewi disambut ayah ibunya dan neneknya. Keluarganya memang masih merasakan kesedihan karena gugurnya Tumenggung Jayatanu dalam perang dan hilangnya Niken Harni. Akan tetapi Puspa Dewi menghibur nenek, ayah dan ibunya dengan mengatakan bahwa kakeknya tewas dengan terhormat sebagai seorang pahlawan pembela negara, sedangkan adiknya, Niken Harni, dibawa oleh nenek sakti mandraguna Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya.
Pada hari itu juga, Nurseta dan Puspa Dewi dipanggil Sang Prabu Erlangga. Mereka berdua saling bertemu di istana, sama-sama menghadap Sang Prabu Erlangga yang wajahnya tampak cerah gembira sekali mendengar akan kemenangan yang dicapai pasukannya. Ki Patih Narotama berada pula di situ dan dia telah melaporkan semua hasil yang dicapai pasukannya dengan jelas, juga tidak lupa melaporkan jasa-jasa para pembantunya, termasuk jasa besar Nurseta dan Puspa Dewi.
Setelah memuji kedua orang muda itu, Sang Prabu Erlangga yang mengetahui bahwa sejak dahulu dua orang muda ini tidak ingin terikat dengan pangkat, memberi hadiah berupa rumah gedung seisinya.
"Nurseta dan Ni Puspa Dewi, biarpun Andika berdua tidak ingin menjadi pamong praja dan ingin menjadi kawula biasa, namun kami masih mengharapkan bantuan Andika berdua."
Dua orang muda itu menyembah, menghaturkan terima kasih atas hadiah-hadiah yang diberikan oleh Sang Prabu Erlangga, lalu Nurseta menjawab.
"Hamba siap melaksanakan perintah Paduka, Gusti."
"Hamba juga siap membantu, Gusti." kata Puspa Dewi.
"Bagus, kami senang sekali mendengar kesanggupan Andika berdua. Kami hanya ingin agar kalian berdua membantu ditemukannya kembali pusaka kraton Sang Cupu Manik Maya yang hilang dicuri orang. Tadinya kami mengira bahwa yang mencuri tentu orang-orang dari Empat Kadipaten yang memberontak, akan tetapi setelah mereka ditaklukkan dan dicari, juga diselidiki, pusaka itu tidak ada pada mereka. Kami minta agar Andika berdua suka membantu Kakang Patih Narotama untuk menemukan kembali pusaka itu."
"Sendika, Gusti." kata Nurseta.
"Hamba siap. Gusti." Kata Puspa Dewi.
Setelah tiba di rumah neneknya, Ki Dharmaguna dan Endang Sawitri berkata kepada Nurseta yang duduk di depan mereka, dihadiri pula oleh Nyi Sindukerta.
"Nurseta, kami bertiga, Nenekmu, Ibumu dan aku sendiri tadi sudah mengadakan perundingan dengan keluarga Adimas Senopati Yudajaya, isterinya, dan Nyai Tumenggung Jayatanu. Kami membicarakan tentang perjodohanmu dengan Puspa Dewi dan mereka menyatakan persetujuan mereka. Oleh karena itu, Nurseta, kami berniat untuk mengajukan pinangan secara resmi. Engkau tentu setuju, bukan?"
"Kanjeng Rama, Kanjeng Ibu, dan Kanjeng Eyang Puteri. Seperti dulu pernah saya jawab, saya serahkan saja urusan perjodohan kepada paduka bertiga. Akan tetapi saya mohon agar pinangan itu jangan diajukan sekarang. Hendaknya paduka bertiga mengetahui bahwa pada saat ini saya dan juga Puspa Dewi masih mengemban tugas penting menaati perintah Gusti Sinuhun, yaitu mencari dan menemukan kembali Sang Cupu Manik Maya yang hilang dicuri orang. Tugas ini penting sekali karena pusaka itu merupakan pusaka keramat sebagai satu di antara Wahyu Kraton, maka tugas membela negara ini harus lebih diutamakan di atas kepentingan pribadi."
Tiga orang tua itu mengangguk-angguk dan tidak dapat membantah. Mereka menyetujui permintaan Nurseta untuk menunda pinangan sampai dapat ditemukannya kembali pusaka Cupu Manik Maya. Di rumah Nyai Tumenggung Jayatanu terdapat adegan yang mirip dengan adegan di rumah keluarga Nyai Senopati Sindukerta. Puspa Dewi juga dihadapi neneknya, ayah dan ibunya yang menyatakan hal yang sama, yaitu tentang disetujuinya oleh para orang tua perjodohan antara Puspa Dewi dengan Nurseta.
"Maafkan, Kanjeng Rama, bukan saya menolak. Nurseta adalah seorang satria yang gagah perkasa dan baik budi, dan tentang perjodohan, saya serahkan kepada paduka bertiga. Akan tetapi, saya ingin melaksanakan tugas-tugas penting saya lebih dulu. Pertama, menaati perintah Gusti Sinuwun untuk menemukan kembali pusaka Cupu Manik Maya yang hilang dicuri orang. Dan kedua, saya harus lebih dulu bertemu dengan Diajeng Niken Harni. Walau pun saya sudah mendengar bahwa ia ikut Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya, namun hati saya belum puas kalau belum dapat bertemu sendiri dengannya. Maka, saya mohon agar hal itu ditunda dulu dan beri saya kesempatan untuk menjajagi apakah hati saya setuju menerima dia sebagai suami saya."
Tiga orang tua itu pun tidak dapat membantah dan mereka tahu bahwa Puspa Dewi masih sangsi apakah antara ia dan Nurseta ada perasaan saling mencinta. Sehabis gelap terbitlah terang. Setelah perang usai muncullah tenteram dan damai. Rakyat seluruhnya, termasuk rakyat yang tadinya menjadi kawula Wengker, Siluman Laut Kidul, Wura-wuri, dan Parang Siluman, kini hidup tenteram damai dan sejahtera.
Semua ini berkat kebijaksanaan para penguasa, yaitu Sang Prabu Erlangga, Ki Patih Narotama dan menurun sampai ke pamong yang paling rendah pangkatnya. Kebijaksanaan Sang Prabu Erlangga yang dibantu oleh para pamong praja yang dengan sendirinya mencontoh junjungan atau atasan mereka itu bagaikan batang pohon yang subur dan sehat sehingga semua cabang ranting daun kembang dan buahnya juga sehat dan subur.
Rakyat seluruh lapisan, dari yang paling atas sampai yang paling bawah, dapat merasakan keadilan dan kemakmuran hidup mereka. Tenteram, damai dan sejahtera. Para penguasa sadar bahwa kekuasaan mereka itu mereka dapat dari rakyat. Rakyat yang memberi kuasa kepada mereka karena tanpa adanya rakyat, tidak akan ada mereka.
Kekuasaan mereka itu bukan untuk sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan, melainkan untuk membimbing rakyat melaksanakan segala macam pembangunan demi kesejahteraan. Para penguasa bukan sekedar memperhamba rakyat dan ingin dilayani, melainkan juga melayani rakyat jelata. Bukan mabok kekuasaan dan menumpuk harta berenang dalam kemewahan dan kesenangan duniawi, melainkan menujukan semua perjuangan demi mengangkat kehidupan rakyat yang miskin dan papa menjadi sejahtera, murah sandang pangan papan.
Kalau para penguasa tidak berlumba menumpuk harta dengan cara yang curang dan korup, kalau para penguasa tidak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan mencari benar dan menang, kalau para penguasa benar-benar mencintai dan mementingkan perbaikan nasib rakyat, kalau para penguasa merupakan manusia-manusia yang taat berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, TUHAN YANG MAHA KUASA.
Sehingga semua tindakan yang mereka ambil tidak menyimpang dari kebenaran, kalau semua penguasa menyadari betul bahwa mereka merupakan alat-alat YANG MAHA ADIL untuk melaksanakan tugas MEMAYU HAYUNING BHUWANA, maka dengan sendirinya, seperti cabang ranting daun bunga dan buah batang pohon yang sehat menjadi sehat pula, rakyat jelata pasti akan tunduk, taat, setia dan mencinta para pemimpinnya yang memegang kendali pemerintahan.
Pemerintah Kerajaan Kahuripan di bawah pimpinan Sang Prabu Erlangga menjadi contoh pemerintahan yang baik. Sang Prabu Erlangga bijaksana, baik budi, tidak mementingkan diri atau keluarga sendiri, tidak korup, atau singkatnya bertangan bersih. Maka, dengan sendirinya Ki Patih Narotama juga tidak berani mengotori tangannya karena tentu akan ditegur dan dihukum oleh rajanya. Demikian pula kalau tangan Ki Patih Narotama bersih, bawahannya, para senopati juga tidak berani mengotorkan tangan melakukan korupsi dan sebagainya karena pasti akan ditegur dan ditekan oleh atasan mereka, yaitu Ki Patih Narotama.
Demikian seterusnya, para senopati yang bertangan bersih akan membuat bawahannya juga tidak berani mengotori tangan. Kalau ini terus berlanjut sampai pada pamong praja yang paling rendah kedudukannya, maka pemerintahan itu menjadi bersih, dipegang orang-orang yang bertangan bersih. Para penguasa yang bertangan bersih, didukung oleh rakyat yang taat dan mencinta pemerintahan yang sungguh-sungguh memperhatikan nasib mereka, sudah pasti akan membuat negara menjadi maju dan apa yang disebut sebagai Negara rakyat yang subur makmur, adil sejahtera itu bukan hal yang tidak mungkin lagi!
Pemerintah yang bersih bijaksana pasti mendatangkan wibawa yang ditaati seluruh rakyat. Pemerintah yang adil bijaksana pasti ditakuti para manusia yang sesat. Pemerintah yang adil bijaksana pasti didukung oleh para pemuka agama, para cendekiawan yang jujur bijaksana. Seluruh rakyat, pria wanita, tua muda, pintar bodoh, kaya miskin, tak terkecuali, menghendaki kehidupan yang tenteram, aman, tak kekurangan sandang pangan papan, penuh damai dan kasih sayang antara sesama. TATA TENTREM KERTA RAHARJA.....!
T A M A T