Bakti Pendekar Binal Jilid 35

Didengarnya seorang di antaranya sedang berkata, “Kang Siau-hi, apakah kau benar-benar tidak mau menemuinya?”

“Kang Siau-hi,” nama ini berkumandang ke telinga si nona dan hampir saja membuatnya melonjak bangun, dan berlari-lari ke sana serta menjatuhkan diri ke dalam rangkulannya.

Akan tetapi ia tahu dirinya sekarang tidak memenuhi syarat lagi untuk menjatuhkan diri ke dalam pelukan orang. Ia hanya menggigit bibirnya kencang-kencang dan menahan perasaan sebisanya.

Benar juga, angin yang meniup sayup-sayup itu telah membawa suara Kang Siau-hi.

Terdengar anak muda itu sedang menjawab dengan tertawa, “Kau telah salah omong, bukanlah aku tidak mau menemui beliau, yang benar aku tidak ingin menemuinya sekarang.”

“Dari mana kau tahu bahwa dia akan merintangi kepergianmu? Bisa jadi....”

“Ya, bisa jadi beliau akan mengizinkan kepergianku ke Ku-san, tapi aku tidak mau menerima risiko ini. Bila mana suatu urusan sudah kuputuskan begini, maka betapa pun harus kulaksanakan.”

“Tapi kau kan sudah menemani aku sampai di sini....” pembicara ini jelas Hoa Bu-koat adanya.

Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya. “Ya, sebenarnya aku harus menemanimu.”

Bu-koat mendongak memandang langit dan termenung-menung sekian lama, katanya kemudian dengan perlahan, “Kembali satu hari telah lalu, sang waktu sungguh lewat dengan sangat cepat, tiga bulan dengan cepat akan lalu pula. Sampai kini hanya bersisa....”

“Tinggal tujuh puluh enam hari saja,” sambung Siau-hi-ji.

“Ya, antara kita hanya dapat bersahabat selama tujuh puluh enam hari lagi,” kata Bu-koat.

Siau-hi-ji termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum, “Ada setengah orang yang meski bersahabat selama hidup, tapi selama itu pula selalu bertentangan dan perang dingin, persahabatan kita meski tidak panjang waktunya, tapi kan jauh lebih baik dari pada mereka.”

“Tapi setelah tujuh puluh enam hari lagi....”

Siau-hi-ji seperti tidak ingin melanjutkan persoalan yang menyedihkan ini, mendadak ia memotong ucapan Hoa Bu-koat, “Yan-tayhiap akan menunggumu di mana?”

“Di hotel, di kota kecil sana, di situ cuma ada sebuah hotel, pasti akan kudapatkan dia,” jawab Bu-koat.

Mendengar ini, jantung Thi Peng-koh kembali berdebar lagi. Saat ini Kang Giok-long masih berada di hotel itu, sedangkan Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji segera akan menuju ke sana.

Meski si nona sangat membenci Kang Giok-long, tapi demi mengetahui anak muda itu akan terancam bahaya, seketika ia melupakan segalanya dan secara aneh menaruh perhatian terhadap keselamatan anak muda itu.

Walau pun terkadang dia geregetan dan ingin bisa membunuh Kang Giok-long, tapi bila mana ada orang lain hendak membunuh anak muda itu, tiba-tiba ia menjadi khawatir dan berduka baginya.

Inilah hati anak perempuan.

Dalam hati anak perempuan umumnya selalu timbul semacam pertentangan batin yang sukar dipahami orang lain. Ya suka ya benci. Padahal dia benar-benar menyukainya atau membencinya, mungkin dia sendiri pun tidak dapat membedakannya dengan jelas.

Terdengar Siau-hi-ji lagi berkata dengan perlahan, “Sebenarnya kuharap engkau suka menemani aku ke Ku-san, tapi bila engkau sudah ada janji dengan orang lain, tentunya kau tidak boleh ingkar janji.”

“Ya, apa lagi janji bertemu dengan Yan-tayhiap,” tukas Bu-koat.

“Jika demikan, silakan berangkatlah.”

“Dan kau?” tanya Bu-koat.

“Aku pun hendak pergi menyelesaikan urusanku.”

Bu-koat termenung-menung sejenak, katanya, “Setelah berpisah sekarang, entah kita akan....” mendadak ia tidak meneruskan.

Siau-hi-ji meremas keras-keras bahu Bu-koat sambil membuang muka ke arah lain, ucapnya dengan suara rendah, “Betapa pun juga, ada waktunya berkumpul dan ada waktunya kita akan berjumpa pula....” sambil berucap demikian segera ia pun melangkah pergi.

Bu-koat melenggong sejenak, tiba-tiba ia memburu ke sana dan berseru, “Waktu masih cukup luang, biarlah aku pun mengantarmu sebentar.”

Thi Peng-koh mengikuti bayangan kedua orang itu hingga menghilang di kejauhan, tubuhnya rada gemetar, dengan mengertak gigi mendadak ia melompat bangun terus berlari kembali ke arah hotel kecil itu.

Sebuah kamar di hotel itu kini sudah menyalakan lampu.

Waktu Peng-koh tiba di situ, dilihatnya jendela kamar itu terbuka lebar, di luar dan di dalam tergeletak tiga sosok mayat, seorang lelaki kekar yang tak dikenalnya sedang mengurut punggung seorang nona di atas ranjang. Dan Kang Giok-long berdiri di belakang lelaki itu.

Sorot mata Kang Giok-long tampak gemerdep aneh, ujung mulutnya menampilkan senyum kejam, dia sedang menatap punggung lelaki itu, dan perlahan-lahan mengangkat tangannya.

Begitu sampai di depan jendela, belum lagi tahu apa yang terjadi sesungguhnya, demi nampak tindakan Kang Giok-long itu, tanpa pikir ia terus berseru, “Kang Giok-long, kau....”

Mendengar suaranya, dengan cepat Yan Lam-thian menoleh, air mukanya berubah seketika, nyata dia telah merasakan gelagat jelek.

Namun sudah terlambat, tangan Kang Giok-long dengan keras telah menghantam punggungnya.

Yan Lam-thian meraung keras-keras, darah segar lantas tersembur keluar menyirami sekujur badan Buyung Kiu yang ramping itu.

Bila mana dia tidak lagi mengerahkan Lwekang untuk menolong orang, mana dapat Kang Giok-long melukainya... Tapi Kang Giok-long sendiri juga tergentak kaget oleh suara raungan keras itu, ia terhuyung-huyung mundur mepet dinding.

Terlihat wajah beringas Yan Lam-thian, matanya melotot, bentaknya parau, “Kaum tikus, sudah kutolong jiwamu, tapi malah berani memperdayai diriku?” Seluruh ruas tulangnya seakan-akan berbunyi berkeriutan, perbawanya sedikit pun tidak berkurang dari pada biasanya.

Saking ketakutan hingga kaki Kang Giok-long terasa lemas, “bluk,” ia jatuh duduk di pojok dinding, tenaga untuk merangkak bangun saja rasanya tidak ada.

Dengan tangan menggapai Yan Lam-thian mendekati Kang Giok-long setindak demi setindak, bentaknya, “Sesungguhnya siapa kau? Mengapa kau memperdayai aku? Bicara lekas!”

Mana berani Kang Giok-long memandangnya, diam-diam ia melirik ke arah Thi Peng-koh yang berada di luar jendela, sorot matanya tidak segarang seperti tadi, tapi kini penuh rasa mohon belas kasihan.

Di samping terkejut Peng-koh juga gusar melihat perbuatan licik dan keji Kang Giok-long itu, tapi demi melihat sorot matanya yang memelas itu hati si nona menjadi lemas lagi.

Entah mengapa, di luar sadarnya ia terus melompat masuk dan melontarkan suatu pukulan keras.

Tapi lantas terdengar raungan mengguntur, robohlah Yan Lam-thian akhirnya.

Dengan girang Kang Giok-long melompat bangun, bentaknya dengan tertawa terhadap Yan Lam-thian, “Haha, apakah kau ingin tahu siapa aku ini? Baik, kukatakan padamu, aku adalah putra kesayangan Kang-lam-tayhiap, Kang Giok-long adanya. Anak murid Bu-tong-pay apa segala, bagiku tidak laku sepeser pun.”

Yan Lam-thian terkejut dan melenggong, akhirnya memejamkan matanya dengan perlahan, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berseru, “Bagus, bagus! Selama hidupku malang melintang di seluruh jagat ini, tak tersangka sekarang aku harus mati di tangan kaum tikus celurut macam kau ini.”

Kang Giok-long menyeringai, katanya, “Karena ucapanmu tidak sopan, sebelum ajalmu harus kutambahi sedikit hukuman bagimu.”

Setelah melancarkan pukulan tadi, Thi Peng-koh lalu berdiri melenggong sambil memandangi tangan sendiri. Sekarang mendadak ia gunakan tangannya itu untuk menarik Kang Giok-long sambil bertanya, “Siapa orang ini? Meng... mengapa hendak kau bunuh dia?”

Sambil menuding mayat yang tergeletak di lantai, Giok-long berkata, “Jika orang ini tidak kelewat jahat, masa aku tega membunuhnya?”

Peng-koh menghela napas gegetun, ucapnya, “Biar pun begitu, sekarang ia sudah hampir meninggal, mengapa engkau memukulnya pula?”

Kini ia pun tahu ucapan pemuda bergajul itu tidak dapat dipercaya, tapi mau tak mau ia harus percaya padanya. Maklum ia telah menyerahkan kesuciannya pada anak muda itu.

Seorang anak perempuan bila mana telah menyerahkan kehormatannya pada seorang lelaki, maka itu sama dengan menyerahkan segalanya. Memangnya apa yang dapat diperbuatnya pula?

Dengan tertawa Giok-long mencolek pipi si nona, katanya, “Baiklah, kau suruh dia minta ampun padaku dan segera kuampuni dia....”

Peng-koh mengipatkan tangan anak muda itu, katanya, “Sebentar lagi Hoa Bu-koat akan datang!”

Seketika lenyap senyuman yang menghiasi wajah Kang Giok-long, tanyanya cepat, “Kau lihat dia?”

“Ya,” jawab Peng-koh sambil menggigit bibir. “Ada pula Kang Siau-hi.”

Giok-long tidak bicara lagi, ia tarik Peng-koh terus melangkah pergi. Baru saja keluar pintu, tiba-tiba ia putar balik, dipanggulnya Buyung Kiu yang meringkuk di tempat tidur itu. Maklum, setiap barang yang menguntungkan dia selamanya takkan ditinggalkannya begitu saja.

Dengan mudah saja mereka sudah keluar kota kecil itu, dengan sendirinya lantaran Thi Peng-koh mengetahui dari arah mana lagi mereka akan datang dan ke arah mana lagi mereka harus menghindarinya.

Setelah merasa aman, tiba-tiba Giok-long tanya Peng-koh, “Kau bilang bertemu dengan Hoa Bu-koat, memangnya kau kenal dia?”

“Ehm,” Peng-koh bersuara singkat.

Giok-long memandangnya dengan rasa heran dan sangsi, tanyanya pula, “Cara bagaimana kau kenal dia?”

Peng-koh memandang jauh ke sana, ia diam agak lama, akhirnya menjawab dengan sekata demi sekata, “Sebab aku pun anak murid Ih-hoa-kiong....”

********************

Di jurusan lain Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berjalan dengan perlahan. Malam sunyi dan gelap.

Sekonyong-konyong, dari kejauhan berkumandang suara gerungan yang keras. Meski karena jauhnya tibanya suara gerungan itu kedengaran sudah sangat lirih, tapi seramnya, pedih dan penasaran yang terkandung dalam suara itu masih cukup membuat beku pembuluh darah dan membuat merinding siapa pun yang mendengarnya.

Serentak Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat berhenti melangkah. Keduanya tertegun sejenak, tanpa bicara apa pun mendadak keduanya lari ke arah datangnya suara itu.

Kota kecil itu terbenam dalam keheningan malam seperti tiada terjadi sesuatu. Hanya di depan pintu hotel kecil itu ada seorang sedang tumpah-tumpah sambil memegangi daun pintu.

Itulah “pelayan” merangkap pemilik hotel, ia mendengar dan melihat semua kejadian di hotelnya, serentetan pembunuhan telah berlangsung dengan kejam, tapi dia tak berdaya, hanya tumpah-tumpah belaka, rasanya ingin menumpahkan semua penderitaan dan rasa malunya.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tetap tidak bicara, keduanya cuma saling memberi tanda, berbareng terus menerjang ke dalam hotel dan menemukan kamar yang ada penerangannya itu.

Maka dapatlah mereka menemukan Yan Lam-thian yang menggeletak di tengah genangan darah.

Yan Lam-thian telah ambruk. Ini seperti gunung mendadak longsor di depan mereka, laksana bumi tiba-tiba merekah di depan mereka. Seketika mereka terkesima seperti patung.

Tapi Yan Lam-thian masih dapat bergerak, ia meronta-ronta dan membuka mata, mukanya yang sudah mulai kaku itu menampilkan secercah senyuman getir, katanya dengan lemah, “Ka... kalian sudah... sudah datang, ba... bagus... bagus sekali....”

Akhirnya Hoa Bu-koat menubruk maju, ia berjongkok dan berseru dengan suara parau, “Wanpwe datang terlambat.”

“Tidak, kau... kau tidak terlambat,” ucap Yan Lam-thian dengan tersenyum pedih. “Sebelum ajalku dapat kulihat kalian, mati pun aku tidak menyesal.”

Segera Siau-hi-ji mengangkat tubuh pendekar besar itu dari pelimbahan darah sambil berteriak, “Tidak, engkau takkan mati, tiada seorang pun yang dapat membunuh engkau.”

“Keadaan lukaku cukup kuketahui sendiri,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum.

Mendadak Hoa Bu-koat juga berteriak, “Siapa yang turun tangan sekeji ini padamu? Siapa?”

“Kang Giok-long!” jawab Yan Lam-thian.

Bu-koat menarik napas panjang-panjang, ucapnya dengan sekata demi sekat, “Kuberjanji padamu, aku pasti akan membunuh dia untuk membalas sakit hatimu.”

Kembali Yan Lam-thian bergelak tertawa, ia berpaling ke arah Siau-hi-ji.

Selama ini anak muda itu pun memandangnya dengan tajam, mendadak ia berteriak, “Tidak perlu dia membunuh Kang Giok-long. Kang Giok-long adalah bagianku, tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini, pasti akan kubalas sakit hati Locianpwe.”

Kembali Hoa Bu-koat melengak, serunya, “Tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini? Maksudmu... Locianpwe ini bukan Yan-tayhiap?”

Siau-hi-ji diam saja, tapi “Yan Lam-thian” lantas bergelak tertawa, meski tertawa yang menderita, dahi sudah penuh butiran keringat, tapi dia masih terus tertawa. Katanya kemudian sambil menatap Siau-hi-ji, “Kukira dapat mengelabui siapa pun juga, tak tahunya akhirnya toh tak dapat mengelabuimu.”

Bu-koat berteriak pula, “Jadi Locianpwe memang bukan Yan Lam-thian, Yan-tayhiap?”

“Yan Lam-thian hanya salah seorang sahabat karibku....”

Cepat Bu-koat bertanya pula, “Lantas Cianpwe sendiri....?”

“Aku she Loh,” jawab ‘Yan Lam-thian’.

“Loh Tiong-wan? Jangan-jangan Cianpwe inilah “Lam-thian-tayhiap” Loh Tiong-wan tukas Siau-hi-ji.

“Jadi kau pun tahu namaku?” ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum.

“Sejak umur lima Tecu sudah mendengar nama Locianpwe,” jawab Siau-hi-ji dengan gegetun. “Si tangan berdarah Toh Sat, meski dia hampir mati di tangan Locianpwe, tapi selamanya dia sangat kagum padamu.”

“Tapi... tapi mengapa Loh-tayhiap memalsukan nama Yan-tayhiap?” tanya Bu-koat.

“Sebab... sebab Yan....” lantaran tertawa keras tadi, napasnya jadi semakin memburu, tenaganya sudah lemah, untuk bicara saja kini tampaknya sangat payah.

“Urusan ini sudah dapat kuterka sebagian, biarlah aku yang bicara bagi Loh-tayhiap saja,” kata Siau-hi-ji. “Bila mana uraianku betul, boleh Loh-tayhiap mengangguk, dan bila keliru nanti Cianpwe sendiri bercerita lagi.”

Sorot mata Loh Tiong-wan menampilkan rasa memuji dan setuju, dengan tersenyum getir ia mengangguk.

Setelah merenung sejenak, lalu Siau-hi-ji berkata, “Sesudah Yan-tayhiap lolos dari Ok-jin-kok, meski pikirannya sudah mulai jernih, tapi ilmu silatnya seketika tak dapat pulih seluruhnya, betul tidak?”

Loh Tiong-wan mengiakan sambil mengangguk.

“Setelah meninggalkan Ok-jin-kok, beliau lantas dapat menemukan Loh-tayhiap, begitu bukan?”

“Betul,” jawab Loh Tiong-wan.

“Sepanjang jalan, menurut pengamatannya, Yan-tayhiap merasa bakal terjadi kekacauan besar di dunia Kangouw, cuma sayang beliau sendiri tidak sanggup mencegahnya, maka beliau lantas minta Loh-tayhiap suka memberi bantuan. Demikian bukan?”

Loh Tiong-wan mengiakan pula.

“Beliau juga khawatir ilmu silatnya tiada mendapat keturunan, sebab itulah begitu bertemu dengan Loh-tayhiap segera beliau menghadiahkan kunci ilmu silatnya padamu.”

Tapi belum habis uraian Siau-hi-ji ini, Loh Tiong-wan telah menggoyang-goyang kepala dan berkata, “Salah!”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Mungkinkah Loh-tayhiap mengetahui kekuatan Yan-tayhiap tak dapat pulih dalam waktu singkat, sebab itulah Loh-tayhiap menghendaki beliau mengajarkan kunci ilmu silatnya....”

Loh Tiong-wan menghela napas, ucapnya dengan megap-megap, “Soalnya pada belasan tahun yang lalu aku pernah kecundang di tangan Gui Bu-geh. Sesudah itu baru kusadari kepandaianku masih jauh dari pada cukup, sebab itu pula aku lantas mengasingkan diri....” sampai di sini wajahnya menampilkan rasa menderita pula.

Siau-hi-ji lantas menyambungnya, “Sebab itulah ketika Yan-tayhiap minta Locianpwe muncul kembali, Cianpwe khawatir ilmu silat sendiri tidak cukup kuat, maka engkau telah mohon Yan-tayhiap mengajarkan kunci ilmu silatnya padamu, demikian bukan?”

Loh Tiong-wan tersenyum dan mengangguk.

“Dan lantaran inilah, pula Loh-tayhiap tidak bertindak untuk keuntungan sendiri, maka kemunculanmu di dunia Kangouw sekali ini Loh-tayhiap sengaja menggunakan namanya Yan-tayhiap,” Siau-hi-ji merandek sejenak, kemudian menyambung lagi dengan tertawa. “Dengan kedudukan Loh-tayhiap dengan sendirinya tidak suka menggunakan ilmu silat Yan Lam-thian untuk menambah keharuman nama ‘Lam-thian-tayhiap’. Entah betul tidak tebakan Tecu ini?”

“Selain itu masih ada pula satu hal,” ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum.

Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, “Jangan-jangan Yan-tayhiap telah memperhitungkan kawanan Ok-jin penghuni Ok-jin-kok itu akan berbondong-bondong keluar setelah beliau meninggalkan Ok-jin-kok, beliau khawatir kawanan Ok-jin itu akan mengacau Kangouw pula dengan macam-macam kejahatan mereka, beliau tahu hanya nama ‘Yan Lam-thian’ saja yang masih dapat mempengaruhi mereka, sebab itulah Loh-locianpwe telah diminta menggunakan nama beliau untuk sementara.”

“Kau benar-benar anak pintar,” ujar Loh Tiong-wan dengan gegetun. “Tapi... tapi aku yakin setelah belajar ilmu silat Yan Lam-thian, bahkan telah kumohon Ban Jun-liu merias mukaku sedemikian rupa sehingga gaya dan suara Yan Lam-thian telah banyak kutiru dengan baik, sungguh aku tidak paham mengapa tetap tak dapat mengelabui kau.”

Mungkin soal inilah yang paling membingungkan dia, sebelum jelas mendapatkan jawabannya mungkin mati pun dia tetap penasaran, sebab itulah dengan sekuatnya dia mengajukan pertanyaan ini walau pun keadaannya sudah sangat payah.

Dengan gegetun Siau-hi-ji menjawab, “Waktu Cianpwe melihat diriku, sepantasnya engkau membicarakan Ban Jun-liu, tapi Cianpwe seakan-akan lupa sama sekali akan paman Ban, sebab itulah tatkala mana aku sudah mulai curiga.”

“Dan ke... kemudian?” tanya Loh Tiong-wan.

“Kupikir pula, setelah mengalami siksa derita selama belasan tahun, baik jasmani mau pun rohani, Yan-tayhiap sudah banyak mengalami perubahan, tapi sikap Loh-cianpwe ternyata tetap serupa Yan-tayhiap pada belasan tahun yang lampau sebagaimana menurut cerita orang, ini jelas tidak wajar dan pada hakikatnya tidak mungkin. Sebab kutahu dari dekat siksa derita selama belasan tahun yang dialami Yan-tayhiap, rasanya tidak mungkin seorang sanggup bertahan seperti sedia kala setelah mengalami penderitaan sehebat itu.”

“Betul,” kata Loh Tiong-wan dengan pedih, “Yan Lam-thian memang... memang sudah banyak berubah.”

Suaranya sangat lemah sehingga hampir-hampir tak terdengar oleh Siau-hi-ji.

Masih ada sesuatu yang belum terpapar dan ini kunci dari pada segala persoalannya. Umpama dia benar-benar Yan Lam-thian adanya, mustahil dia tidak kenal Kang Piat-ho sekarang sebenarnya adalah Kang Khim di masa lalu.

Tapi dia sudah berjanji pada Kang Piat-ho terpaksa dia harus menyimpan rahasia ini. Ksatria besar begini, bila mana dia sudah berjanji sesuatu, maka sampai mati pun dia tetap akan pegang janji.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya pula, “Sekarang kumohon sukalah Cianpwe memberitahukan padaku di manakah Yan-tayhiap, paman Yan?”

Loh Tiong-wan tidak menjawab, kembali dia memejamkan matanya, bahkan memejamkan mata untuk selamanya.

Kini Lam-thian-tayhiap Loh Tiong-wan telah istirahat selamanya di liang lahatnya. Di kota kecil sunyi begini, upacara penguburan tentu saja berlangsung dengan sangat sederhana, tapi juga sangat khidmat.

Sementara itu senja sudah tiba pula.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berdiri tegak dengan perasaan berat di depan makam Loh Tiong-wan, mengheningkan cipta dan berdoa bagi arwah pendekar besar itu.

Cuaca remang-remang, suasana senja sunyi senyap, musim rontok terasa sudah hampir lalu. Sampai tabir malam sudah menyelimuti bumi dan sinar bintang-bintang berkelip di langit barulah mereka meninggalkan tempat ini.

Bu-koat menengadah dan mendesis, ucapnya dengan gegetun, “Kawanan durjana merajalela, dunia Kangouw belum lagi aman, meninggalnya Loh-tayhiap teramat dini... Bahkan di mana beradanya Yan-tayhiap tidak sempat dia katakan lantas mengembuskan napasnya yang penghabisan, sungguh membuat yang hidup ini merasa serba susah.”

“Kuyakin Loh-tayhiap tahu di mana beradanya Yan-tayhiap,” ujar Siau-hi-ji dengan gegetun, “Sebelumnya beliau tidak mengatakan hal ini, mungkin beliau memang tidak mau memberitahukan pada kita.”

“Tidak mau memberitahukan pada kita, sebab apa?” tanya Bu-koat.

“Sebabnya sukar kukatakan,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. “Bisa jadi dia tidak ingin Yan-tayhiap diganggu orang lain, mungkin pula Yan-tayhiap sudah... sudah meninggal, maka dia tidak mau membuatku berduka.”

“Mudah-mudahan seumur hidupku ini dapat bertemu dengan Yan-tayhiap, kalau tidak...” ucap Bu-koat dengan murung.

Mendadak Siau-hi-ji membusungkan dada, serunya, “Sudah tentu kau akan bertemu dengan dia, sudah pasti dia takkan meninggal. Sebelum beliau menyaksikan aku terkenal di dunia ini mana dia mau mati begitu saja.”

Bu-koat menatapnya dengan tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Ya, betul, bila mana Yan-tayhiap tidak mau meninggal, siapa pun tak dapat membuatnya meninggal, bahkan Giam-lo-ong (raja akhirat) juga tidak terkecuali. Dan pada suatu hari pastilah dapat kulihat dia.”

“Bagus, tepat sekali ucapanmu, nada perkataanmu sekarang hakikatnya serupa dengan aku,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa. “Selang tujuh puluh lima hari lagi, seumpama aku jadi mati, tentunya kau dapat hidup terus bagiku.”

Perasaan Bu-koat kembali tertekan, ia termangu agak lama, tiba-tiba ia tanya, “Dan sekarang juga kau hendak pergi ke Ku-san?”

“Marilah kita pergi bersama, kujamin pasti akan menyaksikan permainan yang menarik dan tegang,” kata Siau-hi-ji.

Bu-koat menunduk, jawabnya dengan perlahan, “Tapi aku tak dapat menemanimu pergi ke sana.”

“Tidak dapat? Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Tiba-tiba kuingat suatu urusan yang harus kukerjakan, sesuatu urusan... urusan penting.”

Siau-hi-ji tercengang sejenak, serunya kemudian, “Tapi waktu berkumpul kita hanya tinggal tujuh puluh lima hari lagi, masa engkau tidak sudi menemani aku?”

Bu-koat memandang jauh ke remang sinar bintang di langit, jawabnya dengan perlahan, “Bila mana urusan ini berhasil kuselesaikan dengan baik, maka persahabatan kita pasti takkan terbatas cuma tujuh puluh lima hari saja.”

Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, serunya pula, “Apakah engkau pulang ke Ih-hoa-kiong?”

“Kenapa kau paksa jawabanku?” ucap Bu-koat dengan tersenyum getir.

“Jangan-jangan engkau ingin memohon Ih-hoa-kiongcu agar mereka jangan membunuh diriku?”

“Aku cuma ingin pulang untuk bertanya kepada mereka apa sebabnya mereka menyuruh aku membunuhmu.”

“Kau kira mereka akan memberitahukan padamu?”

“Sedikitnya, aku harus minta penjelasan mereka.”

“Kutahu, kau pun serupa diriku, kalau sudah bertekad berbuat sesuatu, maka tiada seorang pun yang dapat mengalang-alangimu. Tapi ingin tetap kukatakan padamu bahwa ada sementara orang yang hidupnya ditakdirkan akan berakhir dengan tragis, banyak terjadi hal begini di antara lelaki dan perempuan, di antara persahabatan juga demikian,” ia tersenyum pahit, lalu menyambung, “Ada sementara lelaki dan perempuan, walau pun sudah jelas saling mencintai dengan sangat mendalam, tapi akhirnya justru tidak keruan jadinya, dan inilah kehidupan manusia. Mengenai nasib kita, tampaknya kita memang sudah ditakdirkan tak dapat bersabahat, seumpama kelak kau dibolehkan tak jadi membunuh diriku tapi bukan mustahil aku yang akan membunuhmu malah.”

Bu-koat termangu-mangu agak lama, ia tersenyum hambar, katanya, “Kang Siau-hi, memangnya kau sudah bertekuk lutut menyerah kepada nasib?”

Siau-hi-ji terkejut, serunya sambil tertawa, “Baiklah, silakan berangkatlah, betapa pun juga kita toh pasti akan bertemu lagi dan ini pun sudah cukup menggembirakan bila mana terkenang.”

********************

Musim rontok, pepohonan layu dan bunga berguguran

Tapi di tempat ini justru bunga sedang mekar dengan suburnya, ada bunga seruni, peoni, mawar, anggrek, sedap-malam dan macam-macam lagi.

Bunga yang seharusnya tidak mekar pada suatu tempat, tidak layak mekar sekaligus pada waktu yang sama, kini justru mekar di sini.

Tempat ini terletak di pegunungan yang terpencil, di puncak yang curam sepantasnya diliputi kabut yang tebal dan lembap dengan angin yang semilir dingin, tapi di sini cahaya mentari justru benderang laksana kemilau emas, suhu di sini menjadi terasa hangat seperti di musim semi.

Tempat ini pada hakikatnya telah meniadakan segala macam hukum alam, di sinilah suatu dunia lain. Siapa pun kalau berada di sini pasti akan dimabukkan oleh lautan bunga yang semerbak itu dan melupakan segala macam duka derita alam sana, lebih-lebih akan melupakan bahaya, melupakan segalanya.

Tapi di sini pula adalah tempat yang paling misterius, tempat yang paling berbahaya di dunia.

Inilah Ih-hoa-kiong!! Istana Aneka Bunga.

Inilah tempat yang dipuja, dikagumi dan juga ditakuti oleh kebanyakan orang Kangouw.

Di tengah lautan bunga itu ada sebuah istana yang mentereng, di bawah cahaya mentari yang benderang itu kemegahan istana ini semakin indah laksana dibangun dengan kemala putih dan emas murni, mencorong menyilaukan pandangan mata.

Di semak-semak bunga sana tampak empat gadis sedang menyiram air, menyapu daun rontok dan memotong tangkai-tangkai pohon, selain itu tiada bayangan orang lagi dan tiada sesuatu suara apa pun.

Gadis-gadis itu adalah anak dara cantik yang jarang ditemukan, tapi pada wajah mereka yang molek itu tampak mengandung perasaan lesu, dingin, hampa.

Gadis yang sedang menyiram itu sebenarnya sudah kehabisan air, tapi ia tidak menyadari hal ini, dia termangu-mangu memandangi awan di langit.

Yang sedang memotong ranting bunga itu juga berdiri mematung dengan memegang gunting, terkesima entah apa yang sedang dipikirkan.

Yang menyapu juga berdiri tertegun memegangi sapunya sambil memandang daun rontok di sekitar kakinya seperti orang linglung tanpa menghiraukan sinar matahari yang panas.

Dunia yang hidup dan semarak ini setiba di sini rasanya telah berubah seluruhnya, berubah menjadi sunyi dan hambar. Walau pun hari di musim rontok lebih singkat dari pada musim lainnya, tapi di sini hari terasa seperti sangat panjang.

Pemandangan indah di tempat yang laksana surga ini ternyata sedemikian hampa dan sunyi menakutkan.

Akan tetapi, meski tubuh gadis-gadis cilik itu tak bergerak, namun hati mereka sedang bergolak dan memberontak laksana api di dalam sekam yang membakar secara diam-diam.

Mereka masih muda belia, masa tiada gairah dan semangat remaja? Memangnya di tempat yang indah permai ini gairah remaja juga telah berubah sama sekali?

Di tempat ini gairah apa pun memang tak dapat hidup, mereka sedang termenung, hati mereka sudah terbang jauh ke sana, ke samping sang pangeran menurut khayalan mereka.

Terkadang mereka benar-benar ingin meninggalkan tempat ini tanpa menghiraukan segala akibatnya.

Akan tetapi pada saat demikian itu justru ada seorang gadis sedang merangkak ke situ tanpa menghiraukan apa pun.

Pakaian gadis itu mestinya putih mulus, tapi kini telah kotor dan berlepotan darah, wajahnya yang cantik itu kini tampak kurus dan pucat.

Siapa pun pasti dapat melihatnya bahwa si gadis pasti telah banyak berkorban dan menahan siksa derita untuk datang ke tempat yang misterius ini. Setiba di sini, sekujur badannya terasa sudah lunglai, bibir kering dan pecah, perut terasa kecut, untuk berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia merangkak dan merangkak, dengan merangkak pun ia ingin mencapai puncak itu.

Tangannya yang halus dan indah itu kini juga berlumuran darah, hampir saja ia jatuh pingsan, tapi bau harum bunga telah membangkitkan semangatnya.

Gadis yang memegang sapu tadi mendadak berseru, “He, ada orang datang!” Sorot matanya yang dingin itu tiba-tiba memancarkan cahaya yang hangat.

Mata ketiga gadis yang lain juga memancarkan cahaya, cahaya yang terpencar dari mata mereka ini dapat dilukiskan seperti pancaran sinar mata seekor kucing yang mengantuk di samping tungku dan mendadak melihat tikus.

Kalau nafsu dan hasrat seorang terlalu lama dikekang, untuk melampiaskan hanya ada dua jalan, memperlakukan orang lain secara sadis dan membuat orang lain menderita adalah salah satu jalan tersebut.

Nona yang merangkak dari bawah gunung itu bukan lain dari pada Thi Sim-lan!

Sudah tentu ia tahu misteriusnya Ih-hoa-kiong dan bahayanya, tapi ia tidak pedulikan semua itu. Apa pun juga ia harus datang ke sini, tujuannya hanya satu, yaitu ingin tanya kepada Ih-hoa-kiongcu, “Mengapa Hoa Bu-koat diharuskan membunuh Kang Siau-hi-ji?”

Kini suasana semarak dengan bunga mekar semerbak itu sudah dilihatnya, tanpa terasa ia menghela napas lega, segala penderitaan sudah dilaluinya.

Ia tidak menyadari bahwa penderitaan yang sesungguhnya belum lagi memulai.

Dilihatnya dari semak-semak bunga sana melayang keluar empat gadis cilik, wajah mereka cantik molek, gaya mereka begitu indah, tertawa mereka begitu riang dan menggiurkan.

Thi Sim-lan meronta-ronta berusaha merangkak bangun, sedapatnya ia tertawa dan berkata, “Namaku Thi Sim-lan, mohon para Cici suka...” Belum habis ucapnya, belum lagi tegak ia merangkak bangun, tahu-tahu salah seorang gadis cilik itu telah melompat maju, sekali tendang Thi Sim-lan didepak hingga jatuh terguling.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar