Sungguh kejut Auyang Ting tidak kepalang, bahkan ia menjadi ketakutan setengah mati, teriaknya dengan gemetar, “He, sau... saudara mengapa... mengapa begini....”
Siau-hi-ji sendiri berkesiap dan geli pula, jawabnya dengan tertawa, “Ini bukan urusanku, jangan kalian tanya padaku.”
Auyang Ting menoleh ke arah To Kiau-kiau, tanyanya, “Apakah ini ke... kehendak nona!”
“Habis siapa jika bukan aku?” jawab Kiau-kiau dengan tertawa. Bila ditanya orang, selamanya dia tidak menjawab “ya” atau “tidak,” tapi selalu balas bertanya, ini memang ciri pengenalnya.
Tentu saja air muka Auyang bersaudara menjadi pucat demi mendengar nada ucapan itu.
“Se... sesungguhnya engkau ini siapa?” tanya Auyang Tong.
“Tadi kau tidak kenal padaku, betul, tapi kalau sekarang masih juga tidak kenal aku, ini namanya pura-pura bodoh,” ucap Kiau-kiau dengan tertawa.
“Mana... mana kami kenal nona?” ujar Auyang Ting.
“Tidak kenal aku, mengapa menjadi ketakutan?” tanya Kiau-kiau.
“Takut?” Auyang Ting berlagak heran. “Memangnya takut siapa....”
Dengan terkekeh-kekeh Auyang Tong lantas menambahkan, “Sudah tentu kami tahu nona cuma berkelekar saja dengan kami.”
“Ai, Auyang Ting dan Auyang Tong, apa gunanya biar pun kalian berlagak pilon?” ucap To Kiau-kiau.
“Auyang Ting itu siapa?” tanya Auyang Ting.
“Oya, kabarnya Auyang Ting itu kurus seperti cacing, haha... haha....” Auyang Tong menukas.
Begitulah dia hendak tertawa pula, tapi kulit mukanya serasa kaku. Dengan dingin To Kiau-kiau menatap mereka tanpa bicara.
Setelah terkekeh beberapa kali pula, mendadak Auyang Tong menatap saudaranya dan berseru, “He, bukankah kau ini Auyang Ting?”
“Sudah tentu aku Auyang Ting dan dengan sendirinya kau ini Auyang Tong,” jawab Auyang Ting. “Haha, lucu, sungguh lucu,” sambung Auyang Tong.
“Haha, kiranya kita ini adalah si Ting dan Tong Auyang bersaudara....”
“Eh, To-toaci, apakah engkau juga merasa lucu? Si kurus ternyata bisa berubah menjadi si gendut,” tanya Auyang Ting.
“Kukira kalian terlalu banyak minum anggur kolesom,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.
“Betul, betul, rasanya kami memang terlalu banyak minum anggur kolesom, haha!” sahut Auyang Ting.
Mendadak To Kiau-kiau mendelik, katanya dengan ketus, “Sekarang sudah waktunya kalian menumpahkan anggur kolesom yang kalian minum itu, bukan?”
“Ini... haha... haha....”
“Itu... hehe... hehe....”
Begitulah kedua orang terus “haha” dan “hehe” serta ini dan itu, tapi tidak mengucap apa-apa. Diam-diam Siau-hi-ji tahu pasti di dalam hati kedua orang ini sedang merancang akal busuk.
Pada saat itu juga tiba-tiba di bawah jok ada orang berkata dengan tertawa, “Wah, selama dua puluh tahun ini kedua Auyang bersaudara ini selain membesarkan tubuh mereka menjadi putih gemuk, agaknya mereka pun berhasil belajar caramu berhaha-hihi, kukira akan lebih tepat jika kau menerima mereka sebagai murid sekalian.”
Dari suaranya segera Siau-hi-ji dapat mengenalnya sebagai suara Pek Khay-sim.
Segera seorang menanggapi dengan tertawa ngakak, “Haha, jika benar kuterima mereka sebagai murid, wah, bisa jadi celanaku juga akan ditipu mereka dan nasibku bisa telanjang bulat. Haha... hehe....”
Dari suara “haha” yang lantang dan keras ini, jelas ialah si Budha tertawa Ha-ha-ji alias si “tertawa sambil menikam.”
Semula si Ting masih memeras otak mencari jalan buat meloloskan diri, tapi demi mendengar yang bicara di bawah jok itu ternyata kedua teman lama mereka maka putuslah harapan mereka untuk kabur. Kedua orang saling pandang sekejap dan segera hendak bangkit.
“Sungguh tak tersangka kami menduduki kedua kakak di bawah pantat, benar-benar berdosa besar,” ucap Auyang Ting sambil menyengir.
“Ah, tidak apa,” kata Pek Khay-sim di bawah jok. “To-toaci telah mengatur segalanya dengan baik, di bawah sini rasanya lebih menyenangkan dari pada tidur di ranjang rumah sendiri, bahkan di sini tersedia pula arak dan daging segala....”
“Tapi bila teringat pantat kalian justru berada di atas, sungguh aku menjadi muak dan tidak doyan makan, haha!” sambung Ha-ha-ji.
“Bila kalian tidak lepas tangan, tentu kami tidak mampu berdiri,” kata Auyang Tong. “Dan bila kami tidak berdiri, terpaksa kalian juga harus berjongkok terus di situ.... Eh, bagaimana baiknya, To-toaci?”
“Kenapa bingung?” jawab To Kiau-kiau tertawa. “Tumpahkan saja kolesom yang kalian makan dan segera mereka akan lepas tangan.”
“Kalau tidak biarlah kami sembelih kalian saja,” sambung Pek Khay-sim.
“Haha, boleh juga gagasan ini!” seru Ha-ha ji dengan tertawa.
Auyang Ting menghela napas, katanya, “Barang titipan To-toaci itu sebenarnya sudah lama akan kami antarkan ke Ok-jin-kok, cuma mendadak....”
“Hilang, begitu bukan?” jengek To Kiau-kiau.
“Dugaan To-toaci memang tidak keliru,” ucap Auyang Ting dengan wajah seperti mau menangis. “Tahun berikutnya setelah kalian masuk Ok-jin-kok, barang titipan itu dirampas orang seluruhnya, karena khawatir dimarahi To-toaci, terpaksa... terpaksa....”
“Terpaksa kami sembunyi,” sambung Auyang Tong dengan menyesal.
Namun To Kiau-kiau sama sekali tidak terpengaruh oleh penuturan yang memelas itu, bahkan berkedip mata pun tidak, katanya dengan tenang, “Alasan ini memang masuk akal, tapi siapakah yang rebut barang itu?”
“Loh Tiong-tat,” jawab Auyang Ting dengan gegetun.
“Yaitu orang yang berjuluk Lam-thian-tayhiap, ialah yang hampir mengutungi kedua tangan Toh-lotoa ketika baru saja Toh-lotoa muncul di Kangouw dulu,” sambung Auyang Tong.
Mendadak To Kiau-kiau terkikih-kikih genit, katanya, “Ha-heng, menurut pendapatmu kebohongan mereka ini bagus atau tidak?”
“Haha, boleh juga,” ujar Ha-ha-ji. “Sudah jelas mereka tahu kita tidak mungkin pergi bertanya kepada Loh Tiong-tat.”
“Ini namanya mati tanpa saksi,” tukas Pek Khay-sim dengan tertawa.
“Tapi... tapi apa yang kukatakan itu semuanya benar,” seru Auyang Ting.
“Ya, bila bohong sepatah kata saja, biarlah kami dikutuk oleh langit dan bumi, biar mati tidak enak, pada jelmaan hidup berikutnya akan menitis menjadi babi gemuk dan dijadikan Ang-sio-bak untuk dahar Ha-heng,” sambung Auyang Tong.
Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli melihat cara bersumpah Auyang Tong yang gesit itu, jelas mereka anggap sumpah sebagai pidato dan sehari entah bersumpah berapa kali, kalau tidak masakah dapat bersumpah selancar itu.
Dilihatnya Kiau-kiau sedang menengadah tanpa menggubris ocehan kedua Auyang bersaudara, Ha-ha-ji dan Pek Khay-sim juga tidak bicara lagi di bawah jok, malahan terdengar suara keriat-keriut, agaknya mereka lagi asyik makan minum.
Auyang Ting dan Auyang Tong masih terus omong, tapi meski mulut mereka serasa kering dan butir keringat sebesar kedelai memenuhi dahi mereka tetap To Kiau-kiau tidak menggubris dan anggap tidak mendengar.
Makin menonton makin tertarik Siau-hi-ji, mestinya dia hendak tinggal pergi, tapi sekarang ia urungkan niatnya.
Pada saat itulah mendadak kereta berhenti, menyusul di luar jendela kereta lantas muncul seraut wajah yang putih pucat, begitu pucat sehingga hampir-hampir tembus cahaya.
Melihat muka itu, seketika kedua Auyang bersaudara seperti kena dicambuk sekali, sekujur badan mereka serasa kejang. Dengan suara terputus-putus Auyang Ting berkata, “Kiranya... kiranya Toh-lotoa juga datang!”
Kalau tadi mereka masih mengoceh macam-macam, sekarang setelah melihat Toh Sat, seketika seperti tikus melihat kucing, bicara saja tidak terang, malahan Auyang Tong tidak sanggup bersuara lagi.
Melihat wajah dingin si tangan berdarah Toh Sat, entah mengapa timbul semacam rasa akrab di dalam hati Siau-hi-ji, segera ia menyapa, “He, paman Toh, baik-baikkah engkau?”
“Baik?” jawab Toh Sat singkat. Dia hanya memandang Siau-hi-ji sekejap, sorot matanya yang dingin seakan-akan rada cair, tapi ketika ia menatap pula ke arah kedua Auyang bersaudara, hawa dingin tatapannya seketika bertambah tajam. “Cret,” mendadak sebuah kaitan baja menancap di jendela kereta.
Kaitan baja ini adalah “tangan” Toh Sat. Dia tarik pintu kereta tanpa bicara, tangan yang lain terus menggampar beruntun belasan kali di muka Auyang Tong, habis itu barulah berkata dengan ketus, “Hm, kau masih kenal padaku tidak?”
Kontan muka Auyang Tong merah bengkak seperti hati babi yang baru dirogoh keluar dari perut babi, tapi menjengek sedikit saja tidak berani, sebaliknya ia menjawab dengan menyengir, “Mana... mana Siaute tidak... tidak kenal lagi pada Toh-lotoa?”
“Hm, bagus juga kau!” jengek Toh Sat. Mendadak telapak tangannya memotong Hiat-to di dengkul Auyang Tong, menyusul dengan cara yang sama ia pun kerjai Auyang Ting, lalu ia membalik tubuh dan membentak dengan suaran begis, “Turun!”
“Tapi... tapi kaki Siaute tidak dapat bergerak lagi, cara bagaimana bisa turun?” ratap Auyang Tong.
“Kaki tidak bisa bergerak, merangkak turun dengan tangan!” jengek Toh Sat.
Kedua Auyang saling pandang sekejap, benar juga, akhirnya mereka merangkak turun dengan munduk-munduk.
“Hihi, apa pun juga Toh-lotoa memang lebih hebat,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. “Sampai-sampai kedua saudara Ting-tong kita juga takut padanya seperti tikus melihat kucing.”
“Ya, manusia yang semakin licin dan semakin buas, semakin mahir juga cara Toh-lotoa mengerjainya,” tukas Ha-ha-ji sambil menerobos keluar dari bawah jok kereta.
Kereta kuda itu ternyata berhenti di depan sebuah rumah yang sepi dan tak berpenghuni, kusir kereta tadi tidak kelihatan lagi.
Ha-ha-ji lantas memegangi tangan Siau-hi-ji, tanyanya dengan tertawa, “Hah, selama beberapa tahun berpisah, entah berapa banyak anak perempuan yang terpikat olehmu?”
“Kurang lebih cuma 300,” jawab Siau-hi-ji sambil main mata.
Ha-ha-ji menggablok pundak anak muda itu, serunya sambil terbahak-bahak, “Hahahaha! Belum cukup jumlah sekian, kau harus lebih giat lagi.”
“Tapi kalau kumain pikat terus, bisa jadi aku akan pendek umur,” kata Siau-hi-ji.
Mendadak ia menjulurkan sebelah kakinya sehingga Pek Khay-sim yang datang dari belakang itu kena dijegalnya hingga jatuh tersungkur.
Cepat Pek Khay-sim merangkak bangun, sama sekali ia tidak marah, bahkan berkata dengan tertawa, “Hah, agaknya kau tidak mau rugi dan tetap ingat padaku.”
“Bukan aku yang menjegalmu barusan ini, tapi Kang Piat-ho,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Sudahlah, kukerjai kau satu kali, kau pun pernah mengerjai aku satu kali, ditambah lagi sengkelitan barusan, maka bolehlah kita anggap seri saja?!” kata Pek Khay-sim.
“Hm, memangnya begitu enak? Masih ada lagi rentenya, tunggu saja nanti,” jawab Siau-hi-ji tertawa.
Pek Khay-sim garuk-garuk kepala, ucapnya dengan menyengir, “Begini saja payah bagiku, bila ada lagi, jiwaku bisa melayang?!”
“Haha, kau sendiri yang cari penyakit, orang lain tidak kau kerjai, tapi malah mengerjai dia, akhirnya baru kau tahu rasa,” Ha-ha-ji bergelak tertawa.
Beramai-ramai mereka lantas masuk ke rumah itu, tertampak ruangan tengah yang bobrok itu ada api unggun dan ada sebuah kuali di atas api, entah apa isinya. Selain itu ada pula beberapa mangkuk rusak yang tertaruh serabutan di lantai, seperti berisi rempah-rempah bila orang masak sayur. Seorang berjongkok di tepi api unggun, ternyata ialah si kusir tadi. Hawa sepanas ini, dia berjongkok lagi di dekat api unggun, tapi dahinya tidak tampak bekeringat sedikit pun. Masuknya orang banyak seakan-akan tidak diambil pusing olehnya.
Dengan tertawa To Kiau-kiau lantas berkata, “Siau-hi-ji, lekas menemui paman Li, selama beberapa tahun ini dia senantiasa mengenangkan dirimu, cuma yang dirindukan dia mungkin adalah dagingmu yang empuk untuk dimakannya.”
Siau-hi-ji tertawa dan berkata, “Tampaknya paman Li sedang marah!”
“Tapi dia bukan marah padamu,” ucap Ha-ha-ji. “Soalnya To-toaci menyuruh dia menjadi kusir, sebaliknya membiarkan Pek Khay-sim enak-enak tidur di dalam kereta, saking dongkolnya hampir saja perutnya meledak. Hahaha!”
Siau-hi-ji lantas mendekati Li Toa-jui dan menyapa, “Li-toasiok, janganlah engkau marah benar-benar, kalau marah, dagingnya akan berubah menjadi kecut.”
Li Toa-jui bergelak tawa, tangan Siau-hi-ji dipegangnya dan berkata, “Sungguh tak tersangka kau setan cilik ini masih ingat pada kalimat ini.”
“Kata-kata mutiara begini mana boleh kulupakan?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sementara kedua Auyang bersaudara telah merangkak masuk sambil merintih, tubuh mereka sudah berlepotan debu sehingga persis dua ekor babi gemuk yang habis mandi di kolam lumpur.
“Hahaha, selama dua puluh tahun ini untuk pertama kalinya kita berkumpul sebanyak ini,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa “Sungguh suatu pertemuan yang jarang terjadi, maka kita harus merayakannya dengan baik.”
“Tapi kalau orang-orang Kangouw mengetahui gerombolan kita ini berkumpul lagi di sini, entah bagaimana mereka akan berpikir?” ujar To Kiau-kiau.
“Haha, bisa jadi nyali mereka akan pecah semuanya,” tukas Ha-ha-ji.
“Wah, ingat, nyali (empedu) sekali-kali tidak boleh sampai pecah, kalau pecah dagingnya akan jadi pahit,” ujar Li Toa-jui dengan sungguh-sungguh. Dasar pemakan daging manusia, setiap bicara tidak pernah melupakan hobinya.
Biji mata Siau-hi-ji tampak mengerling kian kemari memandangi tokoh-tokoh Ok-jin-kok ini, terbayang kembali masa kanak-kanaknya dahulu, bagaimana perasaan sekarang sukarlah untuk dijelaskan.
Meski orang-orang ini tergolong Ok-jin atau orang jahat, tapi menurut pandangannya setiap orang ini sedikit banyak juga ada segi yang baik dan menyenangkan, sungguh jauh lebih baik dan menyenangkan dari pada Kang Piat-ho yang munafik itu.
Kini, di antara Cap-toa-ok-jin atau sepuluh top penjahat ternyata ada tujuh orang berkumpul di sini, rasanya jarang ada kejadian lain yang lebih asyik dan menarik dari pada adegan ini.
Sungguh Siau-hi-ji merasa sangat gembira, tapi bila melihat setiap tokoh ini serupa malaikat elmaut, setelah muncul kembali di dunia Kangouw, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korban. Berpikir demikian, diam-diam ia jadi khawatir juga.
Selama beberapa tahun ini jalan pikirannya sudah berubah dibandingkan waktu dia baru meninggalkan Ok-jin-kok, ia merasa kalau orang baik diganggu orang jahat sungguh tidak adil. Betapa pun ia tidak dapat menyaksikan kejadian demikian, ia harus mencari akal untuk mencegahnya.
Terdengar To Kiau-kiau lagi berkata, “Kini kita hanya menunggu Im-lokiu saja, entah ada kejadian apa sehingga sampai saat ini belum muncul?”
“Tindak tanduk orang ini memang suka main sembunyi-sembunyi,” ujar Li Toa-jui. “Bisa jadi dia sudah datang, tapi sengaja sembunyi di sekitar sini dan menonton belaka.”
Auyang Ting merangkak di lantai dan menimbrung, “Dapat berkumpul kembali dengan para saudara, sungguh Siaute merasa sangat gembira.”
Cepat Auyang Tong menambahkan, “Ya, kita harus merayakannya dengan pesta besar.”
“Tapi milik kita sudah habis digelapkan oleh kalian, dari mana ada uang untuk bikin pesta segala?” kata To Kiau-kiau.
“Asalkan To-toaci melepaskan kami, pasti kami akan mencari orang she Loh itu, biar pun mati juga akan kami rampas kembali barang-barang itu,” kata Auyang Ting.
Belum habis ucapannya, mendadak kaitan baja Toh Sat telah menancap di pundaknya terus di angkat ke atas, keruan Auyang Ting menjerit seperti babi hendak disembelih, teriaknya, “Ampun! Toh-lotoa! Siaute bicara jujur, engkau mengampuni kami.”
“Di mana barang-barang itu? Katakan?” jengek Toh Sat.
“Be... benar-benar telah dirampas Loh Tiong-tat....”
“Plok,” belum lanjut ucapannya, kontan mulutnya ditonjok oleh kepalan Toh Sat sehingga darah tersembur dari mulutnya, bahkan berikut beberapa biji giginya.
To Kiau-kiau menjepit sepotong arang dengan capitan besi dan perlahan-lahan ditaruh di kuduk Auyang Tong, lalu katanya dengan tertawa genit, “Aku tidak setega Toh-lotoa dan tidak sampai hati memukul kau, tapi kalau kau tetap tidak mengaku, di sini masih banyak arang yang membara.”
Tentu saja Auyang Tong menggelepar di lantai kereta keselomot arang panas itu, dia berguling-guling ke dekat kaki Li Toa-jui dan berseru dengan suara serak, “Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, Li-toako, sukalah mengingat per... persaudaraan kita di masa lalu, tolonglah engkau mintakan ampun bagiku.”
“O, apakah To-toaci telah menyakitkan kau?” ucap Li Toa-jui menyesal.
“Ya, sakit... sakit sekali,” ratap Auyang Tong.
“Mana yang sakit?” tanya Li Toa-jui.
“Sekujur badan sakit semua,” jawab Auyang Tong, “lebih... lebih-lebih bagian kuduk sini....”
“O, apakah daging ini?” tanya Li Toa-jui sambil meraba kuduknya.
“Iy... iya, di situ!” keluh Auyang Tong.
“Baiklah, akan kupotong dagingmu ini, habis itu tentu tidak sakit lagi,” kata Li Toa-jui.
“He, Li-toako... Li....” teriak Auyang Tong ketakutan.
Tapi Li Toa-jui lantas mengeluarkan sebilah belati dari celah-celah sepatunya, “sret,” kontan ia iris daging di kuduk Auyang Tong, lalu daging itu dipanggangnya di atas api unggun sambil bergumam, “Meski daging panggang tidak selezat daging Ang-sio, tapi kalau diberi sedikit merica dan garam rasanya boleh juga.”
Sembari bicara ia pun mencomot bumbu masak yang disebut itu dari kaleng-kaleng yang tersedia di samping dan ditaburnya di atas daging, lalu dipanggang lagi sejenak, kemudian daging itu benar-benar dimakannya dengan lahap.
Suara mencicit waktu daging itu dipanggang sudah cukup membuat Siau-hi-ji merinding, apa lagi didengar suara mengunyah Li Toa-jui laksana orang makan bistik, sungguh hampir saja ia tumpah. Bahkan Pek Khay-sim, To Kiau-kiau dan lain-lain juga melengos ke arah lain, tak berani melihat cara Li Toa-jui makan daging manusia itu.
“Uwaaak,” mendadak Auyang tong menumpahkan seluruh isi perutnya yang baru saja dimakannya semalam. Bahkan daging sendiri jelas disaksikannya lagi dimakan orang dengan lezatnya, betapa pun perasaannya sungguh sukar dilukiskan.
Sambil mengunyah Li Toa-jui sembari bergumam, “Selama ini tampaknya kungfumu tidak pernah kendur, buktinya dagingmu ini cukup keras dan gurih, jauh lebih enak dari pada daging orang gemuk umumnya.”
Wajah Auyang Tong berlepotan debu campur darah, mulutnya melelehkan air kecut yang ditumpahkannya, mukanya sungguh memelas, sambil merangkak di lantai, akhirnya ia menangis tergerung-gerung.
Seorang besar begitu menangis sambil merangkak di lantai, bentuknya sungguh mengharukan bagi yang melihatnya. Tapi Li Toa-jui sama sekali tidak ambil pusing, mendadak ia mendekati Auyang Ting, katanya dengan tertawa, “Apakah badanmu juga kesakitan?”
“O, ti... tidak, sedikit... sedikit pun tidak sakit,” jawab Auyang Ting dengan gemetar.
“Kasihan, kau telah diajar Toh-lotoa sedemikian rupa, masa tidak kesakitan?” tanya Li Toa-jui sambil meraba-raba pipi orang.
Mendadak Auyang Ting menjerit ketakutan, “Sung... sungguh tidak sakit....” tapi tiba-tiba Li Toa-jui menjotosnya satu kali.
“Sekarang sakit tidak?” tanya Li Toa-jui dengan tertawa.
Mulut Auyang Ting jadi penuh darah dan tidak sanggup bersuara pula.
“Kini tentu sangat kesakitan bukan? Biarlah kusembuhkan kau,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Sreet,” tiba-tiba ia iris juga sepotong daging dari pipi Auyang Ting, lalu dipanggang pula dan dimakan sambil mengomel, “He, aneh, dagingnya tampaknya memang seperti Ti-koa (hati babi), tapi mengapa tiada sedikit pun rasa Ti-koa? Ah, agaknya daging yang bengkak terpukul rasanya menjadi tidak enak. Eh, Siau-hi-ji, hal ini perlu kau ketahui juga.”
Biar pun sudah tahu kedua Auyang bersaudara itu jauh lebih busuk dari pada orang lain, tapi melihat keadaan mereka yang mengenaskan, mau tak mau Siau-hi-ji merasa tidak tega.
Selagi ia bermaksud menolong sekadarnya, tiba-tiba Auyang Ting berteriak, “Baiklah, akan kukatakan, barang itu masih tersimpan dengan baik, pada hakikatnya Loh Tiong-tat tidak pernah menjamahnya, tadi aku sengaja berdusta, harap kalian mengampuni diriku.”
Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Jelas kalian tahu akhirnya toh harus mengaku, kenapa tidak sejak tadi kalian katakan saja, tapi kalian lebih suka tersiksa dulu?”
“Memangnya mereka adalah manusia hina, kalau tidak dipaksa dan disiksa tak mau mengaku,” jengek To Kiau-kiau.
“Jika barangnya masih ada, di mana?” bentak Toh Sat.
“Bila... bila kukatakan, apakah kalian tetap hendak membunuh kami?” tanya Auyang Ting dengan gemetar.
“Haha, kita kan seperti saudara sendiri, masa kami ingin membunuh kalian?” jawab Ha-ha ji.
“Kata-kata ini harus diucapkan Toh-lotoa barulah kami mau percaya,” pinta Auyang Tong.,
Biar pun terkenal kejam dan keji, namun Toh Sat terkenal suka pegang janji, tidak pernah dusta. Hal ini diketahui setiap orang Kangouw.
Maka terdengar Toh Sat menjengek, “Hm, bila kau katakan dengan baik, tentu kami takkan mencelakai jiwa kalian.”
Auyang Ting menghela napas lega, ucapnya, “Barang itu kami sembunyikan di suatu gua yang terletak di puncak Ku-san (bukit kura-kura)....”
“Untuk itu Siaute bersedia membuatkan sebuah peta,” sambung Auyang Tong.
“Jika sejak tadi kalian menurut begini, tentu aku pun tidak perlu makan daging kalian yang busuk,” kata Li Toa-jui dengan gegetun.
Setelah peta selesai dibuat, semua orang sama bergirang, empat pasang tangan terjulur hendak menerima peta itu, tapi serentetan suara “plak-plok” lantas terdengar, yang ini menampar tangan sana dan yang sana memukul tangan yang ini, segera keempat pasang tangan itu tersurut mundur.
Hanya empat pasang tangan saja yang terjulur sebab tangan Toh Sat selain digunakan untuk membunuh orang tidak mau sembarangan dijulurkan.
Akhirnya Li Toa-jui berteriak, “Peta ini biarlah dipegang Toh-lotoa saja, selain dia tiada orang lain yang dapat kupercayai.”
“Benar, kecuali Toh-lotoa aku pun tidak percaya!” sambung seorang tiba-tiba dengan suaranya yang mengambang dari jauh dan tahu-tahu di luar jendela sudah bertambah sesosok bayangan orang.
“Haha, Im-lokiu memang cerdik, setelah kita berusaha susah payah setengah hari barulah dia muncul untuk ikut ambil bagian,” seru Ha-ha-ji.
“Hm, kalian bersusah payah, memangnya aku tidak?” jengek Im Kiu-yu, si setengah setan setengah manusia.
“Kau susah payah apa? Memangnya kau tergoda oleh setan dan tak dapat melepaskan diri?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.
“Aku memang ketemu setan,” jawab Im Kiu-yu sekata demi sekata.
“Setan apa? Setan kepala besar atau setan gantung?” tanya Ha-ha-ji.
Sinar mata Im Kiu-yu mengerling ke arah Siau-hi-ji, mendadak ia tertawa seram, katanya, “Eh, Siau-hi-ji, coba terka, setan apa?”
“Setan yang dapat membuatmu ketakutan kukira tidak banyak, tapi manusia yang kau takuti kurasa memang ada satu....” ucap Siau-hi-ji.
Mendadak To Kiau-kiau melonjak dan berteriak, “He, jangan-jangan kau kepergok Yan Lam-thian?!”
Im Kiu-yu menyeringai seram, jawabnya, “Jika aku kepergok, memangnya aku dapat datang ke sini? Aku memang melihat dia menunggang kuda gagah perkasa, tampaknya jauh lebih bersemangat dari pada dahulu.”
Girang dan kejut Siau-hi-ji mendengar keterangan ini. Air muka To Kiau-kiau, Ha-ha-ji, Pek Khay-sim dan Li Toa-jui juga berubah semua.
“Sekarang... sekarang dia menuju ke mana?” teriak To Kiau-kiau sambil memburu maju.
“Dari mana kutahu dia hendak pergi ke mana?” jawab Im Kiu-yu. “Bisa jadi sedang menuju ke sini.”
Kata-kata- ini membuat tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin yang termasyhur di seluruh dunia ini menjadi tidak tenteram. Li Toa-jui yang pertama berdiri, ucapnya, “Di sini memang bukan tempat tinggal yang baik, marilah kita pergi saja.”
“Sudah tentu kita harus pergi, kukagum kepada siapa yang tidak mau pergi,” kata Ha-ha-ji.
“Harap... harap kalian membawa serta kami,” mohon Auyang Ting dengan suara gemetar. “Kami... kami juga tidak ingin melihat Yan Lam-thian.”
“Yan Lam-thian, hanya setan yang ingin menemui dia,” tukas Pek Khay-sim.
Nama “Yan Lam-thian” seakan-akan membawa daya pengaruh yang maha besar sehingga tokoh-tokoh yang biasanya tidak kenal apa artinya takut ini juga ngeri mendengar namanya.
Diam-diam Siau-hi-ji bergirang dan terkejut serta kagum pula, pikirnya, “Seorang kalau dapat hidup seperti Yan Lam-thian barulah ada artinya.... Biasanya aku menganggap diriku ini luar biasa, lain dari pada yang lain, tapi kalau dibandingkan beliau diriku ini menjadi bukan apa-apa lagi.”
Akan tetapi Yan Lam-thian kan juga manusia, apa yang dapat diperbuat Yan Lam-thian mengapa tak dapat dilakukan Siau-hi-ji? Dalam hal apakah Siau-hi-ji tidak dapat menyamai orang?
Seketika pikiran Siau-hi-ji jadi bergolak dan berontak, tiba-tiba ia merasa putus asa dan patah semangat, tapi mendadak pula darah bergelora dan timbul semangat ksatrianya....
Mendadak didengarnya jeritan Auyang Ting disertai mengucurnya darah segar, sebelah lengannya dan sebuah pahanya telah ditebas mentah-mentah oleh To Kiau-kiau.
Dengan suara serak Auyang Tong berteriak, “Toh-lotoa, engkau sudah... sudah berjanji takkan... takkan....”
“Toh-lotoa hanya berjanji takkan mencabut nyawa kalian, tapi kan tidak pernah berjanji lain-lainnya?” kata Kiau-kiau dengan tertawa, sambil bicara kembali sebelah lengan dan sebuah kaki Auyang Tong ditabasnya pula, habis itu satu kaleng penuh gula pasir terus dituang ke tubuh mereka.
Kedua Auyang bersaudara itu tahu sebentar lagi berjuta-juta semut pasti akan terpancing tiba oleh gula pasir itu, tatkala mana mereka akan beratus kali lebih tersiksa dari pada sekarang ini.
Segera Auyang Tong berteriak, “Lebih baik kau bu... bunuh saja kami!”
Tapi To Kiau-kiau menjawab dengan tertawa “Toh-lotoa sudah berjanji takkan mencabut nyawa kalian, mana boleh kubunuh kalian.”
“Keji benar kau, ke... kejam amat kau!” teriak Auyang Ting dengan menggereget.
To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, “Begini caramu bicara, tapi bila aku yang jatuh di tangan kalian, bukan mustahil kalian akan berlaku sepuluh kali lebih kejam dari padaku.” Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa menoleh pula.
Teriakan ngeri kedua Auyang bersaudara itu seakan-seakan tidak didengar oleh siapa pun juga.
Sementara itu sang surya sudah hampir terbenam, Siau-hi-ji berdiri di bawah cahaya senja menyaksikan kepergian rombongan To Kiau-kiau, sebelum berpisah para tokoh Cap-toa-ok-jin itu sama berbicara dengan anak muda itu, tapi apa yang dikatakan mereka tidak diperhatikan sungguh-sungguh oleh Siau-hi-ji, yang diketahui adalah mereka hendak pergi ke Ku-san, Siau-hi-ji tidak di suruh ikut, Siau-hi-ji sendiri juga tidak ingin ikut. Ia cuma ingat pesan mereka, “Awas terhadap Yan Lam-thian, usahakan menumbangkan pengaruh Kang Piat-ho. Terasa kurang leluasa jika kau ikut pergi bersama kami, biarlah kelak kami akan datang mencari kau.”
Siau-hi-ji tidak menaruh perhatian pada pesan mereka itu, soalnya hatinya sedang bimbang, entah sejak kapan pikirannya mendadak penuh diisi oleh nama “Yan Lam-thian.”
“Yan Lam-thian, mengapa aku tidak dapat belajar seperti Yan Lam-thian? tapi malah belajar seperti To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan sebangsanya? Tatkala kubenci pada seseorang, mengapa aku tak dapat meniru Yan Lam-thian, carilah orang itu dan bertempur secara terang-terangan dengan dia, tapi malah meniru caranya To Kiau-kiau dan lain-lain, hanya mengganggu secara diam-diam?!”
Hidup seorang lelaki sejati, seharusnya kalau benci ya benci, suka ya suka, apa yang ingin dilakukan segera lakukan saja, siapa pun tak dapat merintanginya.
Sayup-sayup masih terdengar jeritan ngeri Auyang bersaudara yang terbawa angin lalu.
Mendadak Siau-hi-ji memutar balik menuju ke rumah bobrok yang sepi itu.
Kedua orang gemuk itu masih menggeletak di tengah genangan darah, beribu-ribu dan berjuta-juta semut tampak merubung tiba dari segenap penjuru, penderitaan kedua orang itu sungguh sukar untuk dilukiskan.
Ketika melihat Siau-hi-ji, dengan suara terputus-putus mereka berteriak, “To... tolong, sudilah engkau mem... membantuku, bacoklah kami masing-masing satu kali, mati pun kami... merasa berterima kasih padamu!”
Siau-hi-ji menghela napas, tiba-tiba ia angkat kedua orang itu keluar, ia mendapatkan sebuah sumur, di situlah ia cuci badan mereka dari kerumunan semut.
Sungguh mimpi pun kedua Auyang bersaudara tidak pernah menyangka anak muda itu akan menolong mereka, mereka pandang Siau-hi-ji dengan melenggong, penuh rasa kejut, bingung dan juga terima kasih.
“Kalian tentu heran mengapa mendadak aku berubah welas asih bukan?” gumam Siau-hi-ji. “Meski kutahu kalian ini bukan manusia baik-baik, tapi melihat cara kalian mati tersiksa begini sungguh hatiku tidak tega.”