Keruan kedua Lo bersaudara melengak, Lo Kiu menuding ke atas loteng, katanya, “Apakah malam ini saudara tidak tidur saja di atas sana?”
Siau-hi-ji sudah melangkah keluar pintu, ia menjawab sambil menoleh, “Di atas sana banyak sarang labah-labah, aku tak dapat tidur, biarlah kudatang lagi besok pagi...jika ada kabar beritanya Kang Giok-long, jangan lupa, harap kalian suka menyampaikan keterangan padaku.”
Melihat kepergian Siau-hi-ji itu Lo Kiu bergumam, “Sarang labah-labah, labah-labah apa?.... Eh, kaukira bocah ini waras atau tidak?”
“Tidak waras apa persetan dengan dia,” jawah Lo Sam. “Dia cuma pura-pura bodoh dan berlagak sinting saja, sebaiknya kita harus waspada, jangan sampai kapal terbalik di selokan, tidak berhasil memperalat dia, sebaliknya malah diperalat olehnya.”
Lo Kiu terkekeh-kekeh, katanya, “Biar pun isi perut anak ini penuh akal busuk, tapi seberapa hebat kalau dibandingkan kita?”
“Hehe, betapa pun banyak orang busuk di dunia ini, tapi siapa yang dapat membandingi kita?” sambung Lo Sam.
Malam sudah larut, tempat kediaman Lo bersaudara itu sudah sepi, Siau-hi-ji berputar melintasi dua jalanan di sekitar situ. Dilihatnya perumahan sekitarnya rata-rata rumah biasa, selain rumah berloteng kecil tempat Lo Kiu itu, hanya tidak jauh di sebelah timur sana ada sebuah gedung berloteng yang jauh lebih tinggi dari pada rumah sekelilingnya.
Perlahan Siau-hi-ji menuju ke sana, setelah memutar ke ujung tembok sana dan berputar pula sekeliling, setelah cahaya lampu di gedung itu sudah padam, dengan enteng ia lantas melompat ke atas rumah, ia mendekam dibalik wuwungan yang gelap.
Bulan terang dan bintang jarang-jarang, suasana sunyi senyap, dipandang dari jauh jendela loteng kecil itu telah terbuka dengan sinar lampu yang remang-remang, tampak Buyung Kiu bertopang dagu menghadapi lampu, agaknya sedang melamun.
Sekonyong-konyong terdengar angin berkesiur, sesosok bayangan hitam bagai hantu saja melayang ke atas wuwungan, lalu mendekam juga di situ serta memandang jauh ke loteng kecil sana.
Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli, pikirnya “Ternyata cocok dengan dugaanku, dia benar-benar datang.”
Di sebelah sana Buyung Kiu tampak termangu-mangu sehingga tidak mengetahui bahwa di sebelahnya masih mendekam seorang. Hanya sepasang biji matanya tampak gemerlap dalam kegelapan, sekujur badannya seakan-akan tenggelam juga di tengah kegelapan.
Bayangan hitam ini bukan lain dari pada Oh-ti-tu, si labah-labah hitam. Sinar mata yang biasanya tajam itu kini seperti buram dan memandang jauh ke sana dengan kesima tanpa peduli bajunya sudah basah oleh embun.
Mendadak Siau-hi-ji mengikik tawa dan berkata, “Malam sunyi senyap, termenung-menung untuk siapa gerangan?”
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Oh-ti-tu sudah berada di depannya sambil membentak tertahan, “Siapa?”
“Selain aku siapa lagi?” sahut Siau-hi-ji.
Sinar mata Oh-ti-tu gemerdep seperti cahaya kilat, tapi akhirnya tidak jadi mengumbar marah, katanya pula, “Kau lagi?”
“Jarak dari sini ke sana kan tidak jauh, mengapa kau tidak melayang ke sana saja?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
“Memangnya kudatang untuk...untuk dia?!” jawab Oh-ti-tu, meski wajahnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar rada-rada kikuk.
Namun Siau-hi-ji tidak berolok-olok lagi, ia tanya, “Bukan untuk dia, habis untuk siapa?”
“Dengan sendirinya kedua Lo bersaudara itulah sasaranku.”
“O, begitukah?” Siau-hi-ji tertawa.
“Asal-usul kedua orang itu penuh tanda tanya, tindak tanduknya mencurigakan, sudah dua-tiga bulan kuintai mereka dengan tujuan membongkar rahasia mereka itulah.”
“Dan apa pula hubungannya dengan dirimu?”
“Siapa gerangan di dunia ini yang tidak tahu diriku Oh-ti-tu ini paling suka ikut campur urusan orang lain?”
“Tapi urusan kedua Lo bersaudara ini apakah berharga untuk kau ikut mengurusnya?”
“Betapa pun besar ambisi kedua orang ini, kalau kukatakan mungkin kau pun akan kaget.”
“O, ya?!” Siau-hi-ji heran.
“Kutahu rencana keji mereka, biar orang baik mau pun jahat, baik golongan hitam atau kalangan putih, semuanya adalah sasaran mereka. Tampaknya mereka sengaja hendak memecah belah dan mengadu domba agar setiap orang persilatan saling gontok-gontokan, saling bunuh membunuh, dengan demikian mereka yang akan menarik keuntungannya. Sampai sekarang entah berapa banyak korban telah jatuh akibat muslihat mereka itu. Tahukah kau gontokan antara Put-hay-pang dan Ui-hay-pang yang terjadi dua bulan yang lalu serta pertarungan sengit antara Lo-san-pang dan Gway-to-bun sebulan yang lampau? Banjir darah yang terjadi itu justru akibat hasutan kedua Lo bersaudara ini.”
“Jika kau tahu sejelas itu, mengapa kau tidak tampil ke muka?” tanya Siau-hi-ji.
“Pertama aku belum memegang buktinya, kedua orang-orang yang menjadi sasaran mereka itu pun bukan manusia baik-baik. Ketiga, aku ingin membongkar seluk-beluk perbuatan keji mereka baru akhirnya kulabrak mereka.”
“Menurut dugaanmu, siapakah mereka?”
“Semula kusangka mereka adalah anggota Cap-toa-ok-jin, tapi kemudian....”
“Kemudian bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.
“Setelah kuselidiki baru diketahui bahwa di antara Cap-toa-ok-jin itu tiada terdapat dua orang seperti mereka ini.”
“Bisa jadi tidak ada, tapi....” Siau-hi-ji tertawa, lalu menyambung, “Jadi tujuanmu bukan untuk nona itu?”
Oh-ti-tu terdiam sejenak, jawabnya kemudian, “Memang juga ada.”
“Tahukah kau siapa dia?”
“Aku cuma tahu dia adalah anak perempuan yang harus dikasihani dan malang terjatuh ke dalam cengkeraman orang jahat ini.”
“Makanya kau ingin melindungi dia?”
“Ya, setiap orang yang harus dikasihani di dunia tentu akan kulindungi.”
“Jika begitu, mengapa kau tidak menyelamatkan dia dan membawanya pergi?”
Sinar mata Oh-ti-tu yang gemerlap itu mendadak berubah buram, namun di mulut justru tertawa dan berkata, “Jika sudah kutolong dia, lalu apakah dia harus mengikuti aku?”
“Apa jeleknya ikut kau?”
“Tapi apakah kau tahu bagaimana kehidupanku?” kata Oh-ti-tu dengan suara bengis. “Sepanjang tahun hdupku terlunta-lunta tiada menentu, makan pagi belum tentu makan siang, malamnya masih hidup belum pasti besoknya apakah masih hidup. Hidupku tidak punya rumah, kalau mati juga tidak tahu mati di mana?!”
“Dengan kepandaianmu, sebenarnya kau kan dapat hidup enak?”
“Tapi aku sudah memilih kehidupan begini, terpaksa harus tetap berlangsung terus, ingin mengubahnya juga sukar lagi. Seumpama aku sendiri tidak ingin hidup cara begini, mungkin orang lain pun takkan mengizinkan....” Oh-ti-tu mengepal, lalu berseru dengan suara serak, “Kehidupan begini jelas tak mungkin diikuti oleh dia.”
“Asal kau suka padanya dan dia juga suka padarnu, kehidupan yang pahit bagaimana pun juga akan membuatnya bahagia,” ujar Siau-hi-ji.
Mendadak sinar mata Oh-ti-tu memancarkan sinar kepedihan, ucapnya dengan tersenyum getir, “Siapa bilang aku menyukai dia?! Orang seperti diriku ini tidak pantas menyukai siapa pun juga dan juga tidak boleh....”
“Jadi seumpama kau suka padanya, terpaksa perasaan demikian kau simpan di dalam hati saja, begitu?”
“Ah, omong-kosong!” mendadak Oh-ti-tu melengos.
“Tadinya kusangka kau ini berdarah dingin, tapi sekarang...sekarang dapat kuketahui bahwa kau sesunggguhnya juga seorang yang berperasaan halus,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.
Mendadak Oh-ti-tu berbangkit dan mengomel, “Ah, anak muda serupa kau ini tahu apa? Sudahlah, jangan bicara urusan ini lagi.”
“Haha, kalau isi hatinya kena diketahui orang kan tidak perlu bersikap segalak ini, dong!”
Oh-ti-tu memandangnya sejenak. Mendadak ia bergelak tertawa, ia pegang tangan Siau-hi-ji, katanya, “Akhir-akhir ini aku mendapatkan seorang sahabat pula, hari ini dia telah membeli dua poci arak dan memasak satu kuali daging, marilah aku pun mengundangmu ikut hadir dan ikut makan.”
“Baiklah,” jawab Siau-hi-ji tertawa. “Orang yang dapat diterima menjadi sahabatmu tentulah orang yang cukup menarik.”
Begitulah mereka terus berlari ke sana, Siau-hi-ji selalu mengintil rapat di belakang Oh-ti-tu. “Tampaknya Ginkangmu telah maju pesat,” ucap Oh-ti-tu sambil menoleh.
“Terima kasih,” jawab Siau-hi-ji tertawa.
“Sahabatku yang baru itu pun serba pintar silat mau pun surat, setelah kau kenal dia tentu kau pun akan suka padanya.”
“O, siapakah namanya?” tanya Siau-hi-ji.
“Orang berbakat tidak perlu harus punya nama. Dia sendiri mengaku she Koh bernama Goat-gian, meski namanya tidak terkenal, tapi jauh lebih unggul dari pada tokoh-tokoh yang termasyhur.”
Tengah bicara mereka sudah berada di luar kota, terlihat hutan membentang di depan, samar-samar seperti ada berkelipnya sinar api, setelah dekat, tertampak sebuah “sutheng,” yakni rumah abu leluhur keluarga, yang sudah bobrok.
Rumah bobrok demikian inilah kediaman kaum gelandangan dan cahaya api itu pun keluar dari tempat ini. Sampai di sini sudah tercium bau sedapnya daging rebus.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berseloroh, “Tampaknya sahabatmu ini bukan cuma serba pandai silat dan surat saja, bahkan juga koki kelas satu.”
“Memangnya hidup kaum gelandangan hanya suka makan besar sekali tempo, masakah ada kenikmatan lainnya lagi?” ucap Oh-ti-tu.
Segera mereka melayang masuk ke rumah pemujaan yang bobrok itu, terlihat di tengah halaman ada api unggun dan di atasnya bergantungan sebuah kuali besar, dari situlah bau sedap daging rebus tercium. Di samping kuali sudah tersedia mangkuk dan sumpit, di dalam mangkuk malah sudah penuh tertuang arak, cuma tiada tertampak seorang pun di situ.
Oh-ti-tu celingukan ke sana sini sambil berseru, “Koh-laute...Koh-laute, kuberikan seorang teman lagi, lekas keluar berkenalan.”
Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli akan watak Oh-ti-tu yang tidak berubah itu, yakni suka menjadi Toako dan orang lain dianggapnya sebagai adik.
Meski Oh-ti-tu sudah berkaok-kaok beberapa kali, tetap tiada jawaban, dia keluar untuk mencari dan tetap tidak diketemukan, akhirnya ia terus duduk dan berkata, “Koh-laute ini memang aneh, mungkin pantatnya lancip, tidak betah duduk dengan tenang, kini entah lari ke mana, biarlah, kita tak perlu menunggunya, makan dulu, urusan belakang.”
“Cocok dengan pikiranku,” sambut Siau-hi-ji dengan gembira, sumpit segera dipegangnya.
Akan tetapi baru saja sepotong daging ia masukkan ke mulut, lalu sumpit ditaruh kembali, mulut pun tidak mengunyah, agaknya daging dalam mulut itu sukar tertelan. Padahal mulut Oh-ti-tu sudah bekerja seperti mesin pabrik, tujuh-delapan potong daging sudah masuk perutnya.
Oh-ti-tu hanya menyingkap sedikit kedoknya, yakni bagian mulut ditarik ke atas hidung sehingga kelihatan mulutnya yang lebar dengan bibir tipis itu, cara makannya yang rakus itu sungguh mirip orang kelaparan.
Setelah belasan potong daging dilansir ke perut, lalu Oh-ti-tu mendorongnya dengan semangkuk arak, habis itu barulah dia pandang Siau-hi-ji sambil menyengir, “Empuk dan lezat daging rebus ini, kenapa kau tidak percepat sumpitmu”
Tapi Siau-hi-ji malah menumpahkan daging di mulutnya itu ke tanah, katanya, “Daging ini tidak boleh dimakan.”
Oh-ti-tu jadi melengak, tanyanya, “Mengapa tidak boleh dimakan? Daging ini kan bukan barang curian?”
“Apakah kau tahu daging apa ini?” tanya Siau-hi-ji mendadak sambil tertawa.
“Daging apa, memangnya daging manusia!”
“Betul, memang daging manusia!”
Oh-ti-tu menjerit kaget, sepotong daging yang sudah masuk ke mulut seketika tersembur keluar, teriaknya “Apa katamu?”
“Kubilang ini daging manusia, tidak mungkin keliru.”
“Dari... dari mana kau tahu?” tanya Oh-ti-tu.
“Sejak umur tiga tahun aku sudah pernah merasakan daging manusia, rasanya belum pernah kulupakan hingga sekarang.”
“Sejak umur tiga tahun kau sudah pernah makan daging manusia?” Oh-ti-tu menegas dengan melotot.
“Bicara terus terang, sejak kecil aku ini dibesarkan di Ok-jin-kok, kalau daging ini bukan diiris dari tubuh manusia yang mati, biarlah kumakan hidungku sendiri nanti.”
Habis berkata begitu Siau-hi-ji ingin menyaksikan Oh-ti-tu menumpahkan daging yang telah masuk perutnya itu, di luar dugaan Oh-ti-tu malah bergelak tertawa, katanya, “Jika demikian, yang memasak daging ini jangan-jangan Li Toa-jui adanya?”
“Bisa jadi memang dia,” kata Siau-hi-ji.
“Ehm, betul juga, Koh Goat-gian, gabungan tiga huruf ini sama artinya dengan ‘omong kosong’,” kata Oh-ti-tu. “Ha, jadi sejak mula dia bilang padaku dia sengaja omong kosong, tapi aku percaya saja padanya.”
“Dan kau tidak ingin tumpah?” tanya Siau-hi-ji.
“Kalau sudah masuk perut, tumpah juga tidak ada gunanya,” sahut Oh-ti-tu dengan tertawa.
“Dan kau masih dapat tertawa?”
“Kenapa aku tidak boleh tertawa? Jika dapat bersahabat dengan orang macam Li Toa-jui kan juga kejadian yang menarik, tak peduli dia orang baik atau busuk, jelek-jelek dia tokoh terkenal dan peran penting, orang seperti dia itu tidaklah banyak di dunia Kangouw.”
Diam-diam Siau-hi-ji memuji kebesaran jiwa Oh-ti-tu ini, suka bicara blak-blakan, tidak pura-pura, tidak munafik. Namun di mulut ia hanya berkata, “Tapi tuan ‘omong kosong’ itu pun belum pasti Li Toa-jui adanya.”
“Habis siapa kalau bukan Li Toa-jui?” ujar Oh-ti-tu.
“Kutahu ada seorang lagi yang sengaja menyamar sebagai Li Toa-jui dan mungkin sengaja menyuruh kau makan daging manusia, habis itu supaya kau akan tumpah habis-habisan, dan karena kau terjebak olehnya, maka dia lantas gembira....” sampai di sini mendadak dia tahan suaranya dan berbisik, “Mungkin tujuannya tidak cuma membuatmu tumpah-tumpah saja, tapi besar kemungkinan ada intrik lain.”
Mendadak Oh-ti-tu merapikan kedoknya, lalu menjengek, “Sahabat di luar itu, kalau sudah datang mengapa tidak masuk saja sekalian?”
Waktu menahan suaranya tadi Siau-hi-ji memang sudah mendengar sesuatu, ternyata telinga Oh-ti-tu juga tidak kalah tajamnya.
Belum lenyap suara Oh-ti-tu, serentak sesosok bayangan orang melayang masuk ke “sutheng” itu.
Di tengah gemerlapnya cahaya api terlihat potongan tubuh pendatang yang ramping ini dengan baju yang merah membara, sorot matanya yang bercahaya itu penuh rasa gusar.
Ternyata pendatang ini adalah Siau-sian-li. Bahwasanya tengah malam buta Siau-sian-li bisa muncul di sutheng ini, biar pun hal ini membuat Siau-hi-ji rada terkejut, tapi dia tetap tenang-tenang saja duduk di tempatnya.
Agaknya Oh-ti-tu juga tidak menyangka orang yang menerobos masuk itu adalah seorang perempuan cantik, tampaknya ia pun melenggong. Bagi Siau-sian-li tentu saja tidak dipandang sebelah mata kedua orang yang tak menarik itu. Begitu ayun pedangnya, seketika kuali besi tercungkit oleh ujung pedangnya terus dilemparkan sehingga daging rebus sekuali penuh berserakan di lantai. Tertampak gemerdepnya sinar emas, di dalam kuali ternyata ada sebuah tusuk konde emas.
Seketika Siau-sian-li menjerit kaget, segera seorang melompat masuk pula dari luar, ternyata Koh Jin-giok adanya. Siau-sian-li terus menubruk ke bahu anak muda itu sambil berseru parau, “Tusuk kundai...tusuk kundai Wan-ji ternyata betul berada di dalam kuali.”
Dengan mata melotot Koh Jin-giok membentak Siau-hi-ji, “Apakah kau ini...kau ini termasuk manusia?”
Siau-hi-ji tahu mereka tidak mengenali dirinya, dengan tertawa ia menjawab, “Aku kan serupa denganmu, mengapa bukan manusia?”
“Coba...coba katakan, apa isi kuali ini?” bentak pula Koh Jin-giok.
Belum pernah Siau-hi-ji melihat pemuda yang mirip gadis pingitan itu bersikap segarang ini, ia tahu orang telah benar-benar marah, ia pun tahu orang yang dagingnya digodok di dalam kuali itu pasti ada hubungannya dengan mereka. Yang tidak bisa dimengerti olehnya adalah cara bagaimana mereka dapat mencari ke sutheng bobrok ini dan dari mana pula mereka mendapat tahu di dalam kuali ada tusuk kundainya?
Walau pun heran dan curiga, tapi dia sengaja tertawa dan berkata, “Coba katakan, apa isi kuali itu menurut pendapatmu?”
Muka Koh Jin-giok menjadi merah padam dan tidak sanggup bicara pula.
Pada saat itulah terdengar seorang berkata dengan perlahan-lahan, “Di dunia ini tidak kekurangan daging, kalian berdua mengapa lebih suka makan daging manusia? Makan daging sejenis sendiri, masa kalian lebih rendah dari pada binatang?”
Walau pun lagi mendamprat orang, tapi satu kata pun orang ini tidak menggunakan istilah kotor, bahkan nada ucapannya tetap ramah-tamah sehingga lebih mirip orang lagi mengobrol iseng.
Bersama dengan suaranya itu, dua orang telah melangkah masuk, meski sorot mata mereka pun nampak gusar, tapi tetap bersikap tenang. Mereka adalah Lamkiong Liu dan Cin Kiam.
Siau-hi-ji tetap tertawa saja, jawabnya, “Kau bilang kami sedang makan daging manusia, tapi cara bagaimana kalian mendapat tahu? Jangan-jangan ada orang menyampaikan laporan rahasia kepadamu?”
Belum lagi Cin Kiam menjawab, mendadak Siau-sian-li melangkah maju dan mendamprat, “Sudah tentu ada orang yang memberi laporan, perbuatan kalian yang terkutuk ini siapa pun tidak bisa membenarkannya.”
“Ya, Wan-ji yang pintar dan menyenangkan itu seharusnya disayang dan dikasih, tapi kalian malah menyembelihnya dan memakan dagingnya, tindakan kalian ini sungguh tidak lumrah dan sangat tercela,” kata Lamkiong Liu dengan perlahan. Sampai sekarang cara bicaranya masih tetap tenang-tenang dan sopan santun.
Siau-sian-li menjadi gusar, omelnya, “Untuk apa banyak bicara dengan orang-orang begini....”
“Setelah urusan menjadi begini, apa lagi yang hendak kalian katakan?” dengan perlahan-lahan Lamkiong Liu berucap pula.
Siau-hi-ji menjawab dengan tertawa, “Urusan sudah begini, berkata apa pun tidak menjadi soal lagi.”
Tiba-tiba Oh-ti-tu berbangkit dan berseru, “Cayhe ingin bicara juga.”
“Jangan-jangan saudara inilah Oh-ti-tu yang terkenal di dunia Kangouw itu?” tanya Cin Kiam.
“Betul,” jawab Oh-ti-tu.
“Tampaknya desas-desus di dunia Kangouw tidak boleh dipercaya penuh, tak terduga Oh-ti-tu adalah orang semacam kau ini,” ucap Cin Kiam sambil mengernyitkan dahi.
“Desas-desus Kangouw tidak boleh dipercaya, laporan palsu lebih-lebih tidak boleh dipercaya,” teriak Oh-ti-tu. “Coba jawab, kalau bukan orang yang memotong dan memasak daging ini, cara bagaimana pula dia mendapat tahu bahwa di dalam kuali ini ada tusuk kundainya?”
Cin Kiam dan Lamkiong Liu saling pandang sekejap, dengan perlahan Lamkiong Liu berucap, “Jadi maksud saudara hendak mengatakan bahwa urusan ini diperbuat oleh orang lain yang sengaja hendak menimpakan dosa ini kepadamu?”
“Memang begitu,” jawab Oh-ti-tu.
“Ehm, masuk di akal juga,” Lamkiong Liu manggut-manggut perlahan.
“Jiko, betapa pun aku tak dapat melepaskan mereka biar pun hendak kau lepaskan mereka,” seru Siau-sian-li. “Bukan mustahil pelapor itu secara diam-diam menyaksikan perbuatan mereka yang terkutuk ini lalu kita diberitahu.”
“Ya, mungkin juga begitu,” kata Lamkiong Liu.
“Apa bila Wan-ji jelas telah mereka sembelih dan dimakan, dengan sendirinya Kiu-moay juga... juga....” mendadak nada Siau-sian-li tersendat-sendat dan tak mampu meneruskan lagi.
Cin Kiam menatap Siau-hi-ji dan Oh-ti-tu dengan sorot mata tajam, katanya dengan suara berat, “Meski pun persoalan ini masih sangat meragukan, tetapi kalau kalian tidak mampu memperlihatkan bukti bahwa kalian sesungguhnya tidak bersalah, terpaksa sekarang juga kalian harus kami bawa pulang.”
“Hm, ramah juga ucapan saudara,” jengek Oh-ti-tu, “Bukan soal bila kami harus ikut kalian, cuma saudara harus juga memperlihatkan bukti nyata berdasarkan apa kalian hendak membawa pulang kami ini?”
“Apakah tusuk kundai ini bukan bukti nyata? Kau masih berani menyangkal?” bentak Siau-sian-li.
Oh-ti-tu mendelik, tapi sebelum dia bicara Siau-hi-ji telah mendahului dengan mengikik tawa, “Bilakah kami menyangkal?”
Pedang Siau-sian-li sudah siap untuk menyerang, ia menjadi tercengang mendengar jawaban Siau-hi-ji, tanyanya, “Jadi kau sudah mengaku?”
“Makan daging manusia kan juga bukan sesuatu yang luar biasa,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Keruan Oh-ti-tu kaget seperti kena dicambuk satu kali, serunya, “He, apa katamu?”
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia berbalik bicara pula kepada Siau-sian-li dengan tertawa, “Kiu-moay yang kau maksudkan itu apakah seorang nona yang bermata besar dan bermuka pucat, berusia antara 18-19 tahun dan suka memakai baju hijau muda?”
“Ahh, kau... kau telah apakan dia?” tanya Siau-sian-li dengan suara gemetar.
“Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula?” jawah Siau-hi-ji dengan tergelak.
Oh-ti-tu menjadi kelabakan, serunya, “He, apakah kau sudah gila, ngaco-belo tak keruan?”
“Memangnya ada apa dengan soal itu, kenapa kau takut?” ucap Siau-hi-ji tertawa.
Betapa pun sabarnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tidak urung air muka pun berubah kini.
Siau-sian-li juga lantas berjingkrak gusar, teriaknya, “Coba dengarkan, dia...dia sendiri sudah mengaku.” Berbareng itu pedang terus menusuk secepat kilat.
Koh Jin-giok juga tidak tinggal diam, matanya tampak merah, sambil menggerung sekaligus dia melancarkan tiga kali pukulan dahsyat.
Dengan sendirinya tusukan pedang dan pukulan-pukulan itu terarah ke tempat mematikan di tubuh Siau-hi-ji, pedang berkelebat secepat kilat, pukulan sedahsyat geledek, serangan dari kanan kiri ini sungguh lihai luar biasa.
Jika ini terjadi dua tahun yang lalu, maka jelas Siau-hi-ji akan mati di bawah pukulan kalau tidak binasa oleh tusukan pedang. Tapi Siau-hi-ji sekarang bukan lagi Siau-hi-ji yang ingusan. Begitu tangan kirinya bergerak tahu-tahu batang pedang Siau-sian-li terasa diusap perlahan, pandangannya menjadi kabur, pedang terasa di tarik oleh arus tenaga yang mahakuat, ujung pedang yang mengarah Siau-hi-ji tahu-tahu menusuk Koh Jin-giok, keruan anak muda itu terkejut dan bergeser, “bret,” lengan bajunya toh sempat tertusuk robek.
Gerakan “meraih dan mendorong” Siau-hi-ji yang sepele ini telah dapat dilakukannya dengan sangat ajaib sehingga mempunyai daya guna yang sama lihainya dengan gerakan “Ih-hoa-ciap-giok” yang terkenal dari Ih-hoa-kiong itu, tentu saja kedua lawannya melongo kaget.
“He, apakah engkau ini anak murid Ih-hoa-kiong?” seru Cin Kiam.
Siau-hi-ji tidak menjawab, sebaliknya ia tertawa dan sembunyi di belakang Oh-ti-tu, katanya, “Meski aku pun makan daging rebus tadi, tapi biang keladinya bukan diriku, mengapa kalian terus mengincar aku saja?”
Koh Jin-giok dan Siau-sian-li merasa heran, sudah terang Siau-hi-ji mendapat kesempatan untuk menyerang pula, tapi hal ini tidak dilakukannya, sebaliknya malah terus sembunyi, saking gusarnya kedua orang itu pun tidak peduli, segera mereka menerjang maju lagi. Sekali ini gerak serangan mereka tambah keji, tapi cara menyerangnya lebih hati-hati, namun yang kena diterjang lebih dulu bukan lagi Siau-hi-ji melainkan Oh-ti-tu.
Kejut dan dongkol pula Oh-ti-tu, namun dalam keadaan demikian ia pun tidak sempat memberi penjelasan lebih lanjut, sebab kalau dia mau bicara, sebelum berucap mungkin tubuhnya sudah kena dilubangi oleh pedang lawan. Dan kalau tidak bicara, terpaksa ia harus bertempur.
Begitulah di tengah gemerdepnya sinar pedang serta menderunya angin pukulan, sekaligus Koh Jin-giok dan Siau-sian-li telah melancarkan belasan jurus serangan, selama itu pun Oh-ti-tu telah balas menyerang tiga kali.
Sudah tentu di bawah serangan gencar pukulan Koh Jin-giok dan tusukan pedang Siau-sian-li itu sama sekali Oh-ti-tu tidak sempat membuka mulut, sebaliknya Siau-hi-ji yang sembunyi di belakang malah berseloroh, “Bagus, memang seharusnya begini, labrak saja mereka, takut apa?”
Oh-ti-tu berkaok-kaok gusar, sedapatnya dia hendak melepaskan diri dari godaan Siau-hi-ji, tapi anak muda itu laksana bayangan saja yang melekat pada tubuhnya, sukar ditinggal dan tidak mungkin berpisah. Malahan anak muda itu berkeplok tertawa dan berseru, “Bagus, tusukan pedang yang hebat...Aha, pukulan sakti keluarga Koh memang luar biasa!...Ai, Oh-ti-tu, tampaknya kau tak sanggup melawan mereka!”
Dalam gusarnya tadi Siau-sian-li dan Ko Jin-giok melancarkan serangan, makanya mereka kena didahului oleh Siau-hi-ji, tapi kini setelah pikiran mereka tenang kembali, gerak serangan mereka menjadi mantap, apa lagi pengalaman tempur Siau-sian-li sangat luas, pedangnya menyerang dengan cepat lagi keji, sedangkan Koh Jin-giok melancarkan pukulan dahsyat dengan teratur, keduanya dapat bekerja sama dengan rapi sekali.
Oh-ti-tu juga tokoh ternama, tapi bukan termasyhur karena ilmu silatnya melainkan Ginkangnya, dengan sendirinya dia rada kewalahan menghadapi kerubutan dua jago yang lihai itu, apa lagi di belakangnya ada lagi Siau-hi-ji, tampaknya saja anak muda itu membelanya, tapi sesungguhnya mengacau baginya.
Setelah beberapa kali Oh-ti-tu menghadapi serangan maut, Siau-hi-ji sengaja menghela napas dan berkata, “Wah celaka! Oh-ti-tu kita yang termasyhur ini tampaknya sekarang harus keok di tangan dua anak ingusan.”
Padahal Siau-sian-li dan Koh Jin-giok juga tokoh terkenal di dunia Kangouw dan sama sekali bukan anak ingusan, dengan ucapan ini Siau-hi-ji sengaja hendak memancing kemarahan Oh-ti-tu.
Meski watak Oh-ti-tu memang keras, tapi juga cerdik, walau pun tahu maksud tujuan Siau-hi-ji, tidak urung ia pun terpancing murka, ia meraung gusar, “Sebenarnya apa kehendakmu, orang gila!”
“Jangan bingung dan jangan khawatir!” ucap Siau-hi-ji dengan suara tertahan. “Kalau tidak sanggup melawan, memangnya kau tak dapat lari?”
“Kentut!” Oh-ti-tu tambah murka. “Memangnya aku si hitam ini suka mencawat ekor?”
“Oh-ti-tu termasyhur di seluruh dunia karena gerak tubuhnya yang cepat dan ajaib, sekarang kau justru menyampingkan kemahiran sendiri dan bertempur keras lawan keras, caramu ini bukankah terlalu bodoh?” kata Siau-hi-ji.
Oh-ti-tu masih terus mengomel, tapi dalam hati ia pun mengakui kebenaran ucapan Siau-hi-ji. Sedikit meleng lantaran bicara dengan Siau-hi-ji, hampir saja iganya tertusuk pedang musuh.
“Kalau sekarang kau dapat mengundurkan diri dengan selamat dan dapat sekaligus membawa serta diriku, bila kejadian ini tersiar di Kangouw, kuyakin pasti tiada seorang pun yang berani berolok-olok, bahkan semua akan kagum padamu,” kata Siau-hi-ji pula dengan tenang.
Dengan mendongkol akhirnya Oh-ti-tu berkata, “Baik!”
Baru saja “baik” terucapkan sekonyong-konyong Siau-hi-ji menyelinap maju ke depan, dengan gerakan “Toan-giok-hun-kim,” potong kemala patah emas, kedua tangannya memukul ke kanan kiri sekaligus.
Karena tidak terduga-duga, kontan Koh Jin-giok dan Siau-sian-li dipaksa melompat mundur.
Pada saat itulah dari lengan baju Oh-ti-tu telah menyambar keluar seutas benang perak terus melayang keluar pintu dan tepat mengait di atas pohon cemara di luar sutheng bobrok itu, menyusul Oh-ti-tu lantas “terbang” ke luar.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga sudah pegang ujung baju Oh-ti-tu dan ikut terbang keluar, tubuhnya enteng seperti burung, biar pun menggandul pada gerakan Oh-ti-tu, tapi sama sekali Oh-ti-tu tidak merasakan beban apa-apa.
Seperti layang-layang saja tubuh Oh-ti-tu ditarik oleh benang itu dan melayang ke atas pohon cemara di luar, begitu kakinya menutul batang pohon, segera orangnya terbang pula ke depan sana dan hinggap di pohon kedua, menyusul benang perak lantas menyambar ke sana dan mengait pada pohon ketiga, dari sini Oh-ti-tu melompat lagi ke atas pohon keempat dan begitu seterusnya.
Waktu Cin Kiam dan lain-lain mengejar keluar, bayangan Oh-ti-tu berdua sudah berada berpuluh tombak jauhnya, sekali kelebat lantas menghilang dalam kegelapan, terdengar pesannya berkumandang dari jauh, “Jika kalian tidak terima, besok tengah malam boleh kalian datang lagi ke sini!”
Oh-ti-tu terus melayang dan terbang tanpa berhenti, setiba di pinggir kota barulah dia berhenti di tempat gelap.
“Oh-ti-tu yang hebat, benar-benar pergi datang seperti kilat, ilmu benang perak labah-labah terbang ini benar-benar tiada bandingannya di dunia Kangouw,” puji Siau-hi-ji sambil berkeplok tertawa.
“Hm, apa gunanya biar pun kau menjilat pantatku,” jengek Oh-ti-tu.
“Kutahu kau pasti sangat mendongkol, maksudku hanya sekadar menghilangkan rasa dongkolmu saja,” jawab Siau-hi-ji.
“Coba jawab, sudah jelas bukan perbuatanmu, mengapa kau sengaja melibatkan diri dalam urusan ini, bahkan aku ikut dijebloskan dan kau sengaja bersembunyi di balakangku sehingga aku yang menanggung susah?” demikian Oh-ti-tu menjadi gusar dan berteriak. “Ini masih mendingan, yang menggemaskan, sudah jelas kau dapat melabrak mereka secara terang-terangan, tapi kau sengaja lari malah sehingga aku pun menanggung malu, coba jawab, apa sebabnya semua ini?”
“Sudah tentu aku mempunyai alasannya,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sambil menjambret dada anak muda itu Oh-ti-tu membentak, “Kalau tidak kau jelaskan, segera kucekik mampus kau.”
“Masa masih perlu penjelasan pula? Dengan sendirinya karena aku ingin membikin susah padamu.”