“Maksudnya bukan menghentikan pertaruhan ini, aku justru ingin memperbesar jumlah taruhannya.”
“Hahaha, dalam hal berjudi, selamanya aku tidak kenal limit, makin besar taruhannya makin menyenangkan bagiku. Nah, katakan saja, kau ingin taruhan berapa banyak?”
Dengan tenang Kang Giok-long menjawab, “Modal yang Anda bawa tadi katanya bernilai tujuh puluh sampai delapan puluh laksa tahil perak, ditambah dengan jumlah kemenangan yang sudah kau dapat maka modalmu sekarang sudah ada dua juta tahil. Nah, boleh kita bertaruh dua juta tahil saja sekaligus.”
“Hahaha, bagus!” sorak Han-wan Sam-kong. “Satu kali taruhan menentukan kalah dan menang, ini benar-benar pertaruhan yang menyenangkan. Cuma....” Tiba-tiba ia berhenti tertawa dan membentak, “Sudah kuperiksa tadi, harta karun simpananmu itu paling-paling cuma bernilai dua sampai tiga juta tahil, kini sudah separo kau kalah padaku, dari mana lagi kau menyediakan modal dua juta tahil untuk bertaruh dengan aku?”
“Sisa harta simpananku itu sedikitnya masih ada satu juta tahil,” kata Kang Giok-long.
“Dan selisihnya lagi satu juta?” tanya Ok-tu-kui.
“Selisih satu juta tahil kupenuhi dengan manusianya.”
“Buset! Anak kura-kura macam kau ini masa bernilai satu juta tahil?” Ok-tu-kui terbahak-bahak.
Namun Kang Giok-long tetap tenang saja, jawabnya dengan tersenyum, “Biar pun Cayhe tidak berharga satu juta, tapi kan masih ada satu orang yang bernilai lebih dari satu juta.”
“Siapa? Di mana?” tanya Ok-tu-kui.
“Apakah Tuan perlu menimbang dulu barang dengan harganya?” tanya Giok-long dengan tertawa.
“Sudah tentu,” seru Ok-tu-kui dengan melotot, “Di meja judi yang dikenal cuma duit, biar pun ayah dan anak atau suami dan istri juga tidak peduli, satu sen pun harus dihitung dengan jelas.”
“Jika begitu, biarlah Cayhe membawanya kemari,” kata Giok-long.
Di belakang Han-wan Sam-kong adalah sebuah batu padas yang mencuat keluar, di atas batu itulah tertaruh sebuah lampu minyak. Kang Giok-long terus angkat lampu itu dan melangkah keluar, katanya pula dengan tersenyum, “Tuan jangan khawatir, segera Cahye akan kembali.”
“Sudah tentu Locu (bapak) tidak perlu khawatir,” ujar Ok-tu-kui dengan tertawa. “Semua kekayaanmu berada di sini, kau pun buru-buru ingin memenangkan kembali modalmu yang sudah habis sebagian ini, mustahil kalau kau tidak lekas kembali lagi ke sini.”
Habis berkata barulah dia mulai meraih sepotong paha ayam yang langsung dilalapnya dan didorong dengan tenggakan arak.
Terkesima Thi Peng-koh menyaksikan tingkah laku kedua orang itu, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, “Sungguh luar biasa orang-orang ini, sekali taruhan bernilai jutaan tahil perak, harta mereka seakan-akan diperoleh dari mencuri.”
“Memangnya siapa bilang hartanya bukan berasal dari mencuri?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Biar pun hasil mencuri juga perlu banyak membuang tenaga dan pikiran, jika dihabiskan dalam pertaruhan begini, kan sayang?” tukas Peng-koh.
“Segala macam harta benda, kalau didapatkan dengan mudah, habisnya juga mudah,” ujar Siau-hi-ji. Apa lagi seorang penjudi, sekali pun bininya dijadikan barang taruhan dan diambil lawannya juga tidak akan membuatnya menyesal. ” Ia tertawa, lalu menyambung, “Cuma tak terduga olehku bahwa Kang Giok-long ini juga setan judi, setelah kalah ludes masih belum rela dan ingin bertaruh pula dengan gadai orang.”
“Jangan-jangan istrinya yang akan digadaikan untuk taruhan?” kata Peng-koh dengan tertawa ngikik.
“Seumpama dia punya istri juga takkan laku satu juta,” kata Siau-hi-ji. “Permainan apa yang akan dilakonkan bocah ini sungguh aku pun tak dapat menerkanya. Maklum, orang yang berharga satu juta tahil perak kan langka?”
Dalam pada itu Kang Giok-long telah kembali dengan menggandeng satu orang yang bertubuh ramping, tampaknya seperti seorang perempuan, cuma mukanya memakai cadar sehingga wajahnya tidak kelihatan.
“Mengapa kau membawa perempuan kemari?” tegur Ok-tu-kui sambil berkerut kening.
“Dengan sendirinya harus perempuan, kalau lelaki kan tidak berharga,” jawab Giok-long dengan tersenyum.
“Tetapi barang bekas pakai dari anak kura-kura macam kau ini mana bisa laku sepeser pun?” ujar Ok-tu-kui sambil terbahak-bahak.
Dengan sikap sungguh-sungguh Kang Giok-long menjawab, “Meski nona ini telah ikut aku beberapa hari, kujamin masih baru, masih tetap mulus, seujung rambut pun tidak pernah kuganggu. Garansi!”
“Ah, masa ada kucing yang tidak makan ikan asin? Locu tidak percaya.”
“Kalau Tuan tidak percaya, boleh diuji coba!” kata Giok-long dengan tertawa. Lalu ia menaruh lampu tadi di atas batu, cuma sekali ini tidak ditaruhnya di belakang Ok-tu-kui melainkan di belakangnya sendiri. Cahaya memancar dari atas pundaknya sehingga bagian depan Han-wan Sam-kong tersorot terang.
Sebuah lampu ditaruh di mana pun adalah soal kecil dan takkan diperhatikan oleh siapa pun. Namun hal ini justru menarik perhatian Siau-hi-ji, ia mengeryitkan kening dan bergumam, “Bocah ini sedang main gila apa lagi? Lampu itu dibawanya pergi datang, rasanya pasti mempunyai maksud tertentu.”
Isi perut Kang Giok-long yang penuh air busuk itu rasanya tiada orang yang tahu terlebih jelas dari pada Siau-hi-ji.
Perempuan bercadar hitam tadi masih tetap berdiri mematung saja, Kang Giok-long lantas membukakan cadarnya dan dia masih tetap berdiri termangu-mangu tak bergerak.
Di bawah cahaya lampu yang cukup terang, terlihat wajah perempuan ini ternyata cantik sekali walau pun agak pucat.
Mata Thi Peng-koh terbeliak melihat wajah yang ayu itu. Sedangkan Siau-hi-ji hampir saja berteriak demi melihat wajah itu.
Buyung Kiu!
Perempuan ini ternyata Buyung Kiu adanya. Setelah diusir oleh Samkohnio, dia terus berlari-lari kian kemari sepanjang jalan tanpa arah tujuan, di tengah malam gelap dengan sendirinya tiada orang yang melihatnya.
Seperti orang tidur berjalan saja, dengan linglung ia terus lari keluar kota. Walau pun ada yang merasa heran, tapi melihat pakaiannya yang bagus, orangnya juga cantik, maka tiada orang yang berani mengganggunya.
Tingkah laku Buyung Kiu yang aneh itu telah didengar oleh Kang Giok-long, segera ia menduga perempuan aneh itu pasti Buyung Kiu adanya, maka dia lantas meninggalkan urusan lain dan putar balik, dan di tengah jalan kebetulan memergoki Buyung Kiu yang sedang kelaparan setengah mati.
Dengan sendirinya Kang Giok-long tidak khawatir rahasianya akan dibocorkan Buyung Kiu yang kurang waras itu, segera nona itu dibawanya serta ke tempat simpanan harta rampasanya ini. Tak tersangka, “serigala mengincar ayam, harimau justru mengintai di belakangnya.” Pada saat yang sama Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong juga menguntit di belakangnya, akhirnya mereka berhadapan dan terjadi pertaruhan besar-besaran.
Begitulah Ok-tu-kui jadi tercengang juga setelah melihat wajah Buyung Kiu, setelah terkesima sejenak, akhirnya ia berkata dengan gegetun, “Cantik memang, benar-benar perempuan cantik. Cuma sayang sudah dua puluh tahunan, setiap perempuan cantik sudah tidak menarik lagi bagiku, maka lebih baik kau membawanya pergi saja.”
“Meski nona ini sangat cantik, tapi harganya yang tinggi justru tidak terletak pada wajahnya ini,” ucap Kang Giok-long dengan tersenyum.
“Memangnya terletak di bagian mana?” tanya Ok-tu-kui, pikirannya lantas melayang-layang ke bagian tertentu.
“Terletak pada kedudukannya,” jawab Giok-long.
“Hahaha! Memangnya dia seorang putri raja?”
“Meski bukan putri raja, tapi juga terpaut tidak banyak dengan seorang putri.”
“Sesungguhnya siapa dia? Mengapa kau anak kura-kura ini sengaja jual mahal?” omel Ok-tu-kui dengan gusar.
Dengan tenang Giok-long menjawab, “Dia adalah Buyung Kiu, nona kesembilan dari Kiu-siu-san-ceng.”
Melengak juga Ok-tu-kui, tertarik hatinya, ia menegas, “Jadi putri kesembilan Buyung Yong? Mengapa bisa berada di tanganmu?”
“Akibat perbuatan orang jahat, pikirannya menjadi kurang waras dan berkeluyuran ke mana-mana, dengan segala daya upaya kedelapan kakak perempuan dan iparnya telah mencarinya dan tidak menemukannya. Rupanya nasibku lagi mujur, tanpa sengaja telah kutemukan dia,” setelah tertawa, lalu Giok-long melanjutkan, “Nah, coba pikir, bila mana dia diantar pulang kepada kakak-kakaknya, lalu cara bagaimana mereka akan berterima kasih padamu? Kuyakin hadiah besar pasti sudah disediakan di sana.”
Setelah berpikir, Ok-tu-kui bertepuk dan berseru, “Baik, jadi, kita langsungkan pertaruhan ini!”
“Jangan!” sekonyong-konyong seorang berteriak.
Teriakan Siau-hi-ji secara mendadak ini bukan saja membuat kaget Ok-tu-kui dan Kang Giok-long, bahkan Thi Peng-koh juga terperanjat.
Seketika Kang Giok-long melonjak bangun dan membentak, “Siapa itu?”
Siau-hi-ji tenang-tenang saja, lebih dulu ia membisiki Thi Peng-koh, “Mari ikut keluar, apa yang kau suka silakan ambil saja dan makan sekenyangnya, sekali-kali jangan sungkan. Kini aku sudah mempunyai akal untuk menghadapi bocah busuk ini.”
Habis memberi pesan kepada si nona barulah ia melangkah keluar dengan berlenggang, tegurnya sambil tertawa, “Wahai kawan yang suka sembunyi di liang jamban dan makan tahi itu, memangnya kau sudah lupa padaku?”
Melihat Siau-hi-ji, kaget Kang Giok-long melebihi melihat setan, ia tersurut mundur dan menjerit, “He, ken... kenapa engkau berada di sini?”
“Arwah bapakmu ini masih penasaran, maka akan senantiasa membayangi anak kura-kura macam kau ini,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa ala Ok-tu-kui.
Dasarnya memang cerdik dan pintar, apa yang ditirunya pasti persis, caranya menirukan lagu dan lagak Ok-tu-kui bahkan hampir sukar dibedakan mana yang asli dan mana yang tiruan.
Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong menepuk pundak anak muda itu keras-keras, serunya sambil tertawa, “Hahaha! Jika orang lain yang muncul mendadak dari dalam sana mungkin akan membuatku kaget, tapi kau setan cilik ini, biar pun kau timbul dari bawah bumi juga takkan mengherankan aku.”
Setelah bergelak tertawa, lalu ia menyambung pula, “Di kolong langit itu tiada sesuatu yang tak dapat kau lakukan.”
“Siapa bilang?” tukas Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. “Paling sedikit aku tak dapat bertelur?”
Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Siau-hi-ji lantas sibuk dengan tangan dan mulutnya, semua barang santapan yang tersedia di situ terus disikatnya. Buyung Kiu memandangnya dengan termangu, seperti kenal dan juga seperti tidak kenal.
Melihat di belakang Siau-hi-ji mengikut seorang nona cantik, malahan cara makannya juga serupa Siau-hi-ji, main sikat laksana orang yang sudah tiga tahun tidak makan. Giok-long tidak tahu bahwa Siau-hi-ji dan Thi Peng-koh memang sedang kelaparan dan sudah beberapa hari tidak pernah makan apa-apa.
Ok-tu-kui juga merasa geli menyaksikan cara makan Siau-hi-ji yang rakus itu, sejenak kemudian ia bertanya, “Adik cilik, kau tahu hobiku selama hidup ini adalah bertaruh, mengapa tadi kau berteriak mencegah pertaruhanku?”
“Sebab... sebab bila mana pertaruhan itu berlangsung, maka tertipulah engkau,” jawab Siau-hi-ji dengan kurang begitu jelas karena mulutnya penuh makanan.
“Lucu kan setan judi tua, anak kura-kura ini paling-paling juga cuma setan judi kecil saja, masa dia dapat menipuku,” kata Ok-tu-kui. “Apa lagi cara pertaruhan ini juga sangat adil, tidak mungkin berbuat curang, kecuali dia memang siluman tikus.”
Bicara punya bicara, akhirnya ia terbahak-bahak lagi seakan-akan di dunia ini tiada orang lain yang sanggup bercerita lelucon yang lebih lucu dari padanya, makin tertawa makin gembira dia.
Menunggu setelah Ok-tu-kui selesai tertawa, dengan perlahan barulah Siau-hi-ji bersuara, “Kau bilang pertaruhan ini sangat adil, dan engkau sudah menang beberapa kali, betul tidak?”
“Betul,” jawab Ok-tu-kui.
“Apakah kau tahu mengapa engkau menang?”
“Sudah tentu lantaran aku mujur.”
“Bukan begitu,” kata Siau-hi-ji cepat.
Ok-tu-kui mengernyitkan kening dan berkata, “Memangnya masih ada sebab lain?”
“Ya, sebab....” Siau-hi-ji sengaja memandang Kang Giok-long sekejap, lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata pula, “Ah, tidak, tidak boleh kukatakan.”
“Mengapa tidak boleh kau katakan?” seru Ok-tu-kui sambil berjingkrak.
“Sudah dua-tiga hari kesehatanku kurang baik, kukhawatir anak kura-kura ini akan melabrak diriku.”
Ok-tu-kui menjadi gusar, teriaknya, “Bila anak kura-kura ini berani menyentuh seujung jarimu, mustahil kalau tulang belulangnya tidak kulepasi satu per satu.”
“Jadi engkau akan membantuku bila mana aku berkelahi dengan dia?” tanya Siau-hi-ji.
“Sudah tentu,” jawab Ok-tu-kui tegas.
“Bagus, jika demikian barulah aku merasa lega,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu sambungnya, “Kau tahu bahwa tikus paling takut pada cahaya terang, perbuatannya selalu dilakukan secara gelap-gelapan, pada waktu malam tikus baru berani beroperasi, tapi bila ada cahaya lampu, mereka lantas mundur teratur pula.”
“Sungguh tidak disangka kau pun sangat memahami watak kaum tikus,” kata Ok-tu-kui dengan tertawa.
“Hi (ikan) dan tikus kan senasib, bila ketemu kucing lantas kepala pusing, kalau ikan tidak memahami tikus, lalu siapa yang memahami mereka?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Kembali Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal hingga tak dapat bernapas, ucapnya dengan terengah-engah, “Tapi... tapi apa sangkut-pautnya dengan persoalan ini?”
“Tikus yang berkeliaran di sini mungkin sekali baru saja pindah dari luar sana, bisa jadi di luar sana kedatangan seekor kucing buas sehingga kawanan tikus ini terhalau masuk ke gua sini,” kata Siau-hi-ji pula. “Tak terduga bahwa di dalam gua ini tiada rumah makan kaum tikus, karena kelaparan, terpaksa mereka menyambar keratan daging di depan kalian ini....”
“Tapi itu pun perlu Locu berdiam tanpa bergerak,” tukas Ok-tu-kui dengan tertawa. “Barang siapa tidak tahan dan bergerak sedikit saja, maka kawanan tikus ini pasti tidak berani menggondol lari daging di depannya.”
“Namun engkau tetap melupakan satu hal,” kata Siau-hi-ji. “Lampu ini tadi berada di belakangmu, tubuhmu menghalang-halangi cahaya lampu sehingga keratan daging itu berada di tempat yang gelap. Kawanan tikus takut pada cahaya, yang diincar hanya daging yang terletak di tempat yang gelap, makanya berturut-turut engkau dapat menang beberapa kali.”
“Aha, memang benar, kau memang setan cerdik, sampai-sampai hal yang rumit begini juga kau pikirkan,” seru Ok-tu-kui sambil bertepuk.
“Yang berpikir akan hal ini tidak cuma aku saja,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Masa anak kura-kura ini pun dapat berpikir hal ini? Mengapa dia tidak omong?”
“Dia tidak omong, karena dia dapat memainkan Swipoanya dengan cemerlang,” kata Siau-hi-ji.
“Ah, pahamlah aku,” kata Han-wan Sam-kong. “Setelah anak kura-kura ini tukar tempat lampu ini, kini cahaya lampu tepat menyorot bagian depanku, karena yakin sekali ini dia pasti akan menang, makanya dia mengajak bertaruh besar-besaran sekaligus.”
“Ya, beginilah,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kalau hal ini dilakukannya tadi kan tiada gunanya, tapi kini dia akan dapat meraih kembali kekalahannya, bahkan dapat menang lebih banyak darimu.”
“Hah, jika tiada kau, sekali ini Locu pasti akan ‘kapal terbalik di selokan’,” ujar Ok-tu-kui dengan geli dan dongkol.
Siau-hi-ji lantas berpaling kepada Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa, “Nah, bagaimana? Betul tidak ucapanku?”
Air muka Kang Giok-long sudah tambah pucat sejak tadi, tapi dia sengaja menjengek, “Hm, kalau kau suka mengukur orang lain dengan perutmu sendiri, apa yang dapat kukatakan lagi?”
“Haha, Kang Giok-long, isi perutmu yang penuh dengan air busuk itu mungkin sukar diraba orang, tapi bagiku masa tidak tahu? Di hadapanku kau tidak perlu berlagak dungu,” Siau-hi-ji bergelak tertawa.
“Mungkin nasibku sedang malang, makanya ketemu setan,” dengus Kang Giok-long.
“Betul, ketemu aku bagimu boleh dikatakan malang dan sial delapan turunan,” ujar Siau-hi-ji tertawa. “Kini barang dan orangnya telah kutangkap basah, ayolah kau ikut padaku menemui Toan Hap-pui, coba bicaralah nanti.”
Kang Giok-long memandang Siau-hi-ji, lalu memandang Ok-tu-kui pula, katanya sambil menunduk, “Urusan sudah telanjur begini, aku pun tak dapat berkata apa-apa, cuma....” Mendadak ia menelikung tangan Buyung Kiu, ia sendiri lantas menyelinap ke belakang nona itu, lalu berkata pula sambil menyeringai, “Cuma jiwa nona ini apakah tidak kalian pikirkan?”
Diam-diam Siau-hi-ji terkejut, tapi dia sengaja bergelak tertawa, katanya, “Jika kau hendak menggunakan Buyung Kiu sebagai sandera, maka kelirulah kau. Barangkali kau tidak tahu bahwa dia selalu ingin membunuhku, apakah mungkin aku akan menolongnya malah?”
Ok-tu-kui juga tertawa, katanya, “Locu juga tidak tertarik pada kaum wanita, mati-hidupnya tiada sangkut-paut apa pun denganku.”
“Jika begitu, mengapa kalian tidak turun tangan padaku?” ujar Kang Giok-long dengan tenang dan tersenyum.
“Soalnya Locu tidak ingin membunuhmu,” kata Ok-tu-kui.
“Huh, tanganku bisa kotor bila kugunakan untuk membunuh orang yang suka makan tahi,” Siau-hi-ji juga tertawa.
“Kalau begitu, baiklah Cayhe mohon diri saja, dengan sendirinya nona Buyung ini pun akan kubawa serta,” kata Giok-long.
“Pergilah, silakan!” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Dengan membawa pergi Buyung Kiu, memangnya tiada orang yang akan mencari dan membuat perhitungan denganmu.”
“Kukira soal ini saudara tidak perlu ikut khawatir,” jengek Giok-long. “Bila mana aku ditanya orang, dapatlah kujawab bahwa kubawa lari nona Buyung justru untuk menyelamatkan dia dari kekejianmu. Bila tiada Kang Siau-hi-ji, saat ini Buyung Kiu tentu tidak jadi begini?”
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, katanya “Ai, ayah musang tak mungkin melahirkan anak ayam, kalian ayah dan anak mungkin tiada kepandaian lain, tapi dalam hal memfitnah dan pura-pura menjadi orang baik sungguh sukar ditandingi orang lain.”
“Hahahaha!” Kang Giok-long tertawa latah. “Entah apa itu orang baik? Apa itu orang jahat? Memangnya kau kira manusia di dunia ini dapat dibedakan antara yang baik dan jahat?”
“Tapi kau telah merampas harta milik Toan Hap-pui, bukti dan saksi sudah nyata, apakah kau dapat mungkir?”
“Harta apa?” jawab Giok-long. “Kedua tanganku kosong, mana ada harta bendaku? Harta benda yang ada sekarang ini milik siapa, maka dia itulah yang merampasnya. Logika ini kan sangat sederhana?”
“Kurang ajar!” teriak Ok-tu-kui gusar. “Kau anak kura-kura ini juga hendak memfitnahku?”
“Kau menuduh aku memfitnahmu, tapi aku justru bilang kau yang memfitnahku,” jengek Kang Giok-long. “Bolehlah kita beberkan persoalan ini kepada khalayak ramai, coba mereka lebih percaya kepada seorang ‘Ok-tu-kui’ atau lebih percaya pada cerita orang she Kang.”
Han-wan Sam-kong jadi melenggong karena gregetan, katanya kemudian sambil menyeringai, “Kau anak kura-kura ini kalau dilahirkan lebih dini beberapa tahun, jelas gelar Cap-toa-ok-jin harus mengikutsertakan kau.”
“Terima kasih atas pujianmu,” kata Giok-long dengan tertawa. “Cuma Cayhe....”
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri di luar sana. Jeritan ngeri ini kedengaran sangat menyeramkan, bahkan berkumandang hingga lama sekali, orang yang menjerit itu mungkin melihat sesuatu kejadian yang sangat kejam dan menakutkan, bahkan seperti sedang mengalami sesuatu siksaan yang sukar ditahan. Jeritan ngeri yang aneh ini cukup membekukan darah bagi siapa pun yang mendengarkannya.
Air muka Kang Giok-long tampak berubah paling cepat dan juga paling ketakutan.
“Apakah orang di luar itu adalah pengikutmu?” tanya Siau-hi-ji.
Kang Giok-long tidak menjawab lagi, ia tarik Buyung Kiu terus hendak lari keluar.
Cepat Siau-hi-ji membentak, “Pendatang itu dapat membuat anak buahmu menjerit ngeri begitu, tentu dia sangat lihai dan menakutkan, tidak soal bila kau ingin cari mampus dengan lari keluar, tapi Buyung Kiu harus....” Sekonyong-konyong ucapannya berhenti, dalam kegelapan sana sudah muncul lima sosok bayangan orang.
Meski wajah mereka itu belum kelihatan, tapi hawa seram yang terbawa masuk oleh orang itu sudah cukup membuat setiap orang berkeringat dingin.
Dalam kegelapan terdengar suara “ciat-ciit” yang terus-menerus dan merindingkan bulu roma. Lima sosok bayangan itu melangkah masuk dengan perlahan.
Yang pertama dilihat Siau-hi-ji adalah berpasang mata mereka yang hijau aneh dengan sorot mata yang gemerlapan, menyusul lantas tertampak wajah mereka yang lain dari pada yang lain, pucat kehijau-hijauan, seakan-akan darah yang mengalir di tubuh mereka memang berwarna hijau.
Kelima orang sama mengenakan jubah hitam panjang menyentuh tanah, tangan kanan masing-masing membawa cambuk, tangan kiri menenteng sangkar besi. Suara ciat-ciit yang seram dan memuakkan itu justru timbul dari kurungan besi itu.
“Hai, siapakah para sahabat? Untuk keperluan apa kalian datang kemari?” bentak Han-wan Sam-kong.
Suara bentaknya menggelegar laksana bunyi guntur sehingga menggema lembah pegunungan sekelilingnya, dengan Lwekang yang tinggi ini maksudnya hendak menggertak pihak lawan agar mundur teratur.
Tak tahunya kelima orang berbaju hitam itu sama sekali tidak ambil pusing, bahkan mata pun tidak berkedip. Sorot mata yang hijau seram itu mengerling kian kemari antara Siau-hi-ji, Kang Giok-long dengan kedua nona.
Sudah Sejak tadi Kang Giok-long mundur kembali, segera ia pun membentak, “Nona Kiu dari Kiu-siu-san-ceng serta Ok-tu-kui berada di sini, kalau terlambat jangan harap kalian dapat lolos lagi!”
Dia memang cerdik, melihat gelagat jelek, segera ia menonjolkan nama Han-wan Sam-kong dan Buyung Kiu untuk menggertak lawan. Ia pikir andaikan nama kedua orang itu tidak berhasil menggertak lawan juga tidak menjadi soal, umpamanya kelak pihak lawan hendak mencari balas tentu bukan dia yang menjadi sasarannya.
Namun kelima orang itu tetap tenang-tenang saja, bahkan tetap melangkah masuk tanpa berhenti.
Mendadak Thi Peng-koh menjerit kaget sambil menarik tangan Siau-hi-ji, ucapnya dengan terputus-putus, “Ti... tikus... alangkah banyaknya tikus di dalam sangkar itu!”
Memang betul, di dalam kurungan besi itu ada berpuluh-puluh ekor tikus yang sedang mengeluarkan suara ciat-ciit menyeramkan. Meski Siau-hi-ji tidak takut pada tikus, tapi berpuluh pasang mata yang jelilatan serta gumpalan badan tikus yang berbulu itu membuatnya jijik dan merinding juga.
Salah seorang baju hitam lantas berkata, “Hehe, betul tikus... Kami berlima memang datang ke sini untuk cari tikus dan tiada sangkut-paut dengan manusia. Asalkan kalian berdiri di tempat, pasti takkan kami ganggu sedikit pun.”
Meski dia bicara dengan ramah tamah, tapi nadanya terlebih memuakkan dari pada bunyi tikus.
Han-wan Sam-kong melengak, tanyanya, “Masa kedatangan kalian hanya untuk menangkap tikus?”
“Ya,” jawab orang itu.
“Menangkap tikus untuk apa?” tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong karena heran.
“Soalnya daging tikus adalah kegemaran majikan kami, maka kami diperintahkan menangkap tikus ke mana-mana,” tutur si baju hitam dengan terkekeh-kekeh. “Namun ratusan li seputar sini, kawanan tikus telah sama lari ke pegunungan sini, sebab itulah kami pun mencarinya kemari.”
“O, pantas di gua ini tikus begini banyak, kiranya kalian yang menggiringnya kemari, tadinya kusangka di luar sana kedatangan seekor kucing galak yang membuat kawanan tikus ketakutan,” ucap Siau-hi-ji.
Air muka Han-wan Sam-kong tampak agak berubah seperti ingat kepada seorang, dengan suara bengis ia lantas tanya, “Siapakah majikan kalian?”
Si bajuhitam tidak menjawabnya lagi, tapi lantas memberi tanda kepada kawan-kawannya. Berbareng kelima orang lantas mengeluarkan suara suitan seperti suara sempritan yang membuat orang merasa ngilu dan seram pula.
Thi Peng-koh menutup telinganya, Siau-hi-ji juga merasa tidak enak, tapi rasa ingin tahunya memang besar, maka peristiwa aneh ini betapa pun ingin diikutinya hingga jelas.
Kedua mata Han-wan Sam-kong tampak melotot, kelihatan ada tanda-tanda rasa jeri dan khawatir.
Dengan suara tertahan Siau-hi-ji tanya padanya, “Siapakah sahabat yang gemar makan tikus ini? Apakah kau tahu?”
Han-wan Sam-kong hanya bersuara “ehm” saja. Waktu Siau-hi-ji mengulangi pertanyaannya, tetap Ok-tu-kui hanya mengeluarkan dengusan begitu.
Tokoh Cap-toa-ok-jin yang tidak kenal apa artinya takut ini seakan-akan terkesima membayangkan sesuatu yang sangat menakutkan, pertanyaan Siau-hi-ji seolah-olah tak didengar olehnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari bawah lubang-lubang tanah dan celah-celah batu timbul suara riuh aneh laksana ada beribu-ribu ekor tikus sedang bercuat-cuit saling berebut jalan buat lari keluar.
Cepat para baju hitam itu menaruh sangkar besi mereka pada lima penjuru. Pada saat lain kawanan tikus tampak berbondong-bondong lari keluar dari celah-celah batu sana dan dari tempat kegelapan, seperti air bah saja membanjir keluar, jumlahnya sukar dihitung.
Tikus yang pernah dilihat Siau-hi-ji selama hidup ini kalau ditotal menjadi satu mungkin tiada sepersepuluh dari pada jumlah tikus yang dilihatnya sekarang. Sungguh mimpi pun tak terbayang olehnya bahwa di dunia ini terdapat tikus sebanyak ini.
Bila mana kini yang muncul adalah segerombolan serigala lapar atau serombongan harimau atau singa mungkin takkan membuat takut Siau-hi-ji, tapi gerombolan tikus sebanyak ini malah membuat mukanya menjadi pucat dan badan merasa dingin, arak daging yang dimakannya tadi terasa bergolak di dalam perut seakan-akan hendak tertumpah keluar.
Peng-koh tidak tahan, kontan ia muntah-muntah.
Sementara itu kawanan tikus lari serabutan di sekitar kaki mereka, tokoh-tokoh ilmu silat kelas tinggi ini sama-sama kelabakan dan melompat ke atas batu serta berjubel di situ.
Peng-koh menutupi mukanya dan merasa ngeri. Mata Siau-hi-ji juga terbelalak lebar. Beribu tikus berlari kian kemari di bawah kakinya, pemandangan ini sukar dicari, betapa pun ia tidak mau sia-siakan adegan menarik ini. Terlihat orang-orang berbaju hitam itu masih terus menyemprit tiada berhenti, cambuk mereka pun menggeletar, kawanan tikus itu dihalau masuk ke sangkar besi mereka.
Meski sangkar besi itu tidak kecil tapi juga tidak terlalu besar, begitu kawanan tikus itu lari masuk sangkar, seketika berjubel seperti tukang sayur mengisi bakulnya dengan ubi, sampai akhirnya kurungan besi itu sudah padat, tapi masih ada tikus lain yang berdesakan ingin menyusup ke situ.
Setelah lima sangkar besi benar-benar sudah penuh dan sukar diisi lagi barulah kelima orang berbaju hitam menurunkan cambuknya dan berhenti menyemprit.
Sisa kawanan tikus yang lain seketika seperti mendapat “pengampunan umum,” serentak lari serabutan terpencar ke mana-mana, hanya sekejap saja seekor pun tidak nampak lagi. Suasana di dalam gua lantas tenang kembali.
Peng-koh mengintip dari balik sela-sela jarinya baru kemudian berani menurunkan tangannya, wajahnya kelihatan penuh keringat dingin seakan-akan seorang yang habis mengalami mimpi buruk.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya dengan menyengir, “Baru sekarang kutahu tikus ternyata begini menakutkan.”
“Dirodok!” Ok-tu-kui mencaci-maki. “Beribu-ribu tikus begini memang belum pernah kulihat.”
“Cayhe sih tidak takut, hanya agak mual,” ujar Kang Giok-long dengan tertawa.
“Ucapan sahabat ini tidak salah, tikus tidak menakutkan, bahkan sangat lezat rasanya,” ujar si baju hitam yang menjadi kepalanya.
“Lezat?” Siau-hi-ji berkerut kening.
“Jika tidak percaya, sekali kau coba mungkin seterusnya kau akan ketagihan,” ujar si baju hitam dengan tertawa aneh. Berbareng ia terus mengambil keluar seekor tikus gemuk dari sangkarnya dan disodorkan kepada Siau-hi-ji.
Cepat Siau-hi-ji goyang-goyang kedua tangannya dan berkata, “Ah, seorang lelaki sejati tidak mungkin merampas kesukaan orang lain. Jika tikus memang lezat rasanya, silakan saudara pakai sendiri saja.”
“Sayang, sungguh sayang,” berkata si baju hitam. “Tak tersangka, saudara yang kelihatan bernyali besar, akan tetapi seekor tikus saja tidak berani makan, padahal bila mana sekali saudara sudah merasakan daging tikus, maka daging lainnya akan terasa hambar.”
Sembari bicara ia benar-benar menyodorkan tikus hidup yang dipegangnya itu ke dalam mulut terus dimakannya mentah-mentah, malahan darah segar lantas menetes dari ujung mulutnya.
Seketika Siau-hi-ji merinding, lantas berteriak, “Setelah sahabat berhasil menangkap tikus sebanyak ini, tentunya sekarang kalian boleh pergi.”
Tiba-tiba saja Kang Giok-long berolok-olok. “Biasanya kau paling suka mengurusi tetek bengek, mengapa kali ini kau tidak mau ikut campur?”
“Kalau ada orang yang gemar makan tikus, itu kan urusannya sendiri, untuk apa aku ikut campur?” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Misalnya kau suka makan kotoran manusia, kan aku pun tidak pernah mencegah?”
Berubah kecut muka Kang Giok-long, segera ia berpaling ke arah si baju hitam dan bertanya, “Apakah sahabat benar-benar hendak pergi sekarang?”
Orang itu menjawab, “Kan sudah kukatakan tadi, kedatangan kami ini hanyalah untuk menangkap tikus dan tiada sangkut-pautnya dengan orang lain.”