“Tadinya kukira engkau pasti turun tangan membunuh diriku, tak tahunya engkau malah menolongku, bahkan tanpa tedeng aling-aling engkau membeberkan rahasia pribadi istrimu padaku. Kini, setelah kupandang engkau sebagai sahabat, engkau malah turun tangan keji mengerjai diriku. Kejadian demikian, bila tidak kualami sendiri, sungguh sukar untuk dipercaya.”
Akhirnya Pek San-kun tertawa terpingkal-pingkal, katanya kemudian dengan napas memburu, “Karena sahabat ingin tahu, terpaksa harus kukatakan terus terang. Apa yang kulakukan ini hanya ada suatu sebab.”
“Mohon memberi penjelasan,” pinta Bu-koat.
“Bila mana sahabat adalah orang lain, bukan saja engkau takkan kubikin susah, bahkan pasti akan kuantar pergi dengan hormat. Tapi setelah diketahui sahabat adalah anak murid Ih-hoa-kiong, maka persoalannya menjadi lain.”
“Mengapa menjadi lain?” tanya Bu-koat.
Pek San-kun menatapnya lekat-lekat sejenak, kemudian baru berkata pula, “Apakah betul sampai saat ini kau belum mengetahui siapa diriku ini?”
“Memang pengalamanku terlalu dangkal,” jawab Bu-koat.
“O, maklum juga, anak murid Ih-hoa-kiong dengan sendirinya takkan memperhatikan gerak-gerik orang Kangouw,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. “Tapi nama ‘Cap ji-she-shio’ masakah tak pernah kau dengar?”
“Aha, memang betul,” seru Bu-koat, baru sekarang ia menyadari duduk perkaranya, “Hou (harimau) alias San-kun, pantas engkau menamakan dirinya sendiri harimau serta memelihara harimau sebagai penjaga. Be (kuda) adalah istri harimau, pantas pula istrimu tidak mau menjadi manusia dan lebih suka menjadi kuda.”
“Hah, meski pengalamanmu tidak luas, tapi pengetahuanmu cukup banyak juga,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung pula dengan menarik muka, “Sekarang setelah kau tahu siapa diriku, tentunya kau tahu pula aku ini salah seorang dari Cap-ji-she-shio dan merupakan musuh bebuyutan Ih-hoa-kiong. Kini kau jatuh dalam cengkeramanku, masa kau tidak takut?”
Namun Bu-koat tetap tenang saja, jawabnya acuh, “Bila mana engkau mau membunuh diriku, tentu engkau tadi takkan menolong aku, jika tadi engkau menolong aku, kuyakin engkau pasti mengharapkan sesuatu dariku. Kalau engkau mengharapkan sesuatu dariku, lalu apa yang perlu kutakuti pula?”
Kembali Pek San-kun bergelak tertawa, katanya, “Sungguh tak tersangka mendadak kau menjadi begini pintar.” Habis tertawa, mendadak ia menarik muka dan berkata pula, “Memang betul juga, aku memang mengharapkan sesuatu darimu, yakni asalkan kau menerangkan rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, maka segera akan kubebaskanmu, bahkan apa yang kau pinta pasti akan kupenuhi.”
Mendadak Hoa Bu-koat juga bergelak tertawa, ucapnya, “Apabila engkau mengira rahasia Ih-hoa-ciap-giok dapat diperoleh dengan semudah ini, maka jelas engkau pasti akan kecewa.”
Pek San-kun jadi kurang senang, katanya, “Memangnya kau berani menolak?”
“Untuk membuat orang membuka mulut memang banyak caranya di dunia ini,” ujar Bu-koat dengan tenang-tenang saja. “Ada yang mengancamnya dengan kematian, ada yang memaksa pengakuannya dengan penyiksaan, ada pula memancingnya dengan harta atau perempuan. Nah, boleh engkau mencobanya saja, lihat nanti apakah Cayhe akan buka mulut atau tidak.”
Pek San-kun terdiam sejenak. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kutahu cara-cara ini tak dapat membuka mulutmu, apabila mengenai rahasia lain, bisa jadi dapat kubikin kau mengaku, tapi Ih-hoa-ciap-giok adalah ilmu perguruanmu yang khas, umpama kau membeberkannya dan kulepaskan kau, mungkin juga kau sendiri takkan hidup lama lagi, betul tidak?”
Ucapan yang sama sekali berbeda dari pada maksudnya semula ini membuat Hoa Bu-koat menjadi heran. “Jika demikian, lalu bagaimana kehendakmu?” tanyanya.
“Karena aku tak berdaya, maka aku pun tidak ingin membuang tenaga percuma,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. “Tampaknya terpaksa aku harus pergi saja dan habis perkara. Jika kau ingin tetap tinggal di sini, ya silakan tinggal saja. Bila ingin pergi, boleh juga, takkan kularang. Bila kau memerlukan aku, cukup kau berteriak saja dan segera aku akan datang.”
Habis berkata, dia benar-benar melangkah pergi begitu saja.
Tentu hal ini di luar dugaan Bu-koat, seketika ia menjadi bingung malah.
Dilihatnya ketika sampai di ambang pintu, tiba-tiba Pek San-kun menoleh dan berkata pula dengan tertawa, “Tapi kau pun jangan lupa, jangan sekali-kali kau melangkah lebih dari 50 tindak, kalau tidak, mati dengan tertawa kukira tidak enak rasanya, bahkan jauh lebih tersiksa dari pada mati dengan cara lain.”
Rumah yang tidak besar dan juga tidak kecil ini hanya ada sebuah pintu. Bu-koat menyaksikan Pek San-kun keluar melalui pintu satu-satunya ini. Mestinya dia dapat ikut keluar, tapi dia hanya melenggong di situ saja tanpa bergerak.
Ia tahu apa yang diucapkan Pek San-kun bukan gertakan belaka, meski dia dapat keluar, tapi ia pun tidak berani bertaruh dengan jiwanya sendiri, yakni bertaruh apakah dirinya mampu melangkah lebih jauh dari pada 50 tindak.
Bukannya takut mati, dia cuma merasa hidupnya jauh lebih berguna dari pada mati konyol, kalau keadaan belum perlu mengorbankan kematiannya, untuk apa dia harus bertaruh dengan jiwanya sendiri.
Dalam keadaan begini, kalau bisa berusaha hidup terus barulah orang yang benar-benar punya keberanian, sebaliknya jika ingin mati dan habis perkara, maka orang demikian adalah bodoh, pengecut.
Maklum, hidup terkadang memang jauh lebih sulit dari pada mati, orang hidup harus berjuang, harus mempunyai tekad dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk itu diperlukan keberanian penuh.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang keras dan berjangkitnya angin berbau amis, sinar lampu bergoyang-goyang seakan padam. Saat lain tertampaklah harimau loreng itu telah muncul di ruangan situ. Harimau itu kini sudah kembali pada kegarangannya semula. Langkahnya kelihatan lambat-lambat, tapi membawa perbawa sebagai raja hutan yang menakutkan.
Dengan ilmu silat Hoa Bu-koat tentunya harimau bukan soal baginya, andaikan tidak dapat sekali hantam membinasakan raja hutan itu, tapi biar pun sepuluh ekor harimau muncul sekaligus juga belum tentu dapat menyenggol ujung bajunya.
Namun sekarang dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam, ia dalam keadaan lemas lunglai, tenaga untuk menyembelih ayam saja tidak ada apa lagi tenaga untuk membunuh macan.
Kini harimau sudah muncul dan makin mendekat, terpaksa setindak demi setindak ia melangkah mundur. Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya belasan tindak saja sudah mundur sampai di pojok.
Harimau sudah berada di depannya, ekor harimau menegak seperti tiang bendera, menyusul raja hutan ini pasti akan menerkam, jika sudah demikian mana Hoa Bu-koat mampu melawannya?
Keringat dingin telah berketes-ketes di jidat Bu-koat. Dalam keadaan demikian, tampaknya kalau dia tak berteriak minta tolong kepada Pek San-kun, jelas badannya akan segera terkoyak-koyak di bawah cakar harimau.
Meski dia tidak rela mati dan menilai tinggi jiwanya, tapi orang seperti dia masa sudi berteriak memohon pertolongan orang?
Terdengar harimau meraung pula. Pot bunga di meja sana tergetar jatuh dan “trang,” pecah berantakan.....
********************
Di tempat lain Kang Giok-long sedang melangkah ke luar sambil tertawa latah. Kaki dan tangan Thi Sim-lan serasa beku demi mendengar suara tertawanya yang gembira itu.
Sim-lan tahu, meski keji amat hati Kang Giok-long, tapi nyalinya kecil, bila mana dia tidak yakin benar akan dapat mengatasi Hoa Bu-koat, saat ini dia takkan segembira itu.
Sedangkan Hoa Bu-koat, di manakah dia?
Hampir saja Thi Sim-lan menjerit, hati seperti hancur berkeping-keping. Dia tidak khawatir bagi dirinya sendiri, akan tetapi Hoa Bu-koat... Ya, Hoa Bu-koat... Maka bercucuranlah air matanya.
Mendadak terdengar Oh-ti-tu menjengek, “Hmm, perempuan, dasar perempuan. Hmm…, paling-paling mati saja, kenapa mesti menangis seduka itu.”
“Kau... kau kira aku berduka bagi diriku sendiri?” jawab Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.
“Bukan untuk dirimu, memangnya untuk siapa?”
“Kau tidak tahu... kau tak mungkin tahu,” Sim-lan menggeleng sambil menangis.
Mendadak Oh-ti-tu melotot, tanyanya, “Memangnya tangismu ini demi bocah she Hoa itu?”
Thi Sim-lan menunduk, sahutnya perlahan, “Ehm.”
“Jika Siau-hi-ji yang mati, apakah kau pun seduka ini?” teriak Oh-ti-tu.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lan mengangkat kepalanya dan menatap si hitam ini sekian lamanya, tiba-tiba ia tersenyum pedih, katnya, “Jika dia mati, kau kira aku dapat hidup terus?”
“Jika begitu, mengapa kau berduka pula bagi orang lain?” teriak Oh-ti-tu dengan gusar. “Seorang perempuan hanya boleh berduka bagi seorang lelaki. Tentang lelaki lain akan mati atau hidup tidak seharusnya dipikirkan lagi.”
Sim-lan menghela napas panjang, jawabnya dengan sedih, “Isi hatiku tidak mungkin dipahami olehmu, selamanya, ya, selamanya takkan kau pahami, siapa pun takkan paham.”
Dengan melotot Oh-ti-tu memandangi si nona sekian lama, tiba-tiba ia pun menghela napas dan berkata, “Ya, betul juga, mungkin hati perempuan memang lebih lemah dari pada lelaki, apabila aku....”
Tiba-tiba Thi Sim-lan menyela, “Jangankan Hoa Bu-koat, sekali pun kau yang mati juga aku akan berduka.”
“Sebab apa?” tanya Oh-ti-tu.
“Sudah tentu lantaran kau adalah sahabat Siau-hi-ji.”
Tiba-tiba Oh-ti-tu mendelik dan berseru, “Apakah betul kedatanganmu ini adalah untuk menolong diriku?”
“Sudah tentu betul,” jawab Sim-lan.
Oh-ti-tu terbelalak pula sekian lama, katanya kemudian sekata demi sekata, “Apabila tanganku ini dapat bergerak, sungguh ingin kubeset kau secuil demi secuil.”
Thi Sim-lan juga terbelalak heran, tanyanya, “Sebab apa? Kudatang menolongmu, masa kau malah dendam padaku?”
“Orang she Oh ini selama hidupnya tidak pernah menerima budi orang setitik pun,” ucap Oh-ti-tu dengan gemas. “Kini aku hampir mati, bila mana kuterima budi kebaikanmu ini, menjadi setan pun rasanya tidak tenteram.”
Thi Sim-lan melengak, ucapnya kemudian, “Ya, aku sangat memahami perasaanmu, engkau adalah seorang lelaki sejati.”
“Hmk!” Oh-ti-tu hanya mendengus saja.
Thi Sim-lan berpaling memandang Buyung Kiu. Nona itu tampak berdiri mematung di sana, satu jari saja tidak bergerak seakan-akan memang tak dapat bergerak lagi selamanya.
“Tapi kau pun jangan lupa, kedatanganmu ini bukankah juga hendak menolong orang?” kata Thi Sim-lan dengan tersenyum pedih.
“Betul, kedatanganku memang untuk menolong dia!” teriak Oh-ti-tu. “Tapi aku memang sukarela mati baginya. Selain dia, perempuan lain biar pun mati di depanku juga belum tentu sudi kujulurkan sebelah tanganku.”
Ucapan ini benar-benar membuat Thi Sim-lan melenggong. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa manusia aneh yang berwatak angkuh dan dingin ini pun mempunyai perasaan tulus ikhlas, lebih-lebih tak tersangka bahwa dia bisa jatuh cinta kepada seorang nona yang linglung.
Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, “Hm, kau merasa heran bukan? Kau kira dia tiada harganya untuk dicintai lelaki bukan…? Ketahuilah bahwa meski dia telah berubah begini, dia tetap berpuluh kali lebih berharga dan lebih menyenangkan dari pada perempuan mana pun juga.”
Thi Sim-lan menatapnya tajam-tajam dan berkata dengan rawan, “Tapi betapa pun juga cintamu padanya, dia kan tidak tahu.”
Oh-ti-tu hanya mendengus saja.
Maka Thi Sim-lan menyambung pula, “Sudah tahu begitu, kau tetap sangat baik padanya dan tetap mencintai dia?”
Dengan melotot gusar Oh-ti-tu menjawab tegas, “Ketahuilah bahwa perasaanku terhadap dia tidak perlu diketahui olehnya, juga dia tidak perlu membalas dengan sikap yang sama. Aku hanya cinta kepadanya, cinta padanya tanpa syarat.”
“Sekali pun kelak dia tidak suka padamu, bahkan pada hakikatnya tidak gubris dirimu, apakah kau tetap mencintai dia?” tanya Sim-lan.
“Betul,” teriak Oh-ti-tu. “Kucinta dia bukan karena dia harus menjadi istriku, asalkan dia dapat hidup dengan baik, andaikan aku mati juga tidak menjadi soal.”
Thi Sim-lan terdiam sejenak, kembali ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan terharu, “Selama hidup seorang perempuan apabila bisa mendapatkan limpahan perasaan setulus ini, andaikan mati pun bukan soal apa-apa lagi, dalam hal ini bolehlah dia merasa bahagia....” waktu dia menoleh, tiba-tiba dilihatnya Buyung Kiu juga sedang mencucurkan air mata.
Kejut dan girang Thi Sim-lan, serunya, “He, engkau sudah dapat mengikuti percakapan kami? Kau dapat memahami maksudnya?”
Meski air mata masih terus menetes, namun sorot mata Buyung Kiu tetap buram. Air muka Oh-ti-tu mestinya sudah bercahaya saking senangnya, kini cahaya itu kembali pudar.
Dengan suara halus Thi Sim-lan menghiburnya, “Engkau jangan sedih, meski pikirannya belum lagi jernih, tapi cintamu yang suci murni telah dapat dirasakannya. Asalkan cintamu tidak pernah berubah pada suatu hari kelak pasti akan diterima sepenuhnya olehnya.”
“Suatu hari kelak…? Hahahaha!” tiba-tiba saja seorang menukas dengan terkekeh-kekeh. “Mungkin hari yang begitu takkan tiba untuk selamanya.”
Ternyata Kang Giok-long telah muncul pula. Tapi dia cuma sendirian, Thi Peng-koh tidak nampak ikut di belakangnya.
“Kau? Untuk apa lagi kau datang kemari?” tanya Sim-lan khawatir.
“Dengan sendirinya karena ingin menjengukmu,” jawab Giok-long cengar-cengir sambil mendekati, si nona, dicolek pipinya, lalu menyambung pula, “Kata orang, sehari tak bertemu laksana berpisah tiga tahun. Bagiku hanya sebentar tidak melihatmu, rinduku sudah seperti beberapa tahun.”
Tentu saja Thi Sim-lan ketakutan, teriaknya, “Kau... kau jangan lupa pada nona... nona berbaju putih itu....”
“Sudah tentu aku tidak melupakan dia,” jawab Giok-long dengan bergelak tertawa. “Makanya sudah kuberi minum obat penenang, sekarang dia sedang tidur dengan nyenyaknya, sekali pun kau berteriak-teriak di sampingnya hingga tenggorokanmu pecah juga takkan terdengar olehnya.”
Seketika tubuh Thi Sim-lan menjadi gemetar, serunya, “Jika kau berani menyentuh satu jariku, pasti akan... akan kukatakan padanya.”
“Tidak, kau takkan memberitahukan dia, kujamin setelah dia mendusin kau pasti tak dapat bicara lagi,” kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh. Kini tangannya mulai main lagi, dari pundak terus menggerayangi dada si nona.
Darah Thi Sim-lan serasa membeku, dengan suara gemetar ia memohon, “Oh…, jang... jangan... kumohon jangan... jangan berbuat begini... kumohon engkau bunuh saja diriku.”
“Membunuh kau?” Giok-long terkekeh-kekeh. “Untuk apa kubunuh kau sekarang? Kekasih Kang Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat memang lain dari pada yang lain, jika tidak kunikmati sepuas-puasnya kan berarti aku tidak menghormati mereka?”
Sambil terbahak-bahak ia terus mengangkat Thi Sim-lan, dengan menyeringai ia berkata pula, “Bicara terus terang, dengan segala daya upaya aku ingin mendapatkan kau, maksudku sesungguhnya tidak penujui dirimu, aku hanya ingin membuat Hoa Bu-koat dan Kang Siau-hi....”
Namun Thi Sim-lan tidak dapat mendengar ucapannya lagi, ia telah pingsan.
Gigi Oh-ti-tu sampai berkeriutan saking geregetannya tapi apa daya, terpaksa begitu saja ia saksikan Thi Sim-lan dibawa keluar oleh Kang Giok-long untuk dinodai....
Kini di seluruh dunia, siapa yang dapat menolongnya.....?
********************
Di ruang sana Hoa Bu-koat sedang didekati harimau loreng, raja hutan itu tampaknya akan segera menerkamnya.
Pada saat itulah tiba-tiba Bu-koat melihat sebuah lukisan yang bergantung di dinding itu menempel rapat di dinding, bingkai lukisan bagian bawah juga terbenam erat di dalam dinding. Tanpa pikir lagi Bu-koat menarik bingkai lukisan itu, pikirnya hendak digunakan sebagai senjata.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong seluruh lukisan itu terus bergeser ke belakang sehingga terlihat ada sebuah pintu, seketika Bu-koat menyelinap ke sana. Harimau itu meraung dan menubruk maju, namun Bu-koat sempat merapatkan lebih dulu pintu rahasia itu.
Bu-koat menghela napas panjang, lama sekali barulah dia bisa tenang kembali. Dilihatnya di bawah sana ada undak-undakan batu dengan sebuah jalan lorong, belasan tindak lagi ada pula sebuah pintu, di balik pintu sana ada cahaya lampu.
Meski dia ingin tahu keadaan di balik pintu sana, tapi sesungguhnya ia pun tidak berani sembarangan berjalan lagi. Maklum, setiap dia melangkah satu tindak, bukan mustahil langkah selanjutnya adalah langkah kematian baginya.
Akan tetapi pada saat itu juga dari balik pintu sana ada suara jeritan orang ketakutan, “O, jangan... kumohon jangan... jangan begini... kumohon engkau membunuh saja diriku.”
Jelas itulah suara Thi Sim-lan, seketika darah Bu-koat tersirap, tanpa pikirkan risiko apa pun segera ia menerjang ke sana.
Saat itu dengan tertawa senang Kang Giok-long hendak membawa keluar Thi Sim-lan, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang berdiri di ambang pintu merintangi jalan keluarnya.
Di bawah cahaya lampu terlihat air muka pengadang ini pucat pasi dengan penuh rasa gusar, namun begitu tidak mengurangi wajahnya yang cakap. Ternyata Hoa Bu-koat adanya. Hoa Bu-koat benar-benar telah muncul di situ. Sedangkan Pek San-kun dan Pek-hujin tidak tertampak bayangannya.
Keruan kaget Kang Giok-long tak terlukiskan, ia seperti kena dicambuk satu kali, cepat ia melangkah mundur dengan tergopoh-gopoh.
Dengan melotot Bu-koat memandangi Kang Giok-long. Saat ini apabila dia dapat mengerahkan tenaga, pasti dia takkan mengampuni manusia kotor dan rendah itu.
Untung saja Kang Giok-long tidak tahu keadaan Hoa Bu-koat, umpama dia mempunyai nyali dobel juga tidak berani sembarangan melabrak Hoa Bu-koat.
Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya kemudian dengan tenang, “Tidak lekas kau lepaskan dia?!”
Dengan meringis takut Kang Giok-long mengiakan, berbareng ia menaruh Thi Sim-lan di atas kursi dengan sangat hati-hati.
“Aku tidak sudi membunuhmu, lekas... lekas enyah saja kau!” kata Bu-koat.
Keruan Kang Giok-long seperti orang hukuman yang mendapat pengampunan umum, tanpa pikir lagi ia terus lari pergi sambil berucap, “Siaute men... menurut!”
Oh-ti-tu menggerung murka, teriaknya, “Orang she Hoa, apa artinya tindakanmu ini? Manusia rendah begitu kenapa tidak kau bunuh?”
“Membunuhnya cuma membikin kotor tangan, biarlah lepaskan dia saja,” ujar Bu-koat dengan tersenyum getir. Ia khawatir jangan-jangan Kang Giok-long mengintip di sana, dengan sendirinya ia tidak mau menjelaskan sebab musababnya.
Dengan gusar Oh-ti-tu berteriak pula, “Kau khawatir membikin kotor tanganmu yang berharga itu, tapi aku tidak takut tanganku menjadi kotor, lekas kau buka Hiat-toku, akan kubekuk bocah keparat itu.”
Bu-koat melenggong, mana dia ada tenaga sedikit pun untuk membuka hiat-to orang? Terpaksa ia berlagak tidak mendengar saja.
Kembali Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, “Memangnya tanganmu juga akan kotor bila menyentuh tubuhku? Kau tidak sudi membuka Hiat-toku?”
“Ah, kenapa saudara mesti terburu-buru? Sabarlah sebentar,” ujar Bu-koat dengan menyengir.
“Dalam keadaan begini kau suruh aku bersabar?” teriak Oh-ti-tu pula.
Tapi Hoa Bu-koat malah menunduk dan melangkah ke arah Thi Sim-lan. Belasan tindak barulah dia berada di sebelah si nona, ia merasa jarak sedekat ini terasa teramat jauh baginya dan sangat menakutkan.
“Hm, bagus, bagus sekali, kiranya kau adalah manusia begini, sungguh aku salah menilai kau,” jengek Oh-ti-tu. “Tapi, hm, tangan manusia seperti kau ini bila menyentuh diriku malah akan membuat muak padaku.”
Diam-diam Bu-koat hanya menghela napas dan tidak menanggapi.
Selama hidupnya belum pernah dicaci maki dan dinista orang secara begini, tapi sekarang terpaksa ia menerimanya, sebab kalau saat ini dia menjelaskan duduk perkaranya, apabila sampai didengar oleh Kang Giok-long, maka tiada seorang pun di antara mereka yang bisa hidup lagi. Padahal sekarang yang paling ditakuti Kang Giok-long adalah dia, sedangkan dia juga waswas terhadap segala kemungkinan yang datang dari Kang Giok-long.
Sementara itu perlahan-lahan Thi Sim-lan telah siuman, begitu melihat Hoa Bu-koat, seketika matanya bercahaya, serunya kegirangan, “Ah, engkau telah datang! Engkau benar-benar telah datang, memang kuyakin tiada seorang pun yang mampu mencelakaimu. Sudah sejak semula kuyakin engkau pasti akan datang menolong kami.”
“Hm, dari pada ditolong orang macam begini, akan lebih baik mati saja,” jengek Oh-ti-tu.
Thi Sim-lan jadi heran, tanyanya, “Meng... mengapa kau berkata demikian padanya?”
“Mengapa tidak kau tanya dia?” jawab Oh-ti-tu.
Dengan terbelalak heran Thi Sim-lan memandang Hoa Bu-koat, ucapnya, “Sesungguhnya apa pula yang terjadi di sini?”
Bu-koat menengadah dan menarik napas panjang, katanya kemudian dengan tersenyum getir, “Ah, tidak ada apa-apa.”
“Apa pun juga, asalkan kau berada di sini, maka bereslah segalanya,” ujar Thi Sim-lan dengan berseri-seri. “Lekaslah engkau menolong kami keluar dari sarang iblis ini... He, mengapa engkau berdiri diam saja?”
“Aku... aku...” Bu-koat tidak sanggup melanjutkan pula, dahinya penuh berkeringat dingin.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang menukas dengan terkekeh-kekeh, “Hehehe, saat ini Hoa-kongcu ingin membela diri saja sukar, mana dia ada tenaga buat menolong kalian, masa kalian tidak dapat melihat keadaannya ini, mengapa kalian memaksanya?”
Di tengah gelak tertawa kembali Kang Giok-long muncul dengan lagak tuan besar. Dan Hoa Bu-koat ternyata menyaksikan kedatangannya begitu saja tanpa berdaya dan tak menanggapi.
Keruan Thi Sim-lan melenggong kaget, serunya parau, “Ap... apakah betul demikian?”
Bu-koat menghela napas panjang, katanya perlahan, “Kang Giok-long, aku tidak ingin membunuhmu, apakah kau sengaja mencari mampus sendiri?”
“Betul, aku memang sengaja mencari mampus,” jawab Kang Giok-long dengan terbahak-bahak. “Sekarang juga akan kubawa pergi nona Thi dan sebentar aku akan mati di atas tubuhnya.”
Meski latah ucapannya, tapi sedikit banyak dia tetap jeri terhadap Hoa Bu-koat, ia mengitarinya dari jauh dan mendekati Thi Sim-lan terus memondong nona itu.
Thi Sim-lan menjerit khawatir, “Kau... kau berani....”
Melihat Hoa Bu-koat tetap diam saja, Kang Giok-long tambah berani, katanya sambil terkekeh-kekeh, “Kenapa aku tidak berani? Memangnya Hoa-kongcu itu bisa berbuat apa terhadap diriku?!”
Sambil memondong Thi Sim-lan, setindak demi setindak ia lantas mundur keluar, cuma matanya tetap menatap Bu-koat.
Thi Sim-lan juga memandang Bu-koat, meski mulut bicara, tapi matanya memancarkan rasa putus asa, seakan-akan seruan tak bersuara terhadap Hoa Bu-koat, “Apakah kau tega menyaksikan aku dibawa lari orang?!”
Bu-koat sudah mandi keringat. Dia sudah berjalan cukup jauh, entah sudah berapa puluh tindak, bukan mustahil cukup satu langkah lagi akan mengantarnya menuju akhirat.
Sekarang, biar pun siapa juga dapat melihat ksatria yang disanjung puji oleh dunia persilatan, pemuda kebanggaan para pahlawan di dunia ini, sama sekali tak berdaya apa pun.
Kang Giok-long bergelak tertawa, teriaknya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat! Kenapa kau tidak maju kemari? Ilmu silatmu yang kau banggakan itu berada di mana? Masa kau benar-benar manda menyaksikan jantung hatimu dibawa ke tempat tidur oleh pemuda lain?”
Sebenarnya dia sudah mundur sampai di ambang pintu, tapi dia tidak terus menghilang sebaliknya ia sengaja berhenti di situ.
Sekujur badan Hoa Bu-koat gemetar seluruhnya. Mati memang menakutkan tapi yang lebih menakutkan ialah bila mana dia sudah mati, maka nasib malang yang akan menimpa Thi Sim-lan tetap sukar berubah.
Tangan Kang Giok-long tampak sengaja menggerayangi dada Thi Sim-lan, katanya sambil terkekeh-kekeh, “Hehehe, lihatlah, dada yang montok sedemikian kenyalnya, kulit badan yang putih ini sedemikian halusnya, tubuh halus ini sebenarnya adalah milikmu, tapi sekarang, semua ini telah menjadi milikku. Cara bagaimana akan kunikmatinya dapat kulakukan sesukaku.”
Di luar dugaan, sekonyong-konyong Hoa Bu-koat melangkah maju setindak demi setindak.
Meski sudah tahu pasti akan mati, sekali pun tahu takkan mampu menyelamatkan Thi Sim-lan, tapi apa pun juga dia tidak boleh menyaksikan nona itu dihina dan dinodai orang. Setiap langkahnya itu entah membutuhkan berapa besar tekad dan keberaniannya.
Sekonyong-konyong suara tertawa Kang Giok-long terhenti. Mau tak mau ia ngeri juga menyaksikan wajah Hoa Bu-koat yang pucat menghijau itu. Teriaknya takut, “Kau... kau berani maju lagi?!”
Bu-koat menarik napas panjang-panjang, bentaknya mendadak, “Lepaskan dia!”
Sinar mata Kang Giok-long tampak gemerlap. Tiba-tiba ia lihat meski wajah Hoa Bu-koat sangat beringas, tapi langkahnya tetap enteng tak bertenaga, seperti cara berjalan seorang yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.
Segera ia bergelak tertawa latah pula, teriaknya, “Hahaha, Hoa Bu-koat, kau tidak dapat menggertak aku! Sejak tadi sudah kulihat kau terluka parah oleh Pek San-kun dan istrinya, kepandainmu sama sekali tak dapat dikeluarkan, betul tidak?”
Dengan mengertak gigi Bu-koat tidak bersuara melainkan setindak demi setindak melangkah ke depan.
Sudah tentu ia tahu apa yang dikatakan Kang Giok-long itu memang betul, ia pun tahu dirinya sedang melangkah menuju kematian, tapi baginya sekarang memang cuma ada jalan kematian belaka dan tiada pilihan lain.
Karena lawan sudah semakin dekat, dengan bengis Kang Giok-long membentak, “Keparat, bandel juga kau! Jika kau berani melangkah maju lagi setindak, segera kubinasakan kau!”
Diam-diam Bu-koat menghela napas dan kembali melangkah pula setindak.
“Kematian! Datanglah bila mana kau mau!” demikian pikirnya. Tiba-tiba ia merasa kematian toh tidak begitu menakutkan sebagaimana dibayangkannya semula.
Mendadak terdengar Thi Sim-lan menjerit, “Hoa Bu-koat, kumohon dengan sangat, janganlah engkau maju lagi, aku... tidak menjadi soal, aku kan tidak mendatangkan kebaikan apa pun bagimu, untuk apa kau pikirkan diriku.”
Bu-koat tersenyum hambar, katanya, “Selamanya aku tak pernah menghendaki kebaikan apa pun darimu, bukan? Yang penting asalkan aku....”
“Tapi apa pun juga yang kau lakukan terhadapku tetap aku tidak menyukaimu,” seru Thi Sim-lan dengan suara gemetar. “Sekali pun kau mati bagiku, yang kucintai tetap Siau-hi-ji. Untuk apa kau mesti mati dengan sia-sia belaka?”
“Nah, Hoa Bu-koat, kau dengar tidak ucapannya?” seru Kang Giok-long sambil terbahak.
“Dengar, sudah kudengar dengan jelas” jawab Bu-koat dengan tersenyum rawan.
“Dan kau masih tetap ingin mengantarkan kematian?” tanya Giok-long pula.
“Kau kira mati sangat menakutkan?” tanya Bu-koat.
“Tapi jangan lupa, setiap orang hanya punya satu nyawa,” kata Giok-long sambil menyeringai.
“Betul, nyawa memang berharga dan tidak mungkin ditukar dengan benda apa pun juga....” ucap Bu-koat dengan tersenyum. “Sebab itulah apabila aku ingin mati bagi seseorang, maka kematianku juga tidak perlu syarat penukaran apa pun darimu. Apakah dia baik padaku dan mencintai aku atau tidak bukan soal bagiku.”
Thi Sim-lan menangis tersedu-sedan dan tidak sanggup bicara lagi.
Akhirnya Oh-ti-tu tidak tahan, mendadak ia membentak, “Sungguh seorang lelaki sejati! Selama hidupku tidak pernah tunduk kepada siapa pun juga, tapi terhadapmu... Ai, tadi aku benar-benar telah salah paham padamu, sekarang dengan setulus hati kuminta maaf padamu. Engkau... engkau boleh pergi saja.”
Bu-koat menjawab dengan tersenyum hampa, “Terima kasih!” Berbareng ia melangkah maju lagi setindak.
Kang Giok-long seperti terkesima oleh keberanian Hoa Bu-koat yang tidak kenal akibat itu. Tak tersangka olehnya bahwa Hoa Bu-koat juga berwatak sama dengan Siau-hi-ji, bila mana perlu juga nekat dan berani mengadu jiwa. Nyawa yang dipandang paling berharga oleh siapa pun juga bagi mereka berdua itu seakan-akan tiada artinya sama sekali.
Dalam pada itu Bu-koat sudah mulai merasakan kesakitan di pinggangnya seperti ditusuk jarum. Ia tahu kematian sudah menanti dan tidak jauh lagi.
Melihat Bu-koat melangkah maju pula perlahan-lahan, akhirnya Kang Giok-long menyeringai dan berkata, “Baik, jika kau memilih mati, biarlah kupenuhi kehendakmu. Dengan membunuh seorang rasanya juga takkan mengurangi hasrat kenikmatanku nanti.” Diam-diam telapak tangannya sudah menggenggam senjata rahasia dan siap untuk dihamburkan.
Siapa duga pada saat itu juga, mendadak terlihat tubuh Hoa Bu-koat gemetar dengan keras seperti tertusuk jarum, menyusul lantas bergelak tertawa keras seperti orang gila.
Sama sekali tak tersangka oleh Kang Giok-long bahwa pemuda yang ramah tamah seperti Hoa Bu-koat ini bisa mengeluarkan suara tertawa latah sekeras ini. Tanpa terasa dia menegur, “He, apakah kau sudah gila?”
“Hahaaah! Kau... kau heran... heran bukan?” seru Bu-koat sambil tertawa lebih keras.....