“Apakah kau tahu, apabila seorang terlalu pintar, bisa jadi selama hidupnya takkan pernah merasakan pangan yang enak....?”
Bu-koat tak menjawab, ia tertawa. Katanya tiba-tiba, “Ah, Yan-tayhiap sedang menantiku, apakah kau....”
“Bila bertemu dengan beliau, katakan tidak lagi berjumpa denganku, boleh?” sela Siau-hi-ji.
“Sebab apa? Memangnya kau tidak mau ikut menemuinya?” tanya Bu-koat heran.
“Aku... aku hendak pergi ke Ku-san, bila mana diketahuinya tentu beliau akan melarang kepergianku.”
“Kau hendak pergi ke Ku-san?” tanya Bu-koat terlebih heran, “Untuk apa?”
“Menolong orang.”
“Menolong siapa?”
“Orang jahat?”
“Orang jahat? Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin?”
“Betul, mereka ditipu orang ke Ku-san sana, apabila Gui Bu-geh betul-betul berada di sana dan benar-benar sedemikian lihainya, maka kepergian mereka itu mungkin takkan pulang kembali.”
“Tapi mereka kan....”
“Meski mereka bukan orang baik-baik, tapi aku dibesarkan oleh mereka. Bila mana aku tidak mengetahui urusan ini tentu tak menjadi soal, tapi kini aku mengetahuinya, terpaksa aku harus ikut campur. Apa lagi... apa lagi aku pun hendak mencari Thi Peng-koh sekalian. Meski ilmu silatnya tidak rendah, tapi dia belum berpengalaman, pada hakikatnya tidak kenal bahayanya pergaulan orang hidup ini dan setiap saat mungkin akan terperangkap. Lantaran dia sudah pernah menyelamatkan aku satu kali, betapa pun aku juga mesti menolongnya satu kali....” dia mencibir, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Kau tahu, tidaklah enak rasanya bila mana utangmu kepada seorang perempuan belum lagi dilunasi.”
Bu-koat menatapnya lekat-lekat sekian lama, katanya kemudian dengan gegetun, “Baru sekarang kutahu, hendak memahami orang semacam kau ini sungguh bukan pekerjaan yang mudah.”
********************
Ini cuma sebuah kota kecil, seperti kota kecil umumnya, biar pun tiada penjahit yang modern, tiada penyewaan kereta, tiada tontonan yang menarik, tapi ada seorang koki yang serba mahir. Penduduk kota ini rupanya juga serupa manusia umumnya, lebih mengutamakan perut, habis itu baru urusan lain.
Kini koki yang pandai itu sedang memperlihatkan kemahirannya, bau sedap yang teruar dari restoran kecil yang papan mereknya sudah dekil itu menimbulkan gairah makan khalayak ramai.
Entah karena tertarik oleh bau sedap ini atau bukan, yang jelas Thi Peng-koh telah masuk ke kota kecil ini, bahkan ia pun merasakan perutnya sangat kelaparan.
Meski di gua ia sudah makan sedikit, namun seorang yang sudah kelaparan selama dua-tiga hari rasanya tidaklah mudah memuaskan rasa laparnya hanya dengan makan sekadarnya.
Tiba-tiba ia menemukan satu kenyataan, rasa lapar sesungguhnya bukan sesuatu yang mudah ditahan.
Dalam keadaan demikian, biar pun dia adalah seorang putra raja, kalau perut sudah lapar, maka rasanya tiada beda dengan seorang kusir dokar di tepi jalan.
Meja di rumah makan kecil itu tampak mengkilap di bawah cahaya lampu yang tidak begitu terang, belasan ekor lalat hijau tampak terbang mengerumuni piring yang penuh berisi santapan sebangsa Lo-se-bak.
Dalam keadaan biasa tempat begini tidak mungkin dikunjungi Thi Peng-koh biar pun dia dijemput dengan joli. Tapi sekarang, seumpama merangkak juga dia akan merangkak masuk ke situ.
Pelayan yang duduk di depan rumah makan dan sedang mengorek kuping tampak riyap-riyap oleh rasa geli-geli nikmat, melihat kedatangan Thi Peng-koh dengan ragu-ragu ia berbangkit, ia mengawasi si nona dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, meski menyambut dengan mengulum senyum, namun senyuman yang nyengir dipaksakan atau lebih tepat dikatakan menyengir.
Maklum, keadaan Thi Peng-koh sekarang tidaklah mirip seorang tamu yang terhormat.
Biar pun umpamanya dia tergolong nona yang paling cantik serta berbaju paling mewah di dunia ini, tapi setelah mengalami kejadian selama dua hari itu, keadaannya benar-benar sudah mirip perempuan gelandangan di tepi jalan.
Muka Peng-koh kini tampak lesu, ya kotor, ya berkeringat, rambutnya morat-marit seperti sarang burung, pakaiannya robek dan dekil, tampaknya lebih mirip pelarian yang baru kabur dari penjara, atau juga mirip gundik orang yang baru minggat.
Cuma sayang, seperti juga kebanyakan orang di dunia ini, hanya melihat kekotoran di tubuh orang lain, tapi tidak melihat kekotoran di badan sendiri.
Di rumah makan ini hanya ada tiga orang tamu, semuanya terbelalak melihat tamu baru yang aneh ini. Thi Peng-koh sendiri tidak tahu sebab apakah orang-orang ini memandangnya dengan heran.
Dengan lagak seperti seorang permaisuri dia masuk ke rumah makan ini, ia mengira orang lain akan menghormatinya seperti biasanya. Tak tahunya bahwa seorang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis bila mana dia berlagak seperti permaisuri pula, maka lagaknya pasti menimbulkan rasa curiga orang lain. Sebab setiap orang tahu hanya orang miskin saja yang sok berlagak kaya, semakin kosong semakin suka berlagak berisi.
Apa lagi sekarang, begitu masuk rumah makan itu, seketika pandangan Thi Peng-koh tercurah kepada Lo-se-bak yang ada di piring itu, sikapnya itu mirip orang yang selama hidup ini tak pernah makan enak, jelas sangat berbeda dengan lagaknya yang sok permaisuri itu.
Akhirnya si pelayan mendekati Peng-koh dan bertanya sambil tersenyum, “Apakah nona ingin dahar?”
“Ehm,” Peng-koh hanya mendengus saja, soalnya dia baru saja menelan air liur, maka sukar mengucapkan sesuatu kata.
Dengan acuh si pelayan berkata pula, “Apakah nona ingin semangkuk bakmi? Mi bakso di sini cukup memuaskan, satu porsi sedikitnya ada setengah kati.”
Peng-koh menarik napas panjang-panjang, katanya, “Aku tidak suka bakmi, bawakan saja seekor ayam panggang, satu porsi Ang-sio-hi, satu porsi ham masak saus manis dan satu porsi sup jamur masak rebung... Dan, Lo-se-bak seperti di piring itu bawakan dulu satu porsi.”
Santapan yang dipesan ini baginya sebenarnya sangat jamak, boleh dikatakan sangat merendahkan derajatnya, dengan gairah makanya yang berkobar sekarang, seekor babi panggang saja mungkin bisa dihabiskannya.
Tiba-tiba ketiga tamu yang mengikuti gerak-gerik Peng-koh sejak datangnya tadi sama tertawa geli mendengar serentetan nama santapan yang dimintanya itu. Si pelayan juga terbelalak heran sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kalau Peng-koh hanya minta satu porsi bakmi, paling-paling ditambah lagi satu porsi Lo-se-bak, maka bolehlah, seumpama dia tidak sanggup bayar, si pelayan mampu menggantinya. Tapi yang diminta sekarang adalah sebangsa daharan yang mahal, ada ayam panggang dan ham segala, jelas ini bukan main-main.
“Bagaimana, apakah rumah makan kalian tidak sanggup menyediakan santapan pesananku?” omel Peng-koh dengan melotot demi melihat sikap ragu si pelayan.
Dengan serba susah si pelayan menjawab, “Santapan yang nona minta tentu saja ada, cuma rumah makan kami ini ada suatu peraturan.”
“O, peraturan apa?” tanya Peng-koh.
“Karena modal kami kecil, tidak sanggup menerima bon, maka para tamu yang berkunjung kemari biasanya harus bayar kontan lebih dahulu.”
Peng-koh jadi terkesiap. Mana dia membawa uang segala, dia cuma tahu uang perak adalah benda kotor dan berat, pada hakikatnya dia tidak tahu sedemikian besar daya gunanya uang.
Dengan menyengir si pelayan berkata pula, “Makan harus bayar, masa nona tidak paham peraturan ini?”
Muka Peng-koh menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.
Ketiga tamu di sebelah itu lantas terbahak-bahak geli. Memang begitulah sifat kebanyakan manusia di dunia ini, kalau melihat muka anak perempuan berubah merah, rata-rata mereka akan merasa senang.
Seorang di antaranya lantas berkata dengan tertawa, “Lebih baik nona makan bersama kami di sini saja. Meski di sini tiada ayam panggang dan ham segala, tapi congor babi masih ada sisa sebagian, rasanya masih cukup untuk teman minum arak.”
Peng-koh menjadi serba salah, dalam keadaan demikian ia berharap lebih baik tidak pernah terjadi adegan ini, sebaiknya kalau dia tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah masuk ke rumah makan setan ini.
Bila mana Siau-sian-li yang menghadapi keadaan ini, tentu semua orang akan dihajar dan dihalaunya dengan cambuknya. Jika Siau Mi-mi, mungkin tiada seorang pun di antara mereka yang dapat pergi dengan hidup. Tapi Thi Peng-koh bukan Siau-sian-li atau Siau Mi-mi, meski sikapnya angkuh, tapi pada dasarnya dia bukan anak perempuan yang galak dan ganas.
Hakikatnya dia memang tidak tahu bagaimana caranya berbuat ganas dan bersikap galak, ia hanya merasakan duduk di rumah makan ini terasa tidak enak, kalau keluar juga memalukan, jadinya serba susah.
Dan pada saat demikianlah Kang Giok-long masuk ke rumah makan ini, waktunya sungguh sangat tepat. Dia mendekati Peng-koh dan memberi salam dengan sangat hormat, lalu menyodorkan beberapa potong uang emas, katanya sambil tertawa, “Paman mengetahui keberangkatan Piauci terlalu tergesa-gesa dan mungkin tidak sempat membawa sangu, maka Siaute disuruh mengantarkan sedikit uang receh ini sekadar biaya perjalanan.”
Si pelayan melenggong seketika, ketiga tamu tadi juga melengak.
Yang paling heran sudah tentu Thi Peng-koh sendiri. Dia mengenali Kang Giok-long adalah si busuk yang dicaci-maki oleh Siau-hi-ji itu, tapi tidak habis mengerti apa maksudnya.
Cuma apa pun juga kedatangan orang ini memang tepat pada waktunya, munculnya uang perak ini pun sangat pas pada saatnya, umpama ingin menolaknya juga tidak sanggup menolak lagi.
Terpaksa ia menyaksikan Kang Giok-long duduk di sebelahnya. Buyung Kiu tampak tertawa linglung dan ikut duduk seperti boneka. Anak perempuan yang cantik dan menyenangkan ini kini telah berubah sedemikian mengharukan.
Sebaliknya si pelayan tadi telah berubah lebih gesit, dengan munduk-munduk ia meladeni tetamunya, sebentar antar teh, lain saat membawakan santapan, hanya sekejap saja pesanan Peng-koh tadi sudah memenuhi meja.
Kang Giok-long menggunakan air teh untuk mencuci sumpit Thi Peng-koh, katanya dengan mengiring tertawa, “Lo-se-bak ini tampaknya cukup segar, silakan Piauci (kakak misan) dahar sekadarnya.”
Mendadak muncul seorang ‘Piaute’ (adik misan), Peng-koh sendiri merasa bingung. Apabila kedatangan Kang Giok-long hanya membayar rekening makan minumnya mungkin akan ditolaknya. Tapi Kang Giok-long memang benar-benar pemuda yang sangat paham jiwa dan jalan pikiran anak perempuan. Anak perempuan lebih suka menahan lapar dari pada merasa malu. Dan Kang Giok-long justru muncul pada saat Thi Peng-koh menghadapi jalan buntu dan serba susah, dia telah menyelamatkan muka si nona, tentu saja Thi Peng-koh sangat berterima kasih.
Selesai dahar, dengan kontan Peng-koh membayar rekeningnya, hatinya menjadi senang, tapi sisa uang kembalinya ia merasa tidak enak untuk mengambilnya pula.
Sejak tadi dia tidak bicara sepatah pun dengan Kang Giok-long, sekarang ia pun tidak dipedulikan anak muda itu, ia terus melangkah keluar. Ia pikir kalau Siau-hi-ji benci pada orang ini, maka orang ini pasti bukan manusia baik-baik. Bila mana seorang anak perempuan sudah menarik kesimpulan lebih dulu atas nilai seseorang maka kesan ini tidak mudah berubah.
Namun Kang Giok-long juga seorang yang suka pegang teguh atas pendirian sendiri, sekali dia sudah ambil keputusan, sukar juga menyuruhnya berganti haluan.
Thi Peng-koh berjalan keluar, Giok-long lantas mengintil di belakangnya.
Dengan mendongkol akhirnya Peng-koh bertanya, “Kau ingin berbuat apa lagi?”
“Aku cuma ingin tanya nona hendak pergi ke mana?” jawab Giok-long dengan tertawa.
“Kau tidak perlu urus,” kata Peng-koh ketus.
“Kukhawatir nona kurang leluasa menempuh perjalanan sendirian, maka ingin kubantu nona,” ujar Giok-long.
“Urusanku, kau tidak perlu pikir,” walau pun demikian ucapannya, namun hati Peng-koh sudah mulai goyah.
Terlihat orang berlalu-lalang cukup ramai di jalanan, tiada seorang pun yang di kenalnya, lampu berkelip-kelip di kejauhan, makin lama makin banyak, cuaca sudah mulai gelap.
Peng-koh jadi bingung, ia tidak tahu harus menuju ke mana? Tiba-tiba ia merasakan apabila seorang ingin hidup bebas merdeka di dunia ini, sesungguhnya tidak semudah apa yang pernah dibayangkannya.
Memang, seekor burung kenari yang biasa hidup di dalam kurungan, apabila suatu saat dilepaskan dan terbang bebas ke alam pegunungan, maka tidak terlalu lama burung kenari ini pasti akan mati kelaparan, soalnya dia sudah kehilangan kesanggupan hidup dengan berdikari atau mandiri.
Sudah cukup lama tidak terdengar Kang Giok-long di belakangnya, jangan-jangan anak muda ini sudah pergi.
Sungguh aneh, tiba-tiba Thi Peng-koh merasa dirinya jadi khawatir ditinggal pergi anak muda itu.
Cepat ia menoleh, tapi Kang Giok-long masih tetap ikut di belakangnya dengan cengar-cengir.
Meski dalam hati merasa lega, tapi di mulut dia sengaja menghardik, “Untuk apa kau terus menguntit diriku?”
“Cuaca sudah gelap, masa nona tidak ingin istirahat?” kata Giok Long.
Peng-koh menggigit bibir, sesungguhnya ia sudah lelah, tapi harus istirahat di mana? Sungguh ia tidak tahu. Malahan ia tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat tempat menginap yang disebut “hotel.”
Dengan ramah Giok-long berkata pula dengan mengiring tawa, “Seumpama nona tidak ingin dibuntuti Cayhe, paling tidak kan boleh kubantu mencarikan hotel bagi nona.”
Sekali ini Peng-koh tidak mengucapkan lagi kata-kata menolak.
Tapi setelah mendapat hotel dan berada di kamarnya, dengan hati-hati Peng-koh lantas menutup pintu sambil berteriak, “Sekarang kau boleh pergi, makin jauh makin baik.”
Rupanya sekali ini Kang Giok-long benar-benar sangat penurut, Peng-koh tidak lagi mendengar suaranya. Setelah menunggu sejenak dan tiada terdengar sesuatu. Peng-koh menghela napas panjang dan merebahkan diri di tempat tidur.
Pengalamannya selama beberapa hari ini sungguh terlalu banyak, teringat olehnya akan Kang Siau-hi, teringat juga pada Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia pun memikirkan Kang Giok-long... Sebab apakah Kang Siau-hi-ji memusuhinya?
Padahal pribadinya kan tidak terlalu busuk.
Namun Peng-koh benar-benar teramat lelah, ia tiada tenaga buat memikirnya lebih seksama, di tempat asing ini semula ia mengira dirinya pasti sukar pulas. Tapi tahu-tahu ia sudah tidur.
Esok paginya, begitu bangun, segera ia merasa lapar sekali.
Persoalan lapar memang sangat menggemaskan. Tatkala kau tidak ingin kehadirannya, dia justru muncul. Dan orang yang tiada mempunyai sesuatu barang makanan akan terasa lebih lapar. Orang yang selalu ada makanan malahan tidak mudah merasakan lapar.
Beberapa kali Peng-koh ingin memanggil makanan, tapi hasrat ingin makan ini sedapatnya ditahannya. Tapi semakin dia ingin menahan lapar, sang perut justru tidak mau turut perintah, bahkan rasanya seperti mau berontak.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pelayan berseru di luar kamar, “Kang-kongcu menyuruh hamba mengantarkan sarapan pagi bagi nona, apakah nona akan makan sekarang?”
Sudah tentu Peng-koh ingin makan sekarang juga. Selesai makan, akhirnya Peng-koh mendapatkan bentuk dirinya yang menakutkan, dengan gemas ia ingin melemparkan cermin tembaga yang berada di atas meja, sekujur badannya tiba-tiba terasa gatal.
Namun dia tak punya baju lain untuk salin, ia pun tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan pakaian. Pada saat serba susah inilah kembali datang si pelayan.
Sekali ini dia membawa beberapa pasang pakaian baru dan halus, satu perangkat alat rias, lengkap dengan pupur kelas tinggi, ditambah lagi sepatu dan kaus kaki. Semua barang ini apakah dapat ditolak oleh Thi Peng-koh? Anak perempuan di dunia ini yang dapat menolak barang-barang antaran begini rasanya tidaklah banyak.
Dengan sendirinya barang-barang antaran ini berasal dari “Kang-kongcu.” Bila mana Thi Peng-koh sudah memakai baju serta perlengkapan yang lain dan selesai berdandan, pada saat itulah suara Kang Giok-long lantas muncul.
“Apakah Cayhe boleh masuk?” demikian tanya anak muda itu dengan sopan.
Kini, dalam perut Thi Peng-koh terisi santapan pemberian orang, yang dipakai di tubuhnya ialah perlengkapan kiriman orang. Dalam keadaan demikian dapatkah dia menolak anak muda itu masuk ke kamarnya?
Dan sampai hari sudah Iohor Kang Giok-long masih ngendon di kamar si nona, tampaknya Thi Peng-koh juga tiada pikiran hendak mengusir anak muda itu. Sekarang ia merasakan dirinya benar-benar tidak dapat kehilangan dia.
Kalau Kang Giok-long duduk di sampingnya, Peng-koh merasa hal ini adalah layak. Sekali pun dia tetap menahan perasaannya, sedapat mungkin tidak banyak bicara dengan anak muda itu.
Dengan sendirinya kamar ini pun berada di suatu hotel kecil, ruangan makan hotel kecil ini hanya terdapat mereka berdua. Menurut cerita Kang Giok-long, katanya nona Buyung tidak enak badan, maka tidak dapat ikut keluar.
Padahal, yang benar ialah Kang Giok-long telah menutuk Hiat-to tidurnya. Buyung Kiu dibungkus dengan selimut dan direbahkan di tempat tidurnya. Meski nona itu tidak lebih hanya seorang linglung saja, tapi Kang Giok-long tetap tidak ingin terganggu olehnya.
Di hotel kecil ini dengan sendirinya tiada santapan yang lezat, tapi Kang Giok-long sengaja memesan makanan satu meja penuh, malahan minta disediakan dua poci arak. Dengan tertawa ia berkat, “Apabila nona tidak menolak, Cayhe juga ingin mengiringi minum barang dua cawan, mengenai nona, akan lebih baik kalau tidak minum arak.”
Peng-koh tidak menanggapi, tapi ketika arak sudah diantarkan, segera ia pegang poci dan menuang satu cawan penuh, sekali tenggak lantas dihabiskannya. Ia merasakan cairan yang pedas dan panas membara itu mengalir masuk ke perutnya, saking panasnya hingga air mata hampir merembes keluar. Maklum, selama hidupnya baru pertama kali ini minum arak.
Diam-diam Giok-long merasa geli, tapi dia sengaja berkata, “Apabila nona tidak pernah minum arak, lebih baik janganlah minum, kalau mabuk... Ai”
Lagaknya seperti orang yang sangat menaruh perhatian dan berhati tulus, khawatir si nona menjadi mabuk. Padahal dia justru berharap selekasnya Peng-koh mabuk dan tak sadarkan diri.
Sudah tentu ia tahu sifat anak perempuan, semakin mencegahnya jangan minum, dia justru minum semakin banyak. Sebaiknya kalau kau menganjurkan dia minum, satu tetes pun dia malah tidak mau minum.
Benar juga, belum lagi habis ucapan Kang Giok-long, segera Peng-koh menuang arak dan menenggaknya habis pula.
Menyaksikan itu, Giok-long pura-pura menghela napas gegetun, tapi di dalam hati sebenarnya senang sekali.
Setelah minum tiga cawan, Peng-koh merasakan sekujur badan menjadi hangat dan enak, seolah-olah ingin “terbang.” Waktu isi cawan keempat sudah masuk perutnya, dia merasa arak adalah cairan yang paling sedap di dunia ini, tidak terasa pedas dan juga tidak terasa pahit.
Waktu isi cawan kelima sudah ditenggaknya, maka semua duka nestapa telah dilupakannya seluruhnya.
Kini Kang Giok-long tidak lagi mencegah si nona minum, bahkan dia mulai menuangkan isi cawannya. Katanya dengan tertawa, “Asalkan nona tidak sampai mabuk, sebenarnya Cayhe juga ingin menyuguh secawan padamu.”
“Mabuk?” Peng-koh mendelik. “Air gula begini bisa membuat mabuk?”
“Sungguh tak tersangka kekuatan minum nona sungguh luar biasa,” kata Giok-long. “Marilah, Cayhe menyuguh secawan lagi pada nona.”
Di dunia ini jarang ada orang yang tidak suka dipuji dan diumpak. Karena itu kembali Thi Peng-koh menghabiskan secawan pula. Mendadak ia melototi Kang Giok-long dan bertanya, “Sesungguhnya kau ini orang baik atau orang jahat?”
Giok-long tersenyum, jawabnya, “Apakah nona melihat Cayhe ini memper orang jahat?”
“Kau memang tidak menyerupai orang jahat, tapi... tapi mengapa Kang Siau-hi-ji bilang kau ini bukan manusia baik?”
“Cayhe juga tahu nona adalah teman Kang Siau-hi, sebab itulah aku tidak ingin berbincang tentang kejelekannya di luar tahunya. Ai, padahal dia seharusnya tidak perlu benci diriku.”
“Tapi mengapa dia benci padamu?”
“Apakah nona cukup akrab dengan dia?”
“Cukupan... cukupan, tidak terlalu akrab.”
“Kelak bila nona sudah kenal lebih mendalam kepribadiannya tentu akan paham... Ai, sebabnya nona Buyung itu menjadi kurang waras kan juga gara-gara perbuatannya.”
Thi Peng-koh melenggong sejenak, lalu ia menuang pula secawan arak dan diminum habis.
“Dalam keadaan sekarang ini sebenarnya tidak pantas Cayhe menyinggung urusan yang dapat membuat kesal,” kata Giok-long dengan tertawa.
Tiba-tiba Peng-koh juga nyekikik, katanya, “Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Eh, adakah kau punya kisah yang menyenangkan, lekaslah bercerita, setiap ceritamu akan kuiringi dengan minum secawan arak.”
Bercerita adalah bakat pembawaan Kang Giok-long, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan habis bila mana dia mau bercerita hal-hal yang menyenangkan. Karena itulah terus-menerus ia bercerita.
Dengan sendirinya Thi Peng-koh juga minum arak secawan demi secawan, sambil tertawa sambil minum, kadang-kadang tersembur keluar, tapi segera minum pula dan tertumpah lagi sehingga tubuh Kang Giok-long juga tersembur basah oleh arak.
Sampai akhirnya Kang Giok-long sudah berhenti cerita, tapi si nona masih cekakak dan cekikik, kemudian ia tak dapat tertawa lagi, ia memberosot jatuh ke bawah kursi dan tak dapat bangun lagi.
Berkilat-kilat mata Kang Giok-long, ia coba memanggilnya, “Apakah nona masih tahu apa yang kukatakan?”
Tapi mendengus saja Peng-koh tidak dapat.
Giok-long menariknya bangun dari kolong meja, terasa seluruh tubuh si nona sudah lemas lunglai seperti tak bertulang. Ke mana Giok-long membawanya, ke situ pula dia menurut.
Tersembul senyum gembira pada ujung mulut Kang Giok-long, gumamnya perlahan, “Kau sendiri yang ingin minum, jangan kau salahkan aku....”
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang bergelak tertawa dan berkata, “Pandai benar cara saudara ini, sungguh Cayhe kagum sekali.”
Giok-long terperanjat, cepat ia menurunkan Peng-koh dan membalik tubuh. Dilihatnya seorang jangkung dan seorang pendek telah melangkah masuk.
Sementara sudah magrib, di ruangan kecil ini belum lagi dinyalakan lampu, keadaan menjadi guram, berdiri di ruangan yang remang-remang ini kedua orang tinggi-pendek itu tampaknya rada-rada menyeramkan.
Meski dalam hati rada waswas, tapi lahirnya Giok-long tenang-tenang saja, dengan tersenyum ia menyapa, “Apakah yang kalian maksudkan adalah diriku?”
“Ya, betul,” jawab si jangkung.
Yang pendek terkekeh-kekeh dan berkata, “Banyak juga tukang pikat perempuan dan ahli merayu yang pernah kulihat, tapi rasanya tiada seorang pun yang lebih pandai dari pada saudara.”
“Hahaha, kepandaian berkelakar kalian sungguh sangat bagus,” jawab Kang Giok-long dengan tergelak-gelak.
Tiba-tiba si jangkung menarik muka, katanya, “Selamanya Cayhe tidak suka berkelakar segala.”
“Habis kalian....”
Dengan terkekeh seram si pendek memotong, “Nona ini sekarang sudah berada di tanganmu, tampaknya sebentar lagi saudara akan mengeloni si cantik, tapi apakah saudara tidak dapat membuat kami juga ikut-ikut senang sedikit.”
“Apa yang kalian maksudkan, sungguh aku tidak paham,” ucap Giok-long dengan suara lirih.
“Maksudku, jikalau saudara ingin mengeloni si cantik, maka kepada kami berdua perlu juga diberi bagian,” jengek si jangkung. “Kalau tidak....”
“Untuk berusaha mungkin kami tidak mampu, untuk menggagalkan rasanya kami cukup sanggup,” sambung si pendek dengan tertawa.
Tiba-tiba Giok-long mendapatkan akal, dengan tersenyum ia berkata pula, “O, jadi kalian juga ingin icip-icip, begitu?”
“Hehe, ini sih kami tidak berani,” kata si pendek. “Cuma saudara kan sudah mendapatkan yang baru, kalau yang lama, yaitu nona yang berada di dalam selimut, tentunya dapat kau berikan kepada kami.”
“Wah, tampaknya banyak juga yang kalian ketahui,” ucap Giok-long dengan tertawa.
Yang jangkung menjengek, “Bicara terus terang, sejak saudara mulai mengincar nona ini, setiap gerak-gerikmu sudah kami lihat dengan jelas.”
Dengan terkekeh-kekeh si pendek menyambung, “Caramu mengantar uang, menyediakan sarapan, membawakan pakaian dan segala perlengkapan yang diperlukan, semuanya telah kami saksikan dengan seksama. Dalam hati kami sungguh kagum luar biasa atas kepandaian saudara, maka sejak mula kami sudah tahu bahwa nona ini pasti tak dapat lolos dari telapak tangan saudara.”
“Bagus, bagus,” Giok-long bergelak tertawa, “Sungguh tidak nyana kalian berminat besar terhadap diriku. Silakan duduk, marilah kita minum bersama barang tiga cawan.”
Si jangkung menjawab, “Arak, dapat kami minum, tapi barang pengiring arak kami sudah membawa sendiri.” Mendadak ia menarik keluar seekor tikus dari dalam lengan bajunya terus dijejalkan di dalam mulut dan mengganyangnya mentah-mentah.
Melengak juga Kang Giok-long, katanya kemudian dengan tertawa, “Ah, kiranya kalian adalah sekaum dengan kelima sahabat tadi, pantas kalian sedemikian jelas terhadap diriku.”
“Bukan saja jelas terhadapmu, bahkan juga sangat jelas terhadap nona di dalam selimut itu,” tukas si pendek dengan tertawa.
“Jadi kedatangan kalian ini ingin....”
“Selain minta saudara suka memberikan nona Buyung kepada kami, ada lagi suatu hal yang perlu kami tanyakan padamu,” sela si jangkung dengan ketus.
“O, urusan apa?” tanya Giok-long.
Sorot mata si jangkung menjadi buas, katanya, “Siapa sebenarnya ketiga orang di dalam gua itu? Apa hubungannya pula dengan dirimu?”
“Nama ketiga orang itu ialah Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, tadi kalian tentu sudah melihat sendiri bahwa mereka adalah musuhku.”
“Beratkah permusuhan kalian?” tanya si jangkung.
“Terserah penilaianmu, yang pasti mereka ingin membunuhku dan aku pun ingin membunuh mereka,” jawab Giok-long dengan tertawa.
“Ehm, bagus, bagus sekali,” si jangkung menyeringai.
Giok-long coba memancing pula, “Kelima sahabat tadi apakah telah....”
“Ya, telah terbunuh oleh mereka,” kata si pendek.
Giok-long menghela napas lega, ucapnya, “Jika begitu, kalian dan Cayhe mempunyai musuh yang sama, sepantasnya Cayhe menyuguh kalian satu cawan.”
“Baik, setelah minum boleh saudara ikut kami berangkat,” kata si jangkung.
Si pendek lantas menyambung, “Mengenai nona ini, boleh saudara berbuat sesukamu dalam perjalanan... Haha, kami pasti akan menyiapkan tempat yang baik bagimu di dalam kereta yang longgar.”
Kang Giok-long melenggong, tanyanya, “Memangnya kalian hendak mengajak aku ke mana?”
Si jangkung menjawab dengan perlahan, “Jika saudara sudah bermusuhan dengan ketiga orang itu, bila mana mereka mengetahui jejakmu, bukankah mereka akan segera menyusul ke tempat sembunyimu?”
“Bi... bisa jadi,” sahut Giok-long.
“Makanya kami ingin mengajakmu ikut kami pulang untuk memancing kedatangan ketiga orang itu,” kata si jangkung dengan tertawa.
Si pendek menyambung pula, “Meski cara ini kurang baik dan membikin susah padamu, tapi selain ini kami benar-benar tidak punya upaya lain, sedangkan kami tidak boleh pulang dengan tangan hampa, maka terpaksa....”
“Ya, maksud kalian kini sudah kupahami seluruhnya,” tiba-tiba Giok-long tertawa “Bila tujuan kalian cuma menggunakan diriku sebagai umpan untuk memancing kedatangan ketiga orang itu, hasilnya kan juga menguntungkan diriku, masa aku tidak mau?”
Si pendek bergelak tertawa, katanya, “Saudara benar-benar seorang bijaksana dan dapat memahami maksud baik orang, biarlah Cayhe juga menyuguhmu satu cawan.”
“Habis minum segera kita berangkat saja,” ucap Giok-long sambil angkat cawannya.
Kedua orang itu pun angkat cawan masing-masing dan sekali tenggak habislah isinya.
Tapi baru saja mereka mendongak, belum lagi arak masuk kerongkongan, sekonyong-konyong cawan di tangan Kang Giok-long menyambar ke depan, menyambit ke tenggorokan si jangkung.
Kontan orang itu mengerang, arak tersembur dari hidungnya, tubuh pun roboh terjengkang.
Baru saja yang pendek terkejut dan belum sempat berbuat apa-apa, arak juga masih berada di kerongkongan, betapa pun dia harus menelan dulu arak yang berada di tempat kepalang tanggung itu.
Tapi pada saat itu juga secepat kilat kedua tangan Kang Giok-long telah menghantam. Meski gerak serangannya tidak selihai Siau-hi-ji, tapi sudah cukup ganas. Terdengar suara “blak-bluk dua kali, si pendek juga lantas roboh terkapar.
Giok-long tepuk-tepuk tangannya sambil menjengek, “Hm, cuma kalian berdua saja ingin membawaku pergi? Masih selisih jauh kemampuan kalian.”