Bakti Pendekar Binal Jilid 02

Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Bukan saja aku tahu kapal ini memuat obat-obatan, bahkan kutahu obat-obat ini adalah Jinsom, Kuibwe, Lokka, Ngokacu....” sekaligus ia menyebut serentetan nama obat-obatan dan ternyata cocok dengan isi muatan kapal ini, sedikit pun tidak keliru.

Sudah tentu orang lain tidak tahu bahwa Siau hi-ji ini dibesarkan di tengah onggokan obat-obatan, jangankan cuma beberapa macam obat-obatan yang jamak ini, sekali pun seluruh obat-obatan di dunia ini dicampur-aduk menjadi satu juga dapat diendus olehnya. Melihat sekarang dia dapat menyebut nama semua obat itu, keruan semua orang sama melongo heran.

Sorot mata Li-beng-siang tampak berbinar gembira, dia mengisap tembakaunya dalam-dalam, “berr”, mendadak ia semburkan asapnya ke muka Siau-hi-ji, lalu berkata dengan kalem, “Tak tersangka kau bocah ini ternyata ahli dalam hal obat-obatan.”

Air mata Siau-hi-ji hampir saja merembes karena pedas oleh asap tembakau itu, ia kucek-kucek matanya dan berkata dengan tertawa, “Aku ini bukan saja ahli dalam hal obat-obatan, bahkan kuberani menyatakan jarang ada ahli yang lebih ahli dari padaku. Jika kau ini benar-benar Li-beng-siang, seharusnya kau mengundang aku ke perusahaan obatmu dengan segala kehormatan.”

Li-beng-siang mengisap pula tembakaunya, sekali ini asapnya tidak disemburkan lagi ke muka Siau-hi-ji melainkan cuma diembuskan dengan perlahan, habis asap tembakau terembus barulah mendadak ia bangkit dan melangkah ke dalam sambil berkata kepada anak buahnya, “Berikan dia tukar pakaian dan antar dia ke Ging-ih-tong.”

********************

“Ging-ih-tong” adalah nama rumah obat paling besar di kota Ankhing, bahkan terbesar di wilayah propinsi Anhwi. Oleh Li-beng-siang, putri kesayangan Toan Hap-pui itu, Siau-hi-ji ditempatkan di rumah obat atau apotek menurut istilah sekarang dan dijadikan kepala gudang merangkap sebagai apoteker.

Pekerjaan Siau-hi-ji cukup lengang, dia tidak perlu ke bagian depan, makanya tidak perlu khawatir dikenali orang. Setiap hari dia hanya menimbang obat-obatan yang diperlukan menurut resep dan mencocokkan sisa persediaan, selebihnya dia boleh dikatakan menganggur.

Baru sekarang ia tahu bahwa Toan Hap-pui itu adalah hartawan paling kaya di sekitar lembah Tiangkang, semua perusahaan yang paling banyak mengeduk keuntungan di daerah ini hampir seluruhnya dimonopoli olehnya.

Dan “Li-beng-siang” itu adalah putrinya yang tunggal, konon dia mempunyai dua orang kakak, tapi sudah mati sejak kecil, makanya orang menyebutnya “Samkohnio” atau si nona ketiga.

Samkohnio itu sering datang ke Ging-ih-tong, tapi dia tidak menggubris Siau-hi-ji, maka Siau-hi-ji juga tidak menggubris dia, meski Siau-hi-ji tahu si nona gede itu tampaknya galak, tapi sesungguhnya hatinya tidak jelek.

Anehnya semakin Siau-hi-ji tidak menggubris dia, kedatangan si nona gede ke rumah obatnya juga tambah sering, terkadang satu hari datang dua-tiga kali, tapi sekejap saja dia tetap tidak memandang Siau-hi-ji dan dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tidak ambil pusing, hanya diam-diam ia merasa geli saja.

Suatu hari Siau-hi-ji sedang berbaring di kursi malasnya berjemur sinar matahari, sinar matahari di permulaan musim dingin terasa sangat nyaman sehingga saking nikmatnya Siau-hi-ji hampir terpulas.

Tiba-tiba Samkohnio itu mendekati dia, dengan pipa cangklongnya dia ketok sandaran kursi dan berkata, “Hai, bangun!”

Dengan kemalas-malasan Siau-hi-ji membuka matanya dan menjawab, “Kau bicara dengan siapa?”

“Di sini selain kau masakah ada orang lain?” ucap Samkohnio.

“Tapi namaku bukanlah ‘Hei’,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Samkohnio jadi mendelik, tapi ia lantas tergelak-gelak, katanya, “Eh, ingin kutanya kau tentang pengiriman uang ayahku ke Kwan-gwa seperti pernah kau katakan itu, dari mana kau mendapat tahu?”

“Memangnya ada apa dengan pengiriman uang itu?” tanya Siau-hi-ji.

“Telah dirampok orang di tengah jalan,” tutur Samkohnio dengan dingin.

Seketika mata Siau-hi-ji terbelalak, cepat ia bangun duduk dan berkata, “Telah dirampok orang? Memangnya pengiriman itu tidak dikawal oleh ‘Siang-say-piaukiok’?”

“Justru Siang-say-piaukiok yang mengawalnya,” jawab Samkohnio.

Tanpa terasa Siau-hi-ji meraba hidungnya sambil bergumam, “Aneh! Jika dikawal oleh Siang-say-piaukiok, mengapa kena dirampok orang pula....?”

“Memangnya barang kawalan Siang-say-piaukiok tidak mungkin dirampok orang?” jengek Samkohnio. “Hm, kulihat kedua orang she Li itu pada hakikatnya adalah kantong nasi belaka, hanya pandai gegares tapi tak bisa bekerja.”

“Meski orang she Li itu kantong nasi,” ujar Siau-hi-ji, “masih ada orang lain bukanlah kantong nasi.”

“Siapa?” tanya Samkohnio.

“Di dalam persoalan ini tentu banyak seluk-beluknya, cuma kau sendiri yang tidak tahu, malahan aku… ai, aku sendiri pun tidak tahu.”

“Kan omong kosong ocehanmu ini,” omel Samkohnio dengan mendelik.

Setelah berpikir sejenak, kemudian Siau-hi-ji bertanya, “Orang macam apakah yang merampok itu, apakah kau tahu?”

“Kiriman itu tiba-tiba hilang di tengah malam, pintu tak terbuka, jendela tak terpentang, penjaga juga tidak melihat apa-apa, bahkan suara kentut pun tidak terdengar dan tahu-tahu barang kiriman itu lantas terbang hilang seperti bersayap.”

“Ini benar-benar peristiwa aneh,” ujar Siau-hi-ji. “Kukira kawanan perampok itu bisa ilmu sihir atau mata telinga orang-orang Siang-say-piaukiok yang mengawal itu memang cacat.”

“Jika begitu, mereka sendiri yang akan rugi,” ucap Samkohnio.

“Memangnya mereka harus mengganti?”

“Tentu, biar pun menggadaikan celana juga harus ganti,” jengek si nona gede.

Siau-hi-ji meraba-raba hidungnya pula dan bergumam, “Sungguh aneh, tadinya kukira pihak Siang-say-piaukiok yang maling teriak maling, tapi kalau mereka harus ganti rugi, lalu apa sebabnya bisa terjadi begini?”

“Sebabnya mereka adalah kantong nasi semua, makanya barang kawalan mereka kena dirampok begitu saja, teori ini kan sangat sederhana?”

“Tampaknya memang sangat sederhana, tapi bisa jadi di balik layar urusannya teramat ruwet.”

“Apa artinya?” tanya Samkohnio.

“Aku pun tidak tahu apa artinya,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Samkohnio terbelalak memandangi anak muda itu, memandangi senyumannya, sampai sekian lama, tiba-tiba ia berteriak, “Sesungguhnya kau ini orang pintar atau orang bodoh?”

Siau-hi-ji menghela napas panjang, ia membalik tubuh dan membenamkan kepalanya ke bawah siku, ucapnya dengan tak acuh, “Jika aku ini orang bodoh, tentu kehidupanku akan terlalui dengan gembira.”

********************

Esoknya, cuaca cukup cerah, sang surya tetap bersinar menghangat. Kembali Siau-hi-ji berbaring di kursinya dan berjemur sinar matahari.

Sekujur badannya terasa kendur seluruhnya seakan-akan tak bertulang, ia berbaring dengan tenang-tenang seperti tidak pernah memikirkan sesuatu. Padahal sesungguhnya benaknya sedang bekerja keras dan tidak sedikit yang dipikirkannya.

Walau pun banyak persoalan yang dipikirkannya, tapi jika diringkas dan diperas kesimpulannya hanya dua kalimat saja, yakni “Mengapa barang kiriman itu kena dirampok? Siapa yang merampoknya?”

Pertanyaan itulah yang belum dapat dipecahkannya.

Dalam pada itu, Samkohnio yang dibikin pergi dengan mendongkol itu ternyata datang pula.

Sambil memicingkan sebelah mata Siau-hi-ji memandang nona itu, terlihat sikapnya sangat gembira, dengan tergesa-gesa ia mendekati Siau-hi-ji dan berseru, “He, kau salah!”

Sebenarnya Siau-hi-ji malas untuk mengubrisnya, tapi demi mendengar seruan itu, mau tak mau ia lantas membuka mata dan bertanya, “Dalam hal apa aku salah?”

“Persoalan itu ternyata semakin sederhana, sedikit pun tidak ruwet,” kata Samkohnio

“O?!” singkat saja suara Siau-hi-ji.

Mata si nona tampak bersinar, katanya pula, “Baru saja kuterima berita, katanya barang kiriman itu sudah dapat dirampas kembali.”

“Dirampas kembali oleh siapa?” tanya Siau-hi-ji dengan terbelalak.

“Usia orang itu kira-kira sebaya denganmu, tapi kepandaiannya jauh lebih hebat dari padamu,” tutur Samkohnio. “Apabila kau tidak malas begini, bisa jadi kau akan mencapai sepertiganya.”

Serentak Siau-hi-ji melompat bangun, katanya, “Yang kau maksudkan apakah Kang Giok-long?”

Samkohnio melengak, “Dari mana kau tahu?” tanyanya heran.

“Kutahu, tentu saja kutahu…segala apa pun kutahu…Hahaha!” mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa.

Melihat anak muda itu ya tertawa, ya berteriak, ya berjingkrak, Samkohnio jadi terkesima malah. Akhirnya ia tidak tahan dan berkata, “Apakah kau ini orang gila?”

“Jika benar aku gila, tentu ada sementara orang akan hidup lebih gembira,” sahut Siau-hi-ji dengan tertawa. Sekonyong-konyong ia meloncat dan mencium pipi Samkohnio, maklumlah dia jauh lebih pendek dari pada si nona. Habis itu ia lantas berseru pula, “Cuma sayang aku bukan orang gila, makanya hari apes mereka kini pun sudah dekat.”

Sambil berkeplok dan tertawa gembira, Siau-hi-ji terus membalik tubuh dan lari ke dalam gudang obat.

Samkohnio meraba pipinya yang baru di-“ngok” oleh Siau-hi-ji, ia pandang anak muda itu dengan mata terbelalak seperti orang melihat sesuatu makhluk aneh. Sampai lama sekali, mendadak ia menggigit bibir dan tersenyum penuh arti, ia bergumam sendiri, “Si gila cilik…kau benar-benar si gila cilik.”

Siau-hi-ji sudah berada di kamarnya, di dalam kamar telah dinyalakan pelita minyak, karena cuma memakai satu sumbu, maka cahaya pelita itu tidak cukup terang.

Dengan terkesima Siau-h-ji memandangi sumbu api pelita, ia tersenyum dan bergumam, “Kang Giok-long, kau ternyata sangat cerdik, kau pura-pura membuat uang kiriman itu dirampok, habis itu kau sendiri berlagak seperti berhasil merampasnya kembali…Perkara kejahatan yang penuh rahasia itu ternyata dapat kau pecahkan dengan mudah saja, maka siapakah orang Kangouw yang takkan kagum padamu, siapa pula yang tahu bahwa semua ini tidak lebih adalah permainan sandiwara dirimu sendiri.”

Ia menghela napas gegetun, lalu menyambung pula, “Tapi masih ada diriku…Kang Giok-long, semoga jangan kau lupakan bahwa di dunia ini masih ada diriku. Biar pun isi perutmu penuh akal muslihat, tapi tiada suatu pun akalmu yang licin itu mampu mengelabui aku.”

Malam sudah larut, suasana hening, hanya angin mendesir memecah kesunyian.

Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan suara tertahan, “He, si gila cilik, lekas keluar!”

Cepat Siau-hi-ji membuka daun jendela, dilihatnya Toan-samkohnio berdiri di luar dengan memakai mantel merah.

Ia mengernyit dahi, katanya, “Si gila perempuan, tengah malam buta untuk apa kau bikin ribut? Jika kau ingin dicium lagi, sedikitnya kau harus tunggu sampai besok pagi.”

Muka Samkohnio ternyata menjadi merah juga, namun tidak marah. Ia hanya menggigit bibir, lalu berkata, “Ada... ada urusan penting harus kuberitahukan padamu.”

“Urusan penting apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Persoalan itu ternyata tidak begitu sederhana,” ucap Samkohnio dengan gegetun.

Mata Siau-hi-ji terbeliak, ia menegas, “Kau mendapatkan berita lain pula?”

“Ya, baru saja kuterima kabar lagi bahwa... bahwa barang kiriman itu kembali dirampok orang pula.”

Tanpa memakai sepatu Siau-hi-ji lantas melompat keluar. Sekali ini dia benar-benar terkejut. “Apakah betul kabar yang kau terima ini?” tanyanya.

“Tentu saja betul, sedikit pun tidak bohong,” jawab Samkohnio.

Siau-hi-ji gosok-gosok tangannya dan bergumam, “Barang kiriman kembali dirampok orang, betapa pun hal ini tidak mungkin terjadi. Aku benar-benar tidak dapat mengerti… Ehh, kau tahu siapa yang merampoknya?”

Samkohnio menghela napas, jawabnya, “Belum diketahui.”

“Memangnya barang kiriman itu hilang mendadak di tengah malam pula? Apakah para jago pengawal dari Siang-say-piaukiok itu kembali suara kentut pun tidak mendengar dan tahu-tahu barang yang mereka jaga sudah lenyap? Apakah mungkin mereka sedang main sandiwara pula? Tapi bukankah cara demikian ini terlalu bodoh? Orang pintar seperti mereka itu mana bisa melakukan perbuatan sebodoh ini?”

“Tapi sekali ini keadaannya sama sekali berbeda dengan kejadian pertama,” ucap Samkohnio.

“Beda bagaimana? Apakah hilangnya uang kiriman ini mereka tidak perlu memberi ganti rugi lagi?”

“Ya, betul, mereka memang tidak perlu memberi ganti rugi lagi.”

“Sebab apa?” teriak Siau-hi-ji sambil melonjak.

Sorot mata Samkohnio menjadi sayu, katanya, “Sebab segenap jago pengawal Siang-say-piaukiok, dari petugas yang rendah sampai pejabat pimpinan, seluruhnya sembilan puluh delapan orang kini telah mati semua, hanya tersisa seorang saja, yaitu tukang kuda yang biasa memberi makan pada kuda.”

Siau-hi-ji mendekap kepalanya dan termenung sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia berseru, “Dan bagaimana dengan Kang Giok-long itu?”

“Kang Giok-long bukan orang perusahaan pengawalan Siang-say-piaukiok.”

“Tapi semula kan dia yang merampas kembali barang kiriman itu, dia… dia tidak....”

“Setelah berhasil merampas kembali barang kiriman itu dia lantas undurkan diri dengan berjasa, bukankah cara demikian sesuai tingkah laku seorang ksatria sejati, seorang pahlawan tulen?!”

Siau-hi-ji terkekeh-kekeh, jengeknya, “Hm, hebat amat ksatria sejati, pahlawan tulen! Bisa jadi sebelumnya dia sudah tahu barang kiriman bakal dirampok lagi, makanya dia lantas mengeluyur pergi.”

“Maksudmu… perampokan kedua kalinya itu dilakukan oleh bandit yang sama pada perampokan pertama kalinya?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya, “Masa tidak mungkin begitu?”

“Tidak mungkin,” kata Samkohnio.

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Orang yang merampok pada pertama kali itu sudah terbunuh semua oleh Kang Giok-long, waktu dia pulang dengan membawa harta kiriman itu diantar bersama dengan kepala bandit itu.”

“Akal bagus! Sungguh akal yang keji!” Siau-hi-ji berkeplok tangan.

Samkohnio menatapnya tajam-tajam, lalu berkata pula dengan perlahan, “Apa lagi perampokan kedua kalinya hanya dilakukan oleh seorang saja…sembilan puluh delapan jiwa jago pengawal Siang-say-piaukiok terbinasa seluruhnya di tangan seorang ini.”

“Hanya satu orang?” Siau-hi-ji menegas. “Hanya satu orang dalam semalam saja sekaligus menghabiskan sembilan puluh delapan nyawa? Siapakah gerangan begitu kejam di dunia Kangouw ini yang memiliki pula akal selihai itu?”

“Konon orang itu adalah seorang kakek berewok yang jenggot alisnya sudah beruban....”

“Siapa yang melihatnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Dengan sendiri si tukang kuda yang lolos dari lubang jarum itu.”

“Jika begitu dia....”

“Begitu dia mendengar jeritan pertama segera dia sembunyi di balik onggokan rumput makanan kuda,” sela Samkohnio. “Didengarnya suara jeritan susul menyusul terjadi di dalam rumah dan berlangsung dalam waktu singkat....”

“Cepat amat gerakan goloknya!” seru Siau-hi-ji.

“Ya, meski pembunuhan itu berlangsung tidak lama, habis itu dia lantas melihat seorang kakek berewok tinggi besar keluar dari rumah dengan membawa golok sambil terbahak-bahak puas. Kakek itu memakai baju warna muda, akan tetapi kini telah berubah menjadi merah berlepotan darah.”

“Hm, teliti amat cara melihat tukang kuda itu,” jengek Siau-hi-ji.

“Hanya dua-tiga kejap saja dia memandang, lalu tidak berani melihatnya. Dia terus sembunyi di situ hingga pagi baru merangkak keluar, antero pakaiannya juga sudah basah kuyup oleh keringat dinginnya.”

Siau-hi-ji meraba dahi dan berkata pula dengan acuh, “Ceritamu ini seperti ki dalang yang sedang mendongeng, setiap kejadian yang kecil-kecilan juga diuraikan dengan jelas dan menarik…Seorang yang baru lolos dari renggutan maut masih sanggup melukiskan apa yang dilihatnya dengan begitu jelas, tukang kuda itu sungguh hebat dan cermat.”

“Ya, waktu kudengar itu aku pun merasakan dia teramat cermat,” ujar Samkohnio dengan tertawa cerah.

“Bilakah kau mendengar berita itu?”

“Kira-kira setengah jam yang lalu.”

“Bila mana terjadi perampokan kedua itu?”

“Kemarin malam.”

“Masa beritanya bisa datang secepat itu?”

“Berita merpati pos,” tutur Samkohnio. “Di Ankhing sini pusatnya, beberapa ribu li sekitar sini, di tujuh sembilan kota besar kecil tersebar jaringan merpati pos keluarga kami.”

“Dan begitu kau menerima berita itu segera kau memburu kemari untuk memberitahukan padaku?”

Samkohnio mengiakan.

Mendadak Siau-hi-ji berteriak, “Lalu apa sangkut-pautku dengan urusan ini? Mengapa kau terburu-buru memberitahukan padaku? Apakah kau terlalu iseng, di rumah tidak ada pekerjaan?”

Melengak juga si nona gede, ia tergagap, “Ini... aku....”

“Memangnya kau sangka aku ada hubungannya dengan kaum perampok itu?” seru Siau-hi-ji dengan melotot.

“Tidak!” jawab Samkohnio sambil membanting kaki. “Bukan begitu maksudku.”

“Habis apa maksudmu?” tanya Siau-hi-ji.

Wajah Samkohnio menjadi merah dan ternyata tidak marah, bahkan dia menunduk, lalu berkata dengan suara lirih, “Soalnya… kau adalah sahabatku, jika seseorang menemukan kejadian aneh tentu akan diberitahukan kepada sahabat sendiri....”

“Sahabat?” teriak Siau-hi-ji. “Aku tidak lebih cuma seorang pegawaimu, mengapa kau menganggap aku sebagai sahabatmu?”

Muka Samkohnio bertambah merah dan kepalanya semakin menunduk, jawabnya, “En…entah, aku pun tidak tahu.”

Terbelalak Siau-hi-ji memandangi si nona hingga sekian lama, mendadak ia bergelak tertawa.

“Ap... apa yang kau tertawakan?” tanya Samkohnio sambil menggigit bibir.

“Sejak kukenal kau sampai sekarang, baru detik ini bentukmu menyerupai seorang perempuan!” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sambil tertunduk Samkohnio termangu-mangu di situ, tiba-tiba ia menangis keras-keras, sekujur badannya serasa lemas lunglai, dia terus mendengkap lemari dan menangis dengan sangat sedih.

Siau-hi-ji mengerut kening, tanyanya, “Apa yang kau tangiskan?”

“Sejak kecil hingga kini selamanya tak pernah ada yang memandang diriku sebagai perempuan, sampai-sampai ayahku sendiri juga menganggap diriku sebagai anak lelaki,” tutur Samkohnio dengan menangis. “Sedangkan aku…sudah jelas dan terang aku ini perempuan.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, katanya kemudian sambil mengangguk, “Ya, seorang perempuan kalau senantiasa dipandang orang sebagai anak lelaki, rasanya memang benar-benar sangat tersiksa....”

Sekonyong-konyong Samkohnio menjatuhkan dirinya di atas tubuh Siau-hi-ji sambil menangis, katanya, “Hanya engkau, hanya engkau yang memandang diriku sebagai perempuan, betul tidak?”

Sungguh lucu kelihatannya, seorang perempuan yang jauh lebih tinggi besar menangis seperti anak kecil menggemblok di atas tubuhnya, tentu saja Siau-hi-ji serba susah.

“Ya, ya, kau memang seorang perempuan, dengan sendirinya kupandang kau sebagai perempuan,” ucap anak muda ini.

Makanya aku... aku menganggapmu sebagai…sebagai sahabatku,” kata Samkohnio. “Karena itu pula aku memberitahukan semua isi hatiku padamu, sebab selain kau di dunia ini tiada orang yang memahami diriku. Mereka mengira aku ini galak dan kepala batu, padahal…padahal aku pun anak perempuan, sama seperti anak perempuan lain-lainnya.”

“Betul, mereka memang betul sangat sulit memahami dirimu,” ujar Siau-hi-ji menghela napas.

Tangis Samkohnio mulai berhenti, ia bersandar pada pundak Siau-hi-ji dan berkata, “Sebenarnya juga tidak soal bagiku, hanya kesepian…kesepian yang mencekam itu terkadang sangat menyiksa diriku dan rasanya akan gila, namun tiada seorang pun dapat menjadi tempat tumpahan isi hatiku.”

“Ya, kau sesungguhnya seorang anak perempuan yang harus dikasihani,” kata Siau-hi-ji gegetun.

“Baru sekarang kudengar ucapan demikian, seumpama segera mati juga aku rela,” keluh Samkohnio.

“Tapi sedikit pun aku tidak bersimpati padamu,” kata Siau-hi-ji.

Samkohnio terhuyung-huyung sambil melotot, katanya dengan gemetar, “Kau... kau....”

“Kau mengharapkan simpati orang lain padamu, minta dikasihani, begitukah?”

Seperti mau bicara si nona, tapi sukar diucapkan.

“Kau harapkan orang lain memandangmu sebagai anak perempuan, betul kan?”

“Aku memang anak perempuan, dengan sendirinya kuharap orang lain menganggap diriku sebagai anak perempuan.”

“Jika kau ingin orang lain menganggapmu anak perempuan betul-betul, maka kau harus bertingkah sebagai anak perempuan, tapi setiap hari kau memakai baju anak lelaki, mengisap tembakau, sebelah kaki bertumpu di atas meja, kau lebih mirip kusir pedati. Cara demikian mana bisa orang lain memandangmu sebagai perempuan.”

Samkohnio menerjang maju dan bermaksud memukul, tapi tangan terangkat dan tidak dihantamkan, ia terkesima, sejenak kemudian ia menunduk lagi.

“Anak baik, pulanglah sana dan camkan apa yang kukatakan,” kata Siau-hi-ji. “Mengenai barang kiriman itu saat ini aku tidak tahu apa-apa, tapi tidak sampai setengah bulan pasti akan kuberitahukan duduk perkara yang sebenarnya.” Sambil bicara ia terus melompat masuk ke kamar lagi dan menutup daun jendela, ia mencoba mengintip dari sela-sela jendela, dilihatnya si nona masih termangu-mangu di situ, setelah termenung sekian lamanya, akhirnya melangkah pergi juga.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, sambil tersenyum getir ia bergumam, “Perempuan, mengapa perempuan selalu bawel begini? Biar pun bangun tubuhnya seperti lelaki, tapi perempuan tetap perempuan.”

********************

Malam ini Siau-hi-ji dapat tidur dengan nyenyak. Dia tidak memikirkan lagi peristiwa perampokan barang kiriman Toan Hap-pui yang mencurigakan itu, sebab terhadap kejadian ini dia sudah dapat menarik kesimpulan yang meyakinkan, soalnya hanya belum dibuktikannya saja.

Tengah ia tidur dengan lelapnya, sekonyong-konyong beberapa orang menerobos ke dalam kamarnya terus menyeretnya bangun, ada yang memakaikan baju, ada pula yang mengenakan sepatu baginya.

Beberapa orang ini termasuk kuasa pertama dan kedua rumah obat ini. Mata Siau-hi-ji masih sepat, dia kucek-kucek matanya yang masih belekan dan bertanya, “Belum tiba hari gajian, untuk apa kalian menculik diriku?”

Sembari merapikan kancing baju Siau-hi-ji si kuasa kedua berkata dengan tertawa, “Sungguh berita baik bagimu, hari ini Tuan Besar kita ternyata ingin bertemu denganmu.”

Si kuasa utama lantas menyambung, “Tuan Besar hampir tidak pernah menemui pegawainya, tapi hari ini begitu sampai di Ankhing segera dia ingin bertemu denganmu? Rupanya kau sedang mujur dan akan dapat rezeki nomplok.”

Dan begitulah, beramai-ramai Siau-hi-ji lantas diusung ke atas kereta, tidak lama kemudian sampailah di depan sebuah rumah gedung yang sangat besar dan megah, beramai-ramai Siau-hi-ji lantas digiring ke dalam.

Rumah ini terdiri dari berlapis-lapis, Siau-hi-ji disongsong oleh seorang kacung dan dibawa masuk ke belakang, cukup lama barulah sampai di taman belakang. Di situlah ada sebuah paviliun indah.

Kacung itu membisiki Siau-hi-ji, “Tuan Besar berada di dalam situ, beliau ingin kau masuk sendiri saja.”

Siau-hi-ji ragu-ragu, ia merandek sejenak di luar pintu, akhirnya ia menyingkap kerai dan melangkah ke dalam. Pandangan pertama segera dilihatnya Samkohnio sudah berada di situ.

Dandanan Samkohnio hari ini sungguh jauh berbeda dari hari biasa. Pakaiannya tidak lagi celana singsat dan baju ringkas, tapi memakai gaun berwiru ditambah baju sutera biru berkembang putih, rambutnya juga sudah digelung.

Mukanya dibedaki dengan pupur tipis, gelung rambutnya dihiasi tusuk kundai dengan mainan burung Hong bermata mutiara, anting-anting juga tidak ketinggalan gemandul di daun telinganya.

Nona itu duduk tertunduk di situ dengan malu-malu kucing. Sekilas pandang Siau-hi-ji hampir tidak mengenali dia sebagai Li-beng-siang Samkohnio.

Sebaliknya sudah jelas melihat Siau-hi-ji masuk ke situ, namun nona gede itu tetap tidak angkat kepalanya, dia hanya melirik sekejap saja sambil menggigit bibir perlahan dan kepalanya tertunduk semakin rendah.

Hampir saja Siau-hi-ji tertawa geli saking tak tahan kalau saja dia tidak melihat di situ masih ada seorang lagi. Orang itu sangat aneh, sedang merangkak-rangkak di lantai.

Lantai dilapisi permadani Persia yang tebal, seorang gemuk dengan jubah yang longgar tampak merangkak di lantai sehingga kalau dipandang sepintas lalu orang akan mengira ada sebuah bola raksasa.

Di depan si gemuk itu ada sebuah kotak jamrud, kotak yang diukir dari sepotong batu jamrud besar, nilainya sukar diperkirakan, tapi kotak semahal itu isinya ternyata dua ekor jangkrik. Kiranya si gemuk lagi asyik mengadu jangkrik.

Siau-hi-ji lantas berjongkok juga di situ, setelah memandang sekian lama, dengan tertawa ia menimbrung, “Si setan hitam mungkin algojo....”

Si gemuk menoleh dan tertawa sehingga matanya menyipit hampir tidak kelihatan, katanya, “Kau pun paham jangkrik?”

“Selain melahirkan anak, segala urusan aku paham,” sahut Siau-hi-ji.

Si gemuk terbahak-bahak, katanya, “Bagus, bagus sekali…Eh, A Sam, apakah dia ini orang yang kau katakan?”

Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa si gemuk ini dengan sendirinya adalah si hartawan termasyhur Toan Hap-pui.

Samkohnio tampak menunduk malu-malu dan mengiakan dengan suara perlahan.

Toan Hap-pui tergelak-gelak lagi, ucapnya, “Bagus, bagus sekali, pandanganmu memang tidak keliru.”

“Urusan apa ini?” Siau-hi-ji garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau jangan tanya, segala urusan serahkan saja padaku…O, tarik bangun aku dulu, yang kuat…Ahhh, beginilah baru anak baik,” dengan susah payah, dengan bantuan Siau-hi-ji barulah Toan Hap-pui dapat berdiri, tampaknya dia lebih payah dari pada orang yang habis berlari sepuluh li jauhnya, napasnya terengah-engah dan mulut megap-megap.

“Bagus, bagus sekali....” dengan tertawa ia berkata pula pada Siau-hi-ji, “Apa kau gemar makan Ang-sio-bak? Hah, biar pun Hi-sit, Yan-oh, Pauhi atau Him-cio segala, semuanya omong kosong, yang paling lezat hanya Ang-sio-bak.”

Siau-hi-ji merasa bingung, tanyanya, “Sungguh aku tidak tahu ini....”

Tapi cepat Toan Hap-pui memotongnya, “Kau tidak perlu tahu, segala apa tidak perlu tahu, serahkan saja padaku, tanggung beres. Makanlah di sini, kokiku paling mahir mengolah Ang-sio-bak, boleh dikatakan nomor satu di dunia.”

Maka tanpa bisa menolak dan tidak paham seluk-beluknya Siau-hi-ji lantas makan semangkuk besar Ang-sio-bak yang memang cukup lezat.

Berada di sini mulut Siau-hi-ji seakan-akan tiada gunanya lagi selain makan Ang-sio-bak belaka, sebab pada hakikatnya Toan Hap-pui tidak memberi kesempatan bicara padanya.

Petangnya ia sudah berada kembali di rumah obat dan tetap tidak tahu untuk apa Toan Hap-pui memanggilnya ke rumah tadi. Yang jelas sekarang segenap pegawai Ging-ih-tong telah berubah sikap padanya. Dengan sendirinya berubah lebih ramah dan lebih hormat.

Sehabis mandi, baru saja Siau-hi-ji berbaring di kursi malas, mendadak terdengar ribut-ribut di depan.

Seorang dengan suara yang kasar sedang berteriak, “Kuici, Bakkui, Lengka, Himta....” serentetan nama obat itu ternyata obat pilihan yang mahal.

Lalu terdengar sang kuasa kedua sedang bertanya dengan perlahan, “Tuan menghendaki berapa banyak obat-obat itu?”

“Berapa banyak persediaan di toko obat ini, semuanya kami ambil, semuanya, setitik pun tidak boleh tersisa,” teriak orang tadi.

Seorang lagi lantas menambahkan, “Ging-ih-tong kalian ini tentu masih ada gudang obat, coba kami dibawa melihat ke sana.” Suara orang ini lebih nyaring dan cepat, agaknya sudah tidak sabar lagi.

Tergerak hati Siau-hi-ji, baru saja ia berdiri, segera dilihatnya sang kuasa kedua itu diseret masuk oleh dua orang lelaki kekar berjubah sulam,

Sang kuasa tidak mampu berkutik seperti anak ayam dicengkeram elang.

Di bawah cahaya pelita kelihatan kedua lelaki itu berwajah bengis, menghadapi orang begini apa yang dapat diperbuat oleh kuasa rumah obat itu?

Siau-hi-ji hanya berdiri menonton saja di samping, pegawai lain lantas membungkus seluruh obat-obatan yang diminta kedua lelaki itu, semuanya diikat menjadi empat bungkus besar.

Diam-diam Siau-hi-ji menyiapkan sebutir batu kecil, begitu bungkusan obat itu diangkat ke atas kereta mereka, perlahan ia menyelentik batu itu dan mengenai ujung bungkusan obat. Karena cahaya pelita hanya remang-remang, gerak tangannya cepat lagi, dengan sendirinya tiada seorang pun yang tahu akan perbuatannya itu.

Habis itu Siau-hi-ji merebahkan diri pula di kursi malasnya, sambil memandangi bintang yang bertaburan di langit ia bergumam, “Tampaknya bakal ada tontonan sandiwara yang menarik lagi....”

********************

Malam semakin sunyi, semua orang di rumah obat itu sudah tidur, tapi Siau-hi-ji masih duduk di bawah cahaya berkelipnya bintang. Di tengah malam nan terang dan sunyi itu dia justru lagi mengharapkan terjadinya sesuatu yang mengejutkan.

Akan tetapi suasana tetap hening, tenang dan damai, di tengah desir angin yang lembut terkadang diselingi suara jangkrik, lebih dari itu tiada nampak tanda akan terjadinya sesuatu.

Siau-hi-ji memejamkan mata, tampaknya dia sudah ngantuk dan akan pulas.

Pada saat itulah di tengah malam sunyi tiba-tiba berkumandang suara derap kaki kuda yang dilarikan dengan cepat. Seketika mata Siau-hi-ji terbeliak, ia coba pasang telinga sambil bergumam, “Satu, dua, tiga, mengapa cuma tiga ekor kuda?”

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar