“Kalau saudara sudah berserikat denganku, maka apa yang menjadi milikku tentu juga milikmu, apa lagi diriku ini sudah tua, malas lagi gemuk. Tentunya saudara tahu, tua, gemuk dan malas adalah tiga kelemahan besar bagi urusan perempuan.”
“Haha, jika engkau begini murah hati, aku menjadi tidak enak untuk menolak,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan seorang melompat masuk dari jendela, kiranya Lo Sam adanya.
“He, mengapa kau pun pulang kemari? Apakah Kang Piat-ho telah mencurigai diriku?” tanya Lo Kiu.
“Sudah tentu mimpi pun dia takkan mencurigai dirimu,” tutur Lo Sam dengan tertawa. “Saat ini Thi Bu-siang sudah mati, Tio Hiang-leng sudah ketakutan setengah mati dan tunduk munduk-munduk menuruti segala perintahnya, semua ini tentu telah membuat Kang Piat-ho kegirangan.”
“Betul, tindak tanduknya selamanya bersih, tidak pernah meninggalkan bekas, kini satu-satunya saksi hidup juga sudah terbunuh olehnya, dengan sendirinya dia mengira telah aman sentosa, saking senangnya dia mungkin bisa keblinger.”
“Yang sudah mati itu bukanlah saksi hidup satu-satunya,” tiba-tiba Siau-hi-ji menimbrung.
Lo Kiu dan Lo Sam saling pandang sekejap, lalu tanya berbareng, “Masih ada siapa lagi?”
“Masa kalian sudah lupa, kan masih ada putranya, yaitu Kang Giok-long,” ucap Siau-hi-ji.
“Tapi Kang Giok-long mana bisa membongkar rahasia muslihat bapaknya sendiri?” ujar Lo Kiu.
Siau-hi-ji tersenyum penuh arti, ucapnya, “Mungkin aku mempunyai akal yang baik.” Dia mengulet dan menguap, lalu tubuhnya memberosot dari kursi dan berbaring di atas permadani yang tebal dan empuk itu, gumamnya, “Ehmm, sinar matahari yang hangat, padang rumput yang luas…permadani ini sungguh mirip rumput lebat di padang rumput sana, lunak, ringan dan lebat pula, kalau saja aku dapat tidur selama tiga hari tiga malam di atas permadani ini sungguh hatiku akan senang sekali.”
“Silakan tidur saja saudara, di sini pasti takkan diganggu oleh siapa pun juga,” kata Lo Kiu.
Seseorang kalau saja dapat tidur nyenyak dalam keadaan apa pun juga, maka orang itu boleh dikatakan berbahagia. Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa dalam hal ini Siau-hi-ji memang berbahagia.
Entah sudah berapa lama dia tertidur, waktu mendusin, api lilin sudah padam, tampaknya hari sudah siang, namun tirai jendela cukup tebal sehingga cahaya matahari menembus remang-remang. Tapi di tengah keremangan itulah sepasang mata gemerlap sedang mengawasi Siau-hi-ji.
Meski sorot mata itu cukup cemerlang, tapi juga penuh rasa bingung, walau pun sepasang mata itu sedang mengawasinya dengan tajam, tapi kelihatannya seperti sedang menerawang ke tempat yang amat jauh sana.
Siau-hi-ji tetap berbaring di tempatnya tanpa bergerak. Dilihatnya Buyung Kiu duduk di atas permadani tepat di sebelahnya, seperti baru saja duduk, tapi juga seperti sejak semalam sudah duduk di situ.
Dengan mata terbelalak Siau-hi-ji juga mengawasi nona itu, dilihatnya wajah yang pucat, tangan yang halus dan kaki yang telanjang dan mulus. Sungguh kecantikannya bukan lagi cantiknya manusia biasa, tapi cantiknya sudah bersemu gaib, tanpa terasa Siau-hi-ji terkesima.
Siau-hi-ji tidak bersuara, dengan sendirinya ia pun tidak mengharapkan si nona bicara. Tak terduga mendadak Buyung Kiu berkata, “Aku merasa seperti pernah melihatmu entah di mana, rasanya kukenal kau.”
Berdebar hati Siau-hi-ji, jawabnya, “Kau kenal aku?”
“Ehm,” Buyung Kiu manggut-manggut.
“Apakah kau masih ingat pernah melihatku di mana?”
“Aku... aku tidak ingat lagi, aku cuma... cuma mempunyai perasaan demikian.”
Siau-hi-ji tertawa, tiba-tiba ia tanya, “Apakah kau ingat pada dirimu sendiri?”
Sekonyong-konyong Buyung Kiu mendekap kepalanya sendiri dan berseru, “Tidak, aku tidak ingat lagi, aku tak dapat berpikir, sekali berpikir segera kepalaku menjadi pusing.”
“Jika begitu janganlah berpikir, paling baik memang tidak berpikir supaya kepalamu tidak sakit.”
“Jangan-jangan kau mengetahui siapakah... siapakah diriku ini?” tanya Buyung Kiu.
“Aku pun tidak ingat,” sahut Siau-hi-ji tertawa. “Aku cuma tahu keadaanmu sekarang jauh lebih baik dari pada dahulu.”
Suasana di dalam ruangan yang tidak luas ini terasa sumpek sehingga membuat orang kegerahan, meski tiada angin, namun terendus juga hawa udara yang berbau harum.
Setelah kenyang tidur, sekarang sekujur badan Siau-hi-ji penuh gairah, bahkan kelebihan tenaga, sambil memandangi betis yang putih mulus itu, ia jadi teringat kepada Buyung Kiu yang telanjang bulat di gudang es dahulu… di dalam ruangan yang remang-remang dan berhawa panas ini tiba-tiba timbul semacam perasaan yang jahat dan sesat.
Tiba-tiba Siau-hi-ji berkata pula, “Betapa pun juga kau tetap ingin tahu bagaimana keadaan dirimu di masa dahulu, begitu bukan?”
“Jika dapat ingat kembali kejadian masa lalu, andaikan segera mati juga aku rela,” kata Buyung Kiu.
“Kau benar-benar bersedia mengorbankan segalanya?” tanya Siau-hi-ji.
“Ya,” jawab Buyung Kiu.
“Baik, jika begitu bukalah pakaianmu hingga telanjang, biar kucarikan akal bagimu.”
Mata Buyung Kiu terbelalak lebar dan menegas dengan suara gemetar, “Buk…buka pakaian dan…dan telanjang bulat?”
“Tentunya kau pernah lihat sesuatu yang sangat menakutkan sehingga kau berubah jadi begini, soalnya kejadian yang seram itu kini masih mengeram di dalam tubuhmu seperti setan iblis jahat.”
“Ehm, Buyung Kiu mengangguk.
“Oleh karena itu, apabila kau ingin teringat kembali pada kejadian masa lalu, lebih dulu kau harus mengusir semua setan iblis yang hinggap di tubuhmu. Untuk bisa mengusir setan iblis ini lebih dulu kau harus membebaskan segala ikatan yang berada di tubuhmu.”
Buyung Kiu mendengarkan dengan termangu-mangu sambil mengangguk terus-menerus.
Dengan tertawa Siau-hi-ji menambahkan pula, “Dan pakaian adalah ikatan paling besar bagi manusia, jika kau sudah buka pakaian, akan kubantu mengusir setan iblisnya, soal ini sangat sederhana, tentunya kau paham bukan?”
“Tapi... tapi....”
“Turutlah ucapanku, pasti tidak akan salah....” kata Siau-hi-ji dengan tertawa, tangannya sudah mulai meraba betis si nona.
Namun mendadak Buyung Kiu melonjak bangun, tahu-tahu tangannya sudah memegang sebilah belati yang bersinar kemilauan dan langsung mengancam tenggorokan Siau-hi-ji.
“He, apa-apaan kau ini? Bukankah aku hendak membantu kau?” seru anak muda itu.
Dengan perlahan Buyung Kiu menjawab, “Ada orang yang menganjurkan padaku agar belati ini kugunakan menghadapi dia barang siapa berani menyentuh tubuhku.”
Siau-hi-ji menyengir, gumamnya, “Pantas kedua Lo bersaudara tak berani menyentuhmu dan… dan pantas pula mereka menyerahkan dirimu padaku.”
“Apa katamu?” Buyung Kiu menegas.
“Kutahu orang yang menganjurkan padamu itu hendak membikin susah padamu, sebab dia tidak ingin kau ingat kembali pada kejadian masa lampau.”
Perlahan-lahan tangan Buyung Kiu di turunkan ke bawah, katanya, “Mengapa dia membikin susah padaku?”
“Apakah kau kenal dia?” tanya Siau-hi-ji.
“Rasanya tidak,” jawab Buyung Kiu.
“Tapi kau kenal aku, mengapa kau tidak percaya padaku dan sebaliknya lebih percaya padanya?”
Buyung Kiu menunduk dan berpikir, tanpa terasa belatinya jatuh ke permadani.
Siau-hi-ji terus menarik si nona serta menindih di atas tubuhnya, sama sekali Buyung Kiu tidak melawan, tangan Siau-hi-ji mulai membuka leher baju nona itu sambil bergumam sendiri, “Bila mana seseorang hampir membunuhmu, maka apa pun yang kau lakukan terhadapnya kiranya bukan suatu dosa.”
Mulutnya bicara, tangan pun bekerja.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang membentaknya, “Jangan!”
Siau-hi-ji terkejut. Berbareng itu dari balik tirai jendela telah melayang masuk seutas benang perak dan melilit tangan Siau-hi-ji. Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang ternyata tidak mampu menghindar dan juga tak dapat melepaskan diri. Meski benang perak yang lembut dan panjang itu kena ditariknya hingga lurus, tapi tak dapat terbetot putus.
Menyusul sesosok tubuh kurus kecil seperti hantu saja lantas menyelinap masuk dan menubruk ke arah Siau-hi-ji. Cepat Siau-hi-ji berguling ke samping.
Dengan sendirinya Siau-hi-ji sudah dapat melihat jelas bayangan kurus kecil itu. Tubuh kurus kecil itu terbungkus oleh pakaian hitam ketat, wajahnya juga tertutup oleh topeng hitam, hanya kedua matanya yang kelihatan gemerlap di balik topengnya sehingga tertampak seperti mata setan yang seram dan gaib.
“Hei, Oh-ti-tu!” seru Siau-hi-ji.
Orang kurus kecil itu memang betul Oh-ti-tu, si labah-labah hitam adanya, dia sudah hampir melayang pergi pula, ketika namanya disebut, mendadak ia tancapkan kakinya ke lantai dan menjengek, “Siapa kau? Dari mana kau kenal aku?”
“Haha, Oh-laute, masa kau tidak kenal aku lagi?” seru Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sorot mata Oh-ti-tu menjadi terang, katanya, “He, kiranya kau?! Mengapa kau berubah menjadi begini?”
“Kau sendiri tidak suka memperlihatkan wajah aslimu kepada orang lain, memangnya aku tidak boleh meniru caramu ini?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sinar mata Oh-ti-tu tampak gemerlap, katanya, “Seorang sedang melakukan perbuatan kotor dan kena kupergoki, tapi sekarang masih sanggup bicara dengan cengar-cengir padaku, manusia demikian selain kau rasanya di dunia ini tiada orang kedua lagi.”
“Apa yang kulakukan masa dapat dianggap perbuatan kotor?” ujar Siau-hi-ji tertawa. “Setiap lelaki yang berusia muda dan penuh gairah pasti dapat melakukan perbuatan demikian.”
“Tapi mengapa kau lakukan terhadap seorang yang sama sekali tidak dapat melawan?” seru Oh-ti-tu.
“Maksudku tidak ingin mencelakai dia, sebaliknya aku bertindak baik padanya. Coba pikir, bila mana dia benci pada orang itu, sudikah dia berbuat demikian padanya?”
Oh-ti-tu memandangi anak muda itu dengan mata melotot, tampaknya dia terheran-heran. Seorang telah berbuat rendah begitu, tapi masih dapat bicara seakan-akan dia telah melakukan sesuatu yang baik dan benar.
Dengan tertawa Siau-hi-ji menyambung pula, “Apa lagi perbuatan demikian sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa, hanya manusia yang berpikiran kotor yang menganggapnya perbuatan rendah, bagiku hal ini justru perbuatan suci, bila melakukannya takkan merasa berdosa, tidak berbuat juga tidak menjadi soal.”
Tiba-tiba Oh-ti-tu tertawa, katanya, “Ocehanmu yang ngelantur ini, ternyata tidak menjijikkan sedikit pun, sungguh aku tidak tahu apa sebabnya.”
“Sebabnya aku ini memang bukan orang yang menjijikkan,” kata Siau-hi-ji
Oh-ti-tu menghela napas, katanya, “Sesungguhnya kau ini orang busuk atau orang baik, apakah kau sendiri dapat membedakannya dengan jelas?”
“Dengan sendirinya aku tidak terhitung orang busuk, sedikitnya aku tidak pernah berniat melakukan kejahatan, kau....”
Belum selesai ucapan Siau-hi-ji, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dari luar, cepat Oh-ti-tu menyelinap ke balik tirai jendela, benang perak tadi juga menyusut balik ke tangannya.
Siau-hi-ji tetap berdiri di situ dan berlagak mengeluarkan suara ngorok. Agaknya orang itu pasang kuping sejenak di luar pintu, habis itu lantas melangkah pergi.
Waktu Siau-hi-ji menarik kain tirai, bayangan Oh-ti-tu ternyata tidak kelihatan lagi.
Di luar kelihatan masih terang, sang surya sudah hampir terbenam, Siau-hi-ji bergumam, “Siang, masih siang, tapi di tengah siang hari bolong Oh-ti-tu dapat melayang pergi datang seperti terbang dengan bebasnya, pantas orang Kangouw menganggapnya makhluk ajaib.”
Buyung Kiu tampak berdiri termangu-mangu di sana, tiba-tiba ia bertanya dengan perlahan, “Kau pun anggap dia orang aneh?”
Siau-hi-ji berpaling dan menatap si nona, katanya kemudian, “Belatimu itu pemberian dia?”
“Ehm,” Buyung Kiu mengangguk.
“Dia sering kemari menjenguk dirimu?”
“Ehm,” kembali Buyung Kiu mengangguk.
“Memangnya dia tidak khawatir kepergok orang?”
Buyung Kiu menggigit bibir dan berpikir agak lama, kemudian berkata dengan perlahan, “Meski mereka pun curiga ada orang sering kali muncul di sekitar sini, tapi usaha mereka mencari jejaknya sia-sia belaka, jika dia kemari, senantiasa pada waktu aku berada sendirian.”
Siau-hi-ji mengernyit dahi, katanya, “Dia sering datang menjengukmu, dia selalu berada di sekitar sini…jangan-jangan dia telah menaruh curiga terhadap kedua Lo bersaudara ini? Begitu besar kedua Lo bersaudara ini menarik perhatiannya, sesungguhnya orang macam apakah mereka ini?”
Dia mondar-mandir dengan tertunduk, waktu dia angkat kepalanya mendadak, tiba-tiba terlihat Buyung Kiu telah membuka pakaian sendiri dan telanjang bulat berdiri di situ.
Dalam keadaan remang-remang tubuhnya yang mulus itu laksana sutera yang bercahaya, kedua kakinya yang panjang dan kencang itu terkempit rapat, dadanya yang montok menegak…Buyung Kiu yang berbaju kelihatan lemah gemulai, tapi Buyung Kiu yang tanpa busana ternyata penuh daya tarik, setiap senti bagian tubuhnya seakan-akan penuh daya pikat.
Untuk kedua kalinya ini Siau-hi-ji melihat badan Buyung Kiu yang telanjang bulat, pertama kali terjadi di gudang es yang penuh rahasia itu dan sekarang....
Dahi Siau-hi-ji sudah berkeringat, ia menelan ludah, kerongkongan serasa parau, ia berseru, “Kau... kau ini kenapa?”
Dengan pandangan linglung Buyung Kiu mendekati anak muda itu, katanya, “Katamu harus kuminta kau bantu mengusirkan hantu yang mengeram di tubuhku.”
“Di tubuhmu tiada hantu iblis segala, aku sengaja menipumu,” teriak Siau-hi-ji.
“Ada, kutahu ada,” ucap Buyung Kiu. “Ah, kurasakan ‘dia’ sudah mulai bergerak dalam tubuhku, ya, tidak salah lagi, dapat kurasakan.”
Dia melangkah maju lagi dengan tertawa linglung, gigi yang putih menyeringai seperti binatang buas, mukanya yang pucat kini berubah merah, sorot matanya juga memancarkan sinar yang aneh.
Tanpa terasa Siau-hi-ji menyurut mundur, teriaknya, “Ngacau! Ayo lekas pakai bajumu, kalau tidak....”
“Tidak, aku tak mau pakai baju, kuminta engkau membantuku....” mendadak Buyung Kiu menubruk ke atas tubuh Siau-hi-ji, kedua tangan dan kedua kakinya terus merangkul erat tubuh anak muda itu, maka keduanya lantas jatuh terguling.
Tubuh Buyung Kiu yang dingin itu tiba-tiba saja berubah menjadi panas laksana gunung berapi, bibirnya menempel rapat di pipi Siau-hi-ji, dadanya berombak dengan napas yang tersengal-sengal, lalu katanya dengan suara gemetar, “Hantu… hantu itu telah bekerja… aku... aku tidak tahan… mengapa kau tidak mau membantuku.”
Dengan perlahan Siau-hi-ji merabai punggung Buyung Kiu yang halus licin itu, jawabnya, “Ya, betul, di dalam tubuhmu memang mengeram satu setan iblis, dia sudah bersembunyi selama belasan tahun di tubuhmu dan kini dia sudah mulai bergerak… setiap perempuan pasti dihinggapi iblis jahat begini, setiap lelaki juga… cuma aku... aku....”
Mendadak ia jambak rambut Buyung Kiu terus diputar balik ke bawah, tubuh Siau-hi-ji kini berbalik menindih di atas Buyung Kiu, cepat ia meraih sebuah selimut terus ditutup ke tubuh si nona, dengan erat ia bungkus tubuh Buyung Kiu.
Sinar mata Buyung Kiu tampak penuh rasa terkejut, teriaknya dengan parau, “Ken... kenapa kau bertindak begini?”
Siau-hi-ji, lantas berdiri dan menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, “Setiap orang tentu mempunyai hantunya sendiri dan hanya dia sendiri yang dapat mengusirnya, orang lain tidak mungkin membantumu....”
“Aku... aku tidak paham ucapanmu, bebaskan aku… bebaskan aku!” teriak Buyung Kiu.
Dengan tertawa Siau-hi-ji memandang nona yang cuma kelihatan bagian kepala itu, lalu ia pegang pakaian si nona yang ditanggalkan itu dan dipandangnya sejenak, kemudian ia ambil poci teh di atas meja dan perlahan-lahan air teh itu disiramkan ke atas kepala Buyung Kiu.
“Nah, ingat, anak perempuan tidak boleh sembarangan, sedikitnya dia harus menunggu anak lelaki yang membukanya,” kata Siau-hi-ii dengan tertawa. “Ingat, kalau kau berbuat begini lagi pasti akan kupukul pantatmu.”
Buyung Kiu megap-megap karena disiram air teh, teriaknya gusar, “Kau keparat, jahat, bebaskan aku....”
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya lagi, ia bungkus poci yang sudah tak berisi itu dengan baju Buyung Kiu dan ditaruh di atas dada si nona, lalu membuka pintu dan turun ke bawah loteng.
Setelah putar keliling di bawah loteng, dilihatnya dua pelayan yang bermuka lumayan walau pun kelihatan ketolol-tololan, kedua Lo bersaudara tidak diketemukan di situ.
Mendadak Siau-hi-ji tarik salah satu pelayan itu dan digigit pipinya dengan geregetan, lalu berkata dengan tertawa, “Perempuan, dasar perempuan, jika kau berbuat busuk padanya dia malah menganggap kau ini orang baik, sebaliknya kalau kau berbuat baik padanya, dia malah memaki kau bangsat keparat, dan inilah perempuan....”
Dengan kasar Siau-hi-ji memutar tubuh pelayan itu, kemudian menggaplok keras-keras pantatnya yang besar dan keras itu, lalu melangkah pergi.
Keruan pelayan itu melongo kaget, setelah Siau-hi-ji pergi barulah ia menjerit.
Siau-hi-ji masuk ke dapur, ia cuci muka, dengan sisa bahan rias kemarin ia mengubah wajah dalam bentuk lain pula, habis itu barulah ia meninggalkan tempat itu.
Rumah ini ternyata terletak di tengah-tengah pasar yang ramai, Siau-hi-ji membeli seperangkat baju baru di sebuah toko konveksi dan langsung dipakai, lalu ia makan sekenyangnya di sebuah restoran, setelah memandang cuaca yang sudah dekat petang ia bergumam dengan tertawa, “Hari sudah hampir gelap, sudah tiba pula waktunya bagiku untuk beraksi....”
Terhadap perbuatannya tadi ia merasa puas, kini seluruh badan terasa segar, penuh gairah, kalau nanti tidak beraksi sebaik-baiknya rasanya berdosa terhadap dirinya sendiri.
Menjelang magrib, Siau-hi-ji menuju ke toko obat di mana dia bekerja itu, ia pura-pura membeli satu tahil likiam (asinan) dan ternyata tiada seorang pun yang mengenalnya.
Maksud Siau-hi-ji cuma ingin tahu apakah terjadi sesuatu di toko obat itu, tapi suasana toko itu tenang-tenang saja, agaknya pergolakan dunia persilatan tidak sampai mempengaruhi perdagangan sehari-hari toko obat itu.
Siau-hi-ji lantas menuju ke luar kota, sebenarnya ia ingin mendatangi rumah Toan Hap-pui, tapi mendadak berubah pikiran, soalnya dia melihat tidak sedikit orang persilatan sama menuju luar kota, mungkin sekali hendak pergi ke Thian-hiang-tong.
Maklumlah, nama Ay-cay-ji-beng Thi Bu-siang cukup gemilang di dunia Kangouw, selama berpuluh tahun ini tidak sedikit kaum muda yang mendapat bimbingannya dan menerima kebaikannya, tidak sedikit orang yang telah utang budi padanya. Kini jago tua itu meninggal dengan terhina, namun kematian Thi Bu-siang benar-benar kejadian besar di dunia Kangouw sehingga banyak orang datang melayat, paling tidak juga ingin melihat keramaian.
Dari jauh Siau-hi-ji sudah melihat suasana ramai di Thian-hiang-tong, cahaya lampu terang benderang, bayangan orang berseliweran, halaman yang luas itu penuh sesak dengan pengunjung.
Di luar perkampungan juga penuh berparkir macam-macam kereta kuda. Dengan langkah cepat Siau-hi-ji maju ke sana, tapi mendadak ia berhenti di antara kawanan kuda penarik kereta. Ia dengar suara ringkik kuda yang nyaring, ia merasa kenal ringkik kuda itu, yakni “Yan-ci-be” (kuda gincu), kuda merah milik Siau-sian-li.
Ia menjadi heran, jangan-jangan “Siau-sian-li” Thio Cing juga datang kemari?!
Tersembul senyuman geli bila mana Siau-hi-ji teringat kepada nona garang itu. Pikirnya, “Entah bagaimana dia selama dua tahun ini? Apakah masih serupa dahulu selalu mengenakan baju merah membara dan berkeliaran kian kemari dengan kuda merahnya dan menghajar orang dengan cambuknya?”
Ia benar-benar ingin melihat nona cilik mungil yang cantik tapi juga galak itu, selama dua tahun ini tentunya sudah tumbuh lebih besar, bisa jadi sudah bertambah alim pula.
Akan tetapi orang-orang di halaman depan itu terlalu banyak, Siau-hi-ji coba melongok sana-sini dan tetap tidak nampak bayangan nona itu. Padahal nona seperti Siau-sian-li Thio Cing biar pun bercampur baur di tengah orang yang berjumlah ribuan juga akan ditemukan dengan sekali pandang saja.
Soalnya Siau-sian-li benar-benar laksana seonggok bara, cuma onggok bara ini mengapa sekarang tidak mencolok mata? Jangan-jangan dia tidak datang, kudanya itu dipinjamkan kepada orang lain?
Begitulah Siau-hi-ji menjadi ragu-ragu dan rada kecewa.
Layon Thi Bu-siang ditaruh di tengah ruangan depan, Tio Hiang-leng berdiri di samping peti mati dengan wajah murung, ternyata dia yang “wajib dinas” sebagai Haulam (putra yang mati).
Orang-orang yang melayat sama berjubel di halaman depan secara bergerombol-gerombol dan sedang berbisik-bisik entah apa yang diperbincangkan.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba suasana di luar rada gempar, terdengar seruan beberapa orang. “Ah, Kang-tayhiap juga datang!”, “Selamanya Kang-tayhiap berbudi luhur, sebelumnya sudah kuduga beliau pasti akan datang melayat.”
Serentak orang yang berjubel di halaman itu menyiah ke kanan kiri untuk memberi jalan, hampir semuanya sama munduk-munduk memberi hormat, malahan ada di antaranya kalau bisa ingin menyembah.
Beberapa lelaki kekar tampak melangkah masuk mengiringi Kang Piat-ho. Wajah “pendekar besar” kita ini tampak murung, langsung dia menuju ke depan layon Thi Bu-siang dan menjura dengan khidmat serta berdoa, “Thi-locianpwe, waktu hidupmu engkau bermusuhan denganku, tapi itu pun disebabkan rasa setia kawan di dunia Kangouw, di alam baka engkau tentu tahu maksud tujuanku, selanjutnya mohon arwahmu sudi memberi bantuan padaku untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di dunia persilatan. Pada masa-masa tertentu atas nama para kawan Bu-lim pasti juga kami akan berziarah ke makan Thi-locianpwe dan berdoa semoga arwahmu beristirahat tenang di alam baka.”
Ucapan Kang Piat-ho ini kedengarannya sangat bijaksana dan berbudi luhur, kebanyakan pendengarnya tentu akan memuji jiwa ksatria Kang Piat-ho. Akan tetapi bagi Siau-hi-ji, ucapan Kang Piat-ho itu membuatnya mual, diam-diam ia menjengek, “Hm, ini benar-benar kucing menangisi kematian tikus....”
Belum lagi lenyap pikirannya itu, mendadak terdengar seorang mendengus dengan suara keras, “Huh, ini namanya kucing menangisi tikus, sudah membunuh, pura-pura berduka bagi sang korban.”
Suaranya nyaring lantang, ternyata suara kaum wanita.
Semua orang terkesiap dan memandang ke arah datangnya suara itu, benar juga yang bicara adalah seorang perempuan berbaju hitam, memakai topi bertepi lebar sehingga mata alisnya hampir tidak kelihatan, meski di musim panas, tapi memakai mantel hitam yang panjang, walau dipelototi orang sebanyak itu, sama sekali ia tidak keder, sebaliknya ia pun balas mendelik dengan sorot mata yang bercahaya tajam.
Di sebelah perempuan baju hitam ini berdiri pula seorang pemuda berpakaian perlente dan berperawakan jangkung, namun sikapnya malu-malu seperti gadis pingitan.
Sekali pandang saja Siau-hi-ji lantas tahu siapa kedua orang itu, diam-diam ia terkejut dan bergirang pula, pikirnya, “Dia benar-benar datang, tabiatnya yang keras dan ingin menang sendiri sedikit pun belum berubah.”
Dalam pada itu di antara hadirin sudah ada beberapa orang menerjang ke sana dan membentak sambil menuding si nona baju hitam, “Kau ini perempuan dari mana? Berani bersikap kasar terhadap Kang-tayhiap?”
“Hm, aku ingin omong apa boleh sesukaku, peduli kau?” jengek si nona.
“Apakah kau tahu tempat apa di sini? Berani sembarangan bicara!?”
“Memangnya kau mau apa?” dengus si nona.
“Kang-tayhiap berhati mulia, terpaksa aku mewakilkan Kang-tayhiap memberi hajaran setimpal padamu!” bentak salah seorang lelaki berewok, berbareng dengan telapak tangannya yang lebar terus mencengkeram.
Si nona baju hitam hanya mendengus saja tanpa bergerak. Tapi pemuda yang berdiri di sebelahnya mendadak menangkis. Sungguh aneh, lelaki yang berewok tinggi besar itu mendadak terpental hanya kena ditangkis dengan perlahan oleh pemuda yang lebih mirip gadis pingitan itu. Keruan banyak yang menjerit kaget, beberapa orang segera hendak menubruk maju.
Pemuda itu menarik kembali daya pukulannya dan pasang kuda-kuda dengan kuat. Di waktu diam dia mirip gadis pingitan, tapi sekali bergerak ternyata tangkas dan berwibawa.
“Pukul dan hajar saja mereka, kalau ada apa-apa biar tanggung jawabku,” kata si nona baju hitam.
Tampaknya pemuda itu memang penurut, kaki kiri maju setengah langkah, kepalan tangan secepat kilat menjotos, kontan lelaki yang paling depan kena digenjot hingga terpental.
“Nanti dulu, berhenti!” tiba-tiba terdengar suara orang membentak.
Dengan tersenyum Kang Piat-ho telah mengadang di depan pemuda itu, katanya sambil memberi hormat, “Hebat benar kepandaian saudara, jangan-jangan ahli waris ‘Koh-keh-sin-kun’ (pukulan sakti dari keluarga Koh) dari Kang-lam?”
Muka pemuda itu kembali menjadi merah, tangannya melurus ke bawah dan melangkah mundur, jawabnya singkat, “Ya.”
“Jika Cayhe tidak keliru, mungkin saudara inilah Giok-bin-sin-kun (si pukulan sakti berwajah cakap) Koh Jin-giok, Koh-jikongcu.”
Diam-diam Siau-hi-ji mengakui ketajaman mata Kang Piat-ho yang lihai itu.
Sebelum Koh Jin-giok menjawab, si nona baju hitam sudah menariknya sambil mendengus, “Huh, tak perlu bicara dengan dia, ayolah kita pergi!”
Begitu kata terakhir itu terucap, serentak dua sosok bayangan telah melayang keluar melampaui kepala orang banyak, mantel hitam yang berkibar tertiup angin itu tersingkap sehingga kelihatan pakaian bagian dalam yang merah membara.
“Jangan-jangan dia itulah Siau-sian-li!” seorang berseru di tengah hadirin.
“Harap kalian tinggal dulu di sini agar Cayhe dapat memberi pelayanan sekadarnya,” seru Kang Piat-ho.
Namun kedua orang itu sudah melayang keluar pintu, sekali bersuit, terdengar derapan kaki kuda, seekor kuda merah segera lari tiba dan membawa kedua orang itu terus kabur secepat terbang.
Kang Piat-ho mengelus jenggot menyaksikan kepergian kedua orang itu, katanya dengan gegetun, “Anak murid dari keluarga ternama memang lain dari pada yang lain.”
“Biar pun anak murid keluarga ternama juga tidak boleh congkak begitu,” demikian seru seorang di tengah hadirin. “Memangnya di kalangan Kangouw siapa yang tidak menghormati Kang-tayhiap, berdasarkan apa mereka berani bersikap kasar begitu?”
“Anak muda berkepandaian tinggi, sedikit banyak tentu rada angkuh, lumrah dan tidak perlu menyalahkan mereka,” ujar Kang Piat-ho dengan tersenyum, berbareng ia rangkap kedua tangannya memberi hormat kepada hadirin sehingga semua orang terlebih menghormat dan memujinya.
Selagi Siau-hi-ji hendak mulai beraksi, tiba-tiba nampak seorang gelandangan berlari masuk dengan membawa sebuah galah bambu. Pada galah itu bergantung sehelai kain putih bertulis, yaitu “wan-lian” atau kain bertuliskan sanjak tanda berdukacita bagi orang mati. Tulisan yang terdapat pada kain putih itu berbunyi: “Waktu hidupmu, aku susah; Setelah kau mati, aku duka!”
Tulisan itu tampak tandas dan kuat seperti buah tangan seniman ternama tapi kalimatnya lucu dan tidak layak.
Semua orang menjadi heran dan tertawa geli pula, tapi setelah membaca lagi bagian atas dan bawah, yaitu nama yang dituju dan nama si pengirim, seketika air muka mereka berubah dan tiada seorang pun berani tertawa.
Kiranya bagian depan sajak itu tertulis, “Kepada bapak mertua” dan bagian bawah sebagai pengirimnya tercantum “Dari menantumu Li Toa-jui”.
“Li Toa-jui”, satu di antara ke-10 top penjahat penghuni Ok-jin-kok, tentu saja nama ini cukup menggemparkan hadirin, bahkan Siau-hi-ji juga melongo heran. Ia coba mengamati lebih teliti dan rasanya gaya tulisan itu memang mirip tulisan tangan Li Toa-jui, ia menjadi heran apakah betul Li Toa-jui telah meninggalkan Ok-jin-kok? Bilakah dia keluar dari lembah pusatnya top penjahat itu dan kini dia berada di mana?
Dalam pada itu Kang Piat-ho telah mengadang di depan gelandangan itu dan membentaknya, “Siapa yang suruh kau membawa kain tanda dukacita ini?”
Orang itu berkedip-kedip bingung, jawabnya, “Aku pun tidak jelas siapa dia, maklumlah malam gelap, cuma kelihatan perawakannya tinggi besar dan garang, tampangnya rada-rada mirip patung beringas yang dipuja di kelenteng.”
“Ha itu dia, memang begitulah bentuk Li Toa-jui,” demikian beberapa orang yang berusia agak lanjut lantas berseru.
“Selain disuruh mengantarkan Wan-lian ini, apa lagi yang dikatakannya” tanya Kang Piat-ho.