-------------------------------
----------------------------
Akan tetapi kekejutan itu sama sekali tak tampak pada wajahnya, juga tidak membuatnya berduka karena ia menyadari sepenuhnya bahwa memang sudah seharusnya demikian. Ketika gurunya menerimanya sebagai murid, gurunya telah mengatakan bahwa dia hanya membimbingnya selama tiga bulan.
"Benar, Eyang. Saya hampir melupakan waktu. Saya hanya mohon doa restu Eyang agar saya akan mampu menerapkan dalam kehidupan saya selanjutnya apa yang telah Eyang ajarkan selama ini."
"Bagus sekali, Puspa Dewi. Sekarang, pada saat terakhir kita berkumpul ini, aku ingin mengajakmu bercakap-cakap tentang kehidupan ini. Kalau ada hal-hal yang merisaukan hatimu dan membuatmu penasaran, tanyakanlah kepadaku, Nini. Aku akan mengajakmu bersama-sama meneliti, mempertimbangkan dan menyelidiki sehingga semua hal itu akan dapat kita mengerti dengan jelas."
Puspa Dewi mengingat-ingat. "Memang banyak hal yang membuat saya merasa penasaran karena saya melihat ketidak-adilan terjadi di mana-mana, Eyang. Saya melihat banyak rakyat, terutama di dusun-dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Wura-wuri, hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah Kerajaan Wura-wuri memungut pajak dan pungutan-pungutan iain yang besar kepada rakyat, menganjurkan rakyat Wura-wuri agar hidup seadanya karena Wura-wuri sedang membangun, yang katanya untuk kepentingan rakyat jelata pula. Akan tetapi apa yang saya lihat di istana Sang Adipati Bhismaprabawa dan juga gedung-gedung para pamong praja yang tinggi kedudukannya, kehidupan mereka serba mewah dan kaya raya. Rakyat tidak ada yang berani memprotes, karena perbuatan ini pasti mengakibatkan dia ditangkap, disiksa dan dihukum dituduh sebagai pemberontak. Eyang, bagaimana bisa terjadi seperti itu?"
Sang Maha Resi Satyadharma menghela napas panjang. "Hal seperti itu selalu terjadi dalam kerajaan yang dipimpin orang-orang yang menjadi budak-budak nafsunya sendiri, Nini. Nafsunya sendiri yang memperbudaknya sehingga dia tidak segan untuk menipu rakyat untuk memperkaya diri sendiri, menggunakan kekuasaannya sehingga sewenang-wenang, menerapkan aji mumpung (selagi ada kesempatan), menganggap diri sendiri yang paling berkuasa, lupa bahwa ada Yang Maha Kuasa yang menyaksikan setiap kejahatannya yang terselubung sikap manis membujuk-bujuk itu. Lupa hahwa harta dan kekuasaan itu hanya merupakan embel-embel sementara saja, sewaktu-waktu harta dan kekuasaan akan meninggalkannya atau dia yang akan meninggalkan harta dan kekuasaan itu dan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di depan Sang Hyang Widhi yang Maha Adil dan Maha Kuasa."
"Akan tetapi, Eyang. Mereka itu, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, adalah orang-orang pandai! Bahkan saya melihat banyak orang-orang yang mengaku dirinya sebagai pendeta dan pertapa, ahli-ahli pengetahuan, ahli-ahli agama, melakukan banyak perbuatan yang buruk dan jahat. Tidak mungkin kalau mereka itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka itu jahat. Bagaimana ini, Eyang?"
"Itulah kuatnya pengaruh nafsu daya rendah, Nini. Nafsu jauh lebih kuat daripada pengetahuan. Hal ini sudah terbukti di mana-mana. Bahkan di jaman dahulu, dalam cerita Ramayana, yang bernama Sang Prabu Rahwana atau Dasamuka itu adalah seorang maharaja yang juga terkenal sebagai ahli weda, pengetahuannya tentang agama sudah lengkap. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang yang jahat dan kejam. Apakah dia tidak tahu bahwa segala kekejamannya itu berdosa dan jahat, berlawanan dengan pelajaran dalam kitab-kitab Weda? Tentu saja dia tahu! Juga buktinya di jaman sekarang, apakah para pamong praja yang melakukan pemerasan, kesewenang-wenangan dan pencurian harta itu tidak tahu bahwa perbuatan mereka jahat? Apakah para maling tidak tahu bahwa mendiri itu jahat? mereka semua itu tahu belaka, akan tetapi nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran mereka. Nafsu memberi iming-iming (umpan penarik) berupa kesenangan, yang enak-enak dan kenikmatan sehingga manusia tidak kuasa melawan kuasa daya rendah yang digerakkan iblis itu. Bahkan nafsu daya rendah dengan pandainya menjadi pembela dan membenarkan semua perbuatan jahat itu dengan alasan-alasan yang kedengarannya masuk akal."
"Waduh, kalau begitu bagaimana baiknya bagi manusia untuk dapat menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah, Eyang?"
"Ha-ha-ha, menghindarkan diri dan mematikan nafsu daya rendah? Tidak mungkin, Puspa Dewi! Nafsu-nafsu daya rendah itu sudah disertakan kepada kita sejak kita lahir! Nafsu merupakan abdi yang melayani kehidupan kita di dunia ini, yang mendatangkan segala keindahan pada panca indera kita, mendatangkan segala kenikmatan hidup sehingga kita dapat bersyukur dan selalu Ingat akan Kasih-sayang Sang Hyang Widhi kepada kita. Akan tetapi, justeru pelayan kita yang amat berguna bagi hidup kita itu akan menjadi sumber kesesatan yang akan menyeret kita ke dalam dosa kalau Iblis mempergunakannya. Karena ingin mengejar kesenangan yang dijadikan umpan oleh Iblis, kita menjadi lemah dan diperbudak oleh nafsu kita sendiri. Citalah yang menjadi budak dan melakukan apa pun juga demi memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar. Nafsu adalah sebagian dari diri kita, tidak mungkin kita hindarkan atau matikan. Nafsu harus tetap menduduki tempatnya yang semula dan wajar- yaitu menjadi pelayan kita, barulah kehidupan kita dapat sesuai dengan kehendak Sang Hyang Widhi, yaitu berusaha untuk menyejahterakan dunia, bukan menyejahterakan diri pribadi, si-aku dan keluargaku, sahabatku, golonganku dan segala yang berbuntut dengan 'ku' lainnya."
"Lalu, apakah dalam kehidupan ini kita tidak boleh merasakan kesenangan... Eyang?"
"Tentu saja boleh! Kesenangan itu merupakan berkat dari Sang Hyang Widhi. Sudah sejak lahir kesenangan itu dianugerahkan kepada kita, melalui panca indra kita dan diterima oleh hati sehingga kita merasa senang. Kesenangan yang wajar datangnya kita terima dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi rasa kesenangan itu. Akan tetapi kalau kita sudah mengejar-ngejarnya karena diiming-imingi rasa serba enak dan nikmat, kita terperangkap ke dalam jebakan iblis. Untuk mengejar kesenangan kita lalu menggunakan segala macam cara, tidak memakai lagi pertimbangan dan tidak sungkan melakukan kejahatan yang merugikan orang lain."
"Akan tetapi bagaimana caranya untuk dapat menundukkan nafsu daya rendah sehingga tetap menjadi pelayan kita dan tidak menjadi majikan kita, Eyang?"
"Dengan hati akal pikiran, akan teramat sulit untuk dapat menundukkan nafsu. Akan tetapi dengan berserah diri lahir batin sepenuhnya kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Sang Maha Pencipta yang juga menciptakan nafsu daya rendah sebagai peserta kita, maka seperti juga Raden Werkudara yang membuka pintu hatinya dan membiarkan Sang Dewaruci (Roh Suci) bertahta dalam dirinya, maka kita akan dibimbingnya dan dengan sendirinya nafsu daya rendah akan tunduk dan menduduki tempatnya yang semula, yaitu menjadi hamba manusia."
"Terima kasih atas semua petunjuk Eyang... Akan tetapi ada satu hal lagi yang ingin saya ketahui, Eyang. Bagaimana caranya agar rakyat jelata hidup makmur?"
"Satu-satunya syarat agar rakyat dapat hidup sejahtera adalah mutu para pemimpinnya. Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama telah menaati semua petunjukku. Mereka adalah pemimpin Kerajaan Kahuripan yang bijaksana. Kalau rajanya bijaksana, pamong-pamongnya tentu juga mengikuti tauladannya. Seorang raja dapat menjadi raja karena dipilih rakyatnya. Tanpa rakyat, apa artinya raja, apa artinya penguasa? Karena itu, seorang pemimpin harus menjadi suri tauladan. Kalau dia bijaksana, bawahannya pasti tidak berani melakukan penyelewengan karena raja tentu akan bertindak menghukumnya. Akan tetapi kalau rajanya sendiri menyeleweng, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Raja yang bijaksana otomatis membuat para pamong menjadi bijaksana pula dan kebijaksanaannya itu juga dapat mengatur sehingga kehidupan rakyat menjadi sejahtera."
"Kalau begitu, tidak ada lagi golongan rakyat yang kaya raya berlebihan dan tidak ada yang melarat dan miskin sekali, Eyang?"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja bukan begitu, Puspa Dewi. Sudah semestinya ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang berhasil dalam usahanya yang jujur dan wajar sehingga menjadi kaya dan ada pula yang kurang berhasil. Akan tetapi kalau para pemimpin pandai mengatur, tidak akan ada rakyat yang demikian melaratnya sehingga tidak mendapatkan sandang pangan papan yang layak. Yang kaya harus mengangkat keadaan yang miskin dan mempergunakan modalnya untuk membuka lapangan kerja, membagikan sebagian keuntungannya kepada karyawannya sebagai imbalan karena itu merupakan hak mereka, adapun yang tidak kaya dan menjadi karyawan dapat menyumbangkan tenaga dan ketrampilannya untuk bekerja dengan jujur dan setia sehingga apa yang diusahakan dari perpaduan ini akan mengalami kemajuan untuk keuntungan mereka bersama. Kerajaan, seperti yang dilakukan Sang Prabu Erlangga, harus mengerahkan segala kemampuan untuk berbuat atas dasar kebenaran dan keadilan, mengangkat mereka yang lemah, membagi kesejahteraan secara adil sehingga semua orang merasa diperlakukan dengan adil dan akibatnya, seluruh rakyat mendukung pemerintah raja itu. Karena itu, bagi sebuah kerajaan, yang paling penting dan harus diutamakan adalah pembangunan watak dan budi pekertinya, terutama di kalangan para pamong prajanya. Kalau watak dan budi pekerti mereka sudah sehat, pembangunan apa pun juga yang dilakukan pemerintah, pasti akan berjalan mulus dan baik tanpa ada gangguan. Mengertikah engkau, Puspa Dewi?"
Akan tetapi, semua orang percaya akan Sang Hyang Widhi Wasa, semua orang beragama, akan tetapi mengapa begitu banyaknya orang yang mengaku beragama masih melakukan kejahatan, Eyang?"
"Itulah, Nini, yang memprihatinkan. Agama hanya menjadi bahan pemikiran dan perdebatan belaka, hanya sampai dan berhenti di pikiran, tidak menyentuh jiwa. Bukan orang beragama yang melakukan kejahatan, akan tetapi pelaku kejahatan itu adalah seorang penjahat yang mengaku beragama. Kalau dia benar-benar beragama, menaati semua petunjuk agamanya, sudah pasti dia tidak akan melakukan kejahatan karena hal itu dilarang oleh agamanya. Maka, seperti telah kau rasakan sendiri setelah engkau membuka pintu hatimu dan membiarkan Kekuasaan Hyang Widhi memasuki sanubarimu, jiwamu terbimbing dan otomatis nafsu daya rendah akan tetap menjadi peserta dan pelayan. Nah, kurasa sudah cukup jelas bagimu. Kini sudah tiba saatnya kita berpisah, Puspa Dewi."
"Sekarang, Eyang? Bukankah besok pagi..."
"Tidak, sekarang juga, Nini. Sudah tiba saatnya aku harus pergi. Jaga dirimu baik-baik." Kakek itu lalu bangkit berdiri.
Sebelum Puspa Dewi sempat bicara lagi, Sang Maha Resi Satyadharma berkata, "Selamat tinggal dan selamat berpisah, Nini...!"
Dan tiba-tiba ada halimun putih yang menyelimuti tubuhnya sehingga dia tidak tampak lagi. Ketika halimun itu melayang seperti terbawa angin malam, kakek itu sudah tidak berada di situ lagi. Dengan hati terharu Puspa Dewi lalu menyembah penuh khidmat dan berbisik, "Eyang Guru, selamat jalan dan banyak terima kasih saya haturkan..."
Puspa Dewi menghormati kepergian gurunya itu dengan duduk bersamadhi di situ sampai keesokan harinya. Barulah ia membersihkan badan di pancuran, berganti pakaian lalu membawa buntalan pakaiannya dan meninggalkan gua itu, meninggalkan semua kenangan selama tiga bulan hidup bersama Sang Maha Resi Satyadharma di gua itu…..
********************
Pemuda itu berjalan dengan santai mendaki Gunung Arjuna. Usianya sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya sederhana namun ada sesuatu yang menarik hati dan menimbulkan rasa suka pada orang yang memandangnya. Mungkin sinar mata yang lembut dan senyumnya yang ramah penuh kesabaran itulah yang membuat orang tertarik. Tidak tampan seperti Arjuna, akan tetapi juga tidak buruk. Kulitnya agak gelap akan tetapi bersih. Tubuhnya sedang namun tegap dan jalannya tegak, lenggangnya seperti seekor harimau.
Pemuda ini adalah Nurseta. Dia mendaki gunung itu karena tertarik akan keindahannya dan ingin sekali menikmati keindahan alam pegunungan itu. Dia berjalan perlahan sambil mengenang semua pengalaman hidupnya yang penuh liku-liku.
Ketika kecil dia tinggal di dusun Karang Tirta bersama Ayah Ibunya. Akan tetapi, ketika dia berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan dia hidup seorang diri di dusun Karang Tirta. Dia hidup sebagai kacung dan pelayan pada Lurah dusun Karang Tirta itu, baru kemudian dia ketahui Ki Lurah itu jahat dan curang. Semua harta peninggalan orang tuanya diambil lurah itu.
Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, dia diambil murid oleh seorang pertapa yang amat sakti, yaitu Empu Dewamurti dan diajak ke lereng Gunung Arjuna yang kini dia daki. Selain ingin menikmati keindahan alam, dia pun mengunjungi bekas tempat dia tinggal menjadi murid Empu Dewamurti selama kurang lebih lima tahun.
Nurseta melanjutkan kenangannya. Setelah Empu Dewamurti wafat karena luka-luka setelah dikeroyok tiga orang datuk senopati Wura-wuri bernama Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik dan Kala Teja, bersama Resi Bajrasakti datuk Kerajaan Wengker, dan Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dia memperabukan jenazah gurunya dan menyebarkan abunya di permukaan lereng Gunung Arjuna seperti yang dipesan gurunya sebelum wafat.
Akan tetapi gurunya itu wanti-wanti (dengan tegas) meninggalkan pesan kepadanya agar dia jangan membalas dendam kepada orang-orang dari kerajaan itu. Tentu saja dia boleh membela Kahuripan dan menentang tiga kerajaan itu kalau mereka mengganggu Kahuripan dan boleh menentang mereka, akan tetapi tidak berdasar balas dendam.
Setelah itu dia mengalami banyak suka duka dalam hidupnya, membela Kahuripan dan mengembalikan Keris Pusaka Megatantra, yang dia temukan di tegal Karang Tirta, kepada Sang Prabu Erlangga yang berhak karena keris itu adalah keris pusaka Mataram. Dia juga membela Kahuripan dari pengeroyokan kerajaan-kcrajaan kecil yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama sehingga semua pemberontak dan sekutunya dapat dipukul mundur.
Dia telah bertemu dengan Senopati Sindukerta di kota raja. Senopati ini adalah kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Endang Sawitri. Ternyata dahulu, Senopati Sindukerta tidak setuju kalau puterinya itu menjadi isteri Dharmaguna, seorang sastrawan putera seorang pendeta miskin. Akan tetapi karena sudah saling mencinta, Endang Sawitri dan Dharmaguna melarikan diri berdua.
Senopati Sindukerta menyuruh para prajurit mencari, namun tidak berhasil. Akhirnya suami isteri itu mempunyai seorang anak, yaitu dirinya. Mereka masih terus berpindah-pindah dalam pelarian mereka sampai akhirnya bersama Nurseta mereka tinggal di dusun Karang Tirta sampai dia berusia sepuluh tahun. Setelah dia menjadi dewasa dan menyelidiki, dia tahu bahwa orang tuanya pergi meninggalkan dia karena mereka dilaporkan oleh Ki Lurah Suramenggala yang jahat. Dia mendengar semua itu dari kakeknya, Senopati Sindukerta.
Kini dia melakukan perjalanan untuk mencari ayah ibunya yang melarikan diri. Berbulan-bulan dia merantau, namun belum juga dia dapat menemukan mereka. Pada pagi hari ini, ketika lewat di kaki Gunung Arjuna, dia melihat pemandangan yang indah lalu teringat kepada mendiang Empu Dewamurti.
Maka dia lalu mendaki gunung itu dengan santai sambil menikmati pemandangan alam yang dilewatinya. Tentu saja dia masih ingat akan jalan pendakian yang paling mudah karena dia sudah hafal. Selama lima tahun dia tinggal di lereng gunung itu dan seringkali naik turun melalui jalan pendakian itu.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara melengking nyaring. Suara itu demikian tajam dan kuatnya sehingga dia harus cepat mengerahkan tenaga saktinya karena suara itu menyerang pendengarannya dan langsung menyerang jantung! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa siapa pun orangnya yang mengeluarkan lengkingan yang membawa getaran sehebat itu, tentu seorang sakti mandraguna! Dia lalu berlompatan mendaki lereng Gunung Arjuna, ke arah suara melengking yang mengeluarkan gaung panjang seolah suara setan penunggu jurang menyambut lengkingan tadi.
Karena dia mempergunakan Aji Bayu Sakti, maka tubuhnya seolah melayang cepat sekali dan tak lama kemudian dia sudah mendekam di balik semak-semak memandang ke depan dengan jantung berdebar. Di depannya terbentang lapangan rumput yang landai dan di sana dia melihat dua orang saling berhadapan. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu berusia sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya masih memperlihatkan bekas ketampanannya.
Jenggotnya panjang dan pakaiannya yang hanya kain putih dibelit-belitkan di tubuhnya itu menunjukkan bahwa dia seorang pertapa atau seorang pendeta. Gerak-geriknya lembut dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi pada saat itu, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat yang ditujukan kepada nenek yang berdiri di depannya dengan jarak kurang lebih lima tombak.
Nurseta kini memandang ke arah nenek itu. Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih tampak cantik, rambutnya panjang dan masih hitam, agak berombak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Mulut yang bibirnya masih merah itu tersenyum mengejek matanya mencorong liar. Pakaiannya serba hitam! Tiba-tiba nenek itu membuka mulut dan terdengarlah lengkingan yang tinggi dan dahsyat sekali. Nurseta yang bersembunyi sejauh sepuluh tombak itu merasa jantungnya terguncang biarpun dia sudah melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga saktinya.
Akan tetapi kakek berpakaian putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh walau pun lengkingan itu merupakan serangan hebat yang langsung diarahkan kepadanya. Dia malah tersenyum dan setelah suara melengking itu berhenti, tinggal gaungnya saja yang menggema di bawah sana, kakek itu berkata, suaranya lembut namun dapat terdengar jelas oleh Nurseta.
"Sudahlah, Gayatri, mengapa selama puluhan tahun engkau masih memelihara kebencian di dalam hatimu? Mengapa engkau membiarkan racun dendam itu merusak batinmu? Sadarlah bahwa kekuatan Setan bagaimana pun hebatnya tidak akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Pertentangan antara yang benar dan yang salah akhirnya akan dimenangkan oleh yang benar karena Sang Hyang Widhi selalu membimbing mereka yang benar. Sadar dan bertaubatlah, Ga-yatri, dan aku yakin bahwa Yang Maha Kasih dan Maha Pengampun tentu akan mengampuni dan membimbingmu ke arah jalan yang benar."
"Ekadenta manusia sombong! Jangan mengira bahwa setelah aku kalah dahulu itu, aku tidak berani lagi menantangmu. Selama ini aku terus memperdalam ajianku dan sekali ini aku pasti akan dapat menebus semua kekalahanku yang sudah-sudah."
"Gayatri, semangatmu itu memang mengagumkan. Engkau tidak pernah menyerah dan putus asa. Alangkah baiknya kalau semua orang memiliki semangat seperti yang kau miliki. Hanya sayang sekali, Gayatri, semangatmu itu kau pergunakan untuk tekadmu untuk membalas dendam yang merupakan keangkara-murkaan!"
"Tidak perlu memberi wejangan padaku, Ekadenta! Sekarang dengar omonganku. Aku tidak akan melanggar janjiku yang dulu, yaitu aku pribadi tidak akan mengganggu Erlangga dan Narotama kalau aku kalah olehmu. Sebaliknya kalau engkau yang kalah, aku dapat melakukan apa saja sesuka hatiku!"
"Hemm, engkau tidak akan dapat menang, Gayatri, karena nafsu dendam kemarahanmu meracuni dirimu sendiri dan membuatmu lemah."
"Andaikata aku kalah juga, aku masih dapat melampiaskan dendamku kepada Erlangga dan Narotama, dua orang murid Resi Satyadharma itu! Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepada para pimpinan Kerajaan Wengker, aku akan membentuk pasukan siluman yang akan menghancurkan Kahuripan!"
"Engkau boleh mencobanya, Gayatri. Engkau tidak akan dapat mengubah apa yang telah digariskan Sang Hyang Widhi Wasa. Engkau akan menyesal kelak. Sadar dan bertaubatlah, Gayatri, aku dengan senang hati akan membimbingmu dan menemanimu."
"Tidak! Kecuali kalau engkau mau mengambil aku sebagai isterimu..."
"Gayatri, mengapa engkau masih menginginkan hal itu? Kita bukan orang muda lagi."
"Huh, engkau selalu saja menolak, karena itu sebelum dendamku kepada murid-murid Resi Satyadharma terlaksana, aku akan selalu hidup dalam penasaran."
"Sekali lagi, sadarlah, Gayatri. Yakinlah bahwa kasih sayangku kepadamu tidak pernah hilang."
"Kalau begitu mengapa engkau tidak mau menjadi suamiku?"
"Bukan, bukan itu, Gayatri. Cintaku kepadamu tidak dikotori nafsu."
"Huh, itulah yang diajarkan oleh Resi Satyadharma sehingga engkau menolak menikah denganku. Sudahlah, sambut ini, Ekadenta!"
Nenek itu mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan. Kedua tangannya dijulurkan ke arah kakek itu dan dari kedua telapak tangan nenek itu meluncur sinar yang membawa bola-bola api menyerang kakek itu.
Nurseta yang menonton sambil bersembunyi di balik semak belukar, terbelalak. Bukan main Serangan seperti itu hanya dapat dilakukan orang yang sudah memiliki tenaga sakti yang tinggi sekali! Dia melihat kakek itu masih berdiri tenang dan tersenyum. Setelah bola-bola api itu meluncur dekat, dia pun menjulurkan kedua tangannya dan dari telapak tangan kakek itu berkelebat sinar putih yang menyambar ke arah bola-bola api dalam sinar merah itu.
"Darrr...! Darrr...!"
Dua bola api itu meledak dan padam, sedangkan sinar merah itu terpental ke belakang dan kembali menghilang ke telapak tangan nenek itu. Sinar putih juga berkelebat pulang ke telapak tangan kakek itu. Nenek itu mengeluarkan teriakan melengking dan ia menggerak-gerakkan lagi kedua tangannya yang didorong ke arah kakek itu. Kini bukan bola-bola api yang keluar, melainkan asap hitam bergulung-gulung menyerbu ke arah kakek itu.
Nurseta cepat menutup hidungnya dengan tangan karena dia mencium bau yang amat keras, amis dan tajam menusuk hidung, bau yang keluar dari asap hitam itu sehingga dia tahu bahwa asap itu malah lebih berbahaya daripada bola-bola api yang membakar itu. Asap hitam ini mengandung racun yang ganas!
"Shanti-shanti-shanti! Segala macam ilmu sesat kau pelajari, Gayatri. Sungguh sayang!"
Kakek itu berkata lalu kembali kedua tangannya mendorong ke depan dan dari telapak tangannya kini menyambar asap putih. Terjadi "pertempuran" antara asap hitam dan asap putih. Dorong-mendorong sehingga sebentar asap putih terdorong akan tetapi segera asap hitam yang berbalik terdorong. Akhirnya, asap hitam terdorong terus sampai kembali ke telapak tangan nenek itu. Sebelum asap hitam yang mendorong itu menyentuh Si Nenek, kakek itu telah menyimpan kembali asap putih.
"Sudahlah, Gayatri, untuk apa semua ini kita lakukan? Hanya akan menjadi buah tertawaan anak-anak saja." Kata kakek itu membujuk dengan suara halus, sama sekali tidak marah atau mengejek. Bahkan suaranya mengandung penuh kasih sayang seperti seorang kakak terhadap adiknya.
"Aku belum kalah" Nenek itu membentak galak, matanya mencorong liar. la lalu bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada) dan memejamkan kedua matanya, alisnya berkerut dan mukanya ditundukkan, mulutnya berkemak kemik membaca mantera.
Nurseta menonton dengan jantung berdebar-debar. Tanpa disangka-sangka, dia diam-diam telah menjadi saksi pertandingan adu kesaktian dari dua orang yang benar-benar sakti mandraguna. Kini dia melihat ada uap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala nenek itu. Uap itu menjadi semakin tebal dan menjadi sebuah bentuk, makin lama semakin jelas dan uap itu kini menjadi seekor harimau yang besar. Harimau jadi-jadian itu mengaum dan menubruk ke arah kakek itu.
Kakek yang bernama Bhagawan Ekadenta itu juga melipat kedua lengannya ke depan dada, memejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih yang tidak membentuk apa-apa hanya menjadi seperti segumpal awan menyambut tubrukan harimau hitam itu. Binatang jadi-jadian itu menggereng seperti kesakitan, masih mencoba untuk menggigit, mencakar dan menubruk, namun sia-sia karena selalu terpental ke belakang. Akhirnya harimau hitam itu kembali menjadi asap.
Kini nenek yang bernama Gayatri, yang sesungguhnya setelah tua kini disebut Nini Bumigarbo, membaca mantram dengan suara agak keras dan uap hitam itu kini membentuk seekor naga yang hitam dan amat menyeramkan bagi Nurseta yang menontonnya. Naga hitam itu sepasang matanya seperti sinar menyilaukan, moncongnya terbuka dan menyemburkan api bernyala-nyala!
"Om, shanti-shanti-shanti! Nirboyo sedyo rahayu! Kembalilah ke asalmu'" Bhagawan Ekadenta berkata lirih dan uap putih itu menyambar ke depan.
Terjadi pertempuran yang lebih dahsyat dari tadi. Agaknya ilmu sihir menjadikan naga ini lebih kuat daripada harimau tadi. Nenek Bumigarbo dapat bertahan lebih lama sehingga sempat Bhagawan Ekadenta berkeringat pada dahinya. Akan tetapi ketika dia meniup dengan mulutnya ke arah naga jadi-jadian ini, seolah uap seperti mega putih itu menjadi lebih kuat dan naga jadi-jadian itu pun terpukul dan lenyap. Nenek Bumigarbo terengah-engah dan tampak marah sekali sehingga wajah yang tadinya masih tampak cantik itu kini menjadi menyeramkan. Matanya berkilat, cuping hidungnya kembang kempis, mulutnya agak terbuka dan menyeringai.
"Gayatri, mari kita sudahi saja main-main yang tidak ada gunanya ini." kata Bhagawan Ekadenta.
Akan tetapi nenek itu agaknya semakin penasaran. Ia mengeluarkan teriakan melengking-lengking dan disusul pembacaan mantram dan begitu ada asap hitam mengepul, nenek yang cantik itu berubah menjadi seorang raksasa wanita yang amat mengerikan. Ia telah berubah menjadi Leak!
Matanya merah mencorong dan melotot, giginya bertaring dan taringnya menonjol keluar, lidahnya terjulur keluar dari mulutnya, panjang dan merah, menetes-neteskan air liur, payudaranya panjang bergantungan, kedua tangan dan kedua kakinya berkuku panjang. Sungguh, baru melihatnya saja orang biasa dapat jatuh pingsan saking takut dan ngerinya.
Nurseta yang mengintai, terbelalak dan dia bergidik ketika mencium bau dupa yang wanginya memuakkan, seperti bunga-bunga yang mulai membusuk. Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan gemuruh, Leak itu menerjang Bhagawan Ekadema! Amat cepat dan ganas gerakannya ketika menyerang. Akan tetapi Sang Bhagawan tetap tenang dan dengan gerakan halus dia dapat menghindarkan diri dari setiap serangan.
"Gayatri, sudahlah, aku sungguh tidak ingin menyakitimu!" beberapa kali Bhagawan Ekadenta berseru dengan suara memohon. Namun, Leak itu menyerang semakin ganas.
Nurseta menonton dengan hati tegang dan hampir tak pernah berkedip saking kagumnya. Belum pernah dia menyaksikan pertandingan aji kesaktian sehebat ini. Dia sendiri tidak takut andaikata menghadapi nenek itu, akan tetapi dia ragu apakah dia akan mampu menandinginya. Nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan berbahaya sekali. Akan tetapi kakek itu lebih hebat lagi, dan dia merasa amat kagum sungguhpun tidak merasa heran karena kini dia mengetahui bahwa kakek dan nenek ini agaknya masih ada hubungan persaudaraan seperguruan, maka tentu saja memiliki aji kesaktian yang luar biasa.
Kini dua orang tua itu bertanding dengan seru. Gerakan mereka makin lama semakin cepat sehingga yang tampak kini hanya bayangan hitam dan putih yang saling sambar.
"Maafkan aku, Gayatri!" terdengar suara kakek itu.
"Auhh...!" Nenek itu menjerit dan terhuyung ke belakang.
Agaknya ia terkena tamparan tangan kakek itu. Akan tetapi kabut hitam menyelubungi tubuhnya dan ketika kabut itu lenyap, nenek itu pun sudah tidak ada lagi. Bhagawan Ekadenta berhenti bergerak, menghela napas panjang tiga kali lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah semak belukar dan berkata lembut namun dengan nada memerintah. "Keluarlah Andika dari balik semak!"
Nurseta tidak terkejut. Orang yang demikian sakti mandraguna, tidaklah mengherankan kalau dapat mengetahui bahwa ada orang bersembunyi di balik semak-semak. Maka dia pun cepat keluar dari balik semak-semak, menghampiri kakek itu dan langsung dia berjongkok dan menyembah depan kaki Bhagawan Ekadenta.....