Orang itu tergagap-gagap, akhirnya dia menutur, “Dia bil…bilang, meski bapak mertuanya pernah ingin membunuhnya, tapi dia tetap sakit hati terhadap orang yang membunuh bapak mertuanya, maka dia mengharapkan orang yang membunuh mertuanya supaya mandi sebersih-bersihnya. Aku menjadi heran dan bertanya untuk apa dia mengharapkan orang mandi bersih-bersih, dia tidak menjawab melainkan cuma tertawa lebar, lalu melangkah pergi.”
Seketika air muka Kang Piat-ho berubah, dia tidak bertanya pula terus melangkah pergi.
Hadirin menjadi panik demi mendengar penuturan orang tadi, banyak yang memperbincangkan munculnya Li Toa-jui, kata seorang, “Cap-toa-ok-jin itu sudah menghilang sekian tahun, kini Li Toa-jui telah muncul kembali, bukan mustahil kawan-kawannya juga akan membanjiri dunia Kangouw pula.”
“Selain Li Toa-jui, ada lagi seorang Ok-tu-kui yang sudah muncul di muka umum, melulu kedua orang ini sudah cukup membikin kepala pusing,” demikian kata yang lain.
Di tengah suara berisik dan ramai ocehan orang banyak itu, diam-diam si gelandangan tadi sudah mengeluyur keluar, hanya Siau-hi-ji saja terus mengintil di belakangnya.
Secara beriring-iringan mereka berjalan sekian jauhnya, sekonyong-konyong orang itu membalik tubuh dan menegur Siau-hi-ji dengan tertawa, “Aku baru saja mendapat persen tiga tahil perak, masa jumlah ini cukup menarik perhatianmu dan kau hendak membegal diriku?”
Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Sesungguhnya kau ini siapa? Apa maksudmu mengantarkan Wan-lian itu dengan memalsukan nama Li Toa-jui?”
Air muka orang itu tampak berubah, matanya memancarkan sinar yang tajam, sinar mata yang lebih licin dari pada Kang Piat-ho dan lebih bengis dari pada Ok-tu-kui.
Tapi hanya sekejap saja ia telah mengatupkan kelopak matanya dan berkata dengan tertawa, “Aku diberi persen tiga tahil perak dan segera kulakukan apa yang dia minta, urusan lain aku tidak perlu ambil pusing.”
“Tapi dari mana kau tahu aku mengintil di belakangmu?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jelas kau memiliki ilmu silat yang tinggi, mengapa ingin mengelabui diriku?”
Orang itu terbahak-bahak, katanya, “Jika aku mahir ilmu silat, tentu aku sudah menjadi bandit, untuk apa menjadi pengangguran begini?”
“Kau tidak mau mengaku? Segera akan kubikin kau mengaku!” teriak Siau-hi-ji, berbareng ia terus menubruk maju dan menghantam.
Siapa tahu orang itu ternyata benar tidak mahir ilmu silat, sekali digenjot Siau-hi-ji, kontan dia roboh terjungkal.
Sudah tentu Siau-hi-ji tidak percaya, ia pikir orang cuma pura-pura saja. Tapi setelah ditunggu sekian lama orang itu tetap menggeletak tak bergerak, waktu ia meraba dadanya, napasnya ternyata sudah berhenti dan kaki tangan sudah mulai dingin rupanya telah mati terpukul olehnya.
Tak tersangka oleh Siau-hi-ji bahwa orang itu ternyata tidak tahan sekali pukul, diam-diam ia pun menyesal telah memukul mati orang tanpa sebab. Setelah tertegun sejenak, kemudian ia menghela napas dan berkata, “Jangan kau salahkan aku, kau sendiri yang tidak tahan pukul, biarlah kukubur kau dengan baik-baik.”
Dengan rasa menyesal segera ia panggul mayat orang itu dan memutar balik ke kota. Tapi belum beberapa jauh, tiba-tiba kuduknya terasa basah-basah hangat, bahkan berbau pesing.
“Buset! Orang mati masa bisa ngompol?!” omel Siau-hi-ji terkejut, segera ia bermaksud mengusap bagian yang basah itu.
Tapi karena tangannya terangkat, mayat itu lantas memberosot ke bawah, waktu Siau-hi-ji mendepak, mendadak “mayat” itu mencelat ke sana dengan gelak tertawa dan berkata, “Hari ini kusuguh kau dengan air kencing, lain hari akan kusuguh kau makan najis!”
Di tengah suara tertawanya itu mendadak ia berjumpalitan jauh ke sana, sekali berkelebat lagi lantas menghilang.
Ginkang orang ini ternyata tidak di bawah Kang Piat-ho, ketika Siau-hi-ji hendak mengejarnya, bayangan orang sudah tak tertampak pula.
Sejak kecil hingga besar ini belum pernah Siau-hi-ji dikerjai orang seperti sekarang ini, sungguh dadanya hampir meledak saking gemasnya. Lebih konyol lagi adalah siapa orang itu bahkan sama sekali tidak diketahuinya.
Ginkang orang itu sudah jelas mahatinggi, yang lebih hebat adalah caranya berlagak mati. Untuk bisa pura-pura mati sebaik itu harus memiliki Lwekang yang sempurna.
Setelah tertegun sejenak, tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa sendiri, gumamnya, “Untung dia cuma menggoda diriku saja, kalau tadi dia mau membunuhku, mustahil aku dapat hidup sampai sekarang. Jadi seharusnya aku bergembira, memangnya apa yang kusesalkan?”
Begitulah dengan tertawa dia melanjutkan perjalanan, sedikit pun tidak uring-uringan pula. Terhadap segala sesuatu yang tak dapat diatasinya dia dapat menerima menurut kenyataanya, Siau-hi-ji memang dapat berlapang dada terhadap segala persoalan, kalau tidak demikian tentu dia bukanlah Siau-hi-ji.
Sementara itu cahaya lampu sudah memenuhi pula jalanan di kota, tiba pula waktunya pasar malam yang paling ramai. Siau-hi-ji membeli pula seperangkat pakaian untuk salin, dia keluyuran ke sana sini untuk membuang waktu.
Selagi dia tengak-tengok kian kemari itulah, tiba-tiba sebuah kereta kuda berlari cepat lewat di sebelahnya dan hampir menyerempetnya. Kereta itu mendadak berhenti di depan sebuah hotel yang besar, selang sejenak, beberapa orang centing yang berpakaian mentereng keluar dari hotel itu, lalu membuka pintu kereta dan berdiri tegak di samping dengan menahan napas.
Tidak lama kemudian, dari hotel itu keluar pula dua orang dengan iringan serombongan orang yang bersikap munduk-munduk dan ada beberapa orang yang membawa lentera.
Di bawah cahaya lampu itu kelihatan orang di sebelah kiri berwajah pucat, badan kurus lemah, tampaknya tidak tahan angin, namun sikapnya simpatik, meski warna bajunya sederhana dan potongan biasa, tapi semuanya serasi, dari kepala hingga kaki tiada suatu cacat.
Orang sebelah kanan bertubuh lebih tinggi besar, sikapnya gagah, sorot matanya berwibawa. Pakaiannya juga sederhana, tapi pakaian sederhana menjadi tidak sederhana lagi setelah dikenakan olehnya.
Kedua orang itu berturut-turut naik ke atas kereta, tidak bergaya dan juga tidak berlagak, tapi nampaknya memang rada berbeda dengan orang lain, seakan-akan sejak lahirnya sudah harus dilayani orang dan menumpang kereta sebagus itu, kalau orang mengumpak dan menjilatnya juga pantas dan adil.
Sampai kereta itu sudah berangkat Siau-hi-ji masih berdiri termenung di situ, ia heran siapakah kedua orang yang memiliki gaya luar biasa itu? Maklumlah, gaya anggun begitu memang sukar ditiru dan juga tidak mungkin dibuat-buat.
Di kota Ankhing sekarang ternyata banyak muncul kaum ksatria dan pendekar, dalam dua hari saja Siau-hi-ji telah berturut-turut memergoki tokoh-tokoh yang lain dari pada yang lain. Yang membuatnya tidak paham adalah untuk apakah tokoh-tokoh ini datang ke Ankhing dan siapakah mereka? Yang jelas, wilayah ini selanjutnya pasti akan menjadi ramai.
Begitulah setelah berputar kayun setengah malaman, tanpa terasa Siau-hi-ji berada kembali di rumah Lo Kiu itu.
Meski pasar malam sudah mulai sepi, namun masih terlalu dini waktunya bagi beraksinya Ya-heng-jin (orang pejalan malam), setelah berpikir sejenak akhirnya ia masuk juga ke rumah itu.
Dia tidak naik ke loteng, dia duduk sekian lamanya di bawah, kedua pelayan yang ketolol-tololan itu berdiri jauh di sana, seperti takut pada setan saja, mereka tidak berani mendekati Siau-hi-ji.
Akhirnya malam pun larut, baru saja Siau-hi-ji berbangkit hendak berangkat, mendadak terdengar jeritan kaget di atas loteng, menyusul Lo Sam dan Lo Kiu tampak berlari turun.
“Kalian juga bisa terkejut, sungguh sukar untuk dipercaya?!” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Lo Iuu dan Lo Sam juga terkejut melihat Siau-hi-ji berada di situ, mereka menyurut mundur, sambil menatap anak muda itu, akhirnya Lo Kiu tertawa dan berkata, “Hebat benar kepandaian menyamar saudara, tampaknya sukar ada bandingannya dalam hal ini.”
“Jika saudara tidak buka suara, sungguh kami tidak mengenalimu lagi,” sambung Lo Sam tertawa.
“Kalian ke mana semalam hingga baru sekarang kalian pulang ke sini,” dengan tertawa Siau-hi-ji menanggapi.
“Soalnya hari ini ada tamu agung, Kang Piat-ho menjamunya dan kami bersaudara juga diundang, maka pulang agak terlambat,” tutur Lo Kiu.
“Maaf beribu maaf jika saudara menunggu terlalu lama,” sambung Lo Sam.
Ternyata kedua Lo bersaudara itu sama sekali tidak menyinggung apa-apa yang dilihatnya di atas loteng yang membuat mereka menjerit kaget tadi.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tidak suka menyinggungnya, dengan tertawa ia bertanya, “Tamu agung? Siapa dia?”
“Cukup ternama juga kedua tamu itu,” tutur Lo Kiu. “Mereka adalah menantu kesayangan keluarga Buyung, yang seorang adalah ahli waris keluarga bangsawan Lamkiong, yaitu Lamkiong Liu, seorang lagi adalah cendekia dunia Kangouw dan juga menjabat ketua serikat Bu-lim propinsi Kwitang dan Kwisay, yaitu Cin Kiam.”
“Anak muda bangsawan begitu biasanya merupakan suatu lingkungan kecil tersendiri di dunia Kangouw dan suka meremehkan orang lain, tapi hari ini mereka sudi menyambangi Kang Piat-ho, tentu saja Kang Piat-ho menjamu mereka sehormat-hormatnya,” tutur Lo Sam pula.
“Jadi mereka anak menantu keluarga Buyung?” tukas Siau-hi-ji dengan mata terbelalak. “Aha, bagus, bagus sekali.”
“Dari ucapan saudara ini, jangan-jangan engkau kenal mereka?” tanya Lo Kiu.
“Meski aku tidak kenal mereka, tapi tadi aku telah melihat wajah mereka, yang satu pucat dan yang lain gagah, semuanya berpakaian sederhana tapi sangat serasi dipandang, betul tidak?”
“Betul, memang mereka itulah,” sahut Lo Kiu.
“Bukan saja kedua orang tersebut, konon keenam anak menantu keluarga Buyung yang lain juga akan segera menyusul kemari dalam waktu dua hari ini,” sambung Lo Sam. “Selain itu ada lagi seorang bakal menantu Giok-bin-sin-kun Koh Jin-giok
“O, jadi Koh Jin-giok juga datang bersama mereka?” Siau-hi-ji menegas.
“Betul,” jawab Lo Kiu.
“Orang-orang ini sama meluruk ke sini, apakah kalian tahu apa sebabnya?” tanya Siau-hi-ji.
“Konon salah seorang nona keluarga Buyung telah hilang dan kabarnya nona ini pernah terlihat berada bersama Hoa Bu-koat, makanya mereka sama menyusul ke sini untuk mencari kabar,” tutur Lo Sam.
“Tepatlah jika begitu, memang sudah kuduga kedatangan mereka pasti menyangkut persoalan ini,” ucap Siau-hi-ji sambil keplok.
“Apakah saudara juga kenal nona yang hilang itu?” tanya Lo Kiu.
Siau-hi-ji berlagak mengingat-ingat sejenak, lalu menjawab, “Rasanya seperti pernah melihatnya.”
“Jangan-jangan saudara tahu jejak nona itu?” tanya Lo Kiu pula sambil menatap anak muda itu.
Sama sekali Siau-hi-ji tidak memandang ke arah loteng, ia sengaja menarik muka dan menjawab, “Dari mana kutahu, memangnya aku menyembunyikan gadis orang?”
“Mana berani kumaksudkan begitu,” ucap Lo Kiu dengan tertawa, “cuma....”
“Cuma nona yang sudah berusia 18-19 tahun masa bisa menghilang begitu saja?” sambung Lo Sam. “Mana mungkin pula disembunyikan orang? Apa lagi setiap nona keluarga Buyung terkenal serba mahir ilmu silat mau pun ilmu surat, kukira di balik persoalan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres.”
“Bisa jadi nona itu minggat bersama pacarnya, bisa juga dia terpengaruh oleh obat bius orang...” Siau-hi-ji berlagak berpikir, lalu mendadak ia terbahak-bahak dan berkata pula, “Haha, sungguh menarik persoalan ini, sungguh sangat menarik.”
Lo Kiu dan Lo Sam saling pandang sekejap, lalu berkata, “Tapi kami bersaudara tidak melihat adanya sesuatu yang menarik dalam persoalan ini.”
Lo Kiu tertawa ngakak sambil memandang sekejap ke arah loteng, lalu berkata, “Selama setengah hari ini saudara pergi ke mana?”
“Selama setengah hari aku pun banyak melihat kejadian yang menarik dan juga melihat beberapa orang yang menarik, yang paling menarik di antaranya ialah....” meski dia telah dikencingi orang, akan tetapi sedikit pun ia tidak merasa malu, bahkan ia menceritakan pengalamannya itu dengan jelas, sembari menutur sambil tertawa sehingga mirip orang yang sedang bercerita kejadian yang lucu.
Setelah mendengar cerita anak muda itu, Lo Sam dan Lo Kiu juga tertawa, tapi tertawa di kulit dan tidak tertawa masuk ke daging, malahan air muka mereka menjadi rada pucat. Kedua orang saling mengedip, lalu Lo Kiu bertanya, “Entah bagaimana bentuk orang yang saudara lihat itu?”
“Orang itu berpotongan seratus persen mirip kaum gelandangan atau pencoleng pasar, di tempat ramai di mana pun kau dapat melihat orang begitu, namun tiada seorang pun yang mau memperhatikan orang semacam dia, maka di sinilah letak kelihaiannya. Bahwasanya orang yang tidak menarik perhatian dengan sendirinya akan jauh lebih mudah bila mana dia mau berbuat sesuatu yang busuk.”
Kembali Lo Kiu dan Lo Sam saling memberi isyarat, mendadak Lo Kiu berbangkit dan masuk ke kamar.
Siau-hi-ji mendengar suara membuka laci di dalam kamar, menyusul terdengar suara keresak-keresek gulungan kertas, habis itu Lo Kiu keluar pula dengan membawa segulung kertas yang sudah lusuh dan menguning.
Gulungan kertas itu sudah tua sehingga warnanya telah luntur, bahkan robek, namun Lo Kiu memandangnya seperti benda pusaka yang berharga, ia memegangnya dengan hati-hati dan prihatin serta ditaruh di atas meja di depan Siau-hi-ji, anehnya setengah badannya sengaja mengalingi Siau-hi-ji seakan-akan khawatir anak muda itu melihat benda mustikanya itu.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Kertas begini dibanting juga takkan hancur, jatuh juga takkan rusak, orang pun takkan tertarik untuk merampasnya, tapi kau memandangnya seperti benda pusaka saja.”
“Meski kertas ini sudah tua lagi rusak, tapi bagi sementara orang Bu-lim memang terpandang sebagai pusaka yang sukar dinilai, jika saudara mengira tiada orang yang ingin merebutnya, maka salah besarlah engkau,” kata Lo Kiu.
“He, jika begitu, barangkali kertas ini juga sebangsa peta harta karun? Jika betul demikian, ha, memandangnya saja aku tidak sudi.”
“Di dunia Kangouw memang tidak sedikit beredar ‘peta harta karun’ yang menipu orang, di antara sekian ribu helai peta begituan mungkin tiada satu pun yang tulen,” kata Lo Sam dengan tertawa. “Dari ucapan saudara tadi, jangan-jangan engkau juga pernah tertipu oleh peta begitu?”
“Akan tetapi peta kita ini bukanlah peta begituan....” sambung Lo Kiu.
“Kau mengeluarkan kertas ini, mestinya hendak diperlihatkan padaku, mengapa kau mengalingi pula pandanganku?” tanya Siau-hi-ji.
“Biasanya kami memandang peta ini sebagai pusaka yang berharga, namun saudara kini bukan lagi orang luar, sebab itulah Cayhe mau mengeluarkannya,” tutur Lo Kiu. “Cuma... cuma saudara harus berjanji, setelah melihat gambar ini, betapa pun kau harus menjaga rahasia.”
Mau tak mau Siau-hi-ji jadi tertarik juga dan ingin tahu, tapi dia sengaja berbangkit dan menyingkir ke sana, katanya dengan tertawa, “Jika kalian tidak percaya padaku, lebih baik aku tidak melihatnya.”
Dengan tertawa cepat Lo Sam menanggapi, “Ah, kalau kami tidak percaya pada saudara mau percaya pada siapa lagi?”
“Jika begitu, coba katakan dulu gambar apa yang terlukis di situ, kemudian barulah akan kupertimbangkan mau melihatnya atau tidak,” kata Siau-hi-ji.
“Yang terlukis di gambar ini adalah wajah asli Cap-toa-ok-jin,” jawab Lo Kiu dengan suara berat.
Terbelalak mata Siau-hi-ji, tetapi dia sengaja berkata acuh tak acuh, “Meski aku belum pernah melihat Cap-toa-ok-jin, tapi dari nama mereka dapat kubayangkan wajah mereka pasti buruk seperti siluman, memangnya apa perlunya memandang wajah mereka yang buruk itu dan untuk apa pula orang ingin merebut gambar ini?”
“Saudara tahu bahwa Cap-toa-ok-jin ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, semuanya suka berbuat jahat, entah berapa banyak orang Kangouw yang pernah dicelakai mereka....” sampai di sini penuturan Lo Kiu, segera Lo Sam menyambungnya, “Tapi jejak kesepuluh orang ini justru tidak menentu, semua pandai menyamar pula, maka banyak orang yang dikerjai mereka, tapi bagaimana wajah musuh itu tidak pernah dilihatnya, karena itu pula sukarlah untuk menuntut balas dan dendam tetap tak terlampiaskan.”
“Ah, tahulah aku sekarang,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Kiranya orang ingin merampas gambar ini, tujuannya agar dapat mengenali wajah asli kesepuluh wajah top penjahat ini supaya bisa mencari mereka untuk menuntut balas.”
“Ya, memang begitulah,” seru Lo Sam.
“Tapi mereka tiada permusuhan apa pun dengan aku, untuk apa kalian suruh aku melihat potret mereka?” tanya Siau-hi-ji.
Lo Kiu tersenyum misterius, katanya, “Apa betul saudara tidak bermusuhan dengan mereka?”
Tiba-tiba Siau-hi-ji ingat sesuatu, jawabnya, “Jangan-jangan kalian maksudkan gelandangan yang berlagak mampus itu pun salah satu dari Cap-toa-ok-jin?”
Lo Kiu tidak menjawabnya melainkan menyingkir ke samping, lalu ia tunjuk salah seorang yang terlukis di gambarnya dan berkata, “Boleh saudara melihatnya sendiri, bukankah dia inilah pencoleng yang mengerjaimu itu?”
Di atas kertas yang sudah menguning itu memang benar terlukis sepuluh orang, akan tetapi kalau dihitung dengan teliti, sebenarnya yang terlukis bukan hanya sepuluh orang melainkan ada sebelas orang. Semuanya terlukis dengan goresan yang hidup. Seorang di antaranya berbaju putih mulus, mukanya pucat, jelas dia ini “Hiat-jiu” Toh Sat, si tangan berdarah.
Di sebelah Toh Sat terlukis seorang yang sedang menengadah dan tertawa, dengan sendirinya ialah Si Budha tertawa Ha-ha-ji dengan filsafat hidupnya yang terkenal, yaitu “tertawa sambil menikam”.
Sebelahnya lagi adalah seorang perempuan cantik dan genit, terang dia ini Siau Mi-mi, si tukang pikat tanpa ganti nyawa. Dan di sampingnya adalah Li Toa-jui yang memegang sebuah kepala manusia dengan wajah murung, si tukang makan daging manusia ini terkenal dengan julukan “Put-sip-jin-thau” atau tidak makan kepala manusia.
Lalu seorang terlukis berdiri remang-remang di tengah kabut, tak perlu diterangkan lagi dia adalah Im Kiu-yu, si setengah manusia setengah setan. Dan orang yang berada di sebelah Im Kiu-yu terlukis berkepala dua, bagian kepala sebelah kiri berwajah nona cantik, bagian kepala sebelah kanan terlukis wajah pemuda cakap, terang dia inilah To Kiau-kiau, si banci.
Orang-orang ini entah sudah berapa ribu kali dilihat oleh Siau-hi-ji, ia merasa lukisan ini memang sangat hidup, sampai-sampai sikap dan mimik wajah setiap orang yang dilukis itu pun mirip benar.
Diam-diam Siau-hi-ji memuji pelukisnya yang mahir itu, ia menjadi heran siapakah pelukisnya itu? Kalau bukan orang yang sangat karib dengan ke-10 top penjahat itu mana bisa melukisnya sedemikian hidup?
Lalu Siau-hi-ji melihat pula Han-wan Sam-kong, si setan judi yang bertubuh gagah itu, di sebelahnya adalah seorang berewok dan berwajah beringas, matanya melotot seperti harimau hendak menerkam mangsanya, tangan memegang golok besar berlumuran darah.
“Wajah orang ini sungguh menakutkan, entah siapa dia?” demikian Siau-hi-ji sengaja bertanya.
“Dia inilah Ong-say Thi Cian, si singa gila,” tutur Lo Kiu.
“Meski bentuk orang ini tampaknya buas menakutkan, padahal dia dapat dikatakan orang yang paling alim di antara Cap-toa-ok-jin, asalkan orang lain tidak merecoki dia, maka dia juga tidak mengganggu orang,” sambung Lo Sam dengan tertawa.
“Tapi kalau orang mengganggu dia, lalu bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.
“Wah, kalau dia diganggu, maka celakalah tujuh turunan orang itu,” tutur Lo Sam. “Singa Gila itu pasti akan mengamuk dan membunuh habis-habisan segenap makhluk berjiwa di rumah musuhnya.”
“Haha, kalau orang begitu dianggap alim, maka aku boleh dianggap sebagai nabi,” ucap Siau-hi-ji. Meski bicara mengenai orang lain, tiba-tiba teringat olehnya akan diri Thi Sim-lan, terbayang senyuman si nona yang menggiurkan serta sorot matanya yang sayu itu, seketika hatinya merasa pedih, cepat ia berseru pula, “Dan siapa lagi yang dua orang ini?”
Dua orang yang ditanyakan ini jelas adalah saudara kembar, keduanya sama-sama kurus kering, tulang pipi menonjol, yang satu membawa Swipoa, yang lain membawa buku utang piutang, dandanan mereka mirip saudagar besar yang kaya raya, tapi potongan tubuh dan sikap mereka lebih mirip setan kelaparan yang kabur dari neraka.
Dengan tertawa Lo Kiu menjawab, “Kedua orang ini adalah saudara kembar sekandung, keduanya senantiasa berada bersama, A tidak meninggalkan B dan B juga tidak pernah berpisah dengan A. Meski Cap-toa-ok-jin resminya disebut Cap (sepuluh), padahal sesungguhnya berjumlah sebelas orang, hanya saja orang Kangouw menganggap kedua saudara kembar ini sebagai satu orang.”
“Kedua saudara kembar ini she Suma,” sambung Lo Sam, “Yang satu berjuluk ‘adu jiwa juga ingin untung’ dan yang lain berjuluk ‘mati pun tidak mau rugi’, Dari julukan mereka ini tentu saudara dapat membayangkan mereka ini manusia macam apa?!”
Segera Lo Kiu menyambung pula, “Meski nama Cap-toa-ok-jin sangat terkenal, tapi rata-rata mereka adalah orang miskin, hanya kedua saudara kembar inilah yang kaya raya, hartawan besar.”
“Pantas saja,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, “Yang satu mati-matian cari untung dan yang lain tidak mau rugi, kalau mereka tidak kaya kan mustahil. Pantas mereka senantiasa membawa Swipoa serta buku, mungkin khawatir harta kekayaan mereka akan dikerjai orang lain.”
“Betul, memang begitulah,” kata Lo Kiu.
Lalu Lo Sam menunjuk orang terakhir pada lukisan itu, katanya, “Tapi watak orang ini justru sama sekali terbalik dari pada kedua saudara kembar ini, selama hidup orang ini paling suka membikin susah orang, menipu dan menjebak orang, soal apakah dia sendiri mendapatkan untung atau tidak, sama sekali tak terpikir olehnya.”
“Dia sendiri tidak mendapatkan untung, malahan terkadang dia harus tombok, namun baginya bukan soal, asalkan dia melihat orang yang dikerjainya itu kelabakan setengah mati dan mau menangis, maka hal ini dianggapnya kejadian yang paling menyenangkan baginya,” demikian tukas Lo Kiu.
“Hah, orang demikian sungguh jarang ada, dia -.” mendadak Siau-hi-ji berseru, “He, betul, itulah dia, yaitu orang yang berlagak mati dan mengencingi diriku itu.”
Orang-orang yang terlukis itu ada yang duduk dan ada yang berdiri, hanya yang terakhir inilah yang terlukis sedang berjongkok di pojok bawah, tangan yang satu lagi korek-korek celah jari kaki, sehingga mengingatkan orang akan penyakit eksim yang gatal itu, sedang tangan yang lain terangkat di depan hidung seperti lagi mengendus-endus baunya.
Kalau orang yang terlukis itu rata-rata juga bersikap menonjol sebagaimana umumnya orang yang ada nama, hanya orang terakhir inilah yang kelihatan munduk-munduk, takut-takut, cengar-cengir persis seorang pencoleng kecil-kecilan.
“Nah, saudara sudah melihat jelas?” demikian Lo Kiu menegas.
“Betul, sedikit pun tidak salah, memang betul dia ini,” seru Siau-hi-ji pula. “Meski wajahnya sudah tersamar, tapi lagak lagunya, cengar-cengirnya yang khas ini sekali-kali tidak bisa keliru.”
“Ya, makanya begitu Cayhe mendengar cerita saudara tentang tindak tanduk pencoleng itu segera kuduga pasti dia ini orangnya,” kata Lo Kiu.
“Siapa nama orang ini?” tanya Siau-hi-ji.
“Orang ini she Pek, ia sendiri mengaku bernama Khay-sim,” jawab Lo Kiu.
“Tapi orang-orang Kangouw menambahkan pula sebuah julukan baginya, yaitu ‘bikin rugi orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’, dengan demikian lengkaplah dia terkenal sebagai Pek Kay-sim (gembira percuma), setelah bikin rugi orang lain tanpa menarik keuntungan apa-apa.”
“Haha, namanya benar-benar cocok dengan perbuatannya,” kata Siau-hi-ji sambil tertawa geli. “Dia memalsukan nama orang lain untuk mengirim Wan-lian berduka cita, berlagak mati untuk menipu orang, semua ini memang merugikan orang lain akan tetapi juga tidak menguntungkan dia sendiri. Malah dia harus tombok membeli kain putih dan membuang tenaga percuma.”
“Di dunia Kangouw terdapat macam-macam penjahat, tapi orang yang khusus berbuat merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri hanya dia saja seorang, makanya kami bersaudara…”
Belum selesai ucapan Lo Kiu, mendadak Siau-hi-ji memotong, “Makanya kalian lantas ingat akan dia begitu mendengar ceritaku tadi, jangan-jangan kalian memang kenal baik padanya.”
Lo Kiu meraba-raba dagunya yang gemuk itu, jawabnya dengan tertawa, “Jelek-jelek kami bersaudara tidak sampai bergaul dengan manusia begitu.”
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula sambil menatap Lo Kiu, “Kukira kalian kenal benar dengan dia, bahkan kenal baik Cap-toa-ok-jin, kalau tidak masakah kalian sedemikian jelas terhadap tingkah laku setiap pribadi Cap-toa-ok-jin ini dan mengapa lukisan ini berada pula padamu.”
Air muka Lo Kiu tampak berubah, tapi Lo Sam lantas menyela, “Bicara terus terang, sesungguhnya Cap-toa-ok-jin adalah musuh besar kami, soalnya ayah ibu kami justru terbunuh oleh mereka.”
Keterangan ini rada di luar dugaan Siau-hi-ji, katanya, “O, bet…betulkah demikian?”
“Untuk menuntut balas, kami telah berdaya upaya dengan segala jalan dan akhirnya mendapatkan lukisan ini,” tutur Lo Kiu. “Dengan macam-macam usaha lain kami berhasil menyelidiki dan mendapat keterangan sejelas-jelasnya mengenai tindak-tanduk mereka.”
“Jika begitu, mengapa kalian tidak memperlihatkan lukisan ini kepada umum agar orang lain juga mencari perkara kepada mereka, tapi apa sebabnya kalian malah merahasiakan mereka?”
Lo Kiu menyeringai, jawabnya, “Jika kalian menghadapi kejadian yang menyenangkan, apakah kau mau merasakannya bersama orang lain?”
“Masa ini termasuk urusan yang menyenangkan?” ujar Siau-hi-ji.
“Kami sudah berusaha dengan macam-macam daya upaya, dengan susah payah akhirnya kami akan dapat menuntut balas, bila mana kami membayangkan betapa senangnya nanti kalau kami membunuh musuh dengan tangan sendiri, apakah kami dapat membiarkan mereka mati di tangan orang lain?” kata Lo Kiu dengan gemas.
Siau-hi-ji mengangguk, katanya, “Ya, beralasan juga dan masuk akal.”
Dengan hati-hati, Lo Kiu menggulung pula lukisan tua itu, katanya kemudian, “Sebab itulah bila nanti saudara bertemu pula dengan Pek Khay-sim itu, hendaklah engkau suka memperhatikannya bagi kami.”
“Jika saudara dapat menyelidiki di mana jejaknya, tentu kami akan lebih-lebih berterima kasih,” sambung Lo Sam.
Sinar mata Siau-hi-ji gemerlap, katanya, “Baik, Pek Khay-sim bagianmu, tapi Kang Giok-long bagianku, betapa pun kalian harus menahannya bagiku, paling baik apabila orang lain tidak menyentuhnya sama sekali.”
“Sudah tentu,” seru Lo Kiu dengan tertawa.
“Eh, bapaknya menjamu tamu, tentu putranya juga hadir, jadi tadi kalian telah bertemu dengan. dia,” tanya Siau-hi-ji.
“Di sinilah keanehannya,” tutur Lo Kiu, “Bahwa Kang Piat-ho menjamu tamu, tapi Kang Giok-long tidak ikut hadir.”
Siau-hi-ji terbahak-bahak, katanya, “Masa bangsat cilik itu tidak berani menongol lagi di depan umum? Padahal menghadapi tokoh pujaan semacam Lamkiong Liu dan Cin Kiam itu mustahil ayahnya tidak menyuruh dia mendekati mereka?”
“Bisa jadi bangsat cilik itu sudah pecah nyalinya menghadapi saudara,” ujar Lo Kiu.
Siau-hi-ji melirik sekejap ke loteng, lalu berkata dengan tertawa, “Ya, melihat seorang yang pernah dipukul mati olehnya tahu-tahu hidup kembali di depannya, tak peduli siapa pun pasti juga akan ketakutan hingga kehilangan ingatan sehat dan tidak berani lagi menemui orang.”
Ucapan ini dengan sendirinya mengandung arti lain, hanya saja kedua Lo bersaudara itu tidak pernah menyangka kalau Siau-hi-ji ada sangkut-pautnya dengan anak perempuan yang linglung dan sembunyi di atas loteng itu, malahan mereka lebih-lebih tidak menyangka bahwa anak perempuan yang kehilangan ingatan itu justru adalah Buyung Kiu.
Karena melihat Siau-hi-ji melirik ke arah loteng, kedua Lo bersaudara lantas berbangkit sambil tertawa, kata mereka, “Sudah larut malam mungkin saudara perlu istirahat.”
“Betul, memang aku perlu beristirahat,” ucap Siau-hi-ji tertawa sambil berdiri dan lantas melangkah keluar.....