Watak nona kedua keluarga Buyung ini memang berangasan, apa lagi tadi dia telah kecundang, tapi ia tidak menjadi gentar, segera ia menubruk maju pula. Tapi Toa-nay-nay telah menahan serangannya.
Tentu saja Buyung Siang menjadi gusar, omelnya, “Sam-moay, memangnya kau hendak melepaskan dia dan tidak ingin mencari Kiu-moay lagi?”
“Kalau dia tak dapat pergi, biarlah kita bereskan dia secara perlahan-lahan saja,” ucap nona ketiga keluarga Buyung alias Buyung San.
Di antara kesembilan taci beradik keluarga Buyung, nona ketiga ini terkenal cerdik pandai, biar pun watak si nona kedua biasanya kaku dan keras, tapi terhadap ucapan sang adik ketiga ini biasanya dia suka menurut. Tapi sekarang ia rada mendongkol dan mengomel, “Kenapa mesti perlahan-lahan, memangnya apa yang kau tunggu?”
“Kukira di balik persoalan ini ada sesuatu kejanggalan,” ujar Buyung San.
“Kejanggalan bagaimana?” tanya Buyung Siang.
“Bahwa orang ini telah berjanji menemui kita di sini, seyogianya dia sudah tahu siapa kita ini, tapi baru sekarang dia mengetahui asal-usul kita, bukankah ini rada mengherankan?”
Melengak juga Buyung Siang, tapi ia tetap tak sependapat, katanya, “Kenapa mesti heran, bukan mustahil dia sengaja berlagak pilon.”
“Benar, bekuk saja dia dahulu dan urusan belakang,” sambung Siau-sian-li.
Sejak tadi si baju hitam mengikuti percakapan kakak beradik Buyung itu dengan penuh perhatian, kini mendadak ia berseru, “Nanti dulu, mungkin sekali dalam persoalan ini kita sama-sama terjebak oleh tipu adu domba pihak lain....”
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan, sebuah hiolo (tempat dupa) menggelinding jatuh dari atas belandar dengan menyeret sehelai kain putih. Di atas kain itu tertulis, “Kang Piat-ho, kejahatanmu sudah melebihi takaran, kini biar pun kau hendak menyangkal juga tidak bisa lagi.”
Tulisan di atas kain itu cukup besar sehingga di waktu malam juga kelihatan dengan jelas.
Tentu saja semua orang terkejut, “Jadi kau... kau ini Kang Piat-ho?” seru Buyung Siang.
Sinar mata si baju hitam menampilkan rasa terkejut dan gelisah, dia menyadari sekali ini benar-benar telah masuk perangkap orang, tapi siapa sesungguhnya biang keladi yang mengatur tipu muslihat ini sama sekali tidak diketahuinya. Kalau ada seorang lawan yang diam-diam selalu mengincar setiap gerak-geriknya, maka sekali pun dia dapat meloloskan diri nanti, selanjutnya ia pun tak dapat makan dan tidur dengan tenteram.
Dasar dia memang dapat berpikir banyak dan mendalam, kalau orang lain hanya dapat memikirkan suatu hal, tapi sekaligus dia dapat berpikir sepuluh soal, terkadang hal ini malah membikin susah dia, sebab kalau dia sedang merenungkan sesuatu lalu lupa memberi jawaban.
Segera Buyung Siang menjengek pula, “Hm, Kang-lam-tayhiap yang termasyhur ternyata bisa melakukan perbuatan begini.”
Belum lagi si baju hitam menanggapi, kembali terdengar suara gemeruduk, sebuah tutup hiolo menggelinding jatuh pula dari atas dan menyeret juga sehelai kain putih dengan tulisan, “Kang Piat-ho, orang yang kau sembunyikan itu sudah diketemukan.”
Kain putih bertulisan itu dengan sendirinya telah disiapkan oleh Siau-hi-ji sebelumnya, ujung kain putih itu dipakunya di atas belandar, lalu ujung yang lain diikat pada hiolo dan digandeng pula dengan seutas benang panjang dan halus memutar ke tempat sembunyinya, asalkan benang ditarik, segera hiolo itu menggelinding jatuh ke bawah dan kain putih itu pun dengan sendirinya ikut terbentang ke bawah.
Dia telah mengikuti percakapan Buyung San dengan si baju hitam tadi, makin lama terasa makin kurang enak dan bisa jadi tipu muslihatnya akan terbongkar, maka cepat ia menarik benang untuk memperlihatkan tulisan yang telah disiapkan lebih dulu itu. Harapannya hanya untuk mengulur waktu saja sampai datangnya Cin Kiam dan lain-lain.
Menurut perhitungannya, saat ini Cin Kiam dan kawan-kawannya pasti sudah dapat menemukan Buyung Kiu, maka biar pun Kang Piat-ho mempunyai seratus buah mulut juga tidak sanggup membantah karena bukti sudah terpegang.
Rencana Siau-hi-ji sesungguhnya sangat rapi dan tidak mungkin meleset, sungguh mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa karena rasa cemburunya Samkohnio, maka rencana yang telah diaturnya ini menjadi berantakan dan gagal total.
Setelah membaca tulisan pada kedua helai kain putih itu, maka Buyung San yang semula ragu-ragu kini pun tidak sangsi lagi, apa lagi Siau-sian-li dan Buyung Siang, mereka bertambah geregetan dan ingin sekali membinasakan Kang Piat-ho.
Tapi orang berbaju hitam itu sebegitu jauh belum mengaku dirinya ialah Kang Piat-ho, sebaliknya juga tidak menyangkal, dia hanya bungkam saja dengan mata melotot memperhatikan senjata lawan.
Jika orang lain, menghadapi persoalan demikian tentu sudah lantas berteriak menyangkal dan berusaha menjelaskan duduknya persoalan. Tapi orang berbaju hitam itu benar-benar lain dari pada yang lain, ia tahu dirinya kini telah masuk perangkap lawan, biar pun memberi penjelasan juga takkan dipercaya. Bila dia mengerjai orang juga selalu diatur dengan rapi sehingga orang lain tidak mampu membela diri, makanya menghadapi urusan begini ia sendiri pun lebih paham dari pada orang lain.
Keadaan ini memang benar-benar sangat ruwet dan pelik, di seluruh dunia ini, kecuali Siau-hi-ji saja mungkin tiada seorang pun yang tahu jelas persoalannya dan dengan sendirinya juga tidak tahu cara bagaimana menghadapinya.
“Nah, Sam-moay, apa abamu sekarang?” tanya Buyung Siang kepada Buyung San dengan melotot.
Buyung San angkat bahu, jawabnya, “Baiklah, bekuk saja dia lebih dulu!”
Tanpa menunggu perintah lagi, kontan pedang Siau-sian-li lantas mendahului menusuk si baju hitam, Buyung Siang juga tidak tinggal diam, segera ia pun melancarkan serangan yang ganas.
Ilmu pedang Buyung San tidak secepat Siau-sian-li dan tidak seganas Buyung Siang, tapi pikirannya selalu jernih dan pandangannya tajam, setiap serangannya selalu mengarah tempat kelemahan musuh.
Menghadapi kerubutan tiga nona yang dapat bekerja sama dengan sangat rapat itu, betapa pun lihai kepandaian si baju hitam juga merasa kewalahan, setelah menangkis beberapa kali, mendadak gerak pedangnya bertambah cepat dan melancarkan serangan balasan dengan lihai, rupanya dia bermaksud mencari peluang untuk meloloskan diri.
Tak tahunya bahwa pengalaman tempur ketiga nona lawannya juga cukup luas, begitu dia melancarkan serangan balasan secara cepat, segera ketiga nona itu dapat menerka maksud tujuannya. Dan maksudnya hendak kabur itu semakin meyakinkan ketiga nona itu bahwa si baju hitam benar-benar Kang Piat-ho yang menawan Buyung Kiu, maka Siau-sian-li dan Buyung Siang semakin nekat melabraknya dengan mati-matian.
Beberapa dayang keluarga Buyung yang ikut datang itu pun sedang melayani beberapa orang berbaju hitam lainnya, biar pun orang perempuan, tampaknya mereka cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya.
Sementara itu dahi si baju hitam tadi sudah mulai berkeringat dan membasahi kedoknya, baru sekarang dia mengakui para nona keluarga Buyung yang terkenal di dunia persilatan ini ternyata benar-benar sangat lihai. Ia tidak tahu bahwa ilmu pedang bukanlah kepandaian andalan para nona keluarga Buyung, justru Ginkang dan Am-gi adalah kepandaian khas andalan mereka. Soalnya sekarang mereka khawatir si baju hitam akan mendapat peluang untuk lolos, makanya tidak sempat menggunakan senjata rahasia andalan mereka.
“Sret,” dengan gerak tipu “Hun-hoa-hut-liu” atau menyiah bunga menyisihkan tangkai, pedang Buyung San menusuk dari depan, sinar pedang gemerdep menyilaukan mata, serangan ini entah benar-benar atau cuma pancingan belaka.
Sebenarnya serangan ini tidak bertujuan mencelakai musuh melainkan untuk mengaburkan pandangan lawan saja sehingga kawannya sempat melancarkan serangan telak. Akan tetapi kalau si baju hitam tidak mengelak, maka serangan pancingan ini segera diteruskan menjadi serangan sungguhan.
Tanpa pikir si baju hitam mengegos ke samping sambil memutar pedangnya untuk menangkis, benar saja Siau-sian-li dan Buyung Siang serentak juga menyerang, sinar pedang mereka segera menusuk dari kanan kiri secara menyilang.
Gerak serangan ke tiga nona itu sebenarnya bukan tipu luar biasa, namun cara kerja sama mereka sesungguhnya sangat rapi sehingga daya tekanannya bertambah lipat dari pada serangan biasa, seketika jalan mundur musuh tertutup seluruhnya, andaikan dia sempat menghindarkan pedang yang satu tentu juga tidak dapat mengelakkan tusukan pedang yang lain.
Di luar dugaan, begitu serangan Buyung San itu tertangkis, berbareng si baju hitam membuang pedangnya, secepat kilat tangannya membalik dan mencengkeram pergelangan tangan Buyung San.
Perubahan ini sebenarnya sangat berbahaya, tapi juga bagus dan sangat lihai, kalau bukan tokoh semacam dia tentu juga takkan mampu mengeluarkan tipu serangan aneh dan sebagus ini, sampai-sampai Siau-hi-ji juga hampir bersorak memuji menyaksikan tipu serangan hebat itu.
Sudah tentu Buyung San juga tidak pernah menduga pihak lawan akan membuang pedangnya terus memegang tangannya, bagaimana pun sudah terlambat baginya untuk mengelak, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kesemutan, tubuh lawan segera menubruk maju dan merangkulnya, seketika lehernya berada di bawah ancaman tangan lain si baju hitam.
“Kalian menghendaki jiwanya tidak?” bentak si baju hitam.
Meski seluruh tubuhnya kini terbuka di bawah ancaman pedang Siau-sian-li dan Buyung Siang dan setiap saat bisa bertambah beberapa lubang tusukan, namun jiwa Buyung San juga berada di bawah ancamannya dan setiap saat lehernya dapat diremas patah. Dalam keadaan demikian Siau-sian-li berdua menjadi ragu, ujung pedang mereka hanya menempel di punggung si baju hitam dan tidak berani menusuknya. Namun dengan ancaman kedua pedang di punggungnya itu, mau tak mau si baju hitam juga tidak berani sembarangan bertindak.
“Lepaskan, lekas! Kalau tidak, segera kubinasakan kau!” bentak Buyung Siang.
“Jika kalian tidak tarik kembali pedangmu, segera kumampuskan dia!” si baju hitam balas mengancam.
“Kau lepas dahulu dan segera kami tarik pedang,” kata Siau-sian-li.
“Hahaha, lelaki tidak pantas berebut dahulu dengan perempuan, kukira kalian saja lepas tangan dahulu,” kata si baju hitam dengan tertawa.
“Mana kami dapat mempercayai kau?!” damprat si Buyung Siang.
“Tapi aku pun tak dapat mempercayai kalian,” jengek si baju hitam.
Jadi kedua pihak sama-sama tidak berani turun tangan dan juga tidak berani lepas tangan. Kedua pihak saling ngotot sejenak, dasar watak mereka memang tidak sabaran, Siau-sian-li dan Buyung Siang telah mandi keringat karena cemasnya.
Buyung San sendiri malah sama sekali tidak gelisah, katanya dengan tenang, “Kalian jangan mau lepas tangan, Jici, dia pasti tidak berani mencelakai diriku.”
Tapi si baju hitam lantas menjengek, “Hm, biasanya aku dapat bersabar, kalau tetap mau bertahan cara begini juga boleh.”
Saking gemasnya ujung pedang Buyung Siang terus ditekan sedikit ke depan, tapi serentak Buyung San juga tercekik hingga hampir tak dapat bernapas.
“Memangnya kau ingin ngotot sampai kapan?” teriak Siau-sian-li dengan gusar.
“Sampai kalian melepas tangan,” jawab si baju hitam.
Keringat sudah membasahi dahi Siau-sian-li, tapi sama sekali tak berdaya.
Diam-diam Siau-hi-ji menggeleng, pikirnya, “Sungguh budak bodoh, kenapa mesti gelisah, sebentar kan juga datang bala bantuanmu....”
Benar saja, pada saat itu dari kejauhan tertampak berkelebatnya tiga sosok bayangan orang, hanya sekejap saja sudah mendekat, ternyata memang Lamkiong Liu, Cin Kiam dan Koh Jin-giok yang datang.
Tentu saja Siau-hi-ji dan para nona keluarga Buyung itu kegirangan, tapi si baju hitam juga tidak gentar dan gugup karena dia sudah memegang sanderanya. Kalau Cin Kiam datang, tentu Buyung San lebih-lebih tidak mungkin dikorbankan. Asalkan, nona ketiga keluarga Buyung itu tetap dicengkeramnya pasti dia akan dapat lolos dengan selamat.
Cin Kiam memang terperanjat demi nampak istri tercinta tertawan musuh. Pengalaman Kangouw Koh Jin-giok paling cetek dan hijau, dia jadi melongo melihat keadaan demikian.
“Tolol, kenapa tidak lekas kau memberi bantuan?!” omel Siau-sian-li kepada pemuda yang lebih mirip gadis pingitan itu.
Tapi si baju hitam lantas membentak, “Siapa yang berani maju?!”
“Se...sebenarnya bagaimana persoalannya, sukalah sahabat ini bicara secara baik-baik,” ucap Cin Kiam.
“Persoalan ini pada hakikatnya cuma salah paham belaka, tapi urusan sudah telanjur begini, sekali pun kuberi penjelasan juga kalian takkan percaya,” seru si baju hitam dengan suara keras. “Maka apa pun yang dibicarakan biarlah tunggu kalau aku sudah keluar dulu dari sini.”
“Jangan kita lepaskan dia, orang ini banyak tipu akalnya, jangan kita tertipu olehnya,” seru Buyung Siang.
Kini Lamkiong Liu sudah membaca tulisan yang terpampang di kain putih itu, serunya, “Jangan-jangan saudara ini memang benar Kang-tayhiap adanya?”
Si baju hitam hanya, mendengus saja dan tidak menjawab.
“Tayhiap kentut anjing, orang ini memang benar Kang Piat-ho!” bentak Siau-sian-li.
“Kalian jangan urus diriku, tanyai dia dulu bagaimana dengan Kiu-moay, sudah ditemukan belum?” seru Buyung San dengan suara serak.
Lamkiong Liu menghela napas, ucapnya, “Baru saja kami datang ke tempat Kang-tayhiap....”
Mendengar sampai di sini hati Siau-hi-ji jadi dingin, kalau rombongan Cin Kiam dapat menemukan Buyung Kiu di tempat Kang Piat-ho, tentunya dia takkan bersikap seramah itu padanya dan menyebutnya “tayhiap.”
Dalam pada itu Buyung San telah bertanya pula dengan cemas, “Apakah Kiu-moay tidak berada di sana?”
Cin Kiam berkata khawatir, “Jangan kau urus Kiu-moay, kau... kau sendiri....”
“Kiu-moay tidak berada di tempat Kang-tayhiap sana, bisa jadi kita telah dipermainkan orang!” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum getir.
Sungguh kejut Siau-hi-ji tak terperikan, hampir saja ia melompat keluar dari tempat sembunyinya. Mustahil Buyung Kiu tidak berada di sana? Jangan-jangan mereka kesasar ke tempat lain?
“Kami tadi sudah berjumpa dengan Hoa Bu-koat, Hoa-kongcu dan nona Thi Sim-lan di sana, mereka pun menyatakan Kiu-moay yang hilang itu sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kang-tayhiap,” demikian tutur Cin Kiam.
Segera Lamkiong Liu menyambung, “Hoa-kongcu itu pun merasakan kejanggalan persoalan ini dan kita diharapkan bertindak hati-hati, kalau saja nona Thi itu tidak sakit tentu Hoa-kongcu akan ikut menjenguk ke sini.”
Buyung Siang jadi melengak dan tanpa terasa pedangnya melambai ke bawah.
Siau-sian-li juga bergumam, “Rasanya Thi Sim-lan takkan membela Kang Piat-ho.”
“Ya, sejak tadi aku pun merasakan urusan ini rada-rada kurang beres,” kata Buyung San. “Coba pikir, kalau Kang-tayhiap bermaksud menghendaki uang tebusan kita, untuk apa dia tampil ke muka sendiri? Sekali pun dia datang sendiri, mustahil ia tidak tahu siapa kita ini? Apa lagi kalau dia mau menyembunyikan Kiu-moay kenapa mesti disembunyikan di tempat tinggalnya, tempat lain kan masih banyak?”
Memang urusan ini sangat sederhana bila mana dipecahkan, tapi apabila rombongan Lamkiong Liu itu berhasil menemukan Buyung Kiu di tempat Kang Piat-ho, tentu persoalan akan lain lagi jadinya.
“Jika kau sudah berpikir demikian, mengapa pula kalian bergebrak dengan Kang-tayhiap?” kata Cin Kiam dengan gegetun. Dia melihat sang istri masih dicengkeram musuh, terpaksa ia mengomeli istrinya lebih dulu.
Tapi Buyung Siang tetap tidak terima, katanya, “Hm, dia...Kang-tayhiap sendiri tidak mau bicara apa-apa, dari mana kami bisa tahu?”
“Biar pun tadi kukatakan, apakah mungkin nona mau percaya?” ucap si baju hitam dengan tertawa.
“Tapi... tapi apakah saudara ini benar-benar Kang-tayhiap?” tiba-tiba saja Buyung San bertanya.
Pertanyaan ini seketika menimbulkan curiga orang banyak pula.
Maka terlihatlah si baju hitam melepaskan Buyung San dengan perlahan, katanya dengan tersenyum, “Karena salah paham sudah dipecahkan, apakah Cayhe ini Kang Piat-ho atau bukan kan sama saja.” Ternyata dia tetap tidak mau memperlihatkan wajah aslinya.
“Kau tidak apa-apa bukan?” tanya Cin Kiam setelah memburu ke samping istrinya.
Buyung San tersenyum sambil menggenggam tangan Cin Kiam, matanya tetap menatap tajam ke arah si baju hitam, katanya, “Kami telah banyak melukai anak buah Kang-tayhiap, untuk ini diharapkan Kang-tayhiap suka memberi maaf.” Dia sengaja menyebut “Kang-tayhiap” dengan tandas, bahkan berulang dua kali.
Tapi si baju hitam tetap tidak mengaku dan juga tidak menyangkal, katanya dengan tertawa, “Bahwa dalam pertarungan sengit dengan sendirinya sukar terhindar dari pada saling melukai, mana berani kusalahkan pihak nyonya, kalau ada orang yang salah, maka dia adalah biang keladi yang diam-diam mengatur tipu muslihat untuk menjebak kita itu.”
Bicara sampai di sini, sorot matanya yang tajam mendadak menatap ke tempat sembunyi Siau-hi-ji dan tanpa terasa pandangan semua orang juga ikut terarah ke jurusan sana.
“Betul,” seru Buyung Siang, “Orang itu memang tidak boleh dilepaskan.”
“Kalau dapat kutemukan orang itu, lebih dulu akan kupotong lidahnya, kucungkil matanya, lalu kutanyai mengapa dia mengatur tipu muslihat keji ini untuk membikin susah orang lain,” teriak Siau-sian-li.
“Tanpa nyonya turun tangan juga Cayhe akan bertindak padanya,” jengek si baju hitam.
Sembari bicara, beberapa orang itu sudah lantas mengelilingi tempat sembunyi Siau-hi-ji, bahwa seorang telah terkepung oleh tokoh-tokoh sebanyak ini betapa pun pasti sukar meloloskan diri.
Siau-hi-ji juga berkeringat dingin, ia menyadari bila mana dirinya sampai tertawan, maka sukar dibayangkan bagaimana akibatnya.
Sungguh runyam, ingin untung menjadi buntung. Gagal menjebak orang, ia sendiri yang akan terkena getahnya. Sekejap itu otaknya telah bekerja keras, tapi tetap sukar mendapatkan akal baik untuk meloloskan diri.
Pada saat itulah si baju hitam telah menjengek, “Sampai sekarang masakah saudara masih tetap belum mau unjuk diri?”
Tiba-tiba Buyung Siang menegur dengan gusar, “Jika sejak tadi kau tahu dia berada di sini, mengapa tidak kau katakan?”
“Waktu kulihat senjata rahasia tersambar dari sini dan melukai kawan-kawanku, semula kusangka kawan-kawan nyonya yang telah sengaja disiapkan di sini lebih dulu,” jawab si baju hitam.
“Mulut anjing ini ternyata tajam benar,” gerutu Siau-hi-ji. Ia tahu sekali ini dirinya pasti sukar terhindar dari bahaya, mimpi belaka jika ingin kabur dari kepungan jago sebanyak ini.
Didengarnya si baju hitam lagi menjengek pula, “Sahabat masih tidak mau unjuk diri, memangnya perlu Cayhe memerintahkan lepas panah?”
Sekonyong-konyong Buyung Siang merebut sebuah busur dan berteriak, “Biar kau rasakan kelihaian panah nona Buyung!”
Tempo hari waktu Siau-hi-ji diajak keliling rumahnya oleh Buyung Kiu, di kamar nona Buyung kedua ini sudah dilihatnya ada busur dan panah, maka ia tahu dalam hal panah-memanah tentu nona Buyung kedua ini memiliki kepandaian lain dari pada yang lain, betapa pun ia tidak ingin dijadikan sasaran panahan orang.
Dalam keadaan demikian mau tak mau ia harus berusaha menerjang keluar.
Syukurlah pada saat itu terdengar seorang mengekek tawa dan berseru, “Wah, ramai benar di sini, apakah ada tontonan menarik?”
Tanpa terasa semua orang berpaling ke arah suara, tertampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai melangkah masuk sambil tertawa linglung seperti orang kurang waras, siapa lagi dia kalau bukan Buyung Kiu.
Sungguh aneh, ke manakah Buyung Kiu tadi dan mengapa sekarang dia muncul di sini?
Saking herannya sampai Siau-hi-ji melongo kesima.
Sudah tentu yang paling kejut dan girang adalah kakak beradik Buyung itu, serentak mereka berseru, “He, Kiu-moay, payah benar kami mencarimu ke mana-mana.” Di tengah seruan itu Buyung San dan Buyung Siang lantas memburu maju untuk menarik tangan Buyung Kiu.
Buyung Kiu memandang mereka sekejap, sorot matanya menampilkan rasa bingung, katanya dengan tertawa, “Siapa kalian? Aku tidak kenal kalian?!”
“Kiu moay....” sapa Buyung Siang dengan suara gemetar, “Masa kau tidak... tidak kenal lagi pada Jici dan Samcimu?”
Dengan air mata berlinang Buyung San juga berseru. “Kiu-moay, mengapa begini?”
Tapi Buyung Kiu tetap memandangi mereka dengan melongo bingung tanpa bersuara.
Koh Jin-giok tidak tahan, ia mendekati nona linglung itu dan bertanya, “Kiu-moay, kau kenal aku tidak?”
Segera Siau-sian-li menyela, “Pada Jici dan Samcinya saja dia tidak kenal lagi, mana bisa dia mengenalmu?”
Koh Jin-giok menunduk, air mata pun menetes.
Cin Kiam dan Lamkiong Liu tampaknya juga sangat sedih. Dengan menghela napas Lamkiong Liu berkata, “Mungkin Kiu-moay telah mengalami pukulan batin yang luar biasa, makanya berubah menjadi begini. Kita harus membawanya pulang untuk merawatnya agar kesehatannya dapat pulih perlahan-lahan.”
“Siapakah yang membuatnya jadi begini? Siapa?” teriak Buyung Siang dengan gusar.
Mendadak Siau-sian-li menangis dan berkata, “Waktu dia melihat Siau-hi-ji yang disangkanya sudah mati itu mendadak hidup lagi, dia kaget hingga pikirannya berubah jadi begini. Padahal Siau-hi-ji memang tidak mati, dia justru sengaja hendak menakut-nakuti Kiu-moay saja.”
“Siapa itu Siau-hi-ji?” tanya Buyung Siang gusar.
“Siau-hi-ji se...seorang she Kang, masih...masih muda belia, tapi busuknya sudah tidak kepalang tanggung, dia sungguh jahat,” tutur Siau-sian-li.
“Di mana dia sekarang?” teriak Buyung Siang.
“Sekarang mungkin dia sudah mampus,” kata Siau-sian-li.
Buyung Siang melengak, katanya, “Baru saja kau bilang dia tidak mati, sekarang kau katakan pula dia sudah mampus, sesungguhnya dia sudah mati atau belum?”
“Tadinya memang dia tidak mati, tapi kemudian dia mati tergelincir ke dalam jurang,” tutur Siau-sian-li.
Setelah berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi isi perut orang itu penuh akal busuk dan juga memang banyak kepandaiannya, tahu-tahu dia masih tetap hidup, kalau tidak menyaksikan sendiri mayatnya menggeletak di situ, rasanya tiada seorang pun yang berani menyatakan dia benar-benar sudah mati.”
Mendadak si baju hitam berkata, “Dia belum mati.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Siau-sian-li.
“Akhir-akhir ini kulihat dia lagi,” jawab si baju hitam.
“Kau melihat dia? Berada di mana dia sekarang?” teriak Buyung Siang.
“Menurut pandanganku, saat ini mungkin dia berada di....” si baju hitam seakan-akan sudah dapat menerka yang sembunyi di situ ialah Siau-hi-ji.
Keruan hati Siau-hi-ji kembali terkesiap.
Di luar dugaan, mendadak Buyung Kiu berteriak, “Siau-hi-ji...he, siapa menyebut Siau-hi-ji tadi? Ah...Siau-hi-ji, ingatlah aku!”
Semua orang menjadi cemas-cemas girang, dengan suara parau Buyung Siang bertanya, “Kau... kau ingat tentang apa?”
Buyung Kiu memandang kakaknya itu dengan lekat, katanya kemudian dengan perlahan, “He, engkau ini Jici!”
Buyung Siang menjerit kegirangan terus merangkul sang adik, saking senangnya ia pun mencucurkan air mata.
Buyung San juga kegirangan dan menangis, katanya, “O, Kiu-moay, kasihan, akhirnya kau sembuh!”
“Samci...Samci, aku ternyata dapat bertemu pula dengan kalian? Apakah aku sedang bermimpi?” ucap Buyung Kiu dengan tertawa dan akhirnya ia pun menangis meraung-raung.
Begitulah di antara kakak beradik itu lantas saling merangkul, ya tertawa ya menangis. Menyaksikan itu, diam-diam Siau-hi-ji juga sangat terharu sehingga matanya ikut berkaca-kaca dan tak keruan rasa hatinya.
Sebenarnya Buyung Kiu adalah musuhnya, kini pikirannya telah jernih dan waras kembali, jadi rencananya semula gagal, bahkan selanjutnya ia harus berjaga-jaga menghadapi balas dendam dari kakak beradik Buyung itu, jadi dia seharusnya merasa sial. Akan tetapi, entah mengapa, hatinya sekarang justru merasa gembira. Maklumlah, walau pun terkadang ia pun merasakan dirinya sendiri terlalu busuk, padahal hati nuraninya sebenarnya bajik.
Terdengar si baju hitam lagi menghela napas dan berkata, “Orang bernama Kang Siau-hi itu telah membuat saudaramu merana begini, setiap orang Kangouw tentu takkan mengampuni dia.”
Rupanya sebabnya dia tidak pergi begitu saja karena dia masih ingin menghadapi Siau-hi-ji di sini, ia khawatir persoalan dilupakan oleh kakak beradik Buyung yang sedang kegirangan itu, maka lekas dia mengingatkan pula urusan ini.
Benar juga, segera Buyung Siang berhenti menangis, katanya dengan gemas, “Bila mana kutahu bangsat cilik itu berada di mana sekarang, mustahil kalau tidak kubinasakan dia.”
“Kukira saat ini dia berada di....”
Belum habis ucapan si baju hitam, mendadak Buyung Ku memotong, “Sebenarnya urusan ini pun tak dapat menyalahkan Siau-hi-ji.”
Keterangan ini membuat semua orang terperanjat, dan yang paling kaget adalah Siau-hi-ji sendiri, berikutnya ialah Siau-sian-li.
Segera Siau-sian-li bertanya, “Tidak boleh menyalahkan dia, habis siapa yang salah? Bukankah kau membencinya sampai merasuk tulang?”
Buyung Kiu tersenyum pedih, jawabnya, “Kulihat dia sudah mati tapi hidup kembali, tatkala itu aku sangat kaget sehingga pikiranku menjadi linglung, tapi tidak lama berselang lambat laun aku lantas sadar kembali.”
“Jika kau sudah sadar kembali, mengapa tadi tidak mengenal kami?” tanya Buyung Siang.
“Hal ini lantaran seorang telah membikin susah lagi diriku,” jawab Buyung Kiu.
“Siapa?” seru Buyung Siang.
“Kang Piat-ho!” jawab Buyung Kiu.
Keterangan ini membuat Siau-hi-ji juga terheran-heran, masakah Kang Piat-ho membikin susah Buyung Kiu, hal ini baru didengarnya sekarang. Kalau Kang Piat-ho mencelakai dia, begitu melihat si nona sudah sadar tentu segera akan mengeluyur pergi, mengapa saat ini dia berada di sini seakan-akan menunggu datangnya Buyung Kiu malah.
Dalam pada itu terdengar Buyung Kiu sedang bertutur pula, “Setelah aku sadar kembali, Kang Piat-ho telah membius pula diriku dengan obat, selagi aku tak sadarkan diri dia bermaksud...bermaksud ‘mengawini’ aku, tujuannya juga ingin menjadi menantu keluarga Buyung untuk membentangkan sayap pengaruhnya. Siang dan malam dia menjaga diriku, baru tadi ketika dia keluar, diam-diam aku lantas lari ke sini!”
Meski tadi semua orang sudah percaya bahwa Kang Piat-ho telah difitnah orang, tapi sekarang Buyung Kiu sendiri yang menuturkan semua kejadiannya, mustahil hal ini cuma omong kosong belaka?
Dengan gusar Buyung Siang lantas membentak, “Keparat Kang Piat-ho, hampir saja kita dikelabui dia!”
“Pantas kami mencari Kiu-moay ubek-ubekan tidak ketemu, rupanya ia sendiri sudah meloloskan diri ke sini,” Lamkiong Liu ikut bicara dengan marah, “Syukur Thian maha pengasih dan Kiu-moay justru lari ke sini, maka terbongkarlah kedok orang she Kang yang dosanya tak terampunkan ini.”
Di tengah bentakan-bentakan orang banyak si baju hitam tadi kembali terkepung pula.
Sungguh kejut dan girang pula Siau-hi-ji setelah mengikuti apa yang telah diuraikan Buyung Kiu itu, tapi ia pun merasa bingung penuh tanda tanya, bahwasanya persoalan ini berubah menjadi begini dan Buyung Kiu bisa bercerita seperti itu, biar pun Siau-hi-ji orang pintar nomor satu di dunia juga tidak habis paham duduk perkaranya.
Terdengar Buyung Siang sedang membentak pula, “Nah, Kang Piat-ho, apa yang hendak kau katakan lagi sekarang?”
Di luar dugaan si baju hitam mendadak tertawa terbahak-bahak, lalu menjawab, “Memangnya siapa bilang aku ini Kang Piat-ho?”
Berbareng itu ia terus menarik kain kedoknya sehingga kelihatan wajahnya yang penuh berewok.
Semua orang sudah pernah melihat Kang Piat-ho dan wajah ini memang bukan wajahnya. Keruan semua orang sama melongo.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Buyung Siang.
“Kalau kau bukan Kang Piat-ho, habis Kang Piat-ho berada di mana?” tanya Buyung San.
“Kang Piat-ho berada di sini!” bentak si baju hitam mendadak sambil menerjang ke tempat sembunyi Siau-hi-ji dan berteriak, “Kang Piat-ho, ayo keluarlah!” Sekaligus telapak tangannya terus menghantam secepat kilat.
Terkejut juga Siau-hi-ji melihat serangan kilat itu terpaksa ia menangkis sambil membentak, “Kau sendiri samaran Kang Piat-ho, memangnya kau dapat membohongi orang?”
“Kau sendiri samaran Kang Piat-ho, memangnya kau dapat membohongi orang?” si baju hitam juga balas membentak dengan ucapan yang sama.....