Cepat Siau-hi-ji melompat bangun dan berseru, “Kau tidak khawatir dilihat orang lain....”
Dengan ketus Thi Peng-koh memotongnya, “Kesempatan sukar dicari lagi, terpaksa aku harus menyerempet bahaya. Apa lagi penghuni-penghuni di sini kebanyakan tidak suka memperhatikan urusan orang lain. Seumpama tiga hari dia tidak muncul juga tiada orang yang menanyakan dia.”
Sembari bicara ia terus menggeser tempat tidur itu dan meraba-raba dinding, segera tertampaklah sebuah pintu sempit.
Cepat Thi Peng-koh menyelinap ke balik pintu sambil berseru tertahan, “Lekas ikut padaku!”
Di balik dinding itu ternyata ada sebuah jalan di bawah tanah yang berliku-liku entah menembus ke mana. Hanya terasa hawa dingin dan lembap dengan bau apek yang memuakkan.
Kejut dan girang Siau-hi-ji, sambil mendekap hidung ia ikut berjalan sekian lamanya, akhirnya ia berkata dengan gegetun, “Sungguh tidak disangka di dalam kelenteng ini ada jalan rahasia begini, sejak kapan kau menemukannya?”
“Waktu akan mengatur dan memperbaiki tempat ini lantas kutemukan jalan rahasia ini,” tutur Peng-koh. “Menurut perkiraanku, biara ini mungkin dibangun pada jaman ‘Ngoh-oh-cok-loan’ (geger lima suku bangsa), waktu itu suasana kacau balau, kejahatan merajalela, jiwa manusia lebih rendah dari pada binatang. Banyak orang-orang baik yang memotong rambut menjadi rahib untuk menghindari kerusuhan yang berkecamuk. Namun biara juga bukan tempat yang aman, maka para paderi di sini membangun jalan rahasia ini untuk menghindari bahaya.”
“Tampaknya kau memang agak berbeda dari pada anak perempuan lain yang pernah kukenal.” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
“O, memangnya berbeda dalam hal apa?”
“Kau bisa memakai otak,” kata Siau-hi-ji. “Di dunia ini anak perempuan yang dapat menggunakan otaknya kini makin sedikit, malahan ada sementara perempuan yang punya otak sekali pun tapi justru malas menggunakannya. Mereka mengira cukup asalkan anak perempuan mempunyai wajah yang lumayan.”
Thi Peng-koh seperti tertawa, katanya, “Tapi itu pun salah kaum lelaki.”
“O, alasannya?” tanya Siau-hi-ji.
“Sebab pada umumnya kaum lelaki tidak menyukai anak perempuan yang berotak, mereka takut bila mana anak perempuan akan mengungguli mereka, sebab itulah anak perempuan yang semakin pintar juga semakin berlagak bodoh dan lemah. Pada dasarnya kaum lelaki memang suka menganggap dirinya lebih kuat dari pada perempuan dan lebih suka menjadi si pelindung, jika demikian, mengapa pihak perempuan tidak membuat mereka memeras otak lebih banyak dan lebih banyak pula mengeluarkan tenaga?”
“Wah, jika begini jadinya yang bodoh adalah kaum lelaki?” kata Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. “Tapi katanya kau tidak pernah kenal seorang lelaki mana pun, mengapa kau sedemikian memahami kaum lelaki?”
“Secara kodrat perempuan memang dilahirkan agar memahami kaum lelaki.”
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, ucapnya, “Ya, memang benar juga perkataanmu, seorang lelaki kalau menganggap dirinya dapat memahami jalan pikiran perempuan, maka masa menderitanya pasti akan bertambah lama.”
Dalam hati mereka sekarang sebenarnya penuh rasa khawatir, sebab itulah mereka sengaja pasang omong sedapatnya dengan tujuan sekadar mengendurkan saraf yang tegang.
Maklumlah, di lorong bawah tanah yang pengap dan seram itu, sedangkan keselamatan jiwa mereka pun tidak diketahui apakah dapat dipertahankan, kalau mereka tidak bicara, tentu suasana akan bertambah mencekam.
Jalan di bawah tanah itu semakin lembap dan juga semakin gelap. Waktu Siau-hi-ji merabanya, terasa kedua sisi bukan lagi tembok yang licin melainkan dinding batu yang keras, kasap dan berlumut.
Sementara itu ia pun merasakan jalanan juga mulai tidak rata. Tanyanya kepada Thi Peng-koh. “Apakah dinding biara tua ini berhubungan dengan perut gunung?”
Thi Peng-koh tidak menjawabnya, tapi ia lantas menyalakan sebuah obor kecil. Tempat di mana mereka berada memang betul di dalam perut gunung dengan gua yang saling menyilang laksana jaringan labah-labah. Angin, ada tiupan angin entah berasal dari mana, angin yang dingin membuat orang merinding.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Di tempat begini, sekali pun Tong-siansing memiliki kesaktian setinggi langit juga tidak mudah menemukan kita.”
“Tapi kalau kita ingin keluar rasanya juga tidak mudah,” ujar Thi Peng-koh.
Siau-hi-ji kaget, serunya, “Masa kau tidak tahu jalan keluarnya?”
“Dari mana kutahu?” jawab Peng-koh.
“Jika... jika begitu mengapa kau bilang kita dapat lari keluar?”
“Asalkan ada jalan, dengan sendirinya kita ada harapan untuk lari keluar.”
“Tampaknya nona terlalu meremehkan persoalan ini,” ujar Siau-hi-ji dengan murung. “Tahukah bahwa gua-gua begini kebanyakan tidak ada jalan tembusnya.”
“Tapi juga ada sebagian yang dapat tembus keluar bukan?”
“Sekali pun ada jalan keluarnya, tapi gua-gua begini sungguh ruwet melebihi pat-kwa-tin yang pernah diciptakan Khong Beng di jaman Sam-kok itu. Bisa jadi setelah berputar dua-tiga bulan di dalamnya akhirnya baru diketahui masih tetap berada di tempat semula. Setahuku, dari dahulu kala hingga sekarang, setan penasaran yang terkurung mati di dalam perut gunung semacam ini bila mana dikumpulkan mungkin akan membuat penuh istana raja akhirat.”
Peng-koh berjalan di depan, tanpa menoleh ia menjengek, “Jika begitu, kalau sekarang bertambah lagi dua orang kan tidak banyak.”
“Ma... masa kau tidak cemas?” tanya Siau-hi-ji.
“Jika cemas, sekarang juga boleh kau kembali ke sana, kan belum terlambat.”
Siau-hi-ji melengak, ucapnya sambil menyengir, “Ai, kau jangan marah, aku tidak menyalahkanmu, hanya....”
Mendadak Peng-koh berpaling dan berteriak, “Memangnya kau kira aku tidak tahu betapa bahayanya tempat begini? Tapi apa pun juga kita kan ada setitik harapan buat lari keluar dari pada duduk menunggu ajal di sana?”
Siau-hi-ji melelet lidah, katanya dengan tertawa, “Wah, bila kutahu kau akan marah begini tentu aku tidak bicara seperti tadi.”
Dengan mendongkol Thi Peng-koh menatapnya sejenak, tiba-tiba ia menghela napas gegetun dan berucap, “Sungguh tak terpikirkan olehku bahwa engkau adalah orang seaneh ini.”
“Aku pun tidak pernah membayangkan bahwa kau akan marah-marah begini,” ujar Siau-hi-ji tertawa.
Sembari bicara terus matanya juga tidak menganggur. Kini mendadak ditemukannya bahwa lumut yang melapisi dinding gua itu samar-samar ada ukiran ujung panah, sinar mata Peng-koh tampak gemerlap, agaknya dia juga sudah melihat tanda panah ini.
Segera nona itu mendahului menuju ke arah yang ditunjuk ujung panah. Belasan tombak kemudian, pada belokan sana kembali ada tanda panah lagi. Tapi Siau-hi-ji lantas berdiri di situ tanpa bergerak pula.
“Kini sudah ada petunjuk kita akan menuju keluar, mengapa engkau malah berdiri diam saja?” tanya Peng-koh sambil mengeryitkan kening.
Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Jika kita menuju arah menurut ujung panah ini, sebentar lagi kita akan berjumpa pula dengan Tong-siansing. Rasanya aku sudah bosan melihat wajah seperti setan itu.”
Thi Peng-koh terkejut, “Masa tanda panah ini bukan petunjuk jalan?”
“Tanda panah ini memang petunjuk jalan, tapi yang ditunjuk bukan jalan keluar.”
“Dari mana kau tahu?” tanya si nona.
“Tanda panah ini tentunya diukir oleh para Hwesio yang dahulu menghuni biara ini, betul tidak?”
“Ya,” kembali si nona mengangguk.
“Mereka sembunyi di sini untuk menghindari kerusuhan, setelah kawanan penjahat pergi, coba katakan, lalu para Hwesio itu akan ke mana lagi?”
“Dengan sendirinya kembali ke kelenteng mereka,” setelah berucap begitu baru Peng-koh sadar dan cepat menambahkan pula, “Aha, betul juga. Tanda panah ini pasti petunjuk jalan untuk kembali ke kelenteng sana. Tapi mereka hanya sembunyi sementara saja di sini, mengapa mesti meninggalkan penunjuk jalan segala?”
“Memang sudah kukatakan sejak tadi bahwa kau ini anak perempuan yang suka memakai otak,” ucap Siau-hi-ji sambil tertawa, “Akhirnya kau paham juga, mungkin tadi kau hanya pura-pura bodoh saja.”
Tanpa terasa Thi Peng-koh menunduk dengan muka merah. Tiba-tiba ia menyerahkan obornya kepada Siau-hi-ji dan berkata, “Kau... engkau saja yang mencari jalan.”
Dengan menghela napas Siau-hi-ji bergumam, “Makanya anak perempuan yang semakin pintar tentu juga semakin suka berlagak bodoh dan lemah, makanya lagi sekarang kau ingin aku memeras otak dan lebih banyak mengeluarkan tenaga....”
Belum habis ucapannya, Thi Peng-koh membanting kaki dengan muka merah, serunya, “Baiklah, anggap engkau benar, kan tidak menjadi soal bukan?”
Dengan muka cengar-cengir Siau-hi-ji memandang si nona, sejenak kemudian baru berkata pula, “Justru kuingin melihat wajahmu merah dan marah-marah, dalam keadaan marah barulah kau mirip benar anak perempuan, sesungguhnya aku tidak tahan melihat wajahmu yang selalu dingin membeku ini.”
Selagi Thi Peng-koh hendak mengomel namun Siau-hi-ji telah membalik ke sana sambil tertawa. Tanpa terasa si nona ikut tersenyum, gumamnya, “Apakah betul mukaku menjadi merah? Sungguh aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk wajahku bila mana sedang marah, mungkin untuk pertama kalinya selama hidupku ini....”
Begitulah mereka terus maju ke depan, setiap ada tanda panah, bila menuju ke depan, maka Siau-hi-ji berbalik menuju ke belakang, bila mana tanda panah mengarah ke kanan, maka dia justru belok ke kiri. Tanda-tanda panah yang dilaluinya juga segera dihapuskannya.?
Setelah berjalan sejenak pula mengikuti anak muda itu, tiba-tiba Peng-koh bertanya, “Caramu berjalan ini apakah akhirnya dapat keluar?”
“Aku pun tidak tahu, yang pasti cara kita berjalan ini, sedikitnya jarak kita dengan kelenteng itu sudah semakin jauh,” jawab Siau-hi-ji.
Namun sekarang gua itu sudah semakin sempit, terkadang Siau-hi-ji harus memiringkan tubuh baru dapat menyelinap lewat, sedangkan panah penunjuk jalan juga sudah tiada terlihat lagi.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya, Agaknya sekarang kita harus main untung-untungan, biarlah kita pejamkam mata,” Sembari bicara segera ia pun memadamkan obor.
“Kenapa kita tidak mencari lagi kalau-kalau ada....”
“Percuma,” potong Siau-hi-ji. “Para Hwesio dahulu itu mungkin tidak sembunyi sampai ke sini, maka mereka pun tidak perlu mengukir penunjuk jalan, biar pun kita mencari lagi juga cuma sia-sia belaka.”
Peng-koh tidak bicara lagi, tiba-tiba terasa tangannya dipegang Siau-hi-ji. Seketika jantungnya berdebar keras, dalam kegelapan detak jantungnya seakan-akan tambah keras. Muka si nona menjadi merah, kalau ada lubang di tanah rasanya ia ingin menyusup dan sembunyi di situ.
“Terpaksa, tak berdaya,” ucap Siau-hi-ji.
“Soal... soal apa tak berdaya?” tanya si nona.
“Jika jantung harus berdetak, siapa pun tak berdaya membuatnya berhenti,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Peng-koh mengikik tawa, segera ia hendak mencubit lengan anak muda itu, tapi mendadak tangannya berhenti di tengah jalan serta melenggong, tiba-tiba terasa olehnya selama bertahun-tahun ini baru sekarang untuk pertama kalinya ia merasa dirinya adalah perempuan, untuk pertama kalinya ia merasa dirinya berdarah dan berdaging. Perasaan ini membuat sekujur badannya panas membara, hampir-hampir berjalan saja tidak sanggup lagi.
Lorong gua ini semakin sempit, terkadang dilalui dengan merangkak. Berjalan di dalam kegelapan di tempat demikian rasanya sungguh tidak enak. Pakaian Peng-koh sudah robek, badan ada yang lecet dan berdarah, tapi sedikit pun dia tidak merasa sakit, dia terus mengikuti langkah Siau-hi-ji tanpa bicara.
Setiap satu jarak Siau-hi-ji lantas menyalakan obor untuk memeriksa keadaan sekitarnya, sampai akhirnya cahaya obornya sudah semakin guram. Ia tahu obornya sudah hampir terpakai habis, ia harus menghemat dan tidak berani menggunakan obor lagi, ia tahu di tempat demikian tanpa cahaya api akan berarti maut. Karena itu perjalanan mereka menjadi lebih sulit.
Entah sudah berapa lama mereka menyusur dalam kegelapan, rasanya sudah dua-tiga hari, tapi juga seperti sudah sebulan atau dua bulan. Langkah Peng-koh akhirnya mulai berat. Menyusul sekujur badan terasa linu, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, lapar, dan dahaga.
Dengan sendirinya kondisi tubuhnya tidak sekuat Siau-hi-ji yang sudah kebal itu, mana dia sanggup tahan derita sehebat ini, kalau saja Siau-hi-ji tidak mengajaknya bicara dan bersenda-gurau, sungguh selangkah saja ia tidak kuat berjalan pula.
Padahal Siau-hi-ji sendiri juga payah.
Bila orang lain menghadapi keadaan buntu begini, andaikan tidak kelabakan hingga gila, paling tidak pasti juga akan berkeluh-kesah dan meratapi nasibnya yang celaka.
Tapi dasar watak Siau-hi-ji memang aneh, menghendaki kematiannya bisa jadi akan lebih mudah, kalau dia disuruh cemas, gelisah atau sedih atau jangan tertawa, inilah yang mahasulit.
Akhirnya Thi Peng-koh tak tahan, katanya, “Marilah kita mengaso sejenak.”
“Jangan, tidak boleh berhenti, sekali berhenti maka jangan harap akan sanggup berjalan pula,” ujar Siau-hi-ji.
“Tapi... tapi aku... tidak sanggup....”
“Coba bayangkan, sejak dahulu kala sampai sekarang bilakah ada orang banyak yang masuk ke gua rahasia ini untuk berjalan-jalan dengan tangan bergandengan tangan seperti kita sekarang? Ai, betapa indah dan betapa romantisnya peristiwa ini. Orang lain tidak mungkin mendapatkan kesempatan bagus begini, kenapa sekarang kita tidak menikmatinya dan meresapinya.”
“Tapi... tapi sayang aku bukan... bukan kekasihmu,” ucap Peng-koh dengan perasaan hampa.
“Siapa bilang bukan?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, “Saat ini, detik ini, selain kau, siapa pula di dunia ini yang lebih berdekatan denganku?”
Kembali Peng-koh mengikik tawa, tanpa terasa seluruh badannya lantas jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, wajahnya panas seperti bara. Bara ini timbul dari lubuk hatinya yang dalam.
Sekali pun perempuan yang sudah kenyang asam garamnya penghidupan, kalau berada bersama pemuda seperti Siau-hi-ji di tempat gelap dan pada hakikatnya belum pernah menyentuh lelaki. Masa remajanya yang membakar itu memang sudah tertahan terlalu lama, apa lagi seorang yang sedang menghadapi tepi batas antara hidup dan mati, pada saat-saat demikian pikiran sehat seseorang paling mudah runtuh.
Peng-koh sendiri pun tidak membayangkan dirinya bisa jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, dan sekarang dia sudah menjatuhkan diri, namun sedikit pun ia tidak menyesal. Ia merasa tangan anak muda itu mendekap pinggangnya dengan perlahan.
Keadaan gelap gulita. Kegelapan memang suka menyesatkan.
Dengan suara gemetar Peng-koh berkata, “Hidup manusia sungguh aneh dan menarik, baru sekarang kutahu hal ini. Dua-tiga hari yang lalu aku tidak kenal kau, tapi sekarang... sekarang aku....”
“Apakah kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?” tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.
“Tidak tahu,” jawab si nona.
“Yang paling kuinginkan sekarang adalah melihat wajahmu.”
“O, tidak... tidak... kumohon jangan....” Namun obor sudah menyala pula. Cepat Peng-koh menutup mukanya dengan tangan.
Air mukanya kembali merah jengah. Serunya dengan suara gemetar, “Jang... jangan, padamkan... obornya sudah hampir habis....”
“Biar pun obor ini sekarang sangat berharga bagi kita, tapi bisa kulihat wajahmu pada saat ini, betapa pun pengorbananku terasa setimpal juga,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Betul?” tanya Peng-koh sambil menurunkan tangannya perlahan-lahan.
“Cuma sayang saat ini tidak ada cermin, kalau ada ingin kuperlihatkan padamu bahwa wajahmu sekarang jauh lebih cantik dari pada bentukmu dahulu yang dingin itu.”
Peng-koh menatap tajam anak muda itu, sampai lama sekali baru berkata dengan lirih, “Jika benar-benar kita tak dapat keluar, apakah engkau akan marah padaku?”
“Marah padamu? Mengapa kumarah padamu?”
“Sebenarnya engkau toh takkan meninggal biar pun terkurung di sana, tapi sekarang....”
“Jika demikian halnya, sepantasnya kau yang harus marah padaku. Kalau bukan diriku, tentu kau takkan menderita begini.”
“Menderita?” tukas Peng-koh dengan tersenyum. “Tahukah engkau bahwa selama hidupku belum pernah segembira sekarang.”
Dia menatap ke arah yang jauh di sana, lalu katanya pula dengan perlahan, “Pada waktu aku hampir gila karena kesepian, entah berapa kali pernah kubermimpi, aku mendambakan ada seorang akan mengajak bicara padaku, bertengkar padaku, memancing aku tertawa dan membuat aku marah pula. Tadinya kukira impianku ini takkan terlaksana selamanya, kukira di dunia ini tidak ada orang yang mau menganggap diriku sebagai perempuan.”
“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.
“Kalau aku sendiri tidak menganggap diriku sebagai perempuan, apa lagi orang lain? Bisa jadi orang lain memandang diriku seperti bidadari, bahkan seperti iblis, tapi pasti tidak menganggap diriku sebagai perempuan.”
“Tapi tidak kurang tidak lebih engkau benar-benar seorang perempuan, aku dapat membuktikannya dengan seribu macam cara bila perlu.”
“Ya, hal ini dapat kurasakan kini, makanya seumpama sekarang aku harus mati juga aku merasa siap dan merasa gembira.”
“Siapa bilang kau akan mati?” seru Siau-hi-ji. “segera juga kita akan menemukan jalan keluarnya.”
Peng-koh menggeleng dengan tersenyum, katanya, “Kutahu... kutahu... engkau tak dapat mendustaiku.”
Sementara itu api obor sudah tersisa setitik saja, sambil memandangi api obor kelopak mata Peng-koh terasa semakin berat, dengan suara lirih ia menyambung, “Aku pun tahu, sikap baikmu padaku bukanlah lantaran benar-benar menyukai aku melainkan cuma ingin menghiburku saja, agar aku mendapatkan kegembiraan terakhir.”
“Ah, kau ber... berpikir terlalu banyak,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tersembul senyuman manis pada ujung mulut si nona, ucapnya perlahan, “Namun aku tetap berterima kasih padamu, aku benar-benar sangat... sangat lelah, kumohon biarkanlah kutidur, sekali pun tidurku ini takkan siuman untuk selamanya juga aku merasa puas....”
Memandangi kelopak mata si nona yang berat dan perlahan-lahan terkatup itu, tanpa terasa Siau-hi-ji menghela napas.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara keresek serta suara mencicit, ada sebarisan tikus besar lagi gemuk beriring-iringan lari lewat di depan mereka.
Peng-koh terkejut dan membuka mata lebar-lebar, tubuhnya meringkuk ketakutan. Sebaliknya Siau-hi-ji berseru girang, teriaknya, “Aha, kau tidak perlu tidur lagi, kita pasti tertolong.”
“Tapi ini kan cuma kawanan tikus saja?” ujar Peng-koh.
“Lihatlah, kawanan tikus ini rata-rata berbadan gemuk, jelas tidak tinggal di perut gunung ini, di sini tiada terdapat satu butir beras atau makanan lain, pasti takkan membuat kawanan tikus itu sedemikian gemuk.”
Terbeliak juga mata Thi Peng-koh, katanya, “Jadi maksudmu kawanan tikus ini masuk dari luar gunung sana?”
“Betul, tempat ini pasti sudah dekat dengan pinggir perut gunung dan jalan keluarnya pasti juga berada di dekat sini,” sembari bicara Siau-hi-ji terus melangkah ke arah datangnya kawanan tikus tadi.
Untung obor belum lagi padam seluruhnya, tidak lama kemudian dapatlah ditemukan sebuah lubang yang tidak besar tapi juga tidak kecil, di luar lubang remang-remang ada cahaya yang redup.
Cahaya ini sangat aneh, bukan sinar matahari juga bukan lampu, tapi adalah semacam cahaya kemilau yang redup. Namun Siau-hi-ji tidak pedulikan lagi cahaya apakah itu. Segera ia tarik Thi Peng-koh dan menerobos ke balik lubang sana.
Di balik gua situ ternyata ada sebuah gua mestika, berpeti-peti harta karun tertimbun di situ, walau pun tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit jumlahnya.
Siau-hi-ji jadi melenggong, ucapnya dengan tertawa, “Aku sebenarnya bukan manusia rakus harta, tapi Thian justru selalu membuatku menemukan tempat-tempat rahasia penyimpanan harta pusaka, sungguh aku tidak paham mengapa di dunia ini terdapat harta karun sebanyak ini.”
Sambil memegangi sebuah peti, tiba-tiba Peng-koh berkata, “Di sini bukanlah tempat harta karun segala.”
“O, dari mana kau tahu?” tanya Siau-hi-ji.
“Peti-peti ini belum lama dibawa masuk ke sini, lihatlah, di atas peti ini tiada terdapat debu kotoran apa pun,” kata Peng-koh.
Melengak juga Siau-hi-ji setelah tangannya mengusap tutup peti dan memang benar tiada terdapat debu kotoran apa pun. Katanya sambil menyengir, “Dalam keadaan demikian kau ternyata lebih cermat dari padaku.”
Tiba-tiba dilihatnya di atas setiap tutup peti itu tertempel etiket yang tertulis, “Milik Toan Hap-pui.” Penemuan ini membuat Siau-hi-ji melonjak kaget.
Rupanya harta pusaka ini adalah milik Toan Hap-pui yang dirampas oleh Kang Piat-ho dan Kang Giok-long dengan berbagai tipu daya itu. Mungkin Giok-long menganggap gua ini adalah tempat sangat rahasia, maka partai harta karun rampasannya itu disembunyikannya di sini, tak tersangka secara kebetulan justru ditemukan oleh Siau-hi-ji.
Terkejut dan bergirang anak muda itu, hampir saja ia bersorak gembira. Tapi mendadak Thi Peng-koh mendesis, “Ssst, ada orang di sini.”
Waktu Siau-hi-ji mengintip ke sana, benar juga dilihatnya di samping sepotong batu besar di luar sana duduk dua orang berhadapan. Seorang yang duduk menghadap ke sini berwajah putih pucat, ternyata Kang Giok-long adanya. Sedang orang yang duduk di seberangnya bertubuh kekar dan wajahnya tidak jelas terlihat.
Di samping batu itu tertaruh banyak santapan dan arak, tapi kedua orang itu bukan lagi makan dan minum, mereka hanya memandangi batu besar di depan mereka dengan penuh perhatian.
Keadaan kedua orang kelihatan lesu dan lelah, rambut semrawut, muka berlepotan seperti sudah beberapa hari tidak pernah cuci muka. Tapi mata mereka masih terbuka lebar tanpa berkedip.
Peng-koh merasa heran, dengan suara tertahan ia tanya Siau-hi-ji, “Adakah sesuatu yang menarik pada batu itu, mengapa kedua orang memandangnya sedemikian rupa? Jangan-jangan mereka orang gila semua.”
Siau-hi-ji menjawab dengan gegetun, “Setahuku orang ini tidaklah gila, bahkan otaknya jauh lebih cerdas dari pada orang lain.”
“Kau kenal dia?” tanya Peng-koh.
“Ehm,” Siau-hi-ji hanya mendengus saja sambil menatap santapan dan arak yang ditaruh di sana itu.
“Mengapa mereka melototi batu besar itu?”
“Mungkin mereka berharap batu itu akan berbunga,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Akhirnya pandangannya beralih dari makanan kepada batu besar yang dimaksudkan Peng-koh itu.
Batu itu rata persegi, tiada sesuatu yang aneh, hanya bagian tengah ada satu garis ukiran, pada kanan-kiri garisan itu masing-masing tertaruh sekerat daging Samcan, yaitu daging iga babi. Dan daging itulah yang dipelototi oleh kedua orang itu tanpa berkedip, seakan-akan daging yang berminyak itu adalah wajah perempuan yang paling cantik di dunia ini.
Siau-hi-ji merasa bingung juga melihat kelakuan mereka, gumamnya dengan tertawa, “Dahulu kukenal bocah ini tidak mempunyai penyakit apa-apa, tapi sekarang bisa jadi sudah berubah, memangnya dia sudah lupa bahwa daging harus di makan dengan mulut dan bukan untuk dipandang mata.”
Bicara soal makan, Thi Peng-koh juga menelan air liur, ucapnya dengan suara tertahan sambil tertawa, “Jika kau kenal dia, sebaiknya kau beri petunjuk padanya.”
“Tentu saja aku ingin mengajarkan dia cara memakan daging,” ujar Siau-hi-ji. “Cuma sayang bila mana sekarang aku muncul, yang dimakan bukan lagi daging Samcan di meja batu itu melainkan daging pahaku ini. Maklumlah, karena geregetannya padaku sudah lama dia ingin memakan dagingku.”
Peng-koh menghela napas kecewa, tanyanya kemudian, “Dan siapa lagi yang seorang?”
“Orang ini belum jelas kelihatan, rasanya seperti....” belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong seekor tikus menerobos keluar dari tempat gelap dan melompat ke atas batu besar itu dan sekeratan daging di depan lelaki itu terus digondol lari.
Tiba-tiba muka Kang Giok-long berubah lebih pucat, katanya sambil menyengir, “Baik, sekali ini kau lagi yang menang.”
“Sampai sekarang utangmu padaku seluruhnya berjumlah seratus tiga puluh laksa tahil perak, harta simpananmu di dalam sana sudah hampir ludes,” ujar lelaki kekar itu dengan tertawa.
“Jangan khawatir, masih cukup banyak,” jawab Kang Giok-long dengan dingin.
“Hahaha, sebelum pertaruhan ini memuaskan seleraku, mana boleh begini cepat modalmu ludes, awas bila ingin kupencet perutmu hingga keluar telurmu,” demikian lelaki kekar itu bergelak tertawa, lalu ia iris sekerat kecil daging dan ditaruh pula di atas batu.
Baru sekarang Peng-koh paham duduk perkaranya, bisiknya dengan tertawa, “Kiranya mereka sedang berjudi, bila mana daging yang ditaruh di depannya itu digondol lari tikus, maka dia yang menang. Cara pertaruhan demikian sungguh sangat langka di dunia ini.”
“Tapi cara pertaruhan ini juga sangat adil, siapa pun tidak dapat main kayu,” kata Siau-hi-ji.
“Akan tetapi kalau tikusnya tidak datang, lalu bagaimana?”
“Jika tikusnya tidak datang, mereka lantas menunggu dan menunggu terus, dasar orang ini memang keranjingan judi, asalkan judi, biar pun menunggu sepuluh hari sepuluh malam juga bukan soal baginya.”
“Hihi, memang betul, tampaknya cara mereka berjudi seperti ini sudah lebih dari pada sepuluh hari sepuluh malam.”
“Apakah kau ingin tahu siapa orang yang duduk membelakangi kita ini?”
“Eh, engkau sudah mengenalnya?”
“Meski belum melihat mukanya, tapi suaranya sudah dapat kukenali.”
“Siapa dia?” tanya Peng-koh.
“Han-wan Sam-kong atau lebih terkenal dengan julukan ‘Ok-tu-kui’, sebelum semuanya serba ludes tidak mungkin dia berhenti berjudi.”
“Ok-tu-kui?” Peng-koh menegas, “Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin itu?”
“Betul, rupanya kau pun tahu di dunia ini ada Cap-toa-ok-jin.”
Peng-koh termenung sejenak, tiba-tiba ia tanya, “Apakah engkau tahu Cap-toa-ok-jin itu sebenarnya orang-orang macam apa?”
“Haha, pertanyaanmu ini boleh dikatakan tepat diajukan kepada orangnya,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa, “Mungkin di dunia ini tiada orang lain yang lebih mengenal Cap-toa-ok-jin dari pada diriku ini.”
Lalu dia angkat tangannya dan memperlihatkan jarinya satu per satu, “Cap-toa-ok-jin itu terdiri dari pertama, si tangan berdarah Toh Sat, kedua, tertawa sambil menikam Ha-ha-ji, ketiga si Banci To Kiau-kiau, keempat, setengah manusia setengah setan Im Kiu-yu, kelima tidak makan kepala manusia Li Toa-jui, lalu....”
Sampai di sini, tubuh Thi Peng-koh seperti agak gemetar, air mukanya juga berubah, tapi Siau-hi-ji tidak memperhatikan, ia menyambung lagi, “Lalu ada lagi si Singa Gila Thi Cian, si tukang pikat Siau Mi-mi, Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, Pek Khay-sim dan ditambah lagi Auyang Ting dan Auyang Tong bersaudara.”
“Jika begitu, bukankah jumlahnya ada sebelas orang?” tanya Peng-koh.
“Soalnya kedua Auyang bersaudara itu adalah saudara kembar yang tidak pernah berpisah satu sama lain, sebab itulah mereka berdua cuma dianggap satu.”
Perlahan Peng-koh menunduk, ucapnya dengan lirih, “Apakah orang-orang itu memang betul sangat jahat?”
“Sebenarnya orang yang lebih jahat dari pada mereka masih sangat banyak, soalnya tindak tanduk mereka ini terlebih mencolok dan jauh berbeda dari pada orang lain.”
“Maksudnya bagaimana?” tanya Peng-koh.
“Umpamanya Li Toa-jui yang tidak makan kepala manusia itu, sehari-hari tampaknya ramah tamah, bahkan boleh dikatakan orang serba pintar dalam bidang sastra dan ilmu silat, tapi bila penyakitnya mulai kambuh, jangankan orang lain, istri sendiri juga disembelih dan dimakannya. Padahal orang yang berjumpa dengan dia pasti takkan menyangka dia dapat melakukan kekejaman sejauh itu.”
Menyinggung nama Li Toa-jui, kembali tubuh Thi Peng-koh agak gemetar. Ia terkesima sejenak, kemudian bertanya dengan perlahan, “Apakah engkau kenal mereka?”
“Bukan cuma kenal saja, bicara terus terang, bahkan aku dibesarkan bersama mereka?”
Kembali si nona melengak, tanyanya, “Apakah kau tahu di... di mana mereka berada kini?”
“Bisa jadi mereka berada di sekitar Ku-san....” tiba-tiba Siau-hi-ji menatap si nona dan bertanya dengan tersenyum, “Apa sebabnya kau tanya sejelas itu.”
Peng-koh tertawa, jawabnya, “Ah, aku cuma merasa tertarik oleh manusia-manusia yang serba aneh itu.”
Sudah tentu percakapan mereka itu dilakukan lirih, sedangkan Kang Giok-long dan Han-wan Sam-kong lagi asyik bertaruh hingga lupa daratan, dengan sendirinya mereka tidak mendengar suara mereka.
Tiba-tiba terlihat Kang Giok-long tertawa dan berkata, “Sudah sembilan hari kita bertaruh dan belum ada yang kalah ludes, apakah kau tidak merasa bosan dan kesal?”
“Tidak, biar pun taruhan ini berlangsung sembilan tahun juga aku takkan bosan,” jawab Ok-tu-kui.
“Tapi kalau pertaruhan ini diteruskan lagi, aku yang merasa kesal,” kata Kang Giok-long.
“Kesal atau tidak adalah urusanmu,” mendadak Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong melotot, “Pokoknya kau harus bertaruh denganku. Permainan harus jalan terus.”