-------------------------------
----------------------------
Demikianlah, empat orang anggota keluarga seperguruan ini yang menjadi pemimpin di Kerajaan Siluman Laut Kidul. Tentu saja masih banyak terdapat para senopati dan perwira yang memimpin pasukan kerajaan itu. Biarpun jumlah pasukan Kerajaan Siluman Laut Kidul tidak besar, hanya kurang lebih lima ribu orang saja, namun pasukan ini dapat membentuk barisan yang mengandung daya sihir sehingga dapat melawan musuh yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah mereka.
Di dalam Kisah Sang Megatantra, Kerajaan Siluman Laut Kidul juga ikut bersekutu dengan tiga kerajaan lain. Namun gerakan mereka yang sekongkol dengan pemberontak di Kahuripan telah mengalami kegagalan. Hal ini menambah perasaan dendam dan benci dalam hati para pimpinan Kerajaan Siluman Laut Kidul kepada Kahuripan.
Karena itu, ketika Adipati Linggawijaya dari Wengker datang berkunjung, tentu saja Ratu Mayang Gupita dan tiga orang pembantunya menyambut dengan gembira. Mereka lalu mengadakan pesta penyambutan yang meriah untuk menghormati Adipati Linggawijaya. Setelah berpesta pora, disuguhi tarian menggairahkan dari penari-penari wanita muda belia yang cantik-cantik, mereka lalu mengadakan perundingan di dalam ruangan tertutup.
Di sini, Adipati Linggawijaya dan empat orang penguasa Kerajaan Siluman Laut Kidul itu membuat rencana untuk bersama-sama menghancurkan Kerajaan Kahuripan. Seperti yang telah dia rundingkan dan setujui dengan Kerajaan Parang Siluman, Adipati Linggawijaya menyampaikan undangan agar Ratu Mayang Gupita menghadiri rapat besar yang akan diadakan di Kerajaan Wengker pada malam bulan purnama siddhi.
Rapat itu akan dihadiri oleh Kerajaan Wengker sebagai tuan rumah, Kerajaan Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Juga akan hadir penguasa daerah-daerah kecil yang secara terang-terangan atau diam-diam menentang kekuasaan Kerajaan Kahuripan. Setelah mengadakan perundingan yang memuaskan kedua pihak, Adipati Linggawijaya bermalam di Kerajaan Siluman Laut Kidul dan pada keesokan harinya dia kembali ke Kerajaan Wengker, dikawal dua lusin prajurit yang selalu mengawalnya dalam perjalanannya mengunjungi Parang Siluman dan Siluman Laut Kidul.
Pada waktu yang bersamaan, Dewi Mayangsari yang juga dikawal dua lusin prajurit pilihan, melakukan kunjungan ke Kerajaan Wura-wuri di daerah timur. Perjalanan yang dilakukan Dewi Mayangsari ini lebih jauh daripada perjalanan yang dilakukan suaminya, Adipati Linggawijaya yang mengunjungi dua kerajaan lain. Bahkan perjalanan Dewi Mayangsari ini cukup berbahaya karena ia harus melewati daerah kekuasaan Kerajaan Kahuripan.
Kedatangan Dewi Mayangsari sebagai Permaisuri Kerajaan Wengker diterima dengan senang oleh Adipati Bhismaprabhawa dan permaisurinya, yaitu Nyi Dewi Durgakumala. Karena Kerajaan Wengker dianggap sebagai kawan lama dan sekutu Wura-wuri dalam perjuangan mereka menentang Kerajaan Kahuripan, maka kunjungan Dewi Mayangsari disambut dengan hormat dan dengan pesta besar.
Adipati Bhismaprabhawa, didampingi isterinya, Nyi Dewi Durgakumala, dan empat orang senopatinya, yaitu Kala Muka, Kala Manik, Kala Teja yang dikenal sebagai Tri Kala (Tiga Kala), dan Ki Gandarwo, senopati muda tampan gagah yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, mengelu-elukan tamu mereka yang dihormati itu.
Ketika Dewi Mayangsari menyampaikan niat ia dan suaminya untuk mengadakan rapat pertemuan dengan semua kadipaten yang menentang Kahuripan dan memperbarui persekutuan dan usaha mereka, Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala menyambut gembira. Mereka lalu mengambil keputusan untuk mengadakan rapat besar itu pada malam bulan purnama siddhi di Wengker. Setelah perundingan itu diterima dan disetujui kedua belah pihak, mereka lalu bicara tentang Nyi Lasmi yang gagal dibawa ke Wura-wuri.
"Sungguh sayang sekali pengiriman kami, yaitu Nyi Lasmi ke Wura-wuri digagalkan Ki Patih Narotama! Kami tahu bahwa Nyi Lasmi merupakan orang penting bagi Wura-wuri, karena dengan wanita itu sebagai sandera, tentu akan mudah menundukkan Puspa Dewi." kata Dewi Mayangsari.
"Hemm, memang menggemaskan sekali Puspa Dewi itu. Bocah yang tidak mengenal budi! Sejak kecil kudidik dan kusayang sebagai anakku sendiri, kuangkat ia menjadi Sekar Kedaton di kerajaan ini, ternyata ia malah berkhianat sehingga usaha kita merobohkan Kahuripan gagal. Memang, kalau Nyi Lasmi berada di tangan kami, kami akan dapat memaksa anak kurang ajar itu untuk kembali ke sini."
"Kembali Ki Patih Narotama yang menggagalkan usaha kita. Karena itu, sekali ini kita harus benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan Kahuripan." kata Dewi Mayangsari.
"Ki Patih Narotama itu memang jahat sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia sakti mandraguna. Maka, dalam rapat besar nanti kita harus dapat mencari siasat yang paling baik dan ampuh untuk menghancurkan Narotama dan Erlangga" kata Nyi Dewi Durgakumala dengan gemas. "Kalau kita hanya mengandalkan kekuatan melawan mereka berdua, tentu kita akar gagal. Kita menyusun dan menyatukan semua kekuatan kita, lalu membuat rencana siasat yang baik, baru kita dapat berhasil dengan gebrakan-gebrakan yang mengejutkan."
Setelah mengadakan perundingan yang kesemuanya ditujukan untuk menghancurkan Kahuripan, Dewi Mayangsari lalu mengajak pasukan pengawalnya pulang ke Kerajaan Wengker. Setibanya di Wengker, ia melihat suaminya, Adipati Linggawijaya sudah pulang. Mereka lalu membuat persiapan untuk mengadakan pertemuan dan rapat besar di antara para pemerintah daerah yang sehaluan…..
********************
Mala petaka itu datang bagaikan mendung hitam tebal di musim kemarau. Datang pada malam terang bulan. Tadinya, bulan bersinar penuh dan tiba-tiba saja, menjelang tengah malam, muncul awan mendung yang demikian tebalnya sehingga cuaca di kota raja Kahuripan menjadi hitam pekat dan gelap gulita.
Sesuatu yang luar biasa terjadi. Ketika mendung mulai menyembunyikan bulan dan bintang di baliknya, malam hitam mulai merayap, angin semilir dan semua orang yang belum tidur tiba-tiba merasa gelisah. Bulu tengkuk mereka meremang dan ada perasaan ngeri menyerang perasaan hati mereka. Angin lembut yang meniup atap rumah-rumah dan pohon-pohonan menimbulkan suara berkelisik dan berbisik-bisik seperti para lelembut keluar berkeliaran dan saling bicara dalam bahasa yang seperti mendesis-desis.
Dan, tanpa mereka rasakan, orang-orang yang belum tidur itu tahu-tahu telah tertidur pulas. Tidur yang tidak wajar karena mereka yang sedang duduk, tertidur begitu saja sambil duduk. Bahkan para prajurit yang melakukan tugas jaga, semua tertidur pulas. Yang berjaga sambil duduk, bahkan yang berdiri pun kini tertidur sambil bersandar kepada dinding gardu penjagaan.
Tidak terkecuali, di dalam Istana Kerajaan Kahuripan, suasana menjadi sunyi sekali karena semua orang tertidur pulas. Bukan hanya para dayang dan abdi, bahkan para prajurit pengawal, semuanya tertidur. Ada beberapa orang perwira pasukan pengawal yang memiliki aji kanuragan, tiba-tiba menyadari bahwa mereka terserang semacam hawa yang amat kuat pengaruhnya, yang membuat tubuh mereka menjadi lemas dan mata mereka tiba-tiba mengantuk sekali.
Mereka segera menyadari bahwa ada kekuatan sihir Aji Panyirepan tengah menyerang mereka. Cepat mereka mengerahkan tenaga batin mereka untuk menolak serangan ini. Akan tetapi, kekuatan serangan Aji Panyirepan itu kuat bukan main dan datangnya bergelombang sehingga usaha mereka untuk bertahan gagal. Semua pertahanan mereka bobol dan mereka pun jatuh tertidur pulas seperti yang lain.
Dua orang yang sakti di kota raja Kahuripan itu, yaitu Sang Prabu Erlangga sendiri dan Ki Patih Narotama, juga tidur pulas. Andaikata penyerangan Aji Panyirepan itu datang pada saat mereka berdua belum tidur, tentu mereka akan mampu menolaknya. Akan tetapi karena tidak menduga akan datangnya serangan Ini, mereka telah tidur pulas ketika gelombang Aji Panyirepan itu datang menyerang seluruh kota raja Kahuripan sehingga raja dan patihnya yang sakti ini pun tidak mengetahui apa yang terjadi. Mereka tidur pulas seperti biasa.
Gedung pusaka kerajaan berada di sebelah kiri Istana Kahuripan. Gedung pusaka ini menyimpan pusaka-pusaka yang dikeramatkan, pusaka-pusaka peninggalan Kerajaan Syailendra dan Kerajaan Mataram yang kemudian menurunkan Kerajaan Kahuripan. Karena gedung pusaka ini merupakan tempat yang amat penting, maka selalu dijaga oleh pasukan pilihan terdiri dari tiga losin prajurit dipimpin oleh dua orang perwira tinggi yang memiliki kesaktian. Para prajurit itu selalu berjaga secara bergantian di sekeliling gedung pusaka itu sehingga tidak memungkinkan pencuri dapat memasuki gedung.
Pada malam yang penuh rahasia itu, malam bulan purnama tanpa bulan, tiga losin prajurit itu pun tidak dapat terhindar dari gelombang pengaruh Aji Panyirepan itu. Karena mereka merupakan prajurit pilihan, maka mereka pun merasakan adanya pengaruh kuat yang menyerang mereka. Mereka mencoba untuk bertahan akan tetapi tidak lama mereka dapat melawan pengaruh itu.
Mereka segera tidur dan biarpun perlawanan membuat mereka gelisah dan bergerak dalam tidur, namun akhirnya mereka pulas juga. Dua orang perwira tinggi yang bertugas memimpin penjagaan malam itu, juga memiliki aji kesaktian. Mereka juga terserang gelombang itu dan bersikeras menahan diri dan melawan. Mereka bangkit berdiri, terhuyung dan mengerahkan seluruh kekuatan batin mereka untuk melawan rasa kantuk yang amat menekan mereka.
"Ha-ha-ha...!" Tiba-tiba di depan mereka tampak seorang raksasa berusia sekitar enam puluh tahun, gagah perkasa bermuka merah berpakaian indah, tangan kiri memegang sebatang gendewa (busur) besar dan di punggungnya tergantung belasan batang anak panah dalam sebuah bumbung. Kakek ini bukan lain adalah Dibya Krendasakti, penguasa Pulau Nusa Barung. Dia sedang melaksanakan tugas yang dia janjikan kepada Nini Bumigarbo untuk mencuri Cupu Manik Maya, sebuah di antara pusaka-pusaka Kerajaan Kahuripan.
Dengan pengerahan Aji Panyirepan yang kuat, dia telah membuat semua prajurit sebanyak tiga losin yang berjaga di gedung pusaka tertidur, kecuali dua orang perwira tinggi pemimpin mereka yang masih dapat bertahan terhadap pengaruh Aji Panyirepan.
Dibya Krendasakti sempat terheran-heran karena dia juga merasakan adanya hawa yang amat kuat dari Aji Panyirepan yang menguasai seluruh kota raja Kahuripan! Padahal dia hanya mengerahkan ajiannya itu kepada mereka yang berada di gedung pusaka dan sekitarnya. Melihat dua orang perwira tinggi itu belum juga terpengaruh, dia muncul di depan mereka.
Dua orang perwira tinggi itu memang sudah curiga dan menduga bahwa ada orang yang berniat jahat sedang melepas Aji Panyirepan, maka begitu melihat kakek pembawa gendewa itu berdiri di depan mereka, tanpa banyak cakap lagi mereka berdua mencabut pedang dan menyerang Dibya Krendasakti. Kakek ini tertawa, gendewa di tangan kirinya bergerak.
"Trang...! Trang...!"
Dua batang pedang itu terlepas dari tangan dua orang perwira itu saking kuatnya tangkisan gendewa dan membuat telapak tangan yang tadi memegang pedang menjadi lecet terkelupas kulitnya. Selagi kedua orang perwira itu terkejut dan melangkah ke belakang, Dibya Krendasakti sudah mendorongkan tangan kanannya ke depan.
"Wuuuuusssshhhh...!"
Angin yang kuat sekali bertiup dan tubuh dua orang perwira itu terlempar, terjengkang dan terbanting roboh. Mereka tak mampu bangkit kembali karena seketika pingsan.
Dibya Krendasakti lalu memasuki pendapa gedung pusaka, menghampiri pintu depan. Dengan mudah dia membuka daun pintu yang terbuat dari kayu tebal dan berat itu, lalu memasuki tempat yang biasanya merupakan daerah terlarang dan terjaga ketat itu dengan santai.
Terdapat banyak benda pusaka di dalam gedung itu. Tombak, perisai, pedang, keris, penggada, busur dan anak panah, dan banyak senjata lain. Juga ada benda-benda bekas milik para raja jaman dahulu yang dikeramatkan dan menjadi benda pusaka. Akan tetapi, pusaka-pusaka yang paling penting dan dekat dengan Sang Prabu Erlangga, tentu saja berada di kamar raja di istana.
Adapun benda-benda pusaka yang paling dipuja dalam gedung itu, berada di tempat khusus terbuat dari almari kayu terukir indah. Di antara pusaka yang dianggap penting dan diistimewakan itu terdapat Cupu Manik Maya, sebuah cembul atau semacam cawan terbuat dari emas yang bertaburkan intan amat indahnya. Benda pusaka itu mengeluarkan sinar gemilang dan tampak seperti ratu dari semua benda yang terpajang dalam lemari itu.
Dibya Krendasakti yang sudah mendapat gambaran dari Nini Bumigarbo tentang cupu itu, terkekeh girang dan dia segera menjulurkan tangan untuk mengambil benda pusaka itu. Akan tetapi dia terkejut dan menarik kembali tangannya karena ketika tangan itu tiba dekat dengan Cupu Manik Maya, dia merasa betapa tangannya tergetar hebat.
Dia memandang kagum dan segera dia mengerahkan perhatiannya, merangkap kedua tangan seperti sembah ke depan hidungnya, lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menjulurkan kembali tangannya. Sekarang dia menggunakan kedua tangan sesudah mengalungkan gendewanya di lehernya, Dia dapat menangkap Cupu Manik Maya dengan kedua tangannya, cepat memasukkannya ke dalam kain kuning yang diikatkan ke depan dada, lalu keluar dengan cepat dari gedung pusaka.
Betapa pun sakti mandraguna juragan dari Pulau Nusa Barung ini, dia dapat merasakan bahwa dia memasuki tempat yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Setelah tiba di luar gedung pusaka, kembali dia dapat merasakan bahwa ada getaran pengaruh yang kuat sedang melanda hawa udara di Kahuripan. Dia tak mau mencampuri dan segera menggunakan kepandaiannya, berlari cepat menghilang di dalam kegelapan dan tak lama kemudian dia sudah keluar dari kota raja Kahuripan.
Ketika dia melihat betapa sunyinya kota raja itu, dan mendengar lolong anjing saling bersahutan, mendengar kelepak sayap banyak kelelawar dan bercicitnya burung malam dan burung hantu, tahulah dia bahwa malam itu banyak orang yang memiliki ilmu sihir yang amat kuat sedang merajalela di situ. Dia cepat-cepat pergi menuju pulang ke Pulau Nusa Barung.
Memang, firasat yang dirasakan Sang Empu Bharada beberapa waktu yang lalu benar-benar terjadi pada malam bulan purnama yang gelap ini. Mala petaka datang beriringan. Sungguhpun tidak ada janji atau kerja sama, namun secara kebetulan sekali malam itu Dibya Krendasakti melaksanakan janjinya mencuri pusaka Cupu Manik Maya justru pada malam yang ditentukan oleh persekutuan empat kerajaan Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul bersama beberapa buah kadipaten kecil lainnya! Maka, Dibya Krendasakti merasakan adanya hawa yang aneh menggetarkan dan menguasai seluruh kota raja Kahuripan.
Inilah pula sebabnya mengapa Aji Panyirepan Dibya Krendasakti demikian ampuh sehingga seolah ajiannya itu mempengaruhi seluruh penduduk kota raja itu! Padahal sesungguhnya, bukan hanya Krendasakti yang mengerahkan Aji Panyirepan pada malam hari itu, melainkan banyak sekali tokoh sakti dari persekutuan itu juga mengerahkan Aji Panyirepan mereka sehingga seluruh penghuni kota raja itu terpengaruh, kecuali mereka yang memang memiliki kekuatan batin yang kuat sehingga tidak terpengaruh. Akan tetapi karena pada malam hari itu, selain cuaca gelap pekat, juga hawanya dingin, maka semua orang, baik yang terpengaruh sihir mau pun yang tidak, telah jatuh pulas.
Di sebuah rumah yang terletak di sebelah belakang kompleks istana, tiba-tiba terdengar tangis bayi. Anak yang baru berusia satu tahun itu menangis. Dia tidak terpengaruh kekuatan sihir dan anak-anak yang jiwanya belum tertutup nafsu daya rendah menjadi peka. Ada sesuatu yang membuat bayi itu menangis, bukan tangis karena ulah hati pikiran, melainkan tangis yang tidak dapat dicari penyebabnya oleh akal pikiran.
Tangis yang nyaring ini memiliki getaran yang melemahkan pengaruh Aji Panyirepan sehingga penghuni rumah itu yang mendengar tangis ini, yaitu ayah, ibu, dan dua orang kakaknya, terbangun dari tidur. Akan tetapi pada saat itu, banyak bayangan orang menyelinap dari rumah ke rumah dan mereka menyebarkan kembang dan rempa-rempa ke atas atap setiap rumah. Terdapat sedikit pasir di antara bunga-bunga itu.
Rumah di mana penghuninya terbangun dari tidur oleh tangis anak berusia setahun itu. Juga tidak luput dari lemparan kembang pasir dan rempa-rempa Itu. Tiba-tiba ibu yang kini memondong anak yang berhenti menangis, mengeluh dan terhuyung. Suaminya terkejut dan merangkulnya, akan tetapi dia pun mengeluh dan merasa kepalanya pening seperti dipukul. Juga dua orang anak mereka, berusia dua belas dan tujuh tahun, yang tadinya masih tidur, mengeluh dan menjadi gelisah, mengatakan bahwa kepala mereka pening dan perut mereka mulas.
Ayah dan dua orang anaknya yang sudah agak besar itu terserang penyakit dengan tiba-tiba dan hanya anak berusia setahun itu saja yang tidak jatuh sakit. Hal aneh seperti ini terjadi hampir di setiap rumah yang dilempari bunga-bunga sebagai sarana penyerangan melalui sihir seperti santet atau tenung. Yang bertugas melakukan penyebaran santet yang mendatangkan wabah penyakit ini adalah orang-orang Kerajaan Siluman Laut Kidul yang dipimpin Bhagawan Kalamisani yang ahli sihir itu.
Juga pada saat yang bersamaan, dan hal ini memang sudah diatur dan direncanakan sebelumnya, terjadi hal yang gawat di Istana Sang Prabu Erlangga dan Gedung Kepatihan tempat tinggal Ki Patih Narotama. Dua bayangan orang yang gerakannya tiada ubahnya dua mahluk golongan iblis karena hanya tampak bayangan-bayangan itu berkelebat memasuki istana yang sudah tidak ada penghuninya yang tidak tidur.
Setelah tiba di ruangan dalam di mana terdapat lampu-lampu penerangan dan dua bayangan berhenti dan berdiri diam, tampak bahwa mereka itu adalah Puteri Mandari dari Parang Siluman yang cantik jelita, bersama Resi Bajrasakti, datuk Wengker yang seperti raksasa brewok hitam itu. Puteri Parang Siluman dan Datuk Wengker ini adalah dua orang yang memiliki kesaktian tinggi dan Mandari yang pernah menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan tinggal di dalam istana, bertugas untuk membunuh Sang Prabu Erlangga, dibantu oleh Sang Resi Bajrasakti. Mereka baru berani bergerak setelah para tokoh sakti dari Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul menghimpun kekuatan sihir mereka dan menyebarkan Aji Panyirepan sehingga pengaruh kekuatan sihir itu kuat bukan main dan akibatnya, seluruh penghuni kota raja Kahuripan jatuh pulas.
Di dalam rapat besar persekutuan yang menentang Kahuripan itu, telah dibagi-bagi tugas kepada para tokoh yang sakti. Puteri Mandari malam itu bertugas memasuki istana Kahuripan dan melakukan pembasmian terhadap penghuni istana, termasuk Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi karena semua tokoh itu yakin akan ketinggian ilmu-ilmu Sang Prabu Erlangga yang sakti mandraguna dan sukar dikalahkan, maka Puteri Mandari diperingatkan agar jangan sekali-kali mencoba membunuh Sang Prabu Erlangga secara langsung.
Begitu memasuki istana dan melihat keadaan istana yang mewah, di mana ia pernah tinggal sebagai selir terkasih, timbul iri hati dan penyesalan di hati puteri itu karena ia terpaksa meninggalkan istana itu. Melihat empat orang prajurit pengawal duduk bersandar dinding dalam keadaan tidur, Mandari menghampiri mereka dan empat kali tangan kirinya menyambar, mengenai kepala empat orang prajurit itu dan mereka berempat tidak akan dapat bangun kembali karena tamparan yang tampaknya tidak keras itu telah menghancurkan isi kepala dan mereka tewas seketika!
"Puteri Mandari, mari kita cepat melaksanakan tugas kita, membakar istana seperti telah direncanakan." bisik Resi Bajrasakti.
Memang menurut rencana mereka harus membakar istana agar semua penghuni yang tertidur di dalam akan mati terbakar semua, berikut Sang Prabu Erlangga kalau mungkin.
"Nanti dulu, Paman Resi, aku belum puas kalau tidak membunuh mereka dengan tanganku sendiri!" bisik kembali Puteri Mandari.
Resi Bajrasakti mengerutkan alisnya, dan menggeleng kepalanya.
"Itu berbahaya sekali! Sudah diputuskan dalam rapat bahwa kita tidak boleh sembrono (gegabah) terhadap Sang Prabu Erlangga!"
"Jangan khawatir. Aku tidak akan mencoba untuk membunuh dia, melainkan permaisuri dan putera-puteranya! Baru akan puas hatiku!"
Melihat kenekatan Mandari,. Resi Bajrasakti menghela napas dan terpaksa mengikuti puteri itu yang menuju ke kamar di mana ia tahu para pangeran yang masih kecil-kecil itu tidur. Ketika menuju ke kamar itu, setiap kali melihat prajurit pengawal atau pelayan yang tertidur, Puteri Mandari tidak melewatkan mereka sebelum turun tangan membunuh mereka. Dalam waktu sebentar saja, tidak kurang dari lima belas orang prajurit pengawal dan pelayan telah tewas di tangan Mandari!
Akhirnya mereka tiba di depan kamar di mana dua orang pangeran, yaitu Pangeran Samara Wijaya yang berusia hampir lima tahun dan Pangeran Budidharma yang berusia sekitar empat tahun biasa tidur ditemani dua orang emban (inang pengasuh). Dengan mudah Puteri Mandari mendorong daun pintu terbuka. Ia hati-hati sekali karena maklum bahwa kamar di mana Sang Prabu Erlangga tidur, berada di samping kamar para pangeran itu.
Ia melihat dua orang emban telah tertidur di lantai kamar bertilamkan permadani, dan dua orang pangeran yang masih kecil itu tidur di atas sebuah pembaringan besar. Mereka tidur berjajar dalam keadaan pulas. Resi Bajrasakti mendongkol sekali melihat betapa Puteri Mandari melanggar tugas mereka dan membuat keadaan menjadi berbahaya. Dia berbisik lirih sekali.
"Paduka lakukan sendiri, saya hendak melaksanakan pembakaran seperti direncanakan. Kalau selesai, harap Paduka cepat keluar."
Mandari mengangguk dan Resi Bajrasakti lalu keluar dari kamar dengan cepat. Alat-alat untuk melakukan pembakaran memang sudah tersedia dan mulailah dia melakukan pembakaran pada bagian belakang istana, dekat kandang kuda di mana terdapat banyak jerami kering. Sementara itu, Puteri Mandari cepat membunuh dua orang emban yang sedang pulas itu. Mereka mati sebagai kelanjutan dari tidur mereka, tidak sempat terbangun. Kemudian ia melangkah menghampiri pembaringan di mana kedua orang pangeran itu tidur pulas.
Akan tetapi kedua orang pangeran itu agaknya sudah dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi Wasa untuk kelak menjadi raja melanjutkan kedudukan ayah mereka dan mungkin belum tiba waktunya mereka itu mati. Atau mungkin juga jiwa kedua orang anak kecil itu masih bersih sehingga peka sekali. Tiba-tiba saja kedua orang pangeran itu tersentak kaget dan terbangung dari tidur mereka. Mereka terbelalak memandang kepada Puteri Mandari dan anehnya, melihat wajah Puteri Mandari yang cantik jelita itu agaknya mereka melihat wajah yang amat menyeramkan. Mereka terbelalak dan menjerit-jerit sambil menangis.
"Kanjeng Rama... Kanjeng Ibu..." dua orang pangeran itu menjerit-jerit memanggil ayah ibunya.
Puteri Mandari terkejut sekali. "Keparat...!" ia memaki, akan tetapi ia juga ketakutan dan cepat melompat keluar dari kamar itu dan lari secepatnya menuju ke belakang istana di mana Resi Bajrasakti mulai melakukan pembakaran.
Sementara itu, di gedung kepatihan juga datang dua orang yang ditugaskan oleh persekutuan untuk mencelakai Ki Patih Narotama. Dan siapa lagi yang mendapatkan tugas ini selain Puteri Lasmini yang cantik jelita, yang pernah menjadi selir tersayang Ki Patih Narotama dan tinggal di gedung kepatihan itu. Ia tentu saja sudah tahu benar akan keadaan di gedung kepatihan dan selain itu, juga ia amat mendendam kepada Ki Patih Narotama sekeluarganya. Karena itu maka Puteri Lasmini yang mendapatkan tugas itu dan untuk melaksanakan tugas berbahaya ini ia ditemani oleh Nyi Dewi Durgakumala sendiri, Permaisuri Wura-wuri.
Dengan demikian, para tokoh puncak dari Wengker, Wura-wuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul pada saat yang sama malam itu melakukan penyerangan secara serentak! Seperti juga Mandari, Lasmini tahu benar bahwa tidak mungkin ia dapat membunuh Ki Patih Narotama begitu saja. Ki Patih Narotama terlampau sakti baginya dan ia pun dapat menduga bahwa Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna itu tentu tidak akan dapat terpengaruh kekuatan sihir Aji Panyirepan.
Maka, tugasnya bersama Nyi Dewi Durgakumala adalah membinasakan Listyarini, isteri Narotama yang dulu menjadi madunya dan amat dibencinya, bersama putera mereka yang baru berusia setahun lebih beberapa bulan. Putera tunggal itu diberi nama Joko Pekik Satyabudhi dan biasa disebut Joko Pekik. Selain membunuh Listyarini dan Joko Pekik, juga Lasmini dan Nyi Dewi Durgakumala bertugas untuk melakukan pembakaran gedung kepatihan.
Dengan mudah Lasmini dan Nyi Durgakumala memasuki gedung kepatihan karena para prajurit yang berada di situ sudah tertidur dipengaruhi Aji Panyirepan mereka. Dengan kejamnya Lasmini membunuh para prajurit pengawal yang sedang pulas sehingga mereka tewas tanpa dapat atau sempat mengeluarkan suara sedikit pun. Juga Nyi Durgakumaia yang membenci Narotama ikut berpesta ria membantai puluhan orang prajurit pengawal itu.
Banjir darah terjadi malam itu di gedung kepatihan. Akan tetapi, biarpun pembunuhan ini mereka lakukan dengan mudah karena sama sekali tidak mendapatkan perlawanan, tetap saja dua orang wanita cantik namun kejam seperti iblis itu bergerak dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Bagaimana pun juga, keduanya tetap khawatir kalau-kalau Ki Patih Narotama akan terbangun sewaktu-waktu dan memergoki mereka.
Betapa pun saktinya kedua orang wanita ini, mereka masih merasa gentar kalau harus berhadapan dengan Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna. Mereka pun dapat menduga bahwa Ki Patih pasti tidak terpengaruh oleh Aji Panyirepan mereka dan berada dalam keadaan tidur yang wajar.
Lasmini yang sudah hafal akan keadaan di istana kepatihan itu, tahu benar di mana adanya kamar Listyarini, Isteri Ki Patih Narotama. Maka ia langsung saja memasuki kamar itu. Setelah membuka daun pintu kamar itu, ia hanya mendapatkan Joko Pekik Satyabudhi yang berusia kurang lebih satu setengah tahun tidur di atas pembaringan besar, pembaringan ibunya. Yang menemaninya hanya dua orang pelayan wanita, yaitu Biyung Emban (Inang Pengasuh) dan seorang pelayan lain.
Dua orang pelayan ini pun tidur pulas terpengaruh Aji Panyirepan. Akan tetapi tidak tampak Listyarini di dalam kamar itu. Tempat tidurnya tidak ada bekas ditiduri. Jelas bahwa Joko Pekik tidur seorang diri di pembaringan itu, dijaga Biyung Emban dan seorang pelayan yang tertidur di atas permadani. Wajah Lasmini berubah merah dan matanya mencorong, hatinya panas, karena ia tahu benar apa artinya ini. Ia sudah tahu akan kebiasaan Ki Patih Narotama yang selalu tidur seorang diri dalam kamarnya.
Kalau Listyarini tidak berada di kamarnya sendiri bersama anaknya, hal itu hanya berarti bahwa Listyarini tentu mengungsi ke kamar Patih Narotama, bertugas untuk menemani dan melayani suami tercinta! Hati Lasmini yang sebenarnya masih mengandung perasaan cinta kepada bekas suaminya itu kini penuh dengan cemburu iri hati, yang membuat ia marah sekali. Ia sudah melolos senjatanya yang ampuh, yaitu Cambuk Sarpokenoko dan mendekati tempat tidur, bermaksud membunuh Joko Pekik. Akan tetapi Nyi Dewi Durgakumala menyentuh lengannya dan menggelengkan kepalanya.....