-------------------------------
----------------------------
Menghadapi serangan pekik yang dahsyat itu, Nini Bumigarbo tiba-tiba tertawa cekikikan. Akan tetapi suara tawa ini juga mengandung getaran hebat yang menyambut dan menolak pengaruh pekik yang dikeluarkan lawannya. Dua suara yang berlainan itu seolah saling mendorong dan saling menyerang. Akhirnya perlahan-lahan pekik itu melemah dan suara tawa Nini Bumigarbo juga ikut melemah dan keduanya berhenti. Suasana menjadi lengang setelah dua suara itu berhenti. Namun dalam telinga Niken Harni yang menghentikan pengerahan tenaganya, masih terngiang-ngiang.
"Bagaimana, Dibya? Masih ada lagi?" tanya Nun Bumigarbo dengan senyum mengejek.
Ki Dibya Krendasakti semakin terkejut dan penasaran. Tahulah dia bahwa dalam hal daya sihir dan tenaga sakiti, dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya. Maka dia akan mengajak nenek itu bertanding lewat ketangkasan dan keahlian dalam gerakan silat. Dia lalu menyambar gendewa besar yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Gayatri, kalau memang engkau sakti, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang dan ketangkasan ilmu silat kita...! Keluarkan senjatamu untuk menandingi senjata pusaka gendewaku ini!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk yang sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam aji kanuragan, maka ia hampir tidak pernah menggunakan senjata untuk memperkuat dirinya. Seluruh tubuhnya, kaki tangan, baikan rambutnya, dapat menjadi senjata yang amat ampuh. Juga ia memiliki senjata rahasia berupa segenggam pasir yang amat ampuh karena setiap butir pasir sakti Ini sudah cukup untuk meracuni tubuh lawan dan membinasakannya. Akan tetapi kini ia menghadapi Dibya Krendasakti dan ia tahu bahwa gendewa di tangan lawan ini amat ampuh.
Gendewa itu adalah sebuah senjata yang termasuk keras. Maka ia lalu melolos sehelai sabuk hitam yang panjangnya hanya sekitar lima kaki, sabuk dari kain tebal yang kuat. Sebetulnya ini hanyalah sabuk biasa, bukan senjata. Akan tetapi bagi nenek yang sakti ini, setiap benda apa saja dapat ia pergunakan sebagai senjata, la memilih sabuk yang lemas untuk menandingi gendewa lawan yang keras.
Sambil merentangkan sabuk hitam itu dengan kedua tangannya, Nini Bumigarbo berkata, "Dibya, majulah. Ingin aku membuktikan betapa ampuhnya gendewa di tanganmu itu!"
Ki Dibya Krendasakti mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang maju dengan serangan yang dahsyat. Karena dia maklum betul betapa saktinya Nini Bumigarbo, maka begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya. Namun, dengan gerakan lincah dan tenang saja Nini Bumigarbo menyambut serangan itu dengan sabuk hitamnya. Mereka saling serang dengan dahsyatnya, menggerakkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus terampuh dan aji pamungkas mereka. Namun, keduanya memiliki pertahanan yang kokoh kuat, tidak mudah didesak lawan.
Niken Hami sampai merasa pening menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu. Seluruh ruangan itu seolah terguncang. Seakan-akan ada dua ekor gajah yang sedang berkelahi mati-matian di ruangan itu, bukan seorang kakek dan seorang nenek! Dua orang itu lenyap tidak tampak bentuknya lagi. Yang tampak hanya bayangan dua orang berkelebatan telah menjadi banyak, diselubungi sinar hitam sabuk di tangan Nini Bumigarbo dan sinar keabuan dari gendewa Dibya Krendasakti. Suara yang terdengar hanya desiran angin, terkadang bersuitan dan berdesingan seperti suara senjata tajam meluncur. Terkadang terdengar bunyi nyaring ketika sabuk bertemu gendewa dan tampak bunga api perpijar-pijar...!
Tidak disangka oleh Niken Harni bahwa pertandingan itu akan sedemikian hebatnya, la sendiri sampai mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Kalau ia menoleh dan memandang kepada Woro Surnarni, ia melihat wanita cantik itu menonton tanpa berkedip. Sepasang alisnya berkerut dan wajahnya tampak tegang dan gelisah.
Diam-diam ia merasa semakin iba dan juga terheran-heran. Wanita ini sungguh amat mencinta suaminya. Inikah yang disebut cinta yang sesungguhnya, ataukah ia mencinta seperti itu karena merasa menyesal akan penyelewengannya dahulu? Ia tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti. Kini mulai terdengar pernapasan Dibya Krendasakti yang terengah-engah.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo masih tenang dan teguh seperti sebelum bertanding. Dari kenyataan ini saja dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian Nini Bumigarbo masih lebih unggul. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat ilmu yang mereka pelajari dan kuasai tidak banyak selisihnya. Akan tetapi yang berbeda adalah daya tahan tubuh mereka.
Hal Ini dapat dimengerti. Dibya Krendasokti telah beristeri selama hampir tiga puluh tahun dan dia pun selama dua puluh lima tahun sebetulnya mengalami tekanan batin yang amat hebat, namun ditahan dan disembunyikan di balik cintanya terhadap isterinya. Juga dia jarang berlatih setelah hidup sebagai raja kecil di Nusa Barung.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo adalah seorang wanita yang tidak pernah menikah, seorang yang masih perawan, dan selain itu, sampai dua tahun yang ialu pun ia masih tekun berlatih untuk menambah ilmu dan memperkuat diri dalam usahanya mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Maka dalam pertandingan ini, Nini Bumigarbo memiliki kelebihan dalam kekuatan dan daya tahan tubuh.
"Sambut ini, Dibya!" terdengar bentakan nyaring.
"Syuuuuttt... krakk...!"
Tubuh Dibya Krendasakti terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Gendewanya patah dan wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan dia menggunakan tangan kiri untuk menekan dadanya yang terasa sesak terkena pukulan tangan kiri Nini Bumigarbo.
"Kakangmas...!" Woro Sumarni melompat dari tempat duduknya dan begitu dekat dengan suaminya, ia merangkul dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran. "Engkau tidak apa-apa, Kakangmas...?" tanyanya sambil meraba dada suaminya.
Dibya Krendasakti merangkul pundak isterinya. "Tidak apa-apa, Diajeng. Gayatri agaknya masih teringat akan persahabatan masa lalu maka ia tidak menurunkan tangan maut kepadaku. Dan agaknya sudah tiba saatnya bahwa aku harus membebaskanmu, Diajeng. Ah, biarlah aku menderita dan mati kalau engkau tega meninggalkan aku, Diajeng Woro Sumarni..." Kakek yang gagah perkasa itu kini tampak berduka dan memandang Wajah isterinya penuh permohonan.
"Tidak, Kakangmas. Aku tidak pernah meninggalkanmu, sampai aku mati...!"
"Diajeng... aduh, baru sekarang aku menyadari betapa kejamnya aku kepadamu. Diajeng, maukah engkau mengampuni aku...? Aku tidak ingin kehilangan engkau, Diajeng, kalau engkau pergi meninggalkan aku, aku tidak akan menghalangi, akan tetapi berarti engkau membunuh aku..."
"Tidak, Kakangmas, tidak...!" Suami isteri itu berangkulan dan bertangisan.
Niken Harni bengong terlongong menyaksikan ini.
"He-he-hi-hi-hik! Bertangis-tangisan...! Alangkah mesranya, betapa mengharukan! Dibya, engkau mengaku kalah?" Nini Bumigarbo bertanya.
Sambil merangkul pinggang isterinya dengan tangan kiri dan membawa isterinya duduk kembali ke kursinya, Dibya Krendasakti menjawab.
"Aku mengaku kalah, Gayatri. Engkau memang hebat sekali. Bahkan aku tahu, apa bila engkau menghendaki, agaknya sudah sejak tadi aku roboh dan tewas di tanganmu."
"Ihh, tidak begitu mudah, Dibya. Engkaulah lawanku yang paling tangguh selama ini, tentu saja di bawah kesaktian Bhagawan Ekadenta. Nah, sekarang engkau mau memenuhi permintaan kami berdua, bukan?"
"Tentu saja, Gayatri!" Dibya Krendasakti lalu bertepuk tangan tiga kali.
Lima orang anak buah laki-laki bermunculan dari pintu. Mereka tadi tidak berani menonton atau mendengarkan, namun tepuk tangan yang nyaring tiga kali ini merupakan perintah panggilan yang harus mereka taati.
"Hayo kalian cepat bawa pergi tengkorak itu dan kuburkan di dalam makam Kunarpo di bukit kecil itu. Kalian sudah tahu dimana makam itu. Kubur baik-baik dan dengan penuh penghormatan..!"
Lima orang murid itu menyanggupi dan mereka lalu membawa tengkorak bersama bakinya keluar dari ruangan itu. Niken Harni melihat betapa kini wajah Woro Surnarni berseri-seri dan tampak semakin cantik. Agaknya kehidupan baru yang gemilang dan bahagia menanti di depannya. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak berseri, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
"Gayatri, Niken Harni, sekarang marilah kita makan minum dahulu, baru nanti kita bicara! Diajeng Woro Sumarni, sekarang tidak periu lagi kita memanggil pelayan. Mereka hanya mengganggu saja. Biar tanganmu sendiri yang melayani aku dan tamu-tamu kita ini."
Woro Sumarni tersenyum dan menyentuh pundak Nini Bumigarbo. "Mbakayu Gayatri, aku sungguh merasa girang sekali bahwa engkau masih ingat kepada kami dan suka dating berkunjung. Terima kasih, Mbakayu, terima kasih. Ternyata kunjunganrnu mendatangkan berkah dan kami berdua merasa mendapatkan hidup baru yang cerah."
"Benar kata isteriku, Gayatri. Kini tidak ada lagi penghalang di antara cinta kami berdua. Semua halangan itu merupakan masa lalu yang sudah kami lupakan semua."
Gayatri tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Aku tetap saja tidak percaya kepada kaum laki-laki. Semua omongan laki-laki terhadap wanita itu gombal belaka, merayu dan mengambil hati, akan tetapi sebetulnya palsu!"
"Akan tetapi suamiku tidak, Mbakayu..."
"Ah, sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi mengenai kepalsuan laki-laki. Hayo kita makan setelah itu baru kita bicara tentang kesanggupan Dibya Krendasakti"
Mereka lalu makan minum dan Niken Harni melihat betapa Woro Surnarni benar-benar tampak gembira dan bahagia, melayani suaminya dengan sikap lembut dan mesra. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak bahagia, terlihat dari sinar matanya yang terang, tidak seperti tadi yang suram mengandung kekerasan. Sehabis makan, Nini Bumigarbo segera mengajak Dibya Krendasakti bicara.
"Aku akan memegang teguh janjiku, Gayatri. Aku sudah kalah dan aku sudah memenuhi permintaan Niken Harni pula, yaitu memberikan kebebasan kepada isteriku. Sekarang kita bicara mengenai permintaanmu agar aku mencuri pusaka Kahuripan, yaitu Cupu Manik Maya."
"Memang seharusnya begitu, Dibya. Lebih dulu perlu engkau ketahui tentang bangunan istana dan di mana pusaka yang ku maksudkan itu di simpan. Nah, dengarkan baik-baik, akan kugambarkan keadaan istana Kahuripan." Nini Bumigarbo lalu memberi penjelasan tentang keadaan Istana Kahnripan, dari mana Dibya Krendasakti dapat masuk tanpa banyak halangan dan di mana pula letaknya Gedung Pusaka. Setelah Nini Bumigarbo selesai memberi keterangan, Ki Dibya Krendasakti mengangguk-angguk.
"Aku sudah paham, Gayatri dan percayalah, aku pasti akan berhasil mencuri pusaka Cupu Manik Maya itu dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan. Akan tetapi sebelum aku pergi memenuhi permintaanmu, aku masih merasa penasaran, Gayatri. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau engkau turun tangan sendiri mengambil pusaka itu, tentu akan dapat kau lakukan dengan mudah. Akan tetapi mengapa engkau malah minta bantuan kepadaku?"
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak bisa turun tangan sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu Erlangga dan Narotama dengan tanganku sendiri. Aku sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta yang melindungi raja dan patihnya itu. Nah, sudah jangan banyak bertanya lagi. Kapan engkau akan berangkat melaksanakan pengambilan pusaka seperti yang sudah kau janjikan itu?"
"Hari ini juga aku berangkat, Gayatri!"
"Kakangmas Dibya, aku ikut. Aku akan membantumu!" kata Woro Surnarni. "Aku dapat membelamu kalau engkau terancam bahaya, Kakangmas. Aku mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah orang yang sakti mandraguna. Aku khawatir engkau akan mengalami bencana. "
"Hiah-ha-ha, waduh, sikapmu ini membuat aku merasa bahagia sekali, Diajeng! Ternyata engkau memang benar-benar mencintaku, siap membelaku. Terima kasih, Diajeng Woro Surnarni, aku berjanji, mulai saat ini juga aku akan lebih mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku! Jangan khawatir. Mencuri pusaka dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku!"
"Dibya Krendasakti, seperti yang telah kukatakan padamu, sesudah kau berhasil mencuri Cupu Manik Maya, benda pusaka itu boleh kau miliki. Aku tidak membutuhkannya. Tentu saja engkau harus menjaganya sendiri dan menghadapi segala akibatnya."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Gayatri."
Nah,... sekarang aku dan Niken akan meninggalkan Nusa Barung, tolong kau sediakan perahu penyeberangan ke daratan."
Dibya Krendasakti memberi perintah kepada anak buahnya. Nini Bumigarbo dan Niken Harni lalu berpamit kepada suami isteri itu, dan tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam sebuah perahu yang didayung oleh dua orang anak buah Nusa Barung dengan cepat…..
********************
Dengan ilmunya berlari cepat yang membuat Puspa Dewi dapat berlari seperti terbang, gadis itu yang mencari adik tirinya, Niken Harni, memasuki daerah Kerajaan Wengker. Ia tahu bahwa daerah itu berbahaya. Di situ terdapat banyak orang sakti. Apa lagi kini yang menjadi adipati adalah Linggajaya, seorang pria yang jahat namun sakti dan yang menjadi satu di antara musuh-musuhnya.
Setelah dulu dalam gerakan persekutuan antara tiga kerajaan kecil yang turut membantu pemberontakan di Kahuripan, dia sudah berbalik membela Kahuripan sehingga dianggap pengkhianat oleh persekutuan. Dia dianggap musuh oleh empat kerajaan itu.
Kerajaan Wengker dengan adipatinya Linggawijaya, Kerajaan Wura-wuri dengan adipati Bhismaprabhawa di mana gurunya, Nyi Dewi Durgakumala, sekarang menjadi permaisuri Wura-wuri. Yang ke tiga adalah Kerajaan Parang Siluman dengan adipatinya Ratu Wanita Durgamala yang memiliki banyak pembantu sakti, di antaranya puteri-puterinya sendiri, Ni Lasmini dan Ni Mandari, dan yang ke empat adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan penguasanya Ratu Mayang Gupita, raksasa wanita yang sakti itu.
Kini dia memasuki wilayah Kerajaan Wengker, sebuah diantara empat kerajaan itu dan Wengker dapat dikatakan sebagai yang terbesar dan terkuat di samping Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi ia tidak merasa gentar. Ia harus dapat menemukan Niken Harni dan kalau perlu ia akan menemui Adipati Linggawijaya sendiri untuk minta agar adiknya itu dibebaskan, seandainya Niken Harni memang tertawan di Wengker.
Kerajaan Wengker adalah sebuah kerajaan yang cukup luas dan di daerah itu memiliki ciri yang khas, yaitu bahwa para penduduknya sebagian besar terdiri dari orang-orang yang pembawaannya kasar dan jarang terdapat wanita cantik. Para prianya kebanyakan tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat, pembawaannya gagah dan keras. Jarang terdapat wanita cantik di antara penduduk Wengker asli.
Karena itu, ketika Puspa Dewi melakukan perjalanan memasuki daerah Wengker, orang-orang yang bertemu dengannya memandang penuh perhatian dan mereka merasa kagum sekali. Tentu saja Puspa Dewi tidak mempedulikan mereka, melainkan langsung saja dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota Kadipaten Wengker.
Pada suatu sore ia tiba di sebuah dusun di tepi sebuah sungai yaitu Kali Ngebel. Dusun Nguter itu merupakan sebuah dusun yang cukup besar karena penduduknya dapat hidup cukup makmur dengan hasil sawah ladang mereka yang subur karena mendapatkan air yang cukup dari Kali Ngebel.
Seperti juga di setiap tempat yang ia lalui, ketika ia memasuki dusun itu pun, orang-orang yang melihatnya, terutama orang-orang lelaki, memandangnya dengan tertarik dan penuh kagum. Mereka jarang melihat wanita secantik Puspa Dewi dan mereka tahu bahwa gadis ini adalah seorang asing karena di antara mereka tidak ada yang mengenalnya.
Namun Puspa Dewi terpaksa menunda perjalanannya. Senja telah mendatang. Ia harus melewatkan malam di tempat ini. Ia tidak ingin ada orang di dusun itu yang mencurigainya sehingga perjalanannya ke kota kadipaten akan mengalami banyak gangguan. Karena itu, ia memilih tempat yang terpencil dan jauh dari perumahan, di pinggir sungai. Akan tetapi perutnya terasa lapar sekali.
Ketika ia berjalan perlahan di tepi sungai, ia melihat berkilatnya kulit ikan yang meluncur di dalam air sungai yang bening itu. Sepasang matanya berkilat, wajahnya berseri-seri. Ada makanan tersedia di dalam air sungai, pikirnya.
Puspa Dewi lalu mencari sebatang ranting pohon dan meruncingi ujungnya. Setelah itu ia lalu berjalan perlahan menyusuri pinggiran Kali Ngebet sambil memperhatikan ke arah air dengan ranting runcing siap di tangan kanan. Tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di depannya. Cepat sekali ranting runcing itu meluncur dan ujungnya yang kecil runcing sudah menembus kepala seekor ikan!
Dengan girang Puspa Dewi mengambil ikan itu dari tongkat runcingnya. Lalu dia mengintai lagi. Sedikitnya ia harus memperoleh tiga ekor ikan untuk dapat mengenyangkan perutnya yang lapar karena ikan itu pun tidak terlalu besar, hanya sebesar pergelangan tangannya. Akan tetapi agaknya gerakan di air ketika ia menangkap seekor ikan tadi membuat ikan-ikan di dekat situ ketakutan. Terpaksa dia harus berjalan terus, mencari ke bagian lain. Akhirnya dia berhasil memperoleh tiga ekor ikan.
Gadis yang sudah biasa melakukan perantauan ini dengan girang lalu membuang isi perut ikan dan memanggang ikan-ikan itu di tepi sungai. Walau pun ikan-ikan itu tidak diberi bumbu, dipanggang begitu saja, namun terasa cukup lezat dan sebentar saja tiga ekor ikan itu tinggal kepala dan tulang saja yang ia lemparkan ke dalam sungai.
Puspa Dewi membersihkan tangan, lalu mencuci muka dan kaki lengannya. Lalu ia mulai mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam itu. Ketika dia sedang mencari-cari tempat untuk mengaso melewatkan malam, mendadak ia mendengar jeritan suara wanita yang datangnya dari dalam hutan kecil di pinggir sungai. Cepat dia melompat dan berlari memasuki hutan kecil itu.
Tidak jauh dia berlari, dia melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sedang menarik-narik lengan seorang wanita muda dan menyeretnya menuju ke sebuah gua yang berada di situ.
"Jangan...! Lepaskan aku, lepaskan...! Tolooongggg...!"
"Ha-ha, tidak ada yang akan mendengarmu. Andaikata ada pun siapa berani mencampuri urusan Drohawisa? Diamlah dan aku tidak akan bertindak kasar terhadap dirimu!"
Tiba-tiba laki-laki tinggi besar itu menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu dia telah memondong tubuh wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu.
"Lepaskan aku...! Lepaskan…! Aku mau menolong suamiku... lepaskan aku, kasihanilah aku... suamiku... ah, engkau telah membunuhnya...!" Wanita itu menangis.
"Ha-ha, Wiyanti, engkau menurut saja padaku dan engkau akan hidup senang. Suamimu berani menentangku, maka kubunuh dia dan kalau engkau selalu menolakku, kau akan kukirim menyusul suamimu juga!"
"Bunuh saja aku! Bunuh...!"
"Ha-ha-ha, sayang kalau dibunuh!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Jahanam busuk!" dan Puspa Dewi telah berdiri menghadang di depan laki-laki yang memondong tubuh wanita itu dan hendak memasuki gua.
Laki-laki yang tadi mengaku bernama Drohawisa itu terkejut dan marah sekali melihat ada orang berani menentangnya. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menghadang dan memakinya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita, dia terbelalak kagum dan segera melepaskan tubuh wanita yang dipondongnya dengan kasar, seperti membuang sebuah benda yang tidak berharga. Wanita itu terbanting jatuh dan mengeluh kesakitan menangis lalu merangkak menjauhi laki-laki itu, duduk bersandar batang pohon dan menangis.
"Wah! Bidadari dari mana datang menemuiku? Cantik sekali engkau. Aduh... beruntung sekali aku hari Ini, mendapatkan seorang bidadari!"
Dahulu, Puspa Dewi adalah seorang gadis yang berwatak keras dan ganas. Hal ini adalah karena selama lima tahun ia digembleng dalam pendidikan Nyi Dewi Durgakumala yang sesat. Dulu, kalau bertemu orang yang dianggapnya musuh, tentu ia akan menurunkan tangan besi dan menghajar orang itu tanpa banyak bertanya lagi.
Akan tetapi semenjak ia mendapat pendidikan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, wataknya berubah banyak. Meski kini ia marah sekail melihat Drohawisa menculik dan hendak memperkosa Wiyanti, namun la menahan diri sebelum mengetahui duduknya perkara. Maka ia tidak mempedulikan ucapan Drohawisa tadi dan menghampiri Wiyanti yang duduk menangis sambil bersandar pada batang pohon itu.
Wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Seperti kebanyakan wanita daerah Wengker, wanita ini pun memiliki bentuk tubuh yang tegap dan besar. Wajahnya termasuk sedang-sedang saja bagi wanita pada umumnya, namun bagi orang-orang Wengker, dia sudah dapat disebut manis dan menarik.
"Mbakayu, ceritakanlah apa yang telah terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."
Dengan terisak-isak Wiyanti menceritakan betapa Drohawisa selalu menggodanya dan membujuk-rayu dirinya. Wiyanti yang sudah bersuami tentu saja menolak dan siang tadi, ketika Drohawisa menggodanya lagi, suami Wiyanti yang bernama Garino pulang dan menegur Drohawisa dengan marah melihat laki-laki itu menggoda isterinya.
Terjadi perkelahian dan Garino dihajar oleh Drohawisa yang tentu saja jauh lebih kuat karena dia adalah seorang jagoan, murid seorang warok muda terkenal yang bernama Wirobento. Drohawisa lalu menangkap dan melarikan Wiyanti, meninggalkan Garino yang roboh pingsan dengan tubuh menderita luka-luka oleh pukulan dan tendangan Drohawisa.
"Demikianlah, Mas Roro... dia membawa aku sampai ke tempat ini... dan aku tidak tahu bagaimana dengan nasib suamiku..."
Wiyanti mengakhiri ceritanya sambil menangis. Mendengar ini, sepasang mata Puspa Dewi mencorong ketika ia membalik dan menghadapi Drohawisa. Ia melihat betapa laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu menyeringai dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu.
"Ha-ha-ha, sekarang juga aku akan membebaskanmu, Wiyanti. Aku tidak membutuhkan engkau lagi. Sepuluh orang seperti engkau pun akan kutukarkan dengan gadis bidadari ini, heh-heh-heh!"
"Jahanam busuk! Orang macam engkau ini tidak pantas hidup di dunia ini!"
"Ha-ha, aku mau hidup di neraka asalkan bersama engkau, perawan denok montok, ayu manis merak ati! Mari kupondong engkau, dewiku!"
Drohawisa adalah seorang hamba nafsu yang selalu melakukan perbuatan apa pun untuk melampiaskan nafsu nafsunya. Tidak ada perbuatan yang dipantangnya dan dia sudah terbiasa memaksakan kehendaknya.
Orang seperti dia itu berwatak sombong dan mengagulkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada semua orang. Kalau bertemu orang yang lebih kuat dia tidak segan untuk merangkak dan menjilat-jilat seperti anjing mencari perhatian, sebaliknya terhadap yang lemah dia selalu menindas dan memandang rendah. Tentu saja dia memandang rendah seorang gadis muda seperti Puspa Dewi.
Setelah berkata demikian, sambil menyeringai dia sudah menubruk maju dengan cepat untuk menangkap gadis yang kecantikannya membuat dia tergila-gila itu. Sudah gatal-gatal tangannya untuk mendekap dan membelai gadis itu. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka dan dari kanan kiri dua tangan itu menyambar ke arah tubuh Puspa Dewi untuk menangkapnya.
Puspa Dewi yang sudah amat marah itu tidak mau memberi hati lagi. Cepat seperti kilat menyambar, kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum dua tangan Drohawisa sempat menyentuhnya, kakinya sudah lebih dulu menghantam perut laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu.
"Syuuutt...! Desss...!"
"Hekk...!"
Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh. Drohawisa menggunakan dua tangan untuk menekan-nekan perutnya yang terasa nyeri dan mulas sekali. Mungkin usus buntunya terkena tendangan kaki Puspa Dewi. Akan tetapi dasar orang sombong, hajaran itu masih belum menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tangguh daripada dia.
Sambil menahan rasa, nyeri dengan kemarahan luar biasa dia bangkit, meringis dan sudah menerjang ke arah Puspa Dewi. Kini terjangannya bukan didorong nafsu berahi untuk merangkul dan mendekap, melainkan didorong nafsu amarah. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Puspa Dewi itu menyambar, agaknya hendak memukul pecah kepala gadis yang tadi membuat dia tergila-gila itu.
Dengan tenang Puspa Dewi menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya yang bergerak dari dalam keluar dan berbareng tangan kanannya dengan jari-jari terbuka memukul ke arah dada lawan.
"Plakk...! Desss...!"
Drohawisa mengeluarkan suara aneh, tubuhnya sekali lagi terjengkang dan dia roboh, terduduk. Dia terengah-engah, sukar bernapas karena dadanya terasa seolah disambar palu godam, membuat napasnya sesak. Juga pergelangan tangan kanannya seolah tadi ditangkis sepotong baja yang membuat lengannya terasa ngilu sampai ke tulangnya.
Hajaran keras ini masih tetap saja belum menembus kebebalan otak Drohawisa, bukan membuat dia sadar bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran sekali, juga malu karena dia telah dirobohkan dua kali oleh seorang gadis muda. Biarpun perutnya masih terasa mulas dan dadanya sesak, dia memaksa diri bangkit dan mencabut sebatang golok yang terselip di pinggangnya. Golok besar itu berkilauan saking tajamnya.
"Perempuan setan, engkau sudah bosan hidup Mampuslah!" bentaknya dan dia sudah melompat ke depan dan menyerang dengan bacokan buas ke arah kepala Puspa Dewi.
Gadis ini maklum bahwa lawannya menyerang untuk membunuhnya. Seorang yang jahat dan kejam, pikirnya dan orang macam ini tidak akan pernah kapok (bertaubat) kalau tidak diberi hajaran yang amat keras. Maka, begitu golok itu menyambar ke arah kepalanya, ia menggeser kaki dan miringkan tubuhnya.
Golok menyambar dari atas, lewat samping tubuhnya dan secepat kilat kedua tangan Puspa Dewi bergerak, yang kiri mengetuk siku kanan lawan dan begitu siku terketuk dan lumpuh sehingga golok terlepas, tangan kanannya sudah merampas golok itu! Demikian cepat peristiwa Itu terjadi sehingga Drohawisa tidak dapat mengerti mengapa goloknya dapat terampas. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat dua kali.
"Crak-crak...!
“Aduhhh...!"
Drohawisa terpelanting roboh dan bangkit duduk, merintih-rintih dan tangan kirinya sibuk menekan lengan kanan yang buntung sebatas pergelangan lalu berpindah ke kaki kiri yang terbabat buntung separuh, sehingga semua jari kaki kiri itu buntung! Darah bercucuran dan laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu merintih dan menangis saking nyeri dan takutnya.
"Manusia jahat dan kejam" Puspa Dewi berkata. "Lain kali kalau engkau tidak mengubah watakmu yang jahat, aku akan membuntungi lehermu!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi menggunakan kedua tangan menekuk dan terdengar suara nyaring ketika golok itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkan ke atas tanah oleh Puspa Dewi.
Drohawisa terbelalak. Demikian kaget dia sehingga sejenak rasa nyerinya hampir tidak terasa lagi. Baru sekarang matanya terbuka dan dia sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sakti mandraguna.
Akan tetapi dasar jahat. Yang timbul dalam hatinya bukan penyesalan dan kesadaran untuk bertaubat, melainkan dendam sakit hati dan dia harus membalas dendam dengan mengerahkan bantuan kawan-kawannya! Dengan susah payah dia bangkit berdiri, memandang gadis itu dengan mata yang masih basah oleh tangis kesakitan tadi.
"Katakan, siapa engkau dan tunggu pembalasanku!" bentaknya.
Puspa Dewi tersenyum. "Setiap saat akan kutunggu pembalasan mu. Nama ku Puspa Dewi."
Wajah Drohawisa berubah pucat dan matanya terbelalak semakin lebar mendengar nama ini dan bagaikan dikejar setan dia lalu melarikan diri, terpincang pincang, terjatuh, merangkak lalu berlari lagi berloncatan dengan sebelah kaki karena kaki kirinya terasa nyeri bukan main kalau dipakai menginjak tanah.
Puspa Dewi tidak mempedulikan lagi laki-laki itu dan menghampiri Wiyanti. Wanita itu kini bangkit dan lari menghampiri Puspa Dewi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah.
"Aduh, terimakasih atas pertolonganmu, Den Roro..."
"Bangkitlah, Mbakayu Wiyanti dan mari kita lihat keadaan suamimu."
Wiyanti lalu berjalan cepat setengah berlari menuju ke sebuah rumah terpencil yang berada di luar hutan itu. Daerah Itu memang masih belum padat penduduknya dan setiap keluarga memiliki tanah pekarangan yang amat luas sehingga jauh dari tetangga. Ketika mereka tiba di rumah Wiyanti, cuaca sudah mulai remang senja.....