“Siapa kau jika bukan Kang Piat-ho?” bentak Siau-hi-ji pula.
“Siapa kau jika bukan Kang Piat-ho?” si baju hitam menirukan.
Tentu saja Siau-hi-ji sangat mendongkol, tiba-tiba ia mendapat akal, ia terus mencaci maki, “Kang Piat-ho, kau bangsat keparat, kau setan belang, kau anak haram, maknya dirodok!”
Jelas-jelas Kang Piat-ho sudah terkenal sebagai “pendekar besar yang berbudi,” Siau-hi-ji yakin ia pasti tidak mau memaki dirinya sendiri.
Di luar dugaan, si baju hitam ternyata juga menirukan caci makinya, “Kang Piat-ho, kau bangsat keparat, kau....”
“Hahaha!” Siau-hi-ji bergelak tertawa geli, “Seumpama aku tak dapat mendesakmu kembali pada wajahmu yang asli, tapi dapat mendengar kau mencaci maki dirimu sendiri, betapa pun terlampias juga rasa dongkolku. Hahaha, maki diri sendiri sebagai anak haram, sungguh aneh dan lucu!”
“Hahahaha, seumpama aku tak dapat mendesak....” begitulah si baju hitam kembali menirukan ucapan Siau-hi-ji, persis satu kata pun tidak berbeda. Siau-hi-ji bergelak tertawa geli, ia pun terbahak-bahak tidak kalah gelinya.
Sambil mencaci maki mereka pun terus bertempur. Tentu saja adegan lucu ini membuat semua orang melongo heran.
Kedua orang ini tiada satu pun yang mirip Kang Piat-ho, tapi rasanya salah satu di antaranya pasti samaran Kang Piat-ho, tapi sesungguhnya yang mana? Inilah siapa pun sukar menerkanya.
“Ilmu silat Kang Piat-ho terkenal sebagai nomor satu di daerah Kang-lam, kiranya kabar ini pasti tidak bohong,” ucap Buyung San tiba-tiba.
“Betul, yang lebih tinggi ilmu silatnya pastilah Kang Piat-ho,” tukas Buyung San.
Mendengar ucapan kedua nona itu, meski Siau-hi-ji ada maksud merendahkan ilmu silatnya, tapi khawatir pula kalau kena dikerjai lawan. Dengan sendirinya si baju hitam juga berpikir sama. Karena itulah seketika ilmu silat mereka sukar dibedakan siapa yang lebih kuat.
Terdengar suara gebrakan ramai, barang apa pun kalau tersampuk angin pukulan mereka tentu terhantam hancur.
Diam-diam semua orang ikut kebat-kebit dan tidak berani sembarangan ikut campur. Tertampak kedua orang itu terus bertempur menuju keluar, dari jarak dekat lambat laun menjauh.
Maklumlah si baju hitam memang tidak suka asal usulnya diketahui orang lain, padahal Siau-hi-ji juga begitu, jadi kedua orang berpikiran sama dan dengan sendirinya cara bertempur mereka pun semakin menjauhi orang banyak sedapat mungkin. Tampaknya saja gerak serangan kedua orang bertambah dahsyat, tapi sesungguhnya keduanya sama-sama tidak ingin terlibat lebih lama.
Sekonyong-konyong kedua orang sama-sama melompat mundur, lalu yang seorang lagi lari ke timur dan yang lain kabur ke barat.
Si baju hitam membentak, “Kang Piat-ho, percuma aku mengadu jiwa dengan kau, biarlah hari ini kuampunimu!”
Siau-hi-ji juga membentak lebih keras, “Kang Piat-ho, yang benar akulah yang mengampuni kau!”
Gerakan kedua orang sama cepatnya, ketika rombongan Buyung Siang memburu tiba namun sudah terlambat, apa lagi kedua orang itu kabur ke jurusan berlainan sehingga membuat bingung yang hendak mengejar.
Pada saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat keluar dari hutan sana dan mengadang di depan Siau-hi-ji, sambil menuding anak muda itu terdengar ia berteriak sambil tertawa, “Aha, inilah Kang Piat-ho, inilah Kang Piat-ho tulen!”
Di bawah cahaya bintang cukup jelas kelihatan bahwa orang ini ternyata Pek Khay-sim adanya, si “pembuat rugi orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.”
Keruan Siau-hi-ji terkejut dan gusar pula, bentaknya, “He, apa kau sudah gila.”
“Siapa gila? Kau Kang Piat-ho sendiri yang gila!” jawab Pek Khay-sim dengan terbahak-bahak.
“Memangnya kau tidak ingin obat penawar untuk menyelamatkan jiwamu?” jengek Siau-hi-ji gusar.
“Menyelamatkan jiwa siapa?” jawab Pek Khay-sim dengan terkekeh. “Kau membikin susah aku dan aku tidak boleh membikin susah kau?”
Habis itu ia berjumpalitan dan melompat ke belakang terus menghilang pula ke dalam hutan.
Dalam pada itu kakak beradik Buyung sudah memburu tiba, serentak Siau-hi-ji terkepung di tengah.
“Kang Piat-ho, sekali ini kalau kubiarkan kau lolos lagi, maka aku tak mau she Buyung pula,” teriak Buyung Siang dengan murka.
Keruan Siau-hi-ji berjingkrak, jawabnya, “Siapa Kang Piat-ho? Bangsat keparat dialah Kang Piat-ho?!”
“Kau bukan Kang Piat-ho? Lalu kenapa kau lari?” jengek Buyung San.
Melengak juga Siau-hi-ji, pertanyaan ini benar-benar sukar dijawabnya.
Segera Buyung Siang menyambung dengan bentakan pula, “Ya, jika kau bukan Kang Piat-ho mengapa kau tidak serahkan wajahmu untuk kami periksa.”
Karena sudah tertipu satu kali, sekarang mereka tak mau dikibuli lagi, sambil bicara pedang mereka pun bekerja serentak, serangan-serangan maut dilancarkan tanpa ampun.
“Muka seorang lelaki mana boleh disentuh oleh perempuan, konon muka lelaki berlapis emas, muka perempuan berlapis tahi, mana boleh mukaku ikut kena kotoran,” demikian Siau-hi-ji sengaja mengoceh tak keruan, tujuannya cuma untuk membuat marah pihak lawan, dengan demikian ada kemungkinan mendapatkan peluang untuk menerjang keluar.
Benar juga Buyung Siang menjadi gusar dan mendamprat, “Kentut busuk, mukamu sendiri yang berlapis tahil”
“Hm, sebentar kalau kau tertangkap oleh nonamu baru kau tahu rasa apabila kurendam kau di dalam jamban,” teriak Siau-sian-li.
“Sekali pun direndam di dalam jamban juga tidak sudi dipegang-pegang oleh tangan perempuan,” seru Siau-hi-ji.
Lambat-laun semua orang pun dapat menangkap maksud tujuan Siau-hi-ji yang ingin mengobarkan rasa gusar mereka agar perhatian mereka terpencar. Maka mereka tidak gubris lagi kepada ocehannya dan menyerang terlebih kencang.
Koh Jin-giok berwatak polos, tiba-tiba ia berkata, “Aku bukan perempuan, bagaimana kalau aku yang memeriksa wajahmu?”
“Kiranya kau bukan perempuan? Haha, tadinya kusangka kau ini adik perempuan mereka,” ejek Siau-hi-ji.
Setelah berucap demikian, ia jadi merasa geli sendiri dan hampir tertawa, pada saat itulah, “bret,” baju di bagian dadanya terobek oleh sabetan pedang lawan, untung ilmu silatnya sudah maju pesat, kalau tidak, mungkin perut pun sudah terobek.
Namun Siau-hi-ji tetap tidak gentar dan masih mengoceh panjang pendek, soalnya ia menyadari keadaannya yang berbahaya, untuk bisa lolos dengan selamat lebih dulu harus membuat pihak lawan marah.
Tapi begitu jauh ternyata belum ada peluang baginya, Cin Kiam dan Lamkiong Liu belum ikut lagi menyerangnya melainkan cuma berjaga di samping saja, segera ia berolok-olok pula, “Haha, para menantu keluarga Buyung biasanya dikagumi orang Kangouw karena dapat mempersunting para nona cantik keluarga Buyung, tapi menurut pandanganku sekarang adalah lebih baik mencari istri bermuka burik atau berkaki pincang dari pada diperbudak oleh nona-nona cantik tapi galak ini.”
Meski tidak ingin menggubrisnya, tapi Buyung Siang merasa tidak tahan, segera ia mendamprat, “Dasar mulut anjing tak mungkin keluar gadingnya. Memangnya kau anggap kami kakak beradik keluarga Buyung ini perempuan murahan dan kurang baik dibanding orang lain?”
“Biar pun nona-nona keluarga Buyung memang cantik, tapi menjadi menantu keluarga Buyung tetap sial dan konyol,” teriak Siau-hi-ji. “Coba lihat, sang istri lagi berteriak-teriak di sini, tapi sang suami tetap diam saja, bahkan kentut pun tidak berani. Sang istri lagi berkelahi dengan orang, suami malah menonton doang. Haha, apa artinya hidup di dunia ini menjadi suami takut bini begini, jika aku, huh, sejak tadi mungkin aku sudah membunuh diri saja.”
Di mulut dia terus mengoceh dengan riang, tapi pundaknya kembali terluka, meski tidak parah, namun darah sudah lantas mengucur.
Terdengar Cin Kiam menjengek, “Sebenarnya orang she Cin tidak suka main kerubut, tapi mulutmu terlalu kotor, terpaksa aku harus bertindak.” Di tengah ucapan itu sekaligus ia menyerang tiga kali.
Rupanya ocehan Siau-hi-ji itu tidak membawa hasil yang diharapkannya, lawan tidak menjadi marah dan kacau, sebaliknya malah menambah seorang pengeroyok yang tangguh, keruan ia tambah kewalahan.
Walau pun di dalam hati diam-diam ia mengeluh, tapi mulutnya tetap tidak mau kalah, dengan tertawa ia berseru, “Lamkiong Liu, kenapa kau tidak maju saja sekalian, apa barangkali ilmu silatmu tidak ada harganya untuk dipamerkan, hidupmu hanya mengandalkan sang istri saja?”
Air muka Lamkiong Liu rada berubah, mendadak ia berucap dengan suara berat, “Hok-kiat...Hu-ham....”
Begitulah berturut-turut ia menyebut beberapa tempat Hiat-to dan serentak tiga pedang terus menusuk ke tempat yang disebut itu. “Bret,” kembali lengan Siau-hi-ji tergores luka pula.
Supaya maklum bahwa Lamkiong Liu adalah keturunan keluarga bangsawan Lamkiong yang terkenal dengan ilmu silatnya yang khas, Lamkiong Liu sendiri berbadan lemah, ia jarang bertempur dengan orang, tapi sebagai keturunan satu-satunya dari keluarga Lamkiong yang bersejarah itu, dengan sendirinya pengetahuan ilmu silatnya jauh berbeda dengan orang lain.
Kini Lamkiong Liu hanya menonton tenang saja di samping, setiap kali mulutnya menyebut, setiap kali pula Siau-hi-ji kelabakan menghindarnya.
Terdengar Lamkiong Liu menyebut pula, “Leng-pun, Tiong-gu... Seng-hu....”
“Sret-sret-sret,” setelah dua-tiga kali gebrak, benar juga bagian Hiat-to yang disebutnya di tubuh Siau-hi-ji kembali tertusuk pedang.
Sesungguhnya Siau-hi-ji sudah bersiap-siap untuk menghindar pada waktu Lamkiong Liu menyebutkan tempat Hiat-to yang diserang, namun begitu serangan tiba ia sendiri justru sukar menghindarnya.
Seperti diketahui, penonton memang lebih tenang dari pada pemain, apa lagi Lamkiong Liu memang dapat menguasai seluruh permainannya, setiap gerak serangan Siau-hi-ji hampir boleh dikatakan diketahuinya dengan baik, maka petunjuknya tadi dengan sendirinya adalah titik kelemahan Siau-hi-ji.
Terdengar Lamkiong Liu sedang berkata lain, “Yu-bun, Tong-kok... Yang-coan!”
“Yong-coan-hiat” yang disebut itu tepat berada di bawah telapak kaki, tentu saja Siau-hi-ji melengak mendengar Hiat-to yang disebut itu, ia pikir masakah pedang kalian akan dapat menusuk telapak kakiku?
Pada saat itu juga tiba-tiba pedang Buyung San lagi menusuk ke arah Yu-bun dan Tong-koh-hiat, sebenarnya Siau-hi-ji dapat mengelak, tapi pedang lawan lain telah menutup jalan mundurnya, dalam keadaan kepepet tanpa pikir terpaksa dia angkat sebelah kakinya untuk menendang pergelangan tangan Buyung San yang memegang pedang itu.
Walau pun Buyung San terpaksa melompat mundur, namun pada saat itu juga pedang Buyung Siang lantas menusuk dan tepat mengenai Yong-coan-hiat di telapak kaki Siau-hi-ji. Meski tusukan itu tidak mengenainya karena Siau-hi-ji bersepatu kulit, tapi tidak urung ia pun kaget sehingga berkeringat dingin.
“Siau-hong... Wi-tong... Im-kok....” terdengar Lamkiong Liu berkata pula dengan perlahan.
Sekali ini Siau-hi-ji menaruh perhatian penuh untuk menjaga Im-kok-hiat, di luar dugaan Hwe-yang-hiat di bagian punggung mendadak sudah tertusuk pedang dan pada saat yang sama pula Lamkiong Liu sedang menyebut “Hwe-yang-hiat.”
Jadi tanpa turun tangan sendiri Lamkiong Liu tidak kalah lihainya dari pada jago kelas wahid yang mana pun juga. Diam-diam Siau-hi-ji menghela napas dan putus asa, gumamnya, “Ya, sudahlah....”
Tak terduga, pada saat itu juga dari jauh tiba-tiba berkumandang suara jeritan Buyung Kiu, “Tolong... tolong....! Kau bangsat keparat Kang Piat-ho... Tolong Jici, Samci, tolong....” terdengar suaranya makin lama makin menjauh.
Buyung San terkejut, keluhnya, “Wah, celaka! Kita telah lupa meninggalkan Kiu-moay di Sutheng sana.”
“Kenapa dia tidak ikut kemari,” ucap Buyung Siang dengan khawatir.
“Jadi Kang Piat-ho berada di sana,” tanya Siau-sian-li.
“Orang ini ternyata bukan Kang Piat-ho,” sambung Koh Jin-giok.
Beramai-ramai mereka lantas berteriak dan membentak terus memburu ke arah Buyung Kiu, hanya Lamkiong Liu yang berangkat terakhir, sebelum melangkah pergi ia memberi hormat dulu kepada Siau-hi-ji dan berkata, “Maaf.”
Dengan tersenyum kecut Siau-hi-ji menjawab, “Orang yang takut bini di seluruh dunia mungkin kau nomor satu, orang macam kau ini memang setimpal memperistrikan wanita macam apa pun juga.”
“Kepandaian saudara sesungguhnya lain dari pada yang lain,” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum. “Tampaknya saudara menghimpun intisari berbagai ilmu silat di dunia ini dan menjadi suatu aliran tersendiri, cuma sayang permainanmu belum lagi lancar, tampaknya banyak peluang dan titik kelemahannya, mungkin disebabkan saudara terlalu banyak memikirkan hal tetek bengek dan tak dapat memusatkan perhatian untuk berlatih. Bila mana hal ini dapat saudara perbaiki kelak, sekali pun aku memberi petunjuk di samping seperti kulakukan tadi rasanya mereka pun bukan tandinganmu.”
Siau-hi-ji melengak, tanyanya, “Untuk apa kau bicara demikian padaku?”
“Sesungguhnya saudara memang bukan Kang Piat-ho, sebab permainan Kang Piat-ho pasti tidak kaku begini,” ujar Lamkiong Liu.
“Kau sudah tahu, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?” tanya Siau-hi-ji gusar.
“Meski Cayhe sudah tahu hal ini sejak tadi, tapi waktu itu aku memang ingin tahu pula siapakah saudara ini sebenarnya, sebab itulah aku tidak bersuara, tapi sekarang Kiu-moay menghadapi bahaya, dengan sendirinya soalnya menjadi lain.”
Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Mungkin tadi aku mencemoohkan kau, maka kau sengaja membikin susah padaku.”
“Jika bukannya hatiku rada menyesal, mana Cayhe mau berkata seperti itu padamu,” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum sambil melangkah pergi.
Lamkiong Liu telah menghilang di kejauhan, tapi Siau-hi-ji masih merenungkan ucapannya tadi, makin dipikir makin tidak tenteram.
.”..mungkin saudara terlalu banyak memikirkan urusan tetek-bengek sehingga tak dapat memusatkan perhatian....” demikian Siau-hi-ji mengulang ucapan Lamkiong Liu tadi, ia merasa kata-kata itu benar-benar kena di lubuk hatinya.
Setelah tertegun sejenak, segera ia melangkah ke depan, ia ingin mencari Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu untuk membikin perhitungan dengan dia.
Sambil berjalan ia pun bergumam sendiri, “Aneh, mengapa mendadak Pek Khay-sim tidak takut mati sehingga obat penawar juga tidak diperlukan lagi? Dan bagaimana pula tentang Buyung Kiu, mengapa dia bisa muncul di sini dan saat ini apakah betul telah ditawan oleh Kang Piat-ho?”
Sungguh Siau-hi-ji tidak habis mengerti mengenai nona kesembilan keluarga Buyung itu, waktu orang mencarinya tidak diketemukan, tahu-tahu dia muncul di sini secara aneh, kemudian diculik lagi oleh Kang Piat-ho, semuanya ini sungguh membuatnya bingung.
Karena tetap tidak paham apa yang terjadi, Siau-hi-ji sungkan untuk memikirkannya lagi, terasa sakit luka-luka di sekujur badannya, ia lantas duduk di bawah pohon untuk istirahat.
Sebenarnya luka itu tiada artinya bagi tubuh Siau-hi-ji yang sudah tergembleng ibarat otot kawat tulang besi itu, walau pun luka itu cukup sakit, tapi sama sekali tak dihiraukannya.
Sementara itu bintang-bintang mulai jarang, ufuk timur sudah mulai remang-remang, fajar telah tiba, kicau burung mulai ramai di tengah hutan, jagat raya ini terasa tenang dan damai.
Siau-hi-ji memejamkan matanya dan bergumam, “Mungkin aku memang terlalu banyak mengurusi hal tetek bengek, tapi orang kan juga harus bekerja dan tidak boleh cuma makan melulu, apa lagi kalau urusan sudah menimpa dirimu, ingin menghindar juga sukar.”
Padahal yang benar adalah dia sendiri tidak mampu hidup prihatin, asal menganggur dua hari, sekujur badan terasa pegal linu malah, kalau tidak mencari sesuatu perkara rasanya tidak enak.
Tapi saat ini, pada waktu fajar baru menyingsing di hutan yang damai ini ia benar-benar ingin memejamkan mata untuk menikmati ketenangan yang sukar dicari.
Siapa tahu, pada saat demikian tiba-tiba terdengar seseorang sedang memanggilnya, “Siau-hi-ji...Kang Siau-hi...di mana engkau?”
Siau-hi-ji melonjak bangun, gumamnya sambil menyengir, “Urusan benar-benar datang mencari padaku. Tapi entah siapa yang memanggilku ini? Dari mana pula dia mengetahui aku berada di sini?”
Didengarnya orang itu sedang berseru pula, “Siau-hi-ji, kutahu engkau berada di dalam hutan, lekas keluar, ada urusan penting ingin kukatakan padamu. Ayolah lekas keluar!”
Suara itu terasa mirip suara Buyung Kiu.
Mata Siau-hi-ji terbeliak, ucapnya dengan tertawa, “Jika Buyung Kiu, kedatangannya sungguh kebetulan, memangnya aku ingin mencari dia dan dia telah datang sendiri.”
Ia coba sembunyi di balik pohon dan mengintai ke sana. Terlihat seorang berjubah panjang dengan rambut semampir di pundak dan sedang melangkah datang menyongsong remangnya fajar sehingga tampaknya mirip malaikat pegunungan yang baru turun dari langit. Siapa lagi dia kalau bukan Buyung Kiu.
Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melompat ke depan si nona sambil menjerit, “He!”
Buyung Kiu seperti berjingkat kaget, dia meraba dadanya dan mengomel, “Ai, kau ingin membikin aku kaget dan linglung lagi?”
Siau-hi-ji memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, katanya kemudian dengan tertawa, “Wah, setengah hari tidak bertemu tampaknya kau bertambah cantik.”
“Setengah hari tidak berjumpa, tampaknya kau bertambah cakap,” nona itu pun balas menyanjung.
Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, Buyung Kiu ternyata juga bisa berucap demikian dan juga bisa merayu, sungguh aneh bin ajaib!”
“Semua perempuan dapat merayu, soalnya bergantung pihak lawan berharga untuk dirayu atau tidak?” kata Buyung Kiu.
“Kau tidak benci lagi padaku?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Hati perempuan sering kali berubah dengan cepat, masakah kau tidak paham?” tanya si nona.
Siau-hi-ji menghela napas, jawabnya, “Benar, cinta perempuan kepada seorang saja tak dapat bertahan lama apa lagi membenci seseorang.”
Buyung Kiu berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Hanya orang yang pernah tertipu oleh perempuan yang dapat memahami perempuan sedalam ini. Dari ucapanmu kukira kau pasti pernah mengalami sesuatu.”
“Ya, aku memang pernah tertipu oleh perempuan,” kata Siau-hi-ji.
“Siapa yang pernah menipumu?” tanya Buyung Kiu dengan tertawa. “O, jangan-jangan nona Thi itu?”
Hati Siau-hi-ji terasa sakit, teriaknya mendadak, “Bukan!”
“Habis siapa?” tanya si nona.
“Buyung Kiu!” seru Siau-hi-ji sambil melotot.
“Bilakah pernah kutipu kau?” tanya si nona dengan mengikik.
Mata Siau-hi-ji bersinar, katanya sekata demi sekata, “Kau bukan Buyung Kiu!”
“Aku bukan Buyung Kiu?” si nona menegas dengan tertawa. “Hah, apa kau sinting, kau tidak kenal aku lagi?”
Dengan terbelalak Siau-hi-ji memandangnya sejenak, mendadak ia meloncat tinggi-tinggi, lalu jumpalitan dua kali, waktu berdiri lagi, dia kucek-kucek matanya, akhirnya ia terbahak-bahak, katanya, “Meski kupikir tidak mungkin engkau, tapi rasanya toh pasti engkau adanya.”
“Memangnya kau kira aku ini siapa?”
“Hahahaha!” serentak Siau-hi-ji pegang tangan si nona dan berteriak, “Engkau bibi To, To Kiau-kiau!”
“Buyung Kiu” terbelalak memandangi Siau-hi-ji hingga sekian lamanya, akhirnya ia pun tertawa dan berkata, “Setan cilik, betapa pun kau memang pintar dan dapat kau kenali diriku. Di seluruh dunia ini kecuali kau mungkin tiada seorang pun dapat mengetahui samaranku ini.”
“Bukan kukenalimu, aku cuma berpikir kalau ‘Buyung Kiu’ ini bukan Buyung Kiu, habis di dunia ini siapakah yang dapat menyamar Buyung Kiu semirip ini?”
“Dengan sendirinya hanya bibi To saja, bukan?” tukas To Kiau-kiau dengan tertawa.
“Betul, cuma... cuma aku masih ragu-ragu apakah betul bibi To dapat datang ke sini? Sungguh mimpi pun aku tidak menyangka engkau dapat meninggalkan Ok-jin-kok.”
Tiba-tiba To Kiau-kiau menghela napas, katanya dengan perlahan, “Banyak urusan di dunia ini sukar diduga orang.”
Terbelalak mata Siau-hi-ji, tanyanya, “Sungguh tak terpikir olehku bahwa bibi To juga bisa menghela napas, juga tak terpikir olehku mengapa engkau dapat meninggalkan Ok-jin-kok, lebih-lebih tak menyangka bahwa engkau ternyata tahu jelas urusanku sehingga menyamar sebagai Buyung Kiu.”
Sesungguhnya memang banyak persoalan yang sukar dipahami Siau-hi-ji, maka sekaligus telah ditanyakan seluruhnya.
“Kau memberondong diriku dengan pertanyaan sebanyak ini, lalu cara bagaimana aku harus menjawab?” ucap To Kiau-kiau.
“Sudah beberapa lama bibi To meninggalkan Ok-jin-kok?”
“Kira-kira sudah...sudah setengah tahun.”
“Selama dua tahun ini pada hakikatnya tidak ada orang tahu aku berada di mana, lalu dari mana bibi To mengetahui urusanku dan mengapa dapat menyaru sebagai Buyung Kiu?”
“Setelah meninggalkan Ok-jin-kok, meski sepanjang jalan telah kudengar sedikit perbuatanmu yang gemilang, tapi benar-benar aku tidak tahu kau berada di mana. Ingin kucari keterangan juga sukar kuperoleh.”
Siau-hi-ji merasa bangga, matanya berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Sudah tentu engkau tak dapat memperoleh keterangan apa-apa, bila mana aku mau sembunyi, setan juga tidak dapat menemukan diriku.”
“Tapi tanpa sengaja beberapa hari yang lalu telah kutemukan kau.”
“Hah, beberapa hari yang lalu engkau menemukan aku!? Mengapa aku tidak tahu?”
“Bukan saja aku menemukan kau, bahkan telah bicara denganmu,” tutur To Kiau-kiau dengan tertawa.
Siau-hi-ji garuk-garuk kepala yang tidak gatal, katanya dengan menyengir, “Sungguh aneh... engkau telah bicara denganku....?”
To Kiau-kiau terkekeh-kekeh, katanya, “Waktu itu kau bengis sekali, aku dibentak agar enyah dengan mata melotot, sungguh aku menjadi ketakutan dan lekas-lekas enyah menjauhimu.”
Siau-hi-ji berjingkrak sambil tertawa, “Haha, tahulah aku... engkau adalah....”
“Aku adalah pelayan bodoh di bawah loteng tempat tinggal Lo bersaudara,” tukas To Kiau-kiau.
“Wah, sungguh aku sangat kagum padamu, mirip benar penyamaranmu itu, mimpi pun tak pernah terpikir olehku bahwa pelayan itulah samaranmu.”
“Sudah tentu tak terpikir olehmu, jika aku mau sembunyi, biar setan juga tak dapat menemukan diriku,” ucap To Kiau-kiau dengan berkedip-kedip dan menirukan lagak-lagu anak muda itu.
Siau-hi-ji berkeplok tertawa, “Bagus, bagus! Untung engkau tidak menyaru sebagai diriku, kalau tidak, bisa jadi aku sendiri pun tidak dapat membedakan antara Kang Siau-hi tulen dan palsu.”
Setelah bergelak tertawa sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula, “Tapi sebelum itu engkau tidak pernah melihat aku, bukan?”
“Ya, tidak,” jawab To Kiau-kiau.
“Dengan sendirinya kau pun tak pernah menyangka aku akan datang ke tempat Lo Kiu dan Lo Sam.”
“Aku bukan malaikat dewata, dengan sendirinya tak dapat meramalkan apa yang belum terjadi.”
“Jika begitu mengapa engkau dapat menyaru sebagai pelayan bodoh dan sembunyi di sana untuk menunggu kedatanganku?”
“Tujuanku bukan menunggu kedatanganmu.”
“Habis untuk apa engkau sembunyi di sana?”
Tiba-tiba mata To Kiau-kiau memancarkan sinar yang buas, ucapnya sekata demi sekata, “Tujuanku adalah kedua Lo bersaudara itu.”
“Aha, tahulah aku, mereka bersaudara tentunya ada permusuhan apa-apa denganmu.”
“Rahasia di balik persoalan ini tidaklah kau ketahui!”
“Memangnya ada rahasia apa?”
“Kepergianku dari Ok-jin-kok kali ini, selain mencari dirimu juga ingin mencari lagi dua orang lain.”
“Jadi yang kau cari ialah mereka berdua?”
To Kiau-kiau tidak langsung menjawabnya, dengan perlahan ia menutur, “Dua puluh tahun yang lalu, lima dari pada sepuluh Ok-jin telah terpaksa kabur ke Ok-jin-kok, tatkala mana urusannya sangat gawat, mereka kabur dengan sangat terburu-buru sehingga banyak barang penting tidak sempat dibawa.”
“Betul, engkau dan paman Li, paman Toh dan lain-lain sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, dengan sendirinya tidak sedikit barang yang terkumpul, dan kalau ada barang yang dapat menarik perhatian kalian tentulah barang yang cukup berharga.”
“Memang, makanya kami pun merasa berat meninggalkan barang-barang itu. Kalau tidak sempat lagi dibawa serta, jalan yang baik adalah menyerahkannya kepada orang lain dan minta dia mengantarkannya ke Ok-jin-kok kelak.”
“Lalu kalian serahkan kepada siapa?”
“Kau tahu, di dunia Kangouw pada hakikatnya kami tidak punya teman, hanya lima orang lagi dari Cap-toa-ok-jin yang sekadarnya masih dapat dikatakan kawan sehaluan.”
“Ya, ya, untuk ini aku cukup paham,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum.
“Oleh karena itu kami terpaksa menyerahkan barang-barang itu kepada mereka, cuma Ong-say Thi Cian selalu angin-anginan, kalau lagi kumat penyakit gilanya sering kali dia lupa daratan sehingga jiwa sendiri pun tak terpikir apa lagi barang titipan orang lain. Sedangkan Pek-Khay-sim yang sok merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu lebih-lebih tak dapat dipercaya, apa lagi ia musuh Li Toa-jui.”
“Dan kalau dititipkan kepada Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, khawatir diludeskan pula di meja judi,” sambung Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Memang begitulah,” ucap To Kiau-kiau dengan mengikik geli. “Setan judi itu boleh dikatakan berjudi selama hidup, ia anggap kemahirannya berjudi itu jauh lebih pintar dari pada siapa pun juga, akan tetapi dia lebih sering kalah habis-habisan sehingga celana pun digadaikan, kalau dia sudah mulai berjudi, baru akan berhenti bila sudah Thian-kong (langit bersih alias terang tanah atau menjelang pagi), Jin-kong (orang sudah bersih, artinya sudah pulang semua) dan Jian-kong (uang bersih). Dari sinilah dia mendapatkan nama Sam-kong (tiga kali Kong) alias ludes sama sekali.”
“Ada pemeo yang mengatakan, ‘Malaikat juga akan kalah jika judi lama’. Apa lagi dia bukan malaikat melainkan setan judi saja. Tentu saja dia lebih sering kalah dari pada menangnya,” sambung Siau-hi-ji.
“Nah, maka waktu itu kami bermaksud menitipkan barang itu kepada Siau Mi-mi, tapi si tukang pikat itu justru sukar ditemukan jejaknya, entah sembunyi di mana.”
“Sudah tentu kalian tak dapat menemukan dia karena dia telah sembunyi di istananya yang berada di bawah tanah,” ucapan ini hampir tercetus dari mulut Siau-hi-ji, tapi akhirnya urung, dia hanya membatin saja.
Maka terdengar To Kiau-kiau lagi melanjutkan, “Oleh sebab itu, setelah kami pertimbangkan bolak-balik, akhirnya kami serahkan barang kami kepada kedua Auyang bersaudara.”
“Apakah kedua Auyang bersaudara itu masing-masing berjuluk ‘mengadu jiwa juga ingin untung’ dan ‘mati-matian juga tidak mau rugi’?” tanya Siau-hi-ji.
“Betul, justru karena mereka terlalu kikir dan selalu main Swipoa ‘ting-tong’, makanya nama mereka pun disebut Auyang Ting dan Auyang Tong,” tutur To Kiau-kiau pula. “Kalau kami menitipkan barang kepada mereka tentunya tidak perlu khawatir barang itu akan hilang?”
“Tapi menurut pendapatku, kedua Auyang bersaudara itu justru lebih-lebih tidak dapat dipercaya,” ujar Siau-hi-ji. “Kalau mati pun mereka ingin cari untung, maka sama saja kambing disodorkan ke mulut harimau bila mana barang-barang itu kalian titipkan pada mereka.”
“Waktu itu kami pun mempertimbangkan hal itu, namun ada suatu kelemahan mereka, yakni selama hidup mereka paling takut kepada Toh Sat si tangan berdarah yang selamanya suka membunuh orang itu. Sebab itulah kami yakin mereka pasti tidak berani menggelapkan barang titipan itu. Siapa tahu kedua Lo bersaudara segera main Swipoa, mereka yakin bila Toh Sat sudah kabur ke Ok-jin-kok tentu tak berani muncul lagi ke dunia luar, lalu kenapa harus takut lagi padanya. Dengan demikian barang titipan kami benar-benar telah dimakan oleh mereka.”
“Haha, kedua bersaudara itu sungguh hebat, mereka tidak takut perut akan kembung sehingga barang kalian pun dimakannya,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Dengan sendirinya kami menunggu di Ok-jin-kok, tunggu punya tunggu, setelah sekian tahun barang titipan itu tetap belum mereka antar ke sana. Maka kami lantas bersumpah pada suatu hari pasti akan mencari mereka untuk membikin perhitungan.”
“Makanya begitu meninggalkan Ok-jin-kok segera engkau mencari mereka.”
“Betul,” kata To Kiau-kiau.
“Jangan-jangan antara kedua Auyang bersaudara itu ada hubungannya dengan kedua Lo bersaudara?” ucap Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.
“Kedua Auyang bersaudara tak-lain tak-bukan adalah kedua Lo bersaudara!” kata To Kiau-kiau sekata demi sekata.
“Pantas cara mereka begitu keji,” seru Siau-hi-ji. “Aku memang sudah mencurigai asal usul mereka pasti tidak biasa. Cuma setahuku, bentuk kedua Lo bersaudara itu sama sekali berbeda dari pada Auyang bersaudara.”